Chapter 40

|| Before I take my shotgun dan kill you all, vote dan komen serta cari posisi ternyaman karena chapter ini totalnya 12.652 kata^^

|| Beri komentar agar gue tahu reaksi kalian akan chapter ini karena cukup sedih dan penuh aksi.

|| Chapter ini memiliki adegan berdarah, disturbing, dan beberapa hal sindiran sedikit mengganggu. Mohon tetap bijak dalam membaca:)

Tubuh kecil dan kurus itu tengah berbaring di kasur besar dengan selimut tebal nan mahal, sayangnya tidak akan bisa menutupi kesunyian di ruangan tersebut. Perlahan ia bangun, mendorong tubuhnya yang diperban putih terutama di lehernya serta beberapa plester di wajah terutama di pelipis dan dahi, bahkan bibirnya karena sedikit sobek.

"Duh aku ketiduran." Suara lembutnya terdengar yang menandakan jika dia hanyalah seorang gadis kecil berumur empat atau lima tahun. Kini tangannya yang juga terbalut perban, perlahan meraih boneka kelinci putih. "Ayo Little Bunny, jangan sampai kita gagal."

Turun dari kasur, ia butuh tenaga ekstra karena kasurnya sangat tinggi, tanpa mengenakan alas kaki, lekas ia berlari kecil menuju pintu besar. Sesaat ia mengintip keluar, berharap tak ada yang melihatnya terutama para pelayan dan kesatria. "Sip kosong, ayo Little Bunny kita menyelinap secepat mungkin sebelum ketahuan."

Derap langkah kecilnya melewati koridor Istana yang sangat, kaki kecil menginjak dan merasakan karpet merah berbulu sedikit menggelitik. Ia tampak fokus agar tidak tertangkap basah hendak menyelinap di malam hari dan menuju sebuah ruangan khusus nan rahasia. Betapa riang gembiranya gadis kecil itu ketika sampai di depan sebuah pintu besar berwarna putih. Sejenak ia celingak-celinguk, memastikan jika tidak ada pelayan atau kesatria. "Bagus, kali ini aku pasti berhasil."

Entah mengapa, tak ia gunakan sihir, barangkali karena takut ketahuan jika menggunakan sihir, jadi ia dekati pintu tersebut yang gagang pintunya sangat tinggi, membuat gadis kecil tersebut kesulitan menjangkaunya. Namun, ia tak menyerah, ia lepaskan si boneka kelinci kesayangannya, berjinjit dengan tangan terulur panjang-panjang, terus berusaha menjangkau kedua gagang pintu, dan benar saja jemarinya berhasil menyentuh gagang pintunya. "Ayoo terbuka." Dia berujar dan terdengarlah suara ceklekan pintu. Senyuman gadis tersebut mengembang sempurna.

"Yes! Aku bisa masuk---" Tiba-tiba seseorang dibalut sarung tangan hitam mencengkeram kedua pergelangan tangan si gadis kecil seraya menariknya ke belakang hingga terjatuh ke lantai. Lalu dua pelayan wanita datang dari belakang dan menutup kembali pintu putih tersebut.

"Tidak!!" Gadis tersebut menangis. "Aku mau masuk! Izinkan sekali saja aku masuk ke dalam!" Gadis kecil tersebut merangkak hendak menuju pintu, tetapi tubuhnya di tahan oleh kedua pelayan wanita.

"Maafkan kami, tapi Anda tidak boleh masuk ke dalam Nona," ujar pelayan pria yang tadi menarik tangannya.

"Anda seharusnya tidak di sini," ujar salah satu pelayan wanita. "Ayo kembali ke kamar Anda, ini adalah ruangan yang terlarang Anda masuki."

"Tidak! Tidak!" ujar gadis kecil tersebut mulai menangis dan terisak. "Aku mau masuk, izinkan sekali saja aku melihat lukisan itu. Aku mau masuk."

"Nona, Anda tidak boleh masuk, jika Anda tetap memaksa ...." Suara pelayan terhenti karena terdengar suara ceklekan pintu, perlahan-lahan pintu putih tersebut terbuka sedikit, dan seseorang keluar dari dalam ruangan.

Detik itu, keheningan merebak, degup jantung semakin kencang, sesak menyelimuti ketika si gadis kecil yang tengah terduduk di lantai dengan tubuhnya ditahan kedua pelayan, perlahan ia mendongak, menatap pada seorang pria tinggi dengan pakaian bangsawan, memiliki tatapan sangat tajam yang kini tengah melirik sinis dan dingin. Langkah pria tersebut berhasil menginjak boneka kelinci kesayangan si gadis kecil.

"Little Bunny," ujarnya, sementara para pelayan langsung membungkukkan badan dan menundukkan kepala serendah mungkin sebagai bentuk penghormatan.

"Yang Mulia, Kepala Keluarga De Lune," ujar si pelayan pria, "maaf atas keributan ini. Kami akan segera membawa Nona Aalisha kembali ke kamarnya."

Pria yang dihormati sebagai Kepala Keluarga De Lune tersebut hanya menatap sinis, tidak berujar, tidak berkomentar, atau pun tidak memberikan perintah melalui perkataan. Hanya tatapan tajam yang dapat dimengerti para pelayan bahwa Sang Kepala Keluarga tidak mau melihat gadis kecil menyedihkan ini di hadapannya.

"Tidak," kata Aalisha dengan suara gemetar dan air mata menetes ke piyama putihnya. "Aku tidak mau pergi. Aku mau masuk ke dalam! Izinkan aku masuk ke dalam."

"Nona Aalisha, ayo pergi, Anda tidak boleh di sini." Kedua pelayan wanita hendak menggendong tubuh Aalisha, tetapi gadis itu meronta, menolak dibawa pergi. Sedangkan sang Kepala Keluarga masih diam, tanpa memperlihatkan sedikit pun ekspresi.

"Tidak, kubilang tidak." Suara Aalisha meninggi dan air mata tidak terbendung lagi. "Aku mau masuk, aku mau lihat lukisan Ibu. Kenapa aku selalu dilarang melihat lukisan wajah Ibu, kenapa?"

Meski kini ia bersimpuh dengan dahi menyentuh lantai sekali pun, tidak ada kehangatan yang dia dapatkan dari Sang Kepala Keluarga atau haruskah ia sebut dengan panggilan ayah. "Kenapa hanya aku yang dilarang melihat wajah ibu? Kenapa aku tidak boleh hadir di ritual doa untuk ibu? Padahal aku anaknya ibu juga! Aku mau lihat wajah ibuku di lukisan kenapa tidak boleh? Kenapa aku tidak boleh tahu wajah ibu ...."

Hanya langkah kaki yang gadis itu dengar, bersamaan pintu ruangan putih tersebut yang perlahan terkunci, diberi segel menggunakan sihir sehingga gadis itu tak bisa membukanya. Lalu Sang Kepala Keluarga pergi begitu saja padahal Aalisha masih bersimpuh dengan dahi menyentuh lantai bahkan isak tangisnya terdengar di sepanjang koridor.

"Mari Nona, kita kembali ke kamar Anda," ujar para pelayan dan gadis itu hanya mengangguk kecil seraya mengambil bonekanya. Ia berpasrah bahwa sampai kapan pun, ia tidak akan pernah tahu bagaimana wajah dari Sang Ibu yang selama ini sangat ia cintai meskipun tak pernah sedikit pun ia memahami bagaimana kasih sayang dari seorang ibu.

Kini berada di kamarnya yang temaram dan sinar bulan menembus jendela. Aalisha duduk di pinggir kasur dengan kaki menjuntai ke bawah serta ia menatap boneka kelinci putih di pangkuannya. Kepalanya menunduk menatap sang Kelinci, air mata jatuh ke badan boneka tersebut yang tampak kotor serta kusam karena diinjak oleh Sang Kepala Keluarga De Lune. Perlahan-lahan semakin banyak air mata menetes, membuat si boneka semakin basah.

"Little Bunny," ujar Aalisha kecil, "kenapa aku tidak boleh melihat wajah ibuku di lukisan? Aku tidak tahu bagaimana wajahnya, aku ingin sekali melihat wajah cantiknya, aku yakin ibu sangat cantik."

Tangannya mengerat pada boneka tersebut. Sebelum malam berganti, gadis kecil tersebut kembali berujar, "maaf ibu, lain kali aku akan berusaha lebih keras agar aku tahu bagaimana wajah ibu. Maafkan Aalisha ya, ibu, Aalisha akan berusaha lagi. Aalisha janji."

Segalanya langsung buram dan menjadi gelap gulita, kini mulai tubuhnya sakit dan pegal-pegal seolah-olah baru saja jatuh dari ketinggian dan tulang-tulangnya sedikit bergeser, ia juga merasakan tubuhnya tergelitik sesuatu yang berbulu, tetapi sedikit tajam. Sepertinya bukan bulu melainkan rerumputan yang cukup tinggi sehingga menusuk-nusuk ke kulitnya. Perlahan gadis itu mulai membuka kedua kelopak matanya, sinar matahari nan terik langsung menusuk ke retina, membuatnya berkedip-kedip untuk menyesuaikan penglihatannya, terutama pada awalnya hanya labirin kekurangan sinar matahari yang dia lihat, kini ia sepertinya tiba di tempat berbeda dan terasa lebih bebas karena embusan angin menyapu helaian rambutnya.

"Oh Jagad Dewa, syukurlah kau sadar." Suara Mylo terdengar, lelaki itu duduk di samping Aalisha, mata Mylo sedikit bengkak dan memerah seperti habis menangis. "Aku takkan bisa menangani kalian sekaligus jika pingsan."

Lekas Aalisha bangun dari posisi berbaringnya, ia mengedarkan pandangan, tak menyangka jika tempatnya tiba bukanlah Eidothea. "Teleportasinya tak membawa kita kembali." Aalisha dengan mudah memahami kondisi mereka.

"Kaubenar, ini semacam desa," ujar Mylo, "tapi yang terpenting adalah tolong bantu sembuhkan Anila. Dia masih belum sadar."

Manik mata gadis De Lune itu melirik sejenak pada Anila yang masih pingsan, baru ia sadari pula jika beberapa bagian pakaiannya sobek, luka di mana-mana, bahkan ada bekas darah di bibirnya yang menandakan jika Andromeda itu sempat muntah darah. "Sebenarnya apa yang terjadi?"

Mylo tampak ragu berkata jujur, tetapi melihat tatapan sinis Aalisha, membuatnya tak mau menyembunyikan kebohongan. "Cara membuka pintu di labirin itu kalau pembuka pintu harus mentransfer rasa sakit ke pintu, jadi kami terpaksa ...."

"Anila memaksamu menyerangnya agar dia tersakiti 'kan?" Tentu saja Aalisha langsung paham. Ia menghela napas, berpikir bahwa tindakan keduanya sangat bodoh, pasti ada cara lain selain menyakiti diri sendiri. Baru hendak berujar lagi, gadis itu terdiam karena Mylo lebih dulu berkata.

"Iya, tapi ...." Mylo kembali meneteskan air mata. "Aku tidak sanggup menyerangnya, akhirnya Anila menyakiti dirinya sendiri dengan teknik sihir tingkat tinggi yang dia ketahui."

Tangis lelaki itu semakin pecah, ia tertunduk dengan dahi menyentuh rerumputan saat dia mengingat bagaimana Anila tidak takut untuk menggunakan teknik sihir untuk menyakiti dirinya sendiri. Tubuh Mylo merinding dan dadanya sesak saat Anila menjerit-jerit kesakitan hingga muntah darah. "Aku tidak tahu harus apa. Kupinta dia berhenti, tapi dia tidak mendengarkan karena dia takut kalau kau juga sedang berjuang melawan monster itu. Jika kami gagal, dia takut, kau akan terluka parah dan berakhir di rumah sakit seperti dulu-dulu."

Isak tangis Mylo semakin kencang, serak pula suara lelaki itu. "Maaf kalau kami tak menemukan cara lain untuk membuka pintu itu, maaf kalau kami terlalu lemah menjadi rekanmu, tapi kami selalu berusaha, kami berusaha juga untuk berguna dan bisa melindungimu."

Sungguh menyedihkan, seorang lelaki keturunan bangsawan Cressida kini bersimpuh dengan penuh tangisan, sementara Sang De Lune tanpa ekspresi dan tanpa empati hanya menatap meremehkan bahkan tak terukir kesedihan barang setitik air mata pun. Aalisha lalu menilik si Andromeda yang masih tak sadarkan diri dan bernapas pelan. "Bodoh." Kata itu terucap dalam hatinya. "Manusia-manusia ini selalu menyusahkan. Sudah kukatakan berulang kali jika ini risiko mengikutiku, tapi mereka tetap keras kepala."

Perlahan Aalisha menyentuh leher Anila dengan punggung tangan, gadis Andromeda itu terasa hangat, tetapi masih bertahan hidup. "Sudah menangisnya, takkan menyelesaikan masalah," ujar Aalisha pada Mylo. "Gendong Anila, kita akan cari tempat berteduh, kemudian mengobatinya."

Mylo menganggukkan kepala, mengusap hidungnya dengan lengan baju, lalu ia menggendong Anila kembali dan mengikuti Aalisha yang tengah memantau keadaan. Mereka menyembulkan kepala di balik dinding rumah kayu tua yang sudah tak berpenghuni, awalnya mereka kira jika desa ini adalah desa mati tanpa satu pun masyarakat, tetapi salah besar karena hal pertama yang mereka lihat ketika mengedarkan pandangan lebih jeli adalah banyaknya masyarakat yang beraktivitas.

"Apakah ini memori masa lalu artefak?" ujar Mylo.

"Kurasa tidak," balas Aalisha, "kita benar-benar diteleportasi ke wilayah yang berbeda."

"Oh tidak, artinya kita menghilang dari Akademi!" ucap Mylo, "bisa gawat jika kita ketahuan menghilang."

Aalisha menghela napas. "Kita hanya bisa berharap pada Gilbert dan lainnya agar menutupi bahwa kita tak berada di akademi."

Mylo mengangguk, lalu ia baru tersadar akan sesuatu. "Di mana Killian?! Bukankah dia bersama kita saat keluar dari pintu labirin?"

"Aku tak peduli, mungkin dia berteleportasi ke tempat berbeda," balas Aalisha, "ayo pergi dan cari penginapan selagi kita bukan di desa mati."

"Apakah perlu menutupi wajah kita?" bisik Mylo, ia takut jika para warga akan sadar jika mereka adalah orang luar atau lebih parahnya mereka dijarah dan diusir karena dianggap pendatang asing.

"Akan lebih mencurigakan jika menyembunyikan wajah." Aalisha tampak tenang, seolah sudah terbiasa berada di suatu tempat asing. Lagi pula tak ada yang tahu bahwa dia adalah Majestic Families, lalu Mylo dan Anila hanyalah bangsawan menengah jadi mereka juga takkan dikenali dengan mudah.

Tampak beberapa warga melirik pada mereka lalu tersenyum tipis sebagai sapaan kemudian melanjutkan aktivitas masing-masing, beberapa anak kecil tengah riang gembira bermain dan berlari ke sana-kemari. Ada pula mereka lihat beberapa orang dengan busur panah serta pedang, kembali dalam keadaan terluka serta menarik gerobak berisi kijang, rusa, hingga babi liar. Beberapa pria atau wanita mengenakan zirah, meskipun terluka, tetapi menikmati minuman di pinggir jalan seraya bercanda tawa.

"Kurasa orang-orang di sana adalah pemburu dan yang mengenakan zirah kemungkinan Thesaurum Venator," ujar Aalisha.

"Thesaurum Venator ... oh maksudmu orang-orang yang mencari harta karun di Zero Domain atau tempat-tempat terpencil?" kata Mylo.

"Ya, bisa seperti itu. Lihat saja gerobak yang berisi bebatuan, emas, dan berlian itu," balas Aalisha, "kurasa karena ini juga, mereka tidak terlalu penasaran dengan kita karena menganggap jika kita jugalah pemburu harta karun." Pernyataan Aalisha semakin diperkuat dengan adanya anak-anak muda juga yang bergabung ke kelompok Thesaurum Venator tersebut.

"Biasanya aku hanya tahu dari perkataan orang-orang saja, kini aku melihat mereka secara langsung," ujar Mylo seraya mengikuti Aalisha yang menuju seorang pedagang.

"Ayo beli beberapa obat herbal." Gadis itu berhenti di depan kios yang menjual botol-botol elixir, beberapa tanaman obat, dan sejenisnya.

"Oh halo, Nak. Mau membeli sesuatu?" ujar seorang pria tidak terlalu tua, memiliki rambut cokelat dengan topi ala-ala peternak.

Aalisha memperhatikan sejenak, hanya obat-obatan tingkat rendah bahkan tanamannya pun sama, tidak terlalu berkhasiat seperti tanaman yang sering digunakan oleh bangsawan. "Aku beli ini beberapa, kemudian tanaman ini dan juga itu." Namun, tetap saja Aalisha perlu untuk menyembuhkan luka-luka Anila, jadi tidak sekadar menggunakan sihir yang bisa menguras banyak Neith.

"Tentu saja, gadis kecil, pilihan yang tepat," kata si penjual, sejenak melirik pada Mylo lalu Anila yang pingsan. "Apakah semua ini untuk kawanmu itu? Dia tampak sangat sakit."

"Ya, cepatlah urus pesananku," sahut Aalisha sinis, "jangan banyak oceh."

"Tenanglah Nak, jangan buru-buru, matahari belum tenggelam," balas si penjual segera memasukkan elixir ke dalam keranjang bambu. Sementara, Aalisha menatap kesal. "Hey bro. Kawan kecilmu ini agak seram ya, omong-omong namaku Clark." Ia berujar pada Mylo.

"Uh kami hanya butuh semua ini secepatnya karena teman kami terluka," balas Mylo tampak paham jika Aalisha merasa kesal pada penjual ini.

Clark tersenyum meremehkan. "Aku tahu akhir-akhir ini banyak anak muda yang aktif berpartisipasi dalam perburuan harta karun, tapi jika belum berpengalaman lebih baik jangan ikut karena nyawalah yang kalian pertaruhkan. Lagi pula apa yang kalian dapatkan dengan masuk ke pertambangan itu huh? Hanya luka-luka karena kalian tidak begitu ahli dalam pertarungan. Serahkan saja pada orang dewasa untuk masalah ini."

Mylo berujar, "maaf, tapi kami---"

"Bukan urusanmu apakah kami ahli atau tidak," balas Aalisha lekas menginterupsi, "jadi cepatlah selesaikan tugasmu karena hanya memasukkan beberapa tanaman obat ke keranjang saja kau lamban sekali."

"Wah perkataan bocah ini menusuk sekali ya," ujar Clark tersenyum sinis, diam-diam mengambil tanaman yang sedikit layu kemudian ditaruh dalam keranjang dan ditutupi tanaman segar. Ia berbuat curang. "Berhati-hatilah dalam berujar karena seperti kata pepatah, mulutmu adalah harimaumu."

Aalisha ingin sekali menjadi harimau dan menerkam pria banyak oceh ini. "Mana barangku."

"Iya, iya ini barangmu ...." Clark hendak menyerahkan keranjang tersebut, tetapi ia tarik kembali. "Eitttss, tidak secepat itu Nak. Apakah kau lupa jika di dunia ini ada yang namanya sistem transaksi? Aku tidak menerima batu sebagai pembayaran."

"Apa kau berpikir jika aku tak bisa bayar?" Aalisha menatap sinis, sedangkan Mylo yang berdiri di samping sambil menggendong Anila, tampak merasakan aura tajam dalam diri Aalisha.

"Oh aku tak menuduh, tapi kebanyakan bocah sepertimu senang berutang atau mencuri," balas Clark, "lagi pula kalian tampak tak membawa apa-apa, tidak ada hasil buruan yang dapat ditukarkan juga, selain itu total dari semua ini adalah 1,500 D'Orques."

Mylo atau pun Aalisha sedikit terkejut, ada yang aneh dengan penjual ini. Bagaimana bisa beberapa elixir murah dan tanaman obat murahan juga hampir mencapai 2,000 D'Orques. Pasti ada yang salah, penjual ini berbuat curang. "1,500 D'Orques?"

"Benar sekali, bahkan sudah kuberi diskon karena kalian tampak kesusahan uang," balas Clark dengan membatin. "Anak-anak bodoh, padahal harga asli semua ini hanya beberapa koin emas saja."

Mendengar perkataan tersebut, yang pertama kali berkeringat dingin adalah Mylo Cressida, ia tahu jika mereka tengah ditipu, tetapi bukan karena ditipu yang membuatnya takut. Ia lebih takut jika Aalisha mengamuk. "Apa kau yakin jika harga---"

"Kau pikir aku berbohong?" ujar Clark memotong perkataan Mylo. "Aku sudah bekerja di sini bertahun-tahun, orang-orang selalu kemari untuk membeli obat-obatan padaku. Jika tak mau, ya sudah, cari saja sendiri tanaman obatnya di hutan belantara sana dan mati dimakan monster."

Aalisha menghela napas. "Aku akan bayar, tapi sebelumnya, cobalah jangan berbuat licik dengan menimbun tanaman yang sudah layu ke dalam keranjangku."

"Kaubilang apa bocah? Aku menimbun?! Ini adalah fitnah, semua tanaman di sini adalah kualitas bagus dan segar langsung dipetik pagi hari tadi, jangan seenaknya---"

Tiba-tiba badan Clark mematung, gadis kecil itu merampas keranjang bambunya dan merogoh ke dalam sehingga berhasil mengambil beberapa tanaman layu. "Mulut siapa yang baru saja berbohong? Jangan kira kami bodoh." Ia taruh kembali ke rak tanaman obat. "Cepat beri tanaman yang segar dan berapa harga aslinya atau kau kukirim ke mulut harimau sekarang juga."

"Baiklah!!" teriak Clark setelah tubuhnya bisa digerakkan kembali, ia tak menyangka jika kedua bocah ini bisa sihir dengan baik. "Namun, kau harus bayar dahulu, aku trauma pada bocah pencuri yang seenaknya mengambil daganganku."

Clark tersenyum lagi, ia merasa jika kedua bocah ini tak ada uang, bahkan membawa tas saja tidak. Bagaimana cara mereka membayar? "Gunakan cek kertas ini," ujar Aalisha menyerahkan sebuah kertas.

"Tunggu, apa ini cek yang ditukar ke bank Kota lalu menjadi beberapa lembar D'Orques?" Clark menatap heran, ia hendak menuduh bahwa ini palsu, tetapi saat dicek lagi ternyata asli.

"Ya, jadi cepat siapkan tanaman yang kubutuhkan dan jangan berani kau timbun lagi," ujar Aalisha. Maka Clark dengan tergagap lekas menyiapkan pesanan Aalisha.

"Ini dia! Silakan datang kembali." Sesaat Clark terkejut karena Aalisha mengambil keranjang tersebut dengan agak kasar, lalu langsung pergi. Tidak sedikit pun mereka membalas perkataan Clark hingga akhirnya benar-benar pergi dari pandangan penjual tersebut.

"Kau yakin gunakan cek itu?" ujar Mylo berbisik, "bukankah bahaya jika identitasmu ketahuan."

"Tidak masalah, cek itu tidak ada nama keluargaku," balas Aalisha, "dan itu tetap asli, pihak keluargaku memang membuat cek khusus untukku sebagai pembayaran sah, tetapi tidak tertulis nama bangsawanku di sana."

"Baiklah, tapi masih mengkhawatirkan, dia tahu kalau kau punya cek kertas? Karena biasanya hanya bangsawan ...."

"Aku sengaja."

"Maksudmu?" Mylo tampak terkejut.

"Oh kau tak sadar ya?" balas Aalisha, "sejak awal sudah kutebak jika penjual itu punya kelompok. Orang-orang di sekitar kita tadi memperhatikan kita, kuyakin mereka memantau kita dan jika kita punya uang, mereka akan beraksi kapan-kapan. Atas inilah, dari awal si Clark itu terus-menerus mengoceh agar mengorek informasi apakah kita hanya sekadar pendatang miskin atau malah memiliki uang. Jadi karenanya aku sengaja memancing mereka."

"Artinya kita dalam bahaya?" balas Mylo.

"Jangan khawatir," sahut Aalisha tersenyum kecil, "jika mereka berani datang, kupastikan mereka akan pulang tanpa kepala."

"Ah ya baiklah." Mylo menelan saliva dan sesaat takut. "Tamat sudah riwayat mereka." Ia membatin.

Kini Mylo dan Aalisha memasuki sebuah rumah kayu yang menjadi tempat penginapan, selesai mengobrol dengan resepsionis, mereka pun mendapatkan satu kamar dan segera pergi ke kamar mereka di lantai tiga. Akhirnya setelah perjuangan menggendong Anila cukup lama, Mylo bisa bebas saat ia merebahkan tubuh gadis itu di salah satu kasur, ada dua kasur di kamar ini.

"Dia masih demam," ujar Mylo.

"Ya," balas Aalisha, seraya menaruh keranjang bambu di atas nakas. "Aku akan meracik obatnya, kau carilah kain untuk membersihkan luka-lukanya dan mengompres demamnya."

"Okay ... bagaimana denganmu, kau juga terluka," balas Mylo.

"Aku baik-baik saja, hanya lelah karena Neith-ku terkuras habis, sisanya tak masalah," balas Aalisha tampak datar ekspresinya seolah-olah sudah terbiasa dengan semua kondisi ini. Sejenak membuat Mylo sedih dan bertanya-tanya, seberapa sering gadis De Lune itu terluka sehingga luka di sekujur tubuhnya dengan mudah ia abaikan?

Butuh waktu satu jam lebih bagi Mylo dan Aalisha untuk mengobati luka Anila serta membersihkan diri mereka sendiri karena mereka juga kotor dan berkeringat bahkan mereka harus mengganti pakaian, beruntungnya bisa membeli pakaian baru dan ada ukuran pas untuk Mylo dan Anila, meski sedikit besar di badan Aalisha. Tentang Anila berganti pakaian, tentu saja Aalisha yang terpaksa mengganti pakaian gadis Andromeda itu karena mustahil jika menyuruh Mylo yang notabenenya adalah laki-laki.

Kini Aalisha dan Mylo tengah duduk sambil memakan beberapa potong roti, sementara Anila masih belum sadarkan diri meskipun lukanya sudah diobati dan demamnya sedikit menurun, gadis itu masih perlu istirahat. Setelah berdiskusi sejenak, Aalisha dan Mylo memutuskan untuk mencari tahu lebih jauh mengenai desa ini dan alasan apa mereka berteleportasi ke mari serta rahasia yang tersembunyi.

"Jadi seperti yang kau bilang, kalau konsep Iapthae Portae adalah jika berteleportasi ke suatu tempat maka di tempat ini ada gerbangnya?" Mylo berucap.

"Benar sekali," balas Aalisha sambil berjalan di lorong penginapan ini dan menuju ke lantai bawah. "Dengan mengambil kesimpulan dari konsep dari Gerbang Teleportasi (Iapthae Portae), maka ada sesuatu di desa ini yang berkaitan dengan artefak yang kita miliki sehingga kita dibawa kemari atau ... penjahat berjubah sebelumnya sengaja membawa kita kemari dengan suatu alasan tertentu."

"Ah, jadi karenanya kau berkata jika pasti ada rahasia tersembunyi di sini!" Mylo berucap dengan semangat karena dapat memahami penjelasan Aalisha dengan mudah.

"Atas inilah ...." Mereka sudah berada di luar penginapan. "Secepatnya kita mencari informasi, sebelum hal buruk menimpa lagi."

Petualangan kali ini lebih sulit dibandingkan kejadian beberapa bulan lalu ketika harus merebut Zephyr dari tangan bangsa iblis dan melawan Lugaldaba. Karena kini yang Aalisha dan kawan-kawan hadapi adalah kastil sihir serta artefak kuno, terutama sejumlah memori yang terus saja menghantui mereka, belum lagi wajib memahami teka-teki dan menyambungkan setiap potongan puzzle memori masa lalu, demi mereka pahami kisah aslinya.

Detik ini saja, mereka sudah berkeliling dengan bersandiwara mengajak beberapa warga lokal mengobrol padahal sebenarnya mereka hendak mengorek informasi terutama mengenai Desa ini dan jika beruntung bisa saja mereka temukan rahasia mengenai artefak wabah tikus, sayang sekali tidak satu pun warga menyinggung tentang hal tersebut.

"Bisakah kita istirahat sejenak?" ujar Mylo duduk di bangku kayu dan berkeringat.

Aalisha menghela napas, melirik Mylo yang tampak sangat kelelahan. Ia hendak memintanya agar terus lanjut mencari informasi, tetapi ia paham jika lelaki ini juga butuh istirahat, berbeda dengan Aalisha yang meskipun Neith-nya belum pulih sepenuhnya serta belum cukup energi untuk menggunakan kemampuan mistisnya, tetapi ia tampak lebih bertenaga dan tak kelelahan seperti Mylo. "Ya, istirahatlah sejenak."

Dua-duanya pun duduk di bangku kayu seraya Aalisha menulis beberapa catatan di buku hitam kecil hingga tiba-tiba ada seorang lelaki dengan pakaian cokelat melempar gumpalan kertas, lekas Aalisha menunduk sehingga kertas tersebut malah menghantam wajah Mylo. "Hey!! Siapa yang melempar ini ke wajahku!"

Mylo terdiam ketika melihat lelaki seumuran mereka tengah menyembulkan kepala dari balik gentong kayu berisi air dan memanggil mereka. "Kalian kemarilah! Aku bisa membantu kalian."

Sejenak Mylo berpikir, ia lirik Aalisha yang hanya menatap pula. Lalu Mylo berbisik, "haruskah kita percaya dia?"

"Tentu saja tidak." Aalisha membalas dingin. "Namun, ayo ikuti permainannya dulu."

Mereka berdua pun menuju lelaki berbaju cokelat dengan plester di hidung dan dagu, ia tampak sedikit kumuh, terlihat jelas dari sepatu kusam dan penuh lumpurnya. Lelaki itu berlari ke arah gang-gang sempit dan becek karena penuh lumpur, terpaksa Aalisha dan Mylo mengikuti.

"Siapa namamu?" ucap Mylo.

"Aku Josse, aku bekerja di salah satu toko roti dekat sini." Lelaki itu membawa Aalisha dan Mylo ke belakang sebuah gudang tempat penyimpanan tepung dan gandum. "Kutebak jika kalian berdua pasti bukan berasal dari Desa ini bukan? Sebenarnya sudah hal biasa, desa ini jadi tempat persinggahan para pengembara dan petualang terutama anggota Thesaurum Venator karena desa ini adalah satu-satunya penghubung antarkota, sisanya hanyalah hutan belantara."

"Ah pantas saja banyak orang-orang dengan zirah dan ada banyak penginapan di sini juga," ujar Mylo sementara Aalisha hanya diam seraya menilik Josse dari atas hingga bawah.

"Benar sekali," balas Josse, "bagaimana dengan kalian, apakah kalian pengembara atau anggota dari Pemburu Harta Karun juga?"

"Soal itu---"

Perkataan Mylo diinterupsi oleh Aalisha. "Kami juga anggota Thesaurum Venator." Gadis itu bersilang dada, suaranya terdengar sangat angkuh dan dingin serta tak memperlihatkan ekspresi apa pun. "Sekarang beritahu aku, mengapa kaumau mengobrol dengan kami?"

"Wow tenanglah, aku di sini senang membantu para pendatang terutama kudengar kalian berkeliling mencari informasi mengenai desa ini," balas Josse terkekeh keci. Ia heran sejenak dengan sifat gadis pendek ini yang mengintimidasi, tidak sesuai dengan tinggi badannya.

"Bantuan apa yang memangnya bisa kauberikan pada kami?" balas Aalisha.

"Duh, duh, jangan mengintimidasi seperti itu," balas Josse, "kita di sini sama-sama rakyat jelata yang hendak berjuang untuk hidup. Aku dengan pengetahuanku soal desa ini dan sekitarnya dan kalian yang berburu harta karun, jadi marilah berdamai satu sama lain."

Sejenak terdengar keheningan, terutama Mylo dan Aalisha yang merasa bahwa mereka benar-benar tak dicurigai sebagai bangsawan. Ada untungnya pula bagi Aalisha yang menyembunyikan identitasnya dari dunia ini. "Baiklah," balas Aalisha, "kalau begitu apa yang bisa kaubagi mengenai desa ini?"

"Seperti yang kubilang sebelumnya jika desa ini satu-satunya desa penghubung antarkota terutama karena desa ini terletak paling jauh di Kekaisaran Ekreadel, sehingga banyak orang yang singgah----"

"Apa?!" Myko menginterupsi, "kaubilang ini desa paling jauh di Kekaisaran Ekreadel?!"

"Ah ya memang begitu, tunggu, kenapa kauterkejut?!" balas Josse, "kalian kemari harusnya tahu akan hal itu bukan?"

"Temanku ini buta arah," balas Aalisha sebagai pengalih karena mereka hampir dicurigai. "Aku tahu letak desa ini, tetapi kami tak benar-benar paham kondisi sekitarnya karena ini pertama kalinya kami kemari." Tentu saja dia berbohong dan Josse tampak menganggukkan kepala seolah-olah ia sangat percaya.

"Kalau begitu kalian sangat beruntung karena aku menawari kalian bantuan. Kira-kira apa yang hendak kalian tanyakan? Tempat batu permata, daerah yang banyak diincar para Pemburu Harta Karun, atau akhir-akhir ini ada rumor jika ada sebuah lokasi rahasia yang penuh dengan emas serta berlian! Cepat, katakan saja padaku, aku sangat bisa dipercaya jika mengenai informasi tentang harta karun."

Sejujurnya, Aalisha tampak tak peduli dengan semua informasi tersebut, ia hanya ingin tahu tentang desa ini dan asal-usulnya serta alasan mereka berteleportasi kemari, pasti ada rahasia tersembunyi. "Kausangat hebat karena memiliki semua informasi tersebut," ujar Aalisha yang tentu saja ia harus berakting terlebih dahulu. "Kami bertemu orang yang tepat untuk menunjang perburuan harta karun kami."

Gadis kecil itu melirik Mylo agar lelaki itu ikut dalam akting Aalisha. "Ya, temanku ini benar, kami sejak tadi kebingungan mencari informasi dan bam! Kau datang untuk membantu kami, kurasa perburuan kami hari ini akan berjalan lancar." Mylo nyengir tidak jelas.

Josse tersenyum lebar dengan gigi-giginya terpatri. "Cukup pujiannya, kalian membuatku malu, oke ayo langsung ke intinya, kira-kira kalian hendak berburu harta karun apa? Kurasa untuk anak-anak seusia kita, lebih baik mencari ke sebelah Selatan karena tempat itu lebih aman dan aku ada lokasi tertentu yang masih banyak emasnya, hanya saja, juga banyak binatang liar berkeliaran bahkan ada monster, tapi jika kalian bisa teknik sihir dasar, kalian akan baik-baik saja. Jadi apakah kalian mau ke sana atau ke lokasi yang paling berbahaya? Tapi kusarankan jangan ke sana karena aku tidak bertanggung jawab dengan nyawa kalian."

Banyak oceh, setidaknya inilah yang terlintas di kepala Aalisha. "Sebelum kami berburu harta karun, kami hendak tahu asal-usul dan sejarah Desa ini atau mungkin ada hal menarik? Aku senang mendata desa yang kukunjungi dalam perburuan harta karun."

Josse mengibaskan tangannya. "Untuk apa mendata sebuah desa? Apa kau hendak berperan seperti orang-orang bangsawan yang meneliti sebuah daerah huh? Tidak perlu susah payah membuat data, para Thesaurum Venator lain hanya mengandalkan insting dan kekuatan dalam bertarung---"

"Jawab saja pertanyaanku," interupsi Aalisha dengan seringai kecil, membuat Josse bergidik ngeri.

"Baiklah, aku akan beritahu sebisaku saja," ujar Josse, menghirup banyak pasokan oksigen. Sementara Aalisha duduk di bangku kayu, Mylo hanya berdiri, dan Josse duduk di batang kayu belum dipotong. "Desa ini bernama Roanesse, dahulu hanyalah tanah tandus dan tak berpenghuni bahkan tidak ada bangsawan yang mau memiliki atau membeli wilayah desa ini karena dianggap tak memberikan keuntungan karenanya Desa ini diatur oleh Kekaisaran Ekreadel. Hingga pada suatu masa, ada sekelompok orang yang entah berasal dari mana kemudian mendiami dan mengurus tanah tandus ini, serta perlahan-lahan mendirikan bangunan, dan seiring waktu tumbuhlah peradaban lalu jadilah seperti sekarang."

Hening sejenak, ada banyak informasi yang bisa Aalisha pilah, terutama mengenai kelompok orang yang tiba-tiba mendiami tanah di sini. "Siapa sekelompok orang ini?" ujar Aalisha, "apakah kautahu asal-usul mereka? Atau mereka adalah warga yang diperintahkan Kekaisaran untuk mendiami tanah ini?"

Josse berpikir sejenak, ia seolah-olah melirik sekelilingnya, lalu berujar, "aku pernah dengar dari Nenekku dulu, jika orang-orang yang mendiami tanah ini pertama kali adalah bangsawan baik hati, tapi tak diketahui sebabnya apa dan mengapa seorang bangsawan hendak tinggal di sini dibandingkan di Kota yang serba sempurna."

Sejenak Mylo dan Aalisha saling bersitatap, mereka tak sepenuhnya percaya perkataan tersebut, lebih tepatnya adalah barangkali sejarah desa ini beredar tidak banyak kebenarannya sehingga dibalut kisah bohong saja. "Kau bilang pertama kali jika desa ini awalnya hanyalah tanah tandus? Lalu kulihat sekitar, malah lebih banyak pepohonan, rerumputan."

"Ah mengenai hal itu ...." Josse terdiam lagi. "Kudengar cerita dari banyak orang, jika tiga penyihir hebat pernah datang kemari, kemudian membuat tanah tandus di sini menjadi subur."

"Siapa tiga penyihir hebat yang kaumaksudkan itu?" kata Mylo.

"Maaf, aku tidak tahu," ujar Josse.

Aalisha menghela napas. "Baiklah, pertanyaan selanjutnya."

"Tunggu! Bayar dulu sebelum tanya lagi!" balas Josse.

"Bayar?!" balas Mylo, "kaubercanda, kenapa kami harus bayar?"

"Karena aku butuh uang." Josse tertawa, "kalian bisa dapat satu dan dua informasi, jika lebih dari itu kalian harus bayar dulu!"

"Bukannya tadi kaubilang mau membantu kami?" sahut Mylo merasa kesal.

"Ya, aku bilang membantu, tapi tidak gratis!" sahut Josse, "lagi pula aku di sini hanya rakyat miskin dan aku butuh uang, kalian saja butuh uang karenanya berburu harta karun, aku juga perlu uang untuk menghidupi ibu dan adikku."

Mylo merasa geram, sementara Aalisha hanya diam, sejenak ia melirik ke balik pepohonan. "Ada seseorang yang memperhatikan kami." Ia bergumam pada diri sendiri.

"Berapa bayaran yang kaumau?" kata Mylo.

"Tidak banyak kok, hanya sekitar 5,000 D'Orques untuk satu pertanyaan!" Josse memperlihatkan lima jarinya.

"Kaumau merampok kami?" teriak Mylo, "kaugila, 5,000 D'Orques untuk sebuah informasi yang terdengar seperti gosip saja."

"Dengar, bisnis tetaplah bisnis! Aku hanya melakukan bisnis seperti yang biasa kutawarkan kepada para Thesaurum Venator lain, jadi aku bukan merampok kalian, melainkan berbisnis!" jelas Josse dengan sekali tarikan napas, ia bersungut-sungut kesal pula.

Mylo merasa jika perutnya mendidih. Namun, baru hendak ia melawan perkataan Josse, ia dihentikan Aalisha yang maju selangkah hingga persis di hadapan Josse yang tengah berkacak pinggang. "Sayangnya kami tidak punya uang hingga 5,000 D'Orques karena kami juga belum memiliki penghasilan dari perburuan harta karun kami."

Mylo terkejut, tetapi ia mudah kembali mengendalikan ekspresinya. "Aalisha pasti sedang berakting."

Josse mendengus. "Cih, sudah kuduga, kurasa kita tak bisa berbisnis lagi."

"Kaubenar, tapi bagaimana jika beri kami kesempatan dan aku punya penawaran menguntungkan," ujar Aalisha seraya memejamkan mata sejenak dan tersenyum lebar.

Di sisi lain, Mylo hanya menatap dengan mata membulat, ia meski diam, tetapi rasa takut menggerogoti seraya bergumam dalam hati. "Oh Dewa, nasib sial segera menimpa Josse."

Josse berpikir dulu, ia melirik ke belakang Aalisha dan Mylo, terlihat di antara pepohonan, ada dua sosok berjubah hitam yang tengah memantaunya. Membuat Josse meneguk saliva dengan kasar. "Baiklah, aku dengarkan tawaranmu."

"Kau sebelumnya berkata jika kautahu lokasi yang terdapat harta karun atau emas dan berlian," ujar Aalisha, "bagaimana jika beritahukan kami lokasinya dan jika kami berhasil mendapatkan harta karun tersebut, kami akan membayarmu setara 5,000 D'Orques bahkan lebih. Bukankah ini tawaran yang menarik dibandingkan kami tidak mendapatkan informasi dan kautak juga mendapat keuntungan apa pun?"

Josse merasa gemetar, ia ingin setuju, tetapi ia berpikir ulang jika ia hanya akan mendapat kerugian. "Jangan anggap aku bodoh, mungkin tawaranmu menggiurkan, tapi apa yang menjamin kalian benar-benar bisa mendapatkan harta karun atau berliannya huh? Kalian tidak terlihat seperti Thesaurum Venator yang berpengalaman, bahkan sepeser koin pun kalian tidak punya jadi bisa saja kalian gagal dan aku mendapat kerugian karena sudah memberitahukan lokasi harta karunnya sedangkan kalian malah gagal."

"Oh Josse," batin Mylo lagi merasa paham jika Josse tengah meremehkan mereka. "Kau meremehkan seorang Keturunan De Lune yang bisa meratakan hutan di sini dengan mudah." Meskipun begitu, Mylo bingung akan rencana apa yang Aalisha susun? Bukankah segalanya akan mudah jika gadis kecil itu membayar Josse seperti dia membayar obat-obatan Clark?

"Ah benar juga." balas Aalisha dengan suara sedih dibuat-buat. "Kami hanya dua bocah miskin yang beberapa kali gagal dalam perburuan harta karun. Namun, kali ini percayalah pada kami, aku janji akan mendapatkan harta karunnya dan aku akan membayarmu. Lagi pula, aku memiliki firasat yang baik."

Josse berdecak sebal. "Bagaimana jika kalian tetap gagal?" Ia melirik kembali pada dua sosok berjubah yang seperti memberi perintah diam-diam.

"Kami akan melakukan apa pun sesuai dengan perintahmu," ujar Aalisha dengan seringai kecil. "Seperti membantu di toko tempatmu bekerja, mencuci piring dan mangkuk kotor." Jari-jarinya bergerak seolah-olah berhitung. "Intinya kami akan berusaha melunasi utang kami. Bagaimana?"

"Oke, aku terima," ujar Josse tanpa banyak berpikir karena dua sosok berjubah memberi kode agar dia menerima tawaran gadis kecil tersebut.

"Bagus." Aalisha melirik pada Mylo lalu kembali menatap Josse. "Kaumembuat keputusan bijak."

"Tunggu," kata Mylo, "menurutku lebih baik kauberitahu kami lokasi harta karun terbanyak jadi jika kami berhasil, kami langsung bisa membayarmu."

Detik itu, seperti memenangkan hadiah lotre, Josse sangat bahagia. "Aku tahu lokasi yang terbaik, tetapi juga besar risikonya lho, tempat ini selalu dipenuhi binatang liar bahkan monster, takutnya kalian malah mati, tapi mari pantau dulu jika kalian tak mampu, kubawa ke lokasi yang lebih aman, bagaimana?"

"Tentu saja," balas Aalisha, "jadi tuntun jalan kami ke tempat itu."

"Baiklah, ayo ikuti aku segera," kata Josse yang kini sudah tak tampak lagi dua sosok berjubah hitam yang tengah memantaunya. "Cepatlah, ikuti aku." Maka Josse pun berlari pergi.

"Pintar juga kauberakting," ujar Aalisha seraya menatap Mylo.

"Sebenarnya apa yang kaurencanakan?" Mereka mulai berlari mengikuti langkah Josse, tetapi masih bisa mengobrol karena Josse lebih dulu berlari dan jauh dari mereka.

"Apa yang kurencanakan? Hanya sebuah teater kecil saja," balas Aalisha.

Helaan napas Mylo terdengar. Sungguh ia merasa jika ia lebih iba pada Josse dan orang-orang di desa ini ketimbang dirinya sendiri dan juga Aalisha. "Oh Dewa, kasihanilah mereka."

****

Selama Josse hidup sebagai rakyat proletar yang harus berjuang berkali-kali lipat demi menghidupi dirinya sendiri serta keluarga kecilnya, terutama semenjak sang ayah tiada karena terbunuh, hal ini membuat Josse rela bekerja apa pun bahkan pekerjaan kotor yang dianggap tak layak untuk anak-anak seumurannya. Ia bukannya menikmati kehidupan dengan bermain dan belajar, ia malah bekerja siang-malam, terlebih sang ibu sudah tak sekuat dulu; sakit-penyakit yang ibunya derita membuat Josse semakin terpukul, meskipun begitu sang ibu selalu mengajarkan Josse agar jadi pribadi yang baik, tetapi menjadi baik takkan cukup bagi Josse yang hanya sekadar rakyat miskin ini.

Terpaksa ia mengabaikan semua moral yang ibunya ajarkan agar bisa bertahan hidup termasuk menjadi seorang penipu, meskipun ia dikenal bekerja di sebuah toko roti serta ibunya juga bekerja di tempat itu jika tak sakit. Josse tanpa diketahui oleh ibunya, ia bergabung ke komplotan penipu ulung di Desa Roanesse.

Mereka memiliki pekerjaan untuk memberi informasi kepada para pendatang atau Thesaurum Venator mengenai lokasi harta karun maupun mineral pertambangan seperti emas, nikel, perak, hingga berlian dengan membayar setiap lebih dari tiga informasi. Namun, bukan ini misi utama mereka karena sebenarnya mereka akan beraksi sebagai pencuri dengan mencuri barang-barang para klien mereka maupun mencuri hasil perburuan harta karun.

"Jika klien tak bisa bayar informasi, maka jebak mereka ke lokasi para monster berada, biarkan para klien terbunuh, lalu curi perbekalan dan barang-barang mereka." Pelajaran pertama yang Josse dapatkan ketika bergabung dengan komplotan penipu ulung tersebut.

Lalu pelajaran kedua adalah "jika klien berhasil mendapatkan harta karun dalam jumlah besar, laporkan pada ketua komplotan ini, maka anggota lain akan membunuh para klien kemudian merampas hasil perburuan harta karun tersebut."

Kini tujuan itulah yang tengah Josse lakukan, ia dengan kesadaran penuh membawa dua kliennya hari ini menuju ke lokasi harta karun yang paling berbahaya agar kedua kliennya tiada, kemudian Josse dan rekannya bisa menjarah perbekalan atau barang-barang mereka, terutama ia dapat informasi jika sebenarnya kedua klien ini masih ada kawan lagi yang berada di sebuah penginapan.

"Jika mereka gagal mendapatkan harta karunnya dan benar-benar tak membawa perbekalan, setidaknya organ tubuh mereka yang tersisa setelah mati, masih bisa dijual," gumam Josse, manik matanya mengedar ke balik-balik pohon, setidaknya lebih dari enam orang yang memantaunya dari jauh.

"Kenapa kaugelisah," ujar Aalisha.

"Tentu saja aku gelisah!" Josse tersentak. Ia tak habis pikir karena gadis kecil di dekatnya ini seolah-olah sangat jeli bahkan ekspresi Josse saja dapat dibaca. "Aku gelisah jika kalian gagal sehingga aku rugi, terlebih lagi kalau mati dimakan monster, makin rugi aku."

"Wow kaujahat sekali karena lebih mementingkan untung-rugi ketimbang nyawa orang lain," balas Aalisha.

"Bukan seperti itu!" balas Josse, "aku ini hanya mementingkan pendapatan agar bisa hidup."

"Baiklah, kau pebisnis yang hebat," balas Aalisha bermaksud mengejek, lalu ia menoleh pada Mylo yang menyerahkan sapu tangan biru. Lekas Aalisha mengusap darah yang keluar dari hidungnya dan lumayan banyak.

"Kita belum sampai di lokasi dan kau sudah berdarah?" balas Josse terkekeh, "bagaimana bisa melawan para binatang liar dan monster jika kau hendak ambruk duluan."

"Fokus saja menuntun jalan kami," kata Mylo, "lalu temanku memang ... tidak tahan cuaca panas." Mylo terpaksa berbohong karena ia yakin jika gadis kecil itu tadi menggunakan kemampuan mistis De Lune, meski Mylo tidak tahu apa rencananya.

"Oke, oke," sahut Josse, "sebentar lagi kita sampai, di balik semak-semak itu, ada jurang kecil, di bawahnya ada goa yang berisi emas dan berlian, tetapi di sana biasanya ada serigala liar atau monster yang berjaga dan jumlah mereka sangat banyak, jadi jika kalian tidak mampu maka kita bisa pergi ke lokasi ... lain ...." Josse terdiam membisu ketika mereka sampai di dekat jurang.

Mylo menengok ke bawah. "Tidak ads serigala dan monsternya?"

"Wah kauberbohong ya?" balas Aalisha, "kauberkata jika ada serigala atau monster yang berjaga, tapi aku tak melihat seekor pun dari mereka."

Josse masih menatap ke bawah dengan mata membulat dan mulut menganga merasa jika hal ini tidak lazim. "Aku tak berbohong, aku bersumpah jika selalu ada serigala dan monster yang berjaga di sini! Bahkan kemarin saat aku kemari, mereka masih ada!"

"Lalu kenapa mereka tak ada hari ini?" balas Mylo.

"Ya, kurasa mereka tengah hibernasi," timpal Aalisha, "atau menghadiri pesta perkawinan kerabat mereka."

"Bodoh! Mana mungkin para binatang seperti itu!" Josse menggigit kuku jari jempolnya. "Fenomena yang aneh ... ada apa dengan para binatang dan monster itu."

"Kenapa kaumalah pusing," balas Aalisha, "bukankah ini kesempatan sempurna sehingga kami bisa mendapatkan harta karunnya dengan mudah?" Lekas Aalisha melompat turun ke bawah.

"Benar sekali," tukas Mylo, "para Dewa berpihak pada kami." Ah kini Mylo paham jika Aalisha lah yang merencanakan semua ini.

Sementara Josse masih diam menatap kedua kliennya yang sudah berada di depan pintu goa, ia lalu melirik pada keenam komplotannya. "Mereka benar, ini untung bagiku," gumam Josse, "bersiaplah, untuk menjarah."

Melompatlah Josse ke bawah dan kini berada di belakang Aalisha serta Mylo yang tengah menatap dan memperhatikan goa yang sangat besar nan gelap. Sejenak Josse berpikir, ia berdeham, lalu berujar, "meski kita beruntung karena para serigala dan monsternya tak berjaga, tetap saja jika di dalam goa pasti berbahaya ... hey setidaknya dengarkan aku hingga selesai!" Josse berteriak karena Aalisha dan Mylo sudah melangkah ke dalam.

"Kau tak ikut?" ujar Mylo.

"Tidak! Aku hanya bertugas sampai memandu kalian di lokasi, tidak masuk ke dalam karena bisa saja berbahaya," ujar Josse.

"Baiklah, tunggu di sini," ucap Mylo.

Josse tampak mengentak-entakan kakinya ke tanah karena kesal atas sifat percaya dirinya kedua klien tersebut, tetapi di sisi lain, ia sangat bahagia jika semisal Aalisha dan Mylo berhasil mendapatkan harta karun. "Berhasil atau pun tidak, kami tetap akan dapat keuntungan. Organ tubuh mereka semisal mereka tiada atau harta karun yang mereka dapatkan adalah milik kami."

Sejak dulu, Josse selalu merasa jijik pada orang-orang desa yang memiliki pemikiran naif dan selalu berpegang teguh pada norma dan nilai-nilai moral, padahal hidup sudah menderita bahkan makan sehari-hari saja kadang tidak bisa atau terpaksa memakan roti berjamur dan nasi-garam. Ia akhirnya berpikiran untuk apa hidup memegang moral jika orang-orang borjuis saja selalu melakukan korupsi, jadi Josse lebih memilih pekerjaan kotor karena lebih terjamin.

Ia pikir sudah cukup banyak makan asam-manis kehidupan karena ia pasti termasuk orang-orang yang hidupnya paling menderita.

"Ada cahaya di dalam goa ... tunggu! Apa, apa mereka sudah mendapatkan harta karunnya?! Bagaimana bisa secepat ini?! Mustahil!"

Barangkali karena terlalu lama berpikir jika hidupnya paling menderita dan selalu melakukan segala hal licik, ia sampai lupa jika di atas langit masih ada langit lagi. Begitu pula penderitaaan. Mungkin ia bukanlah yang paling menderita, bukan pula yang paling paham suka-duka kehidupan karena pasti ada orang lain yang melebihi dirinya.

"Mustahil ... mereka kembali bahkan tidak sampai sepuluh menit."

Sesungguhnya ia pasti lupa pula jika di antara ribuan manusia licik, pasti ada yang lebih licik yang barangkali mampu menipu takdir sekali pun

"Itu bagianmu," ujar Aalisha melempar kantong berisi emas. "Setara 5,000 D'Orques dan 1 koin perak. Kini utang kami lunas dan kaubisa memberi kami informasi yang kami mau lagi, benar bukan?

Josse masih terdiam membisu, ia melirik sejenak pada kantong cokelat berisi emas, lalu menatap kedua kliennya, si lelaki berambut cokelah-merah tengah tersenyum lebar seraya memegang dua karung goni cokelat yang penuh dan gembung sementara si gadis kecil hanya membawa satu kantong saja. Perlahan kedua tangan Josse mengepal kuat. "Bagaimana bisa kalian melakukannya!" teriak lelaki itu, "aku dulu berusaha mati-matian untuk mendapatkan harta karun itu, tapi kalian mendapatkannya dengan mudah?!"

"Oh kami ... lumayan bisa sihir," balas Mylo.

"Sihir saja tidak cukup!" teriak Josse, "banyak yang menggunakan sihir dan teknik berpedang pun selalu keluar dengan babak belur! Tapi kalian ... dua bocah ... sial ...."

"Oh tentu saja kami berhasil karena kami disayang para Dewa," ujar Aalisha dengan nada yang membuat siapa pun mendengarnya pasti jengkel.

"Dewa," ujar Josse semakin marah. "Berdoa saja takkan berguna!"

"Siapa berkata seperti itu? Aku selalu berdoa dan berusaha," balas Aalisha dengan santai. "Bagaimana denganmu? Ah jangankan berusaha, melangkahkan kaki ke kuil saja untuk berdoa kaupasti enggan atau kautipe yang hanya berdoa jika mendapatkan kemalangan lalu lupa pada Dewamu jika mendapatkan keuntungan."

"Tutup mulutmu!" Josse merapalkan mantra yang seketika serangan api diarahkan pada Aalisha, tetapi gadis kecil itu hanya dengan satu ayunan tangan, berhasil menangkis serangan Josse.

"Hey bocah, kami sudah membayarmu lho, kau lupa ya jika pembeli adalah Raja." Maka satu jentikan jari Aalisha, sukses membuat Josse terlempar dan tubuhnya menghantam dinding batu dengan keras.

"Aalisha jangan kasar, kita masih butuh dia untuk mendapatkan informasi," ujar Mylo.

"Kaubenar, aku terlalu berlebihan," ungkap Aalisha,melirik Josse yang perlahan bangun lagi. "Namun, Mylo, kauharus belajar agar tidak naif karena sifat itu bisa mencelakakan dirimu sendiri lho."

"APA YANG KALIAN TUNGGU!" teriak Josse, "RAMPAS HARTA KARUN MEREKA!!"

Mylo terkejut, sementara Aalisha sudah dapat memprediksi hal ini, tetapi tetap saja ketika enam orang berjubah hitam muncul dan mengelilingi mereka, lalu tiga orang merapalkan mantra yang menciptakan pentagram sihir di bawah kaki mereka sehingga membuat pergerakan target jadi sulit akibat mantra tersebut. Tiga sisanya bertugas untuk mengeksekusi target.

"Jadi kausudah tahu hal ini," bisik Mylo yang merasa jika kedua kakinya sangat berat untuk melangkah.

"Tentu karena itu aku menyeret mereka kemari," balas Aalisha dengan senyuman, lalu suaranya menjadi keras. "Akhirnya kau menunjukkan jati dirimu juga, Josse dan sekelompok ... pencuri harta karun?"

"Wah, wah Josse," kata seorang pria dengan rambut hijau dan memiliki luka di matanya. "Kaukali ini menangkap ikan paus, kurasa bagianmu lebih besar dari terakhir kalinya."

"Gorou benar," ujar pria lain melepaskan tudungnya. "Terlebih lagi mereka berhasil mendapatkan harta yang banyak, entah keberuntungan bagi mereka atau malah kita."

"Jangan cepat bahagia, Gilmreck." Kali ini berbadan besar dan membawa kapak. "Kita masih belum membunuh mereka, terutama kulihat si pendek ini menggunakan sihir."

"Oh jangan takut, kita beredam," kata Gilmreck, "mereka pasti menemui ajal dengan mudah."

"Cukup basa-basinya," timpal Gorou, "mari cepat habisi mereka sebelum kita tertangkap basah orang lain."

Ibarat dalam permainan catur, maka lawan mereka sudah diambang kekalahan karena terkepung di segala arah, tetapi mereka merasa aneh terutama kedua bocah target mereka, tidak terlihat takut. "Kalian yakin hanya enam orang saja?" kata Aalisha.

"Oh Dewa, dia memulai permainannya," batin Mylo.

"Apa maksudmu bocah?" sahut Gilmreck, "kaumenantang kami?"

"Lebih baik tambah jumlah kalian atau kalian akan merasa malu seumur hidup kalian nanti." Aalisha masih mau berdiskusi bahkan tersenyum kecil.

"Kaumau menggertak? Takkan mempan pada kami," balas Gorou mau selangkah demi selangkah. "Jangan lupa jika kami di sini tak hanya akan mengambil harta yang kalian dapatkan ini, tapi organ tubuh kalian juga akan seharga puluhan ribu D'Orques."

"Hanya ribuan?" Aalisha tertawa, "aku bahkan memiliki jutaan D'Orques padahal hanya uang saku perhari lho."

"Apa maksudmu?" ujar Gorou.

Seringai Aalisha terukir. "Maksudku adalah diriku bahkan tidak bisa dibeli dengan triliunan D'Orques dan puluhan juta jiwa makhluk hidup di Athinelon ini."

Sekonyong-konyong jeritan melengking bergema di penjuru hutan ketika kedua tangan Gorou putus dan darah memunrat sangat menjijikan karena Aalisha tiba-tiba mengeluarkan Aeternitas dan memenggalnya. Semua di sana terkejut, tetapi belum sempat bereaksi, Mylo lekas melempar tiga lembing ke tiga orang berbeda. Tubuh mereka pun tertancap lembing tersebut yang ketika rapalan mantra, Aalisha lantunkan seketika tiga lembing mengalirkan listrik bertegangan tinggi, merambat ke tubuh mereka yang langsung kejang-kejang hingga mengejat-ngejat, ambruk tak berdaya ke tanah. Sukses hal ini membuat pentagram sihir di bawah kaki mereka lenyap.

"Mantra kalian ini ..." Aalisha mengayunkan Aeternitas agar darah yang menempel lepas dari bilahnya. "Lebih lemah dari murid tahun pertama akademi, lho."

"Keparat!" Tubuh besar Benjouvi beringsut dengan cepat dengan kapak besar nan tajamnya diangkat setinggi mungkin lalu ia hantamkan ke arah Aalisha yang lekas ditangkis menggunakan Aeternitas, membuat tanah yang Aalisha pijak jadi retak, tetapi ia berhasil menahan serangan tersebut. "Siapa kausebenarnya?"

"Bayar dulu, 50,000 D'Orques untuk satu pertanyaan!" balas Aalisha.

"Bocah keparat!" teriak Benjouvi.

"Menyingkirlah dari kawanku!" teriak Mylo lalu menyerang menggunakan pedangnya.

Sementara Benjouvi melompat mundur untuk menghindar lalu mengayunkan kapaknya seraya merapalkan mantra sehingga menciptakan serangan yang sangat cepat, tetapi sekali lagi berhasil ditangkis oleh Aalisha, hal ini membuat ketiga perampok beserta Josse terdiam membisu karena kehebatan kedua bocah yang awalnya mereka remehkan itu.

"Sudah kukatakan jika melawanku percuma karena yang kalian dapatkan hanyalah rasa malu sepanjang hidup," ujar Aalisha, "itu pun jika kalian hidup esok harinya." Ia terkikik terutama menatap pada Gorou yang pendarahan di kedua tangannya berusaha diobati oleh Gilmreck.

"Kalian benar-benar bukan bocah biasa," kata Benjouvi, "apa tujuan kalian kemari? Dan siapa yang mengirim kalian?"

"Tidak ada, kami hanyalah pengembara nuh jauh dan hendak beristirahat di sini," balas Aalisha, ia tidak sepenuhnya berbohong karena mereka memang seperti pengembara yang tersesat.

"Pembohong," ucap Benjouvi.

"Baiklah, bukan urusanku untuk membuatmu percaya padaku atau tidak." Aalisha mengedikkan bahunya. "Namun, kalian sudah terdesak, jadi bagaimana jika akhiri semua ini, kalian pergi dari hadapanku kecuali Josse karena kami masih perlu dia."

"Terdesak!" teriak Gorou yang kedua tangan putusnya sudah dibalut perban untuk menghentikan pendarahan oleh Gilmreck, tampaknya pria itu cukup ahli dalam sihir penyembuhan. "Kaupikir kami sangat bodoh hingga terdesak huh!!"

"Tangan sudah putus, masih banyak omong, harusnya kupotong juga lidah pria itu." Aalisha tak mendengarkan celotehan Gorou.

"Kautak dengar aku bocah?!" teriak Gorou.

"Apa yang kaukatakan?" balas Aalisha, "suara angin sepoi-sepoinya terlalu kencang."

"Bajingan!!!" teriak Gorou seraya berdiri. "Kaubenar-benar harus kami bunuh!"

Aalisha menghela napas. Lalu menatap Mylo. "Dia tadi berkata apa?"

"Dia bilang ...." Mylo menghentikan perkataannya ketika berdatangan para komplotan perampok lain yang jumlahnya hampir 30 orang, masing-masing membawa senjata bahkan ada yang bercahaya dan dikelilingi Neith, menandakan senjata tersebut termasuk senjata magis. "Mereka datang."

"Sehebat apa pun kalian," ujar Benjouvi, "takkan mampu melawan jumlah yang banyak." Otot-ototnya membesar beserta kapaknya bercahaya kemerahan, ia aktifkan senjata magisnya.

"Kini kalian harusnya takut," ujar Gilmreck.

"Ya, terutama takkan hanya kalian berdua yang akan mati, tapi kawan kalian yang lain juga akan menemui ajalnya," timpal Gorou masih bisa tersenyum meski kehilangan dua tangannya.

"Apakau bilang?" Mylo tampak panik.

"Bukankah kalian ada tiga orang?" ucap Gorou kembali. "Apakah kalian sadar jika penginapan tempat kawan kalian beristirahat, pemiliknya adalah salah satu dari kami."

Langkah kaki terdengar dan Gilmreck mengeluarkan pedangnya. "Jika kami tak bisa membunuh kalian setidaknya kawan kalian akan jadi sandera atau berakhir tiada." Ia mengancam, "terutama sudah ada anggota lain yang bersiap untuk membunuhnya."

"Kalian beraninya bermain kelompok." Tangan Mylo mengepal kuat, giginya gemeretak karena amarah, ia merasa dipenuhi kekhawatiran terlebih lagi Anila sedang dalam kondisi tak baik, kemungkinan belum sadar karena Mylo tidak mendapatkan pesan balik dari Anila andaikata gadis itu sudah sadarkan diri sejak tadi.

Aalisha yang masih tenang, sejenak menatap Mylo, lalu menghela napas. "Jangan gigit umpan mereka." Gadis itu berujar dan hanya bisa didengar Mylo. "Anjing tetaplah anjing bagiku, bahkan kasta mereka lebih rendah dari anjing."

Perlahan Mylo mampu mengendalikan diri, tangannya yang gemetar dan mengepal kini berhenti. "Kau benar," ujarnya sambil mengatur napas. "Amarah takkan menguasaiku."

"Kalau begitu, mari memasuki babak kedua." Aalisha tersenyum manis. "Kautahu harus apa bukan?"

"Ya." Mylo melangkah mundur.

"Boss dia hendak kabur!" teriak salah satu musuh.

"Biarkan saja dia," ujar Gilmreck, "kuyakin dia hendak menyelamatkan temannya, tapi sayang sekali pasti sudah terlambat, terlebih lagi kau memberi kami kemudahan untuk mengeroyok gadis kecil nan sombong di sana."

Tawa beberapa musuh terdengar. "Kasihan sekali, kaupergi seolah-olah hendak menyelamatkan kawanmu yang lain padahal kaumau kabur bukan? Lalu membiarkan gadis kecil itu dibunuh oleh kami."

"Oh gadis kecil, kauterlalu muda dengan bersikap seolah-olah kau adalah tandingan kami," timpal yang lain disusul tawa lagi.

"Lebih baik kau bermain istana boneka beruang dari pada menjadi pemburu harta karun."

"Hey pengecut!" teriak pria lain seraya menatap Mylo. "Larilah, lari! Dan biarkan kami mencabik-cabik gadis kecil itu! Setelahnya kaujuga akan dicabik-cabik oleh kami!"

Mylo tak gentar sama sekali, ia merasa jika semua perkataan mereka tidaklah seseram saat dia melihat memori wabah tikus atau melawan Minotaur di hutan Kimari. "Kenapa dia diam saja."

Terlihat jika Josse hanya tertunduk diam dan bingung, ia seolah-olah mencoba memproses semua yang terjadi di sini. Terutama karena menatap si gadis rambut hitam yang tidak sedikit pun ketakutan bahkan berniat lari menyelamatkan dirinya bahkan sebelumnya tadi gadis itu berhasil mengalahkan tiga orang sekaligus dan memotong tangan Gorou. Tiba-tiba Josse tersentak ketika Mylo berhenti persis di sampingnya, punggung dan tubuh Josse merinding dingin ketika Mylo menyentuh bahu Josse.

"Apa yang---"

Perkataan Josse terhenti saat Mylo sedikit membungkuk dan mengatakan sesuatu dengan cepat. "Jika kaumau nyawamu selamat, maka bersimpuhlah lalu menangis dan memohon ampun, semoga dia mengampunimu." Setelah mengatakan itu, Mylo segera pergi.

Awalnya Josse tidak memahami perkataan tersebut. Pengampunan? Apakah maksudnya meminta pengampunan dari gadis kecil yang tengah dikepung lebih dari 30 orang dewasa saat ini yang semuanya ahli dalam menggunakan sihir bahkan tak segan membunuh? Josse mencemooh, merasa jika mereka terlalu sering bermain kesatria-kesatriaan atau dibacakan dongeng yang mengisahkan tokoh utama selalu mendapatkan keberuntungan bahkan disaat-saat terdesak sekali pun. Sayangnya di hidup ini bukanlah dongeng semata 'kan?

"Aku tak peduli nasib gadis itu pasti karena yang paling penting adalah penghasilan yang kudapatkan lebih banyak." Josse terkekeh pelan, ia menyimpan kantong emas yang diberikan Aalisha tadi. "Setidaknya aku sudah D'Orques yang cukup untuk sebulan."

Josse berpikir jika Dewa keberuntungan berpihak padanya, meski hanya sekali, tetapi ketika ia sadar bahwa gadis kecil di tengah sana yang masih bisa tersenyum lebar dan terasa aura aneh darinya, sungguh membuat bulu roma Josse berdiri karena kengerian merebak ibarat wabah yang dapat membunuh dalam hitungan detik. Benarkah kali ini keberuntungan yang datang atau malah malapetaka yang akan mengubah sudut pandangannya, selamanya?

"Kau bisa menyerah tanpa memberikan perlawanan," ujar Benjouvi, "karena kami takkan memberimu kesempatan untuk melawan lagi."

"Lagi pula kawanmu di penginapan sudah pasti mati sebelum yang laki-laki datang," timpal Gilmreck.

Perampok lain terkekeh. "Menyerahlah bocah, ketahui posisimu jika kau takkan mampu melawan kami."

"Sepertinya gadis kecil ini mulai mengkhawatirkan temannya, tapi percuma saja karena kau bahkan takkan bisa mengkhawatirkan dirimu sendiri," timpal perampok lain.

"Khawatir?" Suara lembut itu terdengar yang perlahan memundurkan satu kakinya seolah memasang kuda-kuda. "Maaf, tapi aku tidak mengkhawatirkan temanku sama sekali."

"Apa? Kawan macam apakau?" balas Benjouvi.

Aalisha tersenyum simpul. "Lebih tepatnya, Anila tidak perlu kukhawatirkan, meski dia banyak berceloteh dan kadang sifatnya hiperbola. Bagaimanapun juga dia adalah putri dari keluarga yang cerdas dan kuyakin komplotan kalian bukan tandingan seorang Andromeda."

"Bicara apa pula kau? Kami tak peduli berasal dari keluarga apa kawanmu itu!" teriak perampok lain yang wajahnya ditutupi kain hitam.

Di sisi lain, Josse diam membisu, ia berusaha mengingat-ngingat akan nama keluarga yang disebutkan si gadis kecil tersebut. "Sialan, kenapa seperti pernah kudengar? Andromeda, Andromeda ... ugh rasanya tak asing ... oh Dewa ...." Tampak Josse ingat sesuatu.

"Serang aku secara bersamaan atau satu per satu, itu pun jika kalian bisa menggoresku." Aalisha berucap lagi.

"Bajingan!!" teriak Gilmreck, "apa yang kalian tunggu. Bunuh gadis itu sekarang juga!!" Maka ia dan rekan-rekannya bersiap dengan senjata mereka masing-masing yang dibalut dengan Neith.

"Matilah kau bocah, sudah kami peringatkan untuk pahami di mana posisimu!" teriak para perampok lain yang senjata mereka bersinar jingga-kemerahan.

Segalanya berjalan dengan sangat cepat, masing-masing menerjang dan hendak menargetkan gadis kecil yang tampak hanya diam saja di tengah-tengah sana seolah pasrah dengan serangan beruntun tersebut. Namun, tiba-tiba suara teriakan Josse bergema. "Hentikan!! Gadis itu menyebutkan soal nama Andromeda!! Itu salah satu nama Bangsawan di Kekaisaran Ekreadel!! Kuyakin gadis itu juga seorang BANGSAWAN!!"

Komplotannya terkejut bukan main, tetapi mereka sudah tak bisa menunda serangan mereka ketika menatap pada gadis tersebut, tampak ia tersenyum lebar dengan manik mata sejenak bercahaya emas, lalu tubuhnya dilapisi Neith berwarna biru, perlahan ia angkat pedang Aeternitas-nya seraya berujar, "biar kukoreksi satu hal; kalian lah yang harus mengetahui di mana posisi kalian berada. Dasar kalian makhluk rendahan."

Detik itu, kesombongan para perampok dan penipu ulung bungkam tak berdaya. Keberuntungan yang mereka kira berada di pihak mereka serta keuntungan dari mencuri emas dan berlian seketika sirna begitu saja yang kini digantikan dengan jeritan penuh rasa sakit, darah memuncrat ke mana-mana hingga menutupi dinding batu, semak-semak, pepohonan, bahkan rerumputan yang menjadi lautan darah, tidak lupa pula penggalan demi penggalan organ tubuh yang bergelimpangan di mana-mana.

Monster? Tidak, pasti melebihi monster karena mereka dalam hati berdoa jika lebih baik bertemu dengan monster seperti hari-hari sebelumnya dibandingkan harus menghadapi seorang gadis yang tiba di desa ini ibarat sosok malaikat dengan sayap hitamnya terjatuh dari surga, terjatuh dari Ophelia---rumah para Dewa-Dewi.

"Bersimpuh, menangis, memohon ampun. Bersimpuh, menangis, memohon ampun." Josse mengulang-ulang perkataan tersebut dan perlahan tubuhnya luruh ke tanah; dimulai dari kedua kaki yang ditekuk, lutut menyentuh rerumputan yang memerah, telapak tangan dan siku di tanah serta dahi menempel dan ia abaikan darah segar di dahinya karena sejajar dengan rerumputan. "Bersimpuh, menangis, memohon ampun. Bersimpuh, menangis, memohon ampun. Bersimpuh, menangis, memohon ampun. Bersimpuh, menangis, memohon ampun. Bersimpuh, menangis, memohon ampun."

Suara isak tangis pun terdengar.

Josse yakin bahkan di kelompok kedua pun pasti takkan selamat, ia merasakan jika ini adalah akhir dari dirinya dan juga komplotannya.

Langkah kaki Mylo perlahan berhenti, ia terkejut karena melihat orang-orang berlarian keluar dari penginapan serta ada asap mengepul di salah satu kamar bahkan percikap apinya. "Jagad Dewa," ujar Mylo, "Anila!" Ia pun berlari melewati orang-orang dan lekas ke lantai atas tempat kamar mereka berada.

Sesak akibat asap menyerang, ia batuk-batuk, lalu berusaha menggunakan mantra untuk melenyapkan asap yang mengepul di mana-mana. Ketika itu, ia tak sengaja menginjak tangan seorang pria yang membawa pedang dan tengah tak sadarkan diri di lantai. "Apa yang terjadi ...." Mata Mylo membulat saat menatap ke sepanjang lorong yang penuh dengan orang-orang bersenjata dan semuanya pingsan bahkan ada yang berdarah-darah akibat luka gores dan serangan mantra. Barangkali ada pula yang tiada.

"Anila!!" teriak Mylo ketika seorang gadis berambut kecokelatan dan menggenggam gagang pedang dengan erat seraya menyeret kerah baju seorang pria kurus yang ia jatuhkan ke lantai karena sudah pingsan. "Syukurlah kaumasih hidup!" Melompatlah Mylo dan mendekap Anila, lalu terkejut lagi karena kamar penginapan yang mereka pesan hancur berantakan serta ada tiga orang yang ... tak sadarkan diri.

"Aku tak tahu apa yang terjadi." Nada kesal keluar dari gadis Andromeda itu. "Namun, para bajingan itu berusaha masuk secara paksa saat aku masih belum sehat sepenuhnya."

"Uh soal itu, mereka adalah perampok ...."

"Perampok?" balas Anila, "sekarang jelaskan secara singkat apa yang terjadi saat aku pingsan!" Tak disangka, ia berhasil lagi menusuk perampok lain yang ternyata masih hidup dan hampir melukai mereka. Perampok itu ambruk ke lantai.

"Baiklah, akan kujawab secara singkat!!" teriak Mylo dengan penuh rasa ngeri. "Tolong tenangkan dirimu dulu."

"Bagaimana bisa aku tenang jika tiba-tiba diserang para perampok dan di mana Aalisha!!!" Suara Anila menggelegar.

Demi Dewa yang bertahta di Athinelon. Terkadang Mylo hendak mengutuk sejarah Athinelon yang ditulis oleh para pria patriarki jika wanita dianggap sebagai makhluk lemah padahal yang sesungguhnya pada detik ini, kaum wanita yang sering diremehkan sebenarnya mampu melawan segala rintangan.

"Oh wahai Dewi Aarthemisia D'Arcy." Mylo sejenak berdoa dalam hati. "Tolong berkahilah setiap perjalananku dengan dua gadis yang sangat kuat ini. Aamiin."

****

Pepohonan sebagian hangus karena serangan sihir, beberapa senjata tajam tertancap di batang pohon serta tergeletak di tanah karena sudah tak ada pemiliknya. Bebatuan terlihat memerah karena darah bahkan ada beberapa potong organ tubuh seperti tangan dan kaki. Mengerikan juga pemandangan di dekat goa tempat harta karun berada karena banyaknya manusia berjumlah sekitar 30 orang yang bergelimpangan tak bernapas lagi. Mereka semua tiada bahkan beberapa seperti telah sirna hangus terbakar, berangsur-angsur menjadi abu dan tertiup angin.

"Tiga puluh, tiga puluh satu, tiga puluh dua." Suara seorang gadis kecil berhitung bak ia hanyalah murid di Taman Kanak-kanak yang diminta berhitung dalam mata pelajaran Matematika. "Dan tiga puluh tiga. Mereka semua mati."

Helaan napas panjang terdengar, perlahan Aalisha menarik Aeternitas-nya yang tertancap di tanah, ia kibaskan agar darah di bilah pedang tersebut menetes ke rerumputan yang telah benar-benar memerah. "Menyedihkan, bahkan belum setengah jam, tapi mereka semua sudah tidur nyenyak. Memang lebih baik melawan monster atau iblis dibandingkan melawan manusia-manusia rendahan."

Ia memanggil Invinirium, mengeluarkan sapu tangan ungu muda seraya ia usap di pipi dan dahinya yang terkena cipratan darah musuh-musuhnya, sesaat ia tersadar jika ada beberapa luka yang ia dapatkan. Segera digunakan mantra penyembuhan terutama di sekitar dahi karena kentara sekali.

"Mereka datang." Aalisha bergumam.

"Aalisha!!" teriak Anila Andromeda melompat begitu saja dari atas dengan tergesa-gesa, meski napasnya memburu, ia hendak mendekap gadis itu, tetapi lekas Aalisha menghindar.

"Tidak! Jangan seenaknya main peluk dan aku baik-baik saja, tidak perlu khawatir berlebihan!" balas gadis kecil itu langsung jaga jarak.

"Oke baiklah, aku paham, tidak ada pelukan," balas Anila, wajah cemberut. Ia memperhatikan sekeliling, tampak mengerikan seolah-olah habis ada pembantaian di sini. "Apa kau terluka parah?"

"Aku baik-baik saja," sahut Aalisha menatap Mylo yang turun dengan ngos-ngosan. "Ah ya, bagaimana denganmu? Apakah ada yang menyerangmu?"

"Tentu saja!" balas Anila, "dan Cressida ini, lambat sekali datang, aku sampai harus menghajar mereka semua!"

"Hey! Bukan salahku! Lagi pula aku sudah berusaha semaksimal mungkin agar sampai di penginapan ... dan kaumeski tanpa bantuanku, kautetap bisa mengalahkan mereka semua!" balas Mylo berusaha abai pada mayat-mayat yang tergeletak di tanah sekitar mereka.

"Kau benar, tapi harusnya kaumalu, sudah semestinya pria melindungi wanita, benar bukan Aalisha?" balas Anila hanya sebagai candaan, Mylo tahu itu, tapi ia tetap kesal dan ketika hendak menyahut lagi. Suara Aalisha terdengar.

"Aku tak butuh pria mana pun untuk melindungiku." Gadis itu menatap dengan senyuman tersungging.

"Kami tahu itu ...." ujar Anila dan Mylo bersamaan.

"Omong-omong." Anila berdeham untuk memotong kecanggungan seraya mengedarkan pandangannya, sekeliling tampak ngeri terutama darah di mana-mana. Sepertinya Aalisha benar-benar tak mampu mengampuni para perampok padahal bisa saja dia membuat musuhnya hanya tertidur atau pingsan, tetapi berdasarkan informasi dari Mylo, Anila merasa jika sah-sah saja Aalisha menghabisi musuhnya terutama para perampok sudah sering sekali menjarah harta-benda para petualang dan pengembara.

"Baiklah, jadi bagaimana langkah selanjutnya karena semua perampoknya tiada." Anila melanjutkan.

"Um kurasa tidak semuanya tiada," timpal Mylo lekas melirik pada seorang lelaki seumuran mereka yang masih dalam posisi bersimpuh-sujud di tanah dengan tubuh gemetar. "Kaumembiarkannya hidup?" Ia melirik pada Aalisha.

"Oh jadi aku terlewat satu," balas Aalisha seraya menggenggam erat pedangnya dan melangkah ke arah Josse. "Dia sejak tadi hanya diam saja karenanya seranganku tak mengenainya."

"Tunggu," kata Anila, "bukankah dia harus dibiarkan hidup? Mylo sebelumnya berkata jika anak itu hendak memberi kita informasi."

Aalisha mengangguk-anggukan kepalanya dengan polos, ia merasa jika perkataan Anila ada benarnya juga dan patut dicoba. "Sayangnya dialah yang pertama mendekatiku jadi bukankah dia yang harus menanggung akibatnya?" Neith melapisi Aeternitas. Sepertinya Mylo dan Anila tidak bisa menghentikan gadis kecil itu, lagi pula mengampuni atau membunuh seseorang adalah pilihan Aalisha, dia pasti punya keputusan terbaik dari setiap tindakan yang ia ambil.

"Okay, keputusan ada di tanganmu," balas Mylo, tetapi ia merasa yakin akan satu hal.

Kini ujung pedang Aeternitas-nya tepat di dekat ubun-ubun kepala Josse karena lelaki itu masih bersimpuh sujud, sangat gemetar bahkan terdengar suaranya yang berkata, "ampuni aku, aku bersalah, tolong ampuni aku, aku bersalah, ampuni aku." Sungguh menggelikan karena sifat licik, jail, nan sombong lelaki itu kini tergantikan dengan ketakutan yang sampai membuat wajahnya berlinang air mata dan ingus bahkan air liur akibat ia terus mengulangi perkataan yang sama.

Aalisha berdecak sebal, suaranya terdengar seraya menoleh ke arah Mylo. "Pasti kau yang mengajarinya memohon ampun?"

Mylo mengedikkan bahu. "Tidak juga." Ia lalu tersenyum manis.

Gadis kecil itu sekali lagi menghela napas, balik ia tatap pada Josse yang sangat menyedihkan. "Angkat kepalamu, makhluk rendahan."

Sesuai instruksi, Josse mendongak menatap pada gadis kecil yang tak terlalu jelas wajahnya karena selain tertutupi sinar matahari yang terik dan menyilaukan, juga karena mata Josse dipenuhi air mata sehingga tampak buram pandangannya. "Tolong ampuni aku." Masih meminta belas kasihan karena ia memang tak mau mati. "Aku bekerja dengan mereka, pekerjaan kami memang menipu dan merampok karena jika aku hanya bekerja di toko, takkan cukup membiayai kehidupan kami."

"Aku tak terima alasan klise." Aeternitas terayun ke pipi Josse hingga melukainya dan darah segar menetes. "Setiap makhluk hidup bisa sihir, kaugunakan hal itu untuk hidup dan mencari tambahan uang entah dengan menjadi Thesaurum Venator dan mendapatkan harta karun, bukan dengan cara mencuri. Oh barangkali kau pengecut jadi tidak berani turun lapangan untuk mencari harta karun?"

Perkataan menohok itu setajam belati yang diasah berjam-jam langsung menusuk dada Josse, ia memang pengecut karena meski ia diajarkan sihir oleh mendiang ayahnya dulu bahkan diajarkan oleh tetangganya yang baik hati. Josse lebih memilih menjadi perampok karena jauh lebih mudah dan cepat dibandingkan mempertaruhkan diri dengan terjun mencari harta karun yang penuh rintangan berbahaya.

"Diam artinya aku benar." Gadis itu sama sekali tak memberikan rasa belas kasihan. "Haruskah kupotong tangan kananmu agar kautahu rasanya berjuang dengan keras? Lagi pula kau tak dipaksa untuk turun ke medan perang dan ikut ekspedisi Zero Domain, tetapi kaumerasa bahwa hidupmu paling menderita. Oh Dewa, Ciptaan Kalian kali ini sangat, sangat menyedihkan. Karena selain miskin harta, kaujuga miskin mental, miskin ilmu pengetahuan, dan miskin berusaha, sungguh menyedihkan bukan?"

Tangis Josse semakin kencang. "Tolong ampuni aku, aku memang salah dan pengecut, tapi jangan bunuh aku." Siapa pun di posisi Josse pasti sangat depresi dan menderita karena berada di ujung jurang kematian. Bahkan para bangsawan—Andromeda dan Cressida—di belakang Aalisha pun merasa jika perkataan gadis itu sangat menyakitkan, apalagi didengar oleh manusia seperti Josse.

"Kauboleh berpikir jika aku kejam," jelas Aalisha, "tapi bayangkan jika yang kaujebak bukanlah kami, tetapi orang lain yang benar-benar pengembara miskin dan memang perlu informasi mengenai harta karun. Dia pasti sangat menderita karena dirampok barangkali kalian bunuh? Oh kupikir sesama kaum proletar akan saling membantu, ternyata saling memangsa juga. Jadi apa bedanya kalian dengan para borjuis yang senang korupsi?"

Detik itu Josse terdiam karena dadanya sesak. Ia teringat perkataan ibunya agar bekerja dengan pekerjaan baik meski pendapatan kecil, tetapi Josse malah berbohong dan mencari cara licik. Kini ia tahu bahwa Para Dewa telah menurunkan hukuman untuknya. "Tolong ampuni aku, aku memang bersalah, tapi ampuni aku untuk kali ini."

Manik mata Aalisha melirik pada Anila dan Mylo yang tampaknya memberi tatapan bahwa Aalisha harus memberi kesempatan kedua untuk Josse, tetapi mereka juga tak bisa berharap lebih karena seorang De Lune tidak pernah mengampuni musuh mereka. Coba tebak saja, kapan Aalisha mengampuni musuhnya jika tidak dengan mendapatkan keuntungan lain?

"Kau ingin welas asih dariku?" ujar Aalisha, "kalau begitu, katakan satu alasan mengapa aku harus mengampunimu."

Josse kembali mendongak dengan darah bercampur air matanya menetes ke rerumputan. "Aku janji takkan merampok dan menipu lagi ...."

"Alasan klise." Lekas Aalisha angkat pedangnya bersamaan muncul pentagram sihir di bawah tubuh Josse sehingga lelaki itu tak bisa kabur. Anila dan Mylo memejamkan mata karena taksanggup melihat kematian Josse secara langsung.

Sang Aeternitas diayunkan serta hendak memenggal kepala Josse, tetapi sebelum bilah pedang tersebut menggorok leher targetnya, tiba-tiba berhenti persis beberapa sentimeter karena sebuah perkataan terucap dengan tulus dan penuh isak tangis. "Aku harus hidup agar bisa mendapatkan uang dan membiayai pengobatan ibuku yang terkena kanker."

Air mata Josse jatuh pula ke rerumputan, ia ketakutan dan sangat gemetar, menutup matanya karena berpikir jika kepalanya akan terpenggal dan melayang, tetapi karena bilah pedang itu berhenti, Josse membuka matanya perlahan dan melirik pada gadis kecil tersebut, sesaat ia melihat kilatan keemasan di manik matanya.

"Anila," ujar Aalisha dingin, menyarungkan kembali Aeternitas yang perlahan-lahan menghilang. "Borgol kedua tangannya, kurasa kita butuh dia untuk mendapatkan informasi." Ia berbalik dan melangkah.

Meskipun masih berusaha mencerna tindakan Aalisha yang urung membunuh Josse, Anila langsung melangkah ke belakang Josse yang kembali berlutut karena tubuhnya gemetar dan kelelahan, lalu rapalan mantra terdengar, Anila membuat rantai bercahaya kemerahan yang mengekang kedua tangan Josse di belakang punggung.

"Mylo, siapkan tombakmu," ujar Aalisha sambil mengikat rambutnya yang panjang karena menghalangi pandangan. "Jika Josse berniat kabur barang satu langkah pun, langsung tombak saja kakinya hingga putus."

"Ya---baiklah," balas Mylo sedikit bersyukur karena sudah ia tebak jika Aalisha akan mengampuni Josse. Kini Cressida itu menggenggam erat tombak hitam dan berdiri di dekat Josse dan Anila.

"Ayo pergi. Semakin amis di sini."

Tidak perlu banyak pertanyaan, mereka menuju dinding tebing paling rendah, singkat waktu saja mereka sudah berhasil naik ke permukaan. Sesaat Anila dan Mylo melirik ke bawah yang benar-benar seperti lautan darah serta mayat-mayat bergelimpangan dan dipatuk oleh burung-burung jalak serta gagak.

"Kita tak bisa membiarkan mayatnya," ujar Anila.

Aalisha menghela napas seraya berbalik lagi, ia berujar, "pergilah ke lokasi yang aman dan tenang, aku akan urus mayatnya."

"Oke," ujar Anila menatap Josse. "Ayo Josse, jangan berbuat hal bodoh."

"I—iya." Lelaki itu melangkah gontai seiring mengikuti kecepatan si gadis yang dipanggil Andromeda ini. Sesaat Josse melirik ke belakang, memperhatikan Aalisha yang berdiri di ujung tebing dengan tangan direntangkan.

"Latreia." Aalisha berucap pelan hampir mirip bisikan. Darah menetes pula dari hidungnya seiring ia gunakan teknik sihir. "Igniesco." Maka pentagram sihir biru yang menyemburkan api perlahan-lahan membakar seluruh mayat menjadi abu serta rerumputan gosong merata bahkan melenyapkan sisa-sisa darah yang ada di sana. Terakhir mantra lain dirapalkan sehingga menghilangkan bau-bau asap nan gosong untuk menutupi jejak mereka.

Setelahnya Aalisha membuka mata kembali, mengusap hidungnya dengan punggung tangan, memerah akibat darah. "Menyebalkan." Lalu tanpa meringis sakit, ia berbalik dan melangkah kembali menyusul Anila dan Mylo. Sungguh tubuh yang kecil. Namun, kokoh sekali.

****

Tidak ada kata menunda-nunda karena mereka tidak bisa berlama-lama di desa ini terutama tidak mereka hitung sudah berapa jam mereka menghilang dari Eidothea; lalu apakah ketiadaan mereka di akademi itu telah diketahui pihak sekolah atau Gilbert dan lainnya masih berusaha menutupi mereka. Entah sampai kapan bertahan karena kalau ketahuan menghilang maka gagal sudah rencana mereka untuk menutupi soal artefak wabah tikus, parahnya mereka akan dihukum dan surat hukuman dikirimkan ke kediaman masing-masing.

"Aku tak menyangka jika Desa Roanesse ini benar-benar di luar wilayah utama Ekreadel, maksudnya ini bisa jadi wilayah yang dulunya memang tidak ditempati atau kalau bahasa kasarnya ...."

Perkataan Anila diinterupsi oleh Aalisha. "Wilayah tempat pengasingan. Aku sudah menduganya."

"Kalau begitu artinya ini sejalan dengan memori yang kita lihat?" ucap Mylo.

Hening menguar menjadi pertanda bahwa pertanyaan Mylo adalah benar. Maka Mylo pun berhenti mengkonfirmasi lagi karena ia tidak mau banyak bicara terutama Josse masih ada di sini.

Kini mereka melangkah jauh ke dalam hutan, mengikuti Josse yang menuntun mereka ke sebuah tempat keramat. "Hey Josse."

"Ya?! Aku tidak akan membeberkan apa pun yang kudengar tadi, aku janji, tolong jangan potong lidah ...."

"Apakau tahu jika desa ini dulunya tempat pengasingan?" ujar Aalisha tak peduli dengan ketakutan Josse.

Sesaat lelaki itu menundukkan kepala. Ia hendak berbohong, tetapi tidak ada untungnya pula, bahkan lebih berisiko jika tertangkap basah karena berbohong. "Ya, dulu aku dengar rumornya. Seperti yang kujelaskan. Desa ini awalnya tanah tandus, lalu didiami oleh beberapa warga. Aku tidak punya bukti resmi apakah mereka adalah orang-orang yang diasingkan, tetapi ada yang berkata jika mereka memang diasingkan karena mereka sebelumnya adalah para bangsawan yang dihukum Kekaisaran Ekreadel sehingga mendapat pengasingan ke wilayah ini seumur hidup."

"Apakah orang yang diasingkan itu, masih ada keturunan yang hidup hingga sekarang? Seharusnya ada." Anila giliran berucap.

"Ibuku cerita jika hanya ada beberapa keturunan mereka, tetapi kebanyakan sudah tiada dan tua renta."

"Aneh," timpal Mylo, "kalau keturunan mereka banyak tiada, mengapa desa ini masih banyak penghuninya, seharusnya yang paling banyak mendiami tanah inikan anak-anak dan cucu-cucu mereka."

"Soal itu, tidak semua yang tinggal di desa ini adalah penghuni asli, beberapa ada pendatang dari jauh, pengembara, orang-orang miskin yang menetap hingga beranak-pinak. Desa ini selalu menyambut banyak orang," kata Josse.

"Mereka datang begitu saja?" kata Anila merasa ada yang janggal terutama setelah menatap kembali peta yang Mylo pegang. Terlihat jika Desa Roanesse benar-benar di luar Ekreadel, kiri-kanan hutan belantara, harus melalui sungai agar tiba, serta banyak jalur berbahaya bahkan jarak ke perbatasan desa lain sangat jauh.

"Setahuku iya---"

"Mustahil." Aalisha menyelak. "Mustahil orang-orang menetap di Desa ini dengan dalih pengembara atau rakyat miskin karena masih banyak desa yang jalurnya lebih aman ketimbang di sini, mungkin saat ini banyak pengembara lewat, tetapi jika berpuluh-puluh tahun lalu, orang-orang pasti berpikir beberapa kali sebelum kemari."

"Kalau begitu, artinya ...." Josse sedikit bingung.

"Ada yang sengaja membawa beberapa orang kemari agar Desa ini berkembang seperti sekarang," ujar Aalisha.

"Oh masuk akal!" timpal Mylo yang bahagia karena langsung paham tanpa harus dijelaskan dua kali.

"Kini aku mengerti, mengapa Desa ini terpencil dan tidak berkembang pesat seperti desa lain," ujar Anila, "Josse, apakah kau pernah mendengar gosip, rumor, atau kisah jika ada orang hebat yang pergi ke desa ini? Semisal Bangsawan atau pihak Kekaisaran?"

"Sudah pernah kukatakan jika sempat tiga penyihir hebat seperti cendekiawan membantu penyuburan wilayah Desa ini," jelas Josse.

"Dan kautak tahu siapa mereka?" kata Anila.

"Tidak."

"Selain mereka," balas Aalisha, "apakah kau pernah dengan informasi semisal ada penyihir hebat lain selain mereka bertiga?"

Josse berpikir keras, ia berusaha mengingat-ingat semua informasi yang pernah ia dapatkan dan dengar. "Ya, ya!! Aku ingat satu hal!" teriaknya kegirangan.

"Siapa?" balas Mylo, langkah mereka menjadi lambat.

"Dulu sekali, meski wilayah di sini sudah subur berkat bantuan tiga penyihir misterius, masyarakatnya masih belum terlalu berkembang. Hingga suatu hari, seorang Tuan Bangsawan Bijaksana datang dan membawa beberapa masyarakat lain, katanya akan membantu pembangunan lebih lanjut desa ini, sejak saat itu, banyak pula pendatang menetap di sini," jelas Josse tanpa kebohongan yang dibuat-buat karena Aalisha juga menggunakan sihir pendeteksi kebohongan. Hal ini cukup membuat gadis itu muntah darah sehingga Mylo memberinya sapu tangan dan sebotol air minum.

Anila mulai khawatir pada kondisi Aalisha, tetapi ia harus fokus pada informasi yang Josse katakan. "Artinya seorang bangsawan kemari? Apakah kautahu identitasnya?"

"Aku tak benar-benar tahu karena sudah berpuluh-puluh tahun lalu, tetapi ada yang berkata jika Tuan Bangsawan Bijaksana itu berasal dari Bangsawan Tinggi seperti langsung berasal dari Kekaisaran Ekreadel atau ...." Josse berhenti sejenak.

"Atau? Jangan dipotong," balas Mylo geram karena penasaran.

".... Keluarga paling dihormati di seluruh Athinelon." Josse melanjutkan, sukses membuat Anila dan Mylo tegang. "Salah satu dari Keturunan Delapan Majestic Families."

"Kauberkata apa ...." Mylo merasa punggungnya merinding. "Majestic Families."

"Oh Jagad Dewa." Anila merasa sangat pusing, ia melirik pada Aalisha yang hanya diam, tak memberi komentar apa-apa. Entah gadis itu sudah memprediksinya pula atau malah ia sama terkejutnya seperti yang lain.

"Oke, oke, tenang," ucap Mylo, "nah Josse. Apakah Tuan Bangsawan Bijaksana ini punya ciri tertentu lalu apakah dia masih ada hingga kini atau keturunannya menetap di sini?"

"Kudengar jika Tuan Bangsawan Bijaksana sangat kuat, berkat kehebatan dan prediksinya yang selalu tepat sasaran, ia berhasil membangun desa jadi lebih baik. Selain itu, dia sempat menetap beberapa tahun di desa ini dan membangun sebuah mansion sebagai tempat tinggalnya. Namun, kudengar jika Tuan Bangsawan Bijaksana sudah tak ada di desa ini lagi dan ia meninggalkan mansion-nya begitu saja."

"Mansion," kata Anila sambil melangkah pelan lagi. "Kami tidak melihat mansion mewah di desa ini bahkan di sekitar kita hanyalah hutan belantara."

"Inilah bagian serunya," kata Josse, "atas kehebatan Tuan Bangsawan Bijaksana itu, dia membangun mansion istimewa yang tak sembarangan orang bisa melihat dan menemukannya. Semacam mansion ghaib yang hanya dapat ditemukan orang-orang tertentu. Lalu karena hal ini beredar, cukup banyak Thesaurum Venator yang berburu mansion tersebut karena berpikir akan ada emas tertimbun di sana, terlebih sudah ditinggalkan dan Tuan Bangsawan Bijaksana juga tak pernah berkunjung ke Desa Roanesse lagi. Sayangnya tak satu pun berhasil menemukan Mansion ghaib itu."

Tampak Aalisha berhenti melangkah, ia merasa sakit kepala. Sementara kawan-kawannya tidak sadar jika gadis kecil itu berhenti di belakang mereka.

"Dan di manakah lokasi Mansion itu?" ujar Mylo, "jika sudah banyak yang mencoba mencarinya setidaknya pasti tahu ada di sekitar mana Mansion-nya 'kan?"

"Ya, aku tahu ada di sekitar mana," kata Josse.

"Tunjukkan pada kami," ucap Mylo merasa takut. Sementara Josse hanya diam seperti berpikir. "Ayo, ingat-ingat lagi, coba lihat petanya." Ia mendekatkan peta di tangannya pada Josse.

Anila berhenti tiba-tiba, begitu juga Mylo dan Josse. Ia lalu melirik pada Aalisha yang masih diam mematung dan memegangi kepalanya. "Aalisha, apa kau baik-baik saja?"

"Di sekitar sini." Josse berujar tiba-tiba setelah membaca peta.

"Apa? Kau berkata apa?" Mylo terkejut.

"Mansion-nya---"

Baik Josse maupun Anila dan Mylo terkejut karena Aalisha melangkah cepat ke arah mereka, lalu berhenti persis beberapa sentimeter dari tempat Josse berdiri. Gadis itu masih memegangi kepalanya yang berdenyut dan pusing seperti habis dipukul menggunakan palu berton-ton beratnya.

"Aalisha, apakau sakit?" kata Anila, "kau sangat pucat."

"Mansion-nya tepat di hadapan kita." Aalisha berujar dengan napas berat.

"Kami tidak melihat apa pun," tambah Mylo karena di hadapan mereka hanyalah jalan setapak yang dipenuhi hutan rindang.

"Mungkin kalian tidak melihatnya." Tangan Aalisha bergerak perlahan seperti hendak menyentuh sesuatu. "Namun, aku melihatnya dan kurasa kini kalian akan melihatnya dengan jelas pula."

Detik itu, Aalisha bersumpah bahwa jemarinya seperti menyentuh barrier Neith yang keras ibarat permukaan kaca. Ketika seluruh telapak tangan kanannya benar-benar menyentuh barrier tersebut. Cahaya putih seketika bersinar menjalar membentuk persegi panjang bersamaan dengan keajaiban tidak terduga telah tercipta.

Betapa mata mereka membuka lebar saat berangsur-angsur muncul lah pintu gerbang besi hitam sebagai pintu masuk halaman, lalu terbentang luas pagar pembatas terbuat dari batu bata merah yang tersusun rapi setinggi lima meter. Detik itu pula, mereka benar-benar dapat melihat sebuah Mansion besar dan megah serta tua dengan pintu utama yang sangat besar pula, kaca-kaca patri yang tak terhitung jumlahnya, tiga lantai di Mansion tersebut dengan atap berwarna hitam, ada pula empat cerobong asap, serta dinding Mansion terbuat dari bata merah dan beberapa dinding dilapisi keramik putih. Pilar-pilarnya berwarna putih dengan ada ukiran serta tertempel lentera bersinar kekuningan.

"Bagaimana mungkin," ujar Josse, bertahun-tahun orang di desa ini berusaha mencari Mansion bahkan rela bermalam di hutan belantara hanya untuk menemukannya. Namun, baru detik ini menampakkan diri. "Bagaimana kau melakukannya?" Ia menatap Aalisha terheran-heran. "Siapa kalian sebenarnya? Siapa kau sebenarnya! Jangan-jangan kau bukan sekadar bangsawan---"

"Mylo," perintah Aalisha. Lekas Mylo memunculkan tombaknya dan memukul kuat-kuat belakang kepala dan punggung Josse hingga lelaki itu ambruk ke tanah. Kemudian Anila menyuntikkan obat bius ke lehernya. Setelahnya lekas Mylo menyeret Josse ke pohon terdekat, ia gunakan sihir yang menciptakan tali lalu melilit tubuh lelaki itu.

"Dia akan pingsan selama beberapa jam ke depan," kata Anila setelah menatap Mylo dan Josse. Ia berpikir sejenak. "Kurasa tempat ini tujuan kita."

Mylo mengepalkan kedua tangannya, gemetar. "Mungkin artefaknya membawa kita kemari karena memang menuntun kita ke Mansion ini."

"Kalian benar." Aalisha menarik tangannya dan menyentuh gagang pintu gerbang tersebut. "Takdir membawa kita kemari."

Suara deritan pintu besi terdengar kencang, pintu gerbang tersebut terbuka dengan sendirinya. Memperlihatkan jelas halaman Mansion tersebut serta beberapa meter ke depan ada pintu utama yang menjulang tinggi. Kini Mylo melangkah dan berdiri di kanan Aalisha, sementara Anila di kiri Aalisha.

"Siap?" kata Anila, tapi tampak ragu.

"Ya, aku siap." Mylo menjawab meski gemetar.

Aalisha menghela napas sesaat, memejamkan mata, lalu ia tatap Mansion tersebut dengan sinis tanpa rasa takut. "Mari masuki babak selanjutnya."

Oh Jagad Dewa dan Dewi yang Bertahta di Athinelon yang penuh rahasia ini. Sesaat ada rasa penyesalan karena sudah melangkah sejauh ini bahkan segalanya menjadi lebih rumit dan semakin berbahaya. Namun, takdir sudah membawanya kemari dan tidak bisa mundur lagi. Jadi satu-satunya jawaban adalah melawan dan menang karena kekalahan tidak ada dalam Kamus, terutama bagi seorang Keturunan Agung De Lune.

"Latreia." Aalisha berujar seraya melangkah memasuki gerbang bersama-sama kedua temannya. Petualangan lainnya pun dimulai.

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

|| Afterword #29

Beri pelukan jauh untuk si kecil Aalisha^^

Satu per satu kenangan masa lalu Aalisha terungkap yang tampaknya ia lebih sering mendapatkan rasa sakit dibandingkan pelukan  hangat, apalagi berharap pada sosok yang harusnya ia panggil sebagai ayah ....

Kira-kira Bundanya Aalisha bakal cantik nda? Lalu lebih mirip Aalisha atau Aldrich ya?

Petualangan mereka berlanjut di Desa baru yang sepertinya desa ini dicurigai oleh Aalisha sebagai desa tempat pengasingan Rosie Balforth. Lalu siapakah tiga penyihir hebat yang dimaksudkan? Dan siapa pula Tuan Bangsawan Bijaksana pemilik mansion tersebut?

Prins Llumière

Minggu, 22 Desember 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top