Chapter 33

|| Before I take my shotgun dan kill you all, vote dan komen serta cari posisi ternyaman karena chapter ini totalnya 6.835 kata^^

|| Challenge: Setiap yang baca chapter ini, beri lima atau lebih komentar agar gue tahu reaksi kalian akan chapter ini yang .... wow sepertinya ada masa lalu tentang Aldrich

Berderak-derak puluhan batang kayu dan wooden dummy yang dijadikan sebagai target serangan sebilah pedang panjang nan tajam. Suara-suara akibat gesekan pedang dengan wooden dummy itu telah memenuhi salah satu halaman di sebelah Barat kastil utama Eidothea padahal masih pukul empat pagi. Kini suara derak kayu-kayu itu semakin kencang yang perlahan terdengar pula rakakan kayu akibat batang kayu dan wooden dummy yang hancur hingga menjadi serpihan yang berhamburan di rerumputan.

Tampak sepatu hitam tengah melangkah sesuai dengan pola serangan, serta ayunan pedang yang terus-menerus menyerang dengan anggun, tetapi tegas juga sehingga serangan tersebut benar-benar rapi dan tidak sembarangan, ibarat seorang penari yang menyuguhkan tariannya dengan sangat sempurna karena telah menjadi bagian dari hidupnya. Semakin terdengar rakakan kayu, semakin pula ayunan pedang tersebut menjadi lebih cepat dan tegas bersamaan wooden dummy yang bermunculan lagi karena dipengaruhi mantra---tidak susah payah menata dan menambah bonekanya sendiri, cukup gunakan sihir---lalu intensitas level latihan meningkat ketika para wooden dummy memunculkan senjata berupa pedang, tombak, polearm, hingga gedik tikam---dikenal pula dengan istilah flail bola berduri---yang terbuat dari logam dengan duri-duri tajam yang siap untuk melukai siapa pun bahkan takkan segan menghancurkan tulang-belulang jika terkena sekali serangan.

"Latreia." Gumaman itu terdengar bersama pedang Aeternitas diselimuti Neith biru yang segera diayunkan ke arah salah satu wooden dummy yang melesakkan lembing, tetapi tergagalkan karena pedang tajam tersebut berhasil memenggal wooden dummy hingga hancur dan rakakan terdengar nyaring. Apakah sudah selesai? Tentu tidak karena energi dari ayunan pedang tersebut menghasilkan angin kencang yang berhasil menghancurkan puluhan wooden dummy di belakang target sebelumnya tadi.

Intensitas latihan semakin meningkat lagi ketika wooden dummy tersebut bisa bergerak bebas dan memunculkan banyak rantai besi dengan ujung tajam yang akan menjerat targetnya. Kini suara derak kayu hancur digantikan dengan dentingan dan gemerincing besi tajam akibat bersinggungan dengan pedang Aeternitas yang tak sedikit pun terkikis dan berhasil menghancurkan rantai-rantai besi tersebut. Lalu ketika diayunkan searah jam dua belas, maka puluhan wooden dummy terbelah secara horizontal kemudian berjatuhan bersama senjata mereka. Ketika sang pemilik sepatu hitam melangkah melewati lautan wooden dummy yang hancur, para boneka kayu lenyap, tetapi perlahan digantikan dengan yang baru.

Sang pemilik pedang Aeternitas yang sudah tidak diherankan lagi pemiliknya yakni Tuan Putri dari De Lune terlihat tak ada rasa lelah terukir di wajahnya bahkan setitik keringat pun tidak terlintas padahal ia sudah berlatih sejak pukul tiga pagi, barangkali karena cuacanya dingin. Kini ia diam sejenak menunggu semua wooden dummy-nya muncul sepenuhnya dan mereka menyerang lebih dulu. "Sial." Ia berdecak sebal. "Tingkat latihan di sini tidak sesulit di kediaman De Lune."

Mari mainkan musiknya, Aalisha melangkah dengan ritme yang teratur seraya mengayunkan pedangnya sehingga menebas setiap wooden dummy dan menangkis setiap serangan untuk menghindari dirinya terluka. Ia benar-benar terlihat seperti sedang menari padahal yang ia lakukan adalah berlatih pedang dengan boneka-boneka kayu yang kini lebih tepatnya disebut serpihan karena tengah rata dengan rerumputan.

Sesaat manik mata hitamnya menatap pada seekor burung hantu pembawa pesan yang di paruhnya membawa surat dari kertas hitam dengan stempel. Maka ia harus memberikan jeda sesaat pada latihannya, ia angkat pedang Aeternitas-nya menghadap langit, kemudian ia ayunkan berputar, seketika efek serangan pedang tersebut berhasil meratakan seluruh wooden dummy di sekitarnya yang perlahan-lahan ambruk ke rerumputan bersamaan burung hantu hinggap di lengan Aalisha.

"Baiklah, surat di pagi buta." Ia ambil surat tersebut. "Terima kasih," katanya pada si burung hantu yang mengedipkan mata sebagai tanda penghormatan.

Ketika suratnya dibuka, perlahan bercahaya biru yang kemudian berubah menjadi beberapa lembaran dokumen yang berisi rangkuman berita. "Oberon mengerjakan tugasnya dengan baik." Aalisha tersenyum tipis, ia patut memberikan apresiasi pada Orly terbaiknya itu.

Perlahan ia menggunakan sihirnya, membuat salah satu wooden dummy menjadi kursinya dengan ia duduk di punggung boneka kayu tersebut, Aalisha berfokus pada berita yang telah Oberon rangkum dalam minggu akhir-akhir ini. "Lè Ephraim memang selalu selangkah lebih dulu dibandingkan surat kabar lain." Ternyata berita yang dipilah Oberon juga kebanyakan dari surat kabar nomor satu tersebut.

Perlahan Aalisha mulai membaca keras seolah-olah ia hendak mendongeng pada anak-anak, tetapi tentu saja, bukanlah dongeng ramah anak. "Orang-orang pemuja Raja Iblis, mulai menampakkan diri mereka dan menyatakan jika menjadi bagian dari Phantome Vendettasius kemudian membuat kekacauan di beberapa Benua Athinelon bahkan berseteru dengan bangsa Dwarf bahkan mengusik tanah milik bangsa Elf yang menyebabkan terjadinya pertempuran hingga merusak sebagian wilayah. Namun, bangsa Elf dengan mudah menghabisi para Phantomius tersebut."

Aalisha berdecak dan mengejek, "sungguh bodoh para Phantomius karena berani melawan Elf terlebih yang melawan dari manusia yang menyembah bangsa iblis. Sangat memalukan, kuharap seluruh keluarga dan keturunan manusia itu dihukum mati." Ia membaca kembali dokumen tersebut. "Yeah, tapi target mereka masih bangsa Elf, jika bangsa Siren mungkin para pengikut iblis itu akan lebih menderita." Sesaat perkataan Aalisha mengimplikasikan jika bangsa Siren lebih kuat dibandingkan Elf.

Ia lalu menggerakan jarinya, berkat sihir, dokumen tersebut membuka lembar halaman selanjutnya dengan sendirinya. "Thesaurum Venator ... oh Organisasi Pemburu Harta Karun di Athinelon, semakin bertambah jumlahnya hingga di setiap wilayah dan benua pasti ada mereka, kemudian target mereka kali ini adalah berburu harta karun di Zero Domain." Aalisha sesaat berpikir seraya menopang dagunya. "Ternyata cukup cerdas juga orang-orang ini karena berhasil mendapatkan harta karun rahasia yang berisi senjata magis dan buku sihir. Kuyakin tidak lama lagi akan ada pelelangan barang-barang tersebut."

Jeda sejenak karena Aalisha mendengar suara di dekatnya. Lalu ia menatap pada seekor tupai di dahan pohon yang sepertinya baru bangun. "Aku jadi penasaran, apakah Owen berengsek itu akan ikut dalam pelelangan dan membeli beberapa barang." Dia menjentikkan jarinya, memunculkan kertas dan pena berbulu melayang yang siap menulis balasan pesan. "Tolong tuliskan pesan pada Oberon. Dia harus memantau Owen jikalau dia ikut dalam pelelangan barang-barang yang ditemukan oleh Thesaurum Venator." Pena berbulu mulai menulis di kertas. "Ah dan suruh Oberon selidiki apakah ada barang lelang yang menarik perhatianku, jika ada suruh dia ikut dalam pelelangan tersebut tanpa ketahuan oleh siapa pun."

Penanya perlahan berhenti menulis dan seolah-olah menatap Aalisha, memberi isyarat mengenai jumlah uang yang boleh digunakan oleh Oberon. "Berapa pun D'Orques yang dikeluarkan aku tak masalah, suruh dia tawar dengan harga tertinggi. Para Tetua bau tanah takkan masalah jika keturunan utama mereka menggunakan jutaan D'Orques." Lekas si pena berbulu kembali menuliskan pesan yang Aalisha katakan. "Lagi pula, dari pada De Lune menimbun uang, lebih baik kugunakan, benar bukan?" Aalisha menatap pada pena berbulu yang lekas mengangguk.

Kini Aalisha kembali membaca dokumennya, ia mencari-cari apakah ada berita yang berkaitan dengan dirinya, ternyata tidak ada. Hanya ada beberapa kekhawatiran dan kegundahan masyarakat mengenai apakah Keturunan Utama De Lune yakni Aldrich telah berhasil ditemukan atau tidak semenjak hilangnya beberapa tahun lalu. Aalisha membaca beberapa pesan kesedihan dari masyarakat tersebut seperti; meskipun hanya pernah bertemu sekali dengan Aldrich De Lune, tetapi ia adalah anak yang baik hati. Sangat berbeda dengan rumor jika keturunan De Lune selalu dingin dan tak berperasaan, tetapi Aldrich memiliki tatapan hangat dan ia sangat rendah hati bahkan pada rakyat jelata. Pesan ditulis oleh kakek tua penjual bunga.

Ada pula pesan lainnya; dahulu aku hampir mati dimakan iblis, tetapi putra De Lune datang ibarat malaikat yang dikirimkan oleh para Dewa untuk menyelamatkanku dan bayi yang kukandung. Kini bayiku sudah cukup besar, aku selalu menceritakan padanya mengenai putra De Lune yang baik hati itu dan kami selalu berdoa serta memberi persembahan pada Dewa agar segera membawanya kembali dalam keadaan selamat. Ditulis oleh Dorothy, seorang ibu dengan putri bernama Janet.

Hening menguar ketika Aalisha berhenti membaca pesan dan harapan yang diperuntukkan pada Aldrich. "Kakakku ternyata kesayangan banyak orang ya." Ia kembali membaca pesan-pesan lainnya yang salah satu pesan kembali menangkap rasa penasaran Aalisha, mari baca pesan tersebut dengan saksama; aku lahir dari tempat kumuh dengan orang tua pemabuk serta selalu bermain judi. Melimpahkan segala beban melunasi utang-utang mereka bahkan mencari sepotong roti saja haruslah aku karena jika tak kulakukan, cambuk sihir itu akan mendera tubuhku hingga rasanya tubuhku remuk menjadi serpihan kaca. Suatu hari, aku dijual oleh ayah dan ibuku pada seorang Count yang kejam, katanya untuk melunasi utang-utang mereka, katanya agar aku menjadi putri yang berguna untuk mereka.

Dengan rasa tak berdaya, aku diseret ke rumah Count itu dan bermulalah mimpi burukku ketika setiap malam aku menderita karena tubuhku disentuh dan dirusak tanpa izin dariku hingga aku harus melenyapkan bayi dalam diriku. Aku diperlakukan layaknya binatang, meskipun aku sudah meminta bantuan, tak ada yang mau membantu seorang budak sepertiku, jalang kata orang-orang padaku. Perlahan aku membenci makhluk bernama laki-laki dan selalu berharap agar aku ditiadakan saja. Hingga suatu hari, ada kesempatan bagiku untuk kabur, aku berlari, tapi Count itu tak mau melepaskanku. Langkahku sempoyongan menginjak lumpur kotor, masyarakat hanya berani menatap, barangkali karena mereka tak juga berdaya untuk melawan seorang bangsawan.

Ketika kakiku sudah tak kuat berlari, aku ambruk ke lumpur, tepat di hadapan bangsawan lain yang entah berasal dari mana. Sementara sang Count tepat berada di belakangku, aku meringkuk ketakutan karena yakin pasti aku akan disiksa lagi kali ini, tetapi ketika itu bangsawan lain di hadapanku malah melangkah ke dekatku. "Apa dia menyakitimu?" Suara itu terdengar lembut, aku menatap wajahnya, berharap jika ia akan menolongku, tetapi untuk apa bangsawan menolong rakyat jelata? Namun, aku tetap mengangguk, berharap bahwa Dewa mau memberi belah kasih padaku. Maka sebelum Count berhasil menyentuhku, tangannya terpenggal begitu saja. Lalu bangsawan baik hati itu, melangkah untuk menolongku, kemudian menghabisi Count kejam untukku. "Kau tak lagi menderita, kini kau sudah bebas." Oh Dewa, aku akan terus mengingat nama anak itu, Aldrich De Lune. Penyelamatku yang lahir dari bangsawan yang meski dikenal kejam, tetapi ia ibarat cahaya dalam gelapnya malam.

Kini aku bekerja di panti asuhan berkat dirinya dan sungguh aku selalu berdoa agar para Dewa melindungi para keturunan De Lune, tidak peduli bagaimana mereka sering dianggap kejam oleh dunia ini. Dewa, tolong lindungi mereka.

Perlahan Aalisha menarik kembali pedang Aeternitas-nya, ia melangkah ke tengah-tengah arena latihan bersamaan wooden dummy yang kembali bangkit, ia menunggu sampai para boneka kayu itu siap menyerang Aalisha. Sesaat ia membaca berita terakhir dari rangkuman yang dibuat oleh Oberon. "Pergerakan dari Cruelle Obscurité, organisasi penyembah Queen of Chaos mulai tampak di Benua sebelah Timur Athinelon." Aalisha berdecak. "Dunia benar-benar kacau ...."

Para wooden dummy menyerang Aalisha, lekas ayunan pedang yang indah ibarat benang dipintal dengan lembut berhasil menghancurkan para boneka kayu tersebut hingga berjatuhan ke tanah. Kini gaya bertarungnya jadi lebih kasar dan cepat karena ia hendak menyelesaikan latihan sebelum fajar menyingsing. Ia tak mau ketahuan jika diam-diam berlatih di sini. Ia mengakhiri latihannya dengan serangan yang sangat tegas, tetapi tampak indah serta membuat para wooden dummy berhasil menjadi serpihan kayu yang semakin memenuhi rerumputan di sekitarnya.

"Tuliskan pesan pada Oberon lagi," katanya pada pena berbulu, "perintahkan dia menyumbangkan 50,000,000 D'Orques, buku-buku baru, serta mainan baru ke Panti Asuhan tempat kerjas gadis yang pernah ditolong Aldrich itu."

Sang pena berbulu mencatat semua perkataan Aalisha, lalu pena itu terhenti seperti memberi kode, kira-kira atas nama siapa sumbangan ini? "Mustahil menggunakan nama asliku, jadi tulis atas nama ..." Sejenak Aalisha berpikir sambil menyarungkan Aeternitas ke dalam sarung pedangnya. "Little Bunny, ya gunakan nama itu saja."

Maka ketika pena berbulu selesai menuliskan nama tersebut, kertas berisi pesan Aalisha terbalut oleh surat hitam dengan stempel kemudian lekas burung hantu terbang untuk mengantarkan surat tersebut pada Oberon. Sementara Aalisha berbalik dan melenggang pergi dari sana. Latihannya usai pagi itu.

****

Mewah dan megah adalah dua kata yang menjelaskan mengenai ruangan dalam asrama Drystan yang didominasi hijau, putih, dan beberapa sentuhan warna emas. Memasuki area utama setelah pintu masuk, terlihat ada patung kesatria berbaju besi yang terbuat dari besi mahal dengan warna mengkilap, kemudian pajangan seperti kepala beruang, kijang, serta singa yang ditempelkan di tameng emas berada di titik tertentu di dinding asrama tersebut. Terdapat cermin besar yang dilapisi ukiran terbuat dari emas murni serta berlian, cermin tersebut sengaja dipasang di aula atau ruangan utama agar mempermudah para muridnya bercermin karena mereka sangat memperhatikan penampilan. Tidak sedikit pun noda di asrama tersebut karena banyaknya Orly yang ditugaskan membersihkan setiap noda yang tampak.

Melihat sekilas kemewahan dari asrama tersebut, pantas saja Drystan dengan emblem utamanya berupa mansion bangsawan dan kunci bermahkota yang bermakna bahwa asrama tersebut memang kebanyakan dihuni oleh mereka yang berasal dari kalangan atas serta memiliki pemikiran dan ideologi yang tinggi bahkan terkenal dengan sifat sombong dan senang merendahkan. Meskipun ada beberapa rakyat yang berasal dari proletar, kebanyakan dari mereka harus tahan-tahan diri menghadapi perundungan atau rasa iri dengki karena lebih banyak bangsawan, bahkan tak heran jika ada beberapa murid meminta pengajuan pindah ke asrama yang lain. Sungguh mengerikan jika rakyat kalangan atas selalu mendominasi bahkan dari segi pendidikan, terutama bagi anak-anak yang sejak kecil sudah terpengaruh pemikiran bahwa bangsawan hanya bergaul dengan sesama bangsawan, menjijikkan jika murid proletar berada di sekitarnya ibarat lalat yang mencari makanan mewah.

Hanya saja, apakah benar jika dikelilingi harta dan kekuasaan, maka sudah dipastikan jika hidup akan bahagia dan damai-damai saja? Ataukah sebenarnya ada masalah yang lebih besar? Atau ada yang lebih ingin hidup kaya dengan segudang masalah dibandingkan hidup terseok-seok sebagai rakyat miskin yang makan saja sulit?

"Tenangkan dirimu Killian." Suara itu bergumam sendiri di ruangan mewah dengan satu kasur dan berada di lantai teratas asrama tersebut. Tampaknya ruangan itu meskipun mewah dengan banyak barang-barang mahal, tetapi pemiliknya bahkan enggan untuk memunguti pakaian kotor dan menaruhnya ke penatu di asramanya. "Kumohon tenanglah, semuanya akan baik-baik saja ...."

Lelaki dibalut seragam Eidothea tanpa jubahnya karena masih ada di sampingnya, ia tengah duduk di pinggir kasur, sepatu ia entak-entakan ke lantai, terdengar bunyi derit yang cukup cepat, kedua tangan terkepal dan penuh keringat, serta rambutnya masih sedikit basah karena tak ia keringkan setelah mandi beberapa menit lalu. "Semuanya akan baik-baik saja, aku harus tenang dan fokus ... aku takkan mati ... aku, aku ... tenang, aku harus tenang."

"Ya, Killian, kau harus tenang, jika tidak mau semua rencana kita gagal." Sontak matanya membulat, tetapi ia hanya diam saja, tak berkutik ketika suara itu terdengar tepat di sudut kamarnya. "Kau berjanji akan membawa keadilan pada kami, jadi kau dan aku, kita harus berhasil dan tak boleh gagal."

Terlihat sosok yang mengajak Killian bicara; perawakannya seperti anak-anak, rambut hitam pendek, dibalut pakaian biasa dengan celana pendek serta jubah hitam, wajahnya tak dikenal karena mengenakan topeng putih dengan ukiran mata hitam di tengah tanpa mulut. Sosok anak-anak itu tidak terlalu jelas karena berada di sudut kamar yang pencahayaannya kurang. Namun, suaranya sungguh terdengar hingga menusuk ke kalbu. "Kau benar-benar lemah, karena itu kau perlu aku agar kita bisa mencapai tujuan kita bersama. Jika kau gagal maka---"

"Diamlah!! Aku tahu apa maksudmu jadi diamlah!" Lekas Killian menutup telinganya dan ia menangis dengan tubuh gemetar hebat, suara isak terdengar di ruangan tersebut. "Aku pasti bisa, aku takkan gagal."

Suara tawa menggelegar di ruangan tersebut, tawa itu menjelaskan jika lawan bicara Killian adalah seorang anak laki-laki. "Kau sebenarnya sangat kuat dan berbakat, Killian. Hanya saja, Dewa lebih menyayangi mereka dan memberikan karunia berlimpah sehingga kau mendapatkan ketidakadilan. Padahal mereka menjadi makhluk yang tak tahu diri, selalu mendedikasikan sebagai manusia berbeda bahkan merasa bahwa diri mereka setara dengan para Dewa, kenyataannya mereka tidak lebih dari orang-orang yang senang membunuh!"

"Kubilang diamlah! Biarkan aku, biarkan aku sendiri, kumohon ...." Air mata berjatuhan ke lantai, tubuh Killian tampak seperti akan luruh dan ambruk kapan saja.

"Bukankah sangat tidak adil, Killian." Masih saja suara tersebut tak berhenti berdengung. "Dahulu orang-orang di Akademi ini menghina gadis itu, merundung dan meremehkannya, bahkan banyak yang ingin ia angkat kaki. Namun, ketika identitasnya terungkap, seketika arusnya berubah, semua orang memuji dan selalu menyanjungnya, sementara kau ... hanya dianggap putra manja Marquess dan dipermainkan oleh gadis itu!"

"Aku bilang diam kau!!" teriak Killian lekas menarik kerah baju dari sosok bertopeng tersebut. "Orang-orang menjilatnya karena dia adalah Majestic Families." Cengkeramannya semakin kuat

"Namun, tak bisa dimungkiri jika gadis itu selalu berada di atasmu, kau hanya makhluk rendahan di matanya."

"Aku bilang diam, tutup mulutmu!" Kini tampak manik mata Killian bercahaya merah sesaat. Lalu terdengar suara ketukan pintu.

"Cornelius, apakah kau sudah siap?" Suara seorang lelaki terdengar yang kemungkinan temannya. "Ayo berkumpul di bawah sebelum ke aula makan."

Tanpa jawaban, Killian kembali menatap si topeng putih. "Aku takkan kalah dari mereka semua."

"Ah~ Killian Cornelius ...." Lelaki bertopeng perlahan menyentuh dan membelai pelan pipi Killian. "Kau ambisius, sayangnya masih sangat lemah, tapi seperti yang telah kujanjikan, jika rencana kita berhasil. Maka kupastikan, kau akan lebih kuat dari para Majestic Families terutama si De Lune itu."

Perlahan manik mata Killian sedikit lebih tenang dan ia menyunggingkan senyuman. "Aku pasti bisa lebih kuat dari mereka." Manik matanya memerah sesaat serta tatapannya menjadi kosong.

"Kalau begitu, mulailah keluar dan tetap fokus pada rencana kita karena semakin cepat tercapai, semakin cepat pula kau bisa meraih kemenangan."

Killian melepaskan cengkeramannya, lalu melangkah mengambil jubahnya dan ia kenakan dengan cepat seraya menuju pintu keluar. "Jika rencana kita berhasil, maka yang pertama akan kubunuh adalah gadis De Lune itu." Maka Killian pun lenyap di balik pintu tersebut.

Kepergian Killian membuat sang topeng putih tertawa sangat kencang, tawa yang sangat jelek ibarat simfoni sumbang. "Sungguh bodoh!! Bocah itu benar-benar bodoh. Mau mengalahkan De Lune, katanya?"

Perlahan-lahan tubuh si topeng putih lenyap. "Namun, tak masalah karena ia satu-satunya bidak catur yang bisa kugunakan. Lagi pula sungguh menguntungkan jika benar takdir berpihak padanya dan si jalang putri De Lune itu bisa mati dengan mengenaskan." Ia pun lenyap dari sana, tidak menyisakan sedikit pun jejak, hanya kutukan-kutukan yang ia sebarkan ke seluruh penjuru Eidothea, terutama harapan atas kematian mengenaskan menimpa sang Putri De Lune.

****

Dibalut jubahnya, Killian berjalan berdampingan dengan teman karibnya meski mereka berbeda kelas. Lelaki di samping Killian memiliki postur tubuh yang tinggi semampai, rambut hitam, tetapi ada sedikit gradasi warna hijau turkis, kemungkinan ia mewarnainya di salon bangsawan. Pakaian lelaki itu sangat rapi dan semerbak wangi mawar tercium, lalu ada kalung di lehernya serta ia kenakan beberapa anting silver yang sangat mahal karena terbuat dari bahan berkualitas.

"Mengapa kau sangat lama tadi?" kata lelaki itu.

"Hanya membaca beberapa surat dari ibuku," ujar Killian, tidak berbohong karena ia memang mendapatkan surat dari ibunya meski belum ia baca. "Kau sendiri, tumbenan sekali bangun sepagi ini."

Tentu Killian berkata seperti itu karena temannya ini selalu bangun kesiangan hingga terlambat ke kelas. "Oh ayolah, hanya karena aku lebih sering bangun siang, bukan berarti aku tak pernah bangun pagi!" Ia terkekeh, tawanya renyah, tapi menyebalkan. "Lagi pula, kudengar ada pertarungan antara kakak tingkat, pemenangnya akan jadi perwakilan yang dikirim profesor Rosemary di salah satu misi Eidothea."

Killian menaikkan satu alisnya. "Mengapa harus bertarung?"

"Jadi ada satu kelompok dari enam orang yang akan ikut misi bersama profesor Rosemary, tapi satu tempat untuk anggota terakhir diminati dua orang yang sama-sama kuat dan tak ada yang mau mengalah. Akhirnya mereka sepakat bertarung dan yang menang akan menempati posisi keenam dalam kelompok tersebut," ujar lelaki itu dengan semangat, sesampainya di bawah, cukup banyak murid berkumpul karena mereka bertaruh siapa yang akan menang.

"Kalian lama sekali," ujar Chloe, si gadis yang menjadi teman mereka berdua. "Dan tumbenan kau bangun sepagi ini, Alejandro."

Tawa Alejandro Oxenbrigg terdengar lagi dan sesaat kesal, mengapa orang-orang terkejut hanya karena ia bangun pagi? "Pemalas yang senang bangun siang, bukan berarti tak pernah bangun pagi! Lagian aku tak mau melewatkan kesempatan menonton pertandingan kakak tingkat pagi ini."

Chloe berdecak. "Laki-laki memang pemalas dan bodoh."

"Apa korelasinya?" sahut Alejandro menggelengkan kepala. "Ayolah mari sambut hari ini dengan ikut taruhan beberapa lembar D'Orques!" Lekas ia berjalan menuju murid lain di tengah ruangan dengan Cyubes melayang mencatat taruhan setiap murid yang ikut.

Para murid lekas menatapnya dan menyapa dengan penuh antusias. "Lihatlah ini, pria kaya dan kesayangan ibunya, akhirnya datang juga!"

"Kami sejak tadi menunggumu, kawan, ayo lekas keluarkan seluruh uang dari penyimpananmu itu," kata murid.

Alejandro lekas berakting seolah-olah adalah bintang atau tokoh utama yang menjadi pahlawan perang dan disambut meriah rakyatnya. "Tenang, tenang, aku di sini akan memberikan taruhan besar pada pilihanku. Tentunya, sahabatku juga akan ikut."

"Wow, tidak heran untuk bangsawan Count Oxenbrigg dan Marquess Cornelius yang selalu punya banyak harta untuk dihambur-hamburkan," sahut murid lain.

"Jika aku jadi kalian, akan kubeli akademi ini!" Mereka terkekeh, diikuti oleh Alejandro dan Killian juga.

"Baiklah kawan, berapa taruhan yang kalian pasang dan siapa pilihan kalian," kata kakak tingkat.

Tampak Alejandro tengah berpikir, sementara Killian berada di sampingnya, ia tidak kenal kedua kakak tingkat yang akan bertarung nanti. "Kurasa aku akan memilih pemuda dari Faelyn ini," kata Alejandro.

"Pilihan yang tepat," balas Razor, anak-anak lain menatap pada kakak tingkat itu sekaligus anggota ke empat di tim yang akan dipimpin Rosemary dalam menjalankan misi nanti.

"Benarkah? Jika kau berkata seperti itu, maka pilihannya benar," timpal Chloe.

"Apa alasannya? Mengapa bukan yang dari asrama Sylvester?" balas Killian.

Razor mendekati adik tingkat mereka. "Mudah saja, aku memang tak senang dengan murid yang dari Sylvester itu, dia kutu buku, terlalu banyak bertanya, meskipun ahli pula dalam bertarung, tapi dia menyebalkan layaknya murid-murid Sylvester lain yang hanya berkutat pada buku."

"Bukankah asrama itu memang julukannya asrama kutu loncat!" sahut murid lain dan mereka tertawa sangat bahagia, bahkan Killian tertawa pula, sedangkan Alejandro terbahak-bahak.

"Tenang, tenang," kata Alejandro, "aku akan menuruti kata Razor, lagi pula aku memang tak menyukai Sylvester. Jadi aku akan bertaruh atas kemenangannya sebanyak 5,000 D'Orques!"

Lekas para murid terkejut lalu bersorak-sorai lagi karena sudah mereka duga jika pria ini akan memasang taruhan yang sangat besar. Oxenbrigg dikenal bangsawan Count yang aktif dalam ekspedisi Zero Domain, serta memiliki usaha pertambangan batu permata dan mineral yang biasa digunakan dalam pembuatan senjata magis. Keluarga ini adalah faksi bangsawan yang sangat kental serta bersahabat dengan beberapa bangsawan termasuk memiliki relasi dengan ayahnya Killian atau bangsawan Cornelius.

"Kau memang hebat!!"

"Ya, anak kesayangan memang tak mengecewakan," balas murid lain.

Atas kepemilikan tambang inilah membuat keluarga Oxenbrigg kaya raya, serta ayah dan ibunya sangat memanjakan Alejandro sehingga tidak heran jika ia selalu menggunakan barang-barang mahal serta dengan mudahnya menghamburkan banyak uang. Terlebih ayahnya tidak se-keras Killian, membuat Alejandro bisa semena-mena soal uang. Namun, hanya karena ayahnya Killian sangat keras, bukan berarti Killian tak punya akses pada uang.

"9,000 D'Orques, aku bertaruh pada kemenangan si Faelyn," ujar Killian. Para murid kembali bersorak-sorai karena uang yang dipertaruhkan semakin banyak.

"Cornelius memang sangat kaya!"

"Wow, wow, kalian benar-benar gila karena bisa menghamburkan uang dengan mudah hanya untuk pertarungan kecil ini."

"Sudah sifat mereka," balas Chloe.

"Ya," ucap Alejandro merangkul Killian. "Uang senilai 10,000 D'Orques sangat kecil bagi kami, benar bukan?"

Killian mengangguk. "Ayo pergi, pertandingannya sebentar lagi dimulai."

"Tentu saja, ayo Chloe dan untuk kalian pegang kata-kataku jika pilihan kami akan menang," ujar Alejandro.

"Sombong, tapi karena Razor tadi berkata begitu, si Faelyn pasti menang," sahut Chloe. Mereka pun pergi ke lapangan sebelah selatan yang di sanalah pertarungan akan terjadi.

Sesampainya di sana, sangat banyak murid yang berkerumun, sementara kedua petarung berada di tengah-tengah lapangan dan sedang bersiap.

"Tadi De Lune lewat dengan anjing-anjingnya," ujar Chloe.

"Aku tak peduli." Killian tampak tak peduli atau ia berusaha menyembunyikan fasadnya? Seharusnya masih berbekas rasa takut karena De Lune beberapa kali mencurigai dan hampir membunuhnya.

Hanya saja, Alejandro sesaat menoleh, mencari keberadaan si gadis De Lune yang bersama dengan teman-temannya. "Kurasa dia lumayan juga, si De Lune itu."

"Mau kutusuk mulutmu?" sahut Chloe merasa perkataan Alejandro itu menjijikkan.

"Aku tahu kau suka bercanda, tapi perkataan itu sungguh gila," balas Killian, "De Lune itu adalah musuh semua manusia, dia sadis dan kejam bahkan mungkin saja dia sebenarnya adalah iblis."

"Oh ayolah," balas Alejandro dengan kekehan. "Aku tahu jika dia seperti psikopat, tapi bagiku dia lumayan." Ia terdiam sejenak. "Lagi pula, ibuku senang pada perempuan imut, kuat, dan kaya raya."

Lekas Chloe memukul kepala Alejandro dan Killian menendang tulang keringnya hingga lelaki itu kesakitan. "Bodoh," ujar Chloe, "dari banyaknya lelucon garingmu, ini yang paling tidak lucu bahkan terdengar sangat tolol."

"Ah janganlah kalian kasar padaku." Alejandro menatap sinis. "Namun, jujur saja, haruskah kudekati gadis itu?" Ia tersenyum licik.

Sementara itu, di sisi yang berbeda. Aalisha dan teman-temannya singgah sebentar karena mendengar akan pertarungan ini. Mereka hendak mengetahui, siapa kedua kandidat yang rebutan posisi terakhir di tim yang akan dipimpin profesor Rosemary.

"Orang-orang melakukan taruhan, bahkan ada yang bertaruh hingga ribuan D'Orques," ujar Gilbert, "sangat gila, orang-orang kaya ini."

"Bagaimana jika kita juga," kata Frisca.

"Jangan bodoh, Frisca," balas Anila, "taruhan seperti ini takkan memberi keuntungan apa pun."

"Uh ayolah, mari bersenang-senang," kata Frisca.

"Bagaimana jika kita bertaruh di antara kita-kita saja?" kata Gilbert mengeluarkan satu koin emasnya. "Nanti kita belanjakan di kantin rumah pohon atau membeli barang di luar Eidothea. Oh ya, maaf aku hanya punya uang koin, ini pun pemberian ayahku sebulan lalu."

Hening sesaat. Mereka pasti berpikir, jika orang lain bisa bertaruh hingga ribuan D'Orques untuk pertarungan seperti ini, padahal ada banyak murid yang bahkan tak punya uang simpanan. "Aku punya lima keping koin emas. Ayo lakukan," kata Kennedy tiba-tiba. Meskipun ia kaya raya sebagai putra dari Marquess, ia tak mau boros, lagi pula taruhan ini hanya antara dia dan teman-temannya saja.

"Aku juga punya dua!" ujar Frisca.

"Aku juga," kata Anila mengeluarkan lima koin emas.

"Aku ada tiga," kata Mylo. Lalu mereka menatap pada Aalisha yang sejak tadi diam saja. "Kau mau ikut juga, kawan."

Perlahan Aalisha menoleh pada mereka, menatap koin emas, lalu ia mengalah. "Aku gunakan satu D'Orques." Ia mengeluarkan selembar D'Orques yang satu lembarnya bertuliskan 10 D'Orques atau setara dengan 50 koin emas.

"Hanya satu saja? Kupikir kau mau pamer kekayaan seperti yang lain?" ujar Gilbert.

"Ini hanya pertarungan bodoh." Aalisha menatap pada kedua petarung. "Lagi pula, aku sudah tahu siapa pemenangnya."

"Sungguh, siapa?" kata Anila.

"Sylvester," ujar Aalisha, "dia akan menang. Hanya orang-orang bodoh yang memilih si Faelyn. Ia akan kalah telak."

"Bagaimana bisa kau seyakin itu?" kata Kennedy, "maksudku meski aku dukung kakak tingkatku, tapi orang-orang meremehkannya dan memilih si Faelyn yang dianggap lebih kuat."

"Hey jangan terlalu bersedih," kata Frisca mencoba menghibur Kennedy. "Tapi jujur aku penasaran, kenapa memilih Sylvester?"

"Mengapa aku yakin memilih dia?" balas Aalisha, "karena aku De Lune." Mendengar hal itu, kelima temannya tidak bisa melawan dan terbentuk keyakinan dan percaya pada perkataan Aalisha.

Maka mereka memutuskan untuk menonton, lalu pertarungan tersebut pun dimulai, ibarat takdir yang entah kebetulan atau benar memang berjalan sesuai dengan keinginan sang De Lune. Setelah melewati serangkaian pertarungan selama 30 menit lebih dan sang pemenang berhasil membuat lawannya yang mengenakan jubah asrama Faelyn ambruk ke tanah. Ya, pemenangnya berasal dari asrama Sylvester.

Sungguh kasihan bagi para petaruh yang menghabiskan ribuan D'Orques atau uang koin untuk memilih kekalahan.

****

Menjelang sore hari, tampak para murid berkeliaran di sekitar akademi, lapangan, hingga kantin rumah pohon, mereka tengah bercengkerama dengan teman-teman mereka atau menikmati sore bersama secangkir teh hangat dan roti selai cokelat. Ada pula yang sibuk bermain entah petak umpet, lomba lari, hingga mencoba mantra baru dan berkeliling menggunakan sapu terbang atau mantra angin meski harus menabrak pohon atau atap menara dan alhasil dimarahin para Orly yang bertugas membersihkan atap menara. Banyak pula kegiatan bermain lainnya entah monopoli sihir, catur, kartu poker, hingga mengerjakan tugas bersama.

Membayangkan kehidupan para anak-anak di sini meski dilanda banyaknya tugas, tetapi mereka tentu merasakan kebahagiaan. Bagaimana tidak? Setiap hari tak kekurangan makanan, kantin tersedia sepanjang hari, jika pun lapar pada malamnya tinggal memasak di dapur asrama. Lalu kasur mereka sangat empuk, pakaian ada Orly yang membersihkannya serta mereka punya teman yang bisa mengerti satu sama lain, walaupun ada beberapa musuh di luar asrama. Namun, setidaknya mereka lebih merasa bahagia dan aman dibandingkan tinggal di tempat kumuh, bagi kaum proletar. Serta mereka dapat bebas dari kekangan etika dan kewajiban bangsawan, bagi kaum borjuis.

Kalau kata seseorang, "nikmat mana yang kalian dustakan? Padahal Dewa sudah memberikan banyak kebahagiaan yang perlu disyukuri."

"Sayangnya, makhluk ciptaan Para Dewa dan Dewi takkan pernah puas, benar bukan?" ujar seorang gadis yang kini duduk di salah satu balkon menara tertinggi keempat di Akademi Eidothea. "Bahkan selalu merasa paling tersakiti di dunia ini dan jika mendapatkan kebahagiaan berlimpah, mereka lupa akan pencipta mereka. Sungguh naas."

Ia tampaknya tengah mengobrol dengan seekor kupu-kupu biru yang hinggap di jemari kecilnya. Gadis itu terlihat mengenakan pakaian kasual setelah ia ganti di asramanya. Terdiri dari kaos biru tua dengan kerah turtleneck serta berlengan panjang, dibalut jubah berwarna hitam untuk luarnya dan abu-abu di dalamnya, serta ada pengait kecil yang menyambung kedua jubah. Kemudian celana kain terlalu panjang jadi harus ia gulung dan knee high boots melebihi mata kaki dan tanpa tali. Gadis itu juga mengepang sebagian rambutnya.

Perlahan ia menurunkan tangannya agar sang kupu-kupu biru tepat berada di depan matanya. "Kau benar, aku harus segera menyelesaikan masalah di sini karena kemungkinan ada kaitannya dengan dia juga. Jadi pergilah dan terima kasih atas informasinya."

Maka ia lepaskan kupu-kupu tersebut yang terbang kembali menuju kawanannya. "Baiklah, mari lanjutkan rencananya."

Senyuman gadis itu atau lebih dikenal sebagai Aalisha De Lune terukir sempurna. Ia benar-benar hebat karena tidak terukir rasa takut ketika duduk di atas ketinggian bermeter-meter dari tanah; padahal kalau jatuh, barangkali patah tulang atau kehilangan nyawa. Namun, tampaknya ia sudah terbiasa. Bagaimana tidak? Berjalan di atas bara api pun, ia pasti berani, apalagi menaklukkan ketinggian kecil ini. Kira-kira apa yang bisa membuat gadis itu takut? Atau rasa takut tak ada dalam kamusnya? Namun, perlu diberikan pujian pula karena gadis itu tampak menakjubkan, terutama ketika rambutnya yang tidak dikepang tertiup angin sore.

"Temui aku di kuil yang dijaga Elijah," ujarnya melalui Cyubes yang terhubung ke Cyubes milik Anila Andromeda dan Mylo Cressida. Mereka akan melanjutkan misi mereka setelah berkomunikasi dengan Frisca, Gilbert, dan Kennedy untuk memantau pergerakan para pengajar Eidothea.

"Kuharap malam ini berjalan lancar."

Maka Aalisha menjatuhkan dirinya dari ketinggian menara seraya merapalkan mantra yang menghasilkan angin lembut sehingga perlahan-lahan membawanya turun ke bawah hingga kakinya menginjak rerumputan dengan sangat anggun dan tak terluka sedikit pun. Setelahnya lekas ia berlari pergi ke dalam kastil, melalui koridor-koridor dan menuju kuil yang selalu ia kunjungi.

Hampir sampai di sana, ia melihat Anila dan Mylo yang menunggunya agar bisa bersama-sama menuju kuil. "Kuharap rencana kita berjalan lancar," kata Anila yang dibalut kaos merah dengan celana panjang serta rok mini.

"Kalian yakin dia mau mengikuti permintaan kita?" ujar Mylo dengan sweater hijau bergambar rusa, ia seperti mengenakan pakaian musim salju.

"Dia harus mau," balas Aalisha, "tidak ada penolakan pada perintah De Lune."

"Yeah kau benar," sahut Mylo meski tak yakin.

Kini berada di depan kuil yang sepi, beruntung tak ada pengunjung atau si menyebalkan Kieran Zalana. Aalisha akan pusing jika laki-laki bajingan itu berada di sore hari ini. Perlahan-lahan Aalisha mengedarkan pandangannya. "Elijah, keluarlah. Aku hendak bicara denganmu."

Tidak butuh beberapa menit, Elijah muncul dengan rambut pirangnya, ia mengenakan anting biru, serta baju putih dan celana hitam panjang. Orly tersebut melayang sambil melakukan curtsy. "Salam Yang Mulia! Aku senang akhirnya kita bertemu lagi setelah sekian lama!"

"Kita baru bertemu lagi seminggu lalu lho, kau sudah lupa?" balas Aalisha merasa kesal sementara Elijah terkikik geli.

"Ah ya benar, tapi seminggu lalu, akulah yang lebih dulu mengajak Anda mengobrol, jarang sekali Anda mencariku duluan," kata Elijah dengan senyuman. "Aku benar-benar bahagia karena bisa mengobrol dengan Anda lagi."

Melihat rasa antusiasme Elijah, membuat Anila dan Mylo berpikir jika sangat mudah membuat Elijah bahagia, hanya perlu Aalisha mengobrol dengannya saja atau sekadar Aalisha kemari untuk berdoa di kuil. Sayangnya sifat baik Elijah sangat bertentangan dengan si gadis De Lune yang tampak dingin bahkan enggan berada di suatu obrolan cukup lama.

"Cukup mengocehnya Elijah, aku kemari karena hendak memberimu misi," ujar Aalisha.

"Mi-misi? Aku diberi misi?!" Elijah tampak terkejut, sedangkan Anila dan Mylo menepuk dahi karena Aalisha langsung memberi perintah padahal harusnya berdiskusi dahulu.

"Aalisha," panggil Anila, "kurasa kita harus menjelaskan dulu keadaannya pada Elijah sebelum memberinya misi."

Aalisha menghela napas, Elijah masih tercengang. "Baiklah, kau saja yang jelaskan."

"Oke ...." Anila mendekati Elijah. "Jadi Elijah, kami kemari karena hendak meminta bantuanmu. Sebelumnya biar kujelaskan dulu kondisi yang kami hadapi."

Anila pun menjelaskan mengenai mereka yang harus menyelinap ke perpustakaan untuk mengambil artefak tersembunyi, tetapi dihalangi oleh Galee Ginan. "Jadi kami mau, kau membantu kami untuk mengalihkan perhatian Galee Ginan agar kami bisa menyelinap ke dalam perpustakaan itu."

Mendengar hal tersebut, Elijah diam membeku dengan wajah bodohnya serta terus-menerus perkataan Anila berputar dalam pikirannya. "Demi Dewa yang bertahta di Athinelon! Kalian hendak menyusup ke perpustakaan yang dijaga itu di malam hari?! Lalu mencuri artefak! Lalu aku harus mendistraksi Galee Ginan?! Demi jagad Dewa, kalian mau dihukum, huh!"

"Bisakah jangan berteriak?! Lalu jangan berkata kami ingin dihukum atau apa karena kami harus mendapatkan artefak itu secepat mungkin!" Aalisha berdiri dan mendekati Elijah, lekas Orly itu terbang menjauh agar tak tertangkap Aalisha.

"Hey tenanglah kalian," kata Mylo, sudah ia duga jika takkan berjalan lancar rencana ini.

"Aku takkan mau membantu kalian!" kata Elijah, "lagi pula, kenapa kalian tidak laporkan saja masalah ini ke profesor Eugenius atau master Arthur! Berhenti untuk terlibat hal-hal berbahaya dan biarkan para pengajar yang menyelesaikan masalah ini!"

"Aku tidak bisa," balas Aalisha, "karena artefak itu sangat berbahaya dan harusnya ditangani oleh organisasi Alastair, tapi artefak itu malah ada di Eidothea."

"Karena berada di Eidothea, jadi kalian harusnya menyerahkan masalah ini pada pengajar!" teriak Elijah.

"Kau Orly sialan, berani kau menentang diriku!" ujar Aalisha, tetapi lekas Mylo menahan Aalisha.

"Tenanglah, kita di sini untuk berdiskusi, bukan perang!" Sungguh tak Mylo sangka jika akan jadi runyam begini.

"Elijah dengarkan aku," kata Anila dengan helaan napas dulu. "Kami tak bisa melaporkan hal ini begitu saja---"

"Kalau begitu, aku saja yang melaporkan pada mereka!" kata Elijah.

"Berani kau buka mulut, kupastikan kau kehilangan lidahmu, Orly." Aalisha berucap dan lekas keheningan merebak bagaikan aroma wewangian. "Aku di sini hanya ingin kau menjalankan perintahku. Bukan ikut campur atau melapor karena tugasmu di sini hanyalah merawat dan menjaga kuil, bukan ikut campur dalam masalah para murid. Lagi pula kau bahkan tidak tahu jenis artefak apa yang kami hadapi dan bahayanya bagi Eidothea."

Benar kata sejarah, jika jangan biarkan ancaman keluar dari amarahnya seorang Majestic Families karena kawan pun takkan segan mereka bunuh jika menghambat rencana.

"Aalisha ...." kata Anila.

Mylo lalu angkat bicara. "Elijah, kami cuma bisa meminta bantuanmu, kamu hanya perlu mengalihkan perhatian Galee Ginan dan membawanya pergi dari perpustakaan agar kami bisa menyusup ke dalam. Kami tak bisa meminta bantuan pada yang lain karena kami cuma percaya padamu."

Terlihat jika Elijah dilanda kebingungan, ia memainkan jari-jarinya akibat gugup dan terus berpikir. "Aku tahu kalian tak punya pilihan, tapi ... aku tak mau jika harus berhadapan dengan Galee Ginan."

"Kenapa?" balas Aalisha dengan nada menjengkelkan.

"Karena dia itu Galee Ginan!" teriak Elijah.

"Dia hanya Orly gila dan menyebalkan!" balas Aalisha.

"Aku tahu!" Elijah mengentak-entakkan kakinya di udara. "Meski dia itu gendut, pakaiannya jelek, giginya emas jelek, hidungnya mancung bengkok seperti ranting. Galee Ginan tetaplah Orly yang kuat bahkan banyak Orly yang tak mau berurusan dengannya! Kalian juga tahukan, betapa dia selalu berbuat kekacauan, tapi tidak diusir dari Eidothea! Dia juga takkan segan menyakiti atau melawan orang-orang bahkan kaum bangsawan sekali pun. Apalagi aku, dia hanya menganggapku keroco yang sekali sentil akan ambruk."

"Tapi kau juga Orly dan kau ...." Aalisha menghentikan perkataannya karena tatapan Elijah. "Maksudku kau pasti bisa mengalihkan perhatian Gales Ginan entah dengan cara apa atau buat dia kesal sesaat agar dia terdistraksi dari menjaga perpustakaan itu."

"Maaf, Yang Mulia, aku tak berani ...." kata Elijah dengan kesedihan. "Anda bisa meminta bantuan Orly lain atau yang ditakuti Galee Ginan. Setahuku juga, Galee tak berani pada Tamerlaine."

"Bagus, kau menyuruh kami memerintah Tamerlaine yang artinya sama saja dengan bunuh diri," sahut Aalisha, kesal. "Sudahlah. Aku buang-buang waktu denganmu, kau sangat tak berguna."

"Aalisha, jangan berkata seperti itu," kata Anila merasa sedih, ia juga melihat kesedihan di mata Elijah.

Kini Mylo melangkah, ia ibarat penengah di kala badai antara teman-temannya. "Elijah, kami tahu tugasmu berat, tapi satu-satunya yang bisa membantu kami adalah kamu. Kau sangat menyayangi Eidothea 'kan? Jika kami gagal mendapatkan artefak itu atau jatuh ke tangan orang jahat, Eidothea bisa dalam bahaya, bahkan lebih berbahaya dibanding kejadian Zephyr beberapa bulan lalu."

Anila selalu tahu jika Mylo pandai berkata-kata dengan lembut. "Kau boleh saja takut, aku juga pernah takut, aku teringat saat menghadapi Minotaur. Aku merasa tak berdaya bahkan hampir menyerah, tapi aku tak mau menyerah dan terus berusaha hingga akhirnya aku bisa mengalahkan para Minotaur itu. Kuyakin kau juga pasti bisa, kau harus melawan rasa takut itu."

Sesaat Elijah mulai luluh hatinya. Ia memang sangat takut pada Galee Ginan karena itu dia lebih sering menyendiri atau berdiam diri di kuil agar tak seorang pun mengganggunya terutama si gila Galee Ginan. "Baiklah," kata Elijah meski suaranya gemetar. "Namun, aku punya syarat."

"Benarkah?" Mylo tampak tersenyum, Anila bahagia pula. Sementara Aalisha tampak cuek dan hanya duduk di kursi dengan wajah tak peduli.

"Apa syaratmu? Katakan saja." Anila berujar.

Elijah tampak ragu-ragu dan takut, tetapi ia memberanikan dirinya dan menunjuk Aalisha. Suaranya gemetar seperti hendak menangis pula. "Aku, aku mau Yang Mulia Aalisha, meminta bantuan padaku dengan tulus dan menggunakan kata tolong ... bukan sekadar memberikan perintah."

Ah, jika dipikir-pikir, sejak awal Aalisha menemui Elijah, ia datang dengan maksud memberi perintah bukan meminta tolong dengan tulus.

"Huh." Perlahan Aalisha menyilang kakinya, mendongak, dan menatap congkak. "Kau ingin aku mengatakan tolong? Betapa lancangnya seorang makhluk rendahan sepertimu meminta hal itu padaku yang merupakan Putri De Lune ini."

"Aalisha," kata Mylo.

"Diamlah Cressida." Suara Aalisha tegas. "Hanya karena aku berbaik hati, kalian semua bisa bersikap seenaknya padaku ya? Sudah beberapa kali kalian bersikap tak sopan padaku dan beruntunglah aku masih tak memenggal kepala kalian. Tidakkah kalian lihat bagaimana murid lain yang harus menundukkan pandangannya ketika berbicara padaku?"

"A---" Perkataan Anila dihentikan Elijah yang perlahan turun dan menginjak rerumputan, ia tepat berada di hadapan Aalisha.

"Aku tahu, bahwa aku kurang ajar, Yang Mulia," kata Elijah, "tetapi permintaanku ini bukan didasarkan pada ketidakhormatanku kepada Anda. Aku ingin meminta hal ini karena aku ...." Suara Elijah terjeda.

"Lanjutkan," ujar Aalisha.

"Karena aku ingin Anda meminta tolong sebagai teman ... aku ingin Anda menganggapku sebagai teman. Sejak dulu kita pertama kalinya bertemu, aku ingin berteman dengan Anda. Jadi karena itu aku ingin Anda meminta bantuan dan mengucapkan tolong padaku secara tulus seolah-olah aku adalah teman Anda." Perlahan Elijah menangis. "Aku ingin dianggap teman, bukan sekadar Orly atau pun pelayan. Maaf jika permintaan dariku ini dianggap lancang."

Terenyuh hati Anila dan Mylo. Betapa tulusnya Elijah sejak pertama kali bertemu Aalisha di kuil ini. Namun, perlu diingat bahwa di hadapan mereka adalah seorang De Lune yang sejak kecil dididik untuk menganggap semua makhluk lebih rendah posisinya.

"Aalisha tidak sulit mengucapkan kata tolong 'kan?" kata Anila. Namun, tampaknya Aalisha tidak sedikit pun tergerak hatinya padahal Elijah terlihat sangat sedih.

"Kurasa permintaanku memang tidak sopan," kata Elijah, ia sangat-sangat kecewa dan patah hati. Sepertinya selama ini, hanya Elijahlah yang menganggap Aalisha teman, sementara Aalisha tidak begitu, benar bukan?

Aalisha masih mempertahankan sifat dinginnya, menatap Elijah yang dianggap sia-sia mengeluarkan air matanya. Gadis itu hendak beranjak pergi hingga secercah ingatan melewati dirinya. "Aalisha, di dunia ini ada tiga kata ajaib yang harus sering-sering kamu gunakan. Ketiga kata itu adalah maaf, tolong, dan terima kasih. Tidak peduli seberapa tingginya derajat dan ilmu kita, adab adalah hal dasar yang wajib dimiliki manusia. Seperti yang sering kakak katakan; adab lebih tinggi dari ilmu. Jadi kalau kakak tidak ada, tolong ya, ingat pesan ini dan gunakanlah sebaik mungkin terutama kepada teman-temanmu nanti."

Perlahan-lahan Elijah hendak melakukan curtsy. "Izinkan aku untuk pamit undur diri---"

"Tolong." Terdengar suara itu yang membuat Elijah menghentikan curtsy-nya, kemudian menatap Aalisha bersamaan air mata Elijah kembali jatuh. "Tolong bantu aku untuk mengalihkan perhatian Galee Ginan agar aku bisa menyusup ke perpustakaan. Aku tak punya pilihan selain dengan bantuanmu."

Senyuman Elijah terukir, begitu juga pada Anila dan Mylo. Kini Elijah kembali melakukan curtsy dengan sangat sempurna. "Sesuai perintah Anda, Yang Mulia. Akan kulakukan permintaan Anda dan kujamin takkan gagal."

Aalisha kemudian berdiri. "Ayo pergi, Anila, Mylo. Misinya akan kita lakukan malam ini pukul sepuluh nanti. Elijah, jangan sampai kau terlambat."

"Tentu saja, Yang Mulia."

Aalisha menengok sesaat, lalu berkata, "ya dan maaf karena bersikap kasar sebelumnya."

Detik itu senyuman Elijah terukir, hatinya membuncah atas kebahagiaan yang tak terkira. Sungguh tak ia sangka jika Aalisha akan meminta tolong layaknya pada seorang teman. "Terima kasih banyak, Yang Mulia." Mungkin perlahan-lahan Aalisha akan benar-benar menganggapnya teman dan bisa menaruh rasa percaya sepenuhnya. "Semoga misi kita nanti berjalan dengan lancar. Aku akan terus berdoa untuk keselamatan kalian terutama Anda, Yang Mulia Aalisha, Matahari kebanggaan Athinelon ...."

Aalisha sudah pergi, tetapi Elijah masih di posisi melakukan curtsy yang indah. "Dan adik yang sangat disayangi oleh Yang Mulia Aldrich. Semoga Dewa segera mempertemukan kalian lalu bisa berdoa bersama-sama di kuil ini. Ya, pasti sangat senang bisa menjadi teman kalian. Aamiin."

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

|| Afterword #22

Di Eidothea akademi sudah hal biasa jika para murid sering berlatih di luar jam pembelajaran, tetapi sangat jarang di malam hari terutama ada Orly berjaga setiap malamnya dan jika tertangkap basah, bisa dihukum. Namun, hal ini tak berlaku bagi beberapa murid nakal yang berdarah Majestic Families^^ Tampaknya Aalisha harus tetap berlatih rutin agar kemampuannya tidak menumpul terutama sangat berbeda kehidupannya saat di kediamannya dulu karena sering diberi misi, sementara di Eidothea dia melihat kehidupan normal.

Berbicara mengenai D'Orques adalah mata uang yang digunakan secara resmi selain mata uang berupa koin emas, perak, dan perunggu. Sebenarnya selembar D'Orques senilai dengan 50 koin emas, lalu hal biasa bagi orang-orang bangsawan menggunakan uang mereka untuk taruhan yang sebenarnya hal ini tak baik.

Tampaknya mencoba peruntungan dengan taruhan tidak selalu berakhir baik^^ Jadi alangkah baiknya disimpan saja dibandingkan kalah dam kehilangan lembaran uang yang bisa digunakan membeli barang atau makanan!

Berbicara mengenai Aldrich ... tampaknya dia selalu jadi kakak yang baik dari narasi seorang Aalisha De Lune yang kejam nan bengis bahkan tak berperasaan, mereka benar-benar bagaikan langit dan bumi ya? Jadi penasaran bagaimana Aldrich lebih detail lagi.

Lalu teruntuk Elijah, berikan pelukan yang banyak karena keinginannya hanyalah berteman dengan si De Lune^^

Prins Llumière

Sabtu, 12 Oktober 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top