Chapter 37

|| Before I take my shotgun dan kill you all, vote dan komen serta cari posisi ternyaman karena chapter ini totalnya 11.325 kata^^

|| Beri komentar agar gue tahu reaksi kalian akan chapter ini karena jika tidak akan langsung tamat saja hehe!!

Matahari bersinar sangat terik hari ini, seolah-olah para Dewa pun tengah menyaksikan pertandingan meriah di Minggu pagi sehingga menambah semangat para murid agar tidak hanya mendekam dirinya di kamar dan berlesu-lesu dalam kasur mereka. Pada awalnya, banyak juga murid yang tak tertarik dengan pertandingan hari ini karena berpikir jika tim Faelyn akan dengan mudahnya membantai tim Arevalous, jadi mereka lebih memilih untuk tiduran saja di kamar atau melakukan kegiatan lain. Namun, setelah kehebohan terdengar karena tuan Putri De Lune adalah anggota baru tim Arevalous sekaligus pertandingan perdananya hari ini. Membuat murid berbondong-bondong ke tribune hingga melebihi kapasitas bahkan rela berdiri atau menonton melalui Cyubes saja dibandingkan berdesak-desakan.

Saat ini ada tiga kubu yang menjadi penonton di pertandingan kali ini, kubu pertama adalah mereka yang menikmati pertandingan dengan sukarela, membawa camilan, mengabadikan momen seorang De Lune pertama kalinya bertanding di Oulixeus, intinya yang benar-benar menikmati hari ini tanpa ada resah dan beban. Kubu kedua adalah bagi mereka yang berasal dari Arevalous, hal ini karena kebahagiaan tak terkira menyelubungi, terutama mereka sangat puas melihat reaksi terkejut dari orang-orang yang meremehkan mereka sebelumnya. Kubu kedua ini juga sekumpulan para murid di luar Arevalous yang tadinya bertaruh untuk tim Arevalous, mereka juga bahagia karena berpikir jika taruhan ini, merekalah pemenangnya. Terakhir kubu ketiga yakni para murid yang meremehkan tim Arevalous dan mulai resah serta khawatir jika pemenangnya adalah tim itu serta mereka akan kalah taruhan, lenyap sudah ribuan D'Orques mereka.

"Sialan harusnya tadi aku tak usah bertaruh apa-apa atau memilih Arevalous saja, tapi aku tak sudi memilih mereka," ujar murid asal Drystan. Kalau tidak salah, ia bertaruh sekitar 5,000 D'Orques.

"Kan sudah kuperingatkan," ujar kawannya, perempuan dengan rambut pirang. "Asrama itu ada saja plot twist-nya! Harusnya kau tak perlu ikut taruhan."

"Mana aku tahu jikalau tuan putri De Lune itu bergabung dengan timnya dan maju bertanding hari ini karena berdasarkan peraturan, murid biasa baru boleh bergabung dengan tim Oulixeus di tahun kedua."

Suara keras terdengar ketika perempuan tersebut memukul bahu temannya. "Kaubodoh ya. Dia itu Majestic Families, tuan Athreus saja bergabung dengan tim Oulixeus sebelum tahun kedua, jelas dia juga begitu."

"Ayolah kalian tenangkan diri." Teman yang lain ikutan berujar, "belum tentu juga Arevalous menang meski ada tuan putri De Lune."

Kedua temannya memicingkan mata. "Kaulupa ya, gadis itu mengalahkan profesor Zahava dan Hesperia serta Phantomius, beberapa bulan lalu. Dia juga bisa mengendalikan Wyvern, jadi mudah baginya di pertandingan ini, apalagi Nicaise dan Eloise tidak---"

"Banyak omong kalian," sahut Alejandro memotong percakapan. "Bisakah berhenti memuji De Lune itu. Lagi pula ini pertandingan pertamanya, mustahil dia bisa mengalahkan tim Faelyn, apalagi lawannya kakak tingkat."

"Ah ya kau benar, maaf jika kami ribut."

Alejandro berdecak sebal, lalu kembali duduk seraya menatap Killian. "Aku yakin tim sialan itu akan kalah."

"Ya," ujar Killian menatap sinis pada Aalisha. "Dia harus kalah atau terluka sangat parah di arena pertandingan, aku muak dengan kesombongannya dan cara curangnya bergabung dengan tim Oulixeus. Gadis sialan itu, aku benar-benar membencinya." Killian mengeratkan kepalan tangannya. Seolah-olah ia tengah berdoa pada Para Dewa untuk membuat gadis De Lune itu runtuh, meski tidak kini, tapi suatu hari nanti.

Berada di sisi lain, tampaknya ada yang sangat menikmati hari ini, barangkali selama bertahun-tahun, suasana hatinya detik ini sangat bagus dan baik bahkan ia tak bisa menghilangkan senyuman licik di wajahnya. Ia juga merasa sangat puas ketika semakin banyak para murid yang menonton pertandingan ini, mereka mulai bergosip, merasa iri dan kesal, hingga dipastikan ada yang menyumpahi dan mengutuknya, tetapi bagi gadis kecil ini. Semua iri-dengki dan sumpah-serapah mereka adalah melodi paling indah yang pernah masuk ke dalam telinganya.

Mengapa bisa seperti itu? Pada awal tahun ia masuk kemari, hampir seluruh Eidothea meremehkan kehadirannya bahkan merundungnya, tetapi kini semua orang bungkam atas statusnya dan mereka tak punya pilihan selain membungkukkan atau berlutut sebagai tanda penghormatan. Akhirnya setiap gadis kecil itu melangkah dan setiap perbuatannya bahkan yang kecil dan sepele sekali pun, semua orang akan menjadikannya sorotan dan memahami akan satu hal. Bahwa sang De Lune selalu berada di atas mereka dan mereka hanyalah sekadar makhluk rendahan yang menjadi bidak catur atau marionette yang De Lune gunakan untuk pertunjukkan operanya.

Seringai kecil Aalisha terukir karena semua targetnya ada di sini, Eloise dan Nicaise yang awalnya enggan menonton pertandingan, kemudian Killian Cornelius yang sepertinya hendak menjalankan misinya, tetapi tertunda karena lelaki itu lebih mementingkan egonya. Lagi pula mustahil dia tak menonton pertandingan Aalisha. Killian pasti hendak tahu seberapa besar kemampuan Aalisha agar ia bisa membandingkan dengan kemampuan yang ia miliki. Meskipun sudah diketahui jawaban hipotesisnya; Killian selalu berada di bawah kaki Aalisha.

"Baiklah, para anggota yang bertanding silakan mendekat," kata Hobbes Trinder, salah satu Orly yang menjadi pengawas di pertandingan ini. "Kalian sudah tahu peraturan dan cara kerja bermainnya pertandingan ini, jadi tak perlu kujelaskan ulang. Nah sekarang aku akan membagikan masing-masing busur dan anak panah kalian."

Jentikan tangan Hobbes memunculkan pentagram sihir di dekat anggota dari kedua tim, lalu mereka mengambil busur panah serta anak panah dengan masing-masing tiga warna yang berbeda. Tampaknya busur tersebut cukup panjang, membuat si pendek De Lune agak kesal karena busurnya mencapai setengah badannya. Ia sesaat melirik Hobbes dan anggotanya yang hendak terkekeh, tapi ditahan. "Jika kalian tertawa, kupanah kalian satu per satu di sini."

"Ehem." Hobbes Trinder berdeham. "Oke jadi total pertandingan ini 55 menit, inti dari pertandingan ini adalah mendapatkan poin sebanyak-banyaknya, jangan sampai terluka parah atau tak bisa lanjut pertandingan lagi karena akan mendapatkan pengurangan poin. Ada yang hendak ditanyakan?"

Para anggota dari kedua tim tampak menggeleng, sementara Aalisha tak memberikan respons karena gadis itu sibuk menguncir rambutnya yang panjang. "Karena tidak ada pertanyaan lagi, kalian akan diteleportasi ke titik yang berbeda, lalu tunggu sampai bunyi gong didentangkan dan pertandingan dimulai. Kalau begitu, semangat untuk semua, aku akan menteleportasikan kalian seka----"

"Tes, tes, tes, halo panitia Hobbes Trinder," kata Huckleberry, "aku hendak menyampaikan peraturan tambahan dari pihak Eidothea."

"Silakan sampaikan peraturan barunya," kata Hobbes Trinder.

"Tolong seluruh anggota dari kedua tim untuk memperhatikan," kata Huckleberry, kini para murid pun penasaran dengan peraturan tambahannya. "Dikarenakan Yang Mulia Putri De Lune bertanding, jadi pihak Eidothea menambahkan aturan khusus untuk Yang Mulia De Lune jika Anda boleh saja menggunakan kemampuan mistis, tetapi tidak boleh berlebihan, sehingga Anda hanya boleh menggunakan para binatang kecil, sementara untuk jenis binatang seperti binatang magis atau sejenis monster. Anda dilarang membawanya ke arena pertandingan karena sangat berisiko baik bagi tim yang bertanding, maupun bagi para murid yang menonton. Baiklah hanya itu saja yang bisa aku sampaikan sebagai aturan tambahannya."

Hening.

Para murid tak menyangka jika sampai harus ada aturan khusus Aalisha, karena besarnya potensi kehancuran yang dibawa oleh gadis kecil itu di pertandingan Oulixeus kali ini. Kini para murid menatap sang De Lune, hendak tahu bagaimana reaksinya karena ia diberi batasan dalam menggunakan kemampuan mistisnya.

Sementara itu, Aalisha tampak biasa saja ekspresi wajahnya, seolah-olah ia sudah menebak jika akan ada aturan tambahan ini. Perlahan Aalisha dengan busur panah yang ia genggam, ia tatap Huckleberry. "Jadi maksudnya aku tidak boleh memanggil para binatang besar ke arena pertandingan."

Rasanya Huckleberry hendak pingsan karena tatapan tajam dan sinis itu ibarat pedang es yang menusuk dadanya. "Benar sekali, Yang Mulia."

"Ah, menyebalkan," ujar Aalisha berpura-pura tampak sedih dan kesal, semua orang tahu jika gadis itu sengaja berakting terang-terangan. "Padahal aku hendak memanggil para gorila Bobynolous, segerombolan Minotaur, sekawan Tagrax, atau iblis Mirzurich Zalmoz." Perlahan ia menatap pada ketiga Majestic Families yang duduk di tribune yang berdekatan. "Atau bahkan Wyvern bernama Aramis, jika dia masih ada di sini, kemudian membakar kalian semua." Lalu senyuman polos terukir di wajah gadis itu, ia terkekeh.

"De Lune sialan ini," gumam Eloise hendak berdiri dari bangkunya, tapi ditahan.

"Tidak, tak ada gunanya kau marah, kau takkan bisa bertanding juga," kata Nathalia, mencengkeram kuat pergelangan tangan Eloise.

Eloise berdecak sebal, seraya duduk kembali. Lalu Nicaise berujar, "jelas-jelas dia mengejek kita dan sengaja bersikap congkak."

"Benar sekali," ejek Athreus, "dia pasti akan sangat bangga mengalahkan tim payah kalian." Ia melirik Nicaise dan Eloise, lalu tersenyum lebar.

"Kieran Zalana bajingan, kau sebenarnya ada di pihak siapa?" kata Eloise.

"Apakah kalian tidak tahu?" kata Athreus.

"Apa maksudmu?" balas Eloise.

Nathalia menghela napas. "Athreus sejak awal bertaruh jika Arevalous akan menang."

"Berengsek, jadi kau menusuk kami dari belakang huh?" kata Eloise.

"Menusuk kalian?" kata Athreus, "tentu tidak, aku pasti akan mendukung tim mana pun yang bisa mengalahkan Faelyn. Karena kursi nomor satu Oulixeus Eidothea hanya dimiliki Gwenaelle."

"Jangan congkak," kata Nicaise, "kau boleh berkata seperti itu, tapi kita belum tahu hasil akhirnya dan tutup mulut sialanmu itu, sebelum kubuat kau menderita."

"Andai arenanya boleh digunakan, aku dengan senang hati melawanmu, kawan baikku," sahut Athreus.

"Jagad Dewa, aku lelah dengan persaingan kalian ini," ujar Nathalia sementara Eloise hanya diam dan menatap kesal pada Aalisha.

Detik selanjutnya, para anggota dari kedua tim yang bertanding pun diteleportasi ke lokasi yang berbeda-beda di arena tersebut. Aalisha merasa jika tubuhnya ringan, semakin ringan ibarat kapas ketika melewati proses teleportasi. Perlahan ia membuka mata dan sangat bersyukur karena ia masih di arena pertandingan, entah mengapa sedikit was-was andaikata ia malah berteleportasi bukan di arena pertandingan, tetapi malah ke kastil sihir atau tempat antah-berantah.

"Lagi pula mustahil aku berteleportasi ke kastil sihir karena liontin dan bukunya ada pada Anila," ujar Aalisha seraya mengedarkan pandangannya. Ia menatap pepohonan rindang, rumah kayu, serta ia berada di ujung arena, lalu manik matanya menatap sinis ketika terdengar suara gemeretak kayu dan gemerincing gada bola berduri. "Sialan sekali Hobbes Trinder itu. Dia sengaja menteleportasikanku ke sekumpulan wooden dummy ini."

Manik mata hitam itu menatap pada segerombolan wooden dummy yang dapat bergerak meski pergerakan mereka kaku, tetapi setiap wooden dummy membawa semacam gada bola dengan ujung besi runcing nan tajam, serta suaranya berdentang setiap bersinggungan. Aalisha mengedarkan pandangan, mencari-cari bola melayang sebagai target yang harus ia panah. "Ada dua, warna kuning dan merah, meski cukup tinggi. Tidak ada siapa pun di sini kecuali aku. Kesempatan yang bagus."

Lekas Aalisha mengalungkan busur panahnya seraya memanggil Aeternitas. Ia alirkan Neith ke pedang tersebut, merapalkan mantra yang perlahan menghasilkan energi anemo atau angin. Ketika ia ayunkan ke atas, energi anemo-nya semakin bertambah. "Mari main santai. Aeternitas, turuti perintahku!"

Suara dentangan pedang pun terdengar sangat kencang, Aalisha tampak mudah menebas setiap wooden dummy dan menangkis serangan gada bola berduri mereka. Rakakan kayu terdengar, setiap boneka hancur akibat tebasan pedang Aalisha yang sangat sempurna bahkan sebelum wooden dummy tersebut mengayunkan gada bola berduri mereka, Aalisha lebih dulu menghancurkan engsel-engsel sang boneka sehingga buntung, dan tak dapat menyerang.

"Oh mereka terus berdatangan," gumam Aalisha, ia lalu menatap sinis pada kamera Cyubes yang melayang-layang merekam setiap pertarungannya. "Sialan, mari bermain topeng saja."

Aalisha hampir lupa jika pertandingan ini dipantau melalui Cyubes jadi para murid bisa menyaksikan melalui Cyubes. Sehingga gadis kecil itu harus hati-hati agar tidak diketahui orang-orang mengenai potensi kekuatannya. Sesuai aturan De Lune; sebisa mungkin hanya memperlihatkan sedikit saja potensi kekuatan pada khalayak publik, karena hanya lawan yang akan "mati" saja yang boleh melihat potensi kekuatan sebenarnya dari seorang De Lune.

Aalisha menggerakkan tangan kirinya, membidik pada para wooden dummy yang tak berhenti berdatangan, ia tahu jika kamera memantau dirinya. "Kurasa tak masalah karena banyak yang sudah tahu kekuatanku yang ini ...." Pentagram sihir bermunculan dan bersinar biru pekat. "Igniesco." Ledakan dahsyat pun terjadi yang menyebabkan para wooden dummy hancur lebur, bersamaan dua anak panah dilesakkan dan menghancurkan bola kuning dan bola merah, membuat Aalisha mendapatkan poin sebesar 40 poin.

"Dan itulah salah satu dari kehebatan seorang De Lune!! Dia berhasil mendapatkan 40 poin untuk Arevalous" teriak Huckleberry sebagai komentator, suaranya bergema di tribune, ia memantau melalui Cyubes yang memperlihatkan De Lune di arena pertandingan. Banyak bisikan yang membicarakan soal Aalisha yang bisa menggunakan mantra tersebut.

Huckleberry kembali berujar, "sungguh mencengangkan karena Putri De Lune mampu menggunakan salah satu mantra sihir tingkat tinggi! Dan sangat naas bagi para murid angkatan atas, tapi masih belum bisa menguasai teknik tersebut! HA HA HA payah kalian semua, baiklah mari kita pantau ke peserta lain, tampaknya Easton Cressida tengah bertarung sengit melawan Glenn Hyatt Poults, mereka memperebutkan tiga bola melayang."

Atas inilah, terjadi adu senjata antara Easton yang menggunakan polearm sementara Glenn dengan espada ropera-nya, mereka berusaha saling menjatuhkan satu sama lain agar bisa melesakkan anak panah ke bola merah yang kebetulan ada tiga di sini sehingga poin yang didapatkan pun lumayan banyak. Suara dentingan senjata mereka semakin bergema saat kecepatannya ditambah, menyebabkan pepohonan dan semak-semak hancur serta tak luput juga mereka tergores dan berdarah satu sama lain.

Easton lekas memutar polearm-nya dan menyerang dengan cepat dipadukan dengan mantra yang membuat dampak serangannya semakin banyak. "Aku yang lebih dulu sampai, kau bisa cari target lain!"

Glenn berdecak sebal. "Tak ada kata siapa cepat dia dapat. Dalam peperangan semua cara lumrah digunakan bahkan merebut dan direbut!" Glenn meningkatkan serangan, ia gunakan sihir yang menyebabkan udara berderak ketika elemental elektro menciptakan petir bergemuruh kini tengah menyerang Easton hingga sebagian pakaiannya sobek. "Lagi pula, kalian tampak percaya diri karena kalian bisa bergantung pada seorang De Lune itu, bukan?!"

Ledakan terjadi ketika senjata mereka saling menangkis satu sama lain lalu mereka terdorong mundur. "Itu tidak benar!"

"Jangan kau sangkal!" teriak Glenn seraya melirik pada bola merah melayang. "Kalian selalu mendapatkan peringkat terakhir! Lalu tiba-tiba dengan percaya diri dan congkaknya memasuki arena karena seorang De Lune bergabung? Pantas saja bangsawan Cressida dianggap rendahan meski ayahmu bergelar Viscount!"

"Sialan! Jangan pernah bawa-bawa nama keluargaku!" Easton menatap pada Cyubes miliknya. "Bukankah kalian juga sama?! Sejauh ini kalian menang karena ada dua Majestic Families di pihak kalian! Tanpa mereka pun kalian juga pasti gentar jika menghadapi kami! Lalu cobalah berkaca, kaupernah menghina Aalisha kini kau pasti menyesal karena dia adalah orang terhormat dan kau hanya sekadar perundung!"

"Keparat kau bangsawan rendahan!! Kubunuh saja kau!" teriak Glenn seraya merapalkan mantra dan puluhan pentagram sihir bermunculan.

"Bagus Easton," suara pelan Damien terdengar di Cyubes, ia tengah memonitor para anggotanya. "Kau berhasil membuatnya marah, kini hancurkan bolanya, ingatlah dua bola palsu, lakukan sesuai rencana."

Easton pun melompat, menghindari setiap serangan yang dilancarkan pentagram milik Glenn, serta ia menangkisnya meski sulit hingga berakhir dengan beberapa luka. Meskipun begitu, ia tetap harus berlari zig-zag agar mencapai bola melayang yang ada dia antara dua pohon. Seraya menarik tali busur dengan anak panahnya yang berwarna merah. "Kuharap rencana ini berhasil!"

Di sisi lain, kini tatapan Glenn menyadari jika Easton tengah menargetkan ketiga bola merah. "Oh bajingan, tidak secepat itu!" teriak Glenn maka dengan mantra tingkat tinggi, ia berhasil menyerang Eston hingga lelaki itu terempas kuat ke belakang dan anak panah yang Easton lesakkan dihancurkan Glenn dengan mantra sihir. "Bola itu milikku!"

Tarikan kuat anak panah merah sekaligus dilakukan Glenn, lekas ia menargetkan ketiga bola merah yang melayang, maka dengan hitungan detik saja, anak panah tersebut melesak sangat cepat, tetapi dari arah lain, satu anak panah berwarna biru melaju kencang dan hendak menghancurkan bola paling bawah.

Ketegangan terjadi antara keduanya, serta para penonton yang menyaksikan melalui Cyubes maupun secara langsung karena pertarungan berada di dekat tribune mereka. Banyak yang berpikir betapa bodohnya Easton karena malah melesakkan anak panah biru, tetapi hinaan tersebut terbungkam dengan sempurna ketika dua bola melayang warnanya berubah menjadi kuning dan satu bola menjadi warna biru. Letusan terjadi ketika anak panah merah Glenn meledakkan bola kuning sementara anak panah biru Easton berhasil meledakkan bola biru. Detik itu, Easton menjerit bahagia karena mendapatkan poin sementara Glenn berteriak sangat kesal.

"Jebakan bola melayang!" teriak Huckleberry dari tempat duduk komentator. "Perlu kalian ketahui jika sebenarnya di pertandingan ini, ada jebakan bola melayang yakni para bola bisa menutupi warna aslinya! Karena itu diperlukan kejelian dan intuisi serta koordinasi dari Exploratorem tim untuk bisa membedakan antara bola asli dan palsu! Kini Easton Cressida memperoleh 20 poin dan Glenn membuat poin Faelyn menjadi minus 40 poin karena salah memecahkan bola!"

Mulai para murid berbicara satu sama lain, memberikan reaksi kesal atau ada pula yang bahagia dan tertawa terbahak-bahak, ada juga yang diam saja karena tegang menatap pertarungan antaranggota lain. "Sepertinya para penonton sudah sangat memanas! Jangan lupa jika kalian harus tetap waspada dan memantau sekeliling karena siapa tahu Orly yang membawa panah putih akan muncul, persiapkan diri untuk memperebutkan 250 poin!" teriak Huckleberry.

Kembali ke arena pertandingan, terlihat Damien Nerezza menatap pada Cyubes dan memonitor anggota timnya. Ia lalu bicara melalui Cyubes yang tersambung ke Evanora dan Aguero. "Sesuai rencana, mereka mendapatkan minus poin, kini untuk kalian berdua fokus mendapatkan panah putih. Lalu Evanora ... jangan terluka, kau diperlukan sebagai penyembuh."

"Baik," kata Evanora baru selesai melesakkan panah merah dan mendapatkan poin. Lalu ia melihat seorang Orly mengenakan pakaian hitam dan membawa anak panah putih. "Target ditemukan, arah selatan, lokasiku berada."

"Aku segera ke sana," ujar Aguero lekas meluncur untuk merebut panah putih karena dia barusan melihat Maudie si Veneficus Faelyn tengah berlari ke arah yang sama untuk mendapatkan panah putih juga. "Lawan juga mengejar target."

"Tetap lakukan sesuai rencanaku," ujar Damien mengomando, lalu dia mendengar langkah kaki tepat di belakangnya, perlahan ia melirik ke belakang. "Mengincar Explolatorem, huh? Bukankah harusnya kalian mengincar anak panahnya, bukan aku."

Dante Patell Myghell si Principes melangkah pelan mendekati Damien dengan dua pedang tajam. "Tentu saja kami punya rencana lain, lagi pula jika kaugugur maka kami bisa menang."

Damien terpaksa menghilangkan Cyubes-nya, ia jadi tak bisa memonitor anggotanya, terlebih ia belum bisa memberikan perintah pada si De Lune yang entah kenapa masih tenang-tenang saja. Kini ia memunculkan pedang panjangnya dengan bilah bermata dua. "Kalian benar-benar meremehkan kami, termasuk aku, tapi perlu kukoreksi, meski aku gugur, kami tetap akan menang karena di tengah pertandingan sana. Ada gadis kecil yang senang menghancurkan."

"Sialan, kau sombong dan menjijikkan hanga karena seorang De Lune ada di timmu, huh?!" teriak Dante seraya menggertakkan giginya.

"Mengapa tidak boleh?" ujar Damien dengan senyuman. "Jika kalian saja selalu membangga-banggakan tuan Von Havardur dan nona Clemence, mengapa kami tidak? Oh atau egomu masih tak bisa menerima jika gadis yang awalnya selalu dihina, ternyata adalah manusia terhormat? Kini siapa yang menjijikkan. Ah kalian non-Majestic Families memang tukang penjilat kaki kami."

"Bajingan kau---" Perkataan Dante terhenti ketika dari arah timur Arena pertandingan, terjadi ledakan dahsyat dipadukan riak air terjun yang membuat beberapa titik arena jadi tergenang air.

"Ah lihatlah itu, De Lune benar-benar tak bisa dikendalikan bukan?" kata Damien seraya menyayat lengannya dan darah menetes. Ia siap dengan kemampuan mistis darah Nerezza. "Jadi bersiaplah untuk kalah."

"Darah sialan itu takkan mempan padaku!" teriakan Dante menggelegar.

Memasuki menit ke dua puluh lebih sejak pertandingan dimulai, suasana sudah sangat menegang apalagi ketika dua anggota masing-masing tim tengah memperebutkan anak panah yang dibawa kabur Orly. "Kini pertandingan semakin tegang dan tegang!" teriak Huckleberry, "layaknya perebutan kekuasaan antara anak-anak keluarga bangsawan, meski harus menyengsarakan rakyat, pertarungan mereka memanas dengan memperebutkan anak panah untuk mendapatkan poin dari bola putih melayang."

Sudah tak bisa dihitung berapa banyak suara dentangan senjata besi saling bersinggungan dan kerusakan akibat serangan mereka tersebut, bahkan beberapa pohon sudah ambruk ke tanah, semak-semak tercerabut dari akar mereka, hingga bebatuan terbelah, bahkan wooden dummy di sekitar mereka juga hancur meski bukan target mereka. Pertarungan tersebut antara Aguero melawan Rohan dengan menggunakan teknik sihir dan pedang, serta Evanora melawan Maudie yang beradu teknik sihir. Tampaknya juga mereka saling berusaha menembakkan anak panah ke bola melayang bahkan saling rebutan panah karena panah mereka menipis, tapi target utama adalah panah putih yang dibawa kabur oleh Orly berpakaian pelayan, tapi gerak-geriknya sangat lincah.

"Kali ini aku akan benar-benar membuatmu berbaring di ranjang pesakitan!" teriak Maudie si Veneficus asal Faelyn, ia rapalkan mantra hingga serangan bertubi-tubi terus mengarah pada Evanora yang menangkis setiap serangan menggunakan pedang serta barrier pelindung berupa tameng dari teknik sihirnya sendiri. "Mengapa kau turun langsung huh? Lebih baik fokus saja dengan tugasmu sebagai Custodes."

Dentingan terdengar ketika serangan Maudie terpental ke arah lain karena mengenai tameng Neith Evanora. "Aku tahu itu, tapi aku juga tak suka hanya diam dan mengobati yang terluka, lagi pula aku ingin sekali memukul wajahmu yang sombong itu."

"Aku sombong karena begitulah kenyataannya bahwa Faelyn selalu unggul!" teriak Maudie semakin gencar melancarkan serangan sihir bahkan merapalkan mantra yang memunculkan lima pentagram sihir kemudian menyemburkan api. "Tidak seperti kau dan kawan-kawanmu yang selalu bertingkah congkak padahal pemilik poin terendah!"

Rapalan mantra Evanora membalas serangan pyrokinesis tersebut dengan teknik hydrokinesis sehingga benturan serangan mereka membuat kabut di mana-mana karena air menguap akibat api. "Sejak kapan kami congkak, huh?" Evanora menatap sinis dan mengeratkan genggamannya pada pedang. "Kami bahkan masih tertawa lho ketika poin kami paling kecil dan berada di tingkat bawah. Apa kau menilai kami sombong karena pembukaan tadi dan karena De Lune ada di kami? Sungguh naif dan tak bisa berkaca karena kalian juga selalu menyombongkan diri atas adanya dua Majestic Families keturunan utama di tim kalian. Jadi tak masalah jika kami sombong, toh De Lune itu jauh lebih sombong lagi."

"SIALAN!!" Maudie bergerak sangat cepat dalam kabut tebal tersebut, sementara Evanora menarik busur panahnya dan diarahkan ke salah satu bola merah, serta berhasil ia pecahkan. Bersamaan dengan itu, ia rapalkan mantra yang sukses ledakan besar terjadi. Membuat keduanya sama-sama terluka cukup parah.

Huckleberry dan para murid terdiam karena ledakan tersebut ibarat ledakan bunuh diri. Perlahan Huckleberry mengangkat mikrofon kecilnya yang tanpa kabel karena menggunakan teknik sihir. "Sangat tidak disangka-sangka! Ledakan bunuh diri dilakukan oleh Evanora, tapi kenapa dia melakukannya?! Oh tunggu ...." Huckleberry memperhatikan Cyubes-nya. "Sang Orly pembawa anak panah putih juga terkena ledakan tersebut!! Ini bukan sekadar ledakan bunuh diri, tetapi rencana matang yang sudah diperkirakan. Kini anak panah putih teronggok di tanah tak berdaya, siapakah yang mendapatkannya lebih dulu?!!"

Hal ini sukses membuat Aguero dan Rohan menatap ke belakang, tampak anak panah putih tersebut lepas dari tangan Orly. "Sialan Evanora, dia benar-benar nekat," gumam Aguero. Tanpa pikir panjang, lekas ia berlari untuk memperebutkan anak panah tersebut karena Rohan juga berlari sangat kencang.

Sebelum Rohan menyentuh anak panahnya, serangan air bah menghantam tubuhnya sangat kuat hingga terdorong mundur, tetapi anak panahnya juga terikut aliran air tersebut. Lekas Aguero berlari untuk mengambil si anak panah, tetapi puluhan tombak seketika menerjang ke arahnya, membuat ia harus menghancurkan tombak-tombak tersebut yang berasal dari mantra dirapalkan oleh Rohan. Kini mereka kembali saling bertarung menggunakan pedang untuk memperebutkan anak panah tersebut.

"Kau pikir aku semudah itu dikalahkan?" ujar Rohan seraya mengalirkan aliran petir di pedanganya dan terus mendorong tubuh Aguero.

"Lebih baik obati kawanmu itu," balas Aguero yang merapalkan mantra sehingga kakinya semakin kuat dan mendorong balik Rohan. "Karena Evanora adalah salah satu Custodes terbaik kami jadi dia akan mudah mengobati lukanya sedangkan Maudie, bisa saja mati jika tak kau obati."

"Terima kasih sudah peduli, tapi Maudie bisa mengobati lukanya sendiri!" Entakan kakinya seketika membuat tubuh Aguero dihantam tanah tinggi hingga menjulang ke langit. Namun, tak mau berakhir dengan kegagalan, maka Aguero membalas dengan serangan anemo yang berhasil membuat tubuh Rohan terbawa angin beliung hingga menghantam pepohonan. Tak mau ada jeda sedikit pun, mereka sama-sama merapalkan mantra lagi dengan cepat. Alhasil Rohan berdarah ketika dua besi tajam menembus pahanya dan Aguero memuntahkan darah pula saat serangan sihir Rohan mengenai perut dan merobek bajunya. Kini mereka sama-sama ambruk ke tanah.

"Panah putih," gumam Aguero seraya menggunakan sihir penyembuhan dan merangkak pelan ke anak panah yang tergeletak tak jauh darinya, tampak tangannya berusaha meraih anak panah tersebut. "Berhasil."

Lalu langkah kaki tiba-tiba berhenti di belakang Aguero bersamaan pedang tajam yang siap untuk memenggal lehernya, itu adalah Glenn, sialan bagaimana bisa dia di sini?! Di mana Easton yang harusnya melawan Glenn!! "Sampai jumpa di rumah sakit!" teriak Glenn penuh senyuman, setidaknya ia harus membuat satu atau dua anggota tim Arevalous dikeluarkan dari arena. "Oh, gadis sialan ini."

"Menyingkirlah bajingan!" teriak Evanora berhasil menangkis serangan Glenn dengan pedangnya sendiri, kini dentangan pedang terdengar kembali.

"Para gadis jangan ikut campur!" Tiba-tiba Glenn menendang perut Evanora hingga gadis itu terpental ke belakang, sangat jauh dan menghantam tanah sangat kuat.

"Bajingan kau!" Aguero mengayunkan pedangnya meski tubuhnya masih kaku akibat serangan Rohan sebelumnya, tetapi Glenn benar-benar berhasil menangkis serangan tersebut.

"Kemarikan anak panahnya," kata Glenn.

"Langkahi dulu mayatku!" Rapalan mantra membuat ledakan dahsyat, keduanya lekas melompat mundur menghindari asap hitam. "Keparat! Di mana Easton sialan ini berada dan bukannya mengurus dia!" Aguero berdecak sebal ketika Glenn langsung menerjang sekuat tenaga dan mengayunkan pedang keduanya berjenis Claymore.

"Ignitio!" teriak Glenn yang mengaktifkan senjata magisnya serta berhasil mematahkan pedang Aguero karena bukan tipe senjata magis, bersamaan dengan itu, perut Aguero terkena serangan dan tergores dalam hingga berdarah-darah. Lalu tendangan di perutnya semakin membuat rasa sakit berkali-kali lipat lebih banyak dan ia terempas ke belakang. "Sialan, aku sampai harus mengaktifkan senjata magisku."

Manik matanya menatap pada Evanora yang lekas mendekati Aguero dan menyembuhkannya, lalu ia beralih pada Maudie yang sepertinya sudah pingsan dan tak bisa melanjutkan pertarungan, seraya menatap pada Rohan yang masih bisa melanjutkan pertarungan meski kedua pahanya terluka. "Sialan, jika aku lebih cepat pasti kalian takkan terluka oleh mereka, semua ini karena Easton bajingan itu. Beruntung dia lagi dikepung para wooden dummy."

Langkahnya pelan menuju anak panah putih dan lekas ia gunakan busur lalu diarahkan ke bola putih melayang senilai 250 poin. "Tidak masalah satu anggota didiskualifikasi karena aku dapatkan bola putihnya." Maka dengan penuh rasa percaya diri, ia lepaskan tali busurnya, sang anak panah putih meluncur menuju bola putih melayang.

Tampak para penonton dari Tribune yang dekat dengan pertarungan tersebut sangat berdebar-debar. Huckleberry berujar, "apakah Faelyn akan mendapatkan 250 poin sebelum waktu mencapai 30 menit?!" Semua murid hanya diam karena saking tegangnya mereka.

Lalu tiba-tiba banyak yang sadar jika ada seseorang yang berlari di arena dengan sangat cepat, lalu melompat tinggi, di tangannya ada anak panah berwarna merah yang lekas dia ledakkan bola putih melayang sebelum anak panah putih milik Glenn mengenai bola tersebut.

Hening.

Seluruh murid hening.

"Easton Cressida melakukan tindakan nekat!!" teriak Huckleberry, "dia dengan kesadaran dirinya memecahkan bola putih menggunakan anak panah merah untuk mencegah Faelyn mendapatkan 250 poin! Ini sungguh di luar prediksi! Dia rela membuat poinnya berkurang dari pada Faelyn mendapatkan poin tinggi!"

Sungguh murid-murid masih diam, tidak pernah terpikirkan atas rencana tersebut agar mencegah Faelyn menang. Bahkan murid-murid di Arevalous juga masih diam membisu, lalu serentak mereka menepuk dahi masing-masing apalagi melihat wajah Easton yang tampak tak bersalah.

"Oh Jagad Dewa, kakakku itu ... benar-benar ...." Mylo tampak sangat pasrah.

"Apa yang dilakukan saudaramu itu, huh!" teriak Frisca tepat di depan wajah Noah yang hanya bisa senyam-senyum cengengesan. "Jangan tersenyum, kau membuatku kesal!"

"Itu rencana yang brilian bukan?" kata Noah, "lebih baik menghancurkan bolanya dibandingkan Faelyn menang."

Anila berdiri dari bangkunya. "Itu rencana bodoh!" Ia berteriak cukup kencang. "Padahal bisa saja jika panahnya yang dipatahkan atau gunakan mantra sihir anemo agar panahnya tak mengenai target!"

Detik itu, Noah baru sadar. "Oh iya, ya!! Dia bisa melakukan itu dari pada mengorbankan poin tim kita!! Dasar Easton bodoh!"

Gilberth malah tertawa. "Hanya kalian berdua yang bisa membuat Andromeda sampai kesal setengah mati." Sementara Anila kembali duduk dan bersungut-sungut kesal, ia menatap pada layar Cyubes, menampilkan jika poin Faelyn dan Arevalous hanya beda tipis karena Arevalous mendapatkan pengurangan poin padahal sebelumnya lebih unggul dan jarak poin mereka cukup jauh.

"Oh Dewa, tim ini benar-benar kacau," gumam Anila kembali menatap pada layar Cyubes.

Berada di sisi arena lagi, tampak Glenn sangat marah bahkan tak segan-segan berteriak pada Easton. "Keparat kau Easton Cressida!" teriak Glenn.

"HA HA HA HA." Tawa Easton, "aku refleks saja meledakkannya menggunakan panah merah, lebih baik hilang poin dibandingkan kalian mendapatkan poin, benar bukan?"

Glenn menggertakkan gigi-giginya. Ia semakin menambahkan Neith ke Claymore-nya yang kini dilapisi listrik. "Akan kubuat kau dikeluarkan dari arena ini!"

"Kalau begitu, ayo mulai sesi dua pertarungan kita," kata Easton menggunakan polearm-nya seraya ia berujar lagi. "Ignitio." Kini mereka siap untuk pertarungan ronde kedua dan sepertinya lupa akan tujuan awal yakni memecahkan lebih banyak bola melayang agar dapat poin. Sungguh kebiasaan murid Eidothea jika lebih suka pertarungan dibandingkan teka-teki dan sebagainya.

Mari beranjak ke sisi lain arena pertandingan yang lebih sepi, tampak seorang pria yang masih terlihat segar dan rapi karena belum bertarung sama sekali, ia tengah memantau kawan-kawannya melalui Cyubes dan sangat kesal saat tahu jika Glenn gagal mendapatkan poin Faelyn. "Ini benar-benar membuatku kesal," ujar Abel Fen Silverling Adrastus. "Si bodoh Cressida itu memang pengacau." Ia berusaha menenangkan dirinya dulu, lalu dari kejauhan, ia bisa melihat seorang Orly wanita yang membawa anak panah putih di atas nampan besi. Ia rasa keberuntungan berpihak padanya ... atau malah kesialan datang padanya.

Sesaat ia menutup mata ketika mendengar langkah kaki pelan mendekatinya dari belakang. "Kurasa pemangsa utamanya datang padaku."

"Akhirnya aku menemukan lawan sepadan." Suara seorang gadis berambut hitam dengan pedang tajam tampak berkilau di bawah teriknya mentari serta tangan kirinya menyeret wooden dummy tanpa kepala. "Sejak tadi, lawanku hanya wooden dummy sialan dan memecahkan bola-bola warna-warni sangat membosankan." Senyuman gadis itu terukir bahagia. "Kini aku bisa bermain dengan seru."

Perlahan Abel sang keturunan cabang Adrastus berbalik seraya mengayunkan tangannya ke dada kiri dan membungkuk sejenak. "Senang bertemu dengan Anda, Yang Mulia Aalisha De Lune, perkenalkan aku adalah Abel Fen---"

"Simpan saja penghormatan bodohmu itu," ujar Aalisha seraya melempar wooden dummy ke samping. "Biar kutebak, kau otak dari timmu bukan?"

"Benar sekali, Yang Mulia," kata Abel tersenyum tipis.

Aalisha sedikit melirik ke belakang, terlihat ada seorang Orly mondar-mandir dan membawa nampan berisi panah putih. "Baiklah, jadi aku memberimu dua pilihan, kau mau aku mendapatkan anak panahnya dengan memenggal kepalamu atau kauberikan dengan sukarela?"

"Tentu saja, takkan kuberikan dengan mudah," kata Abel tampak sangat percaya diri. "Meski Anda adalah Yang Mulia De Lune, Hamba jauh lebih berpengalaman dalam pertandingan Oulixeus."

"Oh kau sangat benar, ini memang pertandingan perdanaku," kata Aalisha dengan tatapan yang tak bisa diartikan apa maksudnya. "Serta pertama kalinya aku akan meraih kemenangan."

"Anda sangat percaya diri ya, Yang Mulia De Lune," kata Abel memunculkan pedang magisnya berjenis long-sword kemudian mengaktifkan pedang tersebut.

"Tentu saja, lagi pula aku adalah De Lune." Senyuman Aalisha terukir semakin bahagia, kini pedang Aeternitas bercahaya biru. Tampak pula kamera-kamera Cyubes menyoroti mereka berdua, kini semua murid berfokus pada kedua keturunan Majestic Families. Ketegangan sangat dirasakan. "Dan aku takkan pernah berhenti hingga mencapai kemenangan. Jadi bersiaplah kau dan timmu untuk menerima kekalahan."

Abel memasang kuda-kudanya, tangan menggenggam kuat gagang pedang, serta mempertahankan senyumannya. Ia diajarkan oleh pihak keluarganya agar tak memperlihatkan emosi kentara terutama amarah karena bisa mengaburkan pandangan dan rasionalitas apalagi saat dalam pertarungan. Misalnya saja seperti kawan-kawannya tadi, terpicu amarah yang membuat mereka kalah.

Sesaat Aalisha menatap manik mata lelaki di lelaki itu yang memiliki mata sipit sehingga jika dia tersenyum, seolah-olah matanya ikut tersenyum pula, tapi Aalisha paham jika semua senyumannya adalah kedok belaka, Abel menyimpan amarah. "Menyedihkan sekali."

"Apa maksud Anda?" kata Abel.

"Kau sangat menyedihkan," ujar Aalisha seraya melangkah, "berpura-pura tersenyum padahal ... ah kau menyimpan amarah yang sangat besar."

"Aku tidak marah, Yang Mulia," ujar Abel, sedikit terpengaruh kata-kata Aalisha. Mengapa pula gadis itu bisa tahu? Tidak, pasti Aalisha hanya mau mengaburkan pandangan Abel.

"Oh apakah aku salah menebak?" kata Aalisha seraya melangkah pelan mengelilingi Abel, Aalisha memutar-mutar pedangnya. "Kurasa tebakanku tidak pernah salah karena setiap insan yang ketika berada di hadapanku, mereka cuma punya tiga emosi; rasa hormat, takut, atau amarah dan iri dengki. Lalu kau sepertinya lagi merasakan emosi yang ketiga benar bukan?"

Abel masih diam, ia bingung juga kenapa tidak menyerang lebih dulu dan menunggu Aalisha memulai pertarungan. Barangkali karena ia tak mau terprovokasi perkataan Aalisha, melihat jika gadis itu seperti keturunan utama lainnya yang senang mempermainkan lawan mereka, alih-alih langsung dikalahkan, tetapi dibuat menderita terlebih dahulu. "Anda salah Yang Mulia."

"Mengapa begitu? Padahal tersirat jelas di raut wajahmu, lagi pula sesuai rumor beberapa bulan lalu saat identitasku belum dikenali. Kalau setiap keturunan cabang Majestic Families berkata jika aku akan dengan mudah dikalahkan dan dibungkam kesombonganku, bahkan kalian tertawa saat aku terkena musibah, kalian menghina dan merundungku. Namun, takdir berbalik dengan sangat cepat. Benar bukan, Abel Adrastus? Sedikit darah Majestic Families memang membuatmu sombong. Hanya saja, detik ini kau harus menahan amarah karena awalnya gadis yang ada di depanmu ini dulunya sangat dihina, tetapi kini seluruh dunia harus membungkukkan badannya di hadapanku, termasuk kau, makhluk rendahan."

Tanpa aba-aba Abel menciptakan pentagram sihir kuning tepat di bawah kaki keduanya dan sangat besar, cahayanya cukup silau, layaknya manik mata hazel milik Abel yang akhirnya memperlihatkan amarah dengan begitu jelas. Aalisha berhasil memprovokasi Abel dan menekan tombol amarahnya. "Akan kukalahkan kau dan tim Arevalous payahmu itu!"

"Sejujurnya aku tak peduli soal timku menang atau kalah," ujar Aalisha mengalirkan Neith ke pedangnya. "Karena yang kuinginkan adalah bermain dan melihat emosi orang-orang ketika tahu betapa Mulia dan Termasyhur-nya aku sebagai keturunan Majestic Families."

"Keparat kau gadis sialan!" Cukup etika dan hormatnya, kini Abel sudah di puncak amarah yang ia pendam sejak pertandingan dimulai. "Umbestia Manvunus."

Aalisha terenyak ketika muncul tangan-tangan binatang sejenis gorila dari dalam pentagram sihir Abel yang sukses mencengkeram kuat kedua kaki Aalisha, lalu ekor ular yang masing-masing menjerat kedua tangan, pergelangan, serta pedang Aalisha. "Sialan, aku sejenak lupa akan kemampuan keluarga ini, tapi aku terkesan, jadi seperti ini kemampuan mistis Adrastus secara langsung."

"Kau masih bisa tersenyum, huh!" teriak Abel mengangkat pedangnya yang bersinar karena dilapisi Neith, lalu ia ayunkan secara horizontal, tepat hendak membelah tubuh Aalisha dengan tarikan garis lurus. "Pergilah ke rumah sakit!"

Darah menetes dari pipi Aalisha ketika claymore Abel terhenti karena ada sembilan rantai besi menahan setiap engsel dan titik tertentu bagian tubuhnya yang berfungsi untuk mengayunkan pedang. Sehingga hal inilah yang mencegah Abel gagal menebas tubuh Aalisha. "Kurasa posisi kita sama-sama tak bisa bergerak."

"Sialan," ujar Abel berusaha menggerakan pedang dan badannya, tetapi rantai dari pentagram sihir Aalisha terus menariknya. Keduanya benar-benar tak bisa melakukan serangan satu sama lain. "Aku benar-benar harus serius saat menghadapimu, gadis sialan."

Sinyal bahaya terdeteksi oleh Aalisha, tiba-tiba muncul tangan lain dari pentagram Abel di bawah kedua kaki mereka, bersamaan dengan itu tangan tersebut yang membawa pisau tajam berusaha menggores perut Aalisha, tetapi lekas gadis itu rapalkan mantra yang membuat tanah tinggi sehingga mendorong keduanya ke atas kemudian akar-akar pohon keluar dan merusak tanah tersebut. Membebaskan keduanya dari jeratan mantra masing-masing, lekas Aalisha melompat mundur, seraya berpijak dengan memasang kedua kuda-kudanya setelah ia mengusap darah di pipinya.

"Mari buktikan, seberapa hebat dirimu Yang Mulia," kata Abel, tampak tangannya kini berotot ketika mencengkeram kuat gagang pedang Claymore-nya bahkan ia mampu mengangkat pedang besar dan berat tersebut dengan satu tangan. "Kuharap tak mengecewakan banyak orang."

Aalisha menghela napas. Ia yang kini dikenal sebagai Majestic Families saja, masih banyak yang meremehkan, apalagi jika dia masih menyembunyikan identitasnya. "Aku di sini bukan untuk unjuk kehebatan, tapi hendak bermain-main jadi mari kubalik narasinya, seberapa lama kau bertahan melawanku, Abel Adrastus."

Gertakan gigi terdengar, Neith yang dipusatkan ke kedua kaki Abel, seketika mendorong lelaki itu berlari sangat cepat dengan satu tangannya mengayunkan pedang Claymore begitu mudahnya. Ketika sang Claymore bergesekan dengan Aeternitas milik Aalisha, angin kencang tercipta yang menghancurkan semak-semak hingga membuat tanah retak saking kuatnya dampak dari benturan kedua senjata magis tersebut. Lekas Aalisha menangkis setiap serangan Abel yang meskipun lambat, tetapi dampak yang diberikan besar karena tipe Claymore memang pedang dengan efek serangan yang berat dan besar, kekurangannya adalah fleksibilitas gerakan dan kecepatan saja. Namun, karena Abel menggunakan kemampuan mistis, ia mudah saja mengayunkan pedangnya dengan satu tangan.

"Aku paham," kata Aalisha, "kau mengubah tangan kananmu menjadi tangan gorila bukan? Karena Adrastus bisa setengah bertransformasi menjadi binatang yang mereka kehendaki."

"Kau memang cerdas Yang Mulia," kata Abel yang dalam sekejap, tangannya semakin berotot, sedikit berbulu serta baju lengannya robek dan hancur ketika transformasi tersebut. "Jadi bersiaplah tercabik-cabik!"

Mata Aalisha membulat ketika Abel mampu mengayunkan pedang Claymore-nya lebih cepat berkali-kali lipat seolah-olah pedang yang beratnya enam kilogram itu hanyalah kapas atau ranting kayu. Membuat Aalisha harus mempercepat gerakannya pula dan menambah kekuatan pada kedua tangannya, tetapi sangat sulit mengimbangi Abel, terutama perbedaan berat badan yang mereka miliki sehingga daya tekan tenaga Abel lebih besar dari Aalisha. Kini langkah Aalisha semakin mundur setiap detiknya, terutama ketika Abel mengkombinasikan gaya berpedangnya dengan beberapa teknik sihir sehingga Aalisha juga harus menggunakan sihir agar serangan Abel tak menggores gadis tersebut.

"Ada apa Yang Mulia! Kau kesulitan melawanku, huh?" kata Abel, "kau tampak kelelahan karena perbedaan tenaga yang kita miliki." Serangannya diperkuat, maka sukses Aalisha terempas kuat ke belakang bersamaan pepohonan terbelah dua ketika Abel mengayunkan secara vertikal pedangnya dan menciptakan energi Neith menebas pepohonan serta menciptakan beberapa luka di tubuh Aalisha.

"Apakah hanya segini saja kemampuanmu?" kata Abel menancapkan pedangnya ke tanah, ia terlihat terengah-engah. Ia tak perlu bahasa formal lagi. "Kau tampak kelelahan."

"Oh aku merasa terharu karena kau mengkhawatirkanku," kata Aalisha dengan senyuman sinis. "Lebih baik kau khawatir dirimu sendiri karena aku takkan menanggung biaya perawatan rumah sakit."

"Kaulah yang akan berbaring di rumah sakit Yang Mulia," kata Abel seraya melirik pada Orly pembawa panah putih. "Mari mulai lagi."

Abel menerjang, mengayunkan pedangnya dengan cepat. Sementara Aalisha hanya diam, lalu ia merapalkan mantra yang membuat pentagram sihir lalu menyemburkan air bah dingin, sayangnya serangan tersebut malah ditertawakan oleh Abel yang lekas membalas dengan sihir yang membuat air bah tersebut tidak menyentuh tubuhnya barang sehelai rambut pun. Lalu Abel menggunakan mantra berbeda yang dipadukan ayunan pedangnya sehingga serangan dengan dampak sangat dahsyat mengarah pada Aalisha bahkan membuat tanah retak seiring serangan itu menerjang. Namun, Aalisha ayunkan pedangnya yang berhasil memblokir serangan tersebut, kemudian aliran listrik dialirkan melalui rerumputan basah. Serta tiupan kabut putih menutupi untuk sekitar mereka.

"Kenapa kau hanya menyerang menggunakan sihir-sihir lemah!" teriak Abel seraya menancapkan claymore-nya ke tanah, maka serangan listrik tersebut terblokir dan tidak melukainya sedikit pun. "Kenapa tak ada jawaban." Ia gunakan mantra untuk menjauhkan kabut putih tersebut. "Sial, di mana gadis itu?"

"Kehilangan diriku?" Sontak Abel terkejut ketika Aalisha menerjang sangat cepat seraya mengayunkan pedangnya, bunyi dentangan keras terdengar saat kedua senjata itu bersinggungan. "Kurasa otot-otot palsu itu sudah mulai berkurang kekuatannya."

Terdengar decakan sebal dari Abel, membuat senyuman Aalisha terukir, ia berhasil mengulur waktu sehingga membuat transformasi Abel pada kedua lengannya berkurang. Maka dengan cepat, Aalisha memunculkan besi tajam menggunakan sihir seraya diayunkan sangat cepat ke arah titik vital Abel di perutnya, tetapi besi tersebut malah ditahan begitu mudahnya oleh Abel.

"Jangan anggap aku remeh, De Lune!" Abel menggunakan kemampuan mistisnya lagi dan mengubah kaki kanannya menjadi kaki harimau dengan kuku tajam, lalu dengan sekuat tenaga, ia gunakan kekuatan terakhir tangannya dan mengempaskan pedang Aalisha, membuatnya terdorong ke belakang, kemudian menusuk perut gadis tersebut menggunakan kuku tajam kaki harimaunya. Darah memuncrat dari mulut Aalisha dan rasa sakit menjalar cepat.

"Bagaimana rasanya, bukankah sangat sakit?" kata Abel, tapi detik selanjutnya ia sontak melompat ketika besi-besi tajam bermunculan dari tanah dan hampir menusuknya. "Sayang sekali kau gagal, Nona De Lune. Sekali lagi, biar kutanya ...." Ia angkat pedang claymore-nya seraya disampirkan ke bahunya. "Apakah rasanya sakit ... sialan, apa yang kau lakukan?"

Tatapan Abel menjadi sangat sinis, sungguh tak ia sangka! Apa barusan di hadapannya ini? Bukannya berteriak dan menjerit-jerit kesakitan, gadis De Lune itu malah mengeluarkan buku tulis kecil dan pena berbulu. "Adrastus bisa bertransformasi beberapa bagian tubuhnya dengan jenis binatang yang berbeda dalam waktu bersamaan."

Kekesalan memuncak, Abel menggertakan gigi-giginya yang sedikit tajam, ia sangat geram pada Aalisha yang tampak biasa saja bahkan luka di perutnya seolah-olah tidak perlu dipedulikan. "Kau benar-benar sialan ya, masih sempat menulis catatan?!"

"Aku diajarkan untuk mencatat setiap pengetahuan baru agar mudah dipelajari ulang," kata gadis itu tampak polos, padahal ia sengaja untuk mempermainkan Abel, tidak hanya pria Adrastus itu, para murid di bangku tribune juga dibuat bertanya-tanya, bingung, bahkan kesal. Lagi pula, ia sengaja untuk membangun citra bahwa De Lune tidak takut meski berada di ambang kematian.

"Mana ada orang bodoh yang menulis catatan di saat pertarungan!" teriak Abel perlahan melepaskan jubahnya, ia benar-benar muak dengan segala ejekan Aalisha sejak awal tadi, terus memprovokasi dirinya seolah-olah Abel memang benar makhluk rendahan meski ia adalah Majestic Families keturunan cabang!

"Kau tak tahu ya? Di luar sana bahkan ada orang gila yang membaca puisi di saat dia membantai musuh-musuhnya," kata Aalisha.

"Aku tak peduli, kau menulis catatan itu hanya untuk mengejekku, hanya karena kau adalah keturunan utama," ujar Abel yang perlahan-lahan napasnya jadi sangat panas, tangannya kini mulai muncul sisik-sisik hitam yang perlahan-lahan jadi pelindung dari setiap serangan, kuku-kukunya sangat tajam dan siap mencabik musuhnya.

Aalisha diam sejenak, kira-kira apa yang akan lelaki itu lakukan? "Aku ada pertanyaan," kata Aalisha tersenyum kecil. "Apakah kau bisa mengubah dirimu jadi kelinci? Aku sangat suka kelinci. Jika kau bisa melakukannya, kurelakan panah itu untuk timmu."

"GADIS SIALAN! BERHENTI BERCANDA DAN JANGAN REMEHKAN AKU!" teriak Abel seraya mengangkat pedangnya dilapisi Neith setinggi mungkin seraya puluhan pentagram sihir muncul dan siap meluncurkan serangan dahsyat. Kini ia ibarat akan menurunkan ribuan petir serta angin topannya karena sekitar mereka udara menjadi lebih dingin serta angin bertiup.

Sesaat Aalisha tampak kecewa, ia ingin sekali tahu apakah Adrastus ada yang pernah mengubah bentuk mereka menjadi kelinci. "Ah sangat sekali, aku akan cari tahu jawabannya di lain waktu." Perlahan-lahan dia angkat bukunya. "Letreia."

Detik itu, Abel terdiam membisu saat melihat Aalisha tersenyum licik dengan manik matanya sejenak bercahaya emas, lalu tiba-tiba ribuan kertas berterbangan mengelilingi mereka. Tanpa mau kalah, Abel mengayunkan pedang claymore-nya yang hasil dari serangan tersebut tampak membentuk seekor naga mengamuk dengan membawa angin topan serta dilapisi listrik bertegangan tinggi dan sekitar mereka berderak, berguncang akibat rerumputan basah yang terkontaminasi dengan listrik serangan dari Abel. Hanya hitungan detik saja, serangan tersebut melahap lawannya hingga mati kejang-kejang.

Ketegangan terjadi di mana-mana bahkan para murid di bangku tribune. Tak satu pun mengedipkan matanya bahkan Huckleberry meskipun begitu ia masih bisa berkomentar. "Putri De Lune hanya diam saja ketika Abel Adrastus melancarkan serangan dahsyat di antara kertas-kertas yang mengelilingi mereka! Tampaknya kertas-kertas tersebut terbakar, kemungkinan tak bisa menangkal serangan Aalisha! Namun, kenapa dia hanya diam saja! Apakah dia sudah berpasrah diri dan ketakutan?!"

Pasrah? Apakah rasa takut terukir di wajah Aalisha? Tentu tidak karena hanya darah menetes dari hidungnya, menandakan jika gadis itu telah serius dalam pertarungan ini. "Mekarlah pohon oak dan dedaunan cantiknya." Seketika kertas-kertas tersebut mengubah bentuknya menjadi akar dan batang kayu serta dedaunan hijau yang cantik.

"Kertas-kertas itu berubah menjadi pohon!!" teriak Huckleberry. Bersamaan dengan itu, para murid refleks berdiri dari bangku mereka, bahkan Killian dan Alejandro, Nathalia, serta ketiga Majestic Families.

Detik selanjutnya, ibarat yang sering orang-orang katakan bahwa mereka menunggu keajaiban De Lune. Maka sebelum serangan Abel membunuh Aalisha, lebih dulu terciptalah melalui kertas-kertas sebuah pohon oak yang sangat tinggi, besar, dan kokoh. Akar-akarnya berhasil menyerap seluruh sisa air di sana, dedaunannya tumbuh dengan hijau dan lebat tanpa cacat sedikit pun.

Lalu ketika serangan topan listrik Abel yang membentuk naga menghantam pohon oak tersebut, angin topannya terpecah-belah hingga lenyap kemudian aliran listriknya hanya menyambar pohon tersebut dan tidak mengalir ke arah lain serta tidak sedikit pun menggores tubuh Aalisha.

"Bukankah kayu adalah isolator listrik terbaik?" kata Aalisha dengan senyuman, melangkah melewati pohon oak yang kini sedikit tenang setelah membinasakan serangan Abel. "Siapa yang cerdik di sini?"

"Kubunuh kau!" teriak Abel yang seketika dengan sangat cepat menerjang ke arah Aalisha. Maka pertarungan pedang terjadi lagi, tetapi kali ini, Aalisha lebih mudah membaca pola serangan Abel apalagi lelaki itu dilanda emosi. Meskipun gerakan Abel lebih cepat nan tajam, tetapi sungguh ceroboh sehingga Aalisha bisa menangkis dan memblokir setiap serangan tersebut.

Rasa amarah Abel kian memuncak ketika Aalisha gunakan mantra yang membuat akar-akar pepohonan ikut menyerang pula, puluhan goresan berhasil tercipta ketika pedang dan akar tajam itu membeset tubuhnya yang tidak dilindungi sisik naga, sementara Aalisha juga tak luput dari goresan dan luka serta darah menetes.

"Mari akhiri ini, pertandingan hampir habis waktunya," ujar Aalisha.

Langkah Abel terhenti begitu saja, ia menatap pada Aalisha yang memuntahkan darah, harusnya ini menjadi kesempatannya untuk menyerang, tapi tubuhnya kaku hingga tiba-tiba puluhan akar melilit tangan, kaki, serta tubuhnya bahkan leher. Membuat Abel tak bisa bergerak sedikit pun, ia meraung-raung saking ia marahnya. Lalu amarah itu terhenti saat pentagram biru tua muncul tepat di hadapan wajahnya, semakin bersinar dan juga terasa sangat panas seolah-olah siap menyemburkan api yang sangat dahsyat. Maka terdengarlah rapalan mantra. "Igniesco."

Sungguh mengerikan ketika ledakan dari salah satu sihir tingkat tinggi tersebut tepat menyerang di hadapan wajah Abel yang hanya berjarak beberapa sentimeter saja. Jika dari jauh saja, mantra tersebut bisa membunuh bahkan meratakan satu desa, apalagi dari jarak yang sangat dekat. Namun, Aalisha tidak berniat membunuh siapa pun. Ia tahu batasan pertandingan ini dan tubuhnya jadi dampak kekuatan Igniesco sudah ia perkecil. Kemungkinan hanya membuat Abel masuk rumah sakit selama beberapa hari. Kini asap hitam di mana-mana, tanah retak dan sebagian cekung meski hanya sedalam beberapa sentimeter saja. Bahkan akar-akar pohon tampak hangus dan menjadi abu karena tidak tahan atas serangan tersebut.

"Sialan," kata Aalisha seraya mengusap bibirnya yang ada darah. "Lumayan juga kau karena membuatku sedikit kelelahan. Melawan sesama Majestic Families meski cabang, memang perlu tenaga lebih."

Sang De Lune berbalik. "Kini giliranmu, kau akan berikan panah itu dan tak kabur 'kan?" kata Aalisha pada si Orly pembawa panah putih yang tubuhnya terjerat akar-akar pohon.

"Hamba menyerah, Yang Mulia," kata Orly tersebut seraya menyodorkan anak panahnya.

"Cerdas juga kau karena jika kaukabur, kupastikan kepalamu akan putus," balas Aalisha seraya mengambil panah tersebut dan ia genggam. "Pertandingan ini benar-benar mudah atau Faelyn yang timnya sangat payah?" Sesaat gadis itu menatap pada Cyubes yang tampaknya pertandingan akan berakhir dalam 15 menit lagi serta dengan adanya anak panah putih di tangan Aalisha, dipastikan jika Arevalous akan menang telak.

"Dewa memang selalu berpihak padaku," kata Aalisha tersenyum puas.

Berada di sisi lain, tampak anggota Faelyn sudah sangat pasrah, Maudie yang memang sudah tak bisa bertarung lagi, ia sejak tadi diamankan keluar dari arena dan mendapatkan perawatan, Rohan tampak pingsan karena dikalahkan Evanora dan Aguero, lalu Glenn tersungkur di tanah dengan polearm Easton tepat berjarak beberapa sentimeter dari lehernya, ia juga kalah.

Sementara itu, terlihat sang Principes tim Faelyn yakni Dante yang terikat kedua tangannya oleh benang sihir sehingga tak bisa bergerak, ia tak mampu pula melawan balik karena tubuhnya kaku akibat terlalu lama menghirup bau darah Damien Nerezza. Pertarungan mereka cukup lama, tetapi Dante lebih tersudutkan karena tidak waspada pada teknik darah Nerezza yang membuatnya berakhir dengan kekalahan.

"Kami tidak lemah," ujar Damien pada Dante yang menatap sinis yang sudah tak mampu bertarung lagi. Tampak Damien menggenggam panah merah yang ia ambil dari Dante seraya ia masukkan ke busurnya dan hendak menembak bola merah melayang. "Kami hanya kekurangan anggota untuk melawan Majestic Families lain terutama Eloise, Nicaise, dan Athreus. Jika melawan anggota lain, kami mampu."

Dante menghela napas. "Baiklah, aku mengaku kalah, lagi pula De Lune itu punya anak panah putih, jelas kami kalah telak. Sialan, andai sejak awal kami tahu jika De Lune bergabung dengan kalian."

Damien terkekeh pelan. "Terkadang penting untuk tidak cepat meremehkan lawan, bukan?"

"Aku selalu bingung, kenapa Arevalous yang selalu terbawah, tapi kalian masih bisa tertawa."

Sesaat Damien terdiam, ia bingung pula, padahal saat tahun-tahun awalnya di Eidothea, ia benci asrama ini karena kebanyakan tidak serius dan senang berbuat onar, terutama Easton dan Noah bahkan Aguero serta Fabian. Namun, seiring waktu, sifat dingin dan serius Damien mencair, membuatnya jadi lebih bisa menikmati kebahagiaan di kehidupan akademi ini. Terlebih ketika seseorang berkata, "bukankah sekolah tempatnya untuk menikmati masa muda? Jadi selain belajar dan menambah wawasan, perlu juga bermain-main karena kita takkan tahu kapan bisa menikmati masa-masa ini sebelum terjun ke masyarakat dan menghadapi betapa rumitnya kehidupan."

"Kenapa kau hanya diam?" kata Dante, "kehilangan kata-kata."

Damien menarik tali busurnya, anak panah melesak dan memecahkan bola merah. "Kenapa ya Arevalous tampak tak serius ... karena di umur seperti ini bukankah kita harus menikmati masa muda kita?"

"Aneh sekali yang memiliki darah Majestic Families, berkata seperti itu." Dante menahan tawanya.

"Yeah apalagi aku bisa saja mati esok atau tahun nanti, umur kami tidak pernah lama, jadi aku ingin menikmati hidupku selagi bisa," balas Damien yang membuat senyum Dante pudar.

"Hey jangan berkata seperti itu!" teriak Dante dan hanya dibalas tawa oleh Damien. Namun, tawa tersebut tak berlangsung lama, tiba-tiba berhenti dan lekas Damien menoleh ke belakang bersama dengan Dante yang merasakan aura Neith sangat kuat.

"Sialan apa itu?" ujar Damien.

Mata Dante membulat ketika menatap pada kabut hitam di dekat pohon oak, tempat di mana pertarungan De Lune melawan Abel Adrastus. "Oh Dewa, ini gawat ...."

Berada di bangku tribune, para murid tampak tegang dan ketakutan, mereka berusaha menatap sejelas-jelasnya pada Cyubes atau secara langsung karena di dalam kabut hitam memercikkan listrik tersebut, ada ekor besar yang tampak bergoyang, serta tanduk tajam, badan yang dilapisi sisik-sisik hitam tebal, serta sayap-sayap yang tampak kaku, hingga suara menggelegar nyaring dan bergema ke seluruh arena pertandingan bahkan bangku tribune.

Detik itu keributan terdengar ketika kabut hitam menghilang akibat angin kencang bersamaan Aalisha terempas ke belakang serta anak panahnya lepas dari tangannya. Bahkan parahnya pohon oak roboh begitu saja. Manik matanya membulat ketika menatap sosok monster, bukan, bukan monster, melainkan naga hitam yang berjarak beberapa sentimeter darinya. "Oh sialan, Adrastus itu bertransformasi menjadi naga."

"ROAARRGGHHHHHH!" Raungan suara naga tersebut bergema sangat kencang hingga memekakkan telinga. "KUHANCURKAN KAU DE LUNE!"

"DISKUALIFIKASI!" teriak Hobbes Trinder dan beberapa Orly, "Abel Patell Myghell, kau didiskualifikasi karena melebihi batasan penggunaan kemampuan mistis!" Lekas para Orly terbang mendekati Abel dalam wujud naga, tetapi ketika ayunan sayap dan cakar dikerahkan, sukses membuat para Orly terlempar dan terluka hingga berdarah-darah.

"DE LUNE! KEMARI KAU BOCAH SIALAN! BIAR KUCABIK-CABIK KAU JADI DAGING CINCANG!" Dua pentagram sihir muncul di dekat Aalisha, bersamaan raungan kencang Abel telah menciptakan serangan cakar tajam berpadu dengan ledakan api dahsyat yang menghantam badan Aalisha sangat kuat, kini tanah gosong serta asap membumbung ke udara.

"Keparat." Sudah tak Aalisha pedulikan ketika anak panahnya patah dan hancur.

Darah menetes akibat luka yang tercipta di tubuh De Lune, lalu tanpa ampun, Abel dalam wujud naganya seketika menerjang dengan kecepatan cahaya, dan mencabik tubuh Aalisha, tetapi gadis itu tahan menggunakan Aeternitas untuk mencegah luka lebih dalam. Sayangnya, Abel dengan berat berton-ton tersebut berhasil menyeret tubuh Aalisha terus mundur ke belakang, sepatu gadis itu yang berusaha menahan dorongan kekuatan Abel tampaknya gagal sehingga meninggalkan bekas tanah memanjang ibarat tengah dibajak.

"Hey sadarlah sialan, kau sudah didiskualifikasi! Timmu kalah, sialan!" teriak Aalisha.

"AKU TAK PEDULI KARENA YANG KUMAU ADALAH MENGALAHKANMU DE LUNE!"

Aalisha berdecak sebal, ia menyesal sudah memprovokasi Abel. Lagi pula ia tak sangka jika banyak orang yang ambisius mengalahkannya. Barangkali karena dalam lubuk hati mereka, masih tak terima jika Aalisha adalah Majestic Families De Lune.

"Bajingan, kenapa hariku selalu sial," ujar Aalisha, tubuhnya tidak mampu menahan.

Terus-menerus Abel menyeret Aalisha hingga ketika sayapnya direntangkan sangat lebar, detik itu mata Aalisha membelalak karena cakar tajam Abel melukai tangan dan sedikit menggores perut Aalisha, lalu dalam sekejap saja, ia diterbangkan tinggi ke atas, tak ia rasakan kakinya memijak tanah lagi. Aalisha berusaha menahan cakar Abel sekuat tenaga agar tidak semakin dalam menusuk perutnya. Hingga ia terdiam ketika melihat senyuman Abel serta suara yang sangat rendah itu. "Matilah kau De Lune."

Di langit-langit, beberapa meter di atas tanah, lima pentagram sihir muncul dan melancarkan serangan api pada Aalisha hingga menciptakan ledakan sangat dahsyat yang asap hitamnya sangat tebal. Semua mata menatap tak percaya, terkejut, dan tak berkedip pada kepulan asap hitam serta darah yang merembes dari langit hingga ke tanah dan menciptakan genangan darah, lebih mengerikannya ketika sebuah pedang berputar pelan bernama Aeternitas berlumuran darah yang jatuh dengan cepat dari langit kemudian menancap ke tanah.

Detik itu semua terkejut karena tahu jika itu adalah pedang milik Aalisha.

Detik itu pula, mereka dipenuhi perasaan tegang dan takut.

Detik itulah, mereka juga berpikir bahwa Sang De Lune telah dikalahkan.

Keributan telah terjadi di arena pertandingan, tetapi sepertinya tidak semua orang berada di tribune dan menyaksikan kengerian seorang keturunan cabang Adrastus dalam wujud naga dan kehilangan kendali kemudian menyerang keturunan utama De Lune. Karena kini lima murid; empat Arevalous dan satu Sylvester tengah memantau profesor yang sejak tadi gerak-geriknya sangat aneh.

"Aalisha terluka parah," kata Frisca setengah berbisik. "Noah mengirimkan pesan jika Adrastus menjadi naga dan menyerang Aalisha secara brutal."

"Kita harus kembali ke sana," kata Kennedy, seraya melirik pada target mereka dari kejauhan yang masih berbicara dengan seorang Orly.

Gilbert ikutan berujar, "mungkin sebagian harus kembali, sisanya---"

"Takkan ada yang kembali!!" Anila berkata dengan tegas, tangannya terkepal sangat kuat, ia memendam amarah dan kekhawatiran sekaligus. Manik matanya melirik pada Mylo yang memantau Cyubes. "Jika kita berpencar, maka misi ini akan gagal."

"Tapi Aalisha---"

"Dia De Lune," kata Anila dengan cepat dan tegas, tapi tak bisa dimungkiri jika ada air mata jatuh dari pelupuknya. "Dia memerintahkan kita untuk menyelidiki profesor Prambudi dan tidak boleh kembali ke tribune pertandingan sampai kita berhasil mengorek informasi darinya."

Hening sesaat, terlihat Frisca, Kennedy, dan Gilbert bisa paham kegundahan Anila sebagai seseorang yang paling sayang dan peduli pada Aalisha. Gadis itu pastilah yang paling ingin berlari balik ke tribune agar memastikan bagaimana kondisi Aalisha, tetapi di sisi lain, jika mereka gagal pada misi ini, maka mereka kehilangan kesempatan dan mungkin beberapa hari ke depan bencana yang lebih berbahaya akan datang.

"Dia bergerak lagi," kata Mylo dengan nada gemetar karena jantung berdegup kencang setelah mendengar kabar Aalisha diserang oleh Adrastus dalam wujud naga. "Profesor itu selesai bicara dengan Orly lalu bergerak ke Timur Akademi ... ayo ikuti."

"Baiklah," kata Kennedy, "ayo fokus pada misi ini. Aalisha bisa mengalahkan Phantomius bahkan Aramis yang Wyvern asli dengan mudah, dia takkan mati pada masalah sepele."

Frisca mengusap air matanya, Gilbert perlahan berdiri, dan Anila menganggukkan kepalanya. Mereka tampak sudah kembali rasional karena cukup dramatis tadi. Sesaat empati mereka bekerja dan mengaburkan pandangan sesaat serta melupakan bahwa seorang De Lune takkan bisa dikalahkan begitu saja, lagi pula Aalisha punya banyak trik licik dalam setiap pertarungannya dan gadis itu selalu bisa membaca keadaan.

Ketika profesor Prambudi melangkah lagi dengan membawa tumpukan dokumen misterius yang diberi segel, maka kelima murid tersebut juga bergerak pelan secara diam-diam mengikuti ke mana pria tersebut hendak pergi. Ia sangat mencurigakan terutama menutupi tubuhnya dengan jubah serta tudung hitam. Oh ya, kelima murid tersebut juga mengenakan jubah bahkan menggunakan topeng untuk menyembunyikan wajah mereka.

"Ada Orly lagi," kata Mylo. Langkah mereka pun berhenti saat seorang Orly menyentuh bahu Prambudi, lalu berbisik entah apa yang ia katakan pada Prambudi, tetapi sukses membuat Prambudi menoleh ke belakang. Lekas para murid tersebut bersembunyi di balik dinding dan pohon.

"Apa kita ketahuan?" kata Gilbert.

"Lihat Orly itu," kata Kennedy.

Mereka membelalak ketika asap putih mengelilingi profesor Prambudi dan si Orly, ketika sudah menutupi seluruh tubuh mereka. Tiba-tiba melompat dua orang dengan jubah hitam serta tudung. "Sialan," kata Frisca, "kenapa ada dua profesor Prambudi?! Hey mereka kabur ke arah yang berbeda!"

Anila Andromeda berdecak sebal. "Mereka sadar kehadiran kita dan si Orly mengubah wujud menjadi profesor Prambudi!" Lekas Anila berlari, "Frisca, Gilbert, Kennedy, kejar profesor Prambudi yang berlari ke arah timur! Mylo, kau ikut aku ke arah barat!"

"Ya! Tetap saling berkomunikasi!" teriak Kennedy dan lekas mengikuti Gilbert serta Frisca yang mengejar profesor Prambudi ke arah timur.

Permainan petak-umpet pun dimulai pada detik itu, ibarat tikus nakal yang mencuri keju lalu sang pemilik toko keju marah dan melepaskan lima ekor kucing untuk menangkap para pencuri kecil tersebut. Langkah kaki terdengar di sepanjang koridor sebelah timur dan barat, dikarenakan para murid semuanya berkumpul di tribune, maka tidak ada orang lain selain mereka, mungkin ada beberapa Orly yang bekerja membersihkan koridor dan langit-langit, tapi mereka tampaknya tak peduli karena memang bukan urusan mereka.

"Mari berpencar tiga!" teriak Gilbert yang langsung mendapatkan anggukan dari Frisca dan Kennedy. Mereka pun berpencar, tapi dengan satu tujuan yakin menangkap profesor Prambudi atau malah si Orly? Sulitnya dalam permainan petak-umpet atau kejar-kejaran ini adalah denah koridor Eidothea yang senang berubah-ubah terlebih mereka masih belum menghafal setiap jalannya.

"Sialan!" teriak Frisca, "dia ke lantai dua!" Lekas mereka berlari ke lantai atas kemudian berbelok ke koridor berbeda untuk menangkap target mereka melalui segala arah.

Tampaknya memerlukan waktu dalam permainan ini hingga akhirnya target mereka berhenti di tengah-tengah koridor yang memiliki tiga cabang, maka dari setiap cabang koridor tersebut, muncul Kennedy, Gilbert, dan Frisca. Tanpa peringatan, ketiganya lekas melompat ke arah target, tapi tiba-tiba profesor Prambudi tersebut kembali ke wujud Orly yang perlahan-lahan menghilang dari sana. Lalu detik selanjutnya, tubuh ketiga murid tersebut saling bertabrakan dan membentur. Mereka pun gagal karena yang mereka kejar sejak tadi bukanlah profesor Prambudi.

"Sialan! Badanku sakit!" teriak Frisca perlahan-lahan dibantu berdiri oleh Kennedy.

"Kurasa yang asli yang dikejar Mylo dan Anila," kata Kennedy.

"Karena itu cepat kembali ke bawah dan bantu mereka!" teriak Gilbert, "pengejaran ini benar-benar membuatku kesal!"

Menuju koridor sebelah barat, Mylo dan Anila terus berlari mengejar profesor Prambudi yang asli, mereka sudah mendapat kabar jika mereka lah yang mengejar profesor Prambudi asli. Maka atas inilah keduanya dengan sangat cepat mengejar target mereka yang terus-menerus berlari bahkan takkan segan menggunakan sihir agar memperlambat lari mereka; mulai dari menggunakan mantra air yang dicampur sabun sehingga Anila dan Mylo hampir tergelincir dan jatuh hingga teknik asap yang mengaburkan pandangan mereka.

"Awas!" teriak Mylo ketika dari arah tangga, tiga murid turun dengan cepat dan mereka saling bertabrakan. "Sialan! Perhatikan arah lari kalian!"

"Hey!" teriak Gilbert, "kaulah yang meluncur sangat cepat---sialan!" Gilbert terjatuh lagi karena lantai yang licin."

"Bantu aku berdiri," ujar Frisca, lekas Kennedy meraih tangan tersebut dan membantunya berdiri. Mereka berusaha menyeimbangkan tubuh satu sama lain agar tidak tergelincir lagi.

"Jangan diam saja," ujar Anila melompat melewati lantai licin. "Target terus kabur, jika dia sampai lepas dari kejaran kita maka misi ini sia-sia saja!"

"Sialan." Gilbert tampak geram. "Ayo kejar!"

Maka kelima murid tersebut kembali mengejar profesor Prambudi yang semakin jauh dari pandangan mereka. Tampaknya pria itu masih tak tahu identitas asli yang mengejarnya dan mengapa mereka mengejarnya, tetapi yang Prambudi inginkan hanyalah kabur dan masuk ke lokasi yang telah ia tandai di peta. Ia harus menjalankan misinya secepat mungkin. "Bocah-bocah sialan ini, apa tujuan mereka, tapi mereka benar-benar bodoh!"

"Sialan! Dia mau masuk ke ruangan itu!" teriak Mylo, "oh tidak, asap hitam lagi!"

Anila yang sejak tadi diam tak menyerang balik karena berisiko jika ia gunakan sihir, nanti identitasnya ketahuan. Namun, kini ia sudah benar-benar diambang batas, maka dengan kesadaran penuh, ia gunakan mantra untuk menghilangkan asap-asap hitam di sekitar mereka. Sayangnya, pada detik selanjutnya, mereka terdiam karena profesor Prambudi akan masuk ke sebuah ruangan, kunci pintunya sudah dibuka, dan jika ia melangkah masuk, gagal sudah pengejaran mereka karena mustahil mereka mendobrak pintu tersebut.

"Jangan kabur!" teriak Gilbert tanpa pikir panjang, ia berlari sementara profesor Prambudi tersenyum licik.

"Dasar bocah-bocah bodoh." Prambudi pun membuka pintu tersebut. "Aku akan mencari tahu identitas kalian setelah ini."

Oh Jagad Dewa, gagal sudah semua pengejaran mereka.

Benarkah? Segalanya berjalan dengan sangat cepat. Dari arah kanan koridor, muncul tak disangka-sangka, seorang gadis rambut hitam dikuncir, kemudian merapatkan jari-jemarinya, ia serang titik vital Prambudi yang berada di leher. Membuat pria tersebut langsung sakit kepala, tubuhnya oleng, dan tiba-tiba jarum kecil tajam menusuk sarafnya yang detik selanjutnya penglihatan Prambudi kabur lalu tubuhnya ambruk ke lantai, ia langsung tak sadarkan diri, serta seluruh dokumen yang ia bawa berhamburan. Bahkan tak sempat mengetahui siapa yang menyerangnya.

Knee high boots hitam tersebut berpijak di lantai, berhenti dan mengarah pada kelima murid yang hanya diam membisu menatapnya. "Sudah kuduga kalian benar-benar payah, mengurus cecunguk ini saja, kalian tak mampu."

Mereka masih terdiam, tak sedikit pun mengedipkan mata; memperhatikan gadis pendek itu yang masih mengenakan pakaian bertandingnya, tetapi karena baju atasnya robek akibat serangan Abel dalam wujud naga maka gadis itu melapisi dirinya dengan jubah yang panjang selutut, tetapi hanya ia sampirkan di bahu saja, tidak ia kenakan lengan jubahnya sehingga menjuntai ke bawah dengan bebas. Tampak wajahnya ada bekas luka sementara lehernya lebam melepuh akibat serangan api, entah sudah diberi obat atau belum, gadis itu masih dapat berdiri dengan kokoh tanpa oleng sedikit pun. Jika gadis itu telah dihadapan mereka, berarti dapat diartikan bahwa dia selamat dari teror keturunan Adrastus yang mengamuk berubah jadi naga.

"Aalisha," ujar Anila langsung berlari menuju gadis itu kemudian mendekapnya dengan erat. "Sialan, kenapa kau di sini?! Kau harusnya istirahat!"

"Jangan peluk! Kauselalu saja dramatis! Aku baik-baik saja, jadi lepaskan aku!" Lekas gadis pendek itu mendorong Anila, tapi tampaknya keegoisan lebih besar sehingga Anila tak mau melepaskan pelukannya dan semakin erat seolah-olah tubuh Aalisha dilahap olehnya.

"Kenapa bisa kau tiba-tiba di sini?!" teriak Mylo, "pertandingannya apakah sudah selesai? Lalu si Adrastus sialan itu bagaimana?!"

"Apa kaumembunuhnya?" tukas Gilbert.

Aalisha menghela napas. "Ceritanya panjang dan aku hampir membunuhnya jika tidak dihentikan profesor Rosemary, singkatnya dia yang mengurus sisanya."

"Lalu kenapa kau di sini?" kata Anila.

"Nanti saja bahas hal itu!" teriak Frisca, "ada yang lebih parah di sini! Aalisha, kau menyerang seorang profesor hingga pingsan!"

Si gadis kecil tampak bingung. "Lho memangnya kenapa, kan dia penjahat."

"Dia belum tentu penjahat!" teriak Frisca sangat frustrasi terutama saat melihat tatapan polos Aalisha. Ia beralih melirik pada profesor Prambudi yang mulutnya mengeluarkan busa putih. "Apa yang kau lakukan padanya! Mulutnya sampai berbusa!!"

"Kurasa ini semacam obat tidur," kata Kennedy, "takkan mengakibatkan kematian. Busa di mulutnya karena tubuhnya terkejut tiba-tiba diberi dosis tinggi. Hanya saja kujamin tidak mati."

"Dia mirip seperti ikan pari terdampar di pantai," kata Gilbert.

"Oh Dewa, kalian kenapa santai saja?!" Sudahlah, Frisca lelah.

"Tenangkan dirimu," ujar Mylo meski jantungnya berdetak kencang. "Namun, kita belum pasti sepenuhnya jika profesor ini penjahat bukan? Jika kita ketahuan menyerang pengajar di Eidothea, kita akan dihukum."

"Inilah maksudku," kata Frisca.

"Kalau begitu. Jangan sampai ketahuan," balas Aalisha yang membuat mereka terdiam membisu. "Oh ayolah, aku hanya membuatnya tak sadarkan diri selama beberapa jam ke depan, aku tak membunuhnya." Ia memunguti berkas-berkas yang berserakan di lantai. "Lagi pula lihatlah, dia ini sangat mencurigakan karena memiliki dokumen yang disegel dengan sihir."

"Oke mari berpikir tenang dan bicarakan di tempat lain sebelum para murid melewati koridor ini," kata Anila.

"Lalu bagaimana dengan profesor ....."

Perkataan mereka terhenti saat mendengar langkah kaki mendekat ke arah mereka, langsung saja mereka panik, bingung harus melakukan apa atau membuat alasan mengapa profesor Prambudi bisa pingsan dan mulutnya berbusa! Detik selanjutnya, langkah kaki tersebut berhenti di belakang Anila. "Lho Nona Andromeda, mengapa kau di sini?" ujar profesor Madeleine, "dan juga ada Nona Devorez."

"Oh salam Profesor Madeleine, selamat siang," sapa Anila dengan sopan. Beruntung sekali, Aalisha dan kawan lainnya berhasil menyeret tubuh profesor Prambudi ke dalam ruangan yang ada di depan mereka ini.

"Kami di sini habis berdoa di kuil ... dan mau kembali menemui Aalisha di asrama," kata Anila.

"Ya, kami bersyukur dia selamat," kata Frisca.

Profesor Madeleine mengangguk. "Baiklah kalau begitu, sampaikan salamku padanya, aku masih ada urusan lain." Lekas wanita paruh baya itu pergi yang sepertinya memang ada kesibukan lain. Setahu mereka juga kalau profesor Madeleine memang tidak hadir menonton pertandingan tadi.

"Syukurlah hanya profesor Madeleine," kata Frisca, "jika seperti Arthur atau pengajar lain, sudah mati kita."

"Kau benar," ujar Anila, "ayo masuk." Segera mereka masuk ke sebuah gudang yang menjadi tempat penyimpanan barang-barang praktikum kelas astronomi.

Berada di dalam sana, cukup banyak barang, Anila sudah pernah kemari sekali karena seorang kakak tingkat meminta bantuannya membawakan barang-barang kelas astronomi, Anila juga banyak belajar dari kakak tingkat tersebut. "Pantas saja profesor ini, pergi kemari jadi dia memang berniat menggunakan rasi bintang ya?" Anila berujar seraya menatap Aalisha.

"Tepat sekali," balas Aalisha yang tampaknya berhasil membuka segel pada dokumen tersebut. "Dia bahkan harus memberi segel pada dokumennya, tapi sayangnya terlalu lemah, mungkin dia tak berpikir jika ada Majestic Families yang bisa membuka segel lemah ini."

"Kini aku paham kenapa dia berlari dan mau masuk ke ruangan ini, ternyata ada hubungannya dengan rencana liciknya," kata Gilbert.

"Benang merahnya semakin tersambung," kata Kennedy dan mendapat anggukan dari kawan-kawannya kecuali Aalisha yang membaca dokumen tersebut.

"Apa isinya, kawan?" ujar Mylo.

"Berkas ini berisi ... sialan jelek sekali tulisannya! Seperti rumput bergoyang," sahut Aalisha seraya ia serahkan pada Anila, lekas yang lain mendekati Anila untuk melihat tulisan profesor Prambudi.

"Jagad Dewa," ucap Mylo, "tulisan ini lebih jelek dari anak sekolah dasar."

"Mylo kurang ajar!" balas Frisca, "tapi jujur, bagaimana cara kita membaca tulisannya?"

Saat yang lain sibuk berusaha memahami isi dokumen tersebut, Kennedy menatap pada profesor Prambudi yang tampak mulai bergerak. "Kawan," ujar Kennedy, "kurasa dia akan segera sadar."

"Haruskah kupukul batang lehernya," ucap Gilbert.

"Jangan bodoh! Kita akan benar-benar dikeluarkan dari akademi setelah ini," balas Frisca.

"Apa yang harus kita lakukan?" ujar Mylo menatap pada Anila dan Aalisha. "Mustahil jika dokumennya kita curi, pasti akan dicurigai."

Sejenak Aalisha terdiam kemudian memanggil Invinirium dan mengeluarkan pena serta kertas, lalu menatap Anila. "Kurasa kita harus meniru isi dokumennya."

"Kita memang sehati," balas Anila sambil tersenyum.

"Menjijikkan." Sudah cukup, Aalisha sangat lelah hari ini, ia mau semuanya segera selesai agar ia bisa beristirahat terlebih ia diberi libur sehari besok.

Waktu pun akhirnya berjalan dengan cepat. Aalisha dan Anila berhasil meniru isi berkas-berkas dokumen milik profesor Prambudi. Lalu dokumen asli kembali disegel oleh Aalisha yang sama persis seperti segel sebelumnya, lagi pula beda sedikit pun takkan membuat curiga. Untuk rencana lainnya seperti agar profesor Prambudi tidak curiga, mereka membiarkan profesor tersebut di ruangan ini.

"Yakin dia takkan curiga?" ujar Gilbert, "dia sadar kalau kami kejar meski tidak tahu wajah kami."

"Mungkin dia akan curiga, tapi takkan membuka mulutnya karena pasti membahayakan dirinya sendiri jika dia melapor pada pihak akademi atau pengajar lain. Lagi pula, dokumennya kusegel lagi, pasti dia berpikir jika kalian tidak bisa membuka segelnya," jelas Aalisha, "kita biarkan di sini jadi dia berpikir kalau dia sebenarnya berhasil kabur dan hanya tertidur di ruangan ini."

"Baiklah, kau yang berkata, aku akan percaya," ujar Gilbert.

"Ayo pergi," ucap Mylo.

"Ayo," balas Frisca sementara Kennedy hanya menganggukkan kepala.

Mereka pun keluar dari ruangan tersebut. Anila belum beranjak dan menatap pada Aalisha yang tampaknya memperhatikan pintu ruangan tersebut. "Apa ada yang mengganggumu? Mau cerita sesuatu."

"Kurasa aku tahu di mana pintu teleportasi yang lain," kata Aalisha, "ini hanya kecurigaanku saja, tapi aku yakin."

"Maksudmu ruangan ini?" balas Anila, "tapi apa landasan kecurigaan itu?"

"Aku pernah melihat memori masa lalu sekilas; Rose Balforth masuk ke sebuah ruangan. Di saat yang sama aku juga melihat Killian Cornelius keluar dari sini, dan kini profesor Prambudi kemari, entah kebetulan atau ia memang ke ruangan ini karena alat-alat astronomi."

"Kalau begitu, mari anggap ruangan ini ada pintu teleportasinya," ujar Anila seraya berbalik menatap Aalisha yang mulai melangkah pergi. "Tapi liontinnya tidak bereaksi bukan?"

"Tidak, tak ada reaksi," balas Aalisha, "tapi kita harus tetap curiga, semua hal harus dicurigai karena kita tak bisa percaya pada siapa pun. Untuk saat ini kita lebih unggul karena sebagian masa lalu telah kita ketahui kisahnya, kita juga memiliki dua artefak dan tahu jika artefak ketiga ada pada Killian."

"Jangan lupa jika Melissa di pihak kita," kata Anila.

Sejenak Aalisha diam, lalu berujar, "ya, hal itu juga keuntungan, mungkin."

Lekas mereka pergi dari sana sebelum orang-orang mulai melewati koridor karena pertandingan Oulixeus telah berakhir.

Setelah kepergian mereka, terdengar suara langkah kaki kecil yang melompat-lompat di lantai kemudian binatang magis berbulu biru itu berhenti persis di dekat pintu tersebut. Disusul seekor tupai terbang berkacamata yang hinggap di kepala si binatang berbulu biru. Berselang dari itu, langkah kaki seorang laki-laki terdengar, terlihat jika ia tengah menggendong kelinci putih sambil diusap-usap pelan kepalanya.

Diperhatikan lebih dekat, lelaki itu tersenyum tipis dan manik mata biru tanzanite-nya sesaat bercahaya cantik. "Ceritanya semakin seru ya." Ia bergumam pada dirinya sendiri, kemudian berujar pada kedua binatang magis. "Ayo kita jalan-jalan ke taman dan tidur di sana."

"Hippi! Hippi! Hippi!"

"Squishy!!"

Maka mereka pun berjalan kembali bersama menuju sisi lain koridor dan hendak ke salah satu kuil paling jauh di akademi tersebut, untuk berdoa lalu tidur di taman dalam akademi. Terutama setelah lelah menonton pertandingan, cuaca hari ini mendukung pula untuk tidur. Benar bukan?

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

|| Afterword #26

Katakan sesuatu tentang chapter ini^^

Pertandingan Oulixeus perdana Aalisha tampaknya tidak cukup berjalan lancar, meskipun seperti Arevalous mendapatkan kemenangan?

Perlu dipahami jika pertandingan Oulixeus memang diperlukan kerja sama tim yang sangat baik, terlebih sesuai dengan posisi masing-masing, misalnya saja seperti Damien yang memperingati Easton mengenai bola melayang palsu. Sehingga jangan pernah meremehkan kerja sama tim^^

Tampaknya Killian Cornelius menolak menjalankan misinya demi egonya melihat kekuatan Aalisha, tetapi Profesor Prambudi masih mencurigakan, atas inilah disela-sela pertandingan, Anila dan kawan-kawan menyelinap pergi untuk memantau profesor Prambudi. Kemudian Anila membuat keputusan baik karena tidak membuat emosi mempengaruhinya, jika ia kemakan emosi, jalan cerita bisa saja berbeda dan mereka gagal mendapatkan informasi dari profesor Prambudi.

Teruntuk Aalisha, seperti biasanya ya, selalu muncul dengan sangat badass-nya~

Kemudian kepada Tuan Kieran Zalana... apa yang dia lakukan? Lalu hubungannya dengan tiga binatang malah tampak erat!

Prins Llumière

Sabtu, 16 November 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top