3. As You Wish

Dua mingu berlalu setelah kunjungan Taehyung ke Busan. Rasa-rasanya ia jadi makin intens menanyakan keadaan saudarinya. Taehyung tak mau kalau sesuatu yang buruk sampai terjadi pada Taera ataupun calon keponakannya.

Ya, perlahan ia mencoba menerima. Meski tak dipungkiri setiap hari kekhawatirannya semakin besar mengingat Taera tak mungkin bisa terus menutupi kehamilannya dari orang-orang di kantor Busan.

Mengenai Jimin, Taera mengelak jika pemuda Park itu adalah ayah dari anaknya. Taehyung sendiri juga kekurangan bukti, maka tak bisa menyimpulkan lebih banyak hal di dalam benak.

"Taera ingin mengikuti pelatihan desain perhiasan tingkat lanjut di Paris. Dan kali ini ingin benar-benar fokus, makanya akan mengambil cuti selama lima bulan dari perusahaan," ucapan sang Papa barusan bak angin segar yang berembus di tanah gersang.

Jadi, begitu rencananya? Taera akan pura-pura—atau mungkin benar-benar—mengikuti pelatihan desain perhiasan itu selama beberapa bulan untuk menutupi perutnya yang semakin membuncit dari semua orang yang berhubungan dengan keluarga Wang?

Well, itu bukan ide buruk. Setelah anaknya lahir, tidak mungkin 'kan keluarga ini meminta Taera untuk membuang mereka. Ah, bisakah Taehyung merasa sedikit lega?

"Benarkah, Paman? Ah, bisakah aku ikut?" tanya Miru yang membuat Taehyung hampir tersedak. Bisa gagal rencana Taera menyelamatkan anaknya kalau begini. Taehyung harus melakukan sesuatu untuk menghalangi Miru. Jangan sampai sepupunya ini menggagalkan segala rencana yang sudah Taera susun matang-matang.

"Itu kursus pribadi, Sayang. Tapi, Bibi akan mencoba membujuk Taera agar membiarkanmu bergabung. Kau tahu sendiri 'kan bagaimana kakak sepupumu itu?"

Jawaban dari Mama membawa sedikit kelegaan. Ya, Taehyung sampai lupa dengan sifat Taera yang tak ingin diganggu saat sibuk belajar. Ah, Taehyung bahkan tak tahu apakah itu benar-benar sifat asli saudarinya atau hanya sesuatu yang ingin ditunjukkan pada dunia.

"Baguslah kalau Taera ingin mempelajari desain perhiasan. Jika sudah menikah dan memiliki anak nanti, ia takkan begitu kerepotan dengan bisnis keluarga," ucap sang Nenek, "Taera bisa bekerja sebagai desainer perhiasan. Aku akan membukakan anak perusahaan untuknya."

Kalau saja tahu bagaimana posisi Taera sekarang, mungkin Nenek takkan bicara sepercaya diri begitu. Dan Taehyung yakin sekali, Nenek adalah orang pertama yang akan menentang keras kehamilan Taera.

Bagi Nenek Wang, semua harus berjalan lurus sesuai rencana. Tak ada yang boleh cacat dan ternoda, atau Nenek akan menjauhkan semua itu dari pohon keluarga Wang. Hanya Taehyung yang sepertinya berada dalam kondisi khusus.

"Hansung-ah, kau sudah menghubungi pihak keluarga Kim? Taera dan Namjoon harus segera dikenalkan sebelum pertunangan dilakukan. Dua sampai tiga bulan kurasa cukup agar mereka bisa saling mengenal."

Dan Taehyung bisa merasakan tubuhnya meremang. Belakang kepalanya bak dilempar berton-ton baja. Dua bulan lagi? Gila saja! Sudah sebesar apa kandungannya nanti?

Jika pertemuan pertamanya dengan pria bernama Kim Namjoon itu sekarang, mungkin Taera masih bisa mengecohnya. Meski Taehyung sangat tidak membenarkan tindakan itu. Tapi mau bagaimana jika kondisinya sudah terlanjur seperti begini.

Ini tidak bisa dibiarkan terlalu lama. Keputusan Nenek adalah hal yang tidak bisa diutak-atik oleh siapapun. Taera benar-benar berada dalam bahaya. Maka, Taehyung harus segera memberikan kabar ini pada Taera.

"Tidakkah semua itu terlalu cepat, Nenek? Belum tentu Taera Eonnie ingin menikah saat ini."

Bisa dinilai bahwa ucapan Miru barusan adalah tindakan nekat yang membahayakan dirinya. Suasana meja makan di kediaman Nenek jadi menegang. Semua orang menatap Miru dengan tatapan-tatapan yang sulit diartikan. Beberapa merasa khawatir, namun beberapa merasa tak suka dengan protes yang dilayangkan.

Namun duduk di samping, Taehyung juga merasakan bagaimana Miru ikut memprotes untuk dirinya sendiri. Tak lama lagi, Miru pasti mengalami nasib yang sama dengan Taera. Dan Miru hanya berusaha memperjuangkan haknya.

"Jaga bicaramu di meja makan, Wang Miru!" ucap Wang Hansol, ayah Miru dan Seokjin, yang langsung menikam putrinya dengan ancaman. Tindakan seperti itu bagi keluarga Wang, sangat tidak dibenarkan.

"Aku hanya—"

Tarikan di lengan bajunya membuat Miru terdiam. Menatap sang pelaku yang menggeleng pelan, pun Miru memilih bungkap dan mengurungkan aksinya.

Makan malam usai, Miru memilih untuk pergi terlebih dahulu. Suasana hatinya kacau, tapi ia akan berusaha lagi nanti. Ia tak mau jika hidupnya diatur oleh seseorang. Taera ataupun Seokjin mungkin akan menurut, tapi tidak dengan dirinya.

"Kau mau ke mana, Mi?"

"Pergi dari tempat ini. Kalau bisa sekalian pergi dari keluarga ini," ketusnya pada Taehyung yang ternyata sudah berada di garasi. Ia juga ikut sebal pada pemuda ini, kenapa sih tadi menghalanginya menyuarakan pendapat? Mengesalkan sekali!

***

"Aku tahu. Aku sudah mendengarnya dari Mama, Taehyung-ah."

"..."

"Entahlah, aku juga masih memikirkannya."

"..."

"Tidak. Kau tidak perlu kemari."

"..."

"Aku akan memberi kabar secepatnya. Jangan khawatir."

Panggian diputus, dan ponsel dilempar sembarang ke atas ranjang. Taera sudah memikirkan kemungkinan ini terjadi. Perjodohan.

Pernikahan mungkin tak dilaksanakan dalam waktu dekat. Namun, pertemuan pertama memang harus segera dilangsungkan. Menatap dirinya ke depan cermin, Wang Taera merasa sedikit menyesal. Kenapa tiga bulan lalu tak menyetujui pertemuan pertama itu?

Ah, sebenarnya juga bukan pertemuan pertama. Entah kebetulan atau bagaimana, Namjoon menempuh pendidikan di tempat yang sama dengannya dulu. Taera tak begitu mengenal, cukup mengetahui namanya saja. Dan dari kabar yang beredar, Namjoon itu pria jenius dengan etika tinggi yang tak pernah membuat masalah. Tak sedikit dosen yang memujinya. Tak sedikit pula wanita yang mengejarnya.

Ah, kalau saja waktu itu mengiyakan tanpa perlu memikirkan perasaan si Brengsek, mungkin semuanya takkan serumit ini. Musim panas begini tak mungkin 'kan Taera bertemu dnegan pakaian bertumpuk untuk menutupi kandungannya?

Well, ia harus memikirkan cara lain untuk bertemu Kim Namjoon. Atau bagaimana cara agar Kim Namjoon mau menolak perjodohan ini tanpa perlu bertemu atau saling menyakiti. Ya, itu terdengar baik. Tapi, bagaimana melakukannya?

"Taera Wang, Pangeran tampan ini sudah datang!"

Panggilan Jimin di depan kamarnya mengalihkan perhatian Taera. Hampir saja lupa kalau hari ini sudah meminta Jimin menemaninya pergi ke dokter kandungan yang baru. Jimin selalu mengingatkannya sejak beberapa hari lalu. Memang, tipikal pria idaman sekali.

Segera melapisi tubuh dengan mantel panjang, Taera bergegas keluar dari kamarnya. Mendapati Jimin yang menggeledah kulkasnya untuk mencari pelepas dahaga. Selalu begitu, 'anggap saja seperti rumah sendiri' memang tidak bagus jika dikatakan pada Park Jimin.

"Apa sesuatu terjadi?" tanya Jimin menyadari sesuatu yang tidak beres.

"Apanya?" protes Taera karena Jimin terdengar mengada-ada. Padahal semua tampak baik-baik saja. Taera tak menunjukkan sesuatu yang terlihat mengkhawatirkan. Ia yakin sudah terlalu pandai menyembuyikan semuanya serapi mungkin.

"Itu," berjalan mendekat, Jimin menodongkan telunjuknya pada bibir Taera, "kau biasanya memakai satu warna di bawah ini. Dan di mana cincinmu? Apakah ini bawaan hamil?"

Ah, Jimin memang tak berubah. Selalu detail dalam melihat segala hal. Bahkan perbedaan tipis dari warna peach dan aprikot terlihat begitu jelas di mata Jimin. Dan mengenai cincin, Taera jelas meletakkannya di tempat yang aman. Tidak mau sembarangan memakai benda peninggalan yang amat berharga itu.

Keduanya tiba di salah satu rumah sakit daerah. Butuh kurang lebih satu jam perjalanan untuk pergi ke sana. Busan sendiri sebenarnya punya rumah sakit kelas internasionai, hanya saja, Taera jelas tidak mungkin pergi ke sana dengan keadaan sekarang. Ia masih harus merahasiakan kehamilannya dari semua orang.

"Jadi, apakah semuanya baik-baik saja, dok?" tanya Jimin cepat-cepat setelah Taera kembali dari ranjang periksa, menatap penuh cinta dengan segala perhatian yang pasti membuat siapa saja salah sangka.

"Keadaan janin dan istri Anda sangat baik, Tuan Park. Semuanya dalam kondisi baik. Kuharap semuanya berjalan lancar sampai persalinan."

Taera baru hendak memprotes sebelum Jimin malah mengiyakan dan benar-benar bersikap layaknya seorang suami. Well, setelah diprotes Jimin malah mengatakan kalau itu bagus. Tidak ada orang yang akan memandangnya sebelah mata pada Taera yang hamil tanpa suami. Jimin sendiri juga mencantumkan namanya di kolom suami saat mendaftarkan Taera beberapa hari lalu.

"Lihat! Aku bisa jadi suami yang hebat, bukan?" ucap Jimin berseloroh. Gayanya bak suami siaga yang siap memertaruhkan apa saja demi keselamatan istri dan calon anaknya. "Bayakngkan saja ketika suatu saat nanti aku punya istri. Dia akan menjadi wanita paling beruntung di dunia ini."

"Kau benar-benar sombong," Taera terkekeh, tak keberatan dengan lengan Jimin yang masih setia menggamitnya, "tapi harus kuakui dia memang akan jadi wanita yang paling beruntung, Jim."

Iri? Tentu.

Siapa yang tidak iri pada wanita yang akan bersanding dengan Jimin nanti? Mungkin Taera hanya mengenalnya selama tujuh tahun ini, namun tak dipungkiri, kedekatan mereka membuat orang berpikir kalau keduanya sudah saling mengenal sejak mereka mengenakan popok.

Ah, seandainya ayah dari calon anak-anaknya memperlakukan Taera seperti Jimin. Menghadapi semua bersama apanya?

"Kau ingin makan siang? Aku punya kafe langganan di sekitar sini. Tidak terlalu ramai, kok," ajak Jimin menyadari matahari sudah bersinar di atas kepala, dan ini saatnya makan siang.

"Boleh. Benar ya tidak terlalu ramai, kalu banyak orang, aku ingin pulang saja."

"Iya, iya. Nanti kalau ramai, kita cari tempat lain."

Tak perlu berdebat lebih lama, Jimin membawa sahabatnya pergi ke salah satu kedai di sudut kota ini. Bohong kalu Taera menganggap tempat ini tidak ramai, namun jarak yang diberikan pada setiap meja membuat kesan privat di tempat ini. Tentunya, Taera tak keberatan. Perutnya sudah meronta minta dipenuhi. Dan ia tidak boleh membiarkan tubuhnya kelaparan, ada manusia kecil di dalam perut yang juga harus diberi makan.

"Seleramu memang tak mengecewakan, Jim," pujian terlontar begitu saja kala Taera mengecap sepotong bulgogi. Benar-benar terasa seperti masakan ibu. Dibuat dengan tambahan bumbu kasih sayang yang merasuk ke setiap serat daging. Ah, Taera jadi rindu masakan Mama.

Well, meski Mamanya bukan orang asli Korea, namun Dakota Quinzel merupakan koki handal. Mama juga wanita yang hebat, dan Taera mau menjadi seperti Mama.

"Tentu saja. Itulah sebabnya kau harus ikut saat aku mengajakmu makan," Jimin tersenyum hingga menyentuh mata. Melihat wajahnya, Taera benar-benar ingin mencubit pipi gembil pria itu.

Gemas!

Jimin memang tak jarang bersikap menggemaskan dan membuat siapa saja ingin menyentuhnya. Di waktu-waktu lalu, Taera mungkin bisa menahannya. Hanya saja, kali ini dorongan itu terlalu besar. Taera benar-benar ingin menyentuh wajah Jimin dan meremas pipinya.

"Aw! Aw! Taera! Sakit!"

"Jimin-ah, kenapa kau lucu sekali?" tangannya tak berhenti menyentuh wajah Jimin. Meremas kedua pipi itu gemas dengan perasaan terpuaskan di dalam hati. Ah, lega sekali setelah menyentuhnya begini.

"Apakah itu tadi permintaan bayimu?" Jimin masih mengusap pipinya yang memerah, menatap Taera sebal, namun tak berusaha membalas. Taera tak biasa begini, dan Jimin pernah dengar tentang masalah seperti ini, kalau tidak salah itu disebut ngidam. Bawaan bayi yang harus dituntaskan.

"Entahlah! Tapi aku merasa senang setelah melakukannya!" pun senyum sang lawan bicara terkembang dengan gurat merah di pipi. Taera menikmati kebahagiannya.

"Aku akan membiarkanmu selama itu semua permintaan calon keponakanku."

Melihat bagaimana Taera mengelus perutnya, ada perasaan hangat yang mendorong Jimin untuk ikut merasakannya. Kandungan Taera memang belum terlihat jelas, namun tak jarang Taera mengusap perutnya tanpa disadari. Jimin sudah mengamati hal ini, bahkan sebelum Taera tahu kalau dirinya tengah mengandung.

"Taaera, bolehkah aku—"

"Kau ingin menyentuhnya?" Taera tersenyum, mudah sekali membaca Jimin yang selalu tertangkap basah menatap saat ia mengusap perutnya. Taera tahu, Jimin ingin mencoba menyentuh kandungannya, dan tak dipungkiri, Taera sendiri ingin merasakan kehangatan sentuhan seperti itu.

Semua ibu hamil mungin menginginkannya juga, perlakuan lembut dan usapan ayah dari anaknya. Hanya saja, posisi Taera kini tak memungkinkan untuk membuat ayah si bayi melakukannya. Jadi, kenapa tak membiarkan Jimin—yang sudah seperti saudara kandung baginya—mencoba?

"Kemarikan tanganmu!"

Wang Taera membawa tangan kanan Jimin menyentuh bagian perutnya yang sedikit menonjol. Masih terlalu kecil untuk disebut kandungan, namun Jimin juga bisa merasakan bagaimana bagian itu terasa lebih keras. Ah, Jimin masih belum percaya ada makhluk mungil di dalam sana.

"Kenapa aku tidak merasakan pergerakan? Tidakkah biasanya bayi-bayi di perut akan menendang?" protes Jimin karena tidak merasakan gejolak-gejolak kecil seperti yang pernah didengarnya.

"Bagaimana kalau kau merasakan tendangannya saat dia sudah keluar, Jim?" balas Taera kesal, "ada-ada saja. Bahkan tubuhnya belum terbentuk sempurna."

"Park Jimin?"

Seseorang menyapa dan keduanya secara reflek menegok bersama. Seorang pria, sepertinya kenalan Jimin, dilihat bagaimana reaksi senang Jimin saat mendapati siapa pria itu.

Si jangkung menatap ragu kala menyadari tangan Jimin masih di perut teman perempuannya. Sebenarnya sudah cukup banyak mendengar tadi. Tidak bermaksud kurang ajar dengan mencuri dengar, hanya saja, kehadiran si gadis di kedai ini cukup sulit diabaikan. Apalagi, ia tahu jika dirinya akan cukup sering berurusan dengan gadis ini. Dan informasi yang didapatkan benar-benar membuatnya tak tahan untuk bertanya langsung.

Dan di sana, Wang Taera menatap bingung. Darahnya berdesir kala mengingat sesuatu tentang pria ini. Penampilannya banyak berubah sejak terakhir kali taera bertemu. Well, Taera pasti belum mengatakan apa-apa tentang pria ini pada Jimin. Pemuda itu takkan setenang ini jika mengetahui semuanya.

"Oh, Namjoon Hyung! Sudah lama sekali kita tidak bertemu!"

(*)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top