Chapter 38 and Open QnA

|| Before I take my shotgun dan kill you all, vote dan komen serta cari posisi ternyaman karena chapter ini totalnya 10.236 kata^^

|| Chapter ini mengandung beberapa adegan mengganggu, berdarah, dan juga emosi berlebihan. Mohon bijak dalam membaca^^

|| Ketik pertanyaan kalian di sini seputar cerita ini atau lainnya, tetapi masih berelevansi dengan cerita ini!!

Ada sebuah kalimat dari seorang pepatah dalam sebuah buku sejarah yang cukup terkenal; kalimat itu berbunyi, meskipun kita bersembunyi, takdir pasti akan menemukan kita, bahkan jika kita berlari sekencang mungkin maka takdir juga akan berlari agar dapat meraih kita. Sesaat banyak pertentangan, banyak pro dan kontra akan kalimat tersebut karena ada pihak yang setuju bahwa takdirlah yang meraih kita. Adapula yang menentang karena berpikir jika manusia lah yang harus meraih takdir tersebut, kalau ingin takdir baik maka berbuat baiklah, begitu juga sebaliknya, jika ingin takdir buruk maka berbuatlah kerusakan dan keburukan. Ah, sejak zaman dulu hingga detik ini, terus saja masalah itu diperdebatkan.

Hanya saja, terkadang ada beberapa manusia tertentu yang tidak peduli dengan kalimat para pepatah karena dianggap omong kosong. Terlebih lagi, menurut mereka entah manusia meraih takdir atau takdir itu menemukan manusia, keduanya sama saja karena sejatinya takdir memang membenci mereka. Bagaimana tidak? Keburukan, kesialan, kesengsaraan terus saja mengejar mereka bahkan jika mereka berbuat baik sekali pun, mereka akan tetap jatuh ke dalam jurang rasa sakit, hingga tubuh mereka remuk, redam, dan membiru bahkan banyak yang tiada selama-lamanya.

Pemikiran ini juga lah yang tertanam dalam diri seorang gadis kecil berumur sangat belia, memiliki rambut hitam panjang dengan tatapan kosong, mengenakan pakaian putih; kemeja dan celana panjang serta terlalu besar, tanpa kaos kaki bahkan alas kaki, padahal detik ini, anak itu tengah menginjak rerumputan hijau yang terbentang luas. Oh tidak, bukan rerumputan hijau lagi karena diperhatikan lebih jeli, jika rerumputan itu telah tertutupi darah segar, abu akibat sihir api, hingga beberapa rerumputan terpotong-potong bahkan hangus dan menghitam.

Sungguh menyedihkan karena gadis kecil itu tersungkur tak berdaya, pakaian putihnya sebagian sobek dan terdapat bercak darah, tangan gadis itu penuh luka gores yang memerah bahkan tak luput dari tetesan darah. Kedua telapak kakinya kotor dan lebam membiru serta lecet karena terlalu sering bergesekan dengan tanah. Di dekat gadis itu, tergeletak pedang panjang nan tajam yang telah menggorok banyak monster sehingga bergelimpangan di sekitarnya. Rambut panjang yang lepek dan kotor terurai, poninya pula menutupi pandangannya yang buram akibat rasa lelah menyeruak dan menggerogoti tulang-tulang kecilnya sehingga ia sulit bergerak.

Perlahan manik mata hitam gadis itu menilik pada seekor kelinci putih yang melompat-lompat mendekatinya seraya mengusap-usapkan pipinya ke tangan gadis itu. Maka tangan si gadis bergerak, menyentuh bulu lembut Sang kelinci yang tidak takut pada gadis itu padahal ia tampak seperti seorang pembunuh berantai.

"Kenapa kamu kemari?" Suaranya serak karena barangkali tenggorokannya terluka juga, terlihat ada goresan di sana. "Pergilah, aku tak bisa bermain dengan kamu. Nanti saja ya."

Tiba-tiba telinga kelinci tersebut naik ke atas saat mendengar suara langkah kaki mendekati si gadis kecil. Terlihat sesosok pria mengenakan pakaian bangsawan yang mahal, serta topeng putih-keemasan menyembunyikan wajahnya dengan sempurna. Pria bertopeng itu membuka bukunya, pena melayang menulis catatan di sana. "Mari kita lihat hasilnya, 43 menit untuk mengalahkan para monster dalam latihan hari ini. Performa Anda menurun, Tuan Putri Aalisha De Lune. Anda pasti mengingatnya, jika kelemahan dan kekalahan adalah musuh utama seorang De Lune. Kini Anda sangat mengecewakan, aku akan laporkan hasil ini kepada Yang Mulia Kepala Keluarga De Lune, dan hukuman Anda akan ditentukan setelah titah sang Kepala Keluarga dikeluarkan."

Terlihat Aalisha kecil hanya diam saja, ia tidak menjawab, tidak pula mengusap kepala si kelinci putih yang terlihat menatap kesal pada pria bertopeng.

"Kini Anda diberi istirahat selama 10 menit, lalu dilanjutkan dengan kelas politik serta kelas piano dan biola, dan malamnya ada kelas sejarah disusul dengan pemahaman akan sihir dan mantra. Sangat diharapkan agar Anda menjalani kelas dengan baik ...."

Hening karena tak ada jawaban, Aalisha benar-benar diam saja karena ia merasa kesal, ia pun enggan menjawab. Pria bertopeng menilik tajam.

"Sepertinya di saat Anda kelelahan, Anda melupakan etika seorang bangsawan De Lune," ujar pria bertopeng yang berjalan sedikit menjauh dari Aalisha. Bukunya bercahaya merah gelap, terbuka ke halaman tengah, terukir tulisan kuno, ia lalu rapalkan tulisan di buku tersebut yang bersamaan muncul pentagram sihir beberapa sentimeter di depannya, semakin membesar, sangat besar. "Selalu ingat lah, Tuan Putri De Lune, bahwa meskipun De Lune dilanda rasa sakit, amarah, kebencian, dendam, dan emosi buruk lainnya, kita harus tetap mengenakan topeng paling sempurna untuk menyembunyikan emosi-emosi itu terutama dalam menghadapi musuh kita. Karena jika kita bisa mengendalikan emosi, maka kita mampu membunuh lawan dengan mudah. Namun, kini Anda memperlihatkan emosi padaku."

Kengerian pun tergambarkan detik itu juga. Aalisha yang awalnya acuh tak acuh, kini mendongakkan pandangannya dan menatap pentagram sihir yang memunculkan seekor monster berbentuk ular atau kelabang, sebagian badannya memiliki kaki layaknya manusia. Sementara bagian badan ke atas berupa tangan-tangan panjang dengan lima jari dan berwarna hitam serta mengeluarkan tetesan cairan menjijikan, kemudian sungguh menyeramkan karena kepala dari monster tersebut berbentuk kepala badut, benar-benar menyerupai badut di pertunjukkan sirkus dengan topi merah-biru, hidung berupa bola merah, mulut terbuka lebar yang terdapat ribuan gigi kecil layaknya gigi ikan hiu. Lalu tangan-tangan badut tersebut, masing-masing membawa pisau tajam serta tombak pendek.

"Kelinci kecil," kata Aalisha, "cepat pergi." Maka tanpa basa-basi, sang kelinci lekas melompat pergi dari sana.

"Kau cerdas, Tuan Putri De Lune Yang Agung," kata si pria bertopeng.

"Dari mana kau dapatkan makhluk itu?" ujar Aalisha kecil seraya meraih pedangnya kembali.

Tangan kanan si pria bertopeng diayunkan ke samping seraya menjawab dengan sopan. "Hadiah dari Yang Mulia Kepala Keluarga De Lune."

"Oh." Aalisha kecil tampak sedih. Bagaimana bisa pria itu mendapatkan hadiah? Sementara Aalisha bahkan tak pernah menerima ucapan selamat atau apresiasi atas peningkatannya, ah jangankan ucapan tersebut, tatapan hangat saja, tak pernah ia dapatkan dari si Kepala Keluarga De Lune atau haruskah ia sebut dengan panggilan ayah.

Tampaknya Sang monster badut berjalan-jalan dengan air liur menjijikkan terus menetes dari mulutnya. "Lalu mengapa kaumemanggil monster itu?"

"Mengapa? Ini adalah istirahat 10 menit Anda, karena Anda tadi bersikap tak sopan dengan memperlihatkan emosi Anda padaku," ujar pria bertopeng, "Yang Mulia Kepala Keluarga, telah memberiku izin untuk menghukum Anda jika Anda menentang atau bersikap buruk, jadi mari mulai istirahat dan hukuman Anda selama 10 menit!"

Detik itu, Aalisha yang sudah kelelahan karena melawan puluhan monster sebelumnya serta belum pulih dari luka bahkan Neith-nya masih terkuras habis, kini semakin terpuruk karena ia harus menghindari setiap serangan dari si monster kepala badut. Gadis itu bahkan tak sempat berpikir, jenis monster tersebut atau bagaimana memahami pola serangannya karena tubuh gadis itu benar-benar kelelahan, bisa ambruk kapan saja.

Sejenak ia pikir, jika ia terkena serangan, maka hukuman ini akan berhenti karena mustahil keluarga De Lune ini rela kehilangan keturunan utamanya, Aalisha hanya ingin beristirahat karena setelah ini masih ada kelas lainnya. Bolehkah ia berharap? Sayangnya, berharap pada manusia adalah kehancuran pertama dalam hidupnya. Maka ketika pisau tajam sang monster kepala badut menusuk perut kanan Aalisha hingga darah mengucur dan membuat rerumputan memerah sempurna, ia pikir, hukuman ini akan berakhir, sayangnya tidak.

"Sialan." Tidak kunjung serangan brutal Sang monster berhenti, parahnya ia semakin menyerang Aalisha dengan cara membabi-buta. Sukses membuat pakaian gadis itu semakin sobek dan memerah akibat luka-luka mengeluarkan darah.

"Cukup." Suara gemetar itu terdengar dari gadis kecil yang tangan dan kakinya gemetar hebat. "Aku sudah lelah, aku tak sanggup lagi."

"Oh, Tuan Putri De Lune," kata si pria bertopeng. "Bukan seperti itu caranya. Anda lupa? Jika seorang De Lune tidak menerima kekalahan dan tidak pula menyatakan kekalahan karena lawan mereka lah yang harus meminta kekalahan lebih dulu karena De Lune tidak pernah kalah!"

Pertarungan semakin parah dan tak seimbang karena Aalisha kecil meski sudah menangkis setiap serangan sang monster, tetapi monster tersebut melata sangat cepat, dan menyerang dengan menyemburkan zat asam hingga membuat kulit Aalisha melepuh serta pisau tajam berhasil menembus paha gadis itu. Suara dentingan pedang terdengar ketika pedang Aalisha terjatuh ke tanah bersamaan tubuh gadis kecil itu ambruk, memegangi pahanya yang tertancap pisau. Jeritan rasa sakit melengking di lapangan rumput tersebut. Ia berusaha menyembuhkan dirinya, tetapi Neith yang terkuras habis, membuat Aalisha tak mampu menggunakan teknik sihir penyembuhan.

"Jika seperti ini saja, Anda sudah kesakitan dan terluka parah, bagaimana di masa depan nanti, apabila Anda bertemu iblis atau monster yang lebih kuat?" kata si pria bertopeng..

"Cukup! Aku bisa melawan ratusan monster, tapi tidak sekarang karena aku sudah kelelahan," kata Aalisha kecil. "Aku mau istirahat."

"Istirahat? Anda yakin? Satu menit Anda membuang waktu ...." kata si pria bertopeng dan kedua manik mata sang monster kelabang kepala badut memerah padam, bersamaan muncul pentagram hitam pekat. "Maka Anda akan kehilangan nyawa satu menit lebih cepat di masa depan nanti."

Tubuh Aalisha terdiam membisu ketika pentagram hitam sang monster semakin besar dan mulai terasa Neith yang sangat jahat dan mengerikan. Gadis itu mendorong dirinya sendiri untuk mengangkat pedangnya, membuat darah mengalir dan menetes dari ujung pedangnya akibat luka-luka di telapak tangannya. Ia berusaha memunculkan pentagram sihirnya, warna biru pudar, hendak merapalkan mantra agar melindungi tubuhnya, tetapi ia benar-benar mencapai puncaknya karena tiba-tiba saja ia ambruk lagi dan memuntahkan darah, telinganya berdenging menyakitkan hingga tak bisa mendengar sekelilingnya lagi.

"Sungguh menyedihkan," kata si pria bertopeng, "De Lune adalah mahakarya terbaik Athinelon dan Anda tidak boleh memperlihatkan kecacatan dalam mahakarya tersebut, jadi untuk saat ini, terimalah hukuman karena Anda memperlihatkan kecacatan Anda!"

Oh Dewa, Aalisha tampak berdoa, jika ia mati detik ini, ia akan menerimanya karena apa gunanya ia lahir sebagai De Lune, tetapi keluarganya sendiri yang selalu membuat hidupnya berada di jurang kematian. Jika seperti ini, buat apa ia hidup, bukankah cukup satu keturunan saja? Mengapa dahulu kelahirannya dipertahankan, tidak dibunuh sedari awal saja?

Aalisha memejamkan matanya, pasti kali ini akan berbaring di ranjang pesakitan lagi dan penuh luka serta tetap dipaksa mengikuti kelas meskipun tubuhnya luluh lantak tak bersisa. "Siapa pun tolong selamatkan aku." Ah, betapa bodohnya ia karena berdoa padahal sesungguhnya tak seorang pun akan menyelamatkannya. Bahkan ia hampir mati pun, siapa pun terutama Sang Ayah mustahil datang kemari untuk gadis itu.

Saat ia menggenggam erat rerumputan dengan tangan kanannya hingga jemarinya kotor akibat tanah serta air mata mengalir dari pelupuk hingga pipi dan jatuh ke punggung tangannya. Sekonyong-konyongnya, cahaya gradasi merah-biru bersinar terang karena munculnya pentagram sihir yang sangat besar, terdengar langkah kaki berhenti dengan sepatu hitam, tangan seseorang di arahkan tepat ke serangan sang monster kepala badut. Ketika serangan tersebut diluncurkan, tetapi mengenai pentagram merah-biru, seketika berubah menjadi ribuan dandelion yang cantik dan beterbangan akibat tiupan angin, mengelilingi mereka yang berada di lapangan tersebut.

Jentikan jari terdengar, menciptakan serangan sihir yang sangat kuat. Maka dalam sekejap saja, tubuh sang monster kepala badut meledak berkeping-keping, cairan hijau tersembur begitu saja, tetapi sebelum berhasil mengenai siapa pun, cairan beserta sisa-sisa tubuh sang kelabang berubah menjadi bunga-bunga mawar yang berhamburan di tanah lalu tercium semerbak wangi bunga merah pekat tersebut. Atas inilah, sang putri De Lune berhasil selamat dari rasa sakit.

Sementara itu, si pria bertopeng melakukan curtsy. "Hamba memberi salam kepada Yang Mulia, Kebanggaan dan Matahari Athinelon, serta Permata Keluarga De Lune, Yang Mulia Tuan Muda Aldrich De Lune."

Seolah-olah detik itu dunia berhenti sejenak. Perlahan Aalisha kecil membuka matanya, menatap pada punggung sosok lelaki yang berhasil menyelamatkannya. Tampak gagah berani, kuat nan kokoh, terbalut pakaian bangsawan yang menambahkan kesan bahwa ia begitu terhormat, meskipun begitu tidak terasa sedikit pun kesombongannya, melainkan seperti sosok pangeran berkuda putih yang menyelamatkan Tuan Putri tak berdaya atau haruskah disebut sebagai sosok kakak yang melindungi adiknya dari segala marabahaya?

"Berani sekali kau, memerintahkan makhluk menjijikkan itu melawan adikku padahal dia sudah terluka parah." Sayang sekali, Aalisha tak bisa mendengar suara Aldrich karena kedua telinga gadis kecil itu tengah sakit dan berdenging serta kepalanya semakin berat. Namun, ia yakin jika Aldrich tengah memarahi si pria bertopeng.

Senyum kecil Aalisha terukir. "Rasakan itu, jadi dimarahi oleh kakak." Ia hanya bisa bergumam karena mengucapkan sepatah kata pun tak bisa saking tubuhnya melemah.

"Hamba hanya menjalankan perintah dari Kepala Keluarga," kata si pria bertopeng, "jika Tuan Putri De Lune memperlihatkan kelemahannya sedikit saja, maka dia harus mendapatkan hukuman---"

"Persetan dengan hukuman dan kelemahan." Aldrich menginterupsi dengan tajam, manik matanya sejenak bersinar. "Adikku tidak lemah, dunia inilah yang takut padanya. Maka dari itu aku akan melenyapkan siapa pun yang berani menyakiti adikku, barang seujung jari pun."

Segalanya berjalan dengan cepat. Tidak terdengar rapalan mantra atau gerakan tiba-tiba dari Aldrich, tetapi terlihat jika sang pria bertopeng, sekujur tubuhnya bermunculan rune berwarna biru-kemerahan, lalu perlahan-lahan akar-akar hijau melilitnya yang dalam sekejap saja, tubuh pria itu pun berubah menjadi bunga-bunga dandelion yang berterbangan ditiup angin, lalu pakaian bangsawan serta topengnya jatuh ke tanah begitu saja. Pria itu tiada dengan cara yang sangat cantik.

Pandangan buram Aalisha yang kapan saja tak sadarkan diri itu masih berusaha bertahan dan menatap pada Aldrich terutama ketika lelaki itu berbalik menatapnya. Senyuman indah terukir dengan penuh kasih dan kekhawatiran, manik matanya yang sangat, sangat, sangat cantik itu sungguh menenangkan. Ia berjongkok di depan Aalisha, mendekap adiknya dengan erat, bibirnya bergerak mengatakan sesuatu, tetapi tak bisa Aalisha dengar dengan jelas suaranya. Hanya saja, ia bisa merasakan tangan-tangan hangat itu mendekapnya.

"Adikku dengarkan kakakmu ini ya," ujar Aldrich seraya menggunakan sihir penyembuhan, membuat Aalisha sedikit bisa mendengar suara kakaknya. "Tetaplah berjuang, tapi jika kau lelah, menangislah sekencang mungkin asalkan jangan menyerah karena aku ada di sini. Aku akan melindungimu, aku janji akan selalu ada untukmu, berada di mana pun, aku akan berusaha untuk melindungimu ...."

"Pembohong." Bibir Aalisha bergerak, suaranya terdengar. "Kau pembohong! Mana janji itu karena kini kau pergi meninggalkanku begitu saja! Kau pembohong!"

Tangis pun menetes bersamaan Aalisha terbangun dari tidurnya, tampak napasnya memburu, ia berusaha mengambil pasokan oksigen dengan benar, keringat menetes di sekujur tubuhnya, membuat punggungnya basah hingga ke belakang piyama tidurnya. Perlahan ia berhasil menstabilkan diri, memejamkan mata sejenak, sesaat ia menatap langit-langit kamar tidurnya di asrama, mengedarkan pandangan ke sekeliling yang terasa sunyi dan temaram karena penerangan berupa liontin. Kini ia berusaha bangun, mendorong tubuhnya dengan bertumpu pada siku, terdiam sejenak dengan memegangi kepalanya yang berdenyut sakit. Sejenak ia memikirkan kembali mimpi buruknya, merasa jika ia sudah melakukan kesalahan karena mengatakan hal buruk akibat mengigau tadi.

Kakinya turun dari kasur, melangkah menuju cermin, menatap dirinya sendiri beberapa lama terutama manik mata hitamnya yang seolah-olah tak memiliki sumber kehidupan. "Aku tidak lemah lagi." Suara Aalisha terdengar, ia memaksakan senyum. "Kini merekalah yang akan bermain untukku karena kali ini aku adalah conductor dalam permainan orkestra, mereka yang harus bermain sesuai dengan perintahku."

****

Pagi ini, Aalisha mengawali aktivitas dengan membersihkan diri dan mengenakan beberapa produk perawatan kulit terutama tabir surya karena hal terpenting dalam menjaga kulit adalah terlindung dari paparan sinar matahari berlebihan, terlebih lagi di daerah sini jika sudah matahari bersinar terik, maka benar-benar panas. Tidak heran jika cukup banyak masyarakat proletar yang terkena kanker kulit, beruntungnya pihak Kerajaan sudah mulai memberikan edukasi terkait hal ini jadi jika tak bisa melindungi diri dari paparan matahari secara berlebihan dengan menggunakan sihir, maka bisa menggunakan produk tabir surya. Lagi pula jika melindungi kulit dari sinar matahari menggunakan sihir, terlalu boros Neith.

Selesai mempersiapkan diri, masih ada waktu setengah jam lebih sebelum jam sarapan pagi, Aalisha beringsut mengambil beberapa koran surat kabar yang dibawakan oleh burung hantu pengantar surat kabar yang setiap pagi selalu datang ke kamar Aalisha. Sebagai seorang De Lune, gadis itu selalu diajarkan sejak kecil untuk selalu menyisihkan waktu entah 5—30 menit atau lebih dengan membaca berita yang sedang menghangat dalam rentang waktu seminggu atau sebulan terakhir, tentu saja berita yang dimaksud mencangkup tentang isu sosial-masyarakat, ekonomi, politik, pendidikan, dan lain sebagainya. Sehingga selain wajib menyisihkan waktu untuk membaca buku, ia juga harus membaca dan memahami berita. Hal ini dilakukan agar seorang Keturunan Majestic Families tidak apatis pada berita-berita yang terjadi di masyarakat.

Ia jadi teringat dengan perkataan salah satu guru privatnya yang mengajar di bidang politik-peperangan. "Kebodohan Keturunan Agung akan terlihat semakin jelas jika apatis terhadap isu masyarakat dan mengabaikan wawasan dalam buku."

Atas inilah tidak mengherankan jika para keturunan agung sudah dicekoki dengan berbagai macam buku dari berbagai jenis genre sedari kecil meski bahan bacaan tidak cocok untuk umur mereka, tetapi mereka harus memahaminya. Lagi pula, kematangan kecerdasan Keturunan Majestic Families jauh lebih cepat dibandingkan anak-anak non-Majestic Families.

"Tren fesyen lagi, perebutan warisan dan gelar bangsawan selanjutnya." Aalisha membaca setiap judul utama di koran tersebut seraya duduk di kursi yang mengarah ke jendela terbuka sehingga angin sepoi mengenai wajahnya. "Perampokan di mansion bangsawan, pertandingan Oulixeus antarsekolah, acara lelang dan lukisan yang terjual sangat mahal, acara berburu seorang bangsawan yang berakhir ricuh, sialan semua berita akhir-akhir ini hanyalah berita sepele."

Aalisha menggeleng sesaat, lalu ia membaca judul lain yang bertuliskan. "Salah satu perdana menteri Kerajaan Yezrovaria dihukum mati karena terlibat gratifikasi dengan seorang bangsawan Duke." Terlihat Aalisha terkekeh. "Wah jadi perdana menteri itu dan si Duke dihukum mati atas gratifikasi, padahal sudah berusaha mereka tutup rapat-rapat, tetapi berhasil diungkapkan oleh keturunan cabang Majestic Families keluarga Achelois. Yeah, orang-orang senang korupsi memang harus dibinasakan."

Sebenarnya sudah sering terjadi gratifikasi di kalangan bangsawan, kerajaan, kekaisaran, terutama oleh oknum tertentu. Gratifikasi dianggap sebagai perilaku kejahatan dan permulaan dari tindakan korupsi, perilaku ini berupa pemberian dalam bentuk apa pun---uang, barang, pinjaman tanpa bunga, fasilitas, dan lain sebagainya---kepada seseorang yang memiliki jabatan. Sehingga seseorang memberi pada orang lain yang memiliki jabatan dengan tujuan tertentu dianggap gratifikasi atau tindakan mirip dengan suap-menyuap agar ke depannya mendapatkan keuntungan.

Dalam kasus terbaru, seorang Duke memberi fasilitas berupa Kapal Terbang dan kereta kuda, hingga penginapan mahal serta sejumlah uang menggunakan jabatannya kepada sang Perdana Menteri agar suatu hari si Duke mendapatkan bantuan dari Perdana Menteri berupa anak-anaknya sang Duke bisa duduk kursi pemerintahan di Kerajaan tersebut. Sayangnya, gangguan dari keturunan cabang Achelois hadir dan kasus tersebut terungkap maka kedua oknum dihukum mati.

"Gratifikasi memang salah satu awal mula tindakan korupsi. Siapa pun yang memberikan sesuatu pada seseorang terkait jabatan dan keuntungan pribadi agar si pemberi mendapatkan balasan di masa mendatang akan dianggap gratifikasi." Aalisha berujar pada kupu-kupunya serta si burung hantu pengantar surat kabar. "Bahkan memberi hadiah, barang, atau uang pada guru pun dianggap gratifikasi terutama jika tujuannya agar mendapatkan perlakuan khusus. Alasan inilah aku enggan menerima pemberian orang-orang rendahan, toh mereka hanya penjilat dengan tujuan tertentu. Lagi pula aku sangat kaya, jadi aku tidak perlu pemberian orang lain apalagi yang membawa-bawa jabatannya. Mereka semua hanyalah makhluk rendahan." Ia selesai menuliskan surat kemudian sang burung hantu terbang membawa suratnya pergi.

Menaruh koran tersebut di atas meja, lalu meraih Capelet Cloak---jubah akademi tanpa lengan yang disampirkan atau dikaitkan di bahu atau leher ia juga mengenakan kacamata yang biasa ia gunakan. Setelah memasang knee high boots hitamnya, segera ia melangkah keluar, tak lupa mengunci pintu dan diberi teknik sihir agar menghindari orang asing memasuki kamarnya, ini hanyalah bentuk antisipasi karena mana tahu ia jika ada orang gila berusaha mendobrak pintunya, benar bukan?

Gadis itu memulai hari dengan normal bersama teman-temannya, menuju ke aula makan bersama, menikmati sarapan pagi yang sangat lezat terutama semua makanan selalu baru dimasak dan masih hangat, sangat menggugah selera. Lalu jika makan di aula makan bersama ini, terkadang disuguhi suara-suara alunan musik atau ceramah dari profesor Eugenius atau beberapa guru. Tampaknya pria tua itu sudah kembali dari urusannya dengan orang-orang Kerajaan, tetapi kali ini sangat aneh karena Arthur tidak ada, begitu pula profesor Astrophel, master Aragon, profesor Solana, bahkan profesor Rosemary juga tak ada! Jika profesor Xerxes kemungkinan takkan kembali dalam waktu dekat karena ada panggilan dari keluarganya terkait ekspedisi Zero Domain yang dilakukan oleh Majestic Family Nerezza. Sehingga profesor yang ada di aula ini serta dikenal Aalisha dan kawan-kawan hanya ada profesor Madeleine, profesor Reagan, profesor Godiva yang mengajar di tahun kedua, si profesor Prambudi sialan serta kemudian curigai, sisanya profesor yang mengajar di angkatan atas.

Sesaat manik mata Aalisha menatap penasaran dan mengedarkan pandangan, mencari-cari seseorang. "Aku tak melihat profesor Ambrosia," ujar gadis kecil itu.

"Kau benar, aku tak melihat boneka menyebalkannya juga, biasanya akan ada di salah satu kursi dengan gaun putih berenda atau duduk di pangkuan profesor," timpal Mylo.

Frisca yang tengah menikmati makanannya sambil berujar, "kudengar dari yang lain kalau profesor Ambrosia pulang ke kediaman dia karena ada acara pernikahan dari bangsawan relasi keluarganya. Rumornya juga, profesor Ambrosia lagi-lagi dilamar, tapi ujung-ujungnya ia tolak lamaran itu."

"Wow, profesor kita itu sangat berpendirian kuat ya," timpal Gilbert menggigit paha ayam bakarnya. "Jarang perempuan bangsawan terus-menerus menolak lamaran seorang pria karena kebanyakan pasti akan digosipkan sehingga terpaksa menerima pernikahan dari pada terus jadi bahan pembicaraan masyarakat sosialis."

"Profesor Ambrosia begitu karena orang tuanya juga mendukung, jika dari keluarganya sendiri tidak mendukung, pasti akan stress juga," kata Anila menatap pada Aalisha yang membuka percakapan, tapi malah diam saja.

"Aku sangat penasaran," kata Gilbert, "apa yang membuat profesor kita itu menolak lamaran terus-menerus, kalau soal usia bukannya sudah matang menikah?"

"Usia matang bukan berarti siap menikah," balas Anila.

"Pasti karena tidak ada pria yang memenuhi kriterianya," kata Mylo.

"Jawaban Mylo lebih masuk akal! Setara profesor Ambrosia yang cantik dan lahir dari bangsawan tinggi, pasti ingin nikah dengan pria yang sesuai standarnya," ujar Gilbert, "jadi penasaran tipe seperti apa yang dia mau."

Frisca berujar setelah menghabiskan minumannya. "Kuyakin bangsawan tinggi!"

"Kemungkinan setara Bangsawan Duke," kata Anila.

"Lebih dari itu," balas Frisca, "setara bangsawan Duke dari Majestic Families!"

Mereka terkejut karena tiba-tiba Aalisha De Lune tersedak makanannya, lekas gadis itu meraih sapu tangan sedangkan yang lain panik. Anila mengambil air dalam gelas dan diberikan pada Aalisha. "Kau baik-baik saja?" katanya dan Aalisha menjawab dengan anggukan kepala lalu meminum airnya. Anila meski tampak khawatir, ia menatap dengan curiga, mengapa pembicaraan profesor Ambrosia tampak sensitif? Seperti pada waktu itu, Aalisha dan Lilura pernah bertingkah aneh pula.

"Pelan-pelan kalau makan," kata Frisca.

"Dasar bocah, makan saja seperti anak bayi dan belepotan," ejek Gilbert, tentu saja candaan apalagi soal kata belepotan. Sedangkan Aalisha menatap tajam melalui kacamatanya.

"Jangan mengejek," ujar Mylo dan menyikut perut Gilbert, takut jika si gadis kecil mengacau di meja ini.

"Maaf, maaf hanya bercanda," kata Gilbert, beruntung Aalisha kembali fokus pada makanannya.

"Oh ya, apakah ada kabar, ke kota apa profesor Ambrosia pergi?" ujar Anila.

Frisca mengingat-ingat. "Aku sempat dengar dari kakak tingkat kalau ke kota Blencathra---"

Suara piring keramik retak jadi dua terdengar dan ternyata berasal dari Aalisha yang tak sengaja menekan kuat piringnya saat hendak memotong daging sapi dengan pisau. Teman-temannya terdiam menatap gadis kecil itu yang terdiam menatap piringnya.

"Apa yang kau lakukan kawan?" kata Gilbert heran, "kau merusak piring mahal yang seharga 1,000 D'Orques itu."

"Aalisha, apa kau sakit? Atau ada sesuatu yang mengganggumu?" kata Anila.

"Aku baik-baik saja," balas Aalisha, berdiri dari kursinya. "Aku mau ke toilet, kalian lanjut saja makan." Belum sempat Anila maupun yang lain berujar, gadis De Lune itu sudah menyibak jubahnya kemudian melenggang pergi.

Mereka hanya dapat menatap kepergian gadis itu dan masing-masing bingung dengan sikap aneh Aalisha. "Ada apa dengannya?" kata Mylo.

"Entahlah, aku benar-benar tak bisa menebak isi pikirannya," balas Anila.

Melangkah melewati para murid dengan Invinirium memperlihatkan sebuah catatan dari rangkuman dari informasi-informasi yang diberikan oleh Oberon---Orly Aalisha, salah satunya adalah mengenai Owen De Lune menghadiri sebuah acara bangsawan di kota bernama Blencathra!! Demi Jagad Dewa, apakah artinya pria brengsek itu berada di kota yang sama dengan profesor Ambrosia?! Ini semua hanyalah kebetulan atau kesengajaan?! Sungguh Aalisha jadi frustrasi dan bersumpah akan memukul Owen di wajahnya andaikata ia mendengar kabar atau gosip yang membahas Owen dan profesor Ambrosia atau lebih parahnya pria itu mematahkan hati Ambrosia lagi.

"Demi Dewa," kata Aalisha seraya bersandar di dinding koridor yang sepi. "Kenapa aku harus peduli pada profesor Ambrosia, salah dia jika masih saja terpesona pada pria sebrengsek Owen ... atau aku seperti ini karena aku selalu dendam pada Owen?" Gadis itu berdecak. "Cinta dan lainnya sangat menyusahkan."

Merasa sudah terlanjur berada di luar jadi ia memutuskan untuk pergi ke toilet saja, saat beberapa langkah, ia melirik ke arah dua murid perempuan yang tengah membawa buket bunga dan cokelat kemudian diberikan pada seorang lelaki dibalut jubah Faelyn dan pemilik mata ungu yang cantik. Ah, Aalisha pernah mencari tahu detail warna mata itu yang ternyata bukan ungu biasa, melainkan ungu Amethyst.

Kini senyuman si lelaki terukir saat mengobrol dengan kedua gadis yang kemungkinan kakak tingkatnya, sudah dipastikan jika pemandangan ini adalah hal normal, melihat kepopulerannya sebagai Majestic Families dari Keturunan Utama Von Havardur, terlebih siapa juga yang tidak terpesona pada wajah, manik mata, hingga kepribadian lelaki itu yang selalu hangat pada setiap orang. Bahkan sudah bisa ditebak jika buket bunga dan cokelatnya akan diterima.

"Yeah lagi pula kebanyakan dari mereka hanyalah penjilat ulung." Aalisha bergumam seraya melangkah ke arah koridor yang berbeda padahal jika hendak ke toilet harus melewati koridor di mana si lelaki Amethyst dengan dua penggemarnya berada. "Sialan aku jadi malas kembali ke aula makan dan kenapa aku merasa sangat kesal sekarang." Dia pun memutuskan pergi ke kelas langsung.

****

Jeda ke mata pelajaran selanjutnya yang diajarkan oleh Master Howard terkait habitat binatang magis, masih ada sekitar satu jam. Atas inilah, mereka memutuskan untuk pergi ke kuil yang dijaga oleh Elijah dan membahas terkait dokumen rahasia profesor Prambudi. Berada di taman dalam akademi dekat kuil tersebut serta sudah diberi barrier oleh Aalisha agar suara mereka tak terdengar keluar, tapi mereka masih dapat dilihat.

Kini ketujuh orang tersebut duduk mengelilingi dokumen yang ditaruh Anila di rerumputan, ada pula kertas-kertas kuning yang berisi tulis tangan Anila karena gadis Andromeda itu menerjemahkan tulis tangan profesor Prambudi yang sangat buruk hanya dalam waktu dua hari saja. Tunggu, mengapa mereka jadi bertujuh karena biasanya hanya berenam saja?

"Ayo sambil minum teh ini, aku baru menyeduhnya, teh ini asal benua Timur lho yang terkenal dengan padang gurun dan binatang untanya," ujar Elijah yang melayang-layang setelah ia memberikan masing-masing cangkir pada keenam murid Eidothea tersebut.

"Wow ini benar-benar enak," kata Mylo, "terima kasih sudah menyeduhkan teh ini."

"Beruntung kau di sini, aku memang sedang haus," timpal Gilbert, ia jadi berpikir untuk menyarankan ayahnya menjual teh seduh juga agar mendapat tambahan penghasilan. Tampak yang lain juga memuji Elijah, hanya Aalisha saja yang diam meskipun begitu ia menikmati tehnya.

"Bagaimana rasanya, apakah Anda menyukai teh itu, Yang Mulia?" ujar Elijah perlahan turun saat berbicara dengan si De Lune.

"Lumayan," kata Aalisha, "meski sedikit pahit."

"Aalisha tidak suka makanan atau minuman yang terlalu pahit," sambung Anila seolah-olah ia paling tahu soal Aalisha.

"Ah baiklah akan kuingat, jadi kapan-kapan akan kuseduhkan teh dengan sedikit tambahan gula alami," ujar Elijah.

"Hmm untuk saat ini, tehnya sudah cukup baik karena masih bisa dinikmati ...." ujar Aalisha, "kau berbakat membuat teh."

Semua tahu, Aalisha jarang memuji, atas inilah ketika mendengar pujian keluar dari mulut gadis itu. Lekas senyuman yang mendengarnya akan mengembang, begitu pula Elijah yang tampak sangat bahagia. "Terima kasih, terima kasih, aku sangat senang! Terima kasih kawan!"

Helaan napas terdengar, gadis itu hendak menegur karena tak suka jika dipanggil kawan oleh seorang Orly, tapi abaikan saja saat ini karena mereka kembali berfokus pada Anila yang hendak menjelaskan soal informasi yang ia dapatkan dari dokumen profesor Prambudi.

"Aku sudah menerjemahkan tulisan profesor itu yang benar-benar buruk---"

"Wow tulisannya seperti cakar tikus, sangat jelek, mengapa dia lolos seleksi jadi profesor ya." Elijah berujar dengan melayang-layang dan menatap pada dokumen tersebut. "Beruntung Nona Andromeda bisa menerjemahkan tulisan ini."

"Jangan menginterupsi," balas Aalisha, "dan kembalikan dokumen itu." Lekas Aalisha mengambilnya dari tangan Elijah.

"Mari fokus," ujar Anila dan yang lainnya menganggukkan kepala.

Maka gadis Andromeda itu mulai menjelaskan garis besarnya saja, ia berkata jika profesor Prambudi telah berhasil mendapatkan titik-titik dari gerbang teleportasi yang di antaranya adalah jembatan danau, salah satu dinding koridor---tempat munculnya cermin, kamar di asrama Gwenaelle, dan perpustakaan di Eidothea. Tidak ada penjelasan jika ada gerbang teleportasi di ruangan alat-alat astronomi.

"Ah jadi asumsiku salah," ujar Aalisha yang sebelumnya berpikir jika di ruangan tersebut ada gerbang teleportasi. "Jadi sudah pasti jika gerbangnya hanya ada empat? Dan benar asumsi kita selama ini akan keempat titik tersebut."

"Benar sekali, sepertinya profesor itu berhasil menemukan keempat gerbang ini, sayangnya ia tak punya kuncinya," kata Anila.

"Tentu saja karena dua kunci ada pada kita, satu di Killian, dan satu lagi di organisasi Alastair," timpal Mylo.

"Kalau begitu untuk apa dia cari gerbangnya kalau tidak punya kuncinya?" tanya Frisca seraya meletakkan cangkir tehnya.

"Mungkin dia berniat mencari kuncinya setelah tahu titik koordinat di mana gerbangnya," kata Gilbert.

"Wow bukankah bodoh karena mencari gerbang dulu sebelum kuncinya," sahut Elijah, "maaf ikut berdiskusi."

Aalisha menghela napas. "Dari pada memikirkan bagaimana profesor itu pusing dengan kuncinya, tidakkah ada hal lebih penting dibahas?" Teman-temannya hanya diam, hanya Anila dan Kennedy yang paham.

Baru hendak Anila berujar. Tampak Kennedy mengangkat tangannya sedada lebih dulu dan berkata, "oh menurutku, jika profesor prambudi mencari keempat gerbang yang sama seperti telah kita ketahui, artinya dia tahu akan wabah tikus, kemungkinan besar yang diincarnya jugalah wabah tikus."

"Benar sekali Cymphonique kau sangat cerdas," kata Aalisha main-main sedangkan Anila diam-diam cemberut karena ia ingin pula dipuji, sialan Kennedy mengambil pujiannya. "Dengan artian ada yang disembunyikan profesor sialan itu, seperti dia punya keterkaitan dengan wabah tikus, kalau pun tidak, dari mana dia tahu soal wabah tikus padahal sejarah kejadian ini dihapuskan pihak Kekaisaran."

Kawan-kawannya menganggukkan kepala, kini paham dengan pernyataan Aalisha sekaligus yakin jika profesor Prambudi adalah musuh mereka kini, sama halnya seperti Killian Cornelius. "Baiklah, selain soal keempat gerbang yang tertulis dalam dokumen profesor prambudi, dia juga menuliskan soal binatang melata dan berbahaya yang harus dihindari karena sulit dibunuh."

"Binatang melata? Bukan tikus," kata Mylo.

"Tidak, tertulis di sini jika ada binatang melata yang tingginya bisa mencapai dua meter lebih, berbadan besar, bersisik tebal, tubuhnya panjang, dan entahlah sisanya tidak bisa kuterjemahkan karena tulisannya sangat jelek dan tertumpah tinta. Namun, intinya makhluk ini sejenis binatang magis kuno yang sangat berbahaya." Penjelasan Anila itu sukses membuat mereka diam membisu bahkan Elijah yang melayang-layang mulanya kini duduk terdiam bak patung.

"Um," ujar Elijah, "bukankah lebih baik masalah ini diserahkan pada ahlinya saja? Kalian tidak sayang sama diri sendiri? Lagi pula mendengar binatang magis kuno sudah membuatku merinding." Sayangnya mereka hanya diam saja, entah bingung harus menyahut apa atau takut membuka mulut karena Aalisha tak suka mendengar kata menyerah dan sejenisnya.

"Elijah."

"Ya, Yang Mulia De Lune?"

"Jika kau mau masih diterima olehku. Maka kau harus tutup mulutmu dan sembunyikan rahasia ini, apa kaubisa?" ujar Aalisha.

"Tentu saja, Yang Mulia."

"Bagus." Aalisha tersenyum lalu kembali ke Anila. "Tolong lanjutkan."

Anila menganggukkan kepalanya, ia mulai melanjutkan informasi apa saja yang ia temukan dalam dokumen tersebut lalu dijelaskan kepada teman-temannya. Sayangnya tidak ada penjelasan mengenai wabah tikus dan sejarah di masa lalu, hanya berputar-putar pada tata cara profesor tersebut menemukan keempat gerbangnya menggunakan alat pembaca rasa bintang. Setelah selesai membacakan seluruh informasi tersebut, teman-temannya tampak tidak puas karena tidak ada informasi yang mereka butuhkan.

"Kupikir ada informasi sangat berguna soal sejarah wabah tikus atau siapa saja bangsawan yang terlibat," kata Frisca, "ternyata tidak ada sedikit pun."

"Oh Dewa, kita masih saja buntu," kata Gilbert, "informasi tak berguna lalu kenapa pula artefaknya tidak langsung memberitahukan kita siapa saja dalangnya?"

Mylo menatap Gilbert. "Kau berharap apa pada benda terkutuk membawa wabah tikus zombie huh?"

"Benar karena yang paling harus kita waspadai adalah artefak itu sendiri, bisa saja selama ini hanya mengaburkan pandangan kita dan membuat kita mengambil langkah yang salah," kata Kennedy.

"Jadi sia-sia saja kita mencuri dokumen profesor itu?" ujar Frisca.

"Tidak," balas Anila, "ini menguntungkan meskipun tidak ada informasi mengenai artefak dan wabah tikusnya karena berkat profesor prambudi mencari keempat gerbang ini. Maka sudah menjelaskan dengan valid jika dia memang tahu soal artefak wabah tikus dan barangkali pihak keluarganya adalah salah satu dalang yang terlibat dalam menggunakan artefak kuno ini bertahun-tahun yang lalu."

"Dia benar," kata Aalisha, terlihat jika Anila tersenyum dan menunggu pujian dari gadis kecil itu, tetapi tak kunjung Aalisha memujinya. "Saat melihat masa lalu terakhir kalinya, keluarga Balforth yang kemungkinan jadi dalang utama, lalu ada beberapa bangsawan lain yang bisa jadi salah satunya adalah leluhur profesor Prambudi."

"Bagaimana dengan Cornelius, maksudnya Killian," kata Mylo.

"Aku juga mencurigainya, tapi seperti yang telah kita ketahui jika bangsawan itu masih hidup hingga kini dan berdasarkan masa lalu yang kita lihat, para bangsawan yang terlibat dalam pemberontakan atau menjadi dalangnya telah dihukum mati pihak Kekaisaran," balas Aalisha.

"Jadi Killian ini keluarganya antara bersalah atau bukan?" ujar Frisca.

"Kemungkinan seperti itu," balas Aalisha seraya menatap Anila yang sejak tadi diam dengan wajah sedih dan cemberut. Kenapa pula gadis Andromeda itu?

Gilbert memukul tanah. "Sial, aku berharap keluarganya terlibat agar dia dan keluarganya disingkirkan."

"Kurasa sulit dilakukan karena wabah tikusnya sudah berpuluh-puluh tahun yang lalu jika Cornelius terbukti bersalah, maka mereka pasti diadili sejak lama," kata Kennedy yang membuat kawan-kawannya terdiam.

"Jadi kita harus apa sekarang?" ujar Frisca menatap kawan-kawannya terutama Anila yang tampak bersedih. Kenapa dengan si Anila ya?

Hening sesaat menyeruak, Aalisha menghela napas. "Fokus mencari informasi tentang profesor Prambudi seperti marga aslinya atau bangsawan mana ia berasal."

"Bukankah Prambudi itu nama marganya?" kata Gilbert.

"Tidak," balas Aalisha, "aku tak pernah mendengar nama itu di keluarga bangsawan, kemungkinan dia menyembunyikannya atau berpura-pura jadi masyarakat biasa tanpa gelar bangsawan."

"Okeee!" Gilbert lekas berdiri. "Soal ini serahkan pada kami berempat." Ia melirik pada Elijah, Kennedy, dan Frisca. "Kami akan mencari tahu soal profesor itu dan kalian fokuslah pada hal lain."

"Kalian yakin?" Mylo mengangkat satu alisnya.

"Ya jangan remehkan kami jika mencari informasi seperti ini," sahut Frisca, "aku pandai bergosip dan Elijah juga di sini, dia bisa bertanya pada para Orly yang sudah bekerja bertahun-tahun di sini, benar bukan?"

Elijah menganggukan cepat. "Sangat benar! Aku benar-benar semangat! Seperti kita adalah detektif!"

"Ya, kuserahkan pada kalian," kata Aalisha.

"Oke ayo pergi—" Perkataan Gilbert terpotong oleh Elijah. "Ada apa?"

"Aku harus menggunakan penyamaran, bukankah kita seperti detektif yang hendak menyelidiki misteri-misteri dan memecahkan teka-teki?" Maka dengan sihirnya, pakaian Elijah yang semula pakaian bangsawan kini berangsur-angsur menjadi pakaian ala-ala detektif yang berwarna cokelat, topi cokelat, serta membawa tas selempang dan kaca pembesar bulat.

Helaan napas Aalisha terdengar, sedangkan yang lain tercengang karena Elijah dengan mudah mengganti pakaiannya, ah jika Anila hanya diam saja. Gilbert berucap, "aku ingin segera mempelajari sihir mengganti pakaian seperti itu! Kurasa akan hemat cucian jika bisa menggunakannya setiap hari."

"Bodoh," tukas Aalisha seraya menyesap tehnya. "Itu termasuk sihir, takkan bertahan lama, bahkan jika terlalu lama kau gunakan hanya akan membuat Neith-mu terkuras habis. Jadi jika kau sudah kelelahan, pakaianmu akan kembali ke bentuk pakaian aslimu."

Gilbert berdecak sebal, sedangkan Frisca dan Mylo terkekeh. Kennedy hanya tersenyum kecil. "Kau bodoh," balas Frisca, "konsep dasar itu saja tak kaupahami."

"Diamlah!" Gilbert wajahnya memerah sesaat.

"Nanti saja bahas soal fesyenku ini!" ujar Elijah, "lekas mulai misi kita."

"Iya, iya, kok jadi kau yang bersemangat," ujar Frisca yang setelah beberapa percakapan kecil, mereka berempat pun pergi mencari informasi mengenai profesor Prambudi; masing-masing berdoa pula agar mendapatkan petunjuk meski hanya selarik pantun saja.

"Baiklah, serahkan pada mereka," kata Mylo, "kurasa kita harus memikirkan rencana selanjutnya bukan?" Ia menatap Aalisha lalu pada Anila yang malah berdiri.

"Entahlah, aku lelah mau cari minuman dulu di kantin rumah pohon." Pergi begitu saja si gadis Andromeda, sementara Aalisha menaikkan satu alisnya dan Mylo menatap bingung.

"Kenapa dia?" ujar Mylo.

Aalisha tentu saja tahu alasannya. "Dia pasti kehausan."

"Kau lupa ya sejak tadi kita diskusi sambil minum teh buatan Elijah?" balas Mylo.

"Ah yeah ... entahlah kenapa dengan dia," balas Aalisha acuh tak acuh sedangkan Mylo hanya menghela napas panjang dan menepuk dahinya.

Waktu berlalu, tampak tiga murid dan satu Orly tengah sibuk memainkan peran mereka sebagai detektif dan berusaha tak terlihat mencurigakan, beruntungnya tiga dari mereka pandai bergosip terkecuali Kennedy yang masih kaku jika berhadapan dengan orang lain. Padahal dia adalah putra Marquess Cymphonique!

Mereka benar-benar bermain dengan cukup sempurna, mengapa tidak? Karena di balik layar ada Sang De Lune yang secara tak langsung membuat mereka jadi belajar bagaimana caranya mengenakan topeng dengan sangat sempurna. Layaknya sebuah pepatah mengatakan "jika berteman dengan seseorang yang memiliki wangi lemon, maka kita juga akan memiliki wangi yang sama", sehingga tak mengherankan bagaimana Gilbert dan lainnya terpengaruh dengan pola pikir Aalisha.

Penyelidikan mereka tertunda sejenak karena ada kelas profesor Solana, tetapi mereka sangat beruntung karena sudah mendapatkan beberapa informasi dari para Orly, Elijah benar-benar sangat membantu terlebih dia sangat semangat dengan peran detektifnya. Setelah kelas usai sekitar pukul tiga sore, Aalisha, Anila, dan Mylo pergi ke kuil lagi sementara Gilbert dan Elijah melanjutkan mencari informasi dengan bertanya ke kakak tingkat sementara Frisca dan Kennedy tengah bersama profesor Solana.

"Kalian bertanya tentang profesor Prambudi?" kata profesor Solana yang terlihat menuliskan nilai praktikum hari ini sementara Kennedy dengan Frisca membantu membersihkan alat-alat praktikum. "Mengapa kalian ingin tahu tentangnya?"

Alasan mereka bertanya kepada profesor Solana karena wanita ini baik dan tidak mudah curiga, berbeda dengan profesor lain terlebih yang seperti master Arthur, profesor Rosemary, atau profesor Madeleine yang pasti akan mencurigai mereka. "Waktu itu kami bertemu dengannya, terus kebetulan kami hendak mengenal para guru lain selain di angkatan kami," kata Frisca.

"Benar," balas Kennedy, "waktu itu aku pernah dengar dari kakak tingkat jika mereka berkata bahwa profesor prambudi, nama terakhirnya itu bukanlah marga. Jadi penasaran."

Mereka berdua sejujurnya takut karena tidak pandai berkata-kata, tetapi profesor Solana terlihat biasa saja. "Ah ya, dulu kakak tingkat kalian juga pernah bertanya tentang dari mana profesor Prambudi berasal karena tidak ada yang pernah mendengar nama marganya, tapi perlu kuberitahu pada kalian jika dia memang tak punya gelar bangsawan."

Berada di sisi lain, Gilbert dan Elijah tengah mengobrol dengan master Howard yang sibuk memberi makan para binatang magis, tampak pula Gilbert dan Elijah turut membantu. "Jadi maksud Anda, profesor Prambudi tak punya gelar bangswan?" ujar Gilbert.

"Benar sekali, sama halnya sepertiku, aku bukan bangsawan hanya masyarakat biasa yang bekerja di sini sebagai guru," kata master Howard, "Elijah tolong terbang dan beri makan burung-burung Amadeo yang bersarang di pohon itu."

"Siap!" kata Elijah seraya membawa ember berisi cacing tanah.

"Jadi nama Prambudi itu bukan marga bangsawan?" ujar Gilbert lagi.

Howard menganggukan kepalanya. "Bukan, setahuku itu hanya namanya; Conor Prambudi, tidak ada marga bangsawan karena dia bukan bangsawan bahkan setahuku, dia tidak punya gelar Baron juga sebagai gelar bangsawan paling rendah."

Di sisi lain, obrolan terus berlanjut bahkan Frisca dan Kennedy terkejut saat mendengar penjelasan profesor Solana jika profesor Prambudi bukanlah bangsawan. "Berapa lama dia mengajar di sini?" kata Frisca.

"Tidak terlalu lama bahkan belum sepuluh tahun, mungkin sekitar tiga atau empat tahun, tapi setahuku pernah sekitar beberapa bulan, tidak bisa mengajar karena ada kepentingan lain di luar akademi," jelas profesor Solana, "tuan Cymphonique, tolong susun plastik bubuknya berdasarkan warna pada kotaknya."

"Tentu saja Profesor," balas Kennedy, sejenak ia memikirkan harus mengulik informasi apa. "Apakah sejak dulu, profesor Prambudi tidak punya gelar bangsawan atau gelarnya tidak dapat diturunkan semisalnya diturunkan ke saudaranya jadi Beliau tidak dapat gelar bangsawan?"

"Pertanyaan bagus, hal itu bisa saja terjadi, tetapi pernah ada rumor kalau profesor Prambudi memiliki keluarga bangsawan, sayangnya dia mengubah namanya dan um ... seperti melepaskan nama keluarga bangsawannya, tapi ini hanya rumor dan tidak diketahui juga alasan dia melakukan hal itu," jelas profesor Solana.

Perkataan tersebut sukses membuat Kennedy dan Frisca terdiam membisu sementara di sisi lain Gilbert dan Elijah juga terkejut saat mendengar penjelasan master Howard mengenai profesor Prambudi yang pernah mengubah nama.

"Tunggu, aku pernah dengar rumor dari beberapa Orly," kata Elijah, "kalau profesor itu membuang nama bangsawannya, maksudnya menyembunyikan marga aslinya."

Master Howard menganggukkan kepala. "Oh ya, pernah ada rumor itu juga, mereka berkata jika sebenarnya profesor Prambudi tak mau menggunakan nama marga aslinya karena hendak menghapus jejak kesalahan dari keluarganya. Lumayan banyak bangsawan yang melakukan hal ini terutama jika keluarga mereka terlibat kasus, lalu keturunan selanjutnya tidak mau dikaitkan dengan masa lalu atau kesalahan keluarganya maka mereka membuang marga tersebut atau disembunyikan."

Detik itu layaknya ada gong ditabuhkan sekencang mungkin di telinga mereka berempat, meski berbeda tempat, mereka masih di waktu yang sama dan sama-sama mendengar penjelasan dari dua guru berbeda mengenai profesor Prambudi. Lalu secara bersamaan, Frisca bertanya pada profesor Solana, dan Gilbert bertanya pada master Howard, mereka berucap, "apakah Anda tahu masa lalu apa yang hendak disembunyikan profesor Prambudi?"

Sayangnya gelengan kepala yang mereka dapatkan. "Seharusnya pihak sekolah tahu, karena para pengajar di sini harus diketahui asal mereka, identitas, sampai informasi soal keluarga demi menjaga nama baik akademi, tetapi informasi ini hanya diketahui kepala sekolah, wakil kepala sekolah, dan beberapa staf akademi tertentu, para pengajar takkan tahu."

Para murid itu menganggukan, masing-masing mendengar penjelasan dari guru mereka. Lalu di sisi Frisca dan Kennedy, terlihat profesor Solana berucap lagi, "hal ini dilakukan demi menyembunyikan aib manusia. Terutama akan menyedihkan jika aib yang sudah mereka sembunyikan dan mereka hendak menjadi lebih baik, tetapi aib mereka malah tersebar di kalangan murid, yah meski rumor-rumor tak berhenti bertebaran."

Mendengar penjelasan tersebut, sukses membuat Frisca, Gilbert, Kennedy, bahkan Elijah membatin. "Duh mati sudah, terulang kembali kejadian profesor Zahava dan Hesperia karena mereka berbohong soal identitas asli mereka."

Hari ini benar-benar melelahkan, meskipun tidak dilanda rintangan seperti pertarungan, hanya mencari informasi saja, tetapi sangat melelahkan, karena selain terkuras energi maka terkuras pula akal pikiran. Namun, mereka benar-benar harus mendapatkan informasi ini dengan cepat, berleha-leha satu menit saja maka yang dipertaruhkan pertama kali adalah nyawa mereka lalu dilanjut kehancuran akademi ini. Selesai mencari informasi, mereka kembali berkumpul di taman dalam akademi di dekat kuil yang dijaga Elijah atau sebut saja Markas Elijah karena lebih mudah diingat.

"Kau mau ke mana?" kata Anila Andromeda yang suasana hatinya kembali baik, ia tak bisa marah terlalu lama pada Aalisha, meski masih sakit hati karena gadis kecil itu tak memujinya seperti dia memuji Kennedy.

"Toilet, kalian lanjut saja," ujar Aalisha melangkah pergi dan teman-temannya hanya menatap sejenak, lalu berdiskusi kembali.

Barangkali karena sudah sore hari jadi koridor sepi bahkan bisa dihitung jumlahnya dengan jari, meskipun begitu, mereka masih memberikan salam penghormatan ketika Aalisha melangkah melewati mereka. Kini ia berharap jika kamar mandi sepi karena enggan bertemu dengan orang lain. Tiba di kamar mandi, benar saja memang sepi, banyaknya bilik toilet yang pintunya terbuka, memberi tanda jika tak satu pun ada yang di sini kecuali si gadis De Lune. Maka setelah ia mencuci tangan dan membasuh wajah, serta merapikan rambutnya, ia menatap ke arah cermin, sejenak ia berdiam diri, entah merenung atau memikirkan banyak hal terutama mengenai identitas profesor Prambudi yang mencurigakan.

"Aku tak mengundang tamu mana pun hari ini." Detik itu, suara Aalisha terdengar dingin bersamaan kabut putih muncul di sekelilingnya dan tepat di cermin, muncul seorang pria berwajah pucat, beberapa luka di wajahnya, serta ia tahu siapa pria itu. "Apa maumu, Benjamin Seymour?"

"Kumohon, tolong selamatkan kami dan akhiri semua penderitaan kami."

Aalisha tidak berekspresi; tidak takut, tidak pula terkejut, ia paham pula jika yang tengah ia lihat adalah masa lalu karena detik ini di Invinirum-nya, ia memang membawa liontin dan buku emas. "Aku tak pernah berniat menyelamatkan makhluk rendahan seperti kalian. Tidak ada untungnya bagiku."

"Kumohon, tolong selamatkan kami dan akhiri semua penderitaan kami."

Aalisha berdecak, "kau hanya mengulang kembali perkataanmu. Lagi pula kembalilah ke surga atau neraka, untuk apa yang tiada meminta bantuan pada manusia yang masih hidup?"

"Kumohon, tolong selamatkan kami dan akhiri semua penderitaan kami."

"Enyahlah," balas Aalisha hendak melangkah pergi dari sana, tetapi tubuhnya terpaku dan ia tak bisa menggerakan kedua kakinya. Ia benar-benar harus melihat seluruh memori masa lalu ini. "Oh memori sialan."

Seketika kegelapan menutupi, perlahan Aalisha menatap ke cermin lagi yang kini penerangan temaram dari lentera menghiasi sekeliling kamar mandi ini, lalu terdengar suara tangis di belakangnya. Terlihat seorang gadis dibalut seragam asrama Gwenaelle tengah menangis tersedu-sedu seraya memangku seorang pria yang tubuhnya lemas, bersimbah, darah, dan napasnya tidak teratur. Ada bekas tusukan pedang di dada, sayatan di perut, bahkan goresan di lehernya. Bisa ditebak siapa gadis dan pria tersebut yang tak lain dan tak bukan adalah Rosie Balforth dan kekasihnya, Benjamin Seymour yang berada di ambang kematian.

"Mereka mengambil segalanya dariku, kumohon, bantu aku." Suara Rosie sangat serak, air mata mengalir di pipinya hingga jatuh ke dahi Benjamin yang sudah tak sadarkan diri. "Aku sudah berusaha melakukan segala hal, tapi aku terlalu lemah."

Aalisha hanya diam saja, melirik sinis melalui pantulan cermin yang memperlihatkan Rosie tengah menatap Aalisha. Bibir Rosie Balforth gemetar dan berujar lagi. "Aku bisa kehilangan banyak hal, tapi tidak dengan orang-orang yang kucintai dan juga akademi ini."

Mulai terdengar jeritan-jeritan, bersamaan api berkobar yang dari cermin Aalisha tatap, diperlihatkan kericuhan di mana-mana; mansion besar diserang dan dibakar, banyak prajurit dan kesatria terbunuh, tubuh mereka bergelimpangan di mana-mana.

"Eidothea adalah rumahku, satu-satunya tempat tuk aku pulang dan aman, tetapi kini mereka telah membawa wabah itu kemari untuk menghancurkan segalanya," ujar Rosie kembali.

Suara berdebum terdengar sangat kencang, memori memperlihatkan bagaimana kastil-kastil besar milik para bangsawan hancur dan menimpa banyak warga tak bersalah. Langkah kaki kuda yang sangat kencang, mencongklang tak terkendali bersamaan sesosok pria berjubah hitam dengan tangan kanan mengangkat sebuah artefak dengan tulisan kuno di badan artefak bersinar merah pekat. Lantunan mantra yang tidak jelas bergema di sepanjang jalanan sebuah perkotaan yang sebagian sudah hancur lebur dan dimakan si jago merah. Tiba-tiba melalui lubang-lubang tanah hingga lantai-lantai kayu, ribuan tikus keluar, bak banjir bandang dengan ombak mengamuk-ngamuk perlahan menggergaji segalanya yang berada di hadapan mereka.

Pemandangan yang sangat mengerikan, para tikus menenggelamkan warga yang berada di desa tersebut, mati karena tubuh mereka digerogoti; masuk ke mulut dan merobek lidah, menggigit telinga, badan mereka, hingga tiada. Namun, perlahan-lahan para warga yang digigit tikus-tikus tersebut, bangkit kembali dengan manik mata merah dan berjalan sempoyongan, tampak mereka sepenuhnya telah menjadi mayat hidup yang mulai menyerang warga lain, mencakar dengan kuku-kuku mereka hingga menggigit leher. Kengerian semakin meningkat ketika terompet-terompet ditiupkan bersamaan panji-panji dari Vigillium Eques berdatangan, lekas para kesatria Kekaisaran tersebut menebas kepala para warga yang telah menjadi mayat hidup, serta mereka bakar seluruh para tikus dengan teknik sihir.

"Mereka tak pilih kasih." Suara Rosie Balforth terdengar, terlihat gadis itu kini berdiri persis di belakang Aalisha. Melalui pantulan cermin, si De Lune bisa melihat rambut Rosie yang berantakan dan bercak darah di wajahnya. "Demi mencegah wabah semakin menyebar, mereka harus melenyapkan segalanya tanpa memandang apakah ada warga yang sudah terinfeksi atau tidak. Menghanguskan semuanya hingga ke titik terendah."

Rosie mengacak-acak rambutnya, beberapa helai rontok, ia menangis tersedu-sedu, suaranya makin serak dan tak jelas. "Namun, dari semua rasa sakit itu, aku tidak menerima ketika mereka merenggut kekasihku!!! Merenggut masa mudaku dan segala-galanya!"

Suara percikan api terdengar, semakin keras dan rasa panas seolah-olah menyentuh kulit Aalisha pula. Mata gadis itu menatap sinis ke cermin yang memperlihatkan Benjamin Seymour yang kedua tangan dan kakinya diikat di tiang besi, tubuhnya basah, tetapi bukan karena air, melainkan bensin karena tercium bau bensin yang sangat menyengat, lalu seorang pria misterius membawa obor api, mendekat ke arah Benjamin.

"Jangan!! Kumohon jangan bunuh dia!" teriak Rosie Balforth yang berusaha mencegah kematian kekasihnya, tetapi dua orang dengan jubah hitam pula menahan kedua tangannya. "Demi Dewa, aku bersumpah takkan memaafkan kalian semua, tolong jangan bunuh dia, dia kekasihku! Masa depanku! Dunia dan semestaku, jangan bunuh dia!"

Sayangnya kobaran api membesar, melahap kaki Benjamin, menjalar ke tubuh atasnya, hingga memakan pria tersebut dan tak bersisa. Hanya senyuman tipis nan tulus saja yang sempat ia berikan pada Rosie Balforth, sebelum tubuhnya meleleh, menghancurkan tulang-tulangnya, serta tiada menjadi abu yang tertiup angin. Detik itu, Rosie Balforth kehilangan dunianya, tubuhnya luluh lantak akibat melihat kematian kekasihnya.

"Mengapa ... mengapa harus pria yang kucintai? MENGAPA HARUS PRIA YANG KUCINTAI! WAHAI PARA DEWA YANG BERTAHTA DI SELURUH ATHINELON!" Pandangan Rosie Balforth buram setelah ia merasakan sesuatu menusuk lehernya serta cairan aneh mengalir ke saraf-sarafnya. Tubuhnya pun ambruk ke lantai, tak mampu ia gerakan jarinya sedikit pun, hanya air mata yang mengalir deras, dan kesadarannya benar-benar hilang sepenuhnya ditelan kegelapan dan rasa sakit tak berujung.

Sejenak Aalisha tak bisa melihat apa pun, lalu lentera menyala kembali. Kini adegan yang ia lihat adalah masyarakat dari kaum proletar hingga bangsawan menengah yang beberapa tengah membawa pedang, mereka berteriak-teriak di depan sebuah mansion seorang bangsawan tinggi yang kemudian mereka bakar. Teriakan para masyarakat yang tengah berdemo itu terdengar seperti, "bunuh sang pengguna sihir terlarang! Bunuh dan habisi mereka semua karena membawa wabah ke desa ini dan merenggut banyak nyawa! Jangan sampai tersisa keturunan mereka, sedikit pun!"

Kobaran api membesar dan sukses membakar mansion tua nan besar tersebut. Di sisi lain, menatap tanpa ekspresi, Aalisha menebak jika mansion yang dibakar adalah bangsawan yang menjadi dalangnya atau hanya terkena tuduhan saja.

"Mereka mengambil segalanya dariku." Suaran Rosie Balforth terdengar. "Aku lebih memilih untuk mati dan menyusul kekasihku, tapi kenyataannya, penderitaanku tidak berhenti sampai di sana."

Aalisha bisa merasakan sepoi angin berembus membalut tubuh dan helaian rambutnya, ia melihat adegan berbeda di cermin tersebut. Beberapa warga tengah mengenakan borgol rantai besi, mereka berjumlah sekitar sepuluh orang dengan dua anak-anak, enam orang dewasa, dan dua remaja yang salah satunya adalah Rosie Balforth. Tampak pakaian mereka sangat lusuh, tak mengenakan alas kaki. Mereka dituntun oleh seorang kesatria berzirah putih melalui jalan setapak di sebuah rerumputan, melewati sungai kecil, bebatuan, dan hutan rindang selama berhari-hari, sejenak mereka akan beristirahat dengan memakai perbekalan seadanya bahkan hampir busuk.

Setelah tiba di sebuah daerah antah-berantah, sang kesatria melepaskan borgol besi kesepuluh orang tersebut, lalu membungkuk sesaat, kemudian pergi meninggalkan mereka semua yang kini terdiam membisu, menatap sekitar, memperhatikan seberapa tandus nan gersang tempat ini, bahkan danau yang tercemar dan hitam serta kotor. Langkah kaki terdengar saat Rosie Balforth mengedarkan pandangannya yang lebih jauh karena tidak satu pun ada rumah warga yang berdiri di tanah antah-berantah ini. Air mata perlahan mengalir di pipinya, kini ia tahu akhir dari semua penderitaannya ini yakni sebuah kesengsaraan tak berujung yang terus menggerogoti tubuhnya, ya ia diasingkan dari Kekaisaran Ekreadel, alih-alih dibakar hingga jadi abu seperti kekasihnya, ia diasingkan bak binatang yang dilepaskan ke alam liar.

Tubuh kurus Rosie Balforth gemetar, ia tertunduk dengan kedua lututnya lebih dulu menyentuh rerumputan gersang, ia dekap tubuhnya dengan kedua tangannya sendiri, hingga dahinya juga menyentuh tanah. Rosie pun menangis sejadi-jadinya pada detik itu. Perlahan-lahan terdengar suara di gendang telinga Aalisha. "Apakah Anda tahu, apa yang lebih menyakitkan dari kematian?"

Aalisha mendongak sejenak, tetapi tidak ada ekspresi kentara di wajahnya, ia benar-benar tidak merasakan kesedihan. Rosie Balforth berujar dengan air mata menetes. "Yang lebih mengerikan dari kematian adalah kehilangan---"

Perkataan itu terhenti bersamaan darah-darah menetes ke wastafel melalui telapak tangan kiri Aalisha, sungguh tak disangka karena gadis kecil itu menusuk telapak tangannya sendiri dengan besi kecil tajam yang ia munculkan melalui teknik sihir. "Cukup, aku tidak meminta kaumenjual kisah menyedihkan, tidak sedikit pun."

Atas rasa sakit yang menjalar ke tubuhnya, penglihatannya akan memori masa lalu Rosie Balfort berangsur-angsur menghilang. Aalisha kembali menatap cermin yang sudah tidak ada Rosie maupun kejadian mengerikan penyerang wabah tikus atau kematian Benjamin Seymour. "Menyebalkan." Ia berujar pelan, menunduk, memperhatikan telapak tangannya yang masih meneteskan darah. Lekas ia gunakan sihir penyembuhan, setelah lukanya berhenti mengeluarkan darah, ia putar keran air kembali dan membersihkan sisa-sisa darah termasuk yang ada di wastafel tersebut. "Beruntunglah hanya sekadar memori, aku tidak berteleportasi ke kastil sihir."

Sungguh mengerikan karena meskipun sudah melihat serangkaian memori yang sadis nan kejam serta menyayat hati tersebut, sang De Lune tidak menunjukkan ekspresi apa pun seolah-olah ia memang enggan berempati ataukah semua ini hanyalah topengnya seperti biasa?

Melangkah di koridor yang semakin sepi, ia melirik ke Cyubes yang memperlihatkan pesan dari Anila bahwa dia dan teman-temannya sudah kembali ke asrama. Tanpa basa-basi, ia berbelok ke koridor yang berbeda, niatnya hendak melewati taman dalam akademi untuk memotong jalan, tetapi langkahnya sontak terhenti ketika dari jarak pandangnya. Dia melihat seorang lelaki tanpa dibalut jubah Faelyn-nya, tengah menerima sebuah surat dari burung hantu. Sejenak manik mata gadis itu memperhatikan lelaki tersebut, menilik kontur wajah tampan serta manik mata ungu amethyst-nya.

Aalisha berdecak. "Mengapa dia sangat membuatku kesal." Enggan ia bertemu dengan lelaki itu, lekas Aalisha berbalik pergi, terlebih dia teringat kejadian sebelumnya. Saat si lelaki mata ungu amethyst menerima banyak hadiah setiap harinya dari para gadis.

"Aalisha De Lune." Sayangnya, takdir paling senang mempermainkan gadis kecil itu. Layaknya detik ini ketika sang pemilik mata ungu tiba-tiba berada di hadapan Aalisha, tersenyum, seraya melakukan curtsy. "Ternyata kau masih di sini. Bagaimana kabarmu akhir-akhir ini dan senang bertemu denganmu."

Lirikan mata Aalisha tajam pada keturunan utama Von Havardur ini, Nicaise Von Havardur. Sejenak terlintas di kepala Aalisha mengenai perbedaan utama antara Nicaise dengan Athreus. Cara lelaki ini berbicara pada Aalisha lebih terkesan sopan dan juga lembut, tidak penuh kejenakaan dan trik-trik sialan serta tidak menggunakan julukan aneh pada Aalisha. Terkadang saking suara Nicaise sangat lembut dan pelan, membuat Aalisha jadi tidak terlalu mendengarnya, terlebih lagi hal yang tak ia pahami seperti degup jantungnya jadi lebih cepat. Semakin saja, gadis itu tidak bisa mendengar suara Nicaise dengan jelas. Berakhir ia selalu mengiyakan perkataannya atau mencari cara untuk kabur saja.

"Aalisha," panggil Nicaise, tetapi tidak kunjung Aalisha menjawab karena tampak melamun. "Aalisha De Lune."

"Ya?" balas Aalisha.

"Kau melamun," ujar Nicaise sementara Aalisha mengutuk dirinya sendiri karena bersikap seperti ini pada Nicaise. Sungguh sangat memalukan.

"Tidak." Gadis itu berusaha mencari-cari alasan. "Aku tengah memikirkan harus memukul wajahmu di bagian mana jika kau menyebalkan seperti Athreus."

"Wow wow, tolong jangan samakan aku dengan Kieran Zalana yang gila itu," balas Nicaise.

"Kalian berdua sama saja, sama-sama gila, lupa ya, kalian selalu mencari celah di pertandingan Oulixeus agar bisa bertarung satu sama lain supaya mendapatkan peringkat pertama." Bajingan, bajingan, bajingan. Gadis itu tidak tahu harus membahas apa karena degup jantungnya tak karuan ini terutama ia masih dilanda kesal pula.

Nicaise terkekeh. "Baiklah, baiklah, aku mengaku kalau kami berdua sama-sama gila, tapi jujur, aku jauh lebih tidak berengsek dari pada Athreus."

"Apa kau bodoh?" balas Aalisha, "berengseknya seseorang atau tidak, yang menilai adalah orang lain, bukan diri sendiri. Lagi pula kau itu berengsek terutama selalu menerima hadiah dari banyak orang seolah-olah kaumenerima mereka semua."

"Hadiah?" kata Nicaise sejenak berpikir, "ah jadi benar kau yang melewati koridor saat dua kakak tingkat berbicara denganku?"

"Aku hanya kebetulan melihatmu saat hendak ke kelas." Aalisha mengelak, wajahnya tenang, meski ia merasa seperti tertangkap basah.

"Okay, okay, hanya kebetulan lewat, alasan klasik untuk menghindar," balas Nicaise, tampak Aalisha makin kesal. "Namun, harus kukoreksi perkataanmu sebelumnya bahwa kedua kakak tingkat itu bukan memberiku hadiah, melainkan menitipkan hadiah untuk diberikan padamu."

"Jelas sekali mereka---apa?! Kau barusan bilang apa?!" Aalisha tampak sedikit terkejut.

Nicaise malah terkikik geli. "Iya, mereka itu mau memberimu hadiah," ujarnya seraya memanggil Invinirium lalu mengambil cokelat dan bunga serta surat. "Katanya mereka penggemarmu, tetapi karena kau selalu bersikap dingin pada orang-orang jadi mereka tidak berani langsung memberikannya."

Aalisha terdiam sejenak, menatap pada cokelat, bunga, dan surat yang dipegang Nicaise. Gadis itu hendak menyangkal dan berkata bahwa Nicaise penipu, mustahil ada yang menggemari Aalisha, mereka semua hanya takut dan menganggap bahwa gadis itu sangat kejam dan tak berperasaan, tetapi saat Aalisha membuka amplop suratnya, kertas berisi tulisan tangan berada di sana, ia baca dengan singkat, dan benar saja jika isinya pujian dan sanjungan yang sangat tulus ini diberikan pada Aalisha.

Maka hening pun menyeruak detik itu juga, tidak bisa berkata-kata Aalisha karena ia tidak pernah berada di posisi ini sebelumnya.

"Seberapa kejam pun kita," ujar Nicaise menekan kata kita yang berarti para keturunan Majestic Families. "Pasti akan ada yang tulus menyukai kita, tidak semuanya penjilat, beberapa dari mereka sangat kagum pada kita, hanya tidak bisa diungkapkan karena kita yang selalu berpikiran bahwa mereka datang hanya untuk menjilat, padahal mereka cuma ingin berteman."

"Bukan salahku jika berpikiran mereka datang seolah-olah hendak menjadi anjing penjilat," balas Aalisha.

"Aku tahu, kita semua tahu, kau tidak salah, tetapi sesekali mempercayai satu dua orang tidak masalah bukan?" Nicaise mundur selangkah. "Ayo ikut aku sebentar."

"Aku tidak mau," tolak Aalisha.

"Ayolah, percaya padaku kali ini, tidak ada trik atau main-main, aku janji." Lekas Nicaise membawa Aalisha menuju salah satu pintu besar dengan ukiran mewah di daerah koridor tersebut.

Maka langkah malas gadis itu pun membawanya mengikuti Nicaise, tak disangka pula jika Aalisha masih mau memegang buket bunga dan cokelat padahal sempat terlintas di benaknya untuk membakar kedua hadiah tersebut. Kini memasuki pintu kayu, Aalisha terdiam sejenak, ternyata ruangan ini sangat besar; ada panggung di depan sana, gorden dengan warna merah, layar putih besar, serta bangku-bangku tribune. Aalisha ingat, ruangan ini biasa digunakan ekstrakurikuler orkestra serta teater dan drama dalam menampilkan pertunjukkan mereka.

"Seharusnya tidak boleh masuk ke sini terkecuali mendapatkan izin dari Orly yang menjaga ruangan ini," ujar Aalisha yang berhenti di dekat salah satu bangku tribune sementara Nicaise naik ke atas panggung.

"Benar sekali," balas Nicaise berjalan ke arah salah satu alat musik yakni piano hitam yang sangat besar. "Apakah kau lupa bahwa aku adalah Von Havardur? Semua Orly tunduk padaku, tanpa terkecuali."

"Jadi apa yang hendak kau lakukan huh? Bermain orkestra untukku." Aalisha bermaksud mengejek.

"Tebakanmu benar," ujar Nicaise seraya duduk di bangku hitam yang tersedia. "Silakan duduk dan nikmati pertunjukkan abal-abal ini."

Aalisha menghela napas, memutar bola matanya malas, ia taruh buket bunga dan cokelat di bangku sebelahnya, lalu ia duduk di bangku tribune lain. Punggung bersandar dan kaki bersilang, ia fokus menatap pada Nicaise, permainan piano seperti apa yang hendak lelaki itu tunjukkan padanya?

"Perlu kamu ketahui, Aalisha. Bahwa piano ini bukan sekadar piano biasa melainkan piano sihir yang jika dimainkan maka di layar akan muncul gambar bergerak dengan kisah yang sesuai dengan alunan piano ini. Maka sore menjelang malam ini, aku persembahkan kisah yang berjudul Dancing in The Ballroom."

Betapa indahnya ketika Nicaise mulai menekan tuts dari piano tersebut yang memunculkan suara-suara cantik nan merdu bersamaan di layar belakangnya, mulai tampak gambar-gambar bergerak yang tengah menampilkan kisah seorang gadis yang berdansa di Ballroom, dansa di tengah malam, sendirian di ruangan yang sangat luas tersebut, tanpa alas kaki, sungguh membuatnya leluasa bergerak. Lalu kisah berlanjut ke adegan sang gadis melanjutkan aktivitasnya di pagi hari menjadi seorang bangsawan yang sibuk dengan segala kegiatan; belajar, mengurus pekerjaan, mengikuti pesta teh, hadir di acara debutante bangsawan lain, lalu ketika malam menjelang, gadis itu kembali menari bak seekor angsa cantik di Ballroom yang sangat besar. Hingga waktu berlalu, perlahan-lahan sang gadis kini berdansa dengan seorang pria di Ballroom yang indah tersebut, kisah berakhir ketika kedua tokoh semakin menua, dan sang pria tiada, tampak gadis yang tak muda lagi telah menjadi wanita tua renta, tetapi masih mampu berjalan ke Ballroom-nya. Dengan sisa tenaga, wanita itu berdansa untuk terakhir kalinya, lalu tiada di esok hari. Kisah pun berakhir.

Permainan piano Nicaise pun berakhir pula, perlahan lelaki itu berdiri, melangkah menuju Aalisha seraya membawa bunga mawar merah. "Kisah tadi adalah Karya dari salah satu komponis terkenal, Griffiths Daelyngridge. Kuharap kau suka dengan pertunjukkanku tadi meski tak sesempurna aslinya." Tepat di hadapan Aalisha yang masih duduk, Nicaise melakukan curtsy, tangan kanannya menyodorkan setangkai bunga mawar merah tersebut. "Dan terima kasih karena telah percaya padaku hari ini."

Oh Dewa yang bertahta di Athinelon, entah apa dan mengapa takdir berjalan seperti ini karena sesungguhnya Aalisha tidak begitu paham terutama degup jantung yang tak karuan ini. Perlahan tangan gadis itu bergerak dan menerima setangkai bunga mawar pemberian Nicaise, seraya berujar, "ya, pertunjukkan yang lumayan ... mengesankan."

Detik itu, keduanya sama-sama tersenyum, menikmati interaksi yang sungguh takkan pernah ada dalam agenda hidup mereka karena segalanya berjalan secara tak terduga.

"Tentu saja, Nona De Lune," ujar Nicaise.

Hanya saja, berada di detik yang sama, tetapi tempat yang berbeda. Terlihat seorang lelaki bermanik mata biru tanzanite, tengah duduk sendirian di salah satu kuil di Eidothea, sepertinya bukan kuil yang dijaga Elijah karena sedikit berbeda. Ia terlihat sangat lesu dan dilanda kesedihan, ada kertas kuning yang sepertinya surat serta menjadi alasan mengapa senyumnya yang penuh kejenakaan kini menjadi kesedihan. Meskipun begitu, ia tak membiarkan air mata menetes sedikit pun.

Terdengar suara grasak-grusuk di semak-semak, lalu kekehan lelaki itu terdengar. "Keluarlah kalian bertiga, jangan diam saja di sana. Aku tahu kalau itu kalian."

Lekas mencuat tiga ekor binatang, berada paling bawah adalah Hippibia, di atas kepalanya ada Squiscypus, terakhir paling atas si kelinci putih yakni tuan Bhuncis. Mereka tampaknya sedang memantau si lelaki yang tengah bersedih atau lebih dikenal dengan nama Athreus Kieran Zalana karena akhir-akhir ini hubungan mereka semakin dekat.

"Kemarilah," ujar Athreus.

Ketiga binatang pun mendekati lelaki itu, lalu mengelilinginya, manik mata ketiga binatang membulat, menatap penuh tanya serta kesedihan pula. Sang Squiscypus yang paling pintar di antara kedua temannya. Ia meraih kertas kuning berisi sebuah pesan, lalu kepalanya meneleng ke kanan, diikuti oleh Hippibia dan tuan Bhuncis yang ikutan menelengkan kepala juga, lalu mereka menatap Athreus sangat intens seolah-olah meminta penjelasan.

"Tidak perlu khawatir," ujar Athreus dengan senyuman meski cukup tipis. "Aku hanya mendapat kabar dari rumah jika ibuku ... dia sedang sakit dan keadaannya cukup parah jadi sudah seminggu lebih ibuku tidak bisa bangun dari tempat tidur."

Ketiga binatang semakin menatapnya dan mereka menunjukkan perasaan khawatir bercampur sedih pula. Sementara Athreus terkekeh. "Jangan beri aku tatapan itu, aku tidak apa-apa, aku hanya perlu sendiri sejenak di sini setelah berdoa pada para Dewaku." Setelahnya Athreus menekuk lututnya, menenggelamkan wajahnya di antara lipatan tangan sementara para binatang mengeliling Athreus dan menyandarkan tubuh mereka pada lelaki yang tengah bersedih itu.

Perlahan takdir pun memeluk segalanya dengan malam yang dipenuhi bintang-bintang.

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

|| Afterword #27

Seperti tertera pada peringatan^^ Chapter ini cukup mengandung banyak emosi, tampak dilihat di awal adegan hingga ke akhir, berusaha dikemas sebaik mungkin, jika tidak ada adegan pertarungan, maka setidaknya menyuguhkan beberapa emosi sehingga saat Arcaners membacanya, tetap akan merasakan gejolak emosi.

Sesuai janji, gue bakal pelan-pelan ceritakan masa lalu Aalisha dan bagaimana kehidupannya yang tak diketahui orang-orang sehingga menciptakan sang Aalisha De Lune seperti sekarang. Bukan bermaksud untuk menarik simpati para Arcaners karena Aalisha bukanlah makhluk suci tak bernoda, tetapi setiap manusia pasti punya cerita masing-masing^^

Di dalam chapter kali ini, ada di-notice nama Owen dan Ambrosia, haha. Sepertinya mereka berada di wilayah yang sama karena ada urusan atau ternyata menghadiri pesta bangsawan yang sama? Gue pernah bilang kalau kelak bakal ada cerita khusus Owen-Ambrosia, tetapi dalam bentuk spin-off sehingga bakal di-update di cerita yang berbeda dengan Aalisha^^

Mengenai adegan terakhir, ada perkembangan antara kisah Nicaise dan Aalisha! Tidak sabar bagaimana Sang De Lune sadar apa arti degup jantungnya yang aneh itu, hehe.

Kemudian Athreus... apakah dia baik-baik saja?

Prins Llumière

Selasa, 26 November 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top