Chapter 43
|| Before I take my shotgun dan kill you all, vote dan komen serta cari posisi ternyaman karena chapter ini totalnya 6.229 kata^^
|| Beri komentar agar gue tahu reaksi kalian akan chapter ini!
Awan-awan hitam berarak menutupi wilayah Elysian Akademi Eidothea, dan sekitarnya sehingga makin mendung seolah-olah hujan akan turun kapan saja, angin yang membawa hawa dingin bertiup lumayan kencang, membuat pepohonan saling bergesekan ranting-rantingnya, suara gemerisik dedaunan serta semak-semak terdengar, hal ini cukup membuat orang-orang merasakan dingin sehingga beberapa murid memutuskan mengenakan sarung tangan padahal musim dingin belum tiba.
Aneh sekali karena para binatang maupun binatang magis yang biasanya akan keluar kandang, tampak memilih tetap bersembunyi di dalam. Lihat saja kuda-kuda di istal mereka, seharusnya sudah keluar untuk mencari rerumputan segar, tetapi setelah pagar dibuka, mereka memilih menelungkupkan wajah dan kembali tidur. Burung-burung juga saling berpelukan satu sama lain dan mengerami telur-telur mereka di sarang, tidak berpikiran mencari sarapan pagi, bahkan binatang magis seperti Bobynolous si gorila magis hanya memunculkan kepala mereka sejenak, melirik langit, lalu kembali bersembunyi di dalam kandang bersama koloni mereka, binatang-binatang magis lain juga memperlihatkan perilaku yang sama, mengapa mereka seperti itu? Barangkali karena akan hujan ataukah ada alasan lain yang hanya dipahami oleh mereka?
"Mengapa mereka tak mau keluar?" kata seorang prajurit bernama Rick, ia biasanya bekerja mengurus binatang biasa dan binatang magis. Pagi ini, ia hendak mengeluarkan para kuda untuk makan di tanah lapang.
"Entahlah," balas Verold mengedikkan bahunya, "aku baru saja dari kandang Bobynolous, biasanya mereka akan bersemangat ketika diberikan pisang, tetapi kali ini malah tidur di pojok kandang bahkan saling berpelukan. Mungkin musim kawin?"
"Mustahil," balas Rick, "musim kawin atau tidak, mereka selalu bersemangat apalagi sarapan pagi, tapi ini terlihat seperti ... sedang sakit?"
Verold menghela napas. "Biarkan saja mereka, kurasa karena cuacanya hendak hujan jadi mereka memilih bermalas-malasan, kita sudah menaruh makanan mereka jadi tak masalah, nanti kita laporkan hal ini pada tuan Howard."
Rick setuju, ia lalu mengikuti Verold pergi karena tugas mereka telah usai. "Ah kudengar, Akademi akan lebih sepi karena beberapa hari ke depan, banyak murid dikirim untuk misi secara berkelompok."
"Iya aku tahu, jadi hanya ada beberapa pengajar bertahan di sini," balas Verold, "oh hey Elijah ... kau sedang apa?"
Elijah yang melayang-layang di dekat pohon tersentak kaget, ia menelan saliva, dan berusaha untuk terlihat natural. "Uh hanya jalan-jalan pagi sambil melihat para burung, tapi mereka tidur."
"Para burung juga sama ya," gumam Verold.
"Semua binatang hari ini sepertinya tak bersemangat jadi mereka hanya tidur-tiduran saja," jelas Rick, "baiklah, kalau begitu kami pergi dulu untuk tugas lain." Mereka pun pergi dari area kandang para binatang dan binatang magis.
"Tentu saja, dadah," balas Elijah, masih diam melayang-layang, memastikan jika kedua prajurit tersebut benar-benar sudah pergi. "Ayo keluar."
Lekas dua Orly berbeda keluar dari balik pohon; satu Orly laki-laki yang mengenakan kemeja dengan celana cokelat selutut serta rambut hijau, sementara Orly perempuan dengan gaun biru tua dan rambut dikepang dua dengan warna merah maroon. Mereka berdua kembar meski berbeda jenis kelamin. Mereka bernama Jesper dan Juniper.
"Elijah terlalu baik," kata Jasper, mereka lekas menuju kandang Bobynolous. "Harusnya kita bunuh saja dua prajurit tadi."
"Betul tuh betul, mereka wajahnya jelek, aku tidak suka!" Juniper memekik jijik dan tetap melayang karena enggan turun dan mengotori sepatu indahnya.
"Kita tak bisa membunuh mereka," ujar Elijah dengan sabar, ia hendak menangis karena misi ini, tetapi karena perintah Sang De Lune, mustahil dia lawan. "Ayo fokus pada misi kita lebih dulu."
Jesper dan Juniper menganggukkan kepala, mereka membuka buku yang bersinar dan memunculkan pentagram sihir lalu terbang mengelilingi kandang Bobynolous. Terlihat satu Bobynolous terbangun dari tidurnya dan melirik pada Elijah, serta berujar, "grooah?"
"Kalian tidurlah, jangan khawatir, kami di sini hanya mau memasang pelindung di sekitar kandang," jelas Elijah dengan lembut.
"Grooah?" kata Bobynolous lagi.
"Ini perintah Sang De Lune," ujar Elijah, "dia khawatir pada kalian semua."
"Groahh!" Bobynolous itu tersenyum seraya membuat hati menggunakan dua tabgan, lalu kembali tidur dan mendekap kedua anaknya yang masih kecil.
Elijah menghela napas seraya melirik pada Jasper dan Juniper yang hampir selesai memasang barrier lapis tujuh di kandang ini, mereka sudah melakukan hal ini di beberapa kandang sejak pukul empat pagi tadi. "Kuharap prediksi, nona Aalisha benar." Elijah menggenggam erat baju di dadanya. "Dewi Aarthemisia D'Arcy, tolong lindungi setiap langkah nona Aalisha dan kawan-kawannya. Aamiin." Sejenak manik mata hijaunya bersinar.
Berada di sisi lain, meskipun gerimis hujan perlahan-lahan turun, tampaknya tidak menggetarkan tekad seorang gadis yang dibalut rapi seragam Eidotheanya, jubah Arevalous–nya sedikit berkibar karena tertiup angin dingin, rambutnya terurai panjang dengan sebagian dikepang waterfall, ia mengenakan knee high boots yang diikat kencang kedua talinya. Kini tampaknya Sang De Lune tengah berpijak di salah satu atap menara tertinggi keempat di Akademi Eidothea, ia melirik tajam dengan mata elangnya ke arah gerbang utama akademi ini. Terlihat setidaknya ada dua kereta kuda yang ditarik dua kuda berukuran besar. Berada di dekat sana, tiga Majestic Families menarik koper besar mereka, membawanya masuk ke satu kereta kuda khusus barang-barang mereka. Lalu ada seorang pria dengan rambut merah panjang, pakaian bangsawan, kemungkinan salah satu profesor di angkatan kedua.
"Seperti rumornya," gumam Aalisha, "mereka bertiga akan pergi menjalankan misi, sementara profesor pembimbing bukan Arthur karena master sialan itu ada misi berbeda dan sudah pergi sejak beberapa hari sebelumnya."
Cyubes di dekatnya melayang-layang, memperlihatkan tulisan berupa informasi-informasi yang sudah ia rangkum. "Tidak kusangka jika memang benar banyak angkatan atas yang menjalankan misi, mungkin karena memasuki bulan di mana pesanan misi datang ke Eidothea."
Aalisha berani bertaruh jika hampir setengah dari murid-murid di Eidothea, tidak ada di sini karena misi yang mereka terima secara berkelompok. Para pengajar yang terpilih sebagai pembimbing kelompok sehingga mereka tak berada di Eidothea juga. Meski pembelajaran tetap berlangsung, entah belajar mandiri atau diganti Orly sementara menyampaikan materi, para murid yang hadir hanya sedikit karena sisanya berada di misi lapangan.
Sebenarnya semua ini adalah agenda normal di Akademi Eidothea yang memang selain teori diajarkan, serta praktik di lapangan, mereka juga akan langsung menerima misi dan menghadapi permasalahan yang ada. Namun, murid-murid menerima misi, baru bisa ketika di angkatan tahun kedua.
"Sungguh menyebalkan," gumam Aalisha seraya melirik ke sisi lain Eidothea, beberapa kereta kuda sudah lebih dulu berangkat. "Profesor Eugenius, sedang ada urusan di Kerajaan Khoecheniel terkait rapat, profesor Xerxes masih belum kembali dari urusan dengan Keluarga Nerezza, profesor Rosemary sudah pergi dengan timnya sejak kemarin, profesor Astrophel juga ada misi dengan tim didikannya, jadi yang tersisa hanyalah beberapa pengajar angkatanku dan atas, tetapi mereka semua bukan berdarah Majestic Families. Namun, selagi profesor Madeleine masih di sini, kurasa semuanya akan baik-baik saja. Kuharap."
Senyumannya pudar ketika melirik pada pria bermanik mata biru tanzanite yang sibuk mengobrol dengan profesornya. "Mari mulai jalankan rencana kita," ujar Aalisha di Cyubes-nya yang tersambung dengan milik Anila dan Mylo serta kawan-kawannya yang lain.
Maka tanpa rasa takut, Aalisha sibak jubahnya seraya ia melompat dari ketinggian bermeter-meter tersebut bak seekor burung menukik dengan tajam nan indahnya kemudian mendarat dengan sempurna di tanah, lekas Aalisha berjalan ke dalam kastil akademi.
Sayang sekali, gadis De Lune itu tak sadar jika sosok pria bermanik mata biru tanzanite menatap ke arahnya sejak ia naik ke atas atap menara. Kini Athreus Kieran Zalana kembali melirik atas atap menara. "Ah dia sudah pergi," gumamnya sangat pelan. "Kupikir dia akan memberikan ucapan selamat tinggal." Ia terkekeh dan senyam-senyum tidak jelas.
"Kauhilang akal ya? Tersenyum sendiri seperti orang gila," ucap Eloise sambil menyerahkan dokumen ke Athreus dengan kasar. "Pegang itu dan buat strategi secepat mungkin."
"Wow, wow, bukankah kaujuga cerdas, Nona Clemence? Kenapa harus aku yang membuat strategi?" balas Athreus dengan kekehan kecil.
"Karena ini perintah profesor!" teriak Eloise, "lagi pula aku malas membuat strategi, kaulebih ahli." Ia lekas berjalan ke arah kereta kuda dan naik lebih dulu.
Athreus menghela napas, menatap tajam pada profesor Christouer Gervasius yang sedang mengobrol dengan Nicaise dan seorang Orly yakni Xerafhim. Profesor Gervasius selaku pengajar di bidang kelas Sejarah angkatan kedua Eidothea, dia menjadi pengganti dalam misi kali ini karena seharusnya master Arthur yang membimbing tim mereka, tetapi Arthur tiba-tiba ada urusan dadakan, entah urusan apa, mereka tak terlalu peduli karena Arthur memang terlalu banyak rahasianya.
"Bagaimana Athreus, apakau bisa mengatur strategi untuk kalian nanti?" ujar profesor Gervasius.
"Oh tentu saja aku bisa Profesor," kata Athreus, "ini adalah keahlianku."
"Jikakau tak bisa, biarkan aku yang membuat strateginya," sahut Nicaise selesai mengobrol dengan Xerafhim yang menghilang begitu saja.
"Jangan susah payah, Nic." Athreus tersenyum tipis. "Kautahu bukan jika nilai strategi perangku lebih unggul darimu."
"Kita hanya beda beberapa poin saja," sahut Nicaise. Hingga mereka terdistraksi dengan suara ketukan kereta kuda.
"Cepatlah masuk kalian berdua," ucap Eloise dengan tajam. "Atau kubakar kalian dan gunakan strategiku dengan cara membakar semuanya sampai jadi abu."
Helaan napas Nicaise dan Athreus terdengar. Mereka pun langsung menaiki kereta kuda sementara profesor Gervasius naik kuda hitamnya sendiri. Mereka pun berangkat untuk menjalankan misi mereka. Meninggalkan Eidothea dalam beberapa waktu yang takkan diketahui siapa pun kecuali Sang Takdir.
****
Suara debuman terdengar membuat semak-semak dan rerumputan gosong, disusul suara dentangan pedang besi sehingga burung-burung di pepohonan terbang menjauh. Kilatan cahaya terlihat ketika mantra dirapalkan dengan cepat untuk menyerang targetnya.
"Sudah kami duga jika kalian sejak lama mengincar Killian!" teriak seorang gadis dengan jubah Drystan, ia adalah Chloe salah satu sahabatnya Killian Cornelius. "Pantas saja, akhir-akhir ini Killian bersikap aneh, ternyata kalian penyebabnya!"
Tiba-tiba Alejandro menggunakan mantra, menciptakan pedang tajam dari Neith, dilesakkan ke arah Anila Andromeda, tetapi berhasil ditangkis oleh Mylo. "Kami tidak paham maksud kalian, tetapi kami bukanlah penyebab kawanmu bersikap aneh!"
"Jangan mengelak lagi," sahut Alejandro dengan sinis, "sejak awal kalian memang pembuat onar hanya karena dekat dengan De Lune. Kini saja kalian merencanakan sesuatu untuk menghancurkan Eidothea."
"Apa?!" teriak Anila, suaranya menggelegar di taman dalam akademi tersebut. "Kaupikir kami mau menghancurkan akademi ini?!"
"Tentu saja, Killian lah yang mengatakannya, kalian dan si De Lune merencanakan kejahatan dan hendak menghancurkan akademi, kemudian Killian memergoki kalian, atas inilah kalian mengincarnya dan hendak membunuhnya!" jelas Chloe sangat cepat.
"Kami mau menghancurkan Eidothea?!" Suara Anila meninggi jelas ia kesal dengan alasan bodoh Killian. "Sekarang kutanya apa untungnya kami menghancurkan akademi ini huh?! Lalu cara apa yang kami lakukan hmm, apa Killian memberitahukan kalian?"
Alejandro dan Chloe terdiam membisu, mereka berhenti melayangkan serangan, kini keduanya saling bersitatap. Mylo akhirnya berujar, "jika benar kami hendak menghancurkan Eidothea, kenapa Killian tak melaporkan hal ini pada pengajar?"
"Karena kalian mengancamnya," ucap Chloe.
"Apakah ada bukti?" balas Anila, "atau hanya dari ucapannya saja?" Tidak ada jawaban dari Chloe maupun Alejandro, menandakan jika mereka pun meragukan perkataan sahabat mereka sendiri.
Mylo menghela napas. "Kami tidak ada niat untuk menghancurkan Eidothea bahkan kami tak mengancam kawan kalian ...."
"Lalu kenapa kini kalian mencarinya huh? Kenapa kalian ada di koridor ini?" sahut Chloe lagi.
"Kaupikir koridor ini punya leluhur Killian, lalu asumsi dari mana kami hendak mencari Killian?" sahut Anila mulai geram. Ia dan Mylo memang kemari untuk menuju koridor yang biasa Killian gunakan untuk masuk ke gerbang teleportasi, tetapi sebelum sampai di sana atau bertemu dengan Killian, mereka tiba-tiba diserang oleh Alejandro dan Chloe lalu dituduh macam-macam.
"Kenapa hanya diam jawab kami!" ujar Mylo, "atau jangan-jangan kalian lah bersama Killian yang merencanakan hal jahat di sekitar sini, lalu saat kami lewat kalian takut ketahuan sehingga kalian menyerang kami---"
"Tutup mulutmu Cressida," balas Alejandro, "kami tidak memiliki rencana jahat apa pun, kami tidak licik seperti kalian dan si De Lune. Lagi pula kami di sini untuk ...." Alejandro merasa lidahnya kelu.
"Untuk apa?" Anila mencengkeram kuat pedangnya. "Cepat jawab atau kami laporkan kalian ke profesor Madelaine karena kalian terlihat mencurigakan terutama berani menuduh kami melakukan kejahatan."
"Baiklah, baiklah!" teriak Alejandro, "kami di sini karena mengikuti Killian, dia selama sebulan ini terlihat aneh, terkadang melamun dan berbicara sendiri lalu izin tak jelas untuk menghindari kelas."
"Kenapa kau beritahu, bodoh?!" teriak Chloe.
"Aku tidak punya pilihan," balas Alejandro.
Anila dan Mylo tentu saja paham jika Killian bertingkah aneh karena gelang artefak ke kastil sihir, barangkali pula dipengaruhi efek negatif artefak, tetapi mereka cukup terkejut karena Killian tidak terbuka sedikit pun ke kedua kawannya.
"Kauberkata jika Killian ada di sini," ujar Anila, "apa yang dia lakukan?"
"Kami tidak tahu," balas Chloe, "dan bukan urusan kalian! Terutama kau Andromeda, berhentilah selalu ikut campur hanya karena kaucerdas."
"Aku memang cerdas, maaf jika hal ini membuatmu iri," balas Anila.
"Sialan," geram Chloe, "kaubenar-benar membuatku kesal! Meski kau memiliki beberapa sel otak lebih banyak, jangan meremehkanku karena aku juga bisa unggul dibandingkan kau!"
Kini Mylo dan Alejandro hanya diam menatap pertengkaran kedua gadis tersebut, mereka setuju satu sama lain jika para gadis lebih seram saat bertengkar karena ketika adu mulut, maka segala perkataan menyakitkan akan dilontarkan.
"Ada yang datang!" teriak Alejandro, "semuanya merunduk!" Tiba-tiba serangan sihir melesak ke arah mereka, tetapi berhasil Alejandro hentikan.
Mereka berempat menatap pada dua sosok tinggi seperti pria dewasa, mengenakan pakaian serba hitam, serta topeng putih dengan garis senyum hitam sebagai ukiran tambahan di topeng tersebut. Tanpa mengulur waktu, mereka kembali menyerang.
"Menyebalkan," ujar Anila mengayunkan pedangnya ketika kapak besi hitam nan kuat hampir memenggal kepalanya. "Mylo."
Lekas Mylo dengan pedang tipe Claymore menerjang kuat meski cukup lambat karena terlalu berat, tetapi berhasil memukul mundur musuhnya hingga terpental jauh. Sementara musuh kedua diserang oleh Chloe dengan kombinasi kekuatan sihirnya Alejandro, membuat musuhnya terpukul mundur pula.
"Kau baik-baik saja?" kata Anila karena Mylo terlihat kelelahan, ia belum terlalu ahli menggunakan tipe pedang besar.
"Sedang berusaha," ucap Mylo.
"Apa mereka Orly?" ujar Chloe, "kenapa menyerang kita... hey! Killian! Itu Killian!"
Mereka melirik ke arah koridor yang berbeda, terlihat Killian Cornelius tengah memantau mereka, ketika ketahuan maka lelaki itu kabur secepat mungkin.
"Kenapa kaukabur?!" teriak Alejandro, "gawat mereka menyerang kembali!" Terlihat dua musuh mereka kembali bangkit dan memunculkan pentagram sihir merah dan kuning menyala.
Anila melirik pada Mylo, lalu mereka saling menganggukan kepala. "Friqus Aquamerium," teriak Mylo menciptakan pentagram sihir lalu air bah turun dengan cepat membuat semuanya basah serta air tergenang di mana-mana.
"Igniesco!" teriak Anila yang seketika pentagram miliknya berhasil menciptakan serangan api yang sangat besar, ketika berseteru dengan air milik Mylo, air tersebut menguap yang menciptakan uap panas serta menutupi pandangan mereka.
Tanpa aba-aba, Anila dan Mylo kabur dari sana dan lekas mengejar Killian, tidak mereka pedulikan akan kedua musuh mereka yang masih terjebak dengan Chloe dan Alejandro karena tujuan mereka adalah menangkap Killian Cornelius.
"Mereka kabur!" teriak Chloe terbatuk-batuk dan ia gunakan sihir agar menghilangkan asap di sekitar mereka. "Semua ini pasti rencana mereka!"
"Menyingkir dari sana!" Darah memuncrat dari perut kanan Alejandro ketika kapak musuh berhasil melukainya, kini Alejandro ambruk ke tanah. "Diffunditur Elektra!" Listrik bertegangan tinggi berhasil mengalir melalui kapak musuhnya, tetapi tidak bereaksi apa pun. "Sial!"
Rasa sakit menyeruak ketika musuh kedua maju dengan cepat, sepatu boots yang tebal lekas menendang perut Alejandro, membuatnya memuntahkan saliva bercampur darah, ia pun terempas sangat kuat hingga tubuhnya menghantam bangku taman yang terbuat dari batu.
"Alejandro!" teriak Chloe yang diam membisu karena dua musuh tiba-tiba tepat berada di depannya. Ia munculkan pedang magisnya seraya ia aktifkan. "Ignitio!" Maka ledakan besar terdengar hingga asap membumbung ke udara. Chloe ayunkan pedangnya hingga menghancurkan kapak kedua musuhnya, salah satunya terkena serangan hingga perutnya terkoyak.
Dalam sekejap, Alejandro meski berdarah, ia melompat ke depan Chloe seraya mengayunkan pedangnya yang dilapisi Neith sehingga semakin kuat, ia berhasil melukai musuh kedua, darah mengucur deras, tubuhnya terpental, tetapi tidak mati. "Sebenarnya siapa kalian?"
Tidak ada jawaban karena tiba-tiba musuhnya kembali berdiri dengan telapak tangan terbuka lebar. "Vidit Calidum Mass!" Rapalan mantra itu terdengar, muncul bola merah gelap yang panas, terus berputar-putar, bermunculan besi-besi tajam seiring perputaran bola yang semakin membesar serta akan mengiris setiap tubuh targetnya hingga menjadi daging cincang. "Binasalah kalian dengan kekuatanku ini."
Lalu rekannya menggunakan pentagram sihir yang membuat tubuh Chloe serta Alejandro terpaku di rerumputan, mereka tak bisa kabur, Alejandro tampak bersusah payah untuk berdiri dan melindungi Chloe yang sudah ketakutan setengah mati, tetapi keduanya sama sekali tidak bisa berdiri barang menggerakkan ujung jari pun.
"Siapa pun tolong kami!" teriak Chloe.
"Gawat," geram Alejandro dan tangannya mencengkeram rerumputan sangat kuat. "Ayo tubuhku, bergeraklah."
"Selamat tinggal, bocah-bocah akademi sialan---"
"Hippi!" Menyembul kepala seekor Hippibia biru dari dalam semak-semak di dekat kaki musuh bertopeng putih tersebut. "Hippi?" Terlihat jika binatang itu menelengkan kepalanya karena kebingungan.
"Makhluk apa ini?"
Dalam hitungan detik, bulu binatang biru tersebut berdiri semua bersamaan tubuhnya dialiri listrik bertegangan tinggi, sekejap saja, serangan petir yang sangat mengerikan menjalar ke kedua tubuh sosok bertopeng putih hingga mereka kejang-kejang dan serangan sihir berbentuk bola merah gelap langsung sirna begitu saja.
"Ignitio." Suara lembut terdengar bergema, bersamaan langkah kaki berhenti, jubah Arevalous tersibak, dan ayunan pedang Aeternitas diselimuti Neith biru pudar berhasil memenggal kepala salah satu sosok bertopeng putih hingga tubuhnya ambruk dan kepalanya menggelinding di rerumputan.
Manik mata Alejandro dan Chloe membesar, mereka terkejut bukan main hingga tak bisa berkata-kata saat melihat sesosok gadis dengan rambut hitam sebagian dikepang waterfall berhenti tepat di hadapan mereka bahkan memenggal kepala musuh dengan begitu mudahnya seolah-olah mencabut kepala boneka yang telah sobek.
Tak sedikit pun mereka berkedip meski musuh kedua menerjang maju seraya mengayunkan belati dilapisi racun, tetapi gadis De Lune tersebut dengan mudah menghindari, menangkap pergelangan tangan musuhnya yang memegang belati, lalu pentagram muncul serta rantai besi melilit musuhnya. Sang De Lune kembali mengayunkan pedangnya hingga menusuk jantung target, darah merembes ke rerumputan. Ketika ia cabut pedangnya lagi, tubuh sosok bertopeng tersebut ambruk ke tanah, tak bernyawa. Maka pentagram sihir yang memerangkap Alejandro dan Chloe langsung binasa pula.
"Kuyakin bangsawan seperti kalian sudah terbiasa melihat darah dan kepala terpenggal." Aalisha De Lune berbalik menatap dengan datar pada Alejandro dan Chloe. "Jadi kalian takkan trauma melihat semua ini, 'kan?" Seringai kecil terukir, betapa ia puas melihat ekspresi Alejandro dan Chloe.
"Aku peringatkan. Jangan ikut campur atau kupenggal kepala kalian berdua." Tanpa banyak basa-basi ia melangkah dari sana. "Ayo Hippi, kauikut aku."
"Hippi, Hippi!" Lekas Hippibia melompat ke puncak kepala Aalisha.
"Kita selamat," ujar Chloe terduduk di rerumputan, ia lebih trauma melihat tatapan mengerikan Aalisha dibandingkan hampir mati oleh dua musuh yang entah berasal dari mana. Sejenak ia melirik pada dua musuhnya yang tubuh mereka malah perlahan-lahan menjadi abu, entah makhluk apa mereka. "Alejandro, apa kau baik-baik saja? Bagaimana dengan lukamu?"
Tak ada jawaban dari Alejandro, ia hanya diam saja meski masih sadarkan diri. "Hey, kenapa kau diam saja?! Apakah kau pingsan atau lukamu terasa sangat sakit, kita harus segera membawamu ke rumah sakit."
"Oh Jagad Dewa." Entah mengapa suara Alejandro malah terdengar senang dan penuh pujian. "Gadis De Lune itu ternyata cantik juga."
"Bodoh! Bukan saatnya untuk memuji dia! Kauharus ke rumah sakit karena selain badanmu terluka, otakmu juga terluka!" teriak Chloe merasa sangat-sangat kesal detik ini. "Sialan, aku benci dia."
Meskipun tak bisa ia mungkiri jika Sang De Lune benar-benar gadis yang keren.
****
Telah berkali-kali Killian Cornelius melancarkan serangan dengan gugup serta rapalan yang tak sempurna sehingga beberapa mantranya gagal ia gunakan dan berakhir ia yang tersudutkan. Luka-luka kecil tercipta bahkan tadinya jubah Drystan yang ia kenakan terbakar, terpaksa ia buang, kini ia hanya mengenakan kemeja putihnya dan celana sekolah, ia benar-benar di ujung tanduk karena amarah Anila Andromeda.
"Kurasa kita sudah berlebihan, dia tak biaa melawan---"
"Diamlah Mylo," tukas Anila dengan tajam. Ia mengeratkan genggamannya pada gagang pedang. "Selama ini aku sudah menahan amarahku, tapi kini tidak lagi! Karena kau Cornelius, kaumembuat Aalisha beberapa kali terluka. Jadi serahkan gelangnya pada kami!"
"Aku tak punya gelangnya!" teriak Killian melangkah mundur pelan-pelan.
"Pembohong." Anila berdesis. "Aku bilang serahkan gelangnya." Tanpa aba-aba, ia menyerang Killian menggunakan mantra hingga lelaki itu terjatuh ke tanah, memuntahkan darah, dan pedang tajam Anila persis di dekat lehernya.
"Anila, bagaimana kalau dengarkan dulu penjelasannya," ujar Mylo, "dia bilang jika tak memiliki gelangnya."
"Kaubodoh, Mylo?" sahut Anila, "bagaimana bisakau percaya padanya?! Dia kemari artinya hendak membuka gerbangnya!"
"Tidak! Aku kemari karena mau mencari gelangnya, seseorang mencuri gelangnya dariku!" teriak Killian dan sukses membuat Anila maupun Mylo terdiam membisu.
"Apa?" kata Anila, "kaupasti membodohi kami, aku tak percaya dengan kata-katamu."
"Tidak, aku tak berbohong ...." Manik mata Killian membulat lebar. "Di belakang kalian!"
Sekonyong-konyong, muncul kesatria berzirah hitam besar dan berdentang-dentang, sungguh mengerikan karena baju besinya bersimbah darah, ia melompat dan mengayunkan pedangnya. Lekas Mylo maju dan memunculkan pedangnya seraya ia ayunkan sekuat tenaga, menangkis pedang musuhnya agar tak melukai Anila, kini dua pedang saling bersinggungan. "Tenaga mereka terlalu besar! Ughh!" Naas sekali karena Mylo kalah secara fisik dan tenaga hingga membuatnya tersayat di bagian lengan kemudian tubuhnya terempas ke belakang. Darah menetes ke lantai batu.
"Gawat, kenapa kesatria Eidothea ini menyerang kami?"
Anila lekas melindungi Mylo dengan melancarkan serangan mantra bersamaan ayunan pedang yang ledakan tercipta hingga percikan api di mana-mana, asap hitam menyebar. Lekas Anila lenyapkan semua asapnya agar tak menutupi pandangan. Detik itu ketopong melindungi kepala Sang kesatria berzirah hancur, memperlihatkan wajahnya yang pucat pasi, penuh luka dan bekas darah mengering, serta paling kentara adalah mata tanpa kehidupan dan memerah serta mulut berbusa, lalu di lehernya seperti ada gigitan binatang pengerat.
"Mustahil," ujar Killian dengan suara gemetar. "Apakah itu ...." Tampaknya selain Killian, terlihat jika Anila dan Mylo juga menyadari hal yang sama.
"Dia mayat hidup!" Anila berteriak memberi kode yang lekas disadari oleh Mylo, maka tanpa basa-basi ia melapisi tombaknya dengan Neith seraya dilemparkan sekuat mungkin hingga menusuk tubuh sang kesatria, tetapi tawa kesatria malah menggelegar, ia tak mati.
"Dia monster! Bagaimana bisa ini terjadi? Apakah ada binatang tikusnya!" ucap Mylo.
"Fokus!" teriak Anila, "bukan saatnya untuk---"
Pertarungan pun terjadi karena tampaknya tidak hanya satu, tetapi dua kesatria mayat hidup muncul di koridor itu dan menyerang mereka. Anila dan Mylo bekerjasama untuk saling melindungi satu sama lain, sementara Killian hanya terdiam dengan tubuh gemetar, ia tak kuat kabur saking takutnya, tak tahu harus bereaksi seperti apa pula karena kini dadanya sesak dan ia kesulitan bernapas, sepertinya rasa panik menyerangnya.
"Killian! Apa kau memanggil mereka!" ucap Mylo menarik kerah seragam Killian. "Kau penyebab semua ini 'kan?! Katakan pada kami!"
"Bukan aku ... aku tak bersalah," ujar Killian dengan bibir gemetar.
"Pembohong!" teriak Mylo yang tangannya gemetar, ia sungguh takut pula jika benar tiga kesatria yang mereka lawan adalah hasil dari wabah tikus zombie, hasil dari artefak sialan. "Kautahu bukan jika mereka bukan manusia lagi? Kau yang melakukan semua ini huh!"
"Mylo! Fokus, mereka akan---sialan!" Seketika tekanan gravitasi yang kuat memerangkap mereka bertiga hingga tubuh mereka terjatuh ke lantai, maka tiga kesatria tersebut memunculkan bola api yang perlahan-lahan membesar dan semakin besar.
"Aku tak bisa bergerak!" jerit Mylo, "Killian hentikan mereka!"
"Sudah kukatakan! Bukan aku dalangnya! Aku hanya diancam menuruti perintah mereka!" Killian meneteskan air mata hingga ke lantai dan ia terisak.
Mylo terdiam membisu, jika bukan Killian? Maka siapa yang membawa wabah tikus sampai menggigit tiga kesatria ini? Apakah dalangnya adalah profesor Prambudi atau ada seseorang tak mereka ketahui dan menjadi akar semua masalah yang mereka hadapi?!
"Aku tak bisa bergerak!" ucap Mylo, "Anila lakukan sesuatu!"
"Aku berusaha!" teriak Anila, "aku bingung harus menggunakan mantra apa!" Ia gigit bibirnya lalu merapalkan mantra yang menciptakan pentagram sihir, tetapi tiba-tiba pentagram milik Anila hancur dan mantranya gagal.
"Kenapa mereka bisa menggunakan sihir?!" Anila berdecak sebal.
"Kita akan mati," gumam Killian perlahan-lahan menitikkan air mata lagi.
"Jagad Dewa!" teriak Mylo dengan susah payah merangkak ke dekat Anila kemudian mendekap tubuh gadis itu untuk melindunginya karena bola panas di pentagram semakin membesar. "Aalisha, cepatlah datang." Mylo mendekap Anila semakin erat, lebih baik ia yang terluka dibandingkan Anila, pikir lelaki itu.
Suara ranting pohon terinjak terdengar, salah satu kesatria zirah hitam menghentikan serangannya, mengubah bola apinya menjadi pedang api seraya ia ayunkan dengan cepat bersamaan pedang dilapisi Neith biru membentur hingga tercipta ledakan serta angin bertiup kencang.
"Hippi!" teriak Aalisha maka Hippibia di atas kepalanya melompat, kedua tangannya bermunculan percikan listrik yang seketika menjalar ke sekitar dan berhasil menyerang tiga ksatria zirah hitam hingga tubuh mereka kejang-kejang akibat tegangan listrik yang sangat kuat.
Tiga kesatria itu ambruk ke tanah meskipun masih hidup, tetapi Aalisha tidak memberi ampun, ia rapalkan mantra yang sukses besi-besi hitam panjang keluar dari dalam tanah dan menusuk tubuh musuhnya hingga tembus dan mereka menjulang tinggi setara langit-langit atap koridor di sini dan darah amis merembes ke lantai. Lalu pentagram yang memerangkap Anila, Mylo, dan Killian hilang begitu saja. Beberapa detik kemudian, mantra besi-besi tersebut hilang dan tubuh para kesatria zombie berjatuhan ke lantai.
"Pantas tragedi wabah tikus, memberi dampak kehancuran yang besar." Aalisha melangkah melewati Anila dan Mylo, menuju Killian yang masih tertunduk di lantai. "Ternyata mereka yang sudah jadi zombie, bukannya sekadar menyerang seperti binatang buas tak berakal dan hanya kelaparan, tetapi mereka masih bisa menggunakan sihir layaknya ketika masih hidup."
Killian perlahan mendongak menatap Aalisha. "De Lune---arrgh!" Ia memuntahkan saliva ketika Aalisha sekuat tenaga tanpa ampun menendang ulu hati Killian hingga terempas kuat, wajahnya bergesekan dengan lantai batu hingga terluka dan memerah. "Tunggu, dengarkan aku---arrgh!"
"Teruslah menggonggong seperti anjing." Aalisha berujar tak berperasaan, sungguh mengerikan karena ia mengenakan knee high boots sehingga ketika menendang wajah Killian, sukses membuat darah menetes keluar dari hidungnya. "Aku senang ketika seseorang terus menggonggong di bawah kakiku."
Percuma bagi Killian hendak melawan karena tangan kirinya diinjak oleh Aalisha, telapak tangannya ditusuk dengan sarung pedang hingga tak bisa bergerak lalu Aalisha injak dada Killian hingga benar-benar lelaki itu tersudutkan di bawah kaki Sang De Lune, senyuman Aalisha terukir lembut.
"Sekarang jawab aku." Suaranya sangat pelan seperti bisikan membawa kematian. "Di mana gelangnya?"
"Sudah kukatakan! Aku tidak tahu! Aku tak memiliki gelangnya!" teriak Killian dan menangis, ia sangat menyedihkan karena wajahnya pucat pasi serta matanya memerah karena tangisan. "Seseorang mencurinya dariku kemarin!"
Aalisha terdiam. "Kau bilang apa? Seseorang mencurinya darimu---" Aalisha tersentak lekas ia berbalik karena mendengar suara raungan.
"Mereka belum mati," kata Anila yang kini melangkah mundur bersama Mylo.
"Apa yang mereka lakukan?" ujar Mylo
Terpaksa Aalisha melepaskan Killian. Kini dia berfokus pada tiga kesatria yang ia yakini sudah mati, tetapi nyatanya ketiga makhluk tersebut, tubuhnya meleleh, zirah-zirah besi berdentangan jatuh, mereka bergerak mendekat satu sama lain kemudian saling menyatukan tubuh mereka, semakin membesar setiap tubuh mereka bersatu dengan cara menjijikkan bahkan suara-suara tubuh tersebut menempel sungguh membuat mual. Terciptalah sosok monster dengan satu badan gemuk seperti gorila, memiliki lebih dari satu tangan dan kaki, mata di badan karena tak mereka ketahui di mana letak kepala monster tersebut serta memiliki tiga mulut yang perlahan-lahan membesar hingga sebesar mulut ikan hiu dan lidah terjulur keluar.
"Kurasa kita tidak benar-benar tahu bagaimana kekuatan asli dari artefak Blackshadow Wysavaris sampai bisa menciptakan monster itu," ujar Mylo, mereka perlahan-lahan melangkah mundur bahkan Killian berada di belakang juga melangkah mundur karena ketakutan.
"Ya, sepertinya selain menciptakan wabah tikus zombie, artefak itu juga menciptakan monster menjijikkan yang tubuhnya saling bersatu," balas Anila mengeratkan genggamannya di tangan Mylo.
"GROAARGGGGGGHHH!" jeritan sang monster menjijikkan bergema di sepanjang koridor akademi.
Dengan kesadaran penuh meski diliputi ketakutan, Anila dan Mylo membantu Aalisha menciptakan barrier pelindung karena lebih baik kabur dan meminta pertolongan dari pada melawan monster menjijikkan, tetapi semburan cairan hitam dari dalam perut monster, mirip dengan cairan korosif membuat ketiga murid Arevalous terkejut bukan main.
"Sialan! Kurasa itu cairan yang akan mengubah kita jadi zombie!" teriak Anila.
Gadis De Lune tak punya pilihan, ia harus melawan dengan serius meski akan berakhir di rumah sakit lagi. Ia menarik Aeternitas dari sarungnya seraya berujar, "Latreia---"
"Seal Technique." Suara seseorang terdengar bersamaan muncul guci keramik putih dengan ukiran bunga-bunga hitam, perlahan-lahan tutup gucinya terbuka. "Hydriba Trahit Omnia." Sukses guci sihir tersebut menyerap semua cairan hitam yang dimuntahkan Sang monster.
"Siapa ...." Mylo membulat matanya ketika menatap pada sosok gadis cantik. "Nona Clodovea."
Mereka berempat terdiam ketika cahaya merah muda bersinar dan guci putih tadi semakin membesar, rantai-rantai hitam melilit tubuh Sang monster menjijikkan, dipaksa masuk ke dalam guci, perlahan-lahan monster itu pun binasa.
"Beritahu aku," ujar Nathalia melangkah pelan ke arah mereka. "Apa yang terjadi di sini dan monster apa tadi?" Ia mengarahkan pedangnya di antara Anila dan Mylo, memisahkan mereka berdua sekaligus mengancam.
"Nona Clodovea, kami ... kami tidak tahu dari mana asal monster." Perkataan Mylo terhenti ketika manik mata Nathalia menatap tajam. Oh Dewa, biasanya gadis ini paling kalem di antara ketiga Majestic Families, tetapi kenapa sekarang malah sangat menyeramkan?
"Jagad Dewa. Ternyata kalau ketiga sahabatku tak ada di sini, kalian lah yang membuat masalah ya." Nathalia tersenyum simpul. "Dan Mylo jangan melawan lagi atau mengelak. Jadilah pria baik untukku okay?"
"Ya, baiklah. Maaf." Mylo tertunduk diam.
"Nona De Lune," ujar Nathalia karena hanya si De Lune saja yang tak bisa ia deteksi apalagi tengah berbohong atau tidak. "Aku baru saja menyelamatkanmu lho, setidaknya berbalas budi padaku."
Aalisha berdecak sebal. "Killian lah dalang utamanya, dia menggunakan sihir terlarang dan memanggil monster tadi."
"Bukan aku, sialan!" teriak Killian tak sadar telah mengumpat. "Aku tak bersalah! Untuk apa aku memanggil monster yang hendak membunuh diriku sendiri!"
"Jangan banyak omong, kausekarang saja sedang berakting bukan?" balas Aalisha dengan wajah mengejek.
Killian mengepalkan tangannya kuat-kuat. "De Lune bajingan! Kaujuga ikut campur dalam masalah ini, kautahu segalanya, tapi disembunyikan alih-alih melapor pada guru karena kauingin dipandang sebagai pahlawan!"
"Bagaimana denganmu, kau akan dipandang sebagai putra Marquess yang pengecut dan penjahat yang membawa monster ke Eidothea," sahut Aalisha.
"Berhentilah bertengkar!" teriak Nathalia yang sudah kehilangan kesabarannya. "Aku bertanya serius! Kalian semua sama saja, kalian pikir aku akan percaya pada kalian berdua yang sama-sama menutupi kebohongan? Aku sudah sering menghadapi kebodohan tiga Majestic Families, hal seperti ini sudah kupahami polanya jadi beritahu aku, siapa dalang dari semua ini?!!"
"Profesor Prambudi," kata Aalisha dengan lancar membuat Anila dan Mylo matanya membulat, tak ia sangka jika Aalisha akan jujur. Sementara Killian hanya diam saja sehingga diartikan jika ia tak berani menyahut karena ia tahu bahwa profesor itu memang terlibat.
"Maksudmu profesor aneh itu," ucap Nathalia, "tapi bagaimana bisa? Apa yang dia lakukan---"
"Monster!!! Ada monster!!" teriak seorang murid bahkan lebih dari satu dan suara mereka bergema serta berlarian keluar dari kelas.
"Para kesatria menyerang! Mereka sangat aneh seperti mayat hidup!" jeritan murid lain terdengar semakin banyak.
"Tikus ...." ucap Mylo karena melihat banyak tikus-tikus di atap menara Eidothea.
"Bajingan!" teriak Aalisha lekas menarik kerah seragam Killian. "Kubilang di mana gelangnya! Dan kenapa para binatang itu bisa dipanggil? Kau yang melakukannya 'kan?!"
"Sudah kukatakan jika bukan aku---" Perkataan Killian terhenti ketika melirik pada liontin yang Aalisha gunakan, bersinar semakin terang. "Liontinmu bersinar!"
Anila terkejut. "Gawat, artinya ada artefak lain di sini ...."
Takdir selalu berjalan dengan cara yang tak terduga. Sama halnya ketika pentagram merah muncul di bawah kaki mereka semua, membuat mereka terkejut karena sosok berjubah hitam-topeng putih muncul, mengayunkan pedangnya ke arah Nathalia Clodovea, tetapi tergagalkan karena Mylo lebih dulu melindungi gadis, tetapi sayangnya tubuh Nathalia terkena sihir hingga ia terpental dan menghantam tembok, membuatnya tak berada di jangkauan pentagram sihir merah.
"Kubunuh kau!" teriak Aalisha lekas melangkah maju. "Latreia ...."
Manik mata Aalisha membulat karena sebuah gelang bersinar di pergelangan tangan musuhnya. Memunculkan cermin yang perlahan-lahan sosok lelaki dalam cermin merapalkan mantra dengan cepat. Maka cahaya bersinar sangat terang, membuat Aalisha, Anila, Mylo, bahkan Killian harus melindungi mata mereka bahkan Nathalia Clodovea juga, seketika cahaya tersebut melahap segala-galanya di koridor tersebut. Ketika cahayanya berhenti bersinar, maka empat murid Eidothea menghilang dari sana, tak ada jejak sama sekali, mereka benar-benar menghilang dari pandangan. Menyisakan Nathalia Clodovea dengan sosok berjubah hitam di hadapannya.
"Sial!" teriak Nathalia bersamaan jeritan bergema di sepanjang koridor, sepertinya para murid mengalami serangan. "Kemana kau membawa mereka pergi!" Ia memunculkan pedangnya, menyerang sangat cepat, tetapi ditangkis.
"Jangan beraninya kabur!" teriak Nathalia, "ke mana kau membawa mereka pergi!"
Rapalan mantra serta serangan pedangnya dikombinasikan, tetapi selalu berhasil ditangkis sosok jubah hitam tersebut. Pertarungan pun tidak terelakkan, Nathalia meskipun mahir dan beberapa kali memukul mundur musuhnya, tetapi si jubah hitam tak tumbang. Bahkan bisa Nathalia akui jika kemampuan bertarung musuhnya tidak abal-abal seolah-olah petarung andal bahkan kemungkinan penyihir tingkat tinggi. Napas Nathalia menderu karena kelelahan, darah menetes akibat luka-luka tercipta di tubuhnya.
"Special Techniques." Tubuh Nathalia dilapisi Neith, pedangnya berganti menjadi rapier yang tipis, tajam, dan ringan. Manik matanya sejenak bercahaya, luka-lukanya sembuh dengan mudah karena ia memang ahli dalam sihir penyembuhan. "Clodovea Family."
"Gawat, ternyata gadis ini bangsawan dari keluarga Clodovea," gumam si jubah hitam seraya mengeratkan genggamannya di gagang pedang.
"Venenum Gladium Maria." Seketika Nathalia bergerak dengan sangat cepat, ia melancarkan serangan bertubi-tubi tanpa henti, saking ringan gerakannya, ia menyerang tanpa memberikan celah sedikit pun pada musuhnya serta mengerikannya, pedang Nathalia meneteskan cairan ungu yang merupakan racun, sesuai dengan mantra khusus keluarganya yakni tarian pedang racun. Sukses hal ini membuat musuhnya cukup terpojok, hingga beberapa bagian tubuhnya tersayat dan terkena racun.
"Clodovea seperti Nerezza yang ahli dalam ramuan dan obat-obatan." Sang jubah hitam merapalkan mantra. "Namun, belum cukup mengalahkanku."
Manik mata Nathalia membulat ketika bermunculan pentagram sihir, seketika ledakan tercipta bersamaan api membentuk naga besar nan panjang lekas menerjang ke arahnya. Gadis Clodovea itu menggigit bibirnya seraya membuat pertahanan dengan pedang dan rapalan mantra. Dalam sekejap saja, ledakan dahsyat terjadi hingga asap hitam membumbung ke langit-langit dan menutupi jarak pandang.
"Serangan itu sudah kuatur agar tak membunuhnya." Ia menilik pada pedang rapier yang jatuh ke lantai serta ada sepatu di dekatnya, menandakan jika gadis itu pasti terluka parah dan tak lagi mampu bertarung. "Baguslah, dia hanya akan masuk rumah sakit. Sebaiknya aku pergi ke kastil sihir untuk rencana selanjutnya."
Lekas ia menyibak jubahnya, berniat untuk pergi sehingga ia berbalik memunggungi Nathalia tanpa berniat mengecek untuk kedua kalinya. Maka inilah kesalahan besarnya karena dengan cepat terdengar suara langkah kaki di belakangnya. "Sialan! Dia masih bisa bertarung!"
Sang jubah hitam hendak mengayunkan pedangnya dan menebas Nathalia yang menerjang ke arahnya, tetapi gadis itu melompat dengan cepat menggunakan mantra angin hingga berpijak tepat di hadapan Sang jubah hitam. Terlihat jika gadis itu memang terluka karena seragamnya sobek hingga memperlihatkan tanktop hitam bahkan ia tak mengenakan alas kaki, meskipun begitu semua lukanya telah sembuh total berkat kemahirannya dalam menggunakan sihir penyembuhan.
"Jangan pernah meremehkanku!" Lekas menggunakan pedang yang berbeda, ia ayunkan seraya mengaktifkannya. "Ignitio!" Seketika serangan sangat kuat berhasil melukai sang jubah hitam, topengnya hancur terbelah menjadi bagian kecil serta berhasil memperlihatkan wajah sosok di balik topeng tersebut.
"Mustahil," ujar Nathalia terdiam membisu dengan manik mata membulat lebar ketika ia menyadari siapa yang ada di hadapannya ini. "Pengkhianat! Kau seorang pengkhianat!"
Tanpa aba-aba, mantra dirapalkan maka cahaya bersinar terang bersamaan sosok Orly muncul dan membawa pergi masternya dari sana. Sementara Nathalia berusaha kembali melancarkan serangan seraya berujar, "bagaimana jika dia mengetahui kau adalah pengkhianat?! Berani-beraninya kau berkhianat pada Majestic Families!"
Dalam sekejap saja Sang jubah hitam berhasil menghilang bersama dengan Orly-nya, meninggalkan Nathalia yang ambruk di rerumputan, tangannya terkepal sangat kuat, tangis menetes serta ia sangat sesak karena memikirkan betapa sakitnya dikhianati oleh orang terdekat. "Sialan."
Sayang sekali, tanpa ia sadari, muncul sosok pria berzirah yang wajahnya pucat, mata memerah, mulut berbusa serta ada gigitan tikus di kedua kakinya. Ia seketika melompat, menerjang ke arah Nathalia, dan berniat menggigit gadis tersebut.
"Menunduk!" Suara seorang pria terdengar, lekas Nathalia Clodovea mengikuti instruksi tersebut, tiba-tiba pedang diayunkan dan berhasil memenggal kepala kesatria tersebut bersamaan serangan sihir yang menyusul segera membakar tubuh targetnya hingga hangus jadi abu.
"Apakau tidak apa?" ujar Evanora membantu Nathalia berdiri.
"Aku baik-baik saja," balas Nathalia, "terima kasih telah membantuku."
"Apa yang terjadi di sini?" ujar Damien menatap sekeliling yang hancur lebur.
"Kami diserang, Aalisha De Lune dan kawan-kawannya menghilang, kemungkinan berteleportasi atau semacamnya dan---"
Belum Nathalia menyelesaikan penjelasannya, ledakan terjadi di salah satu koridor serta jeritan para murid semakin banyak. Beberapa dari mereka berlarian keluar dari kelas-kelas dan koridor menuju ke tanah lapang.
"Gawat, sejak tadi sesuatu terjadi di sini," ujar Evanora.
"Hey apa yang terjadi di sana?!" kata Damien pada murid yang ketakutan.
"Beberapa pekerja atau kesatria di sini, mereka menyerang kami!" jelas murid tersebut, "mereka seperti zombie lalu banyak tikus-tikus hitam yang mengubah orang-orang menjadi zombie!"
Evanora, Nathalia, bahkan Damien terdiam membisu. Tampak Damien berusaha mengendalikan diri. "Cepatlah cari teman-temanmu, lalu lekaslah mengungsi keluar akademi!" Terdengar suara jeritan dan ledakan lagi. "Beritahu agar tidak mendekati tikus-tikus dan tak melawan mereka serta jangan sampai tergigit!"
"Baiklah!" Lekas ia menuruti perintah Damien.
"Kalian berdua, pergi cari para profesor dan jelaskan situasi kita," perintah Damien, "aku akan mencari sumber para tikus muncul serta menyelamatkan mereka yang bisa kuselamatkan!"
"Ya, akan kami lakukan," kata Evanora meski ia merasa takut jika Damien terluka. "Jaga dirimu." Dan dibalas anggukan oleh Damien.
"Nerezza," kata Nathalia, "tolong jangan percaya pada profesor Prambudi. Dia juga pengkhianat seperti yang dikatakan De Lune."
"Tentu saja," balas Damien, "cepatlah kalian pergi dan beritahukan para murid untuk mengungsi."
"Baiklah, jaga dirimu," kata Nathalia.
"Tentu." Lekas Damien bergegas pergi dari sana dengan tangannya mengepal sangat kuat serta ia berujar pada dirinya sendiri. "Sialan, tak kusangka jika rumor wabah ini benar-benar nyata. Eidothea sehari tanpa hal buruk, mustahil normal-normal saja."
Detik itu kericuhan terjadi akibat tikus-tikus hitam mengerikan yang dapat mengubah seseorang menjadi zombie yang takkan segan membunuh siapa pun telah membuat akademi Eidothea riuh meskipun jumlah para tikus belum banyak dan kebanyakan hanya menargetkan para kesatria atau prajurit dan pekerja di Eidothea.
Detik itu pula, skenario para Dewa dijalankan dan menunggu takdir masing-masing dari para pemain di atas panggung drama kali ini.
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
|| Afterword #32
Tampaknya musuh kali ini sudah memprediksi kalau Eidothea lagi di bulan yang mana para muridnya serta pengajar ada tugas di luar Akademi jadi mereka mengincar di saat-saat seperti ini^^
Ternyata tiga Majestic Families juga ada misi... apakah mereka akan terlibat dalam masalah kali ini seperti sebelumnya?
Lalu siapakah pengkhianat yang Nathalia maksudkan sehingga dia berteriak seperti itu?
Prins Llumière
Minggu, 26 Januari 2025
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top