Chapter 42

|| Apakah ada perbedaan perspektif bacaan kalian setelah membaca The Arcanum of Aalisha hingga chapter ini?

|| Jangan lupa vote dan 150 komentar!!! Serta cari posisi ternyaman karena chapter ini totalnya 8.564 kata^^

|| Peringatan! Chapter ini kemungkinan mengandung beberapa adegan disturbing, berdarah, tidak membuat nyaman bagi sebagian pembaca, dan lain sebagainya. Mohon bijak dalam membaca^^

Kegelapan, siapa yang tak mengenal kata itu? Semua pasti memahami bagaimana kegelapan itu; entah ketika malam mulai menyelimuti maupun ketika tidak ada penerangan berupa lentera, lilin, atau lampu. Namun, beberapa mendefinisikan kegelapan sebagai rasa takut, amarah, bahkan kebencian. Atas inilah tak heran jika ada pepatah berujar bahwa hati seseorang tengah ditutupi kegelapan yang dapat berarti kebencian atau pun amarah.

Hanya saja, di antara semua definisi kegelapan tersebut, manakah yang paling menyakitkan? Karena barangkali bagi segelintir manusia menyatakan jika kegelapan dalam hidup mereka adalah ... kesepian maupun kehilangan yang saking menyakitkannya sampai membuat mereka selalu melihat kegelapan tak berujung karena sesungguhnya cahaya yang jadi penerangan mereka telah redup bahkan mati selama-lamanya.

Kini Sang gadis kecil dengan pakaian serba putih tengah duduk di tempat gelap gulita seorang diri, tak ada satu pun penerangan bahkan setitik cahaya dari lilin kecil. Kesunyian merebak cepat sehingga menambah rasa mencekam yang menusuk ke kalbu. Perlahan ia mendongakkan kepalanya dari lipatan kedua lutut yang ditekuk, menatap pada lorong-lorong panjang yang tercipta di hadapannya. Satu per satu lentera di dinding menyala meski sangat redup, setidaknya ia tak lagi dikelilingi oleh kegelapan, jadi ia berdiri perlahan, menepuk-nepuk baju putihnya yang sedikit berdebu, lalu melangkah mengikuti panjangnya lorong ini, menginjak lantai batu yang dingin karena ia tak mengenakan alas kaki, membuat telapaknya jadi kotor pula.

"Ini koridor akademi." Ia bergumam karena sadar jika tempat ini bukanlah mansion atau kastil melainkan lorong-lorong di sebuah akademi.

"Ada seseorang." Langkahnya berhenti setelah berbelok ke koridor yang berbeda. Dari arah kanannya, terdengar langkah cepat seperti seseorang tengah tergesa-gesa. Ia memperhatikan sosok pria tersebut, lalu mengikutinya di belakang meski hanya dengan berjalan pelan, enggan ia berlari karena tak mau kelelahan.

Sejenak kegelapan menyelimuti dirinya, ia memejamkan mata bersamaan embusan angin membelai wajah. Setelah membuka mata, ia berada di tempat yang berbeda; ruangan yang tampak nyaman, ada banyak figura foto, lentera, lampu gantung meski tidak menyala, rak buku, sofa tebal, meja kayu, beberapa kursi, dan terlihat ada dua orang di dalam ruangan bersamaan itu suara ceklekan pintu terdengar, pria yang tadi ia ikuti, akhirnya tiba di ruangan tersebut yang dapat pula disebut sebagai kantor Kepala Akademi Eidothea.

"Ah jadi dia orang yang ketiga?" Si gadis kecil tersenyum, ia sejenak menatap pada cermin yang tidak memantulkan wajahnya, tentu saja wajahnya takkan terlihat karena .... "Kurasa ini mimpi, aku mungkin tertidur atau pingsan dan ingatan artefaknya bermain di kepalaku."

Ia berbalik menatap pada ketiga profesor pria di hadapannya. "Kemudian mereka bertiga adalah ...." Manik matanya melirik pada pria pendek nan gemuk, berpakaian bangsawan. "Profesor Furman Goosander."

Si gadis kecil selanjutnya menatap pada pria yang duduk di kursi dengan kedua tangan menopang dagunya, ia mengenakan tunik. "Profesor Bennedict Chameleon, Kepala Akademi sebelum Profesor Eugenius dan yang terakhir ....."

Profesor yang dimaksudkan memiliki tinggi seperti profesor Chameleon, tetapi lebih berotot dengan wajahnya ada bekas luka panjang hingga ke dagu, ia tak memiliki kaki kanan sehingga digantikan dengan kaki palsu yang terbuat dari besi, serta ia mengenakan membawa pedang besar di belakang badannya.

"Profesor Chameleon." Wajahnya kini tidak segarang perawakannya bahkan matanya memerah dan setetes air mata berhasil lolos. "Aku gagal menyelamatkan Rosie Balforth dan juga Benjamin Seymour, kini Rosie dibawa pergi oleh keluarganya sementara Benjamin sudah ... dia tiada. Maafkan aku." Isak tangis memenuhi ruangan tersebut, profesor Goosander melangkah dan mengusap bahu sahabatnya.

Profesor Chameleon berdiri, melangkah ke hadapan sahabatnya. "Ini bukan salahmu, Profesor Vicar Reimond, kau sudah berusaha semampumu. Semua ini murni kesalahanku karena aku tidak menyadari sejak awal jika keluarganya Rosie Balforth memiliki artefak terlarang itu, aku salah memperhitungkan segalanya."

"Tetap saja, ini salahku juga karena tak mendengarkan permintaan tolongnya dan berpikir jika dia hanya bertengkar biasa dengan keluarganya," sahut profesor Reimond.

"Andaikata Rosie langsung mengatakan jika pihak keluarganya menggunakan artefak terlarang," balas profesor Goosander.

"Tidak, ini salahku. Dia pasti takut jika langsung mengatakan yang sejujurnya karenanya dia meminta pertolongan agar tak dibawa pulang oleh keluarganya, aku pikir mereka hanya bertengkar biasa seperti anak-anak terkadang berseteru dengan orang tua mereka, aku salah besar," sahut profesor Chameleon, "harusnya aku langsung membantunya, alih-alih memintanya berbaikkan dengan keluarganya. Ini semua adalah kesalahanku."

"Memang salahmu bodoh. Manusia seperti ini menjadi kepala akademi? Bagaimana sistem pemilihan dulu sampai si bodoh ini yang diangkat." Si gadis kecil berkomentar, beruntungnya ia tak benar-benar ada di saat kejadian ini terjadi, jika tidak, habis sudah nyawanya karena berkomentar di saat-saat tegang.

"Lalu bagaimana kabar Rosie setelah keluarganya membawanya kembali?" ujar profesor Goosander.

Tampaknya profesor Raimond tidak bisa berucap apa pun, ia gemetar hingga keheningan beberapa detik terasa. "Orly-ku memberi kabar jika Vigilium Eques diberi titah untuk menangkap keluarganya karena kini Bangsawan Balforth resmi dianggap sebagai pemberontak."

"Oh Jagad Dewa, jika seperti itu, kemungkinan besar mereka akan dihukum mati termasuk Rosie juga." Profesor Goosander menatap pada profesor Chameleon yang terlihat sangat bersedih dan hancur. "Kita tak bisa membiarkan hal ini terjadi, setidaknya tidak untuk Rosie."

Profesor Chameleon meraih jubahnya serta sebuah dokumen. "Siapkan kuda, aku akan mencoba bernegosiasi dengan pihak Vigilium Eques. Aku harus menyelamatkan Nona Rosie. Jika dia tak bisa bebas dari hukuman, setidaknya ia takkan dihukum mati. Lagi pula Rosie masih menjadi bagian dari Eidothea. Takkan kubiarkan satu pun muridku mati selagi aku masih bisa bernapas."

Pintu kayu tertutup setelah kepergian tiga profesor tersebut, meninggalkan si gadis kecil yang tak kunjung beranjak dari sana. Ia sejenak melirik ke lantai, kedua kakinya yang tak mengenakan alas kaki, kemudian menatap lilin lalu cermin meski tak ada pantulan wajahnya. Meskipun begitu, terbesit jelas ketika ia tersenyum. "Takkan kubiarkan satu pun muridku mati, katanya." Ia mengulangi perkataan tersebut, terkekeh. "Andai kalian mengetahui masa depan, kuyakin kalian takkan berani mengatakan hal seperti tadi."

Ia membuka jendela ruangan tersebut, memperlihatkan menara-menara lain di Akademi Eidothea ini, perlahan-lahan dinding sekitarnya ditelan kegelapan, menandakan jika ingatan artefak ini akan menuju ke adegan selanjutnya. "Apa semua pemimpin Akademi selalu seperti ini? Cih. Mereka harus belajar dari para Majestic Families untuk tidak memberikan harapan omong kosong, jika memang harus mati, maka katakanlah dengan jujur jika lebih baik mati saja. Bukan ditutupi dengan janji-janji belaka."

Si gadis kecil memejamkan kedua matanya, adegan memori artefak berganti secara perlahan-lahan. Semula latarnya berupa akademi di malam hari, kini ketika dibuka kedua matanya maka yang terlihat adalah hamparan rerumputan yang luas. Ada rombongan beberapa orang, membawa kuda tua yang membopong karung-karung goni berisi bahan pokok. Tangan-tangan warga itu diborgol dengan rantai besi lalu ada seorang Ksatria yang menjaga mereka serta memerintahkan untuk tetap berjalan bersama jika berniat kabur maka dipastikan akan tiada.

"Rosie Balforth," gumam si gadis kecil melirik pada Rosie yang terlihat sangat lelah, wajahnya pucat dan matanya sembab karena habis menangis semalaman. "Ah jadi ini janji profesor Chameleon, dia berhasil membuat Rosie tidak dihukum mati seperti orang tuanya, tetapi sebagai ganti tak dihukum pancung, Rosie diasingkan dengan beberapa pembantu keluarganya ke wilayah di luar Kekaisaran Ekreadel." Ia berkata seperti itu sembari menatap pada wilayah tandus dan tak subur ini serta banyak bangkai binatang serta pasti sulit membuat kebun atau pertanian karena tanahnya.

Seringai gadis kecil itu terukir, rambut dan pakaian putihnya yang agak panjang sedikit berkibar karena tertiup sepoi angin. Sungguh mahakarya yang menakjubkan karena meski hanyalah memori artefak, tetapi segalanya tampak nyata, seolah-olah ia bisa merasakan setiap detail kejadian nyatanya meski orang-orang di sini tak mengetahui kehadirannya.

"Potongan puzzle-nya semakin bersatu dan hampir selesai." Ia buka matanya lagi yang kini ia berada di sebuah rumah kayu reyot serta belum jadi sepenuhnya karena masih dalam tahap pembangunan. Ia menelusuri sekitar dalam rumah reyot tersebut. "Mari rangkum sedikit, semua bermula dari keluarga Balforth menggunakan artefak terlarang---Blackshadow Wysavaris yang mereka buat dalam wujud wabah tikus, lalu Balforth ketahuan oleh para warga dan dilaporkan ke pihak Kerajaan. Balforth melakukan pemberontakan bersama beberapa bangsawan serta rakyat proletar yang berpihak padanya. Terjadi kericuhan hingga ke Eidothea, kemudian pihak Kerajaan mengirim Vigilium Eques untuk menangkap Balforth dan antek-anteknya, kemudian seluruh bangsawan Balforth serta para pendukungnya dihukum pancung."

Gadis kecil itu alisnya bertaut karena ia bisa membuka pintu rumah reyot tersebut yang mengarah ke luar. "Sementara itu, Rosie Balforth diselamatkan profesor Chameleon, ia tak dihukum mati, melainkan diasingkan ke wilayah tandus yang di masa depan disebut sebagai Desa Roanesse."

Ceklekan dan derit kayu pintu yang juga reyot terdengar ketika si gadis kecil mendorongnya keluar. Cahaya matahari yang sangat terik menerpa wajahnya. Tanah tandus dan penuh kerikil menusuk-nusuk telapak kaki serta riuh suara beberapa orang terdengar, tampak pula mereka sibuk dengan aktivitas masing-masing. Sesaat baru gadis itu sadari jika ada lebih dari 20 warga di sini, banyak pula anak kecil dan bayi-bayi masih dalam gendongan ibu dan ayah mereka. "Jika penambahan jumlah penduduk artinya sudah beberapa tahun berlalu semenjak Rosie Balforth diusir ke Desa Roanesse tetapi tidak ada perubahan pesat di sini. Wilayahnya masih tandus."

Para warga menghentikan aktivitas mereka sejenak, beberapa saling berbisik, lalu berlari melapor ke ketua Desa, warga lainnya hanya diam saja merasa sangat bingung. "Siapa mereka? Apa yang dilakukan di sini?"

"Sepertinya mereka adalah bangsawan," ujar seorang wanita yang datang mengurus binatang ternaknya. "Terlihat dari pakaian mewah mereka."

"Untuk apa Bangsawan datang kemari?" Pria tua meludah ke tanah. "Kita hanya rakyat yang diasingkan, tak ada yang bisa dijarah di sini apalagi memanfaatkan kita yang tak punya kekuasaan ini."

"Hey! Aku kenal salah satu dari mereka!" Seorang wanita yang umurnya sekitar 40 tahun tengah menunjuk pada seorang pria yang mengenakan kacamata dan tunik biru. "Dia yang dulu menyelamatkan nona Rosie dari hukuman pancung." Para warga semakin banyak bergumam dan keluar dari rumah reyot mereka.

Si gadis kecil memicingkan kedua matanya, berusaha melihat jelas pada tiga sosok pria dengan pakaian bangsawan yang berdiri di salah satu tebing batu. "Ah, mereka itu tiga profesor ... Chameleon, Goosander, dan Raimond. Jadi mereka masih mengunjungi wilayah ini, kupikir akan dilupakan begitu saja. Namun, di mana Rosie Balforth? Aku tak melihatnya sejak tadi."

Suara riuh para warga terdengar ketika tiga profesor Akademi Eidothea tersebut merapalkan mantra, menciptakan puluhan pentagram yang sangat besar mengelilingi wilayah tandus tersebut, entah berada di tanah atau di langit-langit. Cahaya dari puluhan pentagram mulai bermunculan yang bersamaan dengan hal tersebut, seluruh tanah tandus di wilayah tersebut menjadi subur, sungai-sungai yang kering perlahan-lahan mengalir airnya, tanaman yang mati menjadi hidup kembali, pepohonan kini semakin rindang dan berbuah. Ya! Berkat sihir ketiga profesor, berhasil mengubah wilayah ini menjadi wilayah yang sangat subur. Para warga pun bersorak-sorai, sangat berbahagia bahkan berpelukan serta mengucapkan terima kasih pada ke ketiga profesor tersebut.

"Kenapa mereka melakukan hal ini," gumam si gadis kecil merasa bingung. "Mungkin karena merasa bertanggung jawab atas Rosie Balforth jadi mereka selalu memberikan bantuan di desa ini?"

Sekitarnya perlahan-lahan memudar, menandakan jika adegan ini akan segera berakhir atau berganti, tetapi sebelum itu, seorang wanita sedikit lebih tua yang dulunya adalah pelayan di keluarga Balforth, berujar tepat di sampingnya. "Sungguh indah Desa ini, andai Rosie masih hidup, ia pasti sangat bahagia."

Perkataan itu sukses membuat manik mata si gadis kecil jadi membesar, ia cukup terkejut akan fakta tersebut, lalu tiba-tiba kegelapan menelan segala-galanya. Sejenak ia memikirkan apa yang dikatakan wanita tersebut, jika seperti itu maka Rosie Balforth telah tiada sebelum ia dewasa? Mengapa ia sangat cepat tiada, apakah sakit atau ada faktor lain?

"Aneh," gumamnya, "jika Rosie telah tiada dan profesor Chameleon masih hidup, lalu siapa dalang utama yang membuat wabah tikus hendak bangkit kembali di zamanku? Aku pikir Rosie Balforth melakukan balas dendam."

Suara derit roda-roda kereta kuda terdengar, si gadis kecil terenyak dari lamunannya. "Ingatan memorinya belum selesai."

Ia menoleh ke belakang dan memperlihatkan banyak sekali kereta-kereta kuda berhenti di depan gerbang Akademi Eidothea, para murid baru menuruni kereta sambil menggeret koper-koper dan menenteng tas besar mereka, ada pula yang dibawakan oleh pelayan atau para Orly. Lalu adegan bergulir sangat cepat yang memperlihatkan aula makan bersama, para murid baru yang telah bergabung ke asrama masing-masing kini tengah duduk bersama kakak tingkat mereka.

Sementara itu, profesor Chameleon melangkah ke atas panggung, berada di podium, ia merentangkan kedua tangannya dan memberi sambutan pada murid-murid baru. "Aku profesor Bennedict Chameleon, menyambut para murid baru, maka selamat datang di Akademi Paling Termasyhur di Athinelon, Wizardy and Warrior Academy of Eidothea."

Suara debum terdengar karena pintu aula makan tersebut tertutup tepat di hadapan si gadis kecil, ia menatap cukup lama pada ukiran pintu tersebut, lalu perlahan berbalik dan melangkah karena kegelapan menguasai serta menjadi tanda bahwa memori pada kali ini akan usai dalam beberapa detik lagi. "Tidak ada yang menarik dari memori ini."

Sayang sekali, pemikiran itu salah besar, kini suara tangisan terdengar dan bergema di mana-mana. Tiba-tiba terbentang koridor yang sangat panjang serta penuh darah dan banyak sekali murid-murid bergelimpangan di lantai, mereka semua tiada. Hawa mencekam dan horor langsung merayapi tubuh gadis kecil itu meski berusaha ia tepis karena ia tak mau rasa takut mengelilinginya. Maka dengan langkah penuh percaya diri, ia membuka pintu di sana karena hanya itu satu-satunya pintu yang dapat ia lihat. Suara derit kayu terdengar seiring dengan pintu terbuka serta darah segar menggenangi lantai dan bau amis menyebar.

Sejenak manik matanya membulat, lalu ia berusaha menstabilkan ekspresinya seraya berujar, "ini ingatan yang benar-benar gila." Ia tarik perkataan sebelumnya karena pada detik ini, betapa tak ia sangka jika sosok yang dikira malaikat oleh orang-orang ternyata hanyalah iblis dengan darah di sekujur tubuhnya.

Seorang pria berpakaian bangsawan mewah sedikit compang-camping. Wajah pria itu sangat si gadis kecil kenali, bagaimana tidak? Baru di adegan memori sebelumnya jika pria itu tersenyum bahagia dan menyambut para murid baru, tetapi kini ia telah membunuh dua murid dengan pedangnya sendiri. Hal itu terbukti karena di depannya ada seorang anak laki-laki bersimbah darah, tergeletak begitu saja dengan dua pedang tertancap di dadanya. Sementara seorang gadis dengan jubah asrama Gwenaelle, kehilangan kedua kakinya karena dipenggal secara sadis serta tubuhnya dijerat oleh sihir berupa rantai besi, kedua bola mata terbuka lebar dan mulut mengeluarkan darah, ia pun tak bernyawa lagi.

"Profesor Chameleon." Si gadis kecil meski tak memperlihatkan ekspresi yang kentara, ia cukup terkejut karena profesor ini membunuh muridnya sendiri? "Iblis apa yang sedang merasukimu?"

Tiba-tiba gadis itu terenyak karena profesor Chameleon melirik padanya, ia berniat kabur, tetapi pintu di belakangnya hilang begitu saja. Decakan sebalnya terdengar karena secara perlahan-lahan tubuh profesor Chameleon menjadi ribuan tikus yang saling bersatu sehingga ibarat ombak tsunami siap menghantamnya. Maka tanpa memberi jeda sedikit pun, ribuan tikus lekas menerjang sangat cepat ke arah gadis tersebut.

"Ini gila," ia bergumam sembari mengarahkan tangannya ke depan dengan jemari terbuka. "Latreia! De Lune Special Techniques!"

Seluruhnya menjadi sangat gelap, napas terasa sangat sesak, keringat dingin menetes bersamaan ia terbangun dalam tidurnya yang ternyata kini berada di kasur serta sekelilingnya adalah ruangan familiar yang berarti ini adalah kamarnya di asrama dan ia berhasil bangun dari mimpi buruk. "Sialan."

Ia mengumpat meski hanya bentuk gumaman, menyentuh dahinya sendiri dan terasa hangat, kemungkinan demamnya belum turun, manik mata hitamnya melirik ke atas meja yang terdapat liontin, buku berhalaman emas, dan juga pecahan batu artefak. Ketiga pecahan dari Blackshadow Wysavaris memang sengaja ia taruh di atas sana.

"Aku harus mendapatkan pecahan terakhir," ujar Aalisha, "jika tidak, semua ini akan semakin runyam. Oh Jagad Dewa, kapan kalian memberiku tidur nyenyak yang benar-benar nyenyak tanpa aku harus bertahan hidup bahkan di alam mimpi sekali pun."

****

Semesta selalu berpihak pada mereka yang selalu percaya, berusaha, dan berdoa pada Pencipta-Nya. Sehingga beberapa keberuntungan tampaknya datang di saat yang sangat-sangat tepat, seperti yang dialami oleh Aalisha, Anila, dan Mylo. Aneh nan ajaib seperti sihir itu sendiri karena ketiganya tidak dipanggil oleh pihak akademi atau dikabarkan menghilang pada hari di mana mereka terseret gerbang teleportasi dan tiba di Desa Roannese, barangkali karena pada hari itu, pihak akademi sedang sibuk menangani kasus cacar yang merebak, lalu ketiga teman mereka; Gilbert, Frisca, dan Kennedy memang tutup mulut karena sudah kesepakatan bagi mereka jika masalah ini hanya keenamnya yang tahu tanpa harus melapor jika terjadi sesuatu, terkecuali mereka hilang selama berhari-hari, baru memutuskan untuk melapor.

Hanya saja jika dipikirkan secara logis, cukup aneh karena mereka menghilang, tapi pihak tenaga didik akademi benar-benar tak ada yang sadar. Setidaknya sosok hebat seperti profesor Eugenius atau master Arthur atau barangkali profesor Astrophel mengetahui hal ini, tetapi mereka tak menunjukkan tanda-tanda hendak menginterogasi Aalisha dan lainnya.

"Mungkin mereka memang tidak tahu," balas Gilbert, "oh ayolah, murid di sini jumlahnya ribuan, lalu saat kalian menghilang, ada kejadian murid angkatan atas berantem hingga salah rumah kaca hancur."

"Kudengar gosip, mereka bertengkar karena saling mengejek keluarga masing-masing," tukas Frisca seraya menyesap secangkir teh chamomile.

"Pertengkaran sia-sia, bangsawan selalu saja memperbesar masalah kecil," timpal Anila, manik matanya menatap pada Aalisha yang diam saja karena belum terlalu sehat. "Kau yakin mau di sini? Cuacanya lumayan dingin lho."

"Aku lebih suka dingin." Gadis itu menjawab pelan, ia kembali meraup kue kering yang setiap dimakan, rasanya akan berubah-ubah, tetapi tidak ada rasa yang aneh-aneh, semuanya enak.

"Minum juga obatmu, jangan sampai demammu tinggi kembali," kata Mylo sembari menyelesaikan menulis surat untuk ibunya karena tadi pagi dapat surat.

Helaan napas si gadis kecil terdengar, berbeda dengan teman-temannya yang rapi dengan seragam Eidothea, ia pagi ini masih mengenakan piyama biru panjang dengan garis-garis gradasi putih, serta lengan digulung, kaos kaki biru. Kemudian rambut diurai, tampak pula ada semacam kompress demam tertempel di dahinya, sedikit tertutupi poni. Hanya dia yang izin dari pembelajaran jam sepuluh nanti karena masih sakit. Kini ia bersama manusia-manusia ini duduk di bangku panjang di kantin rumah pohon untuk sarapan. "Aku bukan anak kecil, jadi berhentilah berlebih-lebihan."

Teman-temannya memaklumi gadis itu, sifat naluriah Majestic Families yang tak mau mendapat perlakuan iba, padahal mereka murni tulus khawatir karena Aalisha demam sejak kemarin hingga hari ini.

"Aku berpikir jika para profesor tidak sadar akan kalian menghilang karena mereka sibuk dengan tugas membimbing para murid yang akan menjalankan misi sebentar lagi." Kennedy akhirnya berujar setelah beberapa lama ia mengolah kata di kepalanya agar ia tak salah cakap. "Profesor Rosemary, profesor Astrophel, bahkan master Arthur cukup sibuk, mereka akan menjadi koordinator dalam misi nanti."

"Benar juga! Inilah yang sejak tadi mau kukatakan! Profesor Rosemary sejak kemarin sibuk mengurus hal ini-itu dengan para murid yang akan menjalankan misi," kata Frisca.

"Setahuku tiga Majestic Families juga menjalankan misi sebentar lagi," sahut Gilbert, "kedua kakakmu juga 'kan, Mylo?"

Mylo menganggukkan kepala. "Ya, mereka nanti dipimpin profesor angkatan atas untuk misi di sebuah desa terkait laporan penyelewengan kekuasaan. Jadi mau diselediki."

"Ah jadi memang sudah bulannya, para murid angkatan atas menjalankan misi?" ujar Anila, "pantas saja, dalangnya beraksi."

Hening menguar sangat cepat karena mereka paham perkataan Anila. "Para pengajar sibuk, jadi waktu yang tepat untuk menjalankan misi jahat mereka," timpal Mylo.

"Oh siap, jika seperti ini kita harus ...." Gilbert berhenti berucap dan lekas mengalihkan topik karena melihat Easton dan Noah berlari kemari lalu Evanora dan Damien menyusul di belakang dengan berjalan santai saja. "Hey bocah, jangan makan kue saja, makan juga sayur dan buah agar kau cepat sehat!"

Aalisha memicingkan mata, meski ia tahu jika Gilbert hanya mengalihkan topik pembicaraan, tetapi mengapa harus Aalisha yang diejek? "Aku sakit pun, tetap aku lebih kuat dan kaya raya dari pada kau."

Gilbert merasa tombak tajam menembus jantungnya sementara yang lain malah tertawa hingga akhirnya Easton dan Noah muncul seraya menaruh sebuah surat kabar di atas meja kayu tersebut. "Lihat berita terbaru hari ini!" Easton berteriak sangat keras.

Noah sampai mendorong Mylo ke samping, agar memberinya bagian untuk duduk. "Meski bukan dari media surat kabar Lè Ephraim, tetapi sangat menarik perhatian kami! Jadi kalian pun harus membacanya!"

"Berita bodoh apalagi yang kalian bawa huh?" sahut Anila.

"Diamlah Andromeda, kau sangat tak asyik diajak bergosip!" Noah mengejek.

"Lagi pula gosip kalian itu selalu tidak penting!" balas Anila tak senang dengan ejekan Noah.

"Gosip tentang apa?" Kennedy berujar dengan alis terangkat.

Evanora menghela napas, lalu berujar, "biasalah, media surat kabar yang senang menghebohkan berita kecil atau bahkan mengada-ngada agar dapat keuntungan, terlebih lagi kan orang-orang senang berita hiperbola."

"Kau juga tak asyik Evanora," balas Easton, "lagi pula berita seperti ini harus kita tekankan karena sangat seru."

"Itu hanya berita dari media surat kabar yang senang menyebarkan informasi palsu," timpal Damien seraya duduk di samping Easton.

"Berita apa sih," kata Frisca mengambil surat kabar tersebut kemudian membacanya. "Terjadi penyerangan monster di sebuah desa, kemudian seorang pahlawan bertopeng muncul, dan mengungkapkan dirinya sebagai Ashtraea Lunette serta berhasil menyelamatkan desa tersebut."

"Eh, barusan apa yang tertulis dalam surat kabar itu?" Sejenak seorang gadis kecil terdiam membisu bahkan berhenti mengunyah kue keringnya, tetapi detik selanjutnya ia berusaha menutupi ekspresinya dan kembali makan seolah-olah tak ada yang terjadi.

"Media surat kabar mana yang menyebarkan tentang Ashtraea Lunette itu! Oh bajingan!" Jelas sekali, jika Aalisha tak menceritakan apa pun soal penyerangan di desa tersebut pada yang lain, meski Anila dan Mylo ada di tempat kejadian, tetapi keduanya tak sadar jika berita itu memaksudkan Aalisha juga karena saat pertarungan melawan monster berlendir, Mylo dan Anila fokus pada mengevakuasi warga desa.

"Memangnya Ashtraea Lunette, itu apa?" kata Gilbert dengan tatapan bingung.

"Kau serius tak tahu?" kata Anila dan dibalas anggukan kepala oleh Gilbert. "Ashtraea Lunette itu julukan untuk Awatara Dewi Aarthemisia D'Arcy, benar bukan?" Anila melirik pada Damien dan Evanora.

"Dongeng," kata Evanora melanjutkan perkataan Anila, "itu dongeng karena kebanyakan diceritakan melalui cerita anak-anak agar mereka senantiasa menyembah Dewi Aarthemisia D'Arcy. Jadi diceritakan kalau Sang Dewi terkadang turun ke Athinelon dan memberi berkah bahkan menolong orang-orang kesusahan melalui perantara Awatara Sang Dewi yang biasanya dipanggil dengan sebutan Ashtraea Lunette. Coba saja cari buku 1.000 dongeng paling ajaib di Athinelon, pasti ada cerita Ashtraea Lunette itu."

"Kenapa dianggap dongeng?" kata Kennedy.

"Karena agar Mylo bisa tidur di malam hari!" timpal Easton sambil mengacak-acak puncak rambut Mylo. "Dia sudah sering mendengar ibu kami bercerita tentang Ashtraea Lunette setiap malam sebelum tidur."

"Ya dia ini tipe yang ingin didongengkan setiap malam," balas Noah.

"Diamlah, jangan seenaknya membuka aibku." Mylo menggerutu kesal.

Damien menggeleng dengan tingkah tiga saudara itu. "Kisah Awatara Sang Dewi itu dianggap cuma dongeng karena dalam buku sejarah pun ditulis kalau sumbernya dari kisah rakyat mulut ke mulut, semacam sastra lisan, jadi tidak ada bukti valid jika ada yang pernah melihat secara langsung, Dewi Aarthemisia D'Arcy turun ke Athinelon atau Awatara-nya."

"Lalu karena kisah ini, banyak orang-orang acak entah dari berbagai ras yang mengaku-ngaku kalau diri mereka sebagai Ashtraea Lunette," jelas Evanora lagi, "mereka mengaku diberi berkahlah, diberi petunjuk, atau bahkan diberi tugas oleh Sang Dewi secara langsung, padahal mereka hanya sekelompok orang gila yang mau cari ketenaran, apalagi banyak masyarakat yang tidak berpendidikan sehingga terpengaruh dengan kebohongan itu dan mengagung-agungkan mereka. Padahal setelah diperiksa, tidak ada tanda-tanda jika mereka benar-benar Awatara bahkan berdoa ke kuil saja tidak pernah."

"Ah jadi maksudnya sejak dulu, sudah banyak orang-orang mengaku sebagai Ashtraea Lunette?" kata Kennedy.

"Iya, makanya banyak yang nggak peduli lagi kalau ada orang-orang acak mengaku diri sebagai Awatara Para Dewa," kata Evanora, "bahkan Majestic Families saja tidak pernah seperti itu, lalu muncul manusia antah berantah mengaku sebagai Awatara ... bukankah ketahuan jika mereka hanyalah pembohong."

"Lihat," balas Anila menyodorkan surat kabar tersebut kepada Easton dan Noah yang duduk di depannya. "Sudah kubilang, gosip kalian itu tidak penting dan buang-buang waktu." Ia sejenak menatap pada Aalisha yang tak menunjukkan gerak-gerik mencurigakan, malahan fokus makan.

"Oh Noah." Easton mulai dramatis. "Kita selalu saja dipinggirkan dan dibungkam kebebasan berpendapat kita oleh bangsawan tingkat tinggi ini."

"Kau benar saudaraku," timpal Noah, "mungkin kita harus membuat Serikat Bangsawan kasta Menengah kebawah agar melawan orang-orang ini, ayo Frisca Devorez dan Gilbert Ronald, mari bergabung dengan kami." Lalu tawa mereka semua terdengar terkecuali Aalisha yang hanya diam sejak tadi.

"Tapi aku serius bertanya," kata Frisca, "bukannya dongeng turun-temurun pasti ada awal mulanya seperti pengalaman aslinya? Jadi bisa sajakan kalau Ashtraea Lunette itu benar-benar ada, tapi di zaman sekarang sudah tak ada lagi?"

Evanora berujar, "kalau soal itu, bisa jadi---"

"Lihatlah para tikus ini tengah berkumpul dan bergosip tentang dongeng anak-anak." Suara itu terdengar dari seorang gadis mengenakan bando hitam, rambutnya terurai sedikit bergelombang, dan tak mengenakan jubah asrama. "Kalian pasti selalu bergosip tentang semua orang di dalam dan luar akademi."

"Tamu tak diundang datang!" teriak Easton.

"Inilah kenapa Serikat Bangsawan kasta Menengah kebawah harus segera dibentuk!" balas Noah.

"Dasar orang-orang bodoh." Eloise Clemence berdecak sebal, lalu duduk di meja belakang dengan kaki bersilang.

"Maafkan dia," kata Nathalia Clodovea dengan senyuman kecil kemudian berhenti di belakang Mylo, sesaat membuat si Cressida itu jadi berkeringat dingin. "Dia cuma bosan jadi mencari orang-orang untuk diajak bertengkar."

"Kau sahabatku atau bukan?" sahut Eloise, menatap sinis pada Nathalia lalu beralih pada Aalisha. "Lihatlah bocah di sana, mengenakan piyama dan kompress dahi agar punya alasan untuk tak belajar hari ini."

"Tutup mulutmu Eloise," sahut Aalisha balas menatap tajam.

"Ya tutup mulutmu, jangan sampai si kelinci kecil ini mengamuk dan kalian berdua bertarung sampai kantin rumah pohon roboh." Suara itu bergema indah di antara mereka bersamaan langkah kaki berhenti tepat di belakang Aalisha, dua tangan menyelinap ke kedua sisi gadis kecil itu dan telapak tangan bertopang di meja kayu. "Benar bukan?"

Semua diam sejenak menatap si lelaki dengan manik mata tanzanite, bajunya dikeluarkan dari celana dan tak membawa jubah. Lalu mereka terkekeh kencang ketika Aalisha De Lune menyikut perut Athreus Kieran Zalana dengan sangat kuat hingga tubuhnya seperti terkena sengatan listrik. "Menjauhlah dariku, keparat."

"Oh Jagad Dewa, kau kasar sekali!" Athreus memegangi perutnya yang berdenyut.

"Itulah karma untuk manusia bodoh," balas Nicaise melangkah dan duduk di samping Damien Nerezza. "Apa yang kalian bicarakan?"

"Ashtraea Lunette," kata Nathalia.

"Dongeng kanak-kanak, sangat cocok untuk bocah De Lune di sana, bacaan sebelum tidur," balas Eloise, "bisakah bahas yang lain, sudah lewat umur jika membicarakan dongeng."

"Oh ayolah, Eloise," balas Nicaise, "kaupun pasti dibacakan dongeng sebelum tidur, jangan mengejek dongeng legendaris."

"Lagi pula Eloise kan sebenarnya penggemar Awatara para Dewa dan Dewi." Nathalia membuka kedok. Beberapa tertawa bahkan Kennedy menahan senyuman sementara Easton, Noah, dan Damien benar-benar tertawa.

"Hey, aku tidak seperti itu dan lancang sekali kalian menertawakanku!" teriak Eloise.

"Nanti kalau beneran ada Ashtraea Lunette-nya, Nona Clemence yang lebih dulu memberikan pelukan teddy bear!" kata Noah.

"Utututu aku penggemar beratmu lho." Easton sambil memeluk dirinya sendiri sebagai memberi contoh.

"Kalian benar-benar tikus Cressida sialan," ujar Eloise yang tiba-tiba percikan api muncul di bawah celana Easton dan Noah, sukses keduanya terperanjat dan melompat ke sana-sini untuk memadamkan api. Kawan-kawannya malah menertawakan hal tersebut alih-alih memberikan pertolongan.

Obrolan mereka semakin riuh, bak keajaiban lainnya di Eidothea karena mereka bisa nongkrong bersama meski kebanyakan berisi sindiran, ejekan, dan pertengkaran, tetapi ada pula topik yang mereka bahas seperti saling bertukar dongeng ajaib yang dulu diceritakan ke mereka sebelum tidur. Hingga membahas tentang misi didapatkan tiga Majestic Families, kata mereka pendamping misi kali ini adalah Master Arthur, tetapi sayangnya ada rumor jika akan diganti menjadi profesor lain di angkatan atas karena master Arthur ada urusan penting.

"Dia itu selalu bertingkah paling berkuasa," ujar Gilbert, "entah berapa kali kami dimarahi olehnya."

"Jangankan kalian. Dia ke Eloise, Nicaise, dan Athreus saja, master Arthur tak segan memberi hukuman." Nathalia berujar, ia duduk di samping Mylo sambil menikmati secangkir teh.

"Jujur dia itu sebenarnya siapa?" ucap Frisca, "kudengar rumor kalau namanya saat ini bukanlah nama asli."

"Ah jadi rumornya sudah sampai ke angkatan kalian?" balas Nicaise.

"Sejak awal masuk rumor itu beredar di kelas kami," ujar Mylo.

"Tidak heran karena master satu itu memang paling misterius," sahut Nicaise lagi, "kalau sudah tersebar rumor berarti kalian pasti pernah dengar rumor kalau master Arthur itu membeli nama bangsawan."

"Huh?" Tampak Anila, Mylo, Gilbert, Frisca, dan Kennedy langsung menatap Nicaise bahkan Aalisha berhenti mengunyah kue keringnya.

"Membeli nama bangsawan?" kata Anila Andromeda, "benarkah?"

"Kupikir Andromeda tahu segalanya," sahut Eloise Clemence bersilang tangan, "sudah lama rumor kalau master sialan itu membeli nama bangsawan karenanya banyak yang bilang kalau namanya kini bukan nama asli. Terlebih dia diam-diam punya koneksi di mana-mana dan selalu berhasil memungut para murid proletar yang punya kemampuan lumayan, meskipun takkan setara dengan Majestic Families."

Percakapan mereka semakin berlanjut bahkan lebih intens, seolah-olah mengeluarkan unek-unek mereka atas kekejaman Arthur Hugo Ellard, bahkan tak mereka sangka jika tiga Majestic Families sering pula mendapatkan kesulitan, jadi tidak hanya Aalisha yang sering sial jika berhadapan dengan master Arthur. Kini secara tak sengaja, kesamaan di antara mereka terbentuk yakni bergosip tentang para pengajar. Jelas sekali jika gosip bisa menyatukan para musuh.

Di sisi lain, Aalisha terlihat mengantuk, ia paling diam di antara yang lain bahkan tak berkomentar sedikit pun. Hingga akhirnya si Kieran Zalana menyebalkan kembali membuatnya jengkel. "De Lune, apakau butuh kugendong ke kastil Asramamu karena kau terlihat perlu bobo lagi." Ia sengaja membuat nada bicaranya menjadi menyebalkan. Awalnya Aalisha hendak diam saja, abaikan perkataan lelaki itu.

Sekonyong-konyong Athreus tanpa permisi, mencomot kue kering Aalisha di dalam mangkuk bambu seraya ia raup dengan suapan besar, sambil berujar, "woah kue kering ini sangat enak!"

Detik itu Sang De Lune marah besar, tanpa basa-basi, tangan kecilnya yang mengepal kuat, lekas ia layangkan tinju sangat-sangat cepat dan berhasil menghantam dagu serta rahang Athreus, membuat lelaki itu ambruk ke belakang. Meski terlihat sangat sakit, tetapi bagi Athreus, tinju Aalisha tidak sakit. "De Lune, duh sakit sekali."

"Jangan seenaknya mencuri camilanku, kau bodoh," balas Aalisha.

Mereka yang di meja hanya geleng-geleng kepala sejenak, seolah-olah sudah terbiasa pada sifat Athreus yang menyebalkan serta jail dan Aalisha mudah sekali melayangkan serangan balik. Sehingga mereka kembali pada bahasan mereka yang makin-makin intens.

Pagi itu, barangkali para Dewa tengah berbaik hati sehingga memberikan kebahagiaan tak disangka kepada mereka yang kini berkumpul di meja kayu rumah pohon tersebut. Membuat murid-murid lain menjadi heran bahkan memotret mereka untuk dijadikan topik utama dalam majalah Eidothea karena berkumpulnya mereka di tempat yang sama ibarat keajaiban Eidothea karena musuh bebuyutan, kini malah terlihat rukun selama beberapa saat.

Lihatlah dari kejauhan, pemandangan itu benar-benar perlu diabadikan, seolah-olah tembok-tembok tinggi yang biasanya memisahkan mereka. Kini telah perlahan-lahan retak dan akan hancur.

Akankah hal tersebut bertahan lama?

Akankah tembok tinggi di antara mereka hancur sepenuhnya? Atau nyatanya semua kebersamaan tersebut takkan bertahan lama? Bahkan suatu hari akan menjadi persaingan serta permusuhan yang takkan pernah membuat mereka berkumpul bersama lagi? Hingga kata asing terlukiskan dalam kamus hidup mereka.

****

Selesai mencuci wajahnya di toilet khusus perempuan, Aalisha melangkah keluar sendirian karena teman-temannya kini ada kelas profesor Howard yang membahas binatang magis, Aalisha memutuskan untuk tidak kembali ke asrama karena merasa bosan jika hanya mendekam di sana, jadi meski mengenakan piyama dan jubah, ia memutuskan beristirahat di taman dalam akademi kuil yang dijaga Elijah.

"Clemence," gumam Aalisha berhenti melangkah ketika melihat Eloise yang berbicara dengan Orly, Aalisha tahu Orly itu karena bekerja di tempat pengiriman surat-barang. "Dia mengirim surat pada siapa? Tapi kenapa pula aku penasaran."

"Kaumasih punya kebiasaan senang menguping ya, De Lune." Eloise sudah menyadari kehadiran Aalisha sebelum gadis kecil itu memutuskan pergi. "Hanya karena beberapa menit sebelumnya kita bergosip hal yang sama, bukan berarti aku memaafkan semua sifat keparatmu termasuk senang menguping itu."

Tampaknya Eloise mengenakan knee high boots sehingga ia semakin tinggi di hadapan Aalisha, membuat si gadis kecil harus mundur sedikit dan mendongak agar bisa menatap manik mata amber yang bercahaya sejenak karena terpapar sinar matahari. Gadis Clemence itu mengenakan seragam lengkap dan rapi, sebelumnya tidak, lalu bando hitamnya masih ada serta wewangian yang menguar cukup manis dan enak dihirup, seperti campuran antara bunga mawar, dicampur musk, lalu wangi lavender.

"Aku nggak menguping kok, cuma kebetulan lewat saja karena aku dari toilet," ujar Aalisha, enggan bertengkar karena demamnya masih jadi penghalang.

"Alasan bodohmu itu takkan berguna padaku," sahut Eloise, "lagi pula kau kan sakit, mengapa masih berkeliaran di sini huh? Kau harusnya di kamar asrama, oh atau demam hanya alasan saja untuk bolos kelas?"

"Aku beneran demam kok," balas Aalisha dengan suara lemah, ia merasa pusing karena mencium wangi parfum Eloise. "Kaukenapa di luar? Kan sekarang jam pelajaran."

"Kau punya mata bukan? Barusan kaulihat kalau aku habis mengirim surat!" Eloise merasa aneh jika Aalisha menjawab tanpa nada amarah dan emosi, jawaban gadis De Lune ini datar dan lemah-lembut yang membuatnya tampak berbeda, mungkin faktor karena dia demam?

"Oh, apakah surat rencana jahat?" balas Aalisha, malah menambahkan bensin dalam api.

"Kaumau kubakar?" ujar Eloise, "aku bukan orang tolol yang merencanakan hal-hal jahat di tempat terbuka dan jika aku memang melakukannya maka sudah kubunuh kau karena melihatku tadi."

"Kau takkan bisa." Aalisha menjawab datar.

"Apa maksudmu?"

"Maksudku, kau takkan bisa mengalahkan aku karena aku De Lune, aku lebih kuat darimu, benar bukan?" Seringai Aalisha terukir sebagai bentuk sombong meski kini ia tidak terlihat sehat.

Sesaat tatapan Eloise menjadi gelap karena rasa kesal menyeruak hingga ke tulang-tulang, tetapi ia enggan berteriak karena tidak mencerminkan sifat seorang bangsawan. Maka tanpa memberi aba-aba, Eloise beringsut maju dengan tangan kanannya langsung mencengkeram kuat dagu hingga ke pipi Aalisha, serta ia dorong, membenturkan punggung dan kepala Aalisha ke dinding, tangan kirinya tepat di samping kepala Aalisha, lalu pentagram merah muncul di bawah kaki mereka. Kini Eloise sukses menjepit Aalisha di dinding dan wajah keduanya hanya berjarak beberapa sentimeter saja serta tampak jelas bagaimana cahaya di manik mata amber-nya yang tajam nan menusuk tersebut.

"Jangan remehkan aku hanya karena kau adalah De Lune." Suara Eloise sangat pelan, seperti mendesis di telinga Aalisha. "Aku kini menghormatimu karena kita sesama keturunan utama Majestic Families, lalu kita berdua sama-sama tidak mengetahui kemampuan masing-masing. Dengarkan aku tikus kecil, kaumungkin bisa mengendalikan makhluk hidup, tapi kaupunya batasan, dan jika kaumau, aku bisa mengubah cuaca di dunia ini menjadi musim salju hingga membunuhmu atau mengendalikan zat-zat dalam tubuhmu itu, kemudian kuledakkan hingga kaumati."

Cengkeraman Eloise pada dagu Aalisha semakin kuat seolah-olah ia hendak mematahkan rahang gadis kecil itu yang barangkali besarnya seperti bola pingpong, kuku tajam menggores pipi serta leher Aalisha, mereka semakin dekat karena Eloise benar-benar menjepit Aalisha di dinding, ia bahkan bisa merasakan demam gadis kecil itu yang menjalar melalui tangannya.

Terlihat di koridor lain ada beberapa murid yang langsung putar balik saat melihat pemandangan mengerikan atau malah mencurigakan? Mereka tidak mau terlibat pertengkaran antara De Lune dan Clemence. Lebih baik kabur saja.

"Kuharap kaumengerti karena aku takkan melepaskanmu sampai kau menjawab, aku juga tak peduli jikakau mati karena demam, aku akan menahanmu di sini sampai kau menjawabku, bocah sialan." Suaranya kini lebih seperti berbisik. "Jangan remehkan aku ya, gadis kecil? Jawab aku!!" Ia membenturkan pelan kepala Aalisha ke dinding lagi.

Aalisha hendak memberontak, tetapi baru ia menggerakkan kepalanya, rasa panas menjalar melalui kuku-kuku tajam Eloise di sekitar dagunya. Ia sulit pula hendak menggunakan mantra dan menyerang menggunakan kaki karena ada pentagram sihir di bawah kaki mereka.

"Jangan coba memberontak, jawab aku dulu," kata Eloise lagi seraya cengkeraman tangannya menguat pada dagu Aalisha. "Jangan remehkan aku ya? Setidaknya jawab dengan anggukan kepala. Aalisha De Lune, jangan remehkan aku ya?"

Sesaat Aalisha melirik pada tiga ekor tikus hitam mata merah yang berjalan dari koridor lain menuju ke semak-semak, membuat matanya membulat seolah-olah ia menyadari akan sesuatu, lalu ia menatap Eloise kembali sembari mengangguk pelan. "Iyaa."

"Gadis pintar," balas Eloise, bukannya ia lepaskan Aalisha, dia malah mencengkeram kuat leher si gadis De Lune, mencekiknya. "Aku baru sadar lho, kalau kausangat kecil dan mungil, bagaimana bisa seorang Keturunan Utama seperti ini? Aku bisa saja mematahkan lehermu bahkan tanpa mantra sihir."

Aalisha yang mulai kesulitan bernapas, ia berujar pelan setelah melihat dua kupu-kupu sayap biru terbang di dekatnya. Aalisha berbisik, "ada ... orang lain di sini."

Eloise hanya diam dan manik matanya menatap intens pada Aalisha. "Aku tahu."

Sekonyong-konyong, Eloise Clemence melepaskan cengkeramannya dari leher Aalisha, tubuhnya dialiri Neith merah muda, seraya ia berujar, "arah jam berapa?"

Aalisha masih memegangi lehernya karena sakit, ia berujar dengan susah-payah. "Arah jam tiga, di langit-langit menara."

Meskipun tanpa rapalan mantra, telapak tangan Eloise menciptakan bola api melayang nan sangat panas kemudian ia serang ke arah seorang kesatria berzirah yang memata-matai mereka di atas atap menara. Betapa sempurnanya serangan Eloise sehingga berhasil membakar kesatria tersebut, lalu ambruk ke tanah.

"Arah jam sepuluh, mereka tak terlihat, ada dua orang," ujar Aalisha lagi, mengusap hidungnya yang berdarah.

Lekas Eloise mengentakkan kakinya ke lantai, muncul dua pentagram merah di bawah kedua kaki musuhnya meski tak terlihat karena menggunakan mantra invisible body. Tanpa ampun berkat sihir Eloise, semburan api menyerupai letusan lava gunung merapi berhasil melahap tubuh kedua musuhnya yang kini tampak karena mantra mereka usai, sukses mereka tiada karena lava merayapi kulit-kulit mereka, melepuh dan ambruk.

"Di mana lagi?"

Dua ekor semut di telapak tangan Aalisha, memberi informasi. "Dua orang, bersembunyi dalam tanah," kata Aalisha.

"Pengecut bersembunyi dan menyerang secara berkelompok," ujar Eloise menggunakan kemampuan mistisnya.

Tanah retak bersamaan angin berembus kencang dari dalam tanah di taman dalam akademi tersebut, berhasil melempar ke atas kedua musuhnya, lalu ayunan tangan Eloise, menciptakan gemuruh guntur di siang bolong, menyambar mereka semua hingga gosong dan bergelimpangan di rerumputan. Sungguh menakjubkan karena Eloise Clemence dapat menggunakan sihir dengan mudahnya, tak membuat ekspresi berlebihan, tidak terlihat lelah juga, berbeda dengan Aalisha yang mulai muntah darah dan demamnya makin tinggi.

"De Lune," ujar Eloise lalu muncul di hadapan Aalisha. "Menunduk."

Lekas Aalisha mengikuti perintah Eloise, ia menundukkan kepalanya karena tepat tak jauh darinya tiga orang berpakaian zirah besi melancarkan serangan berupa gelombang air yang sangat panas ke arah mereka, tetapi ketika Eloise merentang jemarinya ke depan, serangan gelombang air tersebut berhasil ia tepis sehingga tidak mengenainya maupun Aalisha. "De Lune, bergunalah sedikit untukku."

"Aku tahu itu," ucap Aalisha mengusap hidungnya maka puluhan Amadeo membawa bara api melempari ketiga musuh tersebut hingga zirah mereka bolong dan bara apinya mengenai kulit mereka. Serangan gelombang air mereka jadi tak beraturan.

"Gadis pintar," balas Eloise seraya mengepalkan tangannya yang seketika batu kerikil di tubuh tiga musuh mereka meledak karena kemampuan Eloise.

"Ada lima orang lagi," ujar Aalisha, memunculkan pedang Aeternitas. "Mereka membawa tameng." Ia ayunkan sekuat tenaga hingga berhasil menghancurkan kelima tameng besi tersebut. Ia rapalkan mantra, memunculkan lima pentagram sihir yang lekas rantai-rantai besi melilit tubuh kelima musuh tersebut hingga tertahan di udara.

Eloise mengulurkan tangannya ke arah ke lima musuh, seringai puas Eloise terukir sempurna. "Special Techniques, Clemence Family: Ignisist Dissolvit Corpus."

Menjalar melalui rantai besi milik Aalisha, api merah pekat hampir menghitam, lalu membakar kelima musuh tersebut hingga zirah besi mereka menetes ke rerumputan, jeritan hanya terdengar sebentar karena pita suara mereka meleleh, tetapi tidak semua organ tubuh mereka meleleh, keburu ambruk ke rerumputan dan bergelimpangan layaknya burung panggang dibuang ke kandang buaya.

Berdasarkan sejarah Athinelon, sudah diakui berpuluh-puluh tahun bahwa kombinasi kekuatan Clemence dan De Lune adalah salah satu senjata paling mematikan, sayang sekali dari zaman ke zaman, hubungan keluarga tersebut semakin merenggang.

"Kaulumayan juga, bocah ...." puji Eloise.

Tatapan Eloise masih tajam meski ia melihat Aalisha tersungkur ke lantai dan memuntahkan banyak darah, wajahnya pucat pasi, serta demam makin tinggi. "Jangan mati dulu, aku tak mau dianggap jadi orang yang membunuhmu di sini. Hey, kau mendengarku atau tidak? Aalisha."

"Mereka belum mati." Aalisha berujar dengan lemah seperti ia akan pingsan kapan saja.

"Mustahil, apiku selalu berhasil membunuh orang tanpa terkecuali ...." Eloise berhenti berujar ketika melihat para musuh yang telah ia bakar atau tersambar petirnya, kini satu per satu bangkit kembali dengan mata memerah serta mulut berbusa. "Apa-apaan kalian ini? Mayat hidup? Bocah De Lune, bangunlah dan cepat bertarung ... De Lune."

Eloise Clemence berdecak sebal karena Aalisha hanya diam saja, entah sudah pingsan atau tidak, tetapi gadis kecil itu tidak memberikan jawaban.

Berada di pandangan Aalisha, ia merasakan keanehan karena terdengar suara-suara bergema di kepalanya, lalu kabut putih mulai mengelilinginya, ia sadar dengan suara Eloise yang terus memanggilnya, tetapi tidak sedikit pun ia dapat menggerakkan tubuhnya atau membuka mulut untuk menjawab perkataan Eloise.

Kini permasalahan yang ia hadapi adalah penampakan sebuah ruangan berantakan, menyerupai kamar di sebuah gubuk tua, kemudian terlihat dua anak kembar di kasur besar dengan selimut tua dan berdebu, bayi kembar itu berjenis kelamin laki-laki dan perempuan serta mereka terlihat sangat lemah dan menangis terus-menerus. "Siapa kedua bayi itu?" Aalisha bergumam pelan pada diri sendiri. "Apa ini ingatan artefak? Sial harusnya tidak kubawa artefaknya."

Secara cepat, adegan ini berganti ke sebuah tribune asrama Eidothea serta ada pertandingan Oulixeus di sana. Suara riuh para penonton ketika kompetisi asrama Sylvester melawan asrama Drystan. Kemudian adegan berganti lagi yang kini memperlihatkan sebuah koridor Eidothea, terlihat murid-murid bangsawan tengah merundung seorang lelaki yang kemungkinan berasal dari kaum proletar, tubuhnya dipukuli, diinjak-injak, ditendang hingga berdarah-darah. Si lelaki dirundung tersebut menangis hingga muncul seorang gadis yang mengamuk dan memarahi para murid bangsawan tersebut bahkan tak segan-segan bertarung hingga mengalahkan mereka semua. "Mereka ... anak kembar tadi."

Jeritan terdengar kencang pada detik selanjutnya, lekas Aalisha menoleh ke belakang, matanya membulat sejenak ketika melihat profesor Chameleon menggunakan sihirnya menyerang si murid lelaki hingga bersimbah darah, kemudian saudara perempuannya maju untuk melindungi adiknya, tetapi berakhir mengenaskan karena dibunuh oleh profesor Chameleon juga. Tubuh anak kembar tersebut bergelimpangan di lantai dan darah mengucur keluar hingga menciptakan genangan darah berbau busuk.

Kini profesor Chameleon melirik pada Aalisha, wajah pria itu tidak jelas dan pudar, tetapi sering kejahatan terukir di wajahnya. "Kau dalang semua ini termasuk wabah tikus, kau adalah pelaku utamanya benar bukan?"

Bukan jawaban yang Aalisha dapatkan, tetapi profesor Chameleon yang terlihat seperti mayat hidup perlahan-lahan beringsut maju dengan menggenggam erat gagang pedangnya, Aalisha hendak melawan, tetapi tubuhnya terpaku dan tak bisa bergerak, parahnya ia mulai sesak napas, dan demamnya sudah melebihi batas normal bahkan bisa kejang-kejang jika dibiarkan saja. "Ini hanya memori, ini tidak nyata."

Andai benar seperti itu, ia yakin jika ia takkan mati meski kepalanya ditebas, tetapi secara berangsur-angsur, memorinya memudar dan memperlihatkan masa kini bersamaan di hadapan Aalisha adalah sosok kesatria berzirah dan telah menjadi mayat hidup serta melangkah mendekatinya dengan kedua tangannya menggenggam erat gagang kapak besi nan tajam. "Sialan, ini nyata bukan mimpi!"

Detik selanjutnya, sang kesatria mayat hidup mengayunkan kapak besarnya hendak memenggal kepala Aalisha secara horizontal sehingga tubuhnya juga akan terbelah menjadi dua. Sang De Lune tidak bisa bereaksi apa-apa bahkan tak sempat menggunakan mantra atau kemampuan mistisnya. Hanya dalam hitungan detik saja, ia pasti akan mati terpenggal.

"Special Techniques, Clemence Family: Quid Tulips Plectere."

Sekonyong-konyong pentagram merah terukir di bawah kaki sang kesatria mayat hidup, bersamaan dengan sulur-sulur beku melilit kedua kakinya hingga tangannya, menghentikan serangan kapaknya, lalu bermunculan bunga-bunga tulip beku yang sukses membekukan seluruh tubuh musuh tersebut. Berhasil pula menyelamatkan Aalisha dari kematian.

"De Lune sialan." Suara knee high boots Eloise bergema di sepanjang koridor, melewati Aalisha, lalu berhenti di depannya. Jemari Eloise terulur ke hadapan patung es si kesatria mayat hidup tersebut. "Kau berutang budi padaku, lho." Eloise menyentil patung tersebut hingga pecah berkeping-keping, maka musuhnya tiada tuk selama-lamanya. Eloise menjentikkan jarinya, seketika barrier musuh yang mengelilingi mereka hancur berkeping-keping.

"Mereka tampaknya memasang barrier di sekeliling kita karenanya sejak tadi tak ada yang melewati koridor ini atau mendengar keributan di sini," jelas Eloise lalu berkacak pinggang.

Embusan napas berat Aalisha terdengar, ia tak menjawab apa pun, menoleh ke belakang, memperlihatkan semua musuh tadi yang mati bahkan tak bersisa tubuhnya entah karena dibakar hingga jadi abu atau dibekukan kemudian dihancurkan berkeping-keping oleh Eloise Clemence. "Jadi ini kemampuan Clemence. Sialan, dia kuat juga." Suara berdebum terdengar, tubuh Aalisha ambruk ke lantai.

"De Lune! Oh sialan, kau beneran pingsan!" Eloise berteriak dan sangat kesal, lalu ia mendengar suara langkah kaki beberapa murid dan profesor akademi Eidothea.

"Jagad Dewa, apa yang terjadi di sini?!" Suara profesor Madeleine terdengar bersama dengan profesor Solana serta profesor Ambrosia yang menggendong Lilura.

"Aalisha De Lune!" Profesor Ambrosia langsung duduk di lantai, membawa tubuh Aalisha ke dalam dekapannya. "Dia demam tinggi? Apa yang terjadi di sini?"

"Nona Clemence," ujar profesor Solana, tetapi perkataannya terhenti ketika mereka yang ada di sana melihat sesosok kesatria yang sudah berdarah-darah tampak bangun kembali.

"Kami diserang olehnya, dia membawa kelompok dan menciptakan barrier sehingga membuat orang lain tak melewati koridor ini," jelas Eloise yang terlihat dilindungi oleh profesor Solana, sementara para murid yang ada di koridor itu lekas melangkah mundur.

Sang kesatria berdarah-darah, menarik pedangnya dan memunculkan pentagram sihir hitam. Ia seperti hendak melancarkan serangan yang sangat besar, tetapi profesor Madeleine sudah melangkah maju dan berujar, "oh tidak, kali ini jangan sakiti anak-anakku lagi!" Wanita paruh baya itu memunculkan pentagram sihir hijau menyala.

Hanya saja detik selanjutnya, bukan serangan diarahkan kepada mereka, tetapi sang kesatria menusuk jantungnya sendiri lalu tubuhnya meledak berkeping-keping, darah memuncrat tidak mengenai siapa pun berkat barrier diciptakan profesor Madeleine.

"Dia bunuh diri," kata Eloise, "keparat."

Profesor Madeleine berbalik. "Yang lain bubar, lalu dua orang kirim surat dan laporkan hal ini kepada profesor Eugenius! Kemudian Ambrosia, bawa nona Aalisha ...." Ternyata profesor Ambrosia sudah pergi menggendong Aalisha ke klinik akademi. "Nona Clemence, kau ikut aku, Profesor Solana tolong pasang barrier di area ini, serta jangan sampai ada yang melintas! Kemudian jangan satu pun ada yang menyebarkan masalah ini keluar Akademi Eidothea!"

"Baiklah," ujar profesor Solana, "yang masih di sini, cepat bubar!"

Kericuhan di koridor tersebut pun berkurang seiring profesor Solana membubarkan para murid dan memasang barrier untuk menutup tempat kejadian perkara agar tak ada yang melintas di sana sebelum diperiksa oleh para profesor lebih lanjut. Apakah semuanya telah berakhir?

Tampaknya ada sesosok jubah hitam dan mengenakan topeng tengah memantau dari kejauhan di salah satu atap menara Eidothea. Ia lalu melompat, melewati para murid dengan mudahnya, berhenti di salah satu taman dalam akademi Eidothea. Ia sejenak melirik ke kuil yang tak dijaga oleh siapa pun. Cyubes-nya muncul, ia berbicara pada seseorang. "Kita gagal mendapatkan darah De Lune, tetapi tidak sepenuhnya buruk, aku akan kembali ...."

Ia berhenti berujar karena mendengar suara gemerisik di semak-semak, lekas menarik pedangnya, dan bersiap menyerang jika ada seseorang bersembunyi di sana. Namun, yang muncul hanyalah seekor kelinci putih imut dan meliriknya dengan bingung. "Hanya kelinci putih, kupikir ada seseorang," ujarnya di Cyubes lagi, tetapi ia langsung terkejut. "Apa kauberkata?! Kelinci ini milik tuan putri De Lune?"

Tanpa basa-basi, ia mengayunkan pedangnya hendak menebas kepala kelinci putih bernama tuan Bhuncis tersebut, tetapi serangan petir hampir menyambarnya, ia melompat bersamaan dua awan ungu-biru tua muncul di dekat tubuhnya, dan sengatan listrik bertegangan tinggi tercipta. Sayang sekali gagal melukai sosok berjubah hitam tersebut. "Ada yang datang, itu binatang magis?"

"Hippi!!" teriak seekor Hippibia lekas menggendong Bhuncis sambil melancarkan sengatan listrik lagi, tetapi tidak berpengaruh ke lawannya.

"Makhluk sialan!" Serangan tanpa rapalan mantra dikerahkan dengan cepat ke Hippibia dan tuan Bhuncis. "Sialan, ada binatang magis lain."

Ibarat kecepatan cahaya, sayap-sayap terbentang cukup lebar, lalu binatang magis berupa tupai dengan kacamata terbang sangat cepat! "Squishy!!" Maka ia mengangkat tubuh Hippibia yang mendekap tuan Bhuncis, lalu terbang membawa mereka kabur dari cengkeraman sang jubah hitam.

"Binatang di sini bahkan menyusahkan." Tanpa ampun, ia melancarkan serangan sihir ke arah tiga binatang yang kabur tersebut, tetapi selalu gagal karena Squiscypus terbang dan menukik sangat cepat. Sosok berjubah hitam berdecak, lekas ia mengejar para binatang itu.

Kini permainan kejar-kejaran dimulai, betapa Squiscypus mengerahkan semua kekuatan yang ia miliki dengan terbang sangat cepat serta memperkuat kedua tangannya agar tetap bisa mengangkat tubuh Hippi dan Bhuncis. Sementara itu, Hippi terus menggunakan sihirnya, kedua tangannya menciptakan awan-awan ungu yang menyambarkan petir ke arah musuh mereka.

Sukses membuat si jubah hitam jadi kesulitan mengejar mereka. Lalu kerjasama dengan Bhuncis---kelinci itu membuang kotoran-kotoran kecilnya, dipadukan dengan sihir Hippibia, sehingga menciptakan bom-bom kecil yang akan meledak, berbau busuk, menyambarkan petir, berhasil mendistraksi musuh mereka. Kini Squiscypus terbang keluar dari area akademi Eidothea dan tiba di lapangan Barat kastil akademi.

"Harus kubunuh mereka!" Serangan sihir yang mengerikan tepat dikerahkan pada ke ketiga binatang tersebut, tetapi tiba-tiba sebuah pedang tajam berhasil menangkisnya. "Apa?" Langkahnya berhenti.

Squiscypus terbang dan membawa Hippi serta tuan Bhuncis menuju seseorang, melepaskan mereka, kini Bhuncis berada di pelukan, Hippi di atas kepala, dan Squishy hinggap di bahu serta kelelahan. "Kerja bagus. Kalian boleh beristirahat, kini sisanya serahkan padaku." Suara lembut, jernih, dwn indah itu terdengar, bersamaan pedang tajam bersinar biru.

Si jubah hitam berhenti, Cyubes-nya masih memperlihatkan jika ia tengah mengobrol dengan seseorang. "Tunda pertemuan, bantu aku kabur. Belum saatnya aku menghadapi bocah itu, dia terlalu berbahaya."

Sayangnya bocah yang dimaksudkan tidak meminta penjelasan apa pun, tidak pula menunda waktu. Kini puluhan pentagram biru tanzanite bermunculan mengelilingi mereka, terdengar nyaring membelah langit. "Special Techniques, Athreus Kieran Zalana ...."

"Sialan, bawa kemari cerminnya!" teriak si berjubah hitam. "Bawa aku kabur dari sini!"

"Garden of Centum Gladius Rota!" Athreus Kieran Zalana berteriak, maka keluarlah dari pentagram sihir, puluhan roda bergerigi yang di ujungnya ada ratusan pedang tajam serta siap mencabik-cabik musuhnya. "Matilah ke neraka!"

Roda bergerigi tersebut lepas dari penyangganya, berputar-putar sangat cepat ke arah targetnya, ketika berhasil menyentuh tanah, maka hancur lebur, luluh lantak lapangan sebelah Barat tersebut hingga bahana gemuruh mengerikan terdengar di mana-mana. Sukses tercipta kawah besar sedalam lima meter. Tatapan Athreus masih tajam, melirik ke arah musuhnya. "Sialan, dia menghilang."

Gagal.

Ternyata musuhnya berhasil kabur dan hanya menyisakan cermin yang pecah, Athreus berdecak kesal, ia hilangkan teknik spesial dari kemampuan mistisnya. Sejenak ia berusaha menenangkan dirinya, lalu berucap pada ke ketiga binatang. "Ayo cek kondisi, Clemence dan Little Bunny."

Tuan Bhuncis di pelukan Athreus mendongak bingung ke arah Athreus. "Bukan kau Bhuncis, tapi Little Bunny yang lain." Lekas ia berlari dari sana.

Berada di waktu yang bersamaan, tetapi di tempat yang berbeda. Terlihat Nicaise Von Havardur tengah berfokus pada dokumen tentang cara membaca rasi bintang. "Aku berhasil menemukan beberapa titik gerbang yang akhir-akhir ini sering dibuka."

Lalu seorang Orly muncul, ia adalah Xerafhim. "Yang Mulia, ada kabar jika Nona Clemence dan Nona De Lune ...." Ia menjelaskan apa yang menimpa kedua Majestic Families tersebut.

"Apa?" ujar Nicaise, "aku akan segera menemui mereka." Lekas ia berlari setelah menyimpan kembali dokumennya.

Menuju salah satu koridor akademi Eidothea, terlihat Anila Andromeda berlari dengan perasaan khawatir setelah dikabarkan jika Aalisha dan Eloise mengalami penyerangan. Aalisha dilarikan ke rumah sakit, luka parah, berdarah, dan demam tinggi. "Oh Dewa, kenapa Aalisha harus lagi?"

Sementara itu, Gilbert, Frisca, dan Kennedy menyusul. "Cepat hubungi Mylo kalau Aalisha masuk rumah sakit," kata Frisca pada Gilbert dan Kennedy.

Tempat Mylo berada, setelah kelas master Howard, ia tak bersama teman-temannya. Ternyata menemani Nathalia Clodovea yang tengah memilih tanaman untuk tugasnya di mata pelajaran Biologi, ketika mendengar kabar mengenai Eloise, ia terkejut bersamaan menatap Mylo yang tengah membaca pesan dari teman-temannya. "Kita harus ke rumah sakit."

Di detik yang berbeda, asrama Drystan. Terlihat Killian Cornelius menangis kencang, ia duduk di pojok kamarnya dengan surat penuh coretan berwarna merah darah di lantai, surat itu bertuliskan: lakukan rencana kami, jangan laporkan pada siapa pun. Kau ingat konsekuensinya, 'kan? Jika kaugagal, maka kau akan kehilangan ibu yang sangat kaucintai itu!

Skenario takdir pun semakin bergulir, betapa riuhnya akademi Eidothea saat diketahui jika dua Majestic Families mengalami penyerangan dan sang Tuan Putri De Lune terbaring tak sadarkan diri dengan demam sangat tinggi. Andaikata dapat dilihat dari langit-langit, maka betapa besarnya pengaruh Sang Clemence terutama Sang De Lune karena hampir setengah dari penghuni Eidothea kini memadati koridor menuju ruangan rumah sakit Eidothea.

Ya, tirai dongeng pada hari itu pun usai dan akan segera berlanjut pada esok harinya.

Betapa Mulianya para Keturunan Majestic Families serta bagaimana takdir mereka akan berjalan?

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

|| Afterword #31

Tampaknya novel ini akan segera menuju puncak atau klimaks alur^^

Melihat masa lalu, sudah diperjelas jika ada tiga profesor yang ditampilkan dalam memori artefak. Tak disangka pula jika profesor Chameleon membunuh muridnya sendiri? Apa alasannya ya?

Berbicara mengenai De Lune, dia tetaplah manusia yang bisa sakit pula jadi tak heran pada chapter ini dia benar-benar tampal tak berdaya. Kemudian sungguh-sungguh tak disangka ya jika mereka bisa berkumpul bersama^^

Clemence Family kan kemampuan mistis mereka ahli dalam mengendalikan elemental hingga zat-zat dan mineral yang ada di dunia. Sehingga zat-zat dalam tubuh manusia bahkan air pun dapat mereka kendalikan, jadi sebenarnya sangat memungkinkan kalau Clemence dapat meledakkan tubuh manusia dengan mendidihkan air maupun zat-zat atau mineral tertentu dalam tubuh mereka.

Kadang jangan terpaut hanya pada De Lune hanya karena dapat mengendalikan makhluk hidup karena Majestic Families lainnya juga punya potensi membinasakan dunia. Bahkan jika Clemence mau, mereka bisa mengubah seluruh cuaca di Athinelon dan membawa kiamat turun, opss terlalu hiperbola?

Tampak pula, Hippi, Squishy, dan Bhuncis kembali menjadi tim dengan kerja sama yang semakin baik^^

Prins Llumière

Minggu, 05 Januari 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top