Chapter 44
|| Before I take my shotgun, vote dan komen serta cari posisi ternyaman karena chapter ini totalnya 6.891 kata^^
|| Beri komentar agar gue tahu reaksi kalian akan chapter ini! Disclaimer, chapter ini mengandung adegan disturbing, berdarah, dan lainnya! Mohon bijak dalam membaca^^
|| Tolong gunakan KBBI dan Internet untuk mengecek beberapa kosa-kata yang mungkin baru kalian ketahui
Bahana genderang ditabuhkan sekencang-kencangnya ketika empat penyusup tiba di aula besar sebuah kastil sihir, tampak sekitar enam kesatria berzirah batu tengah memegang gada dan menabuhkan genderang yang berkali-kali lipat besarnya dibandingkan genderang biasa, mereka bergerak sesuai irama ibarat tarian yang tak mengenal kata cacat. Bunyi berdebum sehingga memekakkan telinga ketika dari langit-langit kastil sihir ini, berjatuhan kesatria batu dengan zirah batu, ketopong besar, serta membawa kapak-kapak batu dan juga pedang tipe claymore yang beratnya bisa berton-ton terutama tinggi para kesatria batu mencapai 350+ sentimeter. Sudah jelas jika mereka bukan manusia biasa.
Berdentum-dentum langkah kaki para kesatria batu mendekati keempat penyusup yang tampak bingung haruskah mereka terperangah dan memuji betapa elok nan megahnya aula kastil sihir ini ataukah mereka harus gentar karena puluhan kesatria batu tengah berniat membunuh mereka?
"Simpan pujian kalian." Sang Aalisha De Lune berujar seraya menarik Aeternitas dari sarung pedangnya. "Aku takkan bertanggung jawab jika kalian kembali ke rumah tanpa kepala." Ia tersenyum kecil.
"Tenang saja, kita semua akan kembali dengan organ tubuh yang utuh," sahut Anila dengan kekehan, ia genggam gagang pedangnya. "Terkecuali Killian, aku tak peduli jika kau kehilangan kepala."
"Jangan remehkan aku." Meski dilanda amarah, ia tak punya energi untuk marah dan melawan.
"Jagad Dewa ...." Di sisi lain, hanya Mylo yang diam saja karena merasa lelah atas pertengkaran ini bahkan di saat mereka terdampar di kastil sihir, lagi dan lagi. Mylo memunculkan lima lembing hitam dengan ujung tajam.
"Baguslah, aku tak mau membawa beban di pundakku." Aalisha melangkah ke hadapan kesatria zirah batu yang sangat tinggi sehingga kepala gadis itu mendongak. "Sialan, kapan ada musuh yang lebih pendek dariku .... eksekusi."
Ibarat mereka paham dengan perintah Aalisha serta secara naluriah mereka mengikuti perkataan sang Majestic Families, maka lekas mereka berlari melewati serangan para kesatria zirah batu. Satu per satu ayunan pedang dilancarkan oleh masing-masing serta dikombinasikan dengan mantra sihir sehingga berhasil para kesatria ditumbangkan. Anila berlari dengan Neith menyelubungi pedangnya seraya ia menebas setiap kaki-kaki batu kesatria tersebut hingga hancur, ia meliuk-liuk di antara tubuh-tubuh besar nan berat bahkan menyusup di antara kaki para kesatria ketika sampai di tengah-tengah mereka, lekas Anila merapalkan mantra, "Igenisco!" Maka ledakan dahsyat terjadi yang sukses menghancurkan para kesatria menjadi puing-puing batu yang berhamburan.
Aalisha berdecak sesaat. "Tidak heran jika dia adalah keturunan Andromeda, dia bisa mempelajari mantra itu cukup cepat."
Serangan pedang yang sangat kuat berhasil memenggal para kesatria batu secara vertikal, lalu sihir dirapalkan dan lekas sesosok bayangan hijau menyerupai tengkorak menyerang para kesatria hingga mereka terjengkal dan ambruk hingga hancur tubuh mereka. "Aku berhasil," ujar Killian tampak bangga. "Hey berhati-hatilah!!" Ia menatap pada Mylo yang malah terkikik geli.
"Maaf, kau berada di lintasan lembingku." Ledakan terjadi ketika lembing yang Mylo lesakkan menancap di dada kesatria batu lalu hancur akibat tertanam bom di ujung besi lembingnya. "Menyingkirlah jika tak mau tertusuk!" Ia berteriak kembali, menarik bahunya bak pegas kemudian ia lemparkan lembing terakhir yang lekas membelah lintasan sangat cepat, ketika berada di antara para kesatria, Mylo berteriak, "Aalisha!"
Aalisha menjulurkan tangannya dengan jari terentang seraya merapalkan mantra yang sukses pentagram sihir muncul di lembing Mylo, maka dalam hitungan detik, besi-besi tajam meruncing keluar dari batang lembing tersebut, sekejap saja, besi-besi tersebut berhasil menusuk tubuh-tubuh kesatria batu lalu tiba-tiba membesar, hancur dan binasalah beberapa kesatria. Bagi yang tersisa, tak bisa bergerak karena cagak-cagak besi yang menusuk kaki-kaki mereka.
"Aeternitas," ujar Aalisha mengangkat pedangnya yang bersinar biru. "Penuhi permintaanku." Satu tebasan pedangnya sukses menghancurkan seluruh kesatria batu di dalam aula hingga tak bersisa dan terlihat puing-puing mereka saja.
Menurunkan pedangnya dan mengetuk-ngetuk sepatu berdebu, lekas Aalisha berbalik, tersenyum congkak pada tiga manusia di hadapannya bersamaan pintu besar terbuka. "Sudah kukatakan berulang kali, jangan pernah berharap bisa melampauiku karena seribu tahun pun kalian takkan bisa."
Anila hanya terkekeh, tak tersinggung sedikit pun, terlebih gadis De Lune itu benar bukan? Manusia biasa disandingkan dengan Garis Keturunan Utama Majestic Families, dari segi kelahiran saja berbeda, apalagi secara kekuatan. Ia langsung berjalan mendekati Aalisha, hendak genggam tangannya, tetapi ditepis Aalisha. Sementara itu, Killian mengepalkan kedua tangannya dengan kuat, merasa iri dengki dan dongkol karena keangkuhan Aalisha. Tiba-tiba Mylo menepuk bahu Killian, lalu berujar, "kauharus terbiasa jika tak mau kehilangan kepala." Ia pun melangkah pula ke dalam pintu masuk. "Dan selamat datang di realita meski kau bangsawan, tapi kawan kami selalu berada di atasmu."
"Bajingan ...." Killian menitikkan air mata. "Andai aku memiliki darah Majestic Families."
Ah, sungguh menyedihkan, tetapi setiap kelahiran dan takdir telah ditentukan oleh Para Dewa jadi mustahil makhluk hidup di Athinelon menentang.
Bukankah yang terpenting kini adalah keluar hidup-hidup dari neraka kastil sihir ini akibat terlibat dengan artefak kuno terkutuk.
Meskipun begitu, sungguh tak bisa mereka mungkiri bahkan sepertinya harus disiapkan puluhan lembar kertas untuk menulis pujian yang sarat akan makna. Detik ini mereka sangat terpesona akan keindahan balairung kastil sihir di hadapan mereka bahkan tak satu pun dari mereka berkedip.
"Oh Dewa, kurasa setelah keluar dari sini, kita harus berdoa di kastil seharian penuh karena kita diberi kesempatan melihat keindahan kastil ini," ujar Mylo.
"Lebih baik berdoa, kalian takkan mati di sini," tukas Aalisha. Mereka benar-benar harus maklum dengan candaan tentang kematian yang sering dilontarkan gadis kecil itu bahkan Killian tampak terpaksa memakluminya.
Balairung istana kastil ini seperti keajaiban sebelum-sebelumnya, memancarkan keelokan dan kemewahan; lantai mengkilap bak kaca eksotis yang terbuat dari material dasar batuan malasit sehingga memancarkan kilau hijau zamrud, dipadukan dengan ukiran-ukiran bermotif arabes yang terbuat dari lapis lazuli-warna birunya sangat kontras dan memikat ketika digabungkan dengan lantai hijau zamrud malasit. Namun, tetap menciptakan paduan warna yang indah, berkesan dinamis, serta membuat siapa pun akan terperangah.
Langit-langit Balairung ini dihiasi dengan lukisan-lukisan yang memperlihatkan penyihir, kesatria, hingga para iblis yang saling bertarung satu sama lain kemudian ada lampu kristal-kristal putih mengkilap menggantung seperti bintang-bintang yang berkilauan, memantulkan cahaya sebagai penerangan yang menyebar di seluruh balairung. Dinding-dindingnya terbuat dari marmer hijau berurat emas, pilar-pilar besar menjulang tinggi nan besar berwarna biru sodalite yang terukir detail rumit memanjang hingga pilarnya menancap di langit-langit sehingga menjadi penopang atap balairung. Sayangnya tak ada kaca di dalam balairung sehingga menjadi ruangan yang terisolasi meskipun begitu tidak terasa sesak serta pencahayaannya tetap memadai.
Sentuhan terakhir dari balairung ini adalah delapan cerat di dinding yang terbuat dari logam emas murni dengan ada ukiran flora dan fauna berwarna hijau zamrud serta di bawahnya terdapat cawan besar berwarna emas untuk menampung air yang mengalir.
"Sudah cukup terperangahnya," ujar Aalisha, melangkah lebh dulu tanpa rasa takut padahal barangkali ada jebakan di lantai malasit hijau itu, tapi tak ada yang berani protes karena De Lune pasti jauh lebih berpengalaman. "Mustahil jika hanya keindahan saja di balairung ini, pasti ada jebakan atau musuhnya."
Anila berdeham, "Aalisha benar, mari fokus untuk keluar dari tempat ini." Ia memunculkan Cyubes, sungguh naas karena tak bisa berkomunikasi dengan siapa pun serta ia buka peta Eidothea yang hanya menampilkan galat. "Kurasa karena kita berada di kastil sihir, kita seolah-olah berbeda dimensi."
"Tidak juga, kemungkinan kastil sihir tetap dibangun di atas Athinelon, tetapi dibuat dalam versi dungeon atau kastilnya memang ada terlihat normal dari luar ketika masuk, baru merasakan semua ini karena dibentuk menggunakan sihir, tidak seperti bangunan biasa." Aalisha mengedarkan pandangannya, ia curiga dengan cerat-cerat yang mengalirkan air ini. Lalu tiba-tiba ia ayunkan Aeternitas hingga persis di dekat leher Killian.
"Apa yang kaulakukan!" teriak Cornelius itu ketakutan setengah mati.
"Hanya karena kaumasih hidup hingga kini. Jangan beranggapan jika kami menjadikanmu sekutu," ujar Aalisha, lebih pas menggunakan kata sekutu dibandingkan teman. "Kaupaham?"
"Aku tak pernah menganggap kalian sekutu atau sebagainya ...." sahut Killian masih berani melawan.
"Tentu, jawaban yang bagus." Aalisha menarik pedangnya, Killian menegak saliva, merasa lega. "Karena setiap insan yang bukan sekutuku biasanya kuhabisi, tetapi mereka yang penjilat akan lebih mengenaskan di tanganku."
Gema langkah kaki mereka cukup keras di balairung ini meski berpadu dengan gemericik air yang mengalir dari cerak ke dalam cawan. Berupaya pula keempat bocah Eidothea itu mencari sumber-sumber mencurigakan yang dapat menjadi jawaban agar mereka segera pergi dari balairung ini, barangkali membawa mereka kembali ke Akademi Eidothea, tetapi tidak sedikit pun hal mencurigakan, hanya balairung megah dengan segala ukiran dinding yang mahal.
Hingga langkah mereka berhenti ketika mencapai tengah-tengah balairung bersamaan dengan lantai malasit berguncang cukup kuat, muncul pentagram sihir berbentuk arbes pula dengan warna biru tua, lekas mereka mencelat keluar dari lingkaran pentagram karena kini sesosok penjaga dengan tinggi mencapai seribu sentimeter.
Tubuhnya sedikit transparan, mengenakan pakaian menyerupai kasula putih panjang menjuntai ke bawah serta stola biru tua disampirkan di leher dan menggelebar, wajahnya tak terlihat karena ditutupi veil lalu ada diadem emas serta ia membawa tongkat emas panjang.
"Apa dia musuh?" Mylo sigap mengeluarkan lembingnya, tetapi ditahan Anila.
"Bukan, kurasa dia penjaga kastil ini." Anila melirik pada sosok besar nan tinggi tersebut. "Jangan lakukan tindakan gegabah."
Gema suara sang penjaga kastil menggelegar. "Siapa kalian wahai manusia tak diundang ke kastil ini?!" Hanya manik mata putihnya saja yang bergerak menatap pada empat manusia yang hampir seperti semut kecil dalam pandangannya.
Aalisha berdecak, "selalu saja ada pengganggu." Ia melangkah maju, lekas Anila tarik lengannya. "Kenapa lagi? Aku harus bicaranya dengannya."
"Terakhir kali kau melakukannya, kau dianggap pembohong dan hampir dibunuh," jelas Anila, "kali ini biarkan aku yang bicara."
"Baiklah." Aalisha menarik tangannya lepas dari genggaman Anila. "Kau yang urus, aku akan santai di sini."
Anila maju perlahan-lahan meski ia diselimuti rasa takut, sesaat ia lakukan curtsy. "Maafkan kami karena masuk tanpa izin, tetapi kami sebenarnya tersesat di kastil ini dan hendak mencari jalan pulang."
"Mengapa bisa kalian masuk kemari! Manusia tak bisa seenaknya berada di kastil ini!" Dentang tongkat besi diketuk ke lantai malasit zamrud ini terdengar nyaring di balairung.
"Kami diserang seseorang yang kemudian membukakan Iapthae Portae (gerbang teleportasi) yang membawa kami ke kastil ini," jelas Anila meneguk saliva, begitu juga Mylo yang bulu romanya berdiri karena takut, Killian sama sekali tak mau mendongakkan kepala. Sementara Aalisha hanya diam dan tidak berekspresi sedikit pun.
"Seseorang membawa kalian kemari?" Tampak sang penjaga sedikit lebih lembut. "Sebutkan nama kalian!"
Hening merebak karena mereka semakin gelagapan, mengapa harus menyebutkan nama? Bagaimana jika mereka semakin diseret ke dalam bahaya karena menyebutkan nama asli mereka?
Dentang tongkat besi terdengar lagi bahkan percikan api tercipta ketika ujungnya bergesekkan dengan lantai malasit. "Mengapa diam saja! Sebutkan nama kalian atau kuanggap kalian sebagai penyusup!"
Gancang Mylo maju ke depan dan berujar meski dibalut rasa cemas nan gugup. "Namaku Mylo, dia Anila---" Dentang tongkat besi menginterupsi Mylo, membuatnya terkejut seolah jantungnya mau copot.
Sang penjaga kastil berteriak, "sebutkan nama asli kalian masing-masing beserta marga kalian!" Angin bertiup atas suara menggelegar itu.
"Namaku Mylo Cressida, putra Viscount Cressida, Kekaisaran Ekreadel," ujar Mylo.
"Anila Keara Andromeda, putri sulung dari Count Andromeda," ucap Anila lalu melirik tajam pada Killian, segera lelaki itu maju meski sangat gugup.
"Aku Killian, maksudnya nama lengkapku Killian Lafayette Cornelius, putra satu-satunya dari Bangsawan Marquess Cornelius dari Kekaisaran Ekreadel."
Kini mereka menatap pada Aalisha, merasa was-was dengan apa yang akan Aalisha katakan karena jawaban gadis itu adalah penentu mereka. "Namaku Aalisha ... entahlah, aku tak punya marga dan aku hanya manusia yang tidak penting bagi dunia ini."
Sang penjaga melirik sejenak, tidak bergerak sedikit pun. Hal ini membuat ketiga bocah menghela napas lega yang artinya mereka aman dan perkataan Aalisha dapat dipercaya ... sekonyong-konyong dentangan tongkat besi terdengar. "Aku mendeteksi kebohongan terucap dari mulutmu, Wahai Manusia!"
Kejengkelan terlihat di wajah Aalisha. "Aku tidak berbohong."
"Kaupikir aku bodoh, Wahai Manusia?!" Suara sang penjaga kastil ini menjadi berat dan lebih menyeramkan. "Cepat jawab dengan jujur atau kubunuh kau karena telah menerobos ke kastil ini tanpa izin dan berbuat kekacauan."
"Aalisha tenangkan dirimu," bisik Anila, "aku akan coba mendistraksi ....."
Sayangnya Aalisha sudah melangkah lebih dulu lalu mendongak congkak pada Sang Penjaga Kastil. "Kau ingin nama asliku? Tentu saja, tetapi setelah ini kauharus berlutut di hadapanku."
Ah, bendera perang telah dikibarkan.
Perlahan tangan kanannya diayunkan ke dada kiri lalu menyeringai bangga. "Namaku Aalisha ... Dhiaulhaq Galad De Lune, Putri dari Archduke De Lune. Sekarang beri penghormatan kepadaku sebelum kau kubinasakan dan kutarik ke Evigheden." Ia balik memberikan ancaman.
Tidak ada tanggapan balik dari sang Penjaga kastil. Hanya keheningan yang mereka rasakan dan ia semakin mengerikan.
"Hey kenapa kau diam saja---" Perkataan Aalisha terhenti ketika terdengar bunyi genderang dan gong secara bersamaan memenuhi balairung ini bahkan bergetar lantai-lantai malasitnya.
"PENDUSTA!! ENGKAU SEORANG PENDUSTA!" Suara sang Penjaga Kastil menggelegar. "Seorang Pendusta mengaku-ngaku sebagai Keturunan Agung De Lune! BINASAKAN, HARUS BINASA!" Maka menghilanglah sang Penjaga tersebut dan meninggalkan banyak tanda tanya.
"Apa yang barusan terjadi?" Killian bingung seraya menatap Aalisha. "Kenapa kaudisebut pembohong? Apa jangan-jangan selama ini kau bukan---"
Sekonyong-konyong pedang tajam di arahkan ke leher Killian. "Berani kau melanjutkan kalimat itu, kau akan kehilangan nyawamu di sini," ujar Anila Andromeda.
"Turunkan pedangmu, Anila," kata Aalisha, "dan teruntuk Killian, aku tak peduli apa pendapatmu karena kau hanyalah manusia rendahan di bawah kakiku, jadi tutup mulutmu karena bisa saja kau kubuat kehilangan kepala---"
"Kawan!!" teriak Mylo, "air di cawannya luber ke mana-mana dan warnanya jadi kuning, apa itu aman?"
Gancang perasaan cemas menyelimuti mereka seraya menatap ke cawan-cawan besar di balairung ini, airnya tumpah ruah keluar dari cawan tersebut serta berwarna kuning pucat, berbau seperti cairan kaustik yang sangat menyesakkan.
"Gawat, airnya tak berhenti mengalir, cairan aneh itu membanjiri lantai," ujar Anila.
"Semua kerannya tak mau berhenti mengalirkan cairan itu." Killian menimpali seraya menutupi hidungnya dengan dengan lengan jubahnya.
"Apakah itu cairan korosif?" Mylo melirik Aalisha dan Anila secara bergantian.
"Anila," kata Aalisha, "analisis."
"Kemungkinan sejenis Asam Nitrat atau cairan berbeda yang dipengaruhi teknik sihir, jelas-jelas dari struktur cairan dan baunya yang merebak, ini pasti cairan korosif," jelas Anila yang langsung mendapat anggukan dari Aalisha.
"Menjauh dari cairan itu!!" perintah Aalisha.
Maka tanggap mereka melompati genangan cairan korosif tersebut, berlari zig-zig agar tidak menginjak cairan yang meluber ke mana-mana, tetapi naas karena hampir di seluruh balairung kini tertutupi oleh cairan korosif yang semakin lama semakin menyapu habis lantai malasir zamrud ini.
"Sialan kita terkepung." Mylo memepetkan tubuhnya ke yang lain karena mereka benar-benar dikelilingi cairan kuning yang dipastikan jika terkena tubuh dan kulit mereka akan melepuh bahkan parahnya mereka bisa mati di tempat. Aalisha berdecak karena ia tak bisa menggunakan teknik sihir yang membuat tanah tinggi di bawah mereka pasti karena lantai ini dialiri Neith sehingga mencegahnya menggunakan teknik sihir tersebut. Ia harus mencari cara lain agar mendapatkan pijakan supaya bebas dari cairan ini.
"Mylo lempar lembingmu ke empat titik tiang balairung ini, cepat!!" perintah Aalisha lagi, "yang lain buat barrier agar cairannya tak semakin dekat!"
Tidak ada waktu saling bertanya atau menolah perintah Aalisha karena nyawa mereka di ujung tanduk, kini Killian dan Anila membuat barrier dari Neith yang mengelilingi mereka berempat sementara Mylo memanggil empat lembing hitam, ia lesakkan sangat cepat ke empat titik tiang kokoh, suara dentum terdengar dan debu-debu serta puing-puing tiang berjatuhan ke cairan tersebut yang berdesis hingga menguap tak bersisa. Mereka berempat yang menyaksikan hal tersebut sangat yakin jika mereka akan binasa jika sedikit saja menginjak cairan tersebut.
"Aku sudah melakukannya!" teriak Mylo.
"Siapkan diri kalian," ujar Aalisha seraya melirik Anila yang langsung paham rencana gadis De Lune itu.
Tanpa menunda-nunda, lekas Anila merapalkan mantra yang menyelimuti tubuh mereka berempat serta membuat tubuh mereka terasa ringan seolah-olah akan melayang, lalu Aalisha menambahkan mantra dengan menggunakan pentagram sihir yang muncul di bawah kedua kaki mereka semua. Dengan sentakan tiba-tiba, mereka semua terbang ke atas akibat mantra angin, lalu berkat mantra Anila tadi, tubuh mereka melayang sejenak, lekas mereka semua cepat berpijak atau bergantung di masing-masing lembing hitam yang Mylo lemparkan.
"Jagad Dewa," kata Mylo lekas menempelkan punggung di tiang besar dan kaki berpijak pada lembingnya. "Hampir kita meleleh karena cairan itu."
"Belum selesai," kata Killian menegak saliva. "Cairannya semakin tinggi."
"Sudah kuduga, balairung ini hanyalah perangkap tikus, sungguh mengerikan karena sebelumnya terlihat cantik kini menjadi lautan cairan mematikan," ujar Aalisha lalu memperhatikan ketiga manusia di hadapannya. Meski tidak mereka katakan secara gamblang, tetapi pasti ketiganya merasa sangat takut. Terutama pintu masuk mereka tadi sudah tertutupi cairan korosif ini jadi mereka seolah-olah tak ada jalan keluar. Benarkah?
"Anila," kata Aalisha yang membuat Anila tersadar dari lamunannya. "atas kepala arah jam 10."
Mereka pun menatap ke langit-langit, sedikit tertutupi lampu gantung, ternyata ada pintu kecil yang seukuran ventilasi, sudah jelas jika itu adalah jalan keluar mereka agar selamat dari teror cairan korosif.
"Jika itu jalan keluar, bagaimana cara membukanya?" kata Anila, "tidak terlihat seperti ada gagang pintu atau semacamnya, tapi di tengah pintu ada semacam cermin."
Killian yang baru memperhatikan sekeliling mereka, ia baru sadar jika ada cermin-cermin lain di balairung ini. "Ada banyak cermin di sini."
"Dan itu ada sinar matahari apakah kalian lihat di ujung sana?" kata Mylo, "dari mana sinar itu berasal padahal tidak ada jendela di tempat ini."
Aalisha memicingkan mata. Kalau ditotalkan ada delapan cermin, posisi kedelapan cermin terlihat ditaruh asal-asalan dan seperti tak ada gunanya, tetapi gadis kecil itu yakin jika delapan cermin dan sinar matahari di ujung balairung ini adalah sebuah teka-teki.
"Kawan!! Pikirkan sesuatu, cairannya semakin tinggi!" teriak Mylo.
Aalisha menghela napas. "Dengarkan perintahku." Ia berujar dengan tegas. "Cahaya matahari harus sampai ke cermin di pintu kelas itu jadi media perantaranya adalah delapan cermin dengan artian kita harus memantulkan cahaya matahari hingga mencapai pintunya."
"Aku juga berpikiran hal yang sama," kata Anila, "artinya kita harus bekerja sama."
"Tunggu! Bagaimana cara kita menjangkau cermin-cermin itu huh?!" teriak Killian, "tidak kalian lihat di bawah kita adalah cairan korosif, jika tergelincir sedikit saja kita akan jatuh dan mati---"
Aalisha menginterupsi, "bukan urusan kami." Gadis itu tersenyum manis. "Kau pikir hanya dirimu saja yang mati jika tenggelam di cairan ini? Lagi pula sadar diri lah karena yang paling berhak keluar hidup-hidup di sini adalah aku, bukan kau Cornelius pengecut yang tergoda dengan bisikan setan terkutuk sampai bekerja sama dengan musuh dan membuatku terseret kemari."
"Bajingan!" Killian hendak maju dan melawan, tetapi ia hampir saja tergelincir, lekas ia berpeluk pada tiang saking kakinya gemetar.
Aalisha memutar bola matanya. "Mylo, tugasmu adalah membuat pijakan agar kami mudah mencapai cermin-cerminnya dan nyawa adalah tanggung jawab masing-masing. Kalian paham?!"
"Ya," balas Mylo dan Anila, sedangkan Killian hanya diam saja.
"Cornelius," kata Aalisha, "jika kau berbuat masalah, kuceburkan kau hingga melepuh dan mati."
"Kau selalu saja meremehkan ...." Perkataan Killian terhenti saat dia mendengar suara retakan dan lembing yang ia pijak seperti bergetar. "Apa yang terjadi---arghh!"
"KITA JATUH!" teriak Anila karena tiba-tiba lembing yang ia pijak terlepas dari pilar balairung ini.
"Mylo!" teriak Aalisha, "lemparkan lembingmu lagi!"
Cekatan sang Putra Cressida melempar dua lembing karena hanya dua yang bisa ia gunakan. "Aku tak sempat melempar lagi!" Ia berteriak sementara Aalisha berdecak.
Lekas Aalisha menggerapai lembing tersebut begitu juga Mylo, kemudian Aalisha gunakan sihir yang memunculkan rantai besi, maka ia lemparkan ke arah Anila yang dengan tangkas dan cekatan pula, ia gapai rantai tersebut dan mencegahnya tercebur ke lautan cairan korosif. Sedangkan Mylo berhasil menarik ujung kerah kemeja Killian yang dengan gelagapan Killian mencengkeram kuat pergelangan tangan Mylo saking ia takutnya bahkan sepatu yang ia kenakan hampir menyentuh cairan korosif tersebut. Kini mereka bergelantungan di lembing besi.
Suara retakan terdengar lagi dan kedua lembing besi bergetar. "Gawat! Kurasa pilarnya mendorong lembingku agar tak berlama-lama tertancap, karenanya lembingku tiba-tiba lepas dari pilar ini!" teriak Mylo, lekas dipahami yang lain.
"Sialan," ujar Aalisha lalu mengedarkan pandangan sesaat. "Anila, aku akan melemparmu ke atas dan gunakan besi atau sejenisnya agar bisa menancap."
"Ya! Lakukanlah, aku siap!" teriak Anila, "Mylo, Killian lakukanlah hal yang sama!"
"Jangan buat aku menjatuhkanmu," balas Mylo seraya menatap Killian.
"Aku tahu, kaulah yang jangan menjadi beban---sialan Cressida!" teriak Killian karena tiba-tiba tubuhnya diangkat sekuat mungkin oleh Mylo dan hampir saja jatuh jika Killian tidak tanggap memunculkan pedangnya lalu ia tancapkan ke pilar tersebut.
"Ada monster!" teriak Anila setelah berhasil membuat pijakan dengan lembing yang ia punya. "Ada tengkorak-tengkorak bersayap."
Dari dalam dinding, bermunculan monster yang berbentuk tengkorak-tengkorak, tetapi memiliki sayap serta membawa belati dan pedang berbilah satu, jumlah mereka sekali muncul mencapai lima tengkorak dan kini melompat dan beterbangan mengelilingi balairung ini, suara keretak gigi-gigi tengkorak bergema ketika rahangnya bergerak-gerak.
"Jagad Dewa," gumam Aalisha, "balairung ini membuat darahku mendidih."
Kini sedikit menyesal karena meremehkan jebakan di balairung ini. Namun, tampaknya sang De Lune tidak akan mudah mengakui hal tersebut, ia dan Anila yang paling cerdas langsung memahami pola jebakannya jika hanya 8-10 detik saja bagi lembing atau benda tajam lainnya tertancap di pilar-pilar atau dinding balairung ini, lalu karena cairannya semakin banyak dan meninggi, sehingga dikalkulasikan jika mereka akan tiada tenggelam karena cairan memenuhi ruangan ini dalam rentang waktu 10 menit. Mereka juga harus menghindari serangan para tengkorak karena jika terluka dan jatuh, maka binasa sudah hidup mereka.
"Kita hanya punya waktu 5 menit sebelum mati tenggelam!" teriak Aalisha, "jadi bergerak dengan cepat sesuai perintahku tadi!"
Perubahan rencana karena Mylo paling mahir dalam menggunakan lembing dan membuat pijakan, lalu Aalisha ahli dalam pertarungan dan sihir, maka Anila serta Killian lah yang akan mengatur posisi cermin agar cahaya matahari bisa menuju pintu keluar mereka. Dengan tangkasnya serta fokus, Mylo melesakkan lembing-lembing yang ia miliki ke pilar-pilar dan dinding demi membuat jalan bagi Anila dan Killian, sayangnya baru lembing tersebut dipijak, susah terlepas dari dinding dan lenyap di cairan korosif. Sementara Aalisha menggunakan pedangnya serta melempar besi-besi tajam ke arah para tengkorak bersayap agar tidak melukai dan mengganggu Anila serta Killian yang fokus mengatur cermin-cermin.
"Tidak secepat itu, kau makhluk alam barzah sialan," ujar Aalisha, memunculkan pentagram sihir, lekas rantai-rantai besi dengan ujung tajam menerjang ke arah para tengkorak, menembus kerangka-kerangka mereka hingga hancur bahkan melilit kaki mereka. Aalisha empaskan ke tengkorak-tengkorak lain, tubuh mereka berbenturan, hancur berkeping-keping, berjatuhan ke lautan korosif, mereka binasa.
"Anila!" teriak Mylo, "belakangmu!" Gawat, Mylo tak sempat membuat pijakan baru dan ia tak bisa menjangkau jarak Anila. Terlihat enam tengkorak terbang ke arahnya padahal Anila tengah memasang cermin di dinding. "TIDAK, ANILA!!"
Rasanya detak jantung Anila terhenti karena meskipun ia selamat dari para tengkorak. Namun, ia akan jatuh ke lautan korosif karena pijakan lembingnya terlepas dari dinding. Hanya saja, tidak sedikit pun ia merasakan sakit atau terluka dan mati tenggelam. Melainkan para tengkorak berhenti di hadapannya bahkan satu tengkorak bersayap kini menjadi pijakannya, membuat Anila selamat dari malaikat kematian
"Kenapa bisa ...." Suara tetesan darah terdengar bersamaan ketika Anila membuka matanya, ia melihat Aalisha berdiri dari salah satu lembing dengan darah mengalir melalui hidung dan telinganya serta para tengkorak berhenti menyerang.
Sesaat gadis kecil itu menoleh ke belakang, ekspresinya masih datar malah diselimuti amarah. "Cepatlah, kemampuan mistisku tidak cukup kuat mengendalikan mereka semua, jadi jangan bengong saja kalian!"
Ketiganya mengangguk dengan cepat, Anila melangkah satu per satu bahkan hampir seperti berlari menginjak-injak para tengkorak, begitu juga Killian yang lekas mengatur posisi cermin sehingga cahaya sudah terpantulkan, Mylo pun masih tangkas melemparkan lembing yang tersisa sedikit demi sedikit sebagai pijakan-pijakan terakhir.
"Semua ini, kulakukan untuk tujuanku," gumam Aalisha yang hanya diam berpijak pada kerangka tengkorak serta tangan kirinya mencengkeram erat rantai besi. "Aku hanya menggunakan mereka, mereka tidak berguna bagiku, mereka hanya sekutu sementara."
Darah semakin banyak menetes, selain karena ia menggunakan kemampuan mistisnya, tetapi juga karena densitas Neith yang rendah di balairung ini, sangat memungkinkan seorang penyihir mati jika menggunakan teknik sihir tingkat tinggi terutama setara kemampuan mistis Majestic Families.
"Kak Aldrich, aku masih belum paham dengan semua yang kauajarkan dulu, termasuk apa arti sebenarnya dari ... keluarga." Genggamannya dari rantai besi lepas serta tubuhnya terjengkal ke belakang karena sudah tak kuasa menahan tekanan dan efek kemampuan mistisnya, ia pun terjatuh dari ketinggian dan hanya tinggal beberapa meter dari lautan cairan korosif yang semakin meninggi.
Sejenak, Aalisha bisa mendengar suara sang kakak yang selalu menasihatinya dengan perkataan, "Aalisha, Adikku. Kau tidak harus langsung memahami semuanya sekaligus, terkadang beberapa hal harus dipahami secara perlahan-lahan, jadi jangan paksakan dirimu dan nikmatilah selagi kaubisa. Suatu hari, kau akan mulai memahaminya, bukankah semua orang punya waktu mereka masing-masing untuk tumbuh dan belajar?"
Ibarat kilatan cahaya, Mylo muncul di dekat Aalisha dan menyerang para tengkorak bersayap hingga hancur berkeping-keping, ia melemparkan tongkat besi milik Anila ke langit-langit. Sementara Anila mendekap tubuh kecil Aalisha seraya merapalkan mantra sehingga dari besi yang tertancap mengalir tali Neith, lekas melilit tubuh mereka yang segera menarik mereka bertiga terbang ke atas. Namun, tak disangka ada tengkorak yang memotong besi penyangga lampu gantung berlian yang jatuh ke arah mereka bertiga, tetapi Anila dan Mylo menyerang lampu gantung tersebut dengan sihir hingga hancur berkeping-keping, lekas melindungi tubuh Aalisha dari puing-puing berlian kaca menggunakan barrier terbentuk dari Neith. Terlihat Killian Cornelius sudah berada di pintu kecil karena berhasil ia buka setelah teka-tekinya berhasil diselesaikan, tanpa pikir panjang ia ulurkan tangan untuk menggapai jemari Mylo yang lekas ia tarik agar segera masuk ke dalam karena cairan korosif membludak hendak memakan mereka.
"Kita selamat," kata Killian saat mereka berhasil menutup pintu ventilasi. "Hampir saja kita---"
Sayangnya tepat di belakang mereka, sosok berjubah hitam muncul dengan membawa cermin, menyerap tubuh Killian dan Aalisha hingga mereka menghilang dari sana.
"Sialan!" teriak Anila mengayunkan pedangnya hendak menyerang si jubah hitam, tetapi berhasil kabur menggunakan pentagram sihir. Meninggalkan Anila dan Mylo yang tetap berada di lorong sunyi, terpisah dari Aalisha sehingga menandakan jika petualangan mereka baru saja dimulai.
****
Suara terengah-engah karena degup jantung berdetak cepat serta rasa lelah menyeruak terutama ketika langkahnya yang tertatih-tatih itu berusaha melewati genangan air setinggi mata kaki sehingga kepyar-kepyur air beriak saking ia berusaha untuk kabur dari kejaran seorang gadis berambut hitam dengan bilah pedangnya, Aeternitas yang diselimuti Neith biru.
"Sudah kukatakan berulang kali, bukan aku yang membuat Anila dan Mylo terpisah darimu!" Lekingan suara Killian bergema, tetapi tak menghentikan langkah-langkah pelan nan seram gadis kecil di belakangnya. "Bukan aku pula yang membuat kalian kemari! Gelangnya tak ada padaku!"
"Kaupikir aku akan mempercayaimu?" ujar Aalisha De Lune, "pelaku takkan pernah jujur apalagi pengecut sepertimu, Cornelius." Dengan anggun, ayunan pedangnya menghasilkan serangan yang membelah genangan air dan hampir saja menorehkan luka andaikata Killian tidak melompat dan berlindung di balik pilar tinggi penopang.
"Bajingan!!" Menggeletar tubuh Killian karena dingin, tubuhnya juga basah, sempat ia terjatuh tadi. "Kautakkan pernah dimaafkan pihak keluargaku jika kaumelukaiku!"
"Kaumasih saja bodoh?" balas Aalisha kembali menyerang, ia tampaknya tak serius atau ia masih kelelahan setelah sempat pingsan. "Laporkan saja pada ayahmu itu, setelahnya ribuan armada De Lune akan membunuhmu dan seluruh keluarga Cornelius bahkan sebelum fajar menyingsing."
Suara Killian tak terdengar lagi karena ia menutupi mulutnya dengan kedua tangan, merutuki diri sendiri akibat ceplas-ceplos dan sesaat lupa jika Aalisha bukanlah lagi gadis miskin yang dulu selalu ia hina. Sementara itu, Aalisha mengedarkan pandangannya, tempat baru ia berteleportasi dengan Killian adalah ruangan yang sangat besar dan lebih gelap dari balairung sebelumnya. "Seperti goa atau ruangan bawah tanah yang rahasia, lalu aku benci jika dipenuhi genangan air lagi."
Lantai ruangan ini terbuat dari jenis batu amfibolit dengan warna abu-biru tua serta sedikit kasap jika diinjak dengan kaki telanjang, lalu di ruangan ini kemungkinan ada ratusan pilar-pilar tinggi sebagai penopang yang terbuat dari batu amfibolit juga, tidak ada ukiran khas, tak ada lentera menempel, dan tak ada pula pernak-pernik seperti lampu gantung.
Sebagian sisi ruangan maha luas ini sangat gelap, sisi lain cukup redup; bukan terang. Terakhir yang menjengkelkan adalah genangan air setinggi mata kaki atau lebih di kaki Aalisha sehingga membuat sepatunya terendam air. Ia belum mengecek setiap sudut karena kini amarahnya tertuju pada Killian, salah satu penyebab mengapa Aalisha bisa terlibat masalah kastil sihir dan artefak wabah tikus, tetapi Killian dengan egonya selalu menyanggah jika ia bukan dalang utama.
"Cornelius sialan ini," gumam Aalisha berpura-pura tak sadar jika Killian bersembunyi di balik salah satu pilar arah jam dua. "Kubunuh saja dia, Igniesco."
Manik mata Killian melebar karena pentagram biru melesakkan ledakan api hingga tubuhnya penuh luka bahkan ia harus melepaskan jubahnya karena terbakar, ia tersungkur ke depan, telapak tangan berdarah, dan ia kembali berlari dari kejaran Aalisha, tetapi naas terutama karena Aalisha lelah bermain pada petak umpet, maka untuk kedua kalinya gadis itu berhasil menyudutkan Killian di lantai hingga pakaian lelaki itu semakin basah kuyup. Dua besi menancap tepat di dekat telinga kanan dan leher kirinya sementara Aeternitas menancap di dekat selangkangan Killian, dejavu karena dua kali hampir saja lelaki itu kehilangan alat kelaminnya.
Dua jari di arahkan tepat ke dahi Killian, sang De Lune menatap tanpa ekspresi kentara, tetapi setiap ucapannya berbisa dan penuh ancaman nyata. "Berhenti berbohong, aku tahu kaupemilik gelang artefak yang membuka gerbang teleportasi ke kastil ini, kau juga pasti bersekongkol dengan orang lain agar mendapatkan pecahan artefak yang kumiliki, benar bukan? Sekali saja kebohongan kau lantunkan maka kupastikan kepalamu bolong, Kekaisaran Ekreadel takkan peduli jika kehilangan penerus Bangsawan Marquess Cornelius."
Killian terdiam sambil menatap Aalisha, tidak kunjung ada jawaban hingga beberapa menit berlalu. "Aku beri waktu hingga hitungan ketiga, jika tak kaujawab, maka kubunuhkau, satu ... dua ...." Jemari Aalisha dialiri Neith biru. "Tiga---"
Sekonyong-konyong, bulir air mata berjatuhan, suara isak tangis Killian Cornelius terdengar kencang memecah keheningan di tempat tersebut, makin-makin ia meraung-raung seraya berujar, "mereka akan membunuh ibuku, mereka mengancamku jika aku tak melakukan perintah mereka, maka mereka akan membunuh ibuku."
Tersedu-sedu lelaki itu hingga tak jelas bagaimana suaranya, tetapi ia masih berusaha tuk menjelaskan. "Aku tak punya pilihan, setiap kutolak, suara-suara itu terus memaksaku dan mengancam akan menyakiti ibuku bahkan akan membunuhnya jika aku tak menuruti mereka atau gagal dalam menjalankan misiku."
Sangat kacau wajahnya, ia berusaha pula menutupi karena malu menangis padahal ia dikenal sebagai keturunan Cornelius, bangsawan tinggi di Kekaisaran Ekreadel. Namun, sudah di ujung tanduk ia sembunyikan semua ini bahkan tak kuasa ia laporkan pada ayahnya sendiri. "Kau mungkin tak paham rasa sesak dan takutku, tapi aku masih berumur belasan, aku butuh ibuku sebagai tempatku untuk pulang, aku terpaksa melakukan semua ini atau mereka akan membunuh ibuku."
Aalisha hanya diam, ia menarik tangannya, menghentikan serangan, tidak ada perubahan emosi di wajah gadis itu, entah ia memang tak berempati atau semua ini hanyalah bagian dari topengnya. Tanpa basa-basi, ia tarik kerah seragam Killian, cengkeraman kuat itu berhasil membuat kepala Killian mendongak menatapnya. "Siapa mereka yang kaumaksudkan? Dan berhentilah menangis."
Isak tangis Killian perlahan-lahan berhenti, ia terbata-bata, tetapi berhasil berujar, "garis keturunan---"
Riak air terdengar di depan Aalisha, siluet hitam muncul bersamaan tangan dengan cakar tajam terayun sangat cepat ke arahnya dan Killian. "Sialan, ada monster!"
Dentuman terdengar riuh membahana ketika dua bocah itu terkena serangan hingga menggetarkan air dan lantai amfibolit tercetak bekas kuku tajam, serta darah menetes di atas genangan air. Namun, tampak kedua bocah selamat dan melompat mundur, Aalisha berhasil berpijak dengan sempurna meski darah menetes, sementara Killian lumayan terluka parah di bagian punggung dan ia terjatuh ke lantai serta berusaha untuk berdiri.
"Sudah kuduga," kata Aalisha, sementara Killian mengobati tubuhnya dengan mantra penyembuhan meski tak sempurna. "Air tenang yang menghanyutkan biasanya lebih menyimpan bahaya."
"Apa itu ... naga?" Killian mengusap bulir air mata, Aalisha berusaha tak peduli.
"Aku lebih ...." Suara langkah kaki sang makhluk bersayap menginjak genangan air. ".... senang menyebutnya sebagai Wyvern." Raungan membahana Sang Wyvern memenuhi aula maha luas tersebut.
"Makhluk itu punya dua kepala," ujar Killian gemetar, ia bahkan sulit menarik pedangnya dari sarung.
Aalisha menghela napas, ia jadi rindu pada seseorang. "Sialan, aku jadi teringat pada Aramis."
Sososk Wyvern di hadapan mereka, besar dan tingginya melebihi Aramis, sisik-sisik tubuhnya hitam dengan bagian perut berwarna biru tua, gigi putih terpatri dengan jelas, lidah hitam dan langit-langit mulut biru tua serta manik mata putih menyala, sayap-sayap hitam dengan bagian bawah biru tua, kuku-kukunya tajam nan panjang, serta yang paling berkesan adalah Wyvern itu memiliki dua kepala yang sama-sama meraung-raung.
"Rencana apa yang harus dilakukan?" kata Killian pada Aalisha yang malah memasang wajah penuh ejekan.
"Rencana? Kau pikir aku kini menganggapmu sekutu dan mau bekerjasama?" balasnya, "menjijikkan."
"Sialan! Bisakah kau berhenti meremehkan dan mengejekku di saat-saat genting---"
Semburan gas dan api membara dilesakkan ke arah mereka, maka Aalisha gunakan mantra gelombang air sebagai counter api tersebut, tetapi nyatanya uap-uap yang merebam seketika meledak karena sihir dari Wyvern tersebut, membuat kedua bocah terluka.
Mereka pun memutuskan untuk kabur karena belum ada informasi mengenai Wyvern tersebut bahkan berisiko tinggi karena kekuatan De Lune belum pulih terutama aula maha luas ini masih rendah densitas Neith-nya meski tidak serendah balairung sebelumnya.
"Kenapa kaukabur!" teriak Killian lari tunggang-langgang, cepyar-cepyur air bergema seiring langkah mereka.
"Mengacalah! Kau sendiri juga kabur mengikutiku!" teriak Aalisha.
"Tapi kau De Lune!" balas Killian.
"Dan kau makhluk rendahan yang akan mati dalam hitungan detik jika aku tak ada di sini!" balas Aalisha dan Killian terdiam membisu, menahan amarah dan iri dengki.
Wyvern berkepala dua di belakang mereka sungguh sangat gila nan ganas, meski tubuhnya besar dan aula maha luas ini dipenuhi pilar-pilar tinggi, tetapi sang Wyvern dapat mengepakkan sayapnya dan terbang sangat cepat, menukik, serta kepala kiri menyemburkan gas sementara kepala kanannya menyemburkan api sehingga daya serang jangkauan apinya semakin luas serta lebih berbahaya.
"Kaubodoh karena tak bisa menggunakan mantra dasar air!" teriak Aalisha.
"Aku bisa melakukannya!" teriak Killian.
"Kalau begitu lakukanlah sekarang juga!"
Decakan terdengar, Killian meski gemetar dan tidak fokus karena takut menyelimuti dirinya, ia berusaha menggunakan mantra air agar menyemburkan gelombang air dan menghentikan serangan api Sang Wyvern gila, tetapi hal itu tak cukup karena lebih parahnya adalah serangan gas menjadi serangan berupa cairan korosif yang dapat membuat kulit melepuh.
"Makhluk itu benar-benar menyebalkan," gumam Aalisha seraya merapalkan mantra yang bermunculan puluhan pentagram biru lalu rantai lekas melilit tubuh Sang Wyvern. "Cepat serang dia!"
"Monster sialan!"
Lekas Killian merapalkan mantra maka ombak dari air seketika menerjang tubuh Wyvern berkepala dulu hingga sisik-sisik dan seluruh tubuhnya basah kuyup. Lalu Aalisha mengarahkan tangannya tepat ke Wyvern, rapalan mantra dilantunkan bersamaan rantai-rantai besi yang menjadi dingin karena membeku, menjalar ke seluruh tubuh sang Wyvern, benar-benar secara sempurna membuatnya beku dan tak lagi dapat berkutik bahkan berteriak. Mereka berhasil memerangkap makhluk berkepala dua Itu.
"Kita berhasil?" Killian berujar dengan penuh bangga. Apakah barusan ia mampu menghentikan monster kuno di hadapannya ini dan bekerja sama dengan keturunan Majestic Families, sesaat ada binar di mata seperti ia bahagia, tidak heran bagi anak berumur itu yang merasa bangga atas pencapaian ini.
Sayangnya, belum lima menit, mereka mendengar suara retakan yang perlahan-lahan hancurlah es menyelimuti sang Wyvern, raungannya menggelegar di aula maha luas ini, tiba-tiba kedua kepala menyeburkan gas dan api hingga menyebar ke seluruh ruangan, sayap-sayap mereka terbuka sangat lebar seolah-olah siap untuk kembali terbang dan membunuh mangsa mereka.
"Sialan." Tanpa basa-basi, Aalisha pun berlari dan disusul oleh Killian, langkah mereka terdengar tak karuan serta tak berirama saking mereka harus terus mendorong diri karena sang Wyvern berkepala dua melesak sangat cepat ibarat anak panah tipis membelah langit-langit.
Keduanya sama-sama menggunakan mantra yang mereka bisa, dimulai dari Aalisha merapalkan mantra yang membuat genangan air di aula ini menerjang ke atas dan berusaha menghentikan sang Wyvern serta serangan bola apinya, bahkan terbentuk tali-tali air menjerat kedua sayap dan kaki Wyvern tersebut, tetapi tidak sampai tiga detik, selalu saja ia berhasil kabur dan menyemburkan api tak tentu arah. Sementara Killian menyerang dengan pedangnya, merapalkan mantra khusus dari keluarga Cornelius, tetapi tak satu pun serangannya berhasil menorehkan luka pada Sang Wyvern.
"Cornelius!" teriak Aalisha, "hentikan pergerakan Wyvern itu! Setidaknya satu menit!"
"Apa?! Kenapa harus aku!" teriak Killian, "tidakkah kaulihat jika sudah berkali-kali kucoba menyerangnya, tetapi tidak satu pun---"
"Jangan banyak omong! Turuti saja perintahku!" balas Aalisha dengan tegas.
"Bajingan!" teriak Killian, berhenti berlari, berbalik seraya merapalkan mantra yang khusus digunakan pihak bangsawan Cornelius. "Majestic Families hanya bisa memerintah saja!"
Rapalan mantra milik Killian menciptakan sosok makhluk hijau terang sedikit tembus pandang, berbentuk tengkorak dengan jubah membawa sabit dan berwarna hijau menyerupai hantu yang terus-menerus terbang mengelilingi sang Wyvern. Menyerang meski tak memberikan luka sedikit pun, tetapi hal tersebut sukses membuat Sang Wyvern sedikit terdistraksi. "De Lune! Cepatlah, aku sudah menghentikan pergerakannya!"
Dari kejauhan, terlihat Aalisha mengangkat tinggi pedang Aeternitas-nya yang bercahaya kebiruan hingga mencapai langit-langit aula maha luas tersebut, gemericik air terdengar ketika sekeliling Aalisha berembus angin---efek dari tekanan kekuatan Aeternitas-nya. Maka ketika teknik sihir Killian berhenti bekerja bersamaan raungan sang Wyvern berkepala dua. Suara Aalisha terdengar memenuhi aula tersebut. "Aeternitas, penuhi permintaanku!"
Suara gemuruh terdengar serta serangan yang membelah lautan air tersebut menerjang sangat cepat ke arah Wyvern berkepala dua yang menyemburkan bola api. Ketika serangan Aalisha bersinggungan dengan bola api Sang Wyvern, ledakan maha dahsyat terjadi dan cahaya biru terlukiskan serta angin kencang bertiup, perlahan-lahan asap membumbung memenuhi aula maha luas tersebut.
Berada di sisi lain, derap langkah kaki berlarian di sepanjang lorong-lorong panjang karena berusaha kabur dari banjir bah mengerikan, terlihat Mylo Cressida dan Anila Andromeda merapalkan banyak mantra untuk menghalau banjir tersebut menenggelamkan mereka. Kini memasuki ruangan yang berbeda, langkah mereka menjadi lambat ketika sesosok Zidraakhen tengah menghalangi jalan mereka.
"Mylo bersiap," ujar Anila memunculkan senjata magisnya.
"Ya." Mylo memanggil pedangnya serta tiga lembing biru. "Aku siap."
Sementara itu, di tempat yang berbeda dengan waktu sama. Aalisha dan Killian berhasil kabur dari kejaran sang Wyvern berkepala dua berkat serangan Aeternitas Aalisha sebelumnya, sayang sekali ia tak bisa membunuh makhluk tersebut, hanya membuatnya berhenti sejenak mengejar mereka karena harus menyembuhkan luka-lukanya.
"Sudah kuduga jika kau penyebab semua ini," ujar Aalisha pada sosok pria bertopeng yang ketika dibuka topengnya maka memperlihatkan wajah profesor Prambudi.
"Serahkan artefakmu, Nona De Lune," kata profesor Prambudi, "aku akan lepaskan kau dengan mudah jika kau mau memberikan artefak itu."
"Dalam mimpimu," balas Aalisha, "kau profesor jalang keparat."
"Jaga nadamu, kaubocah!"
Lekas pertarungan terjadi, suara dentangan antara senjata besi memenuhi aula tersebut hingga ledakan atas serangan mantra satu sama lain bahkan embusan angin efek dari kedua senjata mereka saling bersinggungan. Tiba-tiba Prambudi semakin mempercepat serangannya lalu melirik pada Killian.
"Kenapa kau diam saja!" teriak Prambudi seraya memunculkan pentagram sihir karena ia akan memanggil Zidraakhen kemari. "Apa kau lupa dengan tugasmu! Cepatlah ambil artefaknya dari bocah De Lune ini!"
Aalisha berdecak sebal, ia sudah memperkirakan jika Killian akan berkhianat terutama karena sifat pengecutnya serta posisinya yang terdesak karena ancaman ibunya akan dibunuh. Kini fokus Aalisha adalah menghentikan pemanggilan monster Zidraakhen melalui pentagram sihir profesor Prambudi. Setelahnya ia akan membunuh pria bajingan ini serta Killian.
"Kalian selalu bermain-main dengan sandera ya?" ujar Aalisha, "mengancam membunuh seorang ibu dan lainnya."
Profesor Prambudi malah tertawa kencang. "Ibarat perang, cara apa pun diterima dalam peperangan bahkan jika kami harus membunuh rakyat sipil dan seorang ibu sekali pun."
"Ah sungguh-sungguh menyedihkan." Aalisha menatap sinis, tetapi senyumannya terukir sangat lebar. "Bahkan kami para De Lune, tetap punya aturan dan etika dalam peperangan!" Ledakan terjadi ketika Aalisha merapalkan mantra Igniesco, sayangnya tak cukup untuk mengalahkan Prambudi yang notabenenya memang orang dewasa jadi tak bisa diremehkan.
"Sayang sekali De Lune," kata profesor Prambudi, "aku sangat membenci Majestic Families, terutama kau De Lune! Dan bersiaplah untuk mati dimakan Zidraakhen!" Cahaya pentagram-nya semakin terang, menandakan jika sebentar lagi monster itu akan ada di sini. "Bersiaplah mati."
Bukan rasa takut atau khawatir yang terukir di wajah Aalisha, melainkan senyuman lebar dan wajahnya yang congkak. "Maaf ya kau Makhluk Rendahan, tapi takdir selalu berjalan sesuai dengan keinginan ... De Lune!"
Sedetik sebelum Zidraakhen mengeluarkan kakinya melalui pentagram sihir, tiba-tiba ledakan terjadi ketika Killian Cornelius menyerang pentagram sihir tersebut sehingga menggagalkan pemanggilan.
Sukses membuat profesor Prambudi menjerit penuh amarah. "Cornelius bajingan!" Ia berteriak, "berani sekali kau berkhianat! Kami pastikan jika ibumu akan menderita! Beraninya kau lebih memihak pada gadis sialan ini dibandingkan kami!"
Tiba-tiba tubuh Prambudi dijerat rantai besi yang seketika dibawa terbang lalu dihantamkan ke lantai sangat keras seraya Aalisha angkat Aeternitas-nya dan menatap tajam sementara suaranya sangat pelan dan mengerikan. "Tentu saja dia menurutiku karena aku adalah De Lune Yang Agung!"
"Kubunuh kalian berdua!" Sekonyong-konyong suara raungan terdengar. "Apa?" ujar profesor Prambudi.
Hal ini mendistraksi pertarungan mereka. Dari kejauhan terlihat sang Wyvern berkepala dua menyemburkan api ke langit-langit hingga rasa panas menyeruak ke kulit-kulit mereka, tanpa aba-aba makhluk bersayap tersebut berlari ke arah mereka bertiga.
Aalisha tersenyum kecil seraya memunculkan pentagram sihir, merapalkan mantra, "Igniesco!" Sukses membuat ledakan serta pandangan mereka semua tertutupi asap-asap hitam. Maka menjadi kesempatan untuk Aalisha kabur serta Killian mengikuti dari belakang.
"Jangan kabur, kalian bocah-bocah nakal!" teriak profesor Prambudi, ia hendak mengejar kedua bocah Eidothea itu, tetapi tubuhnya terjengkang ke depan hingga wajahnya membentur lantai batu yang kasap. "Bajingan kau bocah De Lune!"
Ternyata pentagram sihir biru milik Aalisha masih berada di bawah kakinya dan rantai-rantai hitam melilit kedua kakinya, ia tak bisa kabur ke mana-mana, kinj terdengar langkah kaki berdebum serta geretan kuku-kuku tajam di lantai batu dan sesosok Wyvern berkepala dua berhenti di hadapan profesor Prambudi, raungan kencang terdengar karena makhluk itu siap membunuh targetnya.
"Oh tidak ...." Profesor Prambudi gelagapan dan sangat cemas. "Kita, kita seharusnya sekutu bukan?"
Sayangnya ketika ditatap manik mata putih menyalak tajam, raungan terdengar kencang serta kedua kepala membuka mulutnya, sukses menjadi pertanda yang terbaca dengan kentara bahwa ang Wyvern tidak pilih-pilih mangsa.
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
|| Afterword #33
Tampaknya mereka berempat harus berpetualang di kastil sihir untuk kesekian kalinya. Terlihat pula jika mereka lumayan bisa bekerjasama, meskipun terpaksa dan karena adanya komando dari si De Lune, mereka mudah untuk menurut.
Sekali lagi, para penjaga kastil sihir menganggap Aalisha sebagai Pendusta yang mengaku-ngaku sebagai Keturunan De Lune? Bukankah Aalisha memang berdarah De Lune ataukah ada hal tersembunyi yang tidak diungkapkan oleh Aalisha? Mungkinkah jangan-jangan Aalisha bukan keturunan De Lune seperti yang hendak dikatakan Killian.
Hmm, sepertinya mulai kita ketahui alasan Killian berbuat jahat karena diancam jika ibunya akan dibunuh? Apakah Killian pantas dimaafkan?
Kemudian akhirnya kita bertemu dengan Wyvern Berkepala Dua yang sesuai dengan Cover Book 2^^ Bagaimana ya kemampuannya?
Prins Llumière
Sabtu, 01 Februari 2025
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top