Chapter 39
|| Beri vote dan komen serta cari posisi ternyaman karena chapter ini totalnya 11.412 kata^^
|| Chapter kali ini memiliki adegan berdarah dan sedikit mengganggu. Mohon tetap bijak dalam membaca^^
Pagi ini akademi dihebohkan dengan banyaknya murid yang terkena penyakit cacar air! Ya sekali lagi, penyakit cacar air! Sungguh sangat tidak terduga karena alih-alih diserang monster atau binatang magis mengamuk seperti biasanya, para murid malah terkena penyakit cacar yang tidak hanya satu atau dua orang saja, tetapi lebih dari itu bahkan ada di setiap asrama dan asrama terbanyak yang muridnya terkena cacar air adalah Drystan dan Sylvester.
Sebenarnya para murid terkena cacar air ini, penyakitnya bukan datang begitu saja atau kutukan cacar air dijatuhkan ke Eidothea, bukan, meski ada beberapa murid berpikiran bahwa ini adalah kutukan. Jadi cacar air ini berasal dari tiga orang murid angkatan tahun kelima, dua asal Drystan, satu asal Sylvester. Mereka pulang dari menjalankan sebuah misi berupa penyelidikan kasus perampokan oleh sekelompok bandit di sebuah desa. Selama dua minggu mereka menjalankan misi ini, semuanya berjalan lancar bahkan berhasil menyelesaikan misi mereka dan kembali ke Eidothea dengan sehat tanpa kurang satu pun. Namun, tiga orang terpapar cacar air.
Akhirnya mereka dilarikan ke rumah sakit Eidothea, seharusnya tak boleh dikunjungi karena cacar air adalah penyakit yang mudah menular, tetapi teman-teman mereka malah mengabaikan larangan tersebut. Alhasil teman-teman mereka tertular penyakit cacar, lalu mereka pun tak sengaja membuat murid-murid lain tertular pula hingga akhirnya jadilah seperti sekarang ini. Para murid yang tertular, sekitar pukul tiga pagi sudah pergi ke rumah sakit, ternyata rumah sakit sangat penuh; para perawat, dokter, serta Orly yang bertugas di rumah sakit jadi riuh ke sana-kemari menangani para murid yang tertular.
Atas inilah menjelang pagi hari setelah sarapan, para murid yang tidak atau belum tertular penyakit cacar air, mereka diminta untuk pergi ke titik tertentu di Eidothea yang sudah ada beberapa dokter menunggu untuk memberikan mereka suntikan vaksin khusus dibuat dari ramuan sebagai pencegahan tertular penyakit ini.
"Ya Dewa," ujar Frisca Devorez yang dibalut pakaian sehari-hari mendesah lelah karena menatap antrean yang sangat panjang ini. "Panjang sekali, bisa beberapa jam kita di sini."
Gilbert yang mengenakan kaos hitam dengan celana putih ikutan berujar, "aku tak menyangka jika satu akademi akan tertular penyakit cacar air." Ia mengedarkan pandangan, ada dua baris memanjang ke belakang di sini, semuanya berasal dari asrama Arevalous, mereka sama-sama mengantre untuk vaksin. Jadi para murid mengantre di lima titik berbeda berdasarkan asrama masing-masing. Arevalous kebagian di lapangan sebelah timur Akademi.
"Sebenarnya ini menguntungkan, pembelajaran hari ini ditiadakan karena ada ulangan lisan sejarah," kata Mylo seraya meraup kue kering rasa cokelat-keju. Namun, tiba-tiba kertas pembungkus kue kering tersebut direbut.
"Ini punyaku, lain kali bawa sendiri!" balas Aalisha berdecak sebal, tetapi dari arah lain, Anila dan Frisca mengambil kue keringnya lagi. "Arghhh!! Ini kue keringku, nanti habis." Mereka malah terkekeh, sementara Gilbert geleng-geleng kepala. Tidak ia sangka si gadis De Lune ini selalu sempat makan camilan, di mana pun, di setiap kesempatan
"Bagiku ditiadakan ulangan lisan sejarah adalah berita buruk," balas Anila.
"Itu kau, bukan kami!" timpal Gilbert hendak mencomot satu kue kering milik Aalisha, tetapi gadis itu menatap tajam yang seolah-olah siap memotong jari Gilbert jika berani mengambil kuenya yang tersisa tiga.
"Pemikiran seperti inilah yang membuat generasi sekarang lebih cepat bodoh," ujar Anila.
"Oh ayolah, Anila, dua-tiga kali tidak belajar, takkan langsung membuat kita bodoh." Frisca berucap.
"Tentu saja karena meski kau belajar pun akan tetap bodoh." Aalisha berkata dengan santai sambil memakan sisa kue keringnya hingga habis dan teman-temannya menahan tawa sementara Frisca hendak meledak, beruntung bisa ia tahan.
Kini mereka menatap pada profesor Madeleine yang terlihat benar-benar sibuk, ia harus memantau para murid terutama dari asrama Arevalous karena dia selaku Kepala Asrama ini. "Tiga orang tertular cacar, satu akademi terkena imbasnya," ujar Mylo.
Anggukan kepala mereka berikan karena setuju dengan perkataan Mylo, lalu tiba-tiba Aalisha menyeletuk, "padahal ada cara termudah menyelesaikan masalah ini?"
"Apa?" kata Gilbert dan Frisca bersamaan.
"Bunuh saja penyebabnya." Aalisha berujar santai kembali. Helaan napas Anila dan Mylo terdengar.
Gilbert pun berucap, "oh Dewa! Bisakah kau bersikap layaknya umur kita?"
"Ya jangan bawa agenda itu dalam setiap permasalahan," kata Frisca.
"Lho para penguasa dan orang-orang kasta tinggi sejak dulu seperti itu bukan? Mereka memberantas kemiskinan bukan dengan membantu orang-orang miskin agar dapat pendidikan tinggi dan pekerjaan layak, tetapi membodohi mereka, menghambat pendidikan agar masyarakat semakin bodoh, melanggengkan kemiskinan struktural, jadi perlahan-lahan orang-orang miskin itu akan terbunuh," jelas Aalisha yang tentu saja paham masalah ini karena Majestic Families sudah diajarkan politik dan ekonomi sejak kecil.
Teman-temannya pun hanya bisa terdiam karena mereka tak dapat menyangkal jika memang banyak para penguasa jahat yang menggunakan cara licik, salah satunya adalah memelihara kemiskinan dan membodohi masyarakat proletar.
"Inilah kenapa akademi-akademi ada agar masyarakat tidak lagi dibodohi penguasa atau bangsawan tinggi," kata Anila. Mereka maju selangkah demi selangkah mengikuti antrean yang semakin menipis.
"Tetap saja hidup di Archduchy Majestic Families jauh lebih terjamin dibandingkan di wilayah Kekaisaran ini," balas Aalisha.
Mereka menatap pada Aalisha, lalu mengiyakan perkataan gadis itu yang entah mengapa suasana hati Aalisha jadi lebih baik. Bahkan gadis itu memanggil Invinirium mengambil il Te Priel dalam sebotol kaca dan menyeruputnya menggunakan sedotan kaca bening.
"Ternyata gadis kecil ini senang kalau argumennya disetujui," gumam mereka sambil menatap Aalisha.
Setelah beberapa menit berlalu, mereka pun selesai mendapatkan suntikan vaksin pencegah dari cacar air. Sejenak mereka menatap ke arah antrean di belakang merrka yang masih panjang. Berdoa untuk para dokter dan yang bertugas hari ini, dimulai. Kini berjalan di koridor, mereka memutuskan untuk kembali ke asrama karena berdasarkan arahan pihak akademi jika pembelajaran diliburkan selama dua hari, lalu untuk hari ini, para murid dianjurkan untuk tidak terlalu banyak beraktivitas di luar ruangan apalagi mengobrol dan berkerumunan terutama dengan mereka yang sudah terinfeksi cacar air.
"Apa kata mereka?" ujar Anila pada Aalisha yang tengah mengobrol dengan beberapa serangga seperti kepik dan capung. Tampaknya mereka berhenti di salah satu koridor.
"Sesuai dugaanku." Gadis kecil itu berujar. "Waktu yang tepat bagi para penjahat ini menjalankan misi mereka."
"Maksudmu?" balas Gilbert.
"Akan kujelaskan detailnya, ayo ke markas Elijah," kata Aalisha dan keempat temannya menganggukkan kepala.
"Aku akan mencari Kennedy," ujar Gilbert, "lalu kami akan menyusul."
"Baiklah," kata Anila, "hati-hati jangan sampai orang lain mengikuti dan jika ada orang lain di markas Elijah, maksudnya di dekat kuil. Kita akan pindah ke kuil terbengkalai di halaman belakang asrama saja."
Mereka baru hendak berbelok ke koridor berbeda, tiba-tiba saja bahu Aalisha menabrak seorang gadis dengan manik mata amber yang cantik, lekas gadis itu mendorong Aalisha dengan kasar. "Kau buta ya?" Suaranya tampak sangat kesal. "Perhatikan langkahmu, cacat."
Terkejut mereka saat si gadis bermanik mata amber dengan mudahnya menghina, tetapi mereka tak bisa menyahut karena tahu siapa yang tengah dilanda rasa kesal itu. Di sisi lain, sahabatnya yakni Nathalia Clodovea baru tiba dan berujar, "Eloise, jangan berkata seperti itu." Ia melirik pada Aalisha dan yang lainnya.
"Si pendek ini yang buta," sahut Eloise.
"Kaulah yang duluan menabrakku!" balas Aalisha, terkejut saat tangan Eloise mencengkeram kuat kerah baju gadis kecil itu.
"Jangan berani menyahut, aku lebih tua darimu, jadi jaga sopan santun sebelum kubakar mulut dan lehermu itu agar kau tak hanya buta, tapi bisu juga."
Tangan Aalisha mengepal kuat, ia tak mengerti kenapa Clemence gila ini tiba-tiba marah dan terus menghinanya padahal mereka hanya bertabrakan bahu, itu pun tidak ada yang terluka. Sebelum pertengkaran terjadi, Nathalia Clodovea berteriak, menarik Eloise agar melepaskan Aalisha. Sementara Anila menarik lengan Aalisha dan menyembunyikan gadis kecil itu di punggungnya.
"Cukup, aku akan marah jika kau membuat keributan," kata Nathalia lalu menghela napas karena Eloise malah berdecak sebal, lalu melenggang pergi begitu saja. "Maafkan dia." Nathalia menatap pada Aalisha dan teman-temannya. "Akhir-akhir ini ada masalah di keluarga Clemence, lalu Eloise memang sedikit menyebalkan jika sedang menstruasi. Jadi sekali lagi maaf ya."
Mereka hanya diam menatap, mulut mereka membentuk huruf O sebagai balasan, sementara Aalisha menyahut, "dia selalu menyebalkan setiap waktu."
Mylo mencubit Aalisha, refleks membuatnya menarik tangan lalu menatap sinis Mylo. Nathalia terkekeh pelan. "Ya, aku tahu itu. Dah aku pergi ya." Ia mulai melangkah pergi. "Dadah juga Mylo."
Kepergian Nathalia, sukses membuat mereka kini menatap pada Mylo bahkan Aalisha. Seolah-olah masih banyak misteri yang ternyata disembunyikan bocah Cressida yang kini tampak gugup. "Aku tak tahu kenapa dia seperti itu!" Mylo berucap cepat.
"Kau masih berutang cerita pada kami lagi," kata Frisca geleng-geleng kepala.
"Kau harus cerita sekarang!" sahut Anila.
Mylo melirik Gilbert, meminta bantuan karena para lelaki biasanya punya telepati tersendiri. "Omong-omong soal Clemence itu, apa semua gadis jadi lebih pemarah karena menstruasi?"
"Tidak juga," kata Frisca, "beberapa ada yang suasana hatinya jadi buruk, ada pula yang tidak karena setiap individu berbeda-beda, terkadang mereka yang menstruasi akan merasakan sakit perut, seperti keram, lalu pusing dan lemas jadi karena inilah mereka lebih emosian."
Gilbert mengangguk, ia berhasil mengalihkan topik dan mendapat wawasan baru. Sesaat ia menatap pada Aalisha. "Oh jangan-jangan Aalisha sering marah juga karena kau lagi menstruasi?"
"Aku belum menstruasi," balas Aalisha dan teman-temannya hening karena terkejut.
"Kau belum?" kata Anila memastikan.
"Belum," ujar Aalisha seraya berjalan dengan santai dan percakapan mereka berhenti di topik tersebut untuk sementara.
****
Kuil terbengkalai di belakang asrama Arevalous yang menjadi pilihan mereka untuk berkumpul membahas informasi yang Aalisha dapatkan dari para kepik dan capung. Informasi itu sungguh membuat mereka terkejut bahwa tersebarnya cacar air ini bukan sekadar kebetulan karena tiga orang menjalankan misi menularkan secara tak sengaja cacar air ini, tetapi ada seseorang menjadi dalang utamanya. Hanya saja tidak diketahui siapa dalang utama ini.
"Lalu kenapa dalang utama ini membuat cacar air tersebar?" ujar Kennedy. Mereka tampak berdiskusi sedangkan Aalisha sibuk menatap pada seekor kupu-kupu.
"Penyakitnya tidak mematikan, jika benar ini ada kaitannya dengan wabah tikus, tetapi tidak ada murid yang mengalami gejala digigit tikus atau mati kemudian jadi mayat hidup," jelas Anila, "tetapi kalau dipikirkan matang-matang. Kejadian cacar air ini membuat akademi jadi meliburkan pembelajaran dan para guru serta staf akademi sibuk dengan mereka yang sakit dan tertular cacar air ... oh Dewa." Anila tampak sadar akan sesuatu.
"Ada apa?" kata Frisca, "kau sadar akan sesuatu?"
Anila melirik pada si De Lune. "Aalisha, jangan-jangan mereka mengincar waktu ini saat orang-orang sibuk---"
Lekas Aalisha berdiri ketika dua ekor kupu-kupu datang lagi. "Gilbert, Frisca kalian pergi ke danau! Kennedy ke perpustakaan kemudian Anila dan Mylo ke koridor tempat biasa Killian menghilang."
"Tunggu ada apa?" kata Mylo sambil mengencangkan ikatan tali sepatunya.
"Seperti yang Anila katakan, orang-orang jahat ini merencanakan hal buruk dengan memanfaatkan para guru yang sibuk mengurus murid-murid terkena cacar air dan aku baru mendapatkan kabar jika Killian di tiga tempat berbeda dan membawa gelang."
"Tiga!!! Apa dia punya kembaran?" kata Frisca dan Gilbert.
"Dua dari tiga pasti palsu," sahut Kennedy.
"Ya karena itu aku minta kalian pergi ketiga titik yang berbeda!!" teriak Aalisha, "jadi pergilah, apa yang kalian tunggu lagi!!"
Tanpa basa-basi dan mempertanyakan hal lain lagi, lekas mereka pun menuruti perintah Aalisha sesuai dengan arahan ke mana mereka harus pergi. Anila berbalik menatap Aalisha lagi. "Bagaimana denganmu?"
"Aku akan mengecek di asrama Gwenaelle," kata Aalisha.
"Baiklah, hati-hati," kata Anila.
"Tolong beri kabar melalui Cyubes," ujar Mylo, tetapi Aalisha hanya diam saja bahkan langsung pergi begitu saja. Hal ini membuat mereka terdiam sejenak. Sesaat berpikir pula, sampai kapan gadis itu masih sulit mempercayai mereka?
Detik waktu berlalu seiring langkah mereka menjalankan perintah, begitu pula Aalisha yang kini berada di halaman belakang asrama Gwenaelle. Lokasi gerbang teleportasi inilah paling sulit dijangkau karena berada di kamar Athreus Kieran Zalana atau sekitar kamar itu, barangkali di kamar sebelahnya. Namun, intinya Aalisha tahu mengapa gerbang tersebut ada di asrama itu.
Alasannya sangat mudah karena Rose Balforth adalah murid Gwenaelle, sesuai dengan memori masa lalu yang dia lihat. Jadi kemungkinan besar, kamar yang ditempati Athreus atau sekitarnya adalah kamar Rose Balforth dulu.
"Bajingan," gumam Aalisha, ia melirik belalang di jemarinya. "Aku sulit memantau ke dalam karena lantai lima asrama itu diberi sihir pelindung terutama di sekitar kamar Athreus yang sangat ketat diberi pelindung."
Ia terus memikirkan cara untuk memantau ke dalam kamar itu atau mencari tahu apakah Killian atau orang jahat yang terlibat jika mengincar gerbang di kamar tersebut, tetapi jika dipikirkan ulang. Mustahil mereka nekat untuk ke sana karena risiko ketahuan oleh Athreus lebih besar. "Baiklah, aku pergi saja." Aalisha berdiri lagi dan berlari. "Tolong informasikan kondisi yang lain." Ia berujar pada kupu-kupu yang datang padanya.
Sementara itu, di sisi lain, tepatnya di salah satu kamar asrama Gwenaelle. Terlihat seorang lelaki dengan rambut hitam dan manik mata biru tanzanite tengah menopang dagu dengan tangan di kosen jendela seraya melirik kepergian seorang gadis kecil. "Little Bunny, Little Bunny," ujar lelaki itu terkekeh kecil. "Padahal tinggal ketuk saja jendelaku kalau mau berkunjung. Imut sekali." Setelahnya ia masuk kembali dan membiarkan jendelanya terbuka.
****
Takdir sepertinya tidak begitu berpihak pada Aalisha hari ini karena ia mendapatkan kabar jika Gilbert dan Frisca telah dikelabui oleh seseorang berjubah hitam yang kemudian hilang begitu saja, bahkan Kennedy pun juga memberi pesan yang sama. Sehingga Aalisha memutuskan langsung menuju ke tempat Anila dan Mylo yang kemungkinan Killian Cornelius asli berada di sana dan telah membuka gerbangnya. Namun, ketika ia tiba di koridor tersebut, tidak ia temukan Anila maupun Mylo.
"Ke mana kau membawa mereka pergi?" ujar menatap sinis pada sosok berjubah hitam dengan topeng menyerupai kambing. Tidak bisa ia tebak apakah makhluk di hadapannya adalah Orly, manusia, atau malah iblis.
"Kenapa diam saja, jawab aku." Aalisha memanggil Aeternitas-nya, cahaya biru menyelubungi bilah pedang tersebut. "Kaujawab aku atau kubuat kau menderita? Aku beri kau waktu lima detik."
Genggaman tangan kecilnya menguat di gagang pedang. "Satu ... dua ... tiga ... dasar makhluk rendahan!" Tak perlu menunggu hitungan kelima, Aalisha mengayunkan pedangnya. Lekas energi Neith kuat membentuk serangan horizontal dan vertikal menerjang ke arah sang musuh. Namun, tiba-tiba musuh tersebut mengeluarkan sebuah cermin yang berhasil memantulkan serangan tersebut.
"Sial." Aalisha berdecak sebal, ia berlari menerjang ke depan, tetapi sang musuh hanya diam saja hingga detik selanjutnya, cermin tersebut bersinar. Lalu manik mata Aalisha membulat ketika berada di cermin tersebut terlihat seorang anak kecil, bukan, bukan Killian Cornelius, tetapi lelaki dengan rambut kecokelatan serta di tangannya membawa semacam gelang.
"Latreia!" teriak Aalisha lekas memanggil para burung Amadeo, kupu-kupu, dan serangga lainnya untuk membantunya dan mencegah ia masuk ke dalam gerbang teleportasi. Sayangnya, sang musuh berjubah malah dengan mudahnya membakar para binatang Aalisha. Kematian para burung dan serangga membuat manik mata Aalisha membulat, ia kini sangat marah, sayangnya tubuh kecilnya perlahan-lahan dilahap cahaya dari cermin tersebut.
"Aku bersumpah, Demi Dewi Aarthemisia D'arcy, aku akan membunuh kalian semua. Camkan perkataanku ini." Ia pun mengusap hidungnya yang mengeluarkan darah, lalu ia lenyap ditelan cahaya.
Sementara itu sang jubah hitam malah tersenyum kecil, ia ayunkan tangannya ke kanan sehingga jubahnya tersibak, lalu ia gerakan yang perlahan jubahnya menutupi cermin tersebut yang kini ia serta cermin berangsur-angsur menghilang. Sebelum ia lenyap, terdengar suaranya yang bergumam, "semoga Anda tak selamat dari malapetaka, Yang Mulia De Lune."
Menghilanglah sang jubah hitam dari koridor tersebut.
Detik selanjutnya, berada di tempat yang berbeda. Sang Putri De Lune tampak berbaring tak sadarkan diri karena ia jatuh dari ketinggian puluhan meter, tubuhnya hampir hancur berkeping-keping menghantam lantai beton yang sangat keras, tetapi ibarat ada kesadaran otomatis untuk melindungi dirinya sendiri, maka meski ia tak sadarkan diri. Neith membentuk pelindung di tubuhnya dipadukan angin lembut sehingga mengurangi daya kecepatan dan hantaman tubuh kecil tersebut ke lantai beton. Kini butuh sepuluh menit untuk mengumpulkan kesadarannya kembali, tetapi ia merasa pusing, mata berkunang-kunang, terdengar suara tulang saling bergesekan serta lebam di punggungnya dan darah menetes dari pelipis, barangkali kepalanya juga terbentur.
"Ini bukan memori masa lalu," ujar Aalisha menatap sejenak ke bawah, memperhatikan genangan air, bukan! Melainkan seperti banjir yang tenang di sekitar tempatnya berada. "Ini pasti kastil sihir. Oh Dewi, kenapa harus genangan air lagi seperti pertama kalinya aku tiba waktu itu."
Berkat bantuan sihir angin, punggungnya didorong; perlahan ia berdiri, menyeimbangkan pijakannya yang kini sepatu hitam Aalisha jadi basah karena terendam air yang sedalam di atas mata kakinya. Gadis itu merapalkan mantra, menyembuhkan beberapa luka di pelipis serta lebam di punggung sehingga mengurangi rasa sakit. Setelahnya ia mengedarkan pandangan sejenak, mengamati tempat ini sebelum memutuskan harus melakukan langkah selanjutnya. "Airnya tidak terlalu dingin."
Strategi pertama yang harus dilakukan ketika tiba di tempat asing dan hanya sendirian saja yakni harus mengecek dan mengidentifikasi sekitar dengan cepat, cermat, dan jeli. Sebisa mungkin jangan gegabah, panik, apalagi berteriak-teriak tidak jelas entah dengan alasan meminta pertolongan karena jika berteriak malah bisa saja mengundang bahaya baru seperti posisi kita diketahui oleh pihak musuh, parahnya lagi penghuni asing tempat ini misalnya binatang magis yang liar atau monster maupun iblis.
"Tempat ini cukup sempit," ujar Aalisha memperhatikan jika lebar antara dinding kanan ke dinding kirinya hanya sebesar dua atau tiga meter saja, tetapi panjang tempat ini tidak bisa ia kira karena depan maupun belakangnya terdapat persimpangan atau ada tiga belokan lorong yang berbeda. "Dindingnya dialiri Neith, tapi di sini densitas Neith-nya cukup rendah. Sulit menggunakan sihir karena densitas Neith tempat ini."
Ia coba menutup mata dan berusaha mencari binatang atau serangga dan sejenisnya yang bisa ia kendalikan. "Sialan, tempat ini persis seperti pertama kalinya aku tiba di kastil sihir dengan tuan Thompson." Teringat saat ia tiba di tempat yang sama lalu ia perlu mencari kaca untuk digoreskan ke tangannya agar bisa keluar dari tempat tersebut. "Aku tidak bisa berkomunikasi dengan binatang apa pun karena mereka tidak menghuni tempat ini."
Terpaksa gadis itu melangkah dengan memanggil Aeternitas-nya, berjaga-jaga jika ada yang datang menyerang. Meski tersesat di tempat antah-berantah ini serta banyak lorong berkelok-kelok, ia tetap tenang seolah-olah sudah ribuan kali berada di situasi yang sama. Sungguh tidak mengherankan bagi keturunan Majestic Families. "Kiri atau kanan." Ia melirik secara bergantian, tetapi baginya sama semua tempat ini, tidak ada perubahan selama ia berjalan sejak beberapa menit lalu. "Kanan saja, lebih dianjurkan kanan."
Melangkah ke koridor sebelah kanan, ia terus memperhatikan setiap detail, berusaha menemukan jika ada perbedaan meski hanya segores saja. Namun, sungguh aneh karena Aalisha malah kembali ke titik awal. "Ini tempat tadi ya? Atau berbeda, hanya terlihat sama?" Ia kembali memperhatikan sekeliling. "Demi Dewa, aku seolah-olah looping di sini."
Suara retakan terdengar ketika Aalisha menyerang dinding di dekatnya, ia jadikan tanda, andaikata ia benar hanya berputar-putar saja di tempat tersebut. "Mari ambil ke arah lurus saja." Lekas ia melangkah kembali dan berjalan lurus, masih berusaha menemukan perbedaan tempat ini. Lalu ia menjadi pelan karena berada di persimpangan lagi. Rasa syukur ia ucapkan karena ia tidak berputar-putar di satu titik saja---tidak ada goresan pedang yang ia buat dinding pada persimpangan koridor ini---tempat ini yang memang mirip di setiap detailnya.
Aalisha terdiam di tengah persimpangan lorong ini, kanan-kiri atau depan-belakang tetap terlihat sama, tetapi yang baru ia sadari adalah kondisi genangan airnya yang malah semakin tinggi. "Aku mengerti," ujarnya pada diri sendiri. "Aku akan ke lorong yang airnya semakin surut karena mustahil aku menuju ke air yang dalam bukan? Mati tenggelam, sangat tidak estetik." Terlebih gadis kecil itu tidak bisa berenang. Maka dari itu, ia mulai berbelok di menuju lorong yang kedalaman airnya semakin menurun.
Benar saja, lorong yang ia pilih kini membuat kedalaman air semakin turun, awalnya melebihi mata kaki kini semakin surut bahkan sepatunya tidak terendam air lagi. Hingga pada detik ini, ia berpijak di lantai yang sudah tidak ada genangan airnya lagi. "Teka-teki yang cukup mudah, kupikir akan lebih menantang." Ia melangkah melalui lorong ini. Di depannya terdapat persimpangan lagi, perlahan ia menyembulkan kepalanya sedikit, dan ternyata masih sama saja, tidak ada perbedaan sedikit pun dengan lorong sebelumnya. Hanya di sini, tidak ada genangan air semata kaki.
"Kubakar saja kali ya tempat ini," ujar Aalisha mulai kesal. Sejenak ia berpikir jika ada Anila dan Mylo pasti takkan sesepi ini. Beberapa kali ia terseret ke kastil sihir, ada kedua manusia tersebut yang menemaninya sehingga selain membuatnya tidak merasa kesepian, ia juga dapat melewati malapetaka ini lebih muda. "Sialan, aku biasanya selalu sendiri, kenapa malah memikirkan mereka." Ia berdecak.
Aalisha merapalkan mantra sehingga membuat sepatu, kaos kaki, dan celananya yang basah kini jadi kering kembali. Masih dengan menggenggam kuat pedang Aeternitas-nya, dia mulai melangkah kembali menelusuri lorong yang tak tergenang air ini meski kanan-kirinya tidak ada perubahan. "Ada embusan angin."
Ia mulai merasakan jika di lorong sebelah kirinya, angin berembus, bertiup pelan dan tercium bau gosong. Perlahan-lahan embusan tersebut semakin kencang yang membuat helaian rambut Aalisha jadi bergerak-gerak. Ia mempertajam pendengarannya pula karena seperti terdengar suara raungan. Hingga detik selanjutnya, gadis itu lekas menutup kedua telinganya ketika terdengar suara yang sangat memekakkan telinga.
"GRRROAAARGGGHHHH."
"Sialan, makhluk apa itu?" gumam gadis itu seraya memicingkan kedua matanya karena samar-samar dia melihat sesosok manusia yang tengah berlari ke arahnya. "Ada orang lain disi sini, apakah musuh?" Gadis itu berada di posisi kuda-kuda bertarung dan bersiap untuk mengayunkan pedangnya.
Hanya saja, bukan serangan yang ia dapatkan melainkan kedua tangan yang terbuka lebar seraya melompat dan mendekap gadis De Lune itu sangat erat, manik mata Aalisha semakin membulat ketika ia dipeluk dari sisi samping juga. Kini waktu berhenti sejenak, ibarat gadis kecil itu berusaha mencerna apa yang terjadi di sini. Terlebih lagi, ia merasakan tubuhnya terhimpit oleh dua manusia ini; Anila Andromeda dan Mylo Cressida, entah dari mana mereka muncul. Namun, sepertinya mereka sangat bahagia sampai-sampai pelukan ini takkan bisa dilepaskan dengan mudah. Meskipun begitu, tampak gadis De Lune tak berniat sekali pun membalas pelukan hangat tersebut.
Ia hanya diam membisu.
"Aku pikir kami takkan bertemu denganmu," ujar Anila, ada air mata di pelupuknya. "Kami sangat takut jika terpisah denganmu atau kau terluka parah."
"Ya, kami benar-benar panik saat dibawa kemari, semakin panik karena takut jika kau dalam bahaya." Mylo menimpali, tak sadar jika bukanlah perilaku sopan bagi bangsawan pria mendekap bangsawan wanita. Namun, tubuhnya yang gemetar itu, menandakan jika ketulusannya benar-benar nyata.
Aalisha masih diam dengan kedua tangan di samping badan dan mengepal karena ia tak berniat membalas pelukan mereka. Ia lalu melirik ke arah Anila, lebih tepatnya di kaki gadis itu yang penuh luka gores bahkan celananya sobek dan sedikit memerah, kemungkinan karena terluka. "Bodoh, kenapa khawatir padaku. Lebih naas kondisi kalian berdua yang makhluk rendahan ini."
"Kau baik-baik saja bukan? Bagaimana bisa kau kemari? Apakah kau bertemu dengan seseorang berjubah hitam juga?" ujar Anila, suaranya sangat cepat.
"Pertama-tama lepaskan aku dulu," ujar Aalisa.
"Oh yeah, maaf, maaf kami tadi terlalu terkejut dan panik, jadi spontan mendekapmu," jelas Mylo tampak sangat malu dan merutuki kebodohannya. Ia mundur perlahan setelah melepaskan pelukannya sedangkan Anila tidak kunjung juga menjauh dari Aalisha.
"Sudah cukup pelukannya, kita tak bisa berlama-lama di sini," ujar Aalisha.
"Oke aku lepas," sahut Anila sedikit kesal. "Baiklah jelaskan ke kami, apa kau juga dibawa kemari oleh orang aneh berjubah hitam?"
"Benar sekali, kutebak kalian kemari karena dia juga?" ujar Aalisha dan dibalas anggukan oleh Anila dan Mylo. "Bagaimana kronologi awalnya?"
Anila tampak berpikir sejenak sebelum menjelaskan. "Saat kami tiba di koridor itu, tidak ada Killian, lalu tiba-tiba seseorang berjubah hitam tiba, dia mengeluarkan cermin dan kami berteleportasi ke tempat ini."
Aalisha menganggukkan kepala. "Aku juga bertemu dengan orang yang sama. Awalnya Gilbert, Frisca, dan Kennedy mengkonfirmasikan jika Killian tidak ada di titik yang mereka datangi, akhirnya aku pergi menyusul kalian, ternyata ada orang berjubah hitam itu."
"Sialan, siapa dia sebenarnya? Kurasa bukan Killian karena dari postur tubuh sangat berbeda, dia sepertinya orang dewasa." Mylo berucap seraya duduk di lantai karena dia kelelahan. "Anehnya juga Killian malah tidak ada di sana."
"Kemungkinan Killian lebih dulu masuk ke gerbang, lalu pria berjubah itu datang dan tahu jika kita mengejar Killian dan berakhirlah kita di sini," balas Anila.
Mata Mylo membulat. "Kalau begitu, apakah artinya ...."
"Kita sengaja dibawa kemari oleh si jubah hitam," balas Aalisha, "entah apa alasannya, tapi kuyakin ada maksud tertentu. Seharusnya dia mencegah kita, tetapi dengan kesadaran diri, dia malah membawa kita kemari."
"Aku yakin, jubah hitam itu tahu akan artefak, wabah tikus, dan juga ... Killian. Mungkinkah si jubah hitam adalah Orly-nya profesor Prambudi atau profesor Prambudi itu sendiri?" ucap Anila.
Aalisha menganggukkan kepala. "Teori yang sama sepertiku kemungkinan antara mereka. Profesor Prambudi pasti terlibat karena selain Killian, hanya dialah yang mencurigakan dan tahu soal gerbang teleportasi yang mengarah ke kastil sihir."
Hening, mereka merasa bahwa masalah ini lebih kompleks karena jika sebelumnya mereka hanya diperlihatkan masa lalu melalui artefak, kini mereka benar-benar berteleportasi ke sebuah kastil sihir.
"Jangan murung," ujar Aalisha, "kita hanya perlu mencari jalan keluar bukan? Jika kalian dengar, tadi ada suara monster, sepertinya ada petunjuk di tempat monster itu berada."
"Kami tahu itu," ujar Anila seraya memanggil Invinirium-nya. "Kami berkeliling mencari sumber suara monster itu selama kurang lebih 30 menit, tapi kami tak menemukannya. Hanya terus-menerus berputar atau menemukan jalan buntu"
"Berkeliling? Jalan bantu?"
"Aalisha," kata Mylo, mendongak menatap Sang gadis De Lune. "Tempat ini bukan sekadar lorong biasa, melainkan labirin yang sangat besar."
"Kau bilang apa?" tukas Aalisha.
Detik itu, kengerian merebak. Berada di tempat yang berbeda, di sebuah ruangan yang sangat jauh dari posisi mereka. Lebih tepatnya di ujung dari labirin ini, terlihat seseorang dengan jubah hitam berkibar dan tengah berdiri menatap sekelilingnya. Memperhatikan ibarat pengawas dalam sebuah pertandingan. Dia benar-benar menikmati pemandangan sebuah labirin yang terbentang sangat luas seolah-olah tak ada ujungnya. Labirin dengan lorong penuh lika-liku, beberapa titik labirin terendam air, titik lainnya diselimuti salju, titik lain penuh tanaman, serta ada juga jalan biasa.
Sang jubah hitam merentangkan kedua tangan. "Lepaskan predatornya."
Arah Timur labirin, terdengar suara raungan yang sangat kencang bercampur dengan dentangan membuat ngilu pendengaran ketika pintu besi besar terbuka sangat lebar. Kabut panas menyebar keluar dari dalam pintu tersebut, getaran kecil tercipta ketika kaki-kaki besar dengan kuku tajam keluar dari pintu tersebut bahkan goresan di lantai terukir saking kuatnya pijakan sang predator yang keluar dari kandangnya. Kini tampak mata merah menyala, gigi tajam nan besar mengkilap, serta lidah panjang dan ekor besar berduri. Raungan predator tersebut terdengar kencang seoalah-olah jangkauan suaranya menyapu bersih setengah dari labirin ini.
"Wahai Zidraakhen." Suara sang jubah hitam memerintah. "Santaplah makanan lezatmu setelah bertahun-tahun terkurung di labirin neraka ini!"
Raungan kencang terdengar sebelum sang Zidraakhen melesak sangat cepat, predator tersebut melata cepat seperti seekor ular dan memahami seluk-beluk labirin tersebut. Sungguh terornya adalah mimpi buruk bahkan bagi Keturunan De Lune karena pada detik ini, sang Dewa Kejahatan telah menuliskan takdir yang sangat mengenaskan.
****
Sejarah selalu mencatat bahwa para penyihir di zaman dulu jika mereka tidak mampu mengalahkan monster kuno yang sangat kuat dan hanya akan membawa malapetaka ke kehidupan berbagai ras makhluk hidup di dunia. Maka pilihan terbaik adalah memerangkap para monster kuno atau iblis di sebuah tempat, ibaratnya menyegel mereka dari kehidupan dunia luar agar tidak mengacaukan kehidupan di atas muka dunia Athinelon ini. Sayangnya meski zaman berkembang dan banyak penyihir kuat yang kini hidup, para monster kuno yang tersegel ini, tidak dibunuh dan hanya dibiarkan begitu saja. Ini adalah kesalahan fatal karena banyak pula manusia maupun makhluk hidup dari ras lain yang mendapat kesialan semisal tiba di tempat antah-berantah kemudian berhadap dengan monster kuno yang tidak dibunuh tersebut.
"Sialan!!" teriak Mylo terus berlari mengikuti Aalisha dan Anila. "Tidak kusangka jika suara yang kita dengar adalah monster kuno!"
Langkah kaki mereka seolah-olah melayang saking mereka berlari tanpa henti bahkan menginjak air saja, mereka gunakan Neith agar memperkuat otot-otot kaki agar mudah melewati genangan air. Sayangnya karena densitas Neith di labirin ini cukup rendah, membuat energi mereka cepat terkuras habis.
"Monsternya terlalu cepat," kata Anila, sejak tadi ia terus gunakan mantra sihir jenis apa pun supaya menghambat sang monster sehingga tercipta jarak antara mereka. "Aku bahkan tak bisa mengidentifikasinya, tetapi kurasa jenis binatang melata seperti kadal."
"Binatang melata?" teriak Mylo, "oh Dewa!! Sama persis yang tertulis di dokumen profesor Prambudi!! Dia benar-benar dalang utama di masalah kali ini!"
"Itulah yang kupikirkan juga!" Anila berdecak, ia gigit bibirnya dan berpikir keras. Sudah hampir setengah jam lebih mereka di sini dan tak kunjung menemukan jalan keluar. Bahkan mereka hanya semakin tersesat.
"Ada beberapa zona di sini," ujar Aalisha ketika mereka memasuki daerah labirin yang menurunkan salju serta dingin bahkan lantai licin karena salju. "Pertama zona tergenang air, zona kering, lalu zona salju ...."
"Apa? Apa kau mendapatkan petunjuk?" kata Mylo, ia menutup telinganya karena mendengar raungan monster melata itu, meski tidak terlihat bentuk rupanya.
"Zona penuh tumbuhan," kata Anila, "aku tiba di sini di zona yang lorong labirinnya penuh dengan sulur-sulur dan dedaunan. Bagaimana denganmu?" Ia menatap Mylo.
"Oh aku tiba di zona yang kering, maksudnya tidak tergenang banjir." Lelaki Cressida itu berujar.
"Empat musim." Aalisha berucap dengan tenang, "ayo cari jalan ke tengah-tengah labirin, kurasa di sana pintunya."
"Apa kau yakin?" kata Mylo.
"Ya, kita harus mencobanya karena percuma saja jika berputar-putar di labirin ini," ujar Aalisha, "apa kau punya pemikiran yang sama denganku?" Ia melirik pada Anila Andromeda yang membalas dengan anggukan kepala.
"Kurasa kau benar, asumsiku kita pergi ke perbatasan antara zona di labirin ini lalu melewati lorong yang berada di tengah-tengahnya." Anila berujar dengan sangat yakin.
"Gadis pintar," balas Aalisha, "ayo, langsung ke sana, aku tidak mau susah payah mengalahkan monster kuno. Lebih baik hemat tenaga dibandingkan melawannya."
Mendengar pujian dari Aalisha di awal kata, membuat Anila tersenyum hangat dan bahagia. Padahal ia sudah sering dipuji terutama pujian dari para profesor akademi. Namun, ternyata dipuji oleh orang yang lebih cerdas terutama dari sahabat yang ia sayangi jauh lebih bermakna dan membahagiakan.
"Bukan waktunya bahagia," bisik Mylo.
"Aku tahu itu, diamlah," balas Anila jadi kesal karena Mylo tahu saja jika Anila tengah berbunga-bunga. Lekas mereka kembali fokus dan mengikuti langkah Aalisha.
Ternyata teori mereka benar adanya, setelah berusaha menuju ke tengah-tengah labirin dengan menggunakan teori zona empat musim, mereka berhasil menemukan lorong yang sedikit berbeda, berada di tengah-tengah perbatasan antara zona kering dengan zona berair, kemudian zona penuh dedaunan dengan zona bersalju. Berada di lorong ini, tampak dindingnya tidak lagi berwarna hijau seperti sebelumnya, melainkan berwarna abu-abu dan lantai yang mereka pijak pun terbuat dari keramik yang warnanya senada dengan dinding.
"Oh sial, ada suara monster itu lagi," ujar Mylo.
"Karena itu lebih cepatlah melangkah," balas Aalisha, "kakimu panjang, tapi langkahmu pelan."
"Hey! Aku melambatkan langkahku karena kau lebih lambat gegara kakimu pendek," kata Mylo, tiba-tiba Aalisha memukul bahu Mylo kuat-kuat hingga rasa sakit menjalar. Tampak mereka seperti hendak berantem.
Sementara Anila hanya menghela napas saja, ia terus fokus melirik ke kanan dan kiri. Hingga akhirnya ketika berbelok ke lorong lain, mereka berhasil tiba di tengah-tengah labirin ini yang terdapat pintu besar di sana. "Kita berhasil!" ujar Anila.
"Oh Jagad Dewa, terima kasih!!" teriak Mylo sangat bahagia dan berlari mendekati pintu. "Kita berhasil sebelum bertarung dengan monster tersebut!"
Refleks saja Anila dan Mylo saling bergandengan tangan dan melompat-lompat kegirangan karena baru kali ini mereka temukan jalan keluar sebelum babak belur seperti kejadian-kejadian sebelumnya. Aalisha geleng-geleng kepala melihat tingkah mereka. Lalu ia berjalan mendekati pintu yang terbilang sangat besar tersebut, pintu ini menyerupai brankas yang di tengahnya ada semacam besi bundar, memiliki ukiran aksara kuno.
"Sebelum bersuka-cita, lebih baik pikirkan dulu cara membuka pintu ini," ujar Aalisha.
"Oh yeah, kau benar." Anila kembali mendapatkan kesadarannya setelah bertingkah seperti bocah berusia lima tahun. "Mari fokus cara membuka pintu ini."
"Iya, jangan senang dulu, kita belum sepenuhnya keluar dari sini," ujar Mylo.
Kini ketiga bocah yang berusia 12 tahun itu, koreksi, dua bocah berusia 12 tahun dan satu bocah berusia 11 tahun, mereka tengah menatap pada pintu besar tersebut yang tidak ditemukan celah kunci pintunya atau cara untuk membukanya. Lekas mereka gunakan segala cara dimulai dari mereka paksa dorong ke samping pintu tersebut, dicongkel menggunakan pedang, menggunakan sihir yang menciptakan tali-tali sihir lalu mereka bertiga berusaha menarik pintu tersebut sekuat tenaga. Namun, tak kunjung pintu tersebut terbuka bahkan tidak bergeser sedikit pun.
"Haruskah kita gunakan artefak?" ujar Mylo.
Anila dan Aalisha saling melirik, lalu menganggukkan kepala, maka Aalisha mengeluarkan artefak liontin dan Anila mengeluarkan artefak buku berhalaman emas----artefak ini memang ada pada Anila karena diminta Aalisha untuk menyimpannya---setelahnya kedua artefak tersebut mereka dekatkan ke dinding seraya mereka tutup mata dan Mylo pun juga bahkan lelaki itu gandeng kedua tangan kawannya, takut jika mereka terpisah saat berteleportasi.
"Tidak terjadi apa-apa," kata Mylo, ia ketuk-ketuk pintunya. "Halo, buka pintunya! Oh ayolah! Kenapa tak kunjung terbuka! Kita sudah berada di sini."
"Kurasa bukan menggunakan artefak ini," ujar Aalisha segera menyimpan kembali liontinnya, begitu juga Anila. "Pasti ada cara lain untuk membuka pintu ini."
Anila menghela napas, ia menyeka keringatnya karena tempat ini terasa cukup panas, ia juga merasa lelah akibat lukanya belum pulih sepenuhnya. "Aku pernah membaca buku, beberapa cara membuka pintu sihir, tetapi mustahil kita coba satu per satu. Ada ribuan cara, tak ada waktu untuk kita mencobanya."
"Sebutkan salah satu," ujar Aalisha, "haruskah kugunakan pedang magisku?"
"Itu juga bisa, tetapi berbeda dengan pintu sebelumnya saat kita diteleportasi ke kastil sihir yang terdapat segel tingkat tinggi, pintu ini, tidak terasa energi segelnya," ujar Anila.
"Baiklah abaikan opsi pedang magisku, sebutkan saja salah satu cara dari banyaknya cara membuka pintu sihir dari buku yang kaubaca," ujar Aalisha lagi.
Anila berpikir sejenak. "Gunakan darah---hey apa yang kau lakukan?!"
Sontak Anila dan Mylo menutup mata ketika Aalisha melukai telapak tangannya kemudian dioleskan darahnya ke pintu tersebut. Sayangnya tidak terjadi apa pun. "Gagal, kita benar-benar harus mencari cara lain."
"Oh Dewa, jangan seenaknya melukai tanganmu!" Anila lekas mendekati Aalisha, berniat menyembuhkan luka gadis kecil tersebut, tetapi Aalisha tarik tangannya.
"Lebih baik pikirkan dirimu sendiri, wajahmu pucat dan akan menyusahkan jika kau pingsan," balas Aalisha dan menyembuhkan telapak tangannya sendiri.
Anila diam sejenak, paha dan kakinya berdenyut akibat luka terkena duri-duri tajam saat tiba di sini. "Aku baik-baik saja, kita harus segera memikirkan cara untuk keluar---"
"Aku temukan petunjuk!!" teriak Mylo yang sudah berjongkok di lantai, ia menatap ada tulisan mirip rumput di lantai tersebut. "Sudah kuduga jika aku keturunan detektif, lihatlah, kuyakin ini pasti petunjuk membuka pintunya."
"Kalau begitu terjemahkan," balas Aalisha.
"Uhhh err." Mylo bingung seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Mungkin ini aksara kuno, tapi kok aneh ya?"
Anila perlahan berjongkok pula di sana, ia memperhatikan dengan jeli. "Tulisannya terbalik!" Rapalan mantra terdengar, ia memunculkan gumpalan air sebesar bola kasti yang melayang ke atas tulisan di lantai tersebut. Fungsi dari bola air ini sebagai kaca cermin sehingga tulisannya akan mudah mereka baca.
"Apa tulisannya?" ujar Mylo memicingkan matanya, "ini bahasa apa?!! Aku tak bisa membacanya!"
"Kurasa ini simbol," ujar Anila, lekas ia memunculkan Invinirium dan mengeluarkan buku tebal serta cukup besar. "Aku pernah melihat simbol ini, aku yakin bisa menerjemahkannya satu persatu."
"Oh baguslah karena jika kita tidak tahu cara menerjemahkannya maka kita akan lebih dulu menjadi---" Perkataan Mylo terhenti ketika mendengar raungan sang monster melata, lalu mereka bertiga bisa merasakan aura Neith dari monster tersebut. "---santapan monster itu."
Aalisha berujar, "dia hampir tiba di sini---dia kemari!!" Aalisha lekas menggunakan sihir dan sukses membuat barrier dari Neith untuk menangkis serangan bola api dari monster melata tersebut. "Kabur dari sini!!"
Tanpa banyak bertanya. Mereka beranjak dari ruangan tengah labirin melewati lorong yang berbeda bersamaan barrier yang Aalisha pasang hancur berkeping-keping. Sang monster melata yang tak mereka ketahui namanya, lekas kembali mengejar ibarat seekor belut berenang sangat cepat, melakukan zig-zag melewati setiap lorong yang dilewati ketiga bocah akademi Eidothea tersebut. Cakar-cakar tajam sang monster melata menggores setiap dinding dan juga lantai, raungannya bergema di sepanjang lorong, serta serangan api panasnya membakar sekitar, membuat mereka harus menggunakan mantra air sebagai pelindung.
"Monster jenis apa itu?! Kenapa punya badan naga, tapi kepala ikan lele!!" teriak Mylo, meski sambil berlari, ia tampak melemparkan setiap lembing yang ia punya lalu dipadukan dengan sihir milik Aalisha sehingga lembing tersebut melesak sangat cepat serta berubah jadi duri-duri tajam ibarat batang pohon, berfungsi melukai sang monster sekaligus memblokir jalan sehingga monster tersebut harus cari jalan memutar.
"Entahlah, dia tak punya sayap juga, tapi gerakannya sangat cepat." Aalisha berhenti merapalkan mantra karena sang monster melata sedikit terhambat mengejar mereka. "Kau punya informasi?" Sungguh, Aalisha memang benar tak bisa mengingat semua jenis monster atau binatang magis karena beberapa terkadang tidak tercatat di buku, terlebih ini daerah kastil sihir. Pasti makhluk yang menghuni di sini lebih aneh lagi.
"Aku juga sama tak tahu makhluk apa itu," ujar Anila, "belok kiri. Ayo ke zona kering, beresiko jika pergi zona tanaman atau air."
"Bagaimana cara memecahkan teka-teki pintunya jika makhluk itu mengincar—AWAS!!" Suara Mylo meninggi ketika sang monster melata muncul sangat cepat dari langit-langit seraya menembakkan semburan api yang ibarat hujan deras.
"Anila gunakan mantra angin dan dorong monster sialan itu!!" teriak Aalisha mengomando seraya dia merapalkan mantra air sebagai pelindung sekaligus memadamkan serangan api monster tersebut.
"Enyahlah kau monster jelek!!" Anila merapalkan mantra yang menciptakan serangan angin sangat dahsyat ibarat tornado dan berhasil mendorong serta menarik monster tersebut ke dalam pusaran angin itu, membawanya cukup menjauh dari mereka. Tiba-tiba Anila ambruk karena lukanya masih sakit serta densitas Neith yang lemah di sini membuat tubuhnya melemah.
"Anila---"
"Mylo fokus!!" teriak Aalisha, "lempar lembing dengan cepat ke arah tornado itu!!"
"Baiklah!!!" Mylo memunculkan lembing hitam yang sudah ia lapisi dengan Neith-nya, ia pasang kuda-kuda dengan cepat, menarik bahunya ke belakang seraya mengeratkan genggamannya pada lembing hitam tersebut. "Mati kaumonster sialan!!" Ibarat pegas yang sudah siap sempurna. Dalam hitungan detik, ia lesakkan lembing tersebut maka dengan kecepatan penuh, sang lembing hitam seolah-olah membelah lautan dan tepat menuju targetnya.
"Diffunditur Elektra!" teriak Aalisha menambahkan kekuatan pada lembing Mylo. Maka ketika sang lembing menembus dada monster tersebut, getaran kuat tercipta bersamaan petir bergemuruh menyambar seluruh tubuh sang monster, semakin mengerikan karena tornado Anila kini diselimuti petir milik Aalisha.
Belum berhenti dan tak ada mau jeda sedikit saja, gadis kecil tersebut melangkah ke depan dengan tangan kanan terulur serta telapak tangan terbuka sedikit. Ia memunculkan dua pentagram sihir biru yang terasa panas lalu Aalisha berteriak, "Igniesco!!" Ledakan kencang dengan api berkobar tercipta bahkan angin bertiup membuat tubuh mereka sedikit terseret mundur, kini sang monster dilahap tornado berpadu dengan gemuruh petir serta api yang sangat panas hingga ke tulang-tulang. Raungan monster tersebut bergema, menandakan jika serangan kombinasi mereka berhasil melukainya.
"Kurasa kita berhasil---"
Suara gedubrak terdengar ketika tubuh Aalisha jatuh ke lantai dengan darah merah mengalir dari hidungnya, gadis itu berusaha untuk bangun dengan bertumpu pada lengan dan sikunya. Mylo sangat panik terutama karena Anila juga terlihat kesakitan. "Gawat, kalian harus diobati ...." Mylo mendongak dengan cepat karena melihat di antara kepulan asap. Bayang-bayang sang monster yang masih bergerak-gerak. Saat asap hitam perlahan-lahan lenyap, ia bisa melihat jika sang monster menyembuhkan dirinya sendiri, terlebih luka-luka bakar di kulitnya yang sembuh sangat cepat.
"Mons---monsternya ....."
"Mylo!" teriak Aalisha, "gendong tubuh Anila!"
Entah apakah ini adalah naluriah atau karena sang gadis De Lune memang ahli memberikan komando, maka Mylo tanpa panik, ia gendong tubuh Anila yang terkulai lemas. Lekas pula Aalisha berdiri meski ia sempoyongan, ia menemukan pijakannya dan mengikuti langkah Mylo yang berlari ke lorong lain. Sementara itu sang monster meraung sangat keras karena targetnya kabur lagi. Dengan menyerap energi Neith di sekitarnya, sang monster memperkuat keempat kakinya hingga semakin besar serta kuku-kukunya menjadi tajam, lalu seringai kecil muncul dengan deretan gigi tajam yang putih mengkilap, tanpa aba-aba sang monster melesak dua kali lebih cepat dari sebelumnya.
"Gawat gerakannya lebih cepat." Mylo berujar dengan napas memburu karena berlari sambil menggendong Anila benar-benar melelahkan.
"Zona air," ujar Aalisha, "cepat ke sana!!"
Suara raungan terdengar, lekas Mylo berlari sesuai dengan perintah Aalisha. Rasa dingin di kaki menyeruak ketika mereka menginjak lorong zona air, membuat sepatu dan celana mereka basah. Aalisha tampaknya terus memerintahkan untuk semakin menuju ke air yang dalam, Mylo hanya menuruti perintah Aalisha saja. Hingga akhirnya mereka tiba di ketinggian air mencapai paha Mylo, sedangkan sepinggang Aalisha. Mereka sudah tak bisa lebih jauh lagi jika tidak bahaya akan tenggelam.
"Selanjutnya apa?"
"Kau berdiri di belokan lorong itu, berdiam di sana dan jika monsternya datang, berlarilah cari jalan ke zona kering."
"Lalu bagaimana denganmu?" Mylo berujar lalu terdiam karena raungan sang monster memekakkan telinganya hingga berdenging. Kini mereka yakin jika monster itu hanya berjarak beberapa meter saja dari mereka.
"Aku akan menghentikan pergerakannya," ucap Aalisha.
Sejenak Mylo bimbang, ia tahu jika Aalisha pasti akan melakukan hal ini. Cukup membuat dada lelaki keturunan Cressida itu sesak sekali, ia tidak mau kalau Aalisha terluka hanya untuk menghadapi monster tersebut sendirian terutama densitas Neith di sini sangat rendah sehingga sulit bagi mereka menggunakan sihir, jika dipaksakan, maka tubuh mereka akan terluka parah, lebih mengerikannya menemui kematian. Bisakah Mylo menolak meninggalkan Aalisha? Berdiri di sampingnya dan tidak masalah jika terluka. Lagi pula bukankah sudah tugas manusia biasa dan rendahan ini mengorbankan nyawanya untuk keturunan agung terutama di hadapannya adalah De Lune Yang Agung.
"Aalisha---" Mylo menghentikan perkataannya sendiri. "Baiklah, aku akan menuruti perintahmu." Ia melangkah mundur hingga tepat di tengah-tengah persimpangan lorong.
Sementara itu Aalisha, ia berdiri beberapa meter di depan Mylo yang tengah menggendong Anila. Tampak gadis itu memasang kuda-kuda dengan kaki maju sedikit, kaki kiri mundur. Kedua tangannya sedikit naik, kiri sejajar dengan dada sementara kanan sedikit lebih tinggi dari tangan kiri. Seolah-olah sikap seorang maestro yang hendak memimpin pertunjukan orkestra-nya. Maka jari-jarinya terbuka sedikit, manik mata tertutup karena ia sangat fokus.
"Andai bisa kukendalikan monster jelek itu, pasti semuanya akan mudah, tapi labirin ini memiliki densitas yang sangat rendah, aku akan mati dalam sekejap jika memaksakan kemampuan mistisku," gumam Aalisha yang merasakan jika air tenang sepinggangnya kini mulai bergetar yang menandakan jika sang monster semakin dekat. Sejenak ia terpikirkan sesuatu. "Jika Clemence sialan yang ada di sini, pasti dia bisa membereskan monster itu dengan sangat mudah karena tempat ini cocok sebagai habitat Clemence."
Ombak kecil tercipta dan raungan terdengar ketika sang monster sudah berada di jangkauan pandangan Aalisha, lekas Mylo kabur sesuai instruksi. Sementara Aalisha masih diam saja. Betapa tenangnya gadis kecil itu padahal raungan demi raungan sang monster terdengar bergema menutupi seluruh labirin. Lalu seringai kecil sang monster terukir karena targetnya sudah di depan mata, maka dengan memusatkan Neith di kedua kaki belakangnya, monster melata tersebut menerjang sangat cepat ibarat anak panah yang dilesakkan yang membelah lautan air tersebut hingga tak tampak melalui mata, kaki depannya terangkat dengan cakar tajam hitam yang siap mengoyak tubuh mangsanya.
Apakah sang monster berhasil membunuh targetnya? Apakah takdir kematian sudah dituliskan dan Sang Malaikat Kematian turun dari langit?
"Latreia." Suara itu terdengar pelan ibarat melodi paling rendah di dunia. Sekonyong-konyongnya beberapa pentagram biru bermunculan mengelilingi mereka, tubuh sang monster yang tepat di hadapan Aalisha serta cakar tajam diayunkan ke wajah gadis itu, seketika ibarat waktu dihentikan, melesak cepat rantai tajam yang berhasil menembus cakar sang monster serta beberapa bagian tubuhnya sehingga menghentikan pergerakan monster melata tersebut.
"GRRRROOARGHHHH!!" Jeritan sang monster bergema sangat-sangat kencang hingga darah menetes dari telinga Aalisha, tetapi gadis itu tak kunjung beranjak sedikit pun karena ia gerakan kedua tangannya dengan anggun. Tiba-tiba dari arah belakang, ombak tinggi menerjang ke arah mereka, mengempaskan tubuh mereka terutama sang monster yang kini basah kuyup.
Sejenak Aalisha buka kedua matanya dan menatap sinis sang monster. "Aku tidak butuh Clemence untuk mengalahkanmu, monster jelek."
Rasa dingin menyeruak yang berangsung-angsur rantai besi milik Aalisha membeku, terus menjalar hingga ke tubuh sang monster yang kini ikut membeku pula, bahkan benar-benar menutupi seluruh tubuh monster tersebut hingga dingin menusuk-nusuk tubuhnya. Berakhirlah sang monster terjerat rantai besi serta menjadi bongkahan es yang sangat dingin dan tebal.
"Keparat." Aalisha menurunkan kedua tangannya, seraya menatap air yang tidak membeku, tetapi jadi sedikit memerah karena darah dari telinga dan mulutnya terus menetes. "Kuharap Mylo mengerti kodeku dan pergi ke tengah labirin untuk menyelesaikan teka-teki pintu ....."
Gadis itu berhenti bicara ketika ia menatap air yang bergetar, detik itu mata Aalisha membulat, ia menyadari sesuatu yang sukses membuatnya terkejut bukan main terutama terdengar suara raungan lain bergema dan tengah berlari cepat ke arahnya. "Sialan." Langkah kakinya yang lemah, tetapi berusaha ia dorong agar segera pergi dari sana. "Sejak awal, monster ini ada dua!!"
Terlambat.
Sang monster melata melompat tinggi dan cakar tajamnya berhasil mengoyak punggung Aalisha bersamaan cakar lain mencengkeram kuat leher gadis De Lune serta sekuat tenaga didorong hingga tubuh Aalisha tenggelam ke dalam air.
Detik itu takdir berbalik dan kejahatan berhasil memimpin. Aalisha berusaha sekuat tenaga melepaskan cengekraman di lehernya yang terasa sangat mencekik bahkan seolah-olah hendak mematahkan lehernya, ia meronta-ronta karena dadanya sakit akibat berusaha mencari pasokan oksigen. Ia berusaha berpikir tenang, tetapi sudah tidak bisa lagi saking tubuhnya lemas selain karena kekurangan oksigen, ia juga kehabisan tenaga terutama setelah mantra es sebelumya. Perlahan-lahan kedua tangan dan kaki gadis itu berhenti bergerak, tubuhnya melemas, hingga ia benar-benar berhenti memberikan perlawanan.
Seringai sang monster muncul, lidahnya terjulur keluar pula dan meneteskan air liur. Tangan satunya yang kosong, kini memanjangkan kuku-kuku hitamnya ibarat sebilah pedang serta diangkat dan siap untuk menusuk punggung Aalisha lalu menarik jantungnya keluar. Maka tanpa menunggu lagi, lekas tangan tersebut diayunkan hingga butuh dua detik saja untuk membunuh mangsanya.
"Celeri Micignis." Suara itu terdengar dan ledakan api yang sangat cepat menghantam tubuh monster tersebut. "Serang dia!"
Lekas Mylo melempar lembingnya, dua sekaligus dengan sangat cepat dan Anila menggunakan mantra petir untuk melapisi lembing tersebut, maka kedua lembing berhasil menembus tubuh sang monster. "Cepat bawa pergi kawan kalian!"
"Aalisha!" teriak Anila mendekati Aalisha dan menarik gadis itu, sementara Mylo cepat mengangkat tubuh Aalisha dan ia gendong di punggungnya.
"Ayo pergi," kata Mylo seraya meyakinkan Anila jika ia bisa menggendong Aalisha. Kini keduanya lekas berlari sebelum sang monster mengejar kembali, mereka mengikuti sosok penolong yang mereka kenali sebagai Melissa.
"Cepatlah!" teriak Melissa memandu jalan mereka. "Kedua monster itu tak mudah dikalahkan, mereka adalah monster kuno. Meski kini terlihat lemah, mereka sebenarnya sangat kuat."
"Makhluk jenis apa mereka?" ujar Anila. Mereka telah melewati zona air dan berada di zona salju serta berlari menuju tengah labirin, menuju pintu.
"Zidraakhen," ujar Melissa, "makhluk itu memang berasal dari kastil sihir jadi kalian pasti asing dan karena ini pula dia sangat kuat, densitas Neith juga yang membuatnya semakin kuat karena labirin ini hanya menguntungkannya bukan manusia."
"Artinya mereka mustahil dikalahkan?" ujar Mylo.
"Aku tidak tahu, tapi kalian pasti akan mati jika terus memaksa melawan mereka, jika tidak mati karena dibunuh mereka, maka kalian pasti mati karena kehabisan Neith." Tubuh Melissa perlahan-lahan buram. "Oh tidak energiku tidak cukup untuk terus ikut campur di sini. Cepatlah pergi ke pintu keluar, ingat kata-kataku tadi untuk membuka pintu tersebut."
"Baiklah," ujar Anila, "aku tahu bagaimana cara membuka pintunya. Terima kasih."
"Jangan berkata terima kasih, akulah yang sangat berterima kasih karena kalian satu-satunya harapanku." Melissa pun menghilang dari sana.
Mylo terdiam sejenak, ia masih dengan berlari sambil menggendong Aalisha. "Kita pasti bisa keluar dari sini."
"Di mana aku ...." Suara pelan itu terdengar.
Sontak Mylo menghentikan larinya. "Aalisha---"
"Kau sadar!" ujar Anila lekas mendekat dan mengalungkan tangannya di leher Aalisha kemudian mendekap gadis kecil itu yang masih dalam gendongan punggung Mylo. "Aku sangat takut. Syukurlah kami tepat waktu dan mendapatkan bantuan dari Melissa."
"Melissa?" ujar Aalisha pelan. Ia berusaha mengingat apa yang terjadi padanya; ah ya monster melata hampir membunuhnya.
"Dia tiba-tiba muncul, membantu kami untuk menyelamatkanmu, tapi karena energinya tidak kuat jadi dia menghilang lagi." Mylo menjelaskan seraya menurunkan Aalisha yang tampaknya bisa berdiri meski sedikit lemas.
"Dia juga memberitahukan kami cara membuka pintunya," ujar Anila, "kita harus kembali ke pintu itu untuk membukanya."
"Ya. Langsung saja pergi ke sana," ujar Aalisha perlahan melangkah. "Aku tak mau menunda lagi."
Mereka bertiga pun kembali melangkah, melewati zona salju ini, pijakan mereka sedikit licin. Aalisha sejenak mendengarkan penjelasan Anila mengenai monster melata yang meneror mereka, ternyata makhluk itu bernama Zidraakhen. Monster kuno yang menghuni kastil sihir. "Pantas saja aku tidak tahu jenis makhluk itu. Berdasarkan penjelasan Melissa, apakah monster itu hanya ada dua atau malah lebih dari dua?"
"Melissa tidak menjelaskan hal itu, dia hanya memberitahukan kami nama monster itu dan cara membuka pintunya," kata Anila lagi. "Bagiku sudah cukup kedua informasi itu karena paling utama adalah cara memecahkan teka-tekinya."
Aalisha mengangguk kecil. "Cara apa yang dia maksudkan?"
Hening sesaat terdengar, Aalisha masih menunggu jawaban dari Anila, tampak ia seperti enggan mengatakan kejujuran. Bisa Aalisha baca ekspresi Anila yang seolah-olah diselimuti rasa khawatir, kesedihan, dan kebingungan, tetapi ada tekad pula seperti ia memantapkan diri bahwa mereka akan keluar dari tempat itu.
"Kenapa hanya diam?" ujar Aalisha masih menuntut jawaban.
"Cara yang digunakan," kata Anila ragu-ragu, "salah satu dari kita---"
Tabrakan terjadi ketika tubuh Anila membentur tubuh seorang lelaki mengenakan seragam bangsawan mewah hingga mereka berempat terpeleset dan jatuh karena lantai licin akibat salju. Masing-masing meringis kesakitan terutama Mylo yang dadanya sakit karena jatuh tengkurap dan wajahnya menghantam lantai cukup keras, sementara tubuh Aalisha terbaring terlentang di lantai seraya meluncur pelan akibat lantai es yang licin dan membentur dinding pelan. Kini masing-masing memegangi kepala yang berdenyut dan pusing, lalu mereka menatap satu sama lain, kemudian beralih menatap sinis nan tajam berkali-kali lipat pada lelaki sialan karena muncul tiba-tiba dan membuat mereka saling bertabrakan.
"Kau!!!" Anila berteriak, tanpa pikir panjang, ia berdiri dan menarik kerah baju seraya menghantam punggung lelaki itu ke dinding. "Killian Cornelius bajingan!! Bagaimana bisa kau di sini?!"
Killian yang masih terkejut dan berusaha mencerna apa yang terjadi sini. Ia sungguh bingung pula karena tiba-tiba berteleportasi ke labirin ini, dikejar-kejar binatang melata, lalu dia mendengar teriakan seseorang, dan mencari ke arah sumber suara hingga akhirnya menabrak orang lain yang ternyata adalah Anila Andromeda, lalu ada Mylo Cressida dan ... apa yang terjadi pada De Lune itu? Ia berantakan dan lumayan terluka pula.
"Jawab aku berengsek!" Anila menghantamkan belakang kepala Killian ke dinding dengan kuat. "Kau yang membuat kami terseret kemari huh? Apa kau yang memerintahkan monster itu membunuh kami!"
"Sialan!! Bukan aku!" teriak Killian sama bingungnya juga. Apakah mereka berempat sama-sama korban. "Aku juga tiba-tiba berada di sini. Aku bersumpah jika aku bukan yang membuat kalian di sini! Aku juga berusaha mencari jalan keluar dari sini."
Gigi-gigi Anila gemeretak saking ia kesal, ia ingin sekali membunuh Killian selagi di tempat antah-berantah ini, tetapi ia masih punya rasa kemanusiaan. "Keparat!" Anila sekuat tenaga menghantamkan belakang kepala Killian ke dinding lagi hingga darah mengalir.
"Berhentilah sialan!! Aku tidak bersalah! Aku juga korban seperti ...." Killian menghentikan perkataannya ketika mendengar suara raungan sang Zidraakhen. "Hey lepaskan aku!! Monsternya mengarah kemari."
"Anila!! Lepaskan dia!" teriak Mylo, tetapi Anila masih tak mau melepaskan Killian.
"Hey Andromeda, lepaskan aku sialan!" Killian kini gemetaran karena takut. Ia tak siap mati, terutama dibunuh oleh monster tersebut. "Lepaskan aku jalang."
Mylo mulai panik juga. "Aalisha lakukan sesuatu!" Ia melirik pada si gadis De Lune yang malah duduk seraya menikmati berondong jagung. "Dari mana pula kau mendapatkan berondong jagung itu!!"
Aalisha mengedikkan bahu. "Nggak mau ikut campur."
"Oh Jagad Dewa---"
"GROAAARGHHHH!!" Suara raungan Sang Zidraakhen benar-benar terdengar jelas. Mereka berempat terkejut karena monster tersebut tepat berada beberapa meter di depan mereka dan terlihat sangat marah hingga napasnya panas berasap.
"Anila lepaskan dia, kita harus melawan monster itu." Mylo sudah siap dengan pedang dan lembingnya.
"Berengsek." Lekas Anila mendorong tubuh Killian ke lantai. "Berdiri dan bertarung juga kau, kami tidak tanggung jawab dengan nyawamu."
Killian Cornelius hanya berdecak dengan gigi-giginya gemeratak atas amarah dan rasa takut terhadap monster tersebut. Perlahan ia memanggil senjata magisnya pula, seraya berdiri dan siap bertarung.
"Aalisha," panggil Anila melirik pada si gadis kecil yang terlihat sudah lebih mendingan karena ia tadi sempat menyembuhkan dirinya dan mengkonsumsi pil penambah energi.
"Ikuti komandoku." Aalisha mengeluarkan Aeternitas-nya. "Jika membangkang, kupenggal kepala kalian terutama kau Cornelius."
Tidak ada yang berani menentang, bahkan Killian yang harus menyerahkan harga dirinya karena mengikuti instruksi dari Sang De Lune. Ia benar-benar tak punya pilihan, ia juga sudah lelah berputar-putar di labirin ini dan tak tahu cara keluar. Hendak menggunakan gelang artefaknya pun, ia tak bisa karena gelang itu menghilang. "Sialan, aku harus menutupi soal gelang itu ... aku takut. Tidak, aku kehilangan gelangnya jadi ini bukan salahku."
"Fokus Cornelius," ujar Anila.
"Aku tahu, diamlah," balas Killian.
"Jangan bertindak bodoh, kau bisa mati jika kami tinggalkan kau di sini." Anila melanjutkan dan Killian hanya diam saja. Sekali lagi, ia merasakan sesak seolah-olah ia adalah manusia yang pantas untuk dibuang.
"Bersiap," ujar Aalisha melirik tajam pada Zidraakhen yang memperkuat keempat kakinya dengan dua kaki terdepan memanjangkan kuku-kuku tajam, mulutnya tampak cahaya merah panas yang menandakan pula bahwa monster tersebut siap menyemburkan api. "Mylo lemparkan lembingmu!"
Pertarungan empat melawan satu monster dimulai. Sang Zidraakhen menerjang sangat cepat bersamaan Mylo melemparkan lembingnya, tetapi berhasil dihindari karena monster tersebut berlari melalui dinding dan langit-langit labirin ini. Hanya saja, belum tentu kegagalan bagi mereka karena Aalisha menggunakan mantra yang membuat lembing Mylo memanjang serta bercabang dan berduri, menusuk beberapa bagian tubuh Sang Zidraakhen. Lalu Anila merapalkan mantra yang membuat tubuh Zidraakhen terkena tegangan listrik yang sangat tinggi.
"Dia lebih kuat dari sebelumnya," ujar Anila karena monster tersebut mematahkan cabang-cabang lembing, sukses kabur dari sana kemudian menerjang sangat cepat, ibarat peluru ditembakkan ke arah mereka dengan cakar terbuka tajam dan mulut siap menyemburkan bola api.
"Siapkan pedang kalian," ujar Aalisha melirik pada Killian. "Tunjukkan pada kami, Cornelius. Jika kau bukanlah pengecut."
Killian menggigit bibirnya, lalu berujar, "jangan remehkan aku, kau kep---aku ini putra Marquess, jangan remehkan aku, De Lune."
Suara dentangan benda tajam saling bergesekan ketika cakar tersebut berbenturan dengan pedang milik Killian, tubuhnya terdorong saking kuatnya Sang Zidraakhen. Lalu Mylo maju dan mengayunkan pedangnya pula, tetapi monster tersebut punya gerakan yang sangat cepat, berkali-kali lipat dari sebelumnya yang akhirnya sukses menyerang balik Mylo lalu menghantam tubuh Killian.
Anila maju dengan perpaduan pedang serta serangan mantra yang berhasil beberapa kali melukai tubuh Sang Zidraakhen. Lekas pula Mylo dan Killian membantu Anila, mereka terus-menerus memukul mundur, menyayat, hingga menusuk tubuh monster melata tersebut hingga darah-darah berwarna ungu dari Sang Zidraakhen memuncrat ke mana-mana, membuat dinding dan lantai jadi kotor.
"Keparat," ujar Killian yang menahan cakar kanan Zidraakhen dengan pedanganya sementara Mylo di sisi kiri sedangkan Anila menusuk dada monster tersebut. "Penyembuhannya sangat cepat."
"Kita sulit mengalahkannya jika terus-menerus menyembuhkan diri," ujar Mylo.
"Regenerasinya melebihi monster-monster yang kuketahui." Anila lalu menyadari jika ada yang berjalan cepat ke arah mereka. "Monster kedua kemari!!"
"Biar aku yang urus." Aalisha tiba-tiba melompat dari belakang. Dengan pedang yang bercahaya biru. Ia berhasil menghentikan serangan sang Zidraakhen yang kedua. "Frigus Aquamerium!" Air dingin turun dengan cepat melalui pentagram sihir di atas kepala kedua Zidraakhen yang sukses membuat para monster basah, bahkan keempat murid Eidothea tersebut. "Anila!"
Mendengar perintah gadis kecil itu yang kemudian melompat kembali ke belakang, maka Anila merapalkan mantra yang membuat angin puting beliung kemudian mendorong ke kedua tubuh sang Zidraakhen dalam pusaran tornado, terus-menerus membawa mereka menjauh, tetapi tampaknya takkan berhasil menahan keduanya lebih lama.
"Kalian berdua pergi," ujar Aalisha pada Anila dan Mylo. "Pecahkan teka-teki dan buka pintunya. Ini perintahku."
"Baiklah, bagaimana dengan si Llama sialan ini?" ujar Mylo, "aku takut dia kabur dan kau terluka parah lagi, Aalisha."
"Hey---" Killian terdiam ketika kerahnya ditarik Aalisha kemudian diempaskan ke lantai yang basah.
"Dia harus membantuku dan mati di sini." Aalisha tersenyum manis.
"Baguslah, itulah yang kumau juga. Aalisha, jaga dirimu." Lekas Anila dan Mylo pergi meninggalkan mereka untuk menyelesaikan teka-teki dan membuka pintunya.
"Berengsek! Aku ini tetaplah putra Marquess ...." Kembali bungkam sang Cornelius ketika Aeternitas ditancapkan Aalisha tepat di lantai yang beberapa sentimeter hampir menembus selangkangan Killian, sedikit saja lagi, lelaki itu bisa kehilangan alat kelaminnya.
Perlahan Aalisha berjongkok dan menarik rambut Killian, tetapi manik mata hitamnya malah menatap pada dua Zidraakhen yang mulai bangkit kembali setelah tersapu tornado milik Anila tadi. "Killian, bukankah sudah kuperingatkan kau berkali-kali, jika kau masih saja ikut campur. Kau akan kubuat menderita seperti di neraka. Jadi terimalah takdirmu, lagi pula sudah ketentuan bahwa manusia biasa, wajib melindungi sang Keturunan Agung terutama De Lune sepertiku ini."
"Aku---" Killian merasa sakit karena Aalisha semakin menarik rambutnya dan beberapa helai rontok, lelaki itu juga gemetar karena takut jika pedang gadis itu semakin dekat padanya.
"Jangan bicara makhluk rendahan." Suara Aalisha menjadi sangat pelan seperti bisikan yang tajam dan menusuk. "Kau itu harus kuberi hukuman agar paham di mana posisimu berada."
Sekonyong-konyongnya kedua Zidraakhen menerjang ke arah mereka, maka lekas Aalisha tendang dada Killian menggunakan kaki yang diperkuat dengan Neith, sukses membuat tubuh lelaki itu terempas kuat ke arah kedua Zidraakhen yang salah satunya mengayunkan cakar dan hampir merobek dada Killian jika dia tidak refleks menangkis serangan tersebut. Di sisi lain, Aalisha menangkis cakar Zidraakhen kedua lalu ia serang dengan mantra angin kemudian berujar, "Igniesco!"
Terciptanya ledakan dahsyat tersebut membuat kedua monster melata terluka, Killian bahkan terkena imbasnya meski tidak cukup parah karena dia melompat cepat. "Sialan! Setidaknya ingatlah jika aku masih di dekat kedua monster itu."
Aalisha malah terkekeh. "Bukankah sejak awal, sudah Anila katakan, jika nyawamu harus kautanggung sendiri."
Gemeretak gigi Killian, tetapi ia tak bisa mengamuk pada Aalisha karena kedua Zidraakhen mulai menyerang kembali, kali ini mereka hadapi satu persatu dan sesekali saling bergantian bertarung karena monster tersebut juga mengkombinasikan serangan mereka satu sama lain. Terlebih karena kedua monster itu adalah makhluk sejenis, mereka seolah-olah berbagi mata karena setiap diserang dari arah belakang, Zidraakhen lain akan jadi mata pengganti dan secara naluriah Zidraakhen lain akan tahu serangan dari arah belakang tersebut. Hal ini cukup menjadi penghambat.
"Monster ini menyerap Neith sekitar, mereka semakin kuat dan densitas di sini semakin turun," ujar Killian.
"Wow, kau punya otak ya," balas Aalisha.
"Keparat! Aku ini tidak bodoh!" teriak Killian, mengapa setiap jawaban yang keluar dari mulut gadis tersebut sangat menusuk?
Pertarungan mereka terus berlanjut, terlihat yang paling terdesak di sini adalah Killian Cornelius karena entah mengapa Aalisha tampak lebih sering menghindari serangan Zidraakhen ketimbang melawan atau berniat membunuhnya. Seolah-olah gadis itu tengah mengulur waktu untuk Anila dan Mylo ataukah ada rencana lain yang hendak ia gunakan?
"Sialan!!" teriak Killian lagi, kini pakaiannya sudah robek dan darah merah menetes. "De Lune bukankah kau kuat, kenapa kau terus mengulur waktu!! Apa kau tak bisa mengalahkan kedua monster ini?!"
Aalisha melirik Killian sejenak, bukannya tersinggung, gadis kecil itu malah tersenyum tipis. "Percuma saja. Kau takkan bisa memacu amarahku dan aku tak tersinggung." Ia melompat dan menghindari serangan kedua Zidraakhen. "Lagi pula, jika aku tak bisa mengalahkan kedua makhluk ini, apalagi kau yang jauh lebih lemah dariku."
"Sudah kukatakan!! Aku tidak lemah!!" teriak Killian semakin dia marah atas perkataan Aalisha.
"Kalau begitu, buktikan," balas Aalisha.
Demi Dewa yang bertahta di Athinelon. Baru kali ini dalam hidup Killian, ia melihat seseorang tersenyum padahal tengah menghadapi monster kuno. Sungguh membuat darah Killian mendidih, ia takkan kalah dari gadis itu, dia akan buktikan jika manusia sepertinya juga mampu sekuat Majestic Families. Maka lelaki itu meningkatkan daya serangnya, ia bertarung menggunakan pedang dan dikombinasikan dengan sihir. Terus menyerang para Zidraakhen dengan cara membabi-buta bahkan tidak teratur pola serangannya karena ia diliputi amarah dan lelah. Namun, ia terus-menerus mendorong dirinya mengalahkan kedua monster tersebut.
Sayangnya Killian memang tak bisa melawan kedua monster dan berakhir terkena serangan hingga tubuhnya terpental jauh ke belakang lalu menghantam dinding di dekat Aalisha berdiri.
"Sudah kukatakan, kau lemah," ujar Aalisha terkekeh pelan, menatap pada Killian yang terduduk tak berdaya di lantai. "Aku akan membunuhmu setelah mengurus kedua monster jelek itu."
Gadis kecil itu pun berjalan maju. Hendak menghadapi kedua Zidraakhen yang kini hanya diam saja, lalu perlahan-lahan langkah gadis itu berhenti, lebih tepatnya karena terasa sangat berat. Seolah-olah ada tekanan gravitasi yang mencegah gadis itu melangkah lebih jauh atau kabur dari tempatnya. Maka detik itu, baru Aalisha sadari jika kedua Zidraakhen tengah mengumpulkan Neith. Kedua monster itu berbagi tugas, Zidraakhen pertama menggunakan sihir yang membuat target di dekatnya kesulitan bergerak. Sementara Zidraakhen kedua tengah memanjangkan kuku mereka yang kini dibalut dengan aliran Neith yang sangat kuat, serta siap mencabik tubuh mangsanya.
Tawa Killian terdengar kencang. "Terima kasih karena maju ke depan. Aku jadi selamat, kini kau akan mati di cakar monster itu."
Terdengar raungan yang kini sang Zidraakhen yang siap berlari sangat cepat ke arah Aalisha. Percuma pula ia gunakan sihir karena densitas Neith yang semakin turun membuatnya sulit menggunakan sihir tingkat tinggi. Jika ditangkis pedang pun, ia pasti akan tetap terluka oleh cakar-cakar tajam monster itu. Ia tak punya pilihan selain menanggung luka lagi, tetapi apakah gadis itu benar-benar akan pasrah saja?
"Kau benar, monster itu sudah menjadikanku target utamanya dan tak ada pilihan untukku kabur." Aalisha berujar dan sang Zidraakhen kini berlari ke arahnya. "Namun, apakah kau lupa Killian bahwa Keturunan Agung harus selalu dilindungi bahkan jika harus mengorbankan jutaan nyawa manusia. Atas inilah, penuhi sumpah tersebut."
Aalisha memusatkan Neith di kedua tangannya, serta dengan bantuan mantra berupa rantai besi yang melingkari kedua bahu Killian. Lekas Aalisha tarik kedua kerah baju Killian, tubuh lelaki itu terangkat berkat kedua rantai besi pula.
"Tunggu, tunggu, apa yang kau lakukan?!" teriak Killian.
"Menjadikanmu tamengku," ujar Aalisha.
"Tidak jangan, jangan maafkan aku, maafkan, Yang Mulia." Suara Killian semakin kencang ketika sang Zidraakhen semakin dekat. "Yang Mulia, Hamba minta maaf, ampuni aku!!"
Kedua cakar tajam Zidraakhen diayunkan ke arah punggung, sukses lelaki Cornelius itu memejamkan matanya dan siap merasakan sakit. Namun, ia tak merasakan apa pun karena cakar monster tersebut berhenti sebelum benar-benar merobek tubuhnya. Ia kembali membuka mata, melirik pada rantai besi lain yang berhasil menjerat tubuh Zidraakhen tersebut.
"Kenapa?" kata Aalisha, "kau ketakutan?" Ia terkekeh lalu berujar lagi. "Igniesco." Mantra tersebut dilancarkan, maka ledakan dahsyat terjadi dan berhasil memukul mundur sang Zidraakhen serta monster satunya ke belakang.
"Jangan menangis Killian, aku hanya bercanda .... KEPARAT!!" Aalisha lekas melepaskan Killian sehingga lelaki itu jatuh ke lantai. "Kau ngompol, sialan!! Menjijikkan!"
"Diamlah!! Bajingan! Kau gadis sialan!" teriak Killian dengan air mata jatuh, lelaki itu menangis. "Kau membuatku takut, jangan bercanda seperti itu!! Aku hampir mati karenamu!"
"Berhentilah menangis!" sahut Aalisha seraya mengusap darah yang menetes dari hidungnya dengan lengan baju. "Sialan, monster itu tak ada habisnya." Ia melirik pada kedua Zidraakhen yang kembali beregenerasi.
"GGRROOOOARGHHHH." Kedua Zidraakhen kembali meraung-raung, lalu kembali mengejar mereka.
"Cukup," kata Aalisha, "mereka mustahil mati!"
Tanpa basa-basi, gadis kecil itu lekas berlari. Killian sontak terkejut, ia tak peduli dengan celananya yang basah, segera ia berlari mengikuti gadis tersebut.
"Kenapa kau ikuti aku sialan?" teriak Aalisha.
"Kau pikir aku mau tinggal di sana!" balas Killian masih dengan air mata mengalir.
"Kita bahkan bukan sekutu!"
"Apa kau tega membiarkanku mati!"
"Sialan! Aku bisa saja membunuhmu lebih dulu!" teriak Aalisha, "ah sudahlah!!" Namun, dia malah terkekeh.
"Jangan menertawakanku!!!"
Suara raungan semakin dekat, mereka berdua semakin mempercepat lari mereka. Lalu dari persimpangan lorong, mereka melihat Mylo. "Kalian cepatlah, pintunya berhasil terbuka."
Lekas mereka bergabung dengan Mylo seraya mengikuti lelaki Cressida itu menuntun arah mereka menuju ke tengah labirin; tempat pintu keluar mereka. "Kenapa ada bau aneh?"
"Killian ngompol karena takut," balas Aalisha lalu suara tawa Mylo menggelegar.
"Oh Dewa, ada anak bayi di sini," ujar Mylo.
"Diam kalian bajingan!!" teriak Killian.
"GGRROOOAARGHHH!!" Kedua Zidraakhen semakin dekat.
Lekas ketiga bocah itu berlari semakin kencang, Aalisha sempat menggunakan sihir air untuk menghentikan lari kedua monster melata tersebut. Akhirnya mereka tiba di tengah labirin tersebut. Pintunya terbuka dengan ada cahaya putih terang di tengah sementara di pinggir ruangan, terlihat Anila tengah terbaring tak sadarkan diri.
"Apa yang terjadi padanya?" ujar Aalisha refleks bertanya.
"Ini karena pintunya---"
"Sudahlah! Nanti saja, lekas bawa dia ...."
Detik itu, sungguh tak mereka sangka, jika kedua Zidraakhen berhasil menghancurkan dinding di sekitar mereka, kemudian Zidraakhen pertama menyerang Aalisha hingga tersudutkan ke dinding, beruntung gadis itu sempat menahan cakar-cakar tajam sang Zidraakhen menggunakan pedang. Sementara itu, Zidraakhen kedua menyerang Mylo hingga terluka dan mencekik lelaki Cressida itu di dinding. Keduanya tersudutkan. Sementara Killian terjatuh di lantai yang dekat dengan Anila.
"Monster sialan." Aalisha menahan kedua cakar tersebut agar tak mengoyak dadanya. Ia memejamkan mata karena air liur monster itu jatuh ke pipinya. Sejenak ia melirik pada Mylo yang juga tersudutkan, Anila masih pingsan, hanya Killian saja yang bebas. Namun, sudah gadis itu tebak jika Killian pasti akan kabur.
"Killian Cornelius!" teriak Mylo.
Hanya saja Killian cuma diam, tak bergeming sama sekali, ia berada di antara pergulatan batin; kebaikan dan rasa dendam. Sejenak ia melirik pada si Andromeda yang tak sadarkan diri, lalu menatap pada Mylo dan terakhir Aalisha. Ia berpikir bahwa ini adalah kesempatan untuk kabur dan membiarkan mereka tiada di tempat ini. Lagi pula sejak awal ia sangat membenci mereka, terutama karena memiliki dendam besar pada sang De Lune.
Perlahan lelaki Cornelius itu berdiri. Ia menatap lagi ke pintu keluar.
Ini adalah kesempatannya untuk melihat ketiga musuhnya binasa. Ya, binasa dan takkan ada lagi saingannya di akademi Eidothea.
"Apakah benar, aku ingin mereka tiada?" Diri Killian berujar padanya sendiri.
Tangan lelaki itu gemetar hendak menggunakan mantra sihir dan menyerang Zidraakhen, tetapi tiba-tiba desisan dipenuhi kejahatan berputar-putar di kepalanya. "Kenapa harus menolong mereka? Bukankah De Lune itu pantas mati? Jika ia mati, maka Majestic Families De Lune akan binasa selama-lamanya."
"Killian!" teriak Mylo, "apa yang kautunggu!"
"Killian Cornelius, kaulebih kuat jika tak ada mereka maka inilah kesempatan yang para Dewa berikan padamu," bisikan itu terdengar semakin jahat.
Perlahan Killian menurunkan tangannya, ia tersenyum bersamaan air mata menetes maka tanpa basa-basi, ia pun berbalik dan melangkah pergi memasuki pintu dan meninggalkan mereka.
"BAJINGAN KAU!!" teriak Mylo, "sialan." Ia menangis pula. Tubuhnya semakin tersudut, daerah menetes di pelipisnya ketika kuku tajam Zidraakhen berhasil menggoresnya.
Detik itu, Mylo diam membisu saat tangan sang Zidraakhen terangkat tinggi, maka dalam hitungan detik hendak menusuk dan menembus kedua mata Mylo, tapi bukannya kematian yang ia dapatkan, kuku tajam itu berhenti persis beberapa sentimeter dari bola matanya, Mylo bergeming, keringat menetes. "Mengapa monster berhenti menyerang?"
Ia lalu menoleh ke arah Aalisha, memperlihatkan gadis kecil itu yang hanya diam, Zidraakhen kedua di hadapannya juga hanya diam pula tak menyerang Aalisha. Kini darah menetes dari mulut sang De Lune, perlahan-lahan ia membuka matanya yang sesaat bersinar keemasan. Lalu mulutnya mengucapkan suatu kata, terdengar seperti, "Latreia."
Dalam sekejap saja, Zidraakhen di hadapan Mylo mengayunkan tangannya dan kuku tajam berhasil menusuk tembus tubuh Zidraakhen kedua di hadapan Aalisha, lalu diangkatnya dan dilempar. Begitu pula Zidraakhen kedua yang juga menyerang kawannya sendiri, kini mereka saling melukai, menggores, menusuk, san mencabik-cabik tubuh mereka hingga menghancurkan organ tubuh dalam bahkan usus-usus terburai dan darah menjijikkan kedua monster menggenangi lantai. Jeritan-jeritan kesakitan ketika kedua Zidraakhen saling mencongkel mata sayu sama lain bahkan menarik lidah hingga putus.
"Aalisha," ujar Mylo dengan suara gemetar, tentu saja ia pahami jika gadis De Lune ini tengah menggunakan Kemampuan Mistis-nya dan mengendalikan kedua monster sehingga saling menyerang satu sama lain. "Cukup!! Kau sudah berdarah! Aalisha, hey! Berhenti!"
Sayangnya gadis itu tak bergeming, tak menjawab Mylo, bahkan seolah-olah tak sadarkan diri. "Kumohon berhenti!" Tanpa perlu izin dan memohon maaf sebesar-besarnya, lekas lelaki itu mendekap Aalisha dari belakang dan menutupi kedua matanya. "Cukup, kau sudah terluka parah. Cukup, Aalisha, cukup."
Tubuh Aalisha yang menegang perlahan-lahan lemas, kedua Zidraakhen berhenti saling menyerang, bersamaan Aalisha ambruk tak sadarkan diri dalam pelukan Mylo. Kini Mylo terduduk di lantai, Aalisha dalam pelukannya, air mata Mylo menetes sementara hidung dan mulut Aalisha masih mengeluarkan darah. "Dewa, tolong Hamba-Mu ini," ujar Mylo masih mendekap sahabatnya, ia juga sesak karena Anila tak sadarkan diri dan hanya Mylo yang bertahan di sini.
Butuh waktu beberapa menit bagi Mylo untuk menstabilkan dirinya, meski masih sesak dan kedua kali gemetar hebat, ia memperkuat kedua tangan dan kakinya dengan Neith, perlahan-lahan ia gendong tubuh Aalisha, lalu melangkah ke arah Anila dan ia gendong pula meski tubuh Anila sedikit terseret karena Mylo tak kuat menggendong dua orang sekaligus. Isak tangisnya keluar, tetapi ia paksakan melangkah ke dalam pintu bercahaya putih tersebut. Maka tubuh mereka pun ditelan cahaya putih dan pergi dari labirin terkutuk tersebut. Setelahnya, pintunya tertutup kembali bersamaan dinding-dinding labirin yang hancur kembali seperti semula serta Zidraakhen telah musnah.
Kini berada di tempat yang berbeda, ruangan di sebuah ruangan pengawas, tampak seseorang dengan jubah hitam tengah mengawasi. "Mereka berhasil kabur. De Lune menggunakan kemampuan mistis-nya meski di tempat dengan densitas Neith yang rendah." Ia melirik pada seseorang di sampingnya.
"Sesuai rencana, mereka berhasil kabur" balas rekannya, "kini mari lanjut ke tahap kedua."
"Ya, kurasa Para Dewa tengah berpihak pada kita." Ia tertawa kencang.
Setelahnya kedua sosok misterius tersebut, tubuh mereka perlahan-lahan. Meninggalkan banyak tanya dan rasa penasaran. Bagaimana takdir akan berjalan selanjutnya? Apakah sesuai dengan kejahatan atau kah ada takdir yang tidak terduga?
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
|| Afterword #28
Bagaimana dengan chapter kali ini^^
Eidothea termasuk sekolah yang lekas tanggap, jadi semisal ada penularan penyakit, langsung dilakukan penanganan secepat mungkin. Meski ya kadang nih akademi kumat sampai hal-hal aneh dan tak waras terjadi, tetapi mereka masih dianggap normal aja, haha.
Berbicara soal penyakit cacar, seperti yang Aalisha katakan jika ada seseorang di balik semua ini dan benar adanya, sosok jubah hitam yang masih belum diketahui identitas aslinya tengah merencanakan penyebar cacar air ini agar menjalankan misinya. Sayang sekali ya malah ketahuan bocil dan kawan-kawannya meski mereka mendapatkan sial dan terdampar di labirin empat musim.
Ada yang mau kasih salam untuk Killian? Atau mau bilang sesuatu ke Aalisha?
Prins Llumière
Sabtu, 07 Desember 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top