✒ Chapter 41
|| Before I take my shotgun dan kill you all, vote dan komen serta cari posisi ternyaman karena chapter ini totalnya 9.687 kata^^
|| Beri komentar 200+ agar gue tahu reaksi kalian akan chapter ini karena chapter ini mengandung adegan epic dan masterpiece!!
|| Siap melihat aksi hebat dari Sang De Lune?
Penyair menuliskan puisi indah mereka tentang Athinelon.
Dunia sihir yang tak dapat dikira ujungnya hanya dengan akal pikiran manusia. Terhampar luas daratan dan lautan serta langit yang awan-awannya berarak, berganti siang dan malam, bulan dan matahari memainkan perannya serta kelap-kelip bintang menambah pernak-pernik keindahan. Lalu puluhan benua dengan ribuan wilayah serta perbedaan makhluk yang menghuni wilayah tersebut. Tidak luput pula wilayah tak terjamah kehidupan yang dijaga oleh Nott sehingga harus menyelesaikan tantangan dari Sang Penjaga Wilayah tersebut karena kalau berani mendiami wilayah itu tanpa persetujuan, maka bersiaplah mendapat hukuman.
Dunia dihuni ratusan ras dan makhluk hidup, beragam adat-istiadat, budaya, hingga norma-hukum mereka. Bahkan keragaman bentuk wilayah mulai dari infrastruktur bahkan ada yang masih menjaga peninggalan leluhur atau menjadi wilayah yang modern.
Tidak lupa pula, Athinelon yang menyimpan jutaan rahasia tak terduga yang membuat banyak makhluk hidup takkan berhenti memuji keindahan maupun takut akan kengerian yang ada di dunia ini. Meskipun para makhluk hidup tinggal di Athinelon dapat menciptakan keajaiban-keajaiban dengan sihir, tetapi semua itu tidak terlepas dari kehebatan Para Dewa dan Dewi yang Bertahta di Athinelon yang memang tiada bandingannya.
"Jagad Dewa." Suara Mylo terdengar ketika mereka bertiga membuka pintu Mansion tersebut lalu. Lalu embusan angin lembut dengan tercium bau wewangian serta cahaya terang dari dalam Mansion sungguh membuat mereka tercengang. "Ini bukan Mansion biasa."
Suara pintu tertutup di belakang mereka ketika ketiganya sudah memasuki Mansion. Awalnya mereka berpikir bahwa tempat ini layaknya Mansion tua terbengkalai yang ditinggalkan selama bertahun-tahun sehingga tampak kotor, dinding berwarna cokelat, hingga pencahayaan yang kurang, barangkali harus mereka gunakan sihir penerangan agar mempermudah penglihatan mereka. Namun, semua asumsi itu salah total.
"Oh Dewa, babak selanjutnya adalah ... Mansion sihir? Atau ini sebuah kastil," ujar Anila.
"Entahlah, Anila ...." Mylo tampak tak berkedip dengan mulut sedikit terbuka, ia benar-benar kagum pada tempat yang mereka lihat sekarang ini. "Kurasa lebih tepatnya disebut sebagai Mahakarya."
"Aku sependapat." Bahkan seorang De Lune pun mengatakan hal yang sama, maka seperti apakah Mahakarya yang dimaksudkan tersebut?
Cahaya matahari menyinari segala penjuru tempat ini sehingga memperjelas penglihatan mereka dan setiap sudut-sudutnya. Lantai putih bersih terhampar luas hingga tak tampak ujungnya, ubin-ubinnya seolah-olah dipoles sedemikian rupa hingga tak menyisakan noda sedikit pun. Lalu terdapat ukiran menyerupai karpet, berupa motif arbesque emas gradasi biru laut yang tertanam di dalam ubin putih, tetapi karpet tersebut tampak jelas dan jernih saking tak bernodanya ubin putih tersebut, ibaratnya tembus pandang sehingga siapa pun yang berada di sini ketika menengok ke bawah maka bisa melihat karpet arbesque emas gradasi biru yang dalam di dalam ubin putih bersih.
"Berapa ratus tiang di sini?" ujar Mylo seraya menengok ke kanan dan kiri. "Apakah terbuat dari emas!!"
Tiang-tiang kokoh berbentuk bundar menjulang tinggi yang kemungkinan terbuat dari bebatuan granit cantik nan putih serta ada bercak-bercak emasnya menambah kesan mewah, lalu di kedua ujung tiang juga dilapisi emas murni sehingga tampak mengkilap dan sesekali bercahaya ketika terkena paparan sinar matahari. Ada pula lentera-lentera yang terbuat dari emas murni dengan cahayanya berwarna putih serta tidak kunjung padam.
Kekaguman mereka semakin bertambah ketika mendongakkan kepala dan menatap pada langit-langit Mansion ini yang sungguh mewah dan cantik; perpaduan warna emas, biru, dan putih. Di setiap empat tiang, ada ornamen-ornamen yang kemungkinan diukir langsung oleh seniman ternama karena terlihat detailnya yang sangat rumit nan sulit. Lalu lampu gantung yang sangat besar terbuat dari ribuan kristal murni tersusun membentuk kerucut yang mengarah ke bawah serta suara gemerincing ketika satu per satu kristal bersenggolan dengan yang lain. Jika dihitung, bisa lebih puluhan lampu gantung kristal di tempat ini.
"Bolehkah kucuri satu, takkan ketahuan jika hilang satu kristal 'kan?" canda Mylo.
"Jangan merusuh." Anila memukul bahu Mylo lalu terkekeh.
"Yang putih bergerak-gerak itu, sepertinya awan," ujar Aalisha, "kurasa Mansion sihir ini, ada di atas awan."
"Apa?!" kata Anila dan Mylo berbarengan.
Betapa merasa terkejut mendengar perkataan Aalisha, lekas mereka kembali memperhatikan atap-atap Mansion ini yang ternyata benar memang ada gumpalan awan-awan yang berarak ke sana kemari. Lalu ada sedikit atap yang terbuat dari kaca bening sehingga berasal dari sanalah cahaya matahari. Sungguh, mereka tidak berhenti kagum ketika burung-burung merpati putih bersih berterbangan ke sana kemari dengan sangat bebas dan sesekali bertengger di lentera tiang-tiang cantik tersebut. Ada pula yang terbang dengan membawa buku di kedua cakar mereka.
"Kalian lihat itu!" teriak Anila, "ada rak buku melayang!"
Mylo matanya semakin membulat lebar. "Burung merpatinya ... apakah mereka sedang merapikan buku-buku ke dalam rak?"
Rak-rak buku emas berukuran sedang yang memiliki empat tingkatan, tengah melayang-layang di Mansion ini. Jumlah rak-rak buku ini sangat banyak dan hampir ada di setiap titik Mansion, terutama karena tidak tampak ujung dari Mansion ini. Setiap menengok ke kanan maupun kiri hanya terlihat tiang-tiang putih dan lantai putih dengan karpet emas gradasi biru terbentang luas. Selain itu, juga ada beberapa patung emas yang mengukir sosok kesatria dengan zirahnya, penyihir membawa tongkat panjang dan buku melayang, kemudian sesosok manusia dengan pakaian bak penyair dan seolah-olah memperagakan gaya sedang membacakan syair maupun dongeng di hadapan banyak orang. Lalu di setiap patung, samping mereka akan ada rak kecil berisi buku-buku juga, seolah-olah Mansion ini penuh dengan ilmu pengetahuan.
Terpujilah pemilik dari Mahakarya yang indah ini.
"Haruskah kita berkeliling?" kata Mylo sejenak menatap ada dua anak tangga di dekat mereka, seolah jadi pembatas sebelum memasuki area Mansion indah ini.
"Kurasa jangan dulu." Aalisha melirik ke sebelah kanannya. Ada sebuah meja putih dan juga bel kecil. Mylo dan Anila mengikuti tatapan Aalisha. "Lebih baik laporan sebelum masuk ke Mansion ini atau kita akan diusir paksa."
"Tentu, aku juga berpikir yang sama," balas Anila.
Ketiga bocah tersebut kemudian melangkah mendekati meja resepsionis, anggap saja seperti itu, tetapi sayangnya tak ada seorang pun berjaga di sana. Lalu meja tersebut juga sangat besar dan tinggi. Bahkan melebihi tinggi Anila dan Mylo sedangkan Aalisha ... tentu saja tenggelam, gadis kecil itu sama sekali tidak bisa menggapai atas meja.
"Tunggu apalagi," kata Aalisha, "bunyikan belnya karena aku tidak bisa menjangkaunya!"
"Iya, iya, aku bunyikan!" Mylo harus berjinjit pula agar bisa menyentuh bel di ataa meja tersebut, setelah berjuang sekuat tenaga, ia berhasil menekan bel dan suara gemerincing terdengar. "Ada yang datang nggak?"
Anila dan Aalisha menggelengkan kepala mereka karena tak seorang pun datang.
"Coba tekan lagi belnya," kata Anila.
Mylo mengangguk lalu berjinjit kembali dan menekan bel tersebut, tetapi masih tidak seorang pun yang datang.
"Bunyikan berkali-kali," sahut Aalisha.
Mylo pun berkali-kali membunyikan bel tersebut hingga suara gemerincingnya semakin banyak dan jadi keras. Tiba-tiba saja, Mylo terperanjat kaget hingga ia jatuh terguling ke belakang karena tangannya yang menekan bel berkali-kali dipukul kencang menggunakan tongkat kayu. "Hey, siapa yang memukulku?!" teriak Mylo, punggung tangannya memerah sedikit.
"Apa kau baik-baik saja?" Anila membantu Mylo berdiri.
"Oh akhirnya muncul juga," ujar Aalisha.
Perlahan-lahan muncullah sesosok makhluk yang tidak mirip dengan manusia, ia berpijak pada piringan emas yang dapat terbang dan melayang-layang sehingga membantunya untuk menjangkau meja tinggi nan besar tersebut. "Maaf atas keterlambatanku, sudah lama tidak ada tamu berkunjung aku lama pula tidak mendengar gemerincing bel meja tua ini."
"Woah ... kau ini makhluk apa?" Mylo berujar tanpa sadar dan lekas disenggol Anila, diberi tatapan tajam nan menusuk.
"Jangan asal bicara, kita tidak tahu dia ini musuh atau bukan," bisik Anila dan Mylo menganggukkan kepala.
"Jangan takut." Suara makhluk itu terdengar lagi, ia memiliki suara yang lumayan lembut dan tidak menyeramkan, jadi kemungkinan bukan monster atau iblis. Hanya saja tetap bukan makhluk dari ras manusia. "Aku tidak berbahaya dan perkenalkan namaku Miirphys, aku adalah Orly sekaligus Pustakawan Utama di Mansion kecil ini."
"Mansion kecil?!" jerit hati ketiga bocah.
"Sekali lagi aku menyambut kalian, tamu-tamuku!" Miirphys sedikit membungkuk. Makhluk tersebut memiliki tinggi kemungkinan sekitar 135 cm, badannya agak gemuk, wajahnya bulat seperti bola dengan mata hitam keseluruhan, lalu ada semacam tato merah di sekitar matanya, dan mulut berupa garis hitam melengkung. Entah itu memang wajah aslinya atau hanya sekadar topeng. Lalu ia mengenakan jubah biru gelap, membawa buku sampul cokelat dan besar di tangan kanan dan tongkat kayu di tangan kiri.
"Tetap lebih tinggi makhluk itu dari pada Aalisha," ujar Mylo.
"Mylo jangan mengejek," kata Anila.
"Sialan." Aalisha menendang tulang kering Mylo hingga ambruk lagi ke lantai dan kali ini Anila enggan menolong.
"Halo Miirphys, salam kenal dan senang bertemu denganmu," kata Anila, "kami ... adalah warga di luar Mansion ini. Tidak sengaja menemukan Mansion ini dan masuk. Sebelumnya kami meminta maaf jika kami dianggap tak sopan karena masuk tanpa izin."
Gelengan kepala. "Tidak, jangan meminta maaf, aku malah senang karena memiliki tamu setelah bertahun-tahun. Lalu akulah yang harus meminta maaf karena Mansion ini sedikit berdebu."
"Berdebu dari mananya? Tempat ini putih bersih!" jerit isi hati ketiga bocah.
"Ya, baiklah ...." Anila berpikir sejenak, "menurut kami ini sudah cukup bersih." Ia menyenggol Mylo karena bingung harus berkata apa.
"Ah ya! Mansion ini sangat indah, luas, besar, mewah ....." Mylo berhenti ketika Aalisha melangkah maju.
"Bisakah kami masuk, aku mau berkeliling di sini, lelah terus-menerus berdiri." Aalisha berujar lugas tanpa ekspresi sedikit pun, tetapi sukses membuat Anila dan Mylo hendak menjerit, berusaha mereka tahan karena tak mereka sangka jika Aalisha akan se-gamblang itu. "Jika bisa tolong sediakan minuman dingin karena aku haus."
"Aalisha---" Lekas Anila menutup mulutnya sendiri karena ia kelepasan menyebut nama padahal ia tahu jika berisiko berada di tempat antah-berantah dan identitas asli diketahui. "Ehem! Maaf atas kelakuan ... adikku, dia memang seperti itu jika lapar."
Terdengar suara kekehan kecil dari Miirphys. "Tidak masalah, kuyakin jika kalian mengalami perjalanan panjang hingga bisa kemari. Jadi tentu saja, sebagai tamu setelah sekian lama, kuizinkan kalian masuk dan akan kusuguhkan makanan dan minuman terbaik."
Anila menghela napas. Ia kira Miirphys akan curiga akan identitas Aalisha atau tersinggung dan marah karena perkataan Aalisha sebelumnya.
"Namun, ada aturan sebelum melangkah ke Mansion ini lebih jauh," kata Miirphys, "yakni para tamu haruslah suci dan bersih dari segala kotoran karena lantai di sini harus selalu bersih tak bernoda."
Ketiga bocah tersebut sontak melirik ke bawah, sepatu dan celana mereka yang penuh dengan kotoran seperti tanah becek serta cipratan darah maupun debu bekas pertarungan mereka melawan para penipu sebelumnya.
"Apakah kami dilarang masuk ...." Mylo berujar dengan memelas.
"Tenang saja, kalian tetap bisa masuk," ujar Miirphys, "aku punya solusi." Ia angkat tongkatnya dan diayun pelan lalu di arahkan ke belakang ketiga bocah. "Silakan lepaskan sepatu dan cuci kaki-kaki kalian di air keran tersebut."
Mahakarya lagi ketika muncul tiga keran emas dengan ornamen putih dari berlian, air mengalir ke sebuah kolam kecil di sana yang kolamnya terbuat dari ubin emas pula. Jangan katakan jika airnya jugalah emas?
Ketiga bocah tersebut melepaskan sepatu mereka, disusun rapi di pojok kolam emas, mereka lekas membersihkan kaki-kaki mereka bahkan merasa beruntung karena air yang mengalir sangat sejuk nan dingin serta bersih bahkan bening, membuat mereka sesaat terhanyut pada kenikmatan Mansion sihir ini, tetapi kembali waspada setelah mencuci bersih kedua kaki, tangan, dan beberapa kotoran yang sekiranya menempel di celana mereka.
Kini kembali berbaris melebar menghadap Sang Pustakawan, tampak celana mereka digulung hingga dibawah lutut karena menunggu kaki mereka kering dari air. "Apakah cukup?" kata Anila, merasa jika ia masih belum benar-benar bersih terutama pakaian atas mereka, tetapi apa boleh buat karena sejatinya mereka tak ada persiapan untuk petulangan ini akibat terseret Gerbang teleportasi.
"Hmm, masih terlihat gembel," ujar Miirphys lalu mengayunkan tongkatnya. Cahaya-cahaya kuning mengelilingi ketiga bocah, perlahan-lahan mengubah pakaian mereka secara keseluruhan.
Pakaian Anila menjadi sweater putih lengan panjang dengan rok putih mencapai lutut, sementara Mylo mengenakan kemeja dan vest putih lengan panjang dan celana pendek di atas lutut, terakhir adalah Aalisha yang pakaiannya menjadi piyama putih berlengan panjang bahkan sangat panjang hingga melebihi panjang tangan dan kakinya.
"Lebih baik, kalian diperbolehkan masuk," ujar Miirphys.
"Kenapa tidak dari awal jadi kami tidak harus susah-payah mencuci kaki dan tangan," balas Aalisha, "lalu kenapa pakaianku malah piyama dan sangat besar." Anila dan Mylo menahan tawa mereka.
"Maafkan aku karena kupikir kau anak sekolah dasar, tetapi pakaian itu sangat cocok untukmu," kata Miirphys lalu melayang menggunakan piringan emas ke depan mereka. "Ayo ikuti aku, tamu-tamuku. Selamat datang di Whitemarshid Manor!"
"Jangan menangis Aalisha, pakaian itu nyaman, mungkin kita akan langsung tidur saat menemukan kasur nanti," kata Mylo sambil melirik Aalisha lalu Anila yang tengah membantu menggulung lengan piyama Aalisha yang terlalu panjang.
"Kaulah yang kubuat tidur lebih cepat dan selamanya, Mylo," balas Aalisha tajam dan Mylo menegak salivanya.
"Ayo berhenti berdebat dan mari fokus pada misi serta mengapa kita dituntun kemari oleh takdir," kata Anila dan mereka setuju, lalu mulai mengikuti Miirphys yang seperti pemandu wisata alih-alih pustakawan.
Melangkah di sepanjang lorong Mansion mewah ini, terdengar alunan musik orkestra yang entah berasal dari mana. Sekeliling mereka menyuguhi kemewahan terutama patung-patung emas serta rak-rak buku dan merpati yang tampak sibuk terbang ke sana-kemari. Lalu meskipun ketiga bocah menyusuri ubin putih nan indah ini tanpa mengenakan alas kaki serta sinar matahari menerpa masuk ke dalam, lantainya tak terasa panas melainkan sangat sejuk bahkan jika mereka berbaring di lantai sana pun pasti akan tertidur lelap.
Aalisha terlihat cukup fokus mengedarkan pandangannya, sebenarnya bukan pertama kali bagi gadis De Lune itu tiba di sebuah Mansion atau Kastil Sihir, bahkan jauh sebelum kejadian dengan tuan Thompson dan sejak Aalisha belia pun, ia sudah sering berkunjung ke Kastil sihir serta sejenisnya. De Lune pun juga punya kastil sihir mereka tersendiri maupun dungeon khusus yang hanya boleh dimasuki mereka yang berdarah De Lune, jadi hal-hal seperti sudah lumrah bagi Aalisha.
Hanya saja, ia masih tetap fokus memperhatikan sekeliling karena ia harus mencari setiap detail penting yang kemungkinan merujuk pada siapakah dan keluarga bangsawan mana yang memiliki Mansion sihir ini.
"Silakan masuk, tamu-tamuku," ujar Miirphys mempersilakan ketiga bocah masuk ke sebuah ruangan yang pintunya sangat besar dan terbuka dengan sendirinya. "Ini adalah tempat para tamu di Mansion ini menikmati hidangan dan beristirahat serta membaca buku."
Ruangan tersebut sama mewahnya, sangat besar dengan dinding berwarna putih gradasi emas dan lantai putih mengkilap serta ada karpet berbulu dengan warna biru-emas. Ada pula sofa-sofa, meja yang berisi teko, cangkir, makanan ringan, kemudian di ruangan ini sekelilingnya berupa rak-rak buku besar nan tinggi yang penuh dengan berbagai macam buku, tak lupa juga lampu gantung dari berlian sebagai penerangan. Selain itu, burung-burung merpati terbang ke sana kemari dan bertengger di besi khusus tempat mereka beristirahat bahkan ada sekitar lima sangkar emas.
Seraya duduk di sofa, cangkir-cangkir dan teko pun melayang berkat sihir, menuangkan teh hangat dengan wangi melati ke dalam tiga cangkir. Ada cangkir yang diisi oleh susu cokelat hangat dengan marshmallow berwarna emas dicemplungkan ke atasnya. Ada pula pisau melayang, memotong kue keju menjadi beberapa bagian, melayang dan jatuh ke piring kecil dengan ukiran emas dan melayang ke dekat Aalisha, Anila, dan Mylo. Semua makanan dan minuman di sana disuguhkan menggunakan sihir bukan dengan bantuan pelayan atau Orly seperti biasanya.
"Silakan nikmati hidangan kalian," ujar Miirphys, "meskipun hanya hidangan manis, tetapi dengan makan ini saja, kalian akan merasa kenyang karena hidangan ini dibuat sedemikian rupa menggunakan bahan-bahan berkualitas, memperhatikan gizi, protein, dicampur dengan bahan makanan khusus, diberi pula ...."
Maka mereka pun terpaksa mendengarkan penjelasan panjang kali lebar kali tinggi mengenai kandungan makanan bahkan dijelaskan pula cara pembuatannya. Kemungkinan karena Miirphys adalah pustakawan jadi memiliki ilmu dan wawasan yang sangat banyak, barangkali isi kepalanya ada perpustakaan sendiri.
"Dia masih saja berceloteh," bisik Mylo, "kuyakin, dia akan menjelaskan sejarah dari makanan dan minuman ini."
"Jangan berkata seperti itu, nanti dia sakit hati," bisik Anila, meski ia berkata seperti itu, ia juga lelah mendengar celotehan ini karena tidak penting baginya.
"Mau susu lagi." Aalisha malah mendekatkan cangkir kosongnya ke teko melayang. "Manisan kenyalnya dua ya." Teko mengangguk, dua marshmallow melayang ke dalam cangkir Aalisha.
"Bocah itu malah menikmati susu dan marshmallow-nya," ujar Mylo.
Sementara Anila malah mengusap kepala Aalisha. "Tambah yang banyak biar cepat tinggi."
"Jangan sentuh-sentuh," balas Aalisha lekas bergeser menjauh dari Anila.
Kemungkinan sekitar 15 menit mereka beristirahat dan menikmati setiap makanan dan minuman serta mendengarkan celotehan Miirphys yang tampaknya memang senang bercerita, menjelaskan banyak hal. Lalu disela-sela celotehan panjang tersebut, Aalisha meletakkan cangkirnya yang sudah habis.
"Miirphys," ujar gadis tersebut.
"Ya Nona Tamu Kecil," balas Pustakawan tersebut.
"Aku sangat tersanjung dengan wawasanmu serta hidangan lezat ini, tetapi tetap saja jika tidak menyapa Tuan Rumah di sini, rasanya kurang lengkap." Aalisha tersenyum kecil dan kedua kawannya tampak mengerti jika gadis itu pasti memulai rencananya. "Jadi maukah kau menuntunku untuk menemui Tuan Rumah di sini."
Tidak disangka-sangka, Miirphys lekas menganggukkan kepala. "Ya, tetapi kurasa tidak kalian semua bisa menemui Tuanku karena Beliau sedang tidak sehat."
"Tidak masalah," balas Aalisha, "cukup aku saja, teman---maksudnya kedua saudaraku akan menunggu di sini."
Sejenak kepala Miirphys mendongak dan menilik pada Anila serta Mylo, lalu mengangguk pada Aalisha. "Silakan ikuti aku Nona Tamu Kecil dan teruntuk dua tamuku lagi, silakan nikmati hidangan selanjutnya dan pinta saja para merpati untuk membawakan buku jika kalian merasa jenuh."
"Tentu kami akan menikmati semua suguhan kalian di Mansion indah ini," ujar Anila, "tolong hati-hati ... Adikku." Mereka berakting selayaknya diawal memperkenalkan diri mereka sebagai saudara-saudari.
"Ya dan tolong jangan buat kerusuhan Adikku," timpal Mylo yang membuat Aalisha bahkan Anila melirik pada Mylo. "Ha ha ha. Adikku ini terkadang nakal."
"Baiklah Kakak-kakakku, tenang saja, aku takkan membuat kerusuhan." Aalisha menekan kata terakhirnya lalu mengikuti Miirphys yang melayang ke luar dari ruangan tersebut hingga pintunya tertutup. Menyisakan Mylo dan Anila di dalam ruangan serta para merpati bertengger di sangkar mereka.
"Lain kali jangan katakan apa pun di luar skenario," ujar Anila merasa jika perkataan Mylo tadi hanya akan membuat Miirphys curiga pada mereka.
"Maaf, aku gugup dan bingung jadi itulah yang keluar dari mulutku," balas Mylo seraya melirik Anila yang berdiri dan menatap rak-rak buku. "Apa yang kaulakukan?"
"Mencari informasi," kata Anila, "aku punya firasat baik sejak melihat ratusan bahkan ribuan buku di Mansion ini." Ia mengangkat tangannya. "Merpati." Para merpati pun menatap Anila, satu ekor merpati terbang dan hinggap ke jemari Anila.
"Mereka memahami perkataanmu bahkan tanpa sihir atau keturunan ... ehem ... bagaimana bisa?" ujar Mylo.
"Karena ini Mansion sihir, pasti para merpati sudah dilatih untuk memahami bahasa kita," ujar Anila.
"Jadi informasi apa yang kaumau ketahui?" ucap Mylo.
Anila tersenyum tipis. "Merpati kecil, tolong berikan aku buku yang membahas tentang ... wabah tikus mayat hidup."
Berada di sisi lain, Aalisha melangkah dan menyusuri ubin putih, mengikuti Miirphys yang terbang melayang. Aalisha sibuk memperhatikan sekeliling karena masih berusaha mencari hal-hal mencurigakan bahkan ia merasa familiar karena melihat patung-patung emas terutama ada beberapa patung yang seperti seorang penyair membacakan puisi dan membawa sebotol anggur lalu ada beberapa warga duduk mengelilinginya.
"Gerak-gerikmu seperti seorang Bangsawan," ujar Miirphys.
"Kurasa tidak ada salahnya jika manusia kalangan mana pun belajar etika dimulai dari cara berjalan," balas Aalisha dengan tenang, "lagi pula aku senang membaca. Dewa menciptakan otak untuk dapat mendapatkan informasi dan wawasan luas, jadi tidak dibatasi oleh hierarki kekuasaan dan status sosial saja."
Miirphys mengangguk. "Gadis yang cerdas."
"Bisakah kau beritahukan aku setidaknya sedikit informasi, seperti apa Tuan Rumah Mansion ini?" kata Aalisha.
"Tuanku adalah adalah pria baik hati dan juga lembut, tetapi sudah lama menyendiri, bahkan seolah-olah ajal hampir menjemput," jelas Miirphys, berbelok ke lorong lain hingga mereka tiba di depan pintu emas besar. "Sudah lama Tuanku sakit jadi kurasa dengan kedatangan Tamu, dia jadi lebih bersemangat sebelum ajal benar-benar menjemputnya."
Ada lambang di kedua pintu besar tersebut, tetapi tidak bisa dideskripsikan bagaimana lambang tersebut karena tergores-gores seperti goresan benda tajam sehingga lambang atau emblem di pintu benar-benar rusak. "Apakah ini, tempat Tuanmu berada?"
"Benar sekali, Nona Tamu Kecil," ujar Miirphys seraya mengetuk tongkat kayunya ke pintu emas. Maka cahaya emas bersinar di guratan-guratan ukiran pintu tersebut, perlahan-lahan terbuka, angin sepoi berembus dan aroma wewangian menusuk ke penciuman. "Silakan masuk, Tamuku yang Terhormat."
"Bagaimana denganmu?" Aalisha melirik pada Miirphys.
"Aku hanya mengantarmu hingga di sini saja," katanya, "selebihnya silakan masuk sendiri untuk mendapatkan privasi berbicara dengan Tuanku."
"Tentu saja." Aalisha tersenyum kecil, melangkah masuk, melewati pintu yang kemudian tertutup dengan sendirinya.
Detik itu seolah-olah waktu tengah berhenti karena tak lagi terdengar alunan musik orkestra di dalam ruangan ini, tidak, lebih tepatnya disebut dengan Aula Megah karena besarnya berkali-kali lipat dibandingkan ruangan tempat tamu beristirahat. Lalu tampaknya Aula ini sedikit berbeda dengan sebelumnya bak berada di tempat yang berbeda padahal masih di Mansion yang sama atau barangkali memang tak lagi ia berada di Mansion tersebut? Warna lantainya biru gelap dengan bintik-bintik putih bak bintang di tengah malam, tidak ada tiang-tiang di sekitar meski masih ada rak-rak buku melayang dan burung-burung merpati bertengger di sangkar-sangkar mereka.
Paling jelas dalam penglihatan, Aula ini memiliki dinding mengkilap warna biru tua gradasi putih serta biru muda, perpaduan warna menyerupai galaksi dengan langit-langit yang sama. Lampu gantung berlian warna biru malam. Kemudian dari pintu masuk hingga ke sepuluh anak tangga---karena ada semacam panggung di ujung Aula Megah ini---terdapat karpet merah lembut terbentang. Di atas sana terdapat kursi mewah dengan warna biru layaknya singgasana seorang Raja atau Kaisar, tetapi sayangnya menghadap ke belakang, sehingga tak tampak wajah siapa pun yang duduk di singgasana tersebut.
Aalisha menginjak karpet merah berbulu nan tebal-lembut, menyapu telapak kaki di setiap langkahnya. Jarak beberapa meter sebelum anak tangga ke atas panggung singgasana, Aalisha berhenti. Lengan piyama sebelah kirinyanya yang terlalu panjang sesaat meluncur ke bawah, tetapi dihiraukan oleh Aalisha karena gadis itu tengah fokus. Betapa anggunnya, ia memundurkan kaki kiri ke belakang, kaki kanan maju sedikit, tangan kirinya diayunkan ke kiri dan tangan kanannya diayunkan ke dada kirinya seraya ia membungkuk elegan, melakukan curtsy sebagai bentuk penghormatan pada Tuan Rumah di sini seraya suara lembutnya terdengar bergema. "Salam, senang bertemu dengan Anda, saya adalah Tamu Anda yang datang dari tempat yang nun jauh di sana."
Sejenak Aalisha merasa bodoh andaikata tak seorang pun duduk di singgasana tersebut, tetapi terdengar suara dehaman bersamaan nada bass seorang pria yang sudah berumur. "Salam untukmu juga, suatu kehormatan bagiku karena dapat menyambut Tamu di kediamanku ini setelah sekian lama."
Seringai Aalisha terukir, ia kembali menegakkan tubuhnya. Manik mata hitam tajamnya menatap singgasana, Sang Tuan Rumah masih belum memperlihatkan dirinya. "Tampaknya takdir baik menuntun kita untuk bertemu, benar bukan? Ataukah Anda sudah memprediksi ini semua, Tuan yang bijaksana?"
"Apa yang kaukehendaki sehingga kemari dan menemuiku?" Pria itu berujar, sengaja abai pada perkataan Aalisha sebelumnya.
"Aku?" Aalisha menjeda kalimatnya. "Bukankah Anda yang mau menemuiku?"
"Gerbangku hanya terbuka bagi mereka yang berusaha menemukan jawaban dari banyaknya pertanyaan," sahut pria tersebut yang suaranya memenuhi Aula Megah ini. "Jadi pasti ada yang ingin kau tanyakan atau ungkapkan sehingga datang kemari."
"Baiklah jika Anda tidak mau basa-basi jadi aku takkan membuang waktu pula," ucap Aalisha memanggil Invinirium-nya, merogoh ke dalam, menarik keluar rantai besi kecil yang mengikat sebuah liontin. Aura kuat terpancar dari liontin yang bersinar kelap-kelip tersebut entah karena apa liontinnya jadi terpicu.
Dengan penuh rasa percaya diri dan keberanian, ia mengangkat tinggi liontin tersebut. "Beritahu aku Tuan, apa yang Anda ketahui mengenai benda ini? Mustahil manusia yang memiliki Mansion Sihir megah dan ribuan buku, tetapi tidak tahu perihal benda kuno ini?"
Hening menyeruak, sesaat Aalisha meneguk saliva, ia bahkan tidak tahu siapa dan bagaimana lawan yang ia hadapi. "Ayo katakan sesuatu." Gadis itu membatin dan napasnya menjadi sangat cepat.
Kepakan sayap merpati putih membawa buku bersampul hitam terdengar karena terbang ke arah Sang Tuan Rumah. Sesaat terlihat tangan kiri pria tersebut yang dibalut perban putih. "Benda yang kaubawa adalah pecahan dari artefak bernama Blackshadow Wysavaris yakni artefak yang tercipta puluhan ribu tahun lalu dan penemu pertamanya adalah Vulmer Wysavaris seorang makhluk hidup dari Ras Elf ketika dia terjebak di Kastil Sihir. Semenjak itu, artefak tersebut dinamakan dengan namanya dan kata Blackshadow menggambarkan kekuatan artefak itu yang berupa bayangan hitam yang dapat mengubah bentuknya sesuai keinginan pengguna."
"Jadi maksud Anda, liontin ini adalah bagian dari Blackshadow Wysavaris," ujar Aalisha berpura-pura tidak tahu meski ia tetap terkejut dengan nama asli artefak tersebut dan asal-muasalnya. "Lalu apa inti dari kekuatan bayangan hitam artefak ini?"
"Kekuatan kuno, sihir kuno dan terlarang, bala tentara mayat hidup, serta dapat menyebar dengan sangat cepat karena jika terkena serangan artefak ini maka targetnya akan menjadi mayat hidup yang dapat diperintahkan sesuka hati oleh penggunanya." Suara pria itu meninggi. "Dikarenakan bayangan, kekuatan artefak kuno ini dapat mengubah bentuknya menjadi binatang maupun makhluk hidup lain sesuai perintah penggunanya. Dahulu, Vulmer menggunakan kekuatan tersebut untuk memberontak, menciptakan makhluk raksasa bayangan dan membunuh banyak masyarakat Elf serta mereka menjadi bala tentara mayat hidupnya. Sayang sekali, ia gagal dan dibunuh lalu Artefak tersebut dikembalikan ke Kastil Sihir."
Aalisha berdecak sebal, tak ia sangka dengan poin disampaikan bahwa artefak tersebut adalah kekuatan bayangan hitam, jika begitu maka wabah tikus yang ia lihat melalui memori masa lalu, dengan artian pengguna sebelumnya menginginkan kekuatan artefak itu menjadi tikus sehingga lebih mudah tersebar dan mendapatkan target. "Kau berkata jika liontin ini adalah pecahan Blackshadow Wysavaris, kenapa bisa artefak ini terpecah belah?"
"Kenapa bisa?" Suara itu tidak terdengar seperti pernyataan melainkan pertanyaan balik. "Bukankah kau lebih tahu jawabannya?"
Aalisha mengeratkan genggamannya pada rantai kecil liontin tersebut. "Aku tidak paham apa yang Anda maksudkan."
"Ah ya, bagaimana pun juga kau tetaplah masih muda dan pasti sulit memahami masalah orang dewasa."
Detik selanjutnya, Aalisha merasa punggungnya merinding dan bulu romanya berdiri karena bisa ia rasakan aura Neith yang terpancar kuat bahkan melebihi monster-monster yang sebelumnya. "Lebih baik kuberi kau pertanyaan yang berbeda."
Langkah kaki bergema terdengar di Aula Megah tersebut ketika Sang Tuan Rumah Mansion ini berdiri, melangkah ke depan singgasananya, memperlihatkan dirinya. Manik mata Aalisha membulat dan sejenak tangannya gemetar karena ia tahu aura dari Neith yang seperti ini; tentu saja tidak dimiliki oleh bangsawan biasa apalagi manusia-manusia remeh-temeh.
"Jagad Dewa ...." Aalisha napasnya memburu. "Mustahil jika aku melawannya secara langsung. Ayo pikirkan rencana lain."
Gadis itu berusaha tetap tak gentar dan memandang dengan berani pada sosok pria sedikit keriput karena umur, berambut putih panjang dengan manik mata merah gradasi hijau, di tengahnya ada bintang hitam, ada luka panjang di pelipis, bibir kanan bawah. Jenggot tipis putih di dagunya serta ia mengenakan anting hijau terbuat dari berlian. Pakaiannya bak bangsawan kelas Tinggi, mahal, elegan, warna hitam dan sepatu boots tebal, tangan kirinya dililit perban keseluruhan, sementara tangan kanannya buntung.
"Kini kau memiliki pecahan artefak itu, mengapa tidak kaugunakan saja untuk keuntunganmu?" Suara pria itu terdengar, ia tersenyum lebar. "Kaubisa menguasai dunia jikakau mau menggunakan kekuatan artefak itu. Menciptakan bala tentara mayat hidup untukmu sendiri."
Aalisha mati-matian menenangkan dirinya karena ia pernah merasakan kengerian yang sama hingga punggungnya merinding ketika bertemu dengan sosok yang memiliki aura seperti pria ini yakni ketika Aalisha berhadapan dengan ayahnya tuk pertama kalinya. "Sebenarnya Anda ini siapa?"
Pria tersebut melangkah, memang langkahnya sempoyongan dan gontai karena tidak terlalu kuat berdiri lagi, tetapi masih tampak bisa bertarung jika diperlukan. "Tidak perlu tahu identitasku, bukankah kau juga tidak memperkenalkan dirimu. Nah bocah kecil, bagaimana jika jawab pertanyaanku terlebih dahulu? Kau punya kesempatan menguasai dunia jika menggunakan artefak kuno itu dengan benar, jadi mengapa tak kau gunakan saja?"
"Maafkan aku Tuan." Aalisha melangkah mundur. "Aku bukan manusia serakah yang hendak menguasai dunia, bukan kepribadianku yang ingin hidup dengan merajai dunia ini."
"Benarkah? Kau sangat naif bocah," ujar pria itu.
"Aku berkata serius, Anda boleh berpikir bahwa aku naif, aku tidak peduli," balas Aalisha, "lagi pula, percuma jika aku memiliki liontin ini karena pecahan artefak yang lainnya tidak kuketahui berada di mana. Artefaknya tidak sempurna sehingga tidak bisa digunakan."
Pria tersebut mendongak. "Mengapa kauberkata jika artefak itu tak sempurna? Padahal kau bisa menyempurnakannya detik ini juga."
Tanpa basa-basi, pentagram hijau gradasi merah muncul di telapak tangan kiri pria itu yang kemudian keluarlah sebuah artefak batu hitam yang terukir bahasa kuno di badannya, besar artefak itu hanya segenggaman pria tersebut seolah-olah hanyalah pecahan yang kehilangan pecahan lainnya. "Jika kautak mau menyempurnakannya maka aku saja. Jadi berikan pecahan artefak yang kaumiliki."
"Sialan, aku dijebak." Aalisha lekas mengalungkan liontinnya, ia berbalik, bersiap berlari dari sana, tetapi muncul dua Orly berzirah besi hitam kemudian menghantam tubuh Aalisha, mengunci kedua tangan gadis itu sehingga ia tak bisa bergerak dan dipaksa menghadap, menatap pada Sang Tuan Rumah Mansion ini. "Kau sudah merencanakan semua ini?!"
"Tentu saja." Pria itu melangkah semakin dekat, suara sepatu boots-nya bergema di Aula tersebut. "Lain kali lebih berhati-hatilah dalam mempercayai seseorang. Sudah kukatakan sebelumnya, kau masih bocah dan tidak akan paham permasalahan orang dewasa. Sekarang berikan liontinmu padaku."
"Lepaskan aku!! Lepaskan!" Aalisha berusaha memberontak, tetapi kedua tangannya dicengkeram sangat kuat hampir seperti akan dipatahkan, perlahan ia berhenti memberontak.
"Percuma saja, jika kau terus memberontak. Maka kedua bawahanku takkan segan mematahkan kedua tangan kurusmu itu."
Gadis kecil itu masih diam, tidak menyahut apalagi memberikan perlawanan, lalu seringai kecil terukir di wajahnya bersamaan darah menetes dari hidungnya. Ia mendongak dan menatap tajam pada pria di hadapannya. "Begitu juga kau," ujar Aalisha, "cobalah untuk lebih berhati-hati dan jangan tertipu dengan aktingku."
Mata Sang Tuan Rumah Mansion, membulat lebar. "Apa---"
Sekonyong-konyong keributan terjadi ketika puluhan burung-burung merpati terbang cepat, menukik, serta mengelilingi, dan mulai menyerang pria itu dengan cakar-cakar serta paruh mereka. "Sialan, kenapa kalian melawanku! Aku pemilik kalian di Mansion ini."
"Diffunditur Elektra." Rapalan mantra terdengar lantang bersamaan kedua Orly berzirah besi terkena sengatan listrik bertegangan tinggi hingga mereka menjerit-jerit kemudian ambruk. Lekas Aalisha menyembuhkan pergelangan tangannya yang lebam membiru dan memerah.
Aalisha angkat tangannya, seekor merpati menukik tajam, mencuri artefak batu kuno, dan melemparkannya pada Aalisha. "Terima kasih atas artefaknya, Tuan BijaksanaYang Baik Hati." Ia berujar dengan nada penuh ejekan.
"Bajingan! Jangan berani-beraninya kaukabur, bocah sialan!!"
Kengerian terjadi karena para burung-burung merpati terbakar dan terbunuh satu per satu, tubuh mereka bergelimpangan dan berjatuhan. Namun, Aalisha tidak mau tertangkap lagi jadi ia gunakan kemampuan mistisnya kembali sehingga semakin banyak burung merpati yang berdatangan dari segala penjuru Mansion bahkan melupakan tugas mereka sebagai penyusun dan pengantar buku, serta lupa jika yang mereka hadapi adalah tuan mereka sendiri.
"Maafkan aku merpati, maaf." Dada Aalisha sangat sesak, selalu seperti ini jika ia menggunakan kemampuan mistisnya dan meminta pertolongan bala tentara binatang, tetapi mereka berakhir dengan kematian. "Maaf, aku tidak bermaksud mengorbankan hidup kalian, maaf, maafkan aku." Ia berlari menjauh dari sana ketika mendekati pintu, tiba-tiba pintunya terbuka dengan sendirinya, tampak ada sosok Orly berjubah biru dengan kepala bulat di sana.
Sang tuan rumah bijaksana tersenyum jahat. "Oh tidak, jangan kauanggap kau bisa melawanku, Special Special Techniques Freezirium Golddoss!" Cahaya hijau menutupi seluruh Mansion, sukses membuat ratusan burung merpati berhenti sejenak, tubuh mereka menjadi keras hingga seluruhnya tertutupi emas bak patung, berjatuhan dan hancur berkeping-keping ke lantai.
Manik mata Aalisha melirik pada kepingan merpati emas tersebut. Detik itu, ia baru menyadari satu hal. "Mustahil!" Ia berbalik menatap musuhnya. "Jangan-jangan, semua patung di Mansion ini adalah ... makhluk hidup."
"Benar sekali." Suara itu benar-benar terdengar jahat. "Aku mengubah mereka semua menjadi patung emas dan jika kauketahui bahwa sebagian dari manusia-manusia patung emas di sini, ada yang masih hidup."
"Kaubenar-benar monster." Gigi-gigi Aalisha gemeretak.
"Terima kasih atas pujiannya." Seringainya terukir, "Miirphys!! Tangkap bocah ini dan berikan artefaknya padaku!"
"Baik Master." Miirphys melangkah mendekati Aalisha yang hanya bisa diam saja. "Ayo, Tamu Kecilku. Berikan artefak itu---"
Perkataan Miirphys terhenti ketika Aalisha tiba-tiba mengayunkan Aeternitas dan memenggal kepala bulat tersebut hingga lepas. Ia menatap pada seseorang yang berdiri di daun pintu, mereka sepertinya menyelinap diam-diam di belakang Miirphys. "Mylo! Lemparkan tombakmu!"
Sekonyong-konyongnya, lembing hitam Mylo dilapisi Neith serta elemental elektro dari mantra milik Anila melesak sangat cepat ke arah Aalisha yang lekas membungkuk sehingga lembing tersebut melewati atas kepalanya dan kini mengarah pada Sang Tuan Rumah Mansion. Sementara Aalisha lekas berlari secepat mungkin dari sana, berhasil keluar dari pintu Aula Megah tersebut.
"Cepat lari!" perintah Aalisha maka ia dan kedua kawannya lekas berlari secepat mungkin dari sana.
"Bocah-bocah pengacau." Sayang sekali, serangan lembing tersebut berhasil dihentikan hanya dengan menggunakan tangan kosong bahkan aliran elektro-nya sama sekali tidak melukai Tuan Rumah ini. "Miirphys, kejar mereka." Perintahnya sangat lembut.
Miirphys perlahan bangun meski tanpa kepala, tampaknya ia malah jadi mengerikan karena lima tangan-tangan pucat nan putih keluar dari lehernya yang putus tersebut bersamaan tubuh bak monster memaksa keluar dari badan gemuk Miirphys.
"Dan dapatkan kembali ketiga artefak yang mereka miliki." Ia berujar, "lagi pula melalui ramalanku, sudah takdirnya terutama kawan-kawannya tuk menemui kematian."
"Tentu saja," ujar Miirphys yang suaranya tak lagi lembut, tetapi sangat rendah dan bergema serta mengerikan. Kini tubuhnya semakin membesar dan membesar hingga tingginya kini mencapai 500 sentimemer.
"Hamba akan melaksanakan perintah Anda sesempurna mungkin, Yang Terhormat Kepala Cabang, Tuan Halafarin Farnala Drazhan Veles." Lekas Miirphys dengan wujud barunya merangkak cepat bak hewan melata dengan ratusan tangan pucat-putih dan berlendir.
Halafarin menatap kepergian makhluk itu. Ia berbalik, melangkah menuju singgasananya, menaiki satu per satu anak tangga, berdiri persis di depan kursi yang sebelumnya ia duduki. Sejenak ia memejamkan matanya.
"Sesuai rencana, bocah itu membawa Artefaknya, aku berhasil melaksanakan perintah, Yang Mulia Tuan Muda Agung."
Pentagram hijau gradasi merah muncul di atas kepala Halafarin. Terciptalah sesosok makhluk tengkorak separuh badan, melayang, kepalanya ditutupi topi ala-ala penyair jalanan, tengkorak tersebut memegang pedang berbilah besar nan lebar serta berat berwarna merah maroon yang ujung bilahnya tepat mengarah ke kepala Halafarin.
"Dengan ini, layaknya sumpahku bertahun-tahun yang lalu!" Halafarin berteriak kencang, suaranya bergema di Aula Megah yang hanya ada dirinya di sana. Tampak pula sang tengkorak menarik kedua tangannya ke atas sambil menggenggam gagang pedang yang sangat besar tersebut. "Aku siap menemui kematianku, maka dengan ini kupersembahkan segalanya serta ambillah jiwaku selama-lamanya serta aku akhiri garis keturunan cabang Farnala Drazhan Veles ini!!! Mortuus khi Aawaz."
Sang Tengkorak lekas mengayun secara horizontal tepat ke ubun-ubun kepala Halafarin, maka sekali tusukan yang sangat sempurna, pedang itu menembus ubun-ubun, tengkorak, otak, kepala Halafarin, melewati leher, tulang-belulang, dan organ-organnya yang berada di jalur tusukan pedang sehingga membelah seluruh tubuhnya menjadi dua bagian.
Suara dentingan terdengar ketika ujung pedang menusuk ubin sementara tubuh Halafarin yang terbelah dua ambruk ke lantai, darah berceceran ke lantai, menuruni anak tangga, menandakan ketiadaan sang Keturunan Terakhir Cabang Farnala Drazhan Veles. Perlahan-lahan cahaya merah dari pedang besar menelan seluruh Aula Megah, melenyapkan rak-rak buku, patung-patung, ubin putih, dan akan meruntuhkan setiap bagian dan sudut dari Mansion tersebut.
Kini binasalah Whitemarshid Manor untuk selama-lamanya mengikuti kematian Sang Farnala Drazhan Veles.
Semua ini tentu saja, berdasarkan titah Sang Tuan Muda Agung.
****
Ketegangan meningkat berkali-kali lipat, darah berdesir, jantung berdetak semakin cepat ketika jeritan melengking nan jelek memecah langit bahkan setelah ketiga bocah Eidothea berhasil kabur dari Mansion yang telah lenyap, tetapi Sang Monster mengerikan di belakang mereka masih melata sangat cepat dengan ratusan tangan berlendir serta tampak tak mau sedikit pun melepaskan Aalisha, Anila, dan Mylo.
Aneh adalah salah satu perkataan yang terbesit dalam benak masing-masing karena Anila dan Mylo, pakaian mereka kembali seperti sedia kala, sementara Aalisha masih mengenakan piyama putih bersih meski kini ujung celananya kotor karena ia menginjak tanah becek, terlebih Aalisha tidak sempat mengenakan sepatunya kembali, ia bahkan tak tahu berada di mana sepatunya.
"Kau sangat apes karena sepatu pun tak kembali." Mylo berujar di ujung-ujung pengejaran monster. Meski jantungnya memompa cepat, ia masih bisa melayangkan candaan.
"Sialan Mylo," teriak Anila, "bukan saatnya untuk bercanda! Dan kita melupakan Josse! Dia masih terikat di pohon!"
"Dia tak ada di sana," balas Aalisha, "aku tak melihatnya saat kita keluar dari Mansion."
Mylo berdecak. "Dia pasti sudah kembali ke Desa."
Benar saja perkataan Mylo itu. Dari kejauhan, sudah mereka lihat pagar-pagar ujungnya tombak tersebar di beberapa titik sebelum mendekati gerbang desa, lalu sekitar 15 warga desa berdiri menunggu mereka sambil mengarahkan pedang dan lembing tajam, mereka hendak menangkap ketiga bocah itu karena dihasut oleh Josse dan Clark jika mereka adalah penjahat yang hendak merusak desa Roanesse.
"Bersiap!" teriak Kepala Desa memunculkan beberapa pentagram sihir. "Cegat ketiga orang luar itu dari memasuki Desa kita!!"
"Anak-anak itu akan mengacau!" kata Clark.
"Yang paling kecil sangat kuat," ujar Josse, "dia yang harus dihentikan pertama-tama!" Ia tersenyum bahagia, meski Josse tahu jika mustahil para warga desa ini mengalahkan Aalisha dan kawan-kawannya, tetapi setidaknya ketiga bocah itu takkan membunuh warga desa yang tak bersalah bukan?
Sementara itu, Aalisha, Anila, dan Mylo mempercepat lari mereka, lalu ketiganya merapalkan mantra dengan pelan yang ketika mereka hampir mendekati salah satu pagar tombak kayu, pentagram sihir muncul di bawah kaki mereka. Maka dengan penuh percaya diri dan kecepatan, mereka berhasil melewati setiap rintangan bahkan para warga Desa yang berjaga di sana, tidak sedikit pun mereka berniat melumpuhkan para warga karena tujua mereka hanyalah secepatnya kabur dari desa tersebut.
Terutama karena Aalisha memberi informasi jika para burung dan kepik melihat semacam cahaya aneh yang kemungkinan gerbang teleportasi, berada di belakang rumah tua---tempat yang sama ketika mereka berteleportasi pertama kalinya kemari---sehingga mereka harus segera ke sana.
"Sialan, mereka berhasil memasuki Desa!" teriak Kepala Desa, "cepat serang mereka!"
Serangan sihir dan lembing tajam dilesakkan sekuat tenaga ke arah mereka, tetapi Anila merapalkan mantra lagi, barrier Neith tercipta, memblokir serangan itu, membuat ketiga bocah selamat tanpa tergores sedikit pun. Mereka berlari tanpa menengok ke belakang, membuat para warga, kepala Desa, bahkan Josse menjadi kesal.
"Sialan, mereka berhasil kabur!" Salah satu warga berteriak.
"Aneh," ucap Josse memecah keheningan. "Kenapa mereka kabur dan ketakutan ya?"
Sang kepala Desa si pria tua berjanggut berujar, "cepat hubungi yang lain dan cegat mereka sebelum ke tengah-tengah desa dan mengacau---"
"Ada monster menuju ke sini!!" Jeritan salah satu warga melengking memecah langit.
Tiba-tiba dengan sadisnya, tangan putih panjang dan berlendir menusuk dada warga yang kemungkinan berusia sekitar 30 tahun itu, menarik cepat jantungnya seraya tangan lain menarik kakinya kemudian jantung beserta tubuhnya dimakan segar-segar oleh Sang Monster. Tidak memberi jeda, puluhan tangan putih berlendir lainnya lekas menerjang sangat cepat, menyerang para warga yang ada di gerbang Desa. Mereka berhamburan kabur seperti laron-laron beterbangan, saling menabrak tubuh, tersandung batu atau kaki, terjatuh, terinjak, bahkan menjerit-jerit meminta pertolongan.
Genderang ditabuhkan sekuat-kuatnya sebagai pertanda bahaya telah tiba, seorang pria menggunakan sihir yang membuat suaranya terdengar kencang, ia memberi isyarat agar para warga di dalam rumah segera keluar dan secepatnya mengungsi, abaikan barang-barang mereka karena tidak sempat untuk membawa kabur semua itu. Para warga dan beberapa pendatang---Thesaurum Venator di Desa ini tanpa banyak bertanya-tanya, mereka bekerjasama untuk membuat barrier yang sangat besar demi melindungi Desa ini dan mencegah monster jelek tersebut menerobos semakin dalam dan menciptakan kerusakan.
"Monster itu bukan monster biasa!" teriak seorang wanita dengan kacamata dan rambut merah. "Dia pasti Orly atau seseorang menggunakan sihir tertentu, jadi bukan binatang magis maupun iblis!"
"Cari cara untuk mengalahkannya!" tukas temannya, "barrier ini takkan bertahan cepat!"
Perkataan itu sangat benar karena puluhan tangan berhasil menghancurkan pelindung ibarat menusuk kaca cermin hingga pecah, kini para Thesaurum Venator berlarian menjauh karena jantung mereka tengah diincar.
Sangat naas nasib mereka karena beberapa warga tak sempat menyelamatkan diri, berakhir dengan kematian serta tubuh mereka diseret dan ditelan bulat-bulat oleh monster berlendir. Suara percikan api terdengar di mana-mana akibat segalanya semakin rusuh, serangan para prajurit penjaga Desa serta Thesaurum Venator yang masih mencoba membantu, malah terpantul kembali ke arah mereka atau meleset sehingga menciptakan kekacauan akibat api berkobar semakin besar.
"Tolong! Kebakaran! Ada yang tertimpa atap yang terbakar!"
"Api di mana-mana? Yang bisa memadamkan apinya, cepat padamkan, sisanya lekas tolong yang terluka!"
"Monster itu semakin dekat!!"
Detik demi detik berjalan dan kericuhan Desa itu semakin menjadi-jadi, tidak terhitung berapa banyak yang sudah tiada menjadi makan siang sang Monster. Beberapa warga yang mampu bertarung, telah sekuat tenaga menyerang, ada yang berhasil melukai monster tersebut setelah mengaktifkan senjata magis, tetapi tidak cukup menghentikan invasi gila-gilaan sang Monster yang semakin liar. Kini tampaknya beberapa Thesaurum Venator ada yang enggan membantu lagi bahkan sudah kabur sejak tadi karena bukan ranah mereka menjadi penolong terutama mengorbankan diri demi desa terbelakang ini.
"Kita harus menyelamatkan warga desa ini." Suara itu terdengar dari seorang gadis berambut cokelat, Anila. "Setidaknya kita harus membantu para wanita, anak-anak, dan tua renta dievakuasi ke tempat yang aman."
"Anila benar," ucap Mylo, "kita bisa pergi dari sini dengan gerbang teleportasi, tetapi warga Desa akan mati dimakan monster jelek itu. Lagi pula kita yang membawanya keluar dari Mansion."
Aalisha hanya diam saja, menatap sinis kedua temannya yang tampak mereka berperan jadi tokoh bodoh dalam karya sastra dan sok bertingkah pahlawan, sungguh klise, Aalisha merasa kesal. "Bukan urusan kita jika mereka mati, bukan pula tanggung jawabku. Kepala desa saja mau membunuh kita tadi. Lagi pula mereka mati hari ini karena itulah takdir mereka. "
"Aalisha, tapi---" Anila berujar dengan putus asa dan memelas, dadanya sakit melihat para warga tak bersalah menjadi korban.
"Percuma memelas, Anila." Aalisha hendak melangkah pergi. "Takkan mempan padaku."
"Kauberkata, pecahan artefak ketiga kaudapatkan dari pemilik Mansion itu," kata Mylo, "jika seperti itu, maka dia jugalah dalang di balik kita jadi berteleportasi ke Desa ini. Dia mempermainkan kita, mempermainkan kau, dan kalau monster itu berhasil menghancurkan desa ini. Maka dia menang. Bukankah kautidak menerima kekalahan?"
"Jangan kaupikir aku bodoh Mylo," sahut Aalisha, "tujuanku hanyalah artefak, bukan menyelamatkan desa ini karena aku tak mendapatkan keuntungan apa pun. Coba pengaruhi orang lain saja dengan moral sok pahlawanmu itu."
Aalisha berbalik, melangkah meninggalkan Anila dan Mylo yang hanya diam. Mereka tahu bahwa mereka egois dengan memaksa Aalisha menyelamatkan warga desa ini dari teror monster berlendir, tetapi melihat sekeliling mereka perlahan-lahan hancur lebur dan banyak warga tak bersalah bergelimpangan serta menangis, benar-benar melukai hati mereka.
"Aalisha," ujar Anila lagi seraya mengikuti langkah sahabatnya itu, Mylo juga. "Maafkan aku, kaubenar, kita harus fokus pada tujuan kita. Lagi pula aku juga tak mau kau terluka karena menghadapi monster---"
Mylo tiba-tiba menarik tangan Anila, menyebabkan gadis itu berhenti melangkah, lalu diberikan isyarat oleh Mylo melalui tatapan mata. Anila lekas melirik ke arah Aalisha yang terdiam mematung ketika ada seorang gadis kecil berumur sekitar enam tahun, bajunya kotor nan lusuh, penuh luka bahkan matanya bengkak, berhenti di depan Aalisha. Menarik ujung baju Aalisha dan berujar, "tolong, kumohon."
"Pergilah, tidak perlu meminta pertolongan, aku takkan membantumu," balas Aalisha melangkah kembali. "Jangan pikirkan orang lain, selamatkan diri sendiri saja."
Gadis berumur enam tahun itu berujar lagi. "Ini bukan aku, tapi ibuku. Kumohon, tolong selamatkan ibuku yang tertimpa reruntuhan." Perkataan itu sukses membuat langkah kaki Aalisha berhenti, ia bahkan berbalik dan menatap pada anak kecil tersebut. "Ibu sedang hamil, ayahku tak sadarkan diri, tidak ada yang mau membantu kami, aku tidak bisa melakukannya sendiri. Tolong, setidaknya selamatkan ibuku."
Tanpa basa-basi, Aalisha melangkah melewati anak kecil itu, ia melirik pada Anila dan Mylo yang hanya menatap bingung. Suara Aalisha terdengar tegas. "Kalian selamatkan ibu anak ini dulu, bawa ke tempat aman, kemudian berusaha evakuasi para warga yang tersisa. Perintahkan mereka pula untuk fokus menyelamatkan diri. Aku akan mengurus monster jelek itu sendirian."
"Baiklah, akan kami lakukan," ujar Mylo lekas melangkah ke dekat anak kecil itu dan menggenggam erat tangannya, lalu menoleh pada Anila dan Aalisha.
Tampak jika Anila menatap Aalisha dengan sendu. "Apa kau yakin akan melakukannya sendiri?"
Seringai Aalisha terukir. "Apakau lupa pada siapa kau berkata, Nona Andromeda?" Ia berujar dengan nada sombong. "Sekarang lakukan perintahku, jangan ikut campur, aku tak mau menerima beban ganda saat menghadapi musuh-musuhku." Gadis itu melangkah kembali, menginjak tanah becek nan kotor karena tak sempat memikirkan alas kaki.
"Baiklah, tolong jaga dirimu, kami akan evakuasi warga semampu kami," kata Anila berbalik memberi kode pada Mylo yang langsung paham. Mereka pun pergi dari sana untuk segera menyelamatkan si ibu hamil dan suaminya serta mengevakuasi para warga yang tersisa.
Detik itu, hari semakin sore, para warga sudah tak lagi memaksakan diri melindungi desa tersebut atau melawan Sang Monster Jelek-berlendir, mari sebut seperti itu. Tampak warga-warga yang diminta mengungsi berlari secepat mungkin dari Sang Monster yang telah memporak-porandakan rumah-rumah di desa serta memakan beberapa mayat warga yang bergelimpangan.
"Sialan." Langkah Aalisha berhenti sejenak, ia melupakan sesuatu jika kini ia tak berada di Eidothea sehingga tak ada yang tahu identitasnya sebagai Keturunan Utama Majestic Family De Lune.
Sebelumnya saja ia sudah membuat kesalahan karena bertarung melawan para penipu ulung dan membunuh mereka, tapi menyisakan Josse sehingga Josse sudah tahu potensi Aalisha. Kalau ia bertarung melawan Monster Jelek-berlendir itu, bisa-bisa ia akan jadi topik terhangat dan mengancam identitasnya meski wilayah ini sangat-sangat jauh dari Eidothea.
"Aku harus menyembunyikan identitasku." Tatapan Sang De Lune pun jatuh pada sebuah kios menjual mainan pernak-pernik yang hancur sebagian, lalu ada rak kios hancur sehingga beberapa topeng kotor berserakan di tanah becek tersebut.
Tanpa keraguan sedikit pun, ia memungut satu topeng, rapalan mantra terdengar sehingga bentuk topeng yang ia pungut menjadi bersih dan mengubah bentuknya menjadi berwajah kelinci, warna putih, dua telinga panjang, manik mata hitam, serta ada ukiran-ukiran emas di sepanjang topeng tersebut. Tidak lupa pula, Aalisha rapalkan mantra lagi, kini jubah hitam panjang muncul, melapisi kemeja putihnya.
[Dilarang meniru/membuat/memperjualbelikan topeng ini, tanpa persetujuan prinsllumiere]
Setelahnya Aalisha melompat ke salah satu atap rumah yang setengahnya berdiri tegak. Ia hanya berpijak dengan satu kaki saja---kaki kanannya di atas kaki kiri. Tangannya menggenggam erat gagang pedang Aeternitas yang perlahan-lahan muncul. Kini bersinar bercahaya biru karena dilapisi oleh energi Neith. Aalisha tepat mengarah pada Sang Monster Jelek-berlendir yang ternyata menyadari kehadiran gadis kecil itu.
"Akhirnya tidak kabur lagi kau, gadis sialan." Suara berdesis terdengar di kepala Aalisha, seolah-olah berbicara melalui telepati. "Tapi kenapa kau sangat berbeda, tidak, aku tak peduli karena aku hanya harus membunuhmu untuk memenuhi permintaan Masterku."
Aalisha menatap sinis Sang Monster Jelek-berlendir, tubuh monster itu semakin membesar setiap ia berhasil memakan manusia, wujudnya seperti kelabang dengan kaki-kakinya berbentuk tangan lima jari dan terus mengeluarkan lendir amis, setiap lipatan badan monster itu terdapat mata-mata aneh dan bergerak-gerak serta melotot, jumlahnya ada ratusan pula sehingga sangat menjijikkan dan mengerikan. Kemudian wajah Sang Monster Jelek-berlendir menyerupai manusia, penuh kerutan dan keriput putih, serta rambut gimbal panjang ke bawah, tak lupa mata melotot, mulut menganga dengan gigi tajam dan lidah ada lima menyerupai lintah.
"Berikan kembali artefaknya ... serta nyawamu juga!" Suara rakakakn kayu terdengar ketika Sang Monster Jelek-berlendir melata cepat, menginjak setiap rumah yang berada di jalur lintasannya.
Sejenak Aalisha menundukkan kepalanya. Ketika ia kembali mendongak, menatap sinis, sekilas tampak cahaya emas bersinar di mata topengnya, bersamaan cahaya pedang Aeternitas-nya semakin terang. Suaranya terukir lembut nan angkuh. "Ignitio." Ia aktifkan pedangnya, ia angkat setinggi mungkin. "Aeternitas, penuhi permintaanku."
Detik itu, pertunjukkan panggung yang tak pernah ada dalam skenario Aalisha pun dimulai dan tetap dimainkan oleh Aalisha sesempurna mungkin. Meski tak ia sangka jika harus menghadapi monster jelek ini dan bertingkah seolah-olah ia adalah pahlawan yang siap melindungi banyak nyawa. Namun, Aalisha sudah membuat keputusan untuk mengakhiri teror kejam Sang Monster Jelek-berlendir sehingga ia takkan ingkar pada keputusannya sendiri terlebih selalu ditulis dalam Kamus Hidupnya bahwa Seorang De Lune tidak mengenal kata kalah.
"Ignieco, Diffunditur Elektra!" Betapa cakap dan indahnya gerakan gadis itu ketika menebas setiap tangan-tangan berlendir yang mengincar jantungnya serta kombinasi serangan yang dahsyat sehingga ledakan mantra pertama berhasil memukul mundur Sang Monster Jelek-berlendir. Kemudian Aeternitas dilapisi elemental elektro, mempermudah Aalisha menebas setiap tangan-tangan berlendir bahkan memenggalnya hingga berjatuhan ke tanah.
"Dia juga bisa menggunakan sihir," gumam Aalisha seraya menginjak salah satu batang kayu dari rumah yang rata dengan tanah. "Tetap saja serangannya menjijikkan." Ia rapalkan mantra anemo yang membawanya melompat tinggi karena Sang Monster Jelek-berlendir menggunakan sihir yang mengubah lendir-lendirnya menjadi zat asam korosif sehingga berhasil melelehkan segala benda.
Meskipun sudah banyak tangan-tangan berlendir yang ia tebas dan penggal, tetapi tangan yang tersisa masih banyak bahkan ketika salah satu tangan Sang Monster Jelek-berlendir mencengkram pergelangan tangan Aalisha, lekas pakaiannya hangus, parahnya tangan gadis itu melepuh dan memerah bahkan kulit-kulitnya terkelupas seolah-olah akan melelehkan setiap bagian tubuhnya. Beruntung Aalisha tebas dan cincang tangan-tangan itu, membuatnya selamat tanpa kehilangan satu organ pun.
"Gadis berengsek!" Sang Monster Jelek-berlendir berteriak dalam kepala Aalisha karena jika orang lain mendengarnya, hanyalah suara jeritan sumbang yang terdengar. "Kubunuh, kubunuh kauuuu!!"
Maka monster tersebut memanjangkan tubuhnya ke langit-langit, merentangkan setiap tangannya serta telapak tangan pula, kemudian dari dalam telapak tangannya bermunculan pentagram sihir yang dengan sangat cepat melesakkan ribuan cairan asam korosif yang berbentuk besi-besi tajam; serangan berupa hujan besi asam korosif siap membunuh Aalisha dan para warga yang masih ada di sekitarnya dalam jarak jangkauan Sang Monster Jelek-berlendir.
"Mereka semua akan mati." Awalnya Aalisha peduli setan jika para warga yang tersisa di sekitarnya mati karena kesalahan mereka tidak evakuasi sejak tadi. Namun, kini tatapannya jatuh pada dua anak kecil menarik gerobak besar berisi seorang wanita tertusuk kayu di pahanya.
"Ibu, ayo bertahan, kita akan membawamu keluar dari desa ini," ujar si kakak laki-laki sekuat tenaga menarik gerobak hingga tangannya lecet.
"Ibu, jangan pergi, okay? Kami akan melindungimu," kata adiknya yang meski menangis, tetap berusaha menarik gerobak sekuat-kuatnya.
Wajah sakit sang Ibu terukir jelas di dalam kepala Aalisha, membuatnya menggigit bibir hingga berdarah, beruntung wajahnya ditutupi topeng sehingga tak ada yang tahu bagaimana ekspresinya detik itu pula. "Oh Dewa, mereka benar-benar menyusahkanku."
"BERSIAPLAH UNTUK MATI, KAU GADIS SIALAN!!" Sang Monster Jelek-berlendir bersiap melesakkan ribuan tombak zat asam yang akan membunuh setiap mangsanya.
Sementara Aalisha, memunculkan Invinirium kemudian mengeluarkan sebuah buku tebal yang berisi kertas kosong, cahaya biru berpendar di buku tersebut yang lekas kertas-kertasnya lepas dari buku lalu beterbangan ke mana-mana, terhambur dibawa oleh angin bertiup. "Latreia."
Takdir pun dituliskan detik itu juga, ribuan tombak zat asam korosif diluncurkan Sang Monster Jelek-berlendir sangat cepat, mengarah pada para warga yang tersisa di desa tersebut serta pada Aalisha. Namun, ketika satu tombak hampir menembus kepala gadis itu, tiba-tiba kertas-kertas yang tersebar mengubah wujudnya menjadi pepohonan dengan kayu-kayu tebal nan keras. Suara rakakan kayu terdengar ketika tombak korosif menusuk kayu-kayu tebal. Saat zat asamnya meleleh, lekas dedaunan menyerap zat-zat tersebut sehingga dedaunannya menjadi terkontaminasi, menjadi abu dan membusuk, kemudian mati bersamaan menghilangkan zat asam tersebut.
"DASAR GADIS SIALAN!! SIAPA KAU SEBENARNYA DENGAN SEMUA KEKUATANMU ITU!" Jeritan Sang Monster Jelek-berlendir sangat kencang hingga menciptakan amukan angin, tetapi tidak menggeser berat tubuh Aalisha karena gadis itu terlindungi oleh pepohonan.
"Mari akhiri semua ini." Tangannya diayunkan, lekas ujung-ujung akar pohon gantung tersebut menerjang ke arah Sang Monster Jelek-berlendir, tanpa ampun menusuk setiap titik vital hingga tembus.
"JANGAN REMEHKAN AKU, BOCAH!" Perlawanan dilakukan Sang Monster Jelek-berlendir dengan menghancurkan akar-akar kayu. Kini saling beradu lah serangan antara akar pohon melawan tangan-tangan berlendir, suara tebasan, jeritan, dan rakakan kayu menjadi satu memenuhi desa tersebut.
Manik mata Aalisha melirik ke sana-kemari, ia gunakan mantra sehingga akar-akar pohon lain menarik para warga yang ada di sekitarnya kemudian melempar mereka ke belakang agar tidak mengganggu jalannya pertarungan. "Mereka sudah tak ada yang di dekatku lagi."
Memastikan hal tersebut untuk yang kedua kalinya menggunakan para capung dan kepik meski harus menguras habis seluruh Neith-nya dan darah menetes melalui bawah dagu topengnya karena Aalisha sudah melampaui batasan energinya. Aalisha mendongak kembali, menghilangkan Aeternitas, ia angkat kedua tangannya seolah-olah Sang Konduktor dalam penampilan Orkestra, maka ia menciptakan sepuluh pentagram sihir biru---hampir menjadi warna emas---di sekitar Sang Monster Jelek-berlendir.
Dengan sangat cepat, ujung rantai-rantai besi tajam menusuk tubuh monster tersebut, jeritan keras melengking, monster itu meronta-ronta akibat rantai besi semakin panas. Ia memukul-mukulkan puluhan tangan-tangannya yang tersisa ke tanah.
Embusan napas Aalisha cukup panjang. "Kumohon, tubuhku, ayo bertahan."
Sesaat tubuhnya hampir ambruk ke depan, tetapi berusaha ia tahan. Perlahan kedua tangan Aalisha sedikit bersinar emas, tetapi cahaya emas itu pudar dan digantikan dengan cahaya yang sangat gelap. Detik itu, ia ambruk ke bawah dengan kedua lutut menyentuh batang kayu. Meskipun tidak tampak dengan mata telanjang, tetapi bagi Aalisha, tubuhnya seolah-olah dijerat oleh puluhan rantai besi keemasan yang melilit bahu, kedua kaki, tangannya, serta lehernya hingga mencekik dan napasnya jadi tak beraturan.
"Segel sialan." Ia mencengkeram dadanya, keringat dingin membasahi. Ia ingin pingsan kapan saja, tetapi ia mendengar informasi dari para serangga jika Sang Monster Jelek-berlendir hampir lepas dari jerat sihir Aalisha. "Keparat." Napasnya semakin berat.
"Mari coba lepas satu segelnya." Aalisha memaksakan diri untuk berdiri, sejenak ia bisa mendengar suara-suara di dalam kepalanya, ia abaikan dan sesaat terlihat bahwa satu rantai yang melilit bahu kanannya lepas begitu saja. "Latreia."
"KUBUNUH KAUBOCAH SIALAN!!!" Jeritan Sang Monster Jelek-berlendir semakin kencang karena ia berhasil menghancurkan beberapa rantai besi, tetapi rantai besi baru segera menusuk tubuhnya kembali dan ia meronta-ronta.
"Aku Aalisha De Lune." Suara gadis itu sangat pelan. "Atas tubuh yang hidup ini, aku terus memanjatkan doa pada Mereka yang Bertahta di Athinelon ...."
Rakakan kayu terdengar ketika tangan-tangan berlendir memukul dan menghancurkan pepohonan. Jeritannya makin menjadi-jadi bahkan bisa terdengar di jarak ratusan meter. Hingga membuat para burung-burung yang bertengger, kebur beterbangan menjauh. Benarkah? Namun, beberapa burung tampaknya tidak terbang menjauh melainkan, melayang-layang di langit seolah-olah menantikan sesuatu.
"Aku memanggilmu, wahai Deus Sword of Chaos." Maka munculah pedang bersinar emas yang digenggam sangat kuat oleh Aalisha, ia lalu menarik pedang itu dari sarungnya, tampak jika bilahnya bertuliskan; ego sum deus. Aalisha mengacungkan pedangnya tepat ke langit. Maka detik itu, disaksikan oleh banyak manusia dan para binatang maupun serangga. Cahaya emas lurus yang seolah-olah membelah langit dan awan-awan. Betapa pujian mereka lantunkan ketika para burung-burung di langit, kupu-kupu, serta para serangga terbang mengitari cahaya emas tersebut.
"Mustahil." Suara Sang Monster Jelek-berlendir bergema di kepala Aalisha. "Kau bukan sekadar manusia biasa!!"
Detik itu, sebelum sang Monster berteriak dan memunculkan pentagram sihir. Suara Aalisha sudah terdengar meski tidak sekeras lawannya, tetapi suaranya bak mampu menembus langit dan setiap doanya terjawab ketika cahaya pedangnya semakin bersinar terang. Lalu alunan musik ibarat musik orkestra menyebar ke mana-mana. "Atas perintah dariku, Orflaith Leucothea bernyanyilah untukkku dan musnahkan semua yang menghalangi jalanku!!"
Ayunan pedangnya sangat indah ketika cahaya emas dalam sedetik saja membelah pepohonan di sekitarnya secara vertikal serta memenggal setiap tangan-tangan Sang Monster Jelek-berlendir hingga jeritan melengking, darah berceceran, lalu Aalisha ayunkan secara horizontal yang sukses membelah tubuh Sang Monster Jelek-berlendir menjadi dua bagian lalu ledakan terdengar ketika tanah tempat monster tersebut berpijak hancur dan terbelah sedalam tiga meter.
Lalu cahaya pedang tersebut bersinar sangat terang yang mendorong mundur segala hal di jarak serangannya sehingga menghapus bersih Sang Monster Jelek-berlendir hingga tidak bersisa. Berakhirlah serangan pedang Aalisha meratakan rumah, rerumputan, semak-semak, dan pepohonan, atas inilah hanya tersisa tanah kosong tanpa rumput di hadapannya.
Aalisha berhasil lagi, layaknya perkataan yang selalu ia sombongkan bahwa ia tak mengenal kekalahan.
"Usai juga," gumam Aalisha seraya menghilangkan pedangnya.
Gadis De Lune itu terlihat kacau, meski ia masih mengenakan jubah hitam yang sebagian sudah robek dan kotor, celana putihnya sudah tak perlu dipertanyakan karena benar-benar kotor, ada bercak darah pula, rambutnya sedikit berantakan, tetapi ia tidak berniat sama sekali melepaskan topengnya.
Perlahan ia berbalik hendak melangkah pergi dari sana, tetapi langkahnya terhenti ketika dua anak kecil muncul di depannya. Aalisha menilik tajam, ia tahu dua anak ini yang sebelumnya ia lihat tengah berusaha mendorong gerobak kayu. "Mau apa kalian?"
Si lelaki tatapannya penuh bintang, begitu juga dengan adiknya. "Woahhh, kau ini siapa, mengapa kekuatanmu sangat hebat!!" teriak sang adik.
"Adikku," kata kakaknya, "cepat berterima kasih dulu karena dia sudah menyelamatkan kita dan juga ibu."
"Baiklah."
Kini bersaudara-saudari itu membungkuk. "Terima kasih sudah menolong kami dan mengobati ibu kami sehingga dia tak mati karena pendarahan."
Aalisha hanya diam, tidak tahu bagaimana ekspresinya di balik topeng itu. "Pergilah, tugasku juga sudah selesai."
Sayangnya, kedua anak kecil itu tak mau pergi, kemungkinan mereka berusia sekitar 6—9 tahun. "Apakah kau adalah Ashtraea Lunette?" tanya si adik.
Aalisha paham maksud dari perkataan itu. "Aku tidak paham." Ia sengaja berbohong supaya kedua anak kecil ini pergi.
"Itu sebutan untuk Awatara Dewi Aarthemisia D'Arcy," jelas si kakak, "ibuku bercerita jika---"
"Bukan aku, jadi tak perlu dijelaskan, pergilah kalian, dan obati lagi ibu kalian." Aalisha tidak peduli dengan dongeng-dongeng tersebut jadi lekas ia melewati kedua bocah dan melangkah pergi dari sana.
"Sampai jumpa Ashtraea Lunette," ujar sang adik, "aku akan tetap mengingat dirimu dan semoga setiap langkahmu, selalu diberkati oleh para Dewa."
"Dewi Aarthemisia D'Arcy memberkatimu," kata sang kakak sebelum Aalisha benar-benar pergi dari sana. "Dadah!!"
"Dadah!!" teriak si adik juga.
Gadis bertopeng itu melompati atap-atap rumah warga entah yang masih utuh atau hancur lebur seraya melepaskan jubah hitam dan topengnya, ia masukkan dalam Invinirium.
Kini menuju salah satu rumah tua yakni tempat gerbang teleportasi berada. Di sana ternyata sudah ada Mylo dan Anila, ketika Aalisha melompat ke bawah. Lekas ia mendapatkan pelukan erat dari kedua manusia tersebut. Detik itu, Aalisha diam kaku seperti biasanya, tidak menjawab atau membalas pelukan mereka.
"Terima kasih," kata Anila dan Mylo.
"Syukurlah, kau tak terluka parah," sambung Anila.
Perlahan-lahan pula liontin Aalisha bersinar, tubuh mereka kembali ditelan oleh gerbang teleportasi dan membawa mereka kembali ke Akademi Eidothea.
Tampaknya semua kejadian ini tak berakhir begitu saja, Aalisha yang berteleportasi ke jembatan di danau terlihat sangat kesakitan karena Neith-nya sudah terkuras habis. Ia berusaha bangun dengan susah-payah, sejenak melirik pada Anila dan Mylo yang ternyata pingsan, tubuh mereka berada di rerumputan. "Apa yang terjadi ...."
Aalisha terdiam membisu ketika ada sesosok berjubah hitam dengan perawakan orang dewasa yang ternyata dialah yang melumpuhkan Anila dan Mylo hingga pingsan, lekas Aalisha berusaha memasang kuda-kuda bertarung, tetapi sebelum ia menyerang. Tiba-tiba sosok berjubah tersebut menerjang sangat cepat, mencekik leher Aalisha sekuat tenaga, lalu mengeluarkan semacam jarum suntik dan menusuk ke perut kanan Aalisha. "Keparat ...."
Darah Aalisha diambil menggunakan jarum suntik tersebut, setelahnya sosok berjubah hitam, menyerang belakang leher gadis itu dan tubuh Aalisha ambruk ke tanah karena tak sadarkan diri.
"Kerja bagus." Sosok berjubah itu menggumamkan sesuatu. "Semuanya sesuai rencana. Bermimpi indah selagi kaubisa, Nona De Lune." Tubuhnya pun menghilang begitu saja. Meninggalkan tiga bocah Eidothea yang tak sadarkan diri.
Sore itu pun berakhir, layaknya panggung yang tirainya ditutup dengan sempurna.
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
|| Afterword #30
Gimana dengan chapter ini? Salah satu chapter terfavorit gue^^
Seperti yang selalu ada dalam cerita ini kalau dunia Athinelon memang sulit digambarkan dengan kata-kata jadi tak heran jika penuh kejutan!!
Lalu apakah ada yang terkejut dengan kemunculan Kepala Keluarga Cabang Drazhan Veles? Dia sempat di-mention beberapa kali [Chapter 30] jika leluhurnya adalah Profesor Chameleon dan yang dikabarkan jika seluruh keluarga cabang dia dibunuh dan hanya menyisakan Halafarin seorang diri seolah-olah dia ada misi terakhir karenanya tidak dibunuh. Apakah ini adalah misi terakhir dia?
Beruntung Halafarin nggak ngejar Aalisha karena jika dia ngejar Aalisha secara langsung. Sudah dipastikan jika Aalisha bakal mati:) Karena untuk Aalisha sekarang, dia nggak setara dengan Kepala Keluarga Cabang bahkan si bocil sendiri yang sadar kalau nda mampu melawan^^
Kemudian mengapa Aalisha memutuskan untuk menolong warga Desa?
Prins Llumière
Minggu, 29 Desember 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top