Chapter 32

|| Before I take my shotgun dan kill you all, vote dan komen serta cari posisi ternyaman karena chapter ini totalnya 8.885 kata^^

|| Challenge: Setiap yang baca chapter ini, beri lima atau lebih komentar agar gue tahu reaksi kalian akan chapter ini yang penuh plot-twist dan adegan lucu/heartwarming serta ....

Malam sepertinya belum berakhir, ya awan masih berarak dan menutupi cahaya rembulan, angin bertiup pelan, membawa kesunyian bagi manusia karena hanya terdengar suara lolongan serigala, rubah, suara kijang, hingga burung hantu maupun binatang kecil sejenis jangkrik di pepohonan, tentu saja suara-suara itu berasal dari Prairie Lynx Woods, hutan di wilayah Eidothea dan dekat dengan danau di sana. Rumornya masih banyak binatang liar dan juga magis yang berkeliaran, bahkan monster, sungguh betapa terjaga keasrian alam dan hutannya. Tidak heran jika tiba-tiba ada binatang liar yang menyerang Eidothea karena dari akarnya saja, Eidothea enggan membasmi mereka demi menjaga alam.

Kini perhatikan dengan jeli, jika berdiri di jembatan kayu di danau, lalu mengarahkan pandangan ke hutan, samar-samar tampak cahaya biru, ungu, dan kemerahan yang berkedip-kedip. Apakah itu salah satu tanda kemunculan binatang magis? Atau hanya sekadar pengacau sekolah yang senang melanggar aturan Eidothea sehingga berkeliaran di atas pukul satu malam?

"Kita terlambat kembali karena kau selalu mengacau Athreus." Suara sinis dicampur rasa keangkuhan terdengar bersamaan langkah kaki menginjak rerumputan dan keluar dari Prairie Lynx Woods. Tampak ia mengenakan pakaian di luar piyama maupun seragam Eidothea, lalu manik mata amber-nya yang cantik begitu terukir jelas.

"Oh ayolah Clemence," ujar si Kieran Zalana seraya menyisir poni rambut hitam legamnya ke belakang karena menutupi pandangannya. "Aku hanya tak mau tertinggal satu target, lagi pula, mana kutahu jika pencuri itu punya kartu tersembunyi; menyimpan Wendigo."

Helaan napas terdengar dari rival utamanya, Nicaise Von Havardur yang menggelengkan kepala kemudian. "Kau bisa membunuhnya sekali tebasan, tapi kau malah mengulur-ngulur waktu sampai Wendigo itu memanjangkan tanduknya."

"Itulah bagian terpentingnya!" balas Athreus dengan mata berbinar. "Setahuku tanduk Wendigo bisa digunakan sebagai bahan baku senjata magis, aku perlu meneliti itu sepulang ke rumah saat liburan panjang nanti. Selain itu, semakin kita menyelesaikan misi ini dengan sempurna, semakin banyak poin yang kita peroleh."

Eidothea Akademi, selain sebagai sekolah yang menjadi tempat menempuh pendidikan. Akademi tersebut juga mendidik para muridnya untuk melaksanakan sebuah misi yang memang sudah dipersiapkan akademi maupun permintaan dari orang-orang di luar akademik. Mudahnya misi tersebut dijadikan sebagai kerja lapangan di masyarakat sehingga ada banyak misi setiap bulan dan tahunnya. Biasanya, para murid mendapatkan misi jika sudah berada di tahun ketiga, tetapi bisa lebih cepat pula tergantung kemampuan dan kapasitas kekuatan murid tersebut serta pengalaman mereka sebelum masuk Eidothea; kebanyak yang seperti ini berasal dari kalangan bangsawan dan Majestic Families.

Misi-misi yang dijalani ada berbagai macam dimulai dari membantu masyarakat, menangkap pencuri, menyelidiki sebuah wilayah. Terkadang mendapatkan pula misi tingkat tinggi seperti melawan monster dan misi lainnya, tetapi biasanya hanya murid-murid tertentu yang mendapatkan misi ini. Sehingga seperti pernyataan sebelumnya, jika misi bisa langsung dari Eidothea yang memberikan atau permintaan dari pihak luar, semisal seorang warga meminta bantuan, bangsawan, bahkan pihak kekaisaran Ekreadel pun, bisa memberikan misi pada murid Eidothea.

Keberhasilan misi ini, para murid akan mendapatkan penambahan poin baik secara individu maupun asrama, serta yang paling diincar para murid adalah mendapat bayaran berupa uang yang cukup banyak, jadi beberapa murid menganggap misi-misi ini sebagai kerja cadangan terutama yang berasal dari kaum proletar. Hanya saja, sangat disayangkan kalau tidak semua misi sulit dilimpahkan kepada sembarang murid begitu saja karena pihak akademi juga perlu menyeleksi atau memilah murid-murid tersebut apakah sesuai atau sanggup untuk menjalani misi. Hal ini dilakukan demi keselamatan para murid itu sendiri.

Bayangkan saja, murid yang tingkat kekuatannya di bawah rata-rata, tetapi mendapatkan misi mengalahkan monster atau binatang magis yang mengacaukan desa. Bisa saja dia terbunuh, karenanya misi tingkat sulit akan diberikan pada murid yang lebih mampu.

Tampak ada ketidakadilan di sini? Tentu saja para murid boleh berpikiran seperti itu, tetapi harus diketahui jika profesor Eugenius selalu memikirkan keselamatan muridnya. Ia tak mau satu murid tiada hanya karena mendapatkan misi yang sulit.

"Kau itu keparat sialan Athreus, kita jadi telat kembali dan aku sudah mengantuk! Nathalia mengabari jika pagi nanti, kita ada Ujian Praktek Sihir," balas Eloise.

"Clemence, kenapa diambil pusing?!" kata Athreus berjalan beriringan dengan Eloise, sementara Nicaise menghentikan langkahnya dan menatap pada jembatan kayu di danau. "Kau ahlinya sihir elemental, praktek sihir bagimu pasti semudah membalikkan telapak tangan."

Athreus tidak salah, tetapi tetap saja, Eloise ingin beristirahat dengan cukup. "Berhentilah mengoceh Athreus, sebelum kubakar kau jadi abu."

"Aku takut," ejek Athreus, "Clemence siap mengubah musim salju jadi musim panas."

Baru hendak Eloise meninju Athreus, ia hentikan ketika melihat Nicaise yang berjalan ke arah jembatan kayu. "Apa yang kau lakukan?"

"Aku merasakan energi sihir di jembatan itu," kata Nicaise berhenti sejenak kemudian kembali melangkah.

"Energi sihir?" Eloise menatap sejenak, lalu dia bisa melihat cahaya putih di ujung jembatan meski tidak terlalu jelas. "Kau benar, ayo kita periksa."

"Kurasa cukup hari ini," balas Athreus, "barangkali hanya energi sihir dari Orly penghuni danau."

"Diam kau pengecut," sahut Eloise tak mempedulikan Athreus, begitu pula Niciase. "Pulanglah jika kau tak mau ikut campur."

Sesaat Athreus menghela napas, ia melirik sinis pada kedua Majestic Families tersebut, kemudian beralih pada cahaya putih di ujung jembatan, perlahan ia menyeringai kecil, lalu melangkah mendekati kedua temannya, seraya bergumam, "kuharap sesuai pradugaku."

Kini mereka bertiga menatap pada cahaya putih bersinar samar dan ada kelap-kelip kecil di sekeliling cahaya tersebut. Tampak Nicaise berjongkok dan memperhatikan dengan jeli, Eloise serta Athreus hanya berdiri, mereka bertiga menjaga jarak sekitar beberapa sentimeter karena hal bodoh jika mendekati sesuatu yang asing dan mencurigakan tanpa diobservasi terlebih dahulu. Mereka tak mau kepala terpenggal hanya karena mendekati energi sihir yang mencurigakan tersebut.

"Mungkin ada yang habis berlatih di sini," ujar Athreus, "jadi barangkali jejak sihirnya masih bersisa."

"Tidak ada murid selain kita yang bisa berkeliaran di luar jam malam tanpa tertangkap Orly yang berjaga," balas Eloise menatap sinis Athreus. "Kau Majestic Families, bisakah jangan berpikir sesederhana itu."

Athreus berdecak sebal. "Jadi cahaya apa ini, Nona Yang Terhormat Eloise Clemence."

"Cahaya rohmu jika kubunuh kau di sini!" Sungguh Eloise sangat kesal, bisakah sehari saja, lelaki sialan ini tidak menyebalkan dengan segala sifat jail dan penuh jenakanya?! Ia sangat bingung, mengapa Athreus dengan sifat jailnya bisa lahir dari keluarga Kieran Zalana yang Kepala Keluarganya dikenal sebagai manusia bertangan besi bahkan mampu membuat ratusan strategi yang memenangkan peperangan melawan bangsa iblis.

"Oh ayolah, jangan mudah emosi, aku hanya bercanda," ujar Athreus, "baiklah, aku serius, jadi menurut kalian, energi sihir ini berasal dari apa?"

"Gerbang teleportasi," ujar Nicaise dengan tegas, tampak sudah ia pikirkan matang-matang sebelum menjawab.

"Von Havardur sialan ini," gumam Athreus dengan seringai jenakanya.

"Kau yakin?" ujar Eloise.

"Ya," balas Nicaise, "kita tidak bisa menyentuhnya, berbahaya jika terseret ke dalam gerbang tersebut."

"Apa yang membuatmu yakin jika cahaya itu adalah gerbang teleportasi?" Athreus tampak berpura-pura tidak tahu ataukah ia memang tidak tahu?

"Aku bisa membuktikannya." Nicaise mengedarkan pandangannya, menatap gelembung atau buih-buih di danau yang awalnya tenang. "Keluarlah wahai Orly, aku Von Havardur memerintahkan kau menghadap padaku detik ini juga."

Sesuai dengan perintah Nicaise, buih-buih di danau tersebut semakin banyak, lalu cahaya kuning sedikit jingga terukir membuat pentagram sihir, perlahan keluarlah seekor ikan Koi dengan sisik jingga yang dapat melayang di udara, ikan tersebut cukup besar, barangkali sebesar paha orang dewasa. Setelah sepenuhnya keluar dari air danau, ikan Koi tersebut melayang mendekati Nicaise. "Salam Yang Mulia, Von Havardur." Suara ikan tersebut seperti suara perempuan pada umumnya. "Dan salam pula Yang Mulia kedua Majestic Families, betapa aku sangat bangga karena bisa bertemu dengan tiga Cahaya Matahari Athinelon."

"Tidak perlu banyak basa-basi," sahut Eloise, "kami akan langsung bertanya, cahaya dan energi sihir apa di sana itu? Kau pasti tahu karena kau penghuni danau ini."

"Gadis sialan ini, Tuannya siapa, dia duluan yang menyahut," gumam Athreus.

"Kau benar." Kemudian dibalas anggukan oleh Nicaise, seolah-olah mereka dapat telepati satu sama lain.

"Izinkan aku untuk memeriksanya terlebih dahulu, Yang Mulai Tuan Putri Clemence." Sang Orly berwujud ikan Koi itu melayang mendekati cahaya putih, butuh beberapa menit, ia menyelidiki cahaya tersebut, barangkali memakan waktu lima menit.

"Bisakah kau lebih cepat, aku mulai lelah di sini," ujar Eloise.

"Bersabarlah Eloise, dia juga perlu waktu," balas Nicaise.

Dengan decakan, Eloise akhirnya sabar menunggu hingga selesai juga si ikan Koi tersebut menyelidiki masalah si cahaya putih misterius. "Jadi, apakah sesuai asumsi kami jika cahaya itu adalah ... gerbang teleportasi," kata Nicaise.

"Anda benar sekali, Yang Mulia," ujar si Ikan Koi, "cahaya ini adalah gerbang teleportasi, meski pudar karena tidak sepenuhnya terbuka."

Ketiga Majestic Families mengangkat kepalanya, tampak penasaran dan terkejut. "Tidak sepenuhnya terbuka?" kata Nicaise.

"Jelaskan lebih detail." Eloise menimpali.

"Yang Mulia, kalian pasti sudah tahu jika Eidothea menyimpan banyak rahasia, termasuk akan adanya gerbang teleportasi karena tempat berdiri akademi ini adalah tanah yang sejak zaman dulu penuh misteri. Terlebih lagi, kedelapan Majestic Families lah yang membangun Eidothea, jadi jauh sebelum berdirinya Eidothea maupun setelah berdirinya, ada banyak gerbang teleportasi di sini, meski kunci gerbangnya tidak ada yang tahu berada di mana."

Mereka sudah menduga hal tersebut. "Apakah gerbang ini juga yang sering dirumorkan membawa para murid menghilang begitu saja? Lalu mereka kembali tanpa ingatan yang jelas?"

"Benar sekali, Yang Mulia Von Havardur." sang ikan Koi mengangguk kecil. "Beberapa murid menghilang tiba-tiba karena ditarik gerbang ini. Jauh sebelum Yang Mulia berada di akademi, ada banyak kasus serupa, para murid hilang tiba-tiba, berada di tempat antah-berantah, lalu kembali lagi tanpa ingatan ke mana mereka menghilang."

"Bagaimana hal itu bisa terjadi? Jika gerbangnya terkunci dan tak diketahui di mana kuncinya, mustahil menyeret para murid ke tempat antah-berantah itu," timpal Athreus.

"Anda benar sekali Yang Mulia Kieran Zalana. Namun, ada beberapa kondisi lain yang menjawab hal tersebut, pertama seseorang memiliki kunci salah satu gerbang di sini sehingga ketika ia membuka gerbangnya, maka orang lain dalam radius gerbang tersebut juga akan terseret ke dalam. Kedua, gerbangnya mengalami kerusakan, sehingga menyeret siapa pun yang dekat dengan gerbang tersebut meski hanya sementara."

"Kerusakan?" Alis Eloise bertaut. "Terdengar mustahil."

"Aku tahu jika hal tersebut terdengar tak masuk akal. Namun, tidak semua hal di dunia ini bisa dijelaskan selogis mungkin meski kita hidup di dunia sihir, barangkali jawabannya hanya diketahui para Dewa di atas sana," ujar sang ikan Koi.

"Baiklah ... tetap aku tak puas dengan jawaban itu," balas Eloise seraya melirik pada Athreus yang memasang ekspresi mencurigakan.

"Jadi apa kemungkinan dari gerbang ini." Nicaise bermaksud mencari tahu tentang gerbang di jembatan danau ini. "Apakah kerusakan juga?"

"Ada kemungkinan ya dan kemungkinan tidak," kata si ikan Koi. "Jika karena kerusakan, mungkin gerbang ini hendak terbuka, tapi melihat energinya sangat tipis, maka hanya ada dua kemungkinan."

"Apa?" Eloise bertanya lagi, tapi ia masih menilik pada Athreus yang hanya diam saja.

"Pertama, gerbangnya habis terbuka dan sudah menyeret orang lain yang ke jembatan ini masuk ke dalam gerbang tersebut. Kedua, seseorang berusaha membuka gerbangnya dengan kunci, tetapi gagal." Sang ikan Koi menjelaskan yang sukses membuat ketiga Majestic Families terkejut, atau lebih tepatnya hanya dua karena Athreus tampak tak terkejut sama sekali, melainkan dipenuhi ekspresi khawatir.

"Ada yang berusaha membuka gerbangnya, tetapi gagal," ujar Eloise.

"Itu hanya kemungkinan saja, Yang Mulia, tetapi menjadi dua kemungkinan yang paling dekat dengan jawabannya." Ikan Koi tersebut berkata lagi.

Nicaise mendekati si ikan Koi. "Baiklah, terima kasih atas bantuanmu, kau boleh kembali, sisanya kami yang urus."

"Terima kasih Yang Mulia," ujar si Koi sambil menganggukkan kepala sebagai bentuk penghormatan. "Semoga kalian selalu berada dalam perlindungan para Dewa." Lalu ia kembali ke dalam danau dan lenyap di sana.

"Tak kusangka, cahaya ini menjadi masalah yang besar dari yang kuduga," kata Nicaise menatap pada Eloise dan Athreus.

"Ya, cahayanya sudah lenyap, ayo kembali," kata Athreus. Sedangkan Eloise menyipitkan matanya, mencari-cari titik kebenaran, apakah Eloise salah sangka jika Athreus bertingkah aneh atau tidak.

"Ya." Eloise menurunkan kedua tangannya yang sebelumnya bersilang di dada. "Aku lelah, pembicaraan tadi, buang-buang waktu saja."

"Kalian serius, menganggap enteng masalah ini?" ucap Nicaise, "itu gerbang teleportasi lho, Iapthae Portae yang bisa menjadi hal buruk."

"Aku enggan peduli," balas Eloise, "jika isinya harta karun pun, aku sudah kaya raya dan jika isinya bencana, maka salahkan yang membuka gerbangnya."

"Kau ingat jika ada masalah di sini, kita pasti diperintahkan untuk turun tangan," ujar Nicaise lagi.

"Aku tahu, jadi tinggal kubakar saja siapa yang membuka gerbangnya." Eloise melangkah lebih cepat. "Namun, kali ini. Biarlah jika ada murid yang hilang atau terseret ke gerbang tersebut. Sekalian mati saja tidak masalah untuk mengurangi populasi murid bodoh di Akademi ini." Maka ketiganya pun, hilang dalam kabut dan segera kembali ke asrama masing-masing.

Meninggalkan pertanyaan, apakah mereka benar-benar takkan peduli pada masalah ini atau pada akhirnya mereka setuju untuk turun tangan, layaknya takdir yang selalu dituliskan seperti itu?

"Squishy!" Suara itu terdengar.

"Shht. Diamlah ...."

"Hippi, Hippi, Hippi!"

"Hippi, jangan ribut, nanti ketahuan."

Ah, tampaknya para Dewa belum selesai memberikan skenario yang menghibur di Athinelon. Mengapa begitu? Bukannya segera kembali ke asrama Gwenaelle. Athreus Kieran Zalana malah diam-diam menuju halaman belakang asrama Arevalous, berada di balik semak-semak belukar dan pepohonan serta langit yang masih gelap karena masih sekitar pukul tiga malam. Ia memantau ke salah satu jendela di lantai lima Arevalous.

Sungguh lucu karena Athreus berjongkok di belakang semak-semak dengan di atas kepalanya ada Hippibia dan di atas Hippibia ada Squichypus. Ketika Athreus menyipitkan mata untuk memantau, kedua binatang tersebut juga ikutan menyipitkan mata.

"Hippi, mohon bantuannya, ya."

Maka dengan sangat menggemaskan, Hippibia lekas mengangguk, ia melompat, membuat Squichypus hampir jatuh ke tanah jika tak diselamatkan Athreus. Kini sisa mereka berdua yang tengah memantau Hippibia yang melompat-lompat menuju bangunan asrama.

"Hippi?" Binatang biru itu mendongak ke atas, mencoba melompat setinggi mungkin agar bisa mencapai kosen jendela kamar Aalisha, tetapi gagal.

"Oh Dewi, kenapa saat dibutuhkan, makhluk itu bahkan tak bisa melompat tinggi dengan benar." Athreus berujar pelan, sementara Squichypus geleng-geleng kepala karena tingkah bodoh Hippibia.

Perlahan Athreus merapalkan mantra angin yang membawa Hippibia melayang, "Hipuwiiii, Hipuwiiii," kata makhluk itu merasa bahagia dan ia berhasil sampai di jendela Aalisha meski tertutup. Mata Hippibia melebar karena tak bisa melihat apa pun di dalam sana, gelap sekali, jadi ia menoleh pada Athreus.

"Ketuk pelan jendelanya." Athreus memberi isyarat dengan tangannya yang seolah-olah mengetuk jendela. Maka dibalas anggukan oleh Hippibia. "Hippi pintar."

Kini tinggal menunggu Hippibia mengetuk jendela tersebut. "HIPPI, HIPPI, HIPPI, HIPPI, HIPPI, HIPPI, HIPPIIIII!" Terlihat jika Hippibia malah menggedor-gedor jendela tersebut dengan kedua tangan bahkan ekornya.

"Oh Dewi." Sontak secara bersamaan, Athreus dan Squichypus menepuk dahi masing-masing atas tingkah bodoh Hippibia tersebut. "Sembunyi." Athreus dan Squichypus bersembunyi di semak-semak ketika terlihat bayangan di jendela tersebut, perlahan terbuka jendela tersebut.

"Mengapa kau di sini?" ujar Aalisha yang mengenakan piyama warna ungu dengan rambut hitam panjang tergerai. Hippibia melompat ke pelukan Aalisha.

"Hippi, Hippi, Hippiiii!"

Aalisha tampak bingung, tetapi ia masih mengantuk. "Aku tak paham maksudmu, tapi kau boleh tidur di sini sampai menjelang pagi."

"Hippi!" Binatang magis itu sangat bahagia.

"Tapi tunggu sebentar ...." Perlahan Aalisha mengedarkan pandangannya ke luar jendela. Hanya kesunyian yang menguasai.

"Hippi?"

"Tidak," balas Aalisha, "kupikir aku melihat seseorang." Ia menutup jendela dan menarik gordennya lalu kembali ke kasurnya dan Hippibia tidur meringkuk di dekat Aalisha.

Sementara itu, berada di kuil terbengkalai di belakang asrama Arevalous. Athreus dan Squichypus yang di atas kepalanya, beristirahat di sana. Seraya memandangi rembulan bersinar indah. Untungnya mereka berhasil kabur.

"Squishy?" kata binatang tersebut.

"Aku tidak peduli padanya," sahut Athreus, "aku hanya memastikan jika dia bukan orang yang membuka gerbangnya."

"Squishy, Squishy!" Tampaknya binatang itu tak percaya perkataan Athreus.

"Sudah kukatakan, aku tidak peduli! Aku hanya peduli pada keadaan akademi ini karena aku malas mengurus perpindahan akademi jika akademi ini hancur."

"Squishy!"

"Tidak, aku tak peduli." Athreus berniat kembali ke asramanya.

"Squishy."

"Aku tak peduli."

"Squishy."

"Aku tak peduli."

"Squishy."

"Sudah kukatakan! Aku tak peduli padanya jadi berhentilah mengoceh, kau makhluk kecil menyebalkan!"

"Squishy, Squishy, Squishy, Squishy, Squishy, Squishy, Squishy, Squishy, Squishy, Squishy, Squishy, Squishy, Squishy, Squishy, Squishy, Squishy, Squishy, Squishy!"

"Oh Dewi, ternyata makhluk ini sangat mengesalkan!"

****

Aktivitas di akademi berjalan dengan sebagaimana mestinya, para murid sudah siap pergi ke aula makan bersama untuk sarapan, sementara ada pula beberapa murid yang memilih makan di kantin rumah pohon. Selesai sarapan, mereka punya waktu satu jam sebelum pembelajaran dimulai jadi bebas sekali hendak melakukan apa entah berdoa di kuil, membaca buku, lanjut mengerjakan tugas karena belum selesai semalam, pergi mengunjungi teman, hingga hal lainnya.

Benar-benar kehidupan yang didambakan banyak manusia karena mereka hidup sangat tercukupi di Eidothea; tidak kelaparan dan banyak hal bisa dieksplorasi di sekolah ini. Tidak hanya fokus pada sihir dan berpedang, tetapi di luar itu juga seperti mempelajari tanaman, bereksperimen membuat ramuan baru jika berhasil akan mendapatkan tambahan nilai, mengikuti berbagai macam kegiatan maupun ekstrakurikuler, menonton pertarungan antara murid lain terutama pertandingan Oulixeus, hingga dapat mengembangkan diri secara perlahan-lahan.

Pantas saja banyak yang iri dengan orang-orang yang dapat menempuh pendidikan di akademi sihir, terutama Eidothea yang termasyhur ini. Meskipun begitu, mereka tidak lupa, jika marabahaya juga bisa berasal dari sekolah ini; bangunan yang pertama kali didirikan dengan campur tangan delapan Majestic Families.

Sepuluh menit sebelum kelas dimulai, terlihat rombongan Eloise Clemence yang berjalan bersama karena habis dari salah satu taman dalam akademi; mereka bergosip tentang tren fashion yang akhir-akhir marak dibicarakan di kalangan Borjuis Kekaisaran. Pakaian ini tentu saja dikeluarkan oleh butik Alfafreezel Eleanora. Pakaian yang sangat ajaib karena dapat digunakan dalam pertarungan sekaligus menjadi gaun yang indah. Bagaimana bisa?

Eloise menceritakan jika salah satu bibinya yang berasal dari keluarga cabang, membeli pakaian tersebut. Dikenakannya saat pesta salon; gaun cantik dengan warna merah dilapisi tile serta pernak-pernik tambahan, lalu gaun tersebut dapat bertransformasi menjadi pakaian bertempur yang terdiri dari celana ketat dari bahan elastis dan tak mudah sobek, baju berlengan panjang dengan tambahan pelindung di bahu dan siku.

"Ah jadi inti utama dari pakaian jenis baru ini. Dapat bertransformasi bentuk yang semula gaun lalu menjadi pakaian bertarung?" ujar salah seorang murid.

"Benar sekali," balas Eloise, "pakaian tersebut diberi sihir spesial sehingga dapat mengubah bentuknya."

Teman-temannya memuji betapa cerdasnya butik tersebut membuat pakaian yang punya dua fungsi. "Kurasa kita harus membeli pakaian tersebut, selain memperhatikan kecantikan, kemudahan dalam pertarungan juga kita dapatkan."

"Aku setuju," kata Nathalia Clodovea, "tapi tetap saja, aku lebih kagum pada bangsawan Keluarga Rosemary. Pahlawan perang yang mengenakan gaun saat peperangan."

Lalu manik mata indah Nathalia menilik pada lelaki rambut merah-kecokelatan, ia tersenyum manis ketika lelaki tersebut tak sengaja menatap Nathalia.

"Mengenai hal tersebut, tidak bisa dimungkiri, salah satu sejarah Ekreadel yang takkan terlupakan bahkan hingga kini," balas Eloise, kemudian sadar jika De Lune dan teman-temannya juga melewati koridor ini. "Masih betah di sekolah ini, De Lune?"

Aalisha menatap sinis Eloise sesaat. "Jangan bicara padaku, Clemence."

"Sangat tidak sopan," sahut Eloise.

"Salam De Lune," kata Nathalia dengan lembut. "Dan halo Cressida."

"Oh ya, halo," balas Mylo semakin bingung. Mengapa ia juga disapa?

Setelahnya mereka berbelok ke arah koridor yang berbeda. Hanya saja meninggalkan satu pertanyaan yang sama.

"Mengapa kau menyapanya tadi?" kata Eloise heran pada Nathalia. "Aneh sekali kau menyapa laki-laki."

"Oh." Nathalia terkekeh. "Kami tak sengaja bertemu akhir-akhir ini, jadi aku menyapa sebagai bentuk kebaikan hati."

"Jangan akrab dengannya. Dia hanya keluarga Viscount sementara kau putri terhormat Marquess Clodovea yang memiliki relasi kuat dengan Clemence, dia tak setara denganmu." Mereka langsung masuk ke kelas untuk menjalani kelas filsafat.

Sedangkan di sisi lain, Anila dan Frisca menatap heran pada Mylo seolah-olah ada rahasia yang disembunyikan lelaki itu. "Apa-apaan sapaan tadi?! Kau menyembunyikan rahasia dari kami ya!"

Mylo sontak membuat ekspresi bingung. Ia tidak tahu harus hendak menjawab apa jadi Gilbert yang angkat bicara. "Apakah kalian ingat saat aku, Kennedy, dan Mylo mengejar Tilliana palsu, singkatnya ada kejadian tak terduga antara putri Clodovea dan Mylo."

"Kejadian apa?" tanya Anila, "jelaskan pada kami."

"Entahlah, kami tak ada di sana saat Mylo bertemu Clodovea," timpal Kennedy sampai dia saja tertarik dalam pembahasan ini.

"Wah, kau berutang cerita pada kami!" ujar Frisca. Sementara Mylo hanya bisa menghela napas saja. Tak ia sangka jika masalah ini akan diperbesar oleh teman-temannya.

Sedangkan Aalisha tak terlalu peduli, lagi pula hal-hal seperti ini harus dihindari karena dapat menjadi konsumsi publik dan obrolan dari mulut ke mulut dengan artian gosip. Mengapa Clodovea itu dengan mudahnya tak peduli hal semacam rumor dan sebagainya? Terlebih lagi, dia adalah putri Marquess. Pasti jadi gosip jika seorang putri dari Marquess terhormat dekat dengan putra dari Viscount. "Manusia memang makhluk yang aneh. Lebih anehnya lagi, aku juga manusia."

Melangkah di koridor ini, tampak dari kejauhan, pemilik manik mata ungu tengah terkekeh dengan teman-temannya karena membicarakan tentang pertandingan berburu, lalu salah satu tim malah bertemu dengan binatang magis yang sukses mengacaukan pertandingan berburu tersebut.

"Oh hai, De Lune." Nicaise Von Havardur tersenyum seraya mendekati Aalisha. "Sudah dengar kabar terbaru?"

"Tidak." Aalisha menjawab dingin, melangkah melewati Nicaise, terpaksa lelaki itu berbalik dan mengikuti langkah Aalisha.

"Dikarenakan kau ingin tahu ...." ujar Nicaise sementara Aalisha hanya dapat menghela napas karena bukannya berhenti berceloteh, lelaki ini malah lanjut. Di sisi lain, percakapan kedua Majestic Families itu mengundang para murid melirik sesaat lalu kembali beraktivitas. Anila, Mylo, dan kawan lainnya hanya bisa memperhatikan dengan wajah cengo karena seorang Von Havardur mengajak Aalisha mengobrol? Tidakkah ia takut akan rumor atau sejenisnya.

"Aku tak mau tahu apa pun yang hendak kau katakan." Lekas Aalisha menginterupsi.

Nicaise terkekeh, tawanya yang renyah itu tak disangka-sangka diam-diam membuat Aalisha menggigit bibir bawahnya serta berusaha mengontrol detak jantungnya. "Enyahlah, Von Havardur."

Sayangnya, Nicaise tak mau pergi. "Ada pertunjukkan opera yang diadakan di pusat Kota Twesserniont. Operanya berjudul Sang Penyair dan 10 Puisinya. Apakah kau tertarik---"

"Tidak," balas Aalisha cepat seraya menatap sinis Nicaise. "Enyahlah."

Senyuman Nicaise masih terukir, manik matanya menatap lembut pada Aalisha. "Jika kau tertarik, ajak teman-temanmu untuk menonton." Ia melirik pada Anila dan kawan-kawannya. "Aku dan Athreus tahu jalan kabur dari akademi ini."

"Dasar gila," sahut Aalisha, sementara Nicaise membungkuk sesaat.

"Sampai jumpa, De Lune," kata Nicaise lalu pergi menuju kelasnya di lantai dua.

"Kenapa kau bersikap seperti itu padanya?" ujar Frisca seraya memukul bahu Aalisha, lekas gadis itu mendorong Frisca karena kesal. "Jangan kasar padaku!"

"Lalu kau ingin aku bersikap seperti apa padanya??" sahut Aalisha.

"Jika kau terus bersikap dingin, dia takkan menyukaimu!" balas Frisca dengan senyuman culas di wajahnya.

"Jangan berpikir seolah-olah kami ini bodoh," timpal Gilbert.

"Peduli setan," balas Aalisha.

"Ada yang malu-malu di sini." Frisca mulai mengejek, membuat suara imut dan dipenuhi kesedihan. Disusul kekehan, Gilbert bahkan Mylo! Sedangkan Anila hanya bisa menghela napas, kalau Kennedy seperti biasa, diam mendengarkan dan tak banyak berkomentar.

"Dengar ya Devorez! Sekali lagi kau berkata seperti itu. Aku akan memenggal---"

Suara gedebuk terdengar ketika badan pendek dan kecil Aalisha menabrak dada seorang lelaki yang lebih tinggi darinya. Membuat kawan-kawan Aalisha hening bahkan Frisca tak lagi mengoceh. Perlahan Aalisha mendongakkan kepalanya dan menatap sesaat pada lelaki di depannya ini, sontak ia melangkah mundur.

"Perhatikan langkahmu De Lune," ujar lelaki itu. Semerbak wangi lemon bercampur zaitun tercium hingga Aalisha. "Selain kalsium, kau juga harus meminum banyak vitamin C agar penglihatanmu jernih." Ia berujar dengan penuh kejenakaan.

Sungguh lucu takdir para Dewa, sebelumnya Aalisha merasakan debaran ketika bertemu Nicaise meski hanya sesaat, tetapi di hadapan lelaki ini. Debaran itu menjadi rasa kesal ibarat api berkobar-kobar. "Kau lah yang tak memperhatikan langkahmu, Athreus."

Tawa Athreus terukir. "Perempuan selalu tak mau salah ya."

Mereka saling bertatapan. Ah, Aalisha lupa berdoa di kuil. Tidak ia sangka jika ia kalah rajin berdoa dari lelaki sialan ini ataukah Athreus hanya ingin pamer kalau dia sangat religius dan saleh? Lihatlah, betapa percaya dirinya lelaki ini karena mengenakan Marajha yang sangat tampak merah di dahinya, gelang merah, serta membawa buku, barangkali kitab berisi syair-syair para Dewa.

"Sedangkan laki-laki selalu sombong dan menganggap perempuan sebagai makhluk yang lebih rendah, sungguh biadab kalian," balas Aalisha. Kini ketegangan terasa di antara keduanya, membuat Anila dan kawan-kawan meneguk saliva dengan takut.

Athreus sesaat menunduk agar bisa langsung menatap manik mata hitam tersebut. "Jangan menuduh seseorang hanya dari sampulnya saja, Nona De Lune." Ia lalu melangkah melewati Aalisha begitu saja. "Aku pamit. Semoga Dewa selalu memberkatimu agar kau jangan seenaknya menilaiku tanpa mencari lebih tahu."

Langkah Athreus semakin jauh, meskipun begitu, sempat Aalisha berbalik dan memperhatikan lelaki itu. Lebih tepatnya pada buku yang Athreus bawa. "Ternyata bukan kitab."

"Ayo ke kelas," ujar Anila, seraya menarik lengan Aalisha. Kawannya yang lain mengikuti, mereka segera ke kelas yang tak jauh dari koridor itu.

Sementara Aalisha diam sejenak dan ia sadar jika buku yang Athreus bawa bukanlah kitab maupun syair-syair para Dewa, melainkan .... "Laki-laki aneh, mengapa dia membawa buku dongeng ke kuil?"

****

Barangkali sudah takdirnya Eloise Clemence untuk terperangkap di kelas profesor Godiva ini. Layaknya kelas-kelas sebelumnya jika ia sangat meremehkan profesor itu karena Eloise tak terlalu percaya ramalan terkecuali dari keturunan langsung Drazhan Veles. Namun, seperti paksaan dari Nathalia jika Eloise harus tetap hadir di kelas demi nilai dan norma kesopanan, maka dengan keengganan dan kesinisan, dia duduk di bangku kelas ini dan mendengarkan profesornya mengoceh mengenai salah satu metode ramalan.

"Untuk apa cawan ini?" ujar Eloise, "basah juga karena di dalamnya ada air. Sungguh kotor dan menjijikkan."

"Bukankah hal biasa salah satu metode ramalan menggunakan air dan cawan serta sejenisnya," balas Nicaise yang duduk di belakang Eloise.

"Aku tahu, tapi tetap saja, jika metode seperti ini sangat ketinggalan zaman. Majestic Families sudah jarang menggunakan metode kuno ini---"

"Ini bukan alat ramalan." Athreus menginterupsi. "Namun, cawan untukmu minum---hey, hey, jangan dorong kepalaku!"

Kekesalan Eloise memuncak pada Athreus yang duduk di depannya, membuat ia nekat mendorong kepala Athreus agar wajahnya masuk ke dalam cawan berisi air itu. "Diam kau sialan dan cepatlah tenggelamkan wajahmu itu agar bisa kudidihkan airnya!"

"Kumohon tenanglah kalian, jangan membuat keributan," balas Nathalia, ia memang yang paling sabar di antara ketiga kawannya.

Kini mereka semua berfokus kembali pada penjelasan profesor Godiva, meski Eloise tampak malas. Terlihat di depan kelas, profesor mereka itu mengeluarkan kertas berbentuk kartu yang belakang kartunya ada ukiran berwarna emas sementara di bagian depan, kosong dan bersih tanpa coretan sama sekali.

"Metode ramalan hari ini akan menggunakan metode membaca konstelasi bintang," jelas profesor Godiva. "Sementara dua alat yang digunakan adalah Stella Scripturam Card dan Discus Aquae Poculum."

Para murid menatap pada kedua alat yang dijelaskan profesor Godiva, ah ternyata kedua alat tersebut yang kini ada di meja masing-masing murid. Alat pertama, Stella Scripturam Card adalah alat ramalan yang terbuat dari kertas khusus dibentuk seukuran kartu sehingga disebut pula kartu bintang tulis, bentuknya seukuran kartu poker pada umumnya. Berwarna putih, bagian belakang kartu ada ukiran emas menyerupai bunga dan sulur serta tampak mengkilap, sementara bagian depannya kosong putih serta dapat dibubuhkan tulisan menggunakan pena.

"Kalian bisa menggambar konstelasi bintang atau rasi bintang kalian masing-masing," ujar profesor Godiva, "hanya saja, kartu ini, sekali pemakaian saja dan tidak boleh salah ketika menggambar konstelasi bintangnya serta dilarang sembarangan gambar. Jika tidak, ramalan kalian akan gagal."

Alat kedua adalah Discus Aquae Poculum atau disebut pula cakram cawan air. Benda itu yang kini di atas meja masing-masing murid. Bentuknya bundar layaknya cakram dan menyerupai mangkuk, tapi tidak sedalam mangkuk, lalu terbuat dari semen dan beberapa bahan tertentu sehingga sekeras batu. Warnanya putih serta ada ukiran di badan cawan tersebut. Kemudian berisi air jernih. "Alat kedua ini digunakan setelah kalian menggambar konstelasi bintang kalian di kartu, kemudian kartu kalian diletakkan mengambang di air dalam cawan ini. Bagian yang kalian gambar harus menghadap ke atas. Sampai sini kalian paham?"

"Siap, paham Profesor!" ujar beberapa murid sementara yang lain hanya menganggukkan kepala.

"Baguslah, jadi biar kucontohkan karena kalian sudah paham kegunaan masing-masing alat," ujar profesor Godiva, perlahan-lahan maju beberapa langkah dari posisi mejanya. Ia mengangkat tangannya seraya merapalkan mantra.

Betapa para murid membulatkan matanya ketika langit-langit di ruangan kelas ini perlahan menggelap, lalu muncul bintang-bintang yang kelap-kelip layaknya pada malam hari. "Karena kita butuh izin jika melakukan kelas di malam hari dan ramalan ini perlu mengamati konstelasi bintang jadi biar aku buat tiruan malam dan bintang-bintangnya."

"Woah, jadi kita akan meramal melalui bintang-bintang ini?" kata salah satu murid.

"Benar sekali, meskipun ini tiruan, tetapi sebisa mungkin aku membuatnya sama persis seperti malam sebelumnya, sehingga beberapa ramalan melalui konstelasi ini, bisa jadi kenyataan." Profesor Godiba menepuk tangannya. "Baiklah, mari kembali perhatikan bagaimana cara meramal melalui konstelasi bintang dan kedua alat ini."

Profesor itu menuju ke mejanya kembali, mengambil satu kartunya. Murid-murid memperhatikan bahkan ada yang mencatat setiap poin yang disampaikan profesor Godiva. Tampak jika ketiga Majestic Families dan putri Clodovea juga memperhatikan profesor Godiva meskipun Eloise menatap agak malas. Seolah-olah ia berpikir; apa yang hendak dilakukan wanita tua itu dengan ramalan palsunya?

"Pertama-tama yang harus kalian lakukan adalah identifikasi konstelasi bintang, sehingga ramalan ini hanya bisa dilakukan di malam hari. Bintang yang diamati adalah zodiak kalian masing-masing sehingga kalian harus tahu bagaimana bentuk bintang kalian. Jika pun tidak tahu, kalian bisa mengeceknya di buku Astronomi dan Perbintangan."

Profesor Godiva memperhatikan langit-langit seraya mencari bintang miliknya. "Setelah kalian temukan konstelasi bintang kalian, langkah kedua adalah mengamati bintang kedua yang ada di dekat konstelasi kalian, lalu memperhatikan pola bintang yang tersebut, apakah bintangnya terang, redup, atau memiliki formasi yang unik. Misalnya, apakah ada bintang tambahan di dekat ekor bintang scorpius."

Lalu profesor Godiva mulai mengambil pena dan menggambar konstelasi bintangnya di kartunya. "Langkah ketiga adalah menggambar konstelasi bintang tersebut di kartu ini menggunakan pena atau apapun yang berwarna hitam, lalu kalian wajib menggambarnya sesuai konstelasi bintang tersebut, tidak boleh asal-asalan. Setelah kalian gambar, lalu taruh kartu tersebut ke atas air dalam cawan ini."

Para murid mengangguk-angguk karena paham, beberapa dari mereka sudah mulai mencari-cari konstelasi bintang masing-masing meski belum selesai langkah-langkahnya diterangkan profesor Godiva.

"Langkahnya belum selesai dan kalian sudah mulai duluan?" ujar Nathalia pada Nicaise dan Athreus yang tampak antusias di kelas ini.

"Aku sudah tahu bagaimana cara kerja ramalan ini," kata Athreus, "lagi pula aku hendak secepatnya tahu bagaimana masa depanku, barangkali aku yang meraih peringkat pertama seperti semester sebelumnya."

"Dalam mimpimu Kieran Zalana," balas Nicaise, "jangan terlalu berangan-angan."

Athreus berdecak sebal. "Kita lihat saja nanti bagaimana hasilnya."

Helaan napas lah yang menjadi respons dari Nathalia karena tingkah kedua temannya itu, ia menatap pada Eloise. "Bagaimana denganmu?"

"Kelas ini menjijikkan," ujar Eloise.

"Ya, kau selalu benci ramalan," sahut Nathalia. Eloise memang tak suka kelas ini, meskipun begitu, ia tetap menggambar konstelasi bintangnya demi mendapatkan nilai.

"Persetan ramalan ini, mustahil ramalannya benar terjadi," gumam Eloise.

"Langkah keempat adalah Interpretasi. Jadi kartu yang sudah ada gambar konstelasi bintangnya dan kalian taruh di air, kalian harus merapalkan mantra ini; Stella Divinatio. Ulangi lagi, bersamaku, Stella Divinatio."

"Stella Divinatio." Para murid berujar serempak.

"Benar sekali," ujar profesor Godiva, "setelah mantra itu, perlahan-lahan di kartu kalian akan muncul guratan berupa tulisan dari tinta hitam yang berbeda dan membentuk tulisan yang abstrak. Nah, ini bukan sekadar tulisan abstrak, melainkan memiliki arti tersendiri. Makna dari tulisan inilah, kalian interpretasikan sehingga kalian akan tahu, ramalan mengenai diri kalian, entah ramalan tentang apa yang akan terjadi pada kalian hari ini, seminggu ke depan, atau pun bulan depan."

Para murid paham dengan penjelasan tersebut. "Jika kalian paham, silakan lakukan langkah-langkahnya, kalau ada yang kalian bingungkan, bisa maju ke depan untuk bertanya padaku. Ayo mulai, praktikum ramalannya."

Hening kelas karena para murid mulai mencoba ramalan tersebut, mengamati bintang, digambar ke kartu, lalu melakukan interpretasi. Sayangnya, ada yang tampak tak senang dengan kelas ini. "Lihatlah betapa ribetnya metode ini," ujar Eloise.

"Tentu saja, lagi pula, ini teknik ramalan untuk orang-orang umum, kau pikir profesor adalah keturunan Drazhan Veles yang bisa meramal hanya dengan sekali tatap, huh?" sahut Athreus.

"Seharusnya seperti itu," balas Eloise, "jika menghadapi marabahaya, kita akan duluan mati, sebelum langkah-langkah ramalannya selesai."

Eloise Clemence, lekas menaruh kartunya di cawan tersebut, lalu muncul tulisan abstrak yang tak bisa ia pahami di kartunya. "Sudah kuduga, kelas ini konyol dan pembodohan."

Lekas ia bangkit dari bangkunya, seraya melangkah meninggalkan kelas padahal jam pelajaran belum usai. Beberapa murid menatap kepergian Eloise, begitu juga profesor Godiva yang menatap sedih. Lalu tersenyum lagi. "Ayo anak-anak, jika kalian sudah usai, bisa meninggalkan kelas lebih dulu. Silakan biarkan alat-alat dan kartunya di meja masing-masing, nanti Orly-ku yang akan membersihkannya."

"Siap Profesor!" kata para murid serempak.

"Eloise itu," ujar Nicaise, "kenapa dia benci sekali pada ramalan? Bahkan sejak dahulu." Ia menatap pada kartunya.

Nathalia menurunkan bahunya. "Entahlah, lagi pula siapa yang tak benci pada ramalan, terutama jika isinya malah keburukan bukan kebahagiaan."

Sesaat Athreus menatap pula pada kartunya, sungguh aneh guratan tulisan abstrak di atas kartunya itu. Ia sampai tak bisa menginterpretasikan makna dari ramalannya. "Kurasa Eloise benar, kelas ini konyol."

Lima belas menit telah berlalu semenjak para murid meninggalkan kelas tersebut yang kini kosong melompong. Hanya ada profesor Godiva dan dua Orly-nya yang sedang membantu merapikan peralatan-peralatan ramalan. Serta menaruh kartu-kartu yang digunakan para murid tadi di atas meja untuk profesor Godiva interpretasi sebelum ia bakar.

Tatapan mata profesor Godiva terfokus pada beberapa kartu yang guratan tulisannya sangat abstrak dan kacau. "Keempat kartu ini adalah milik ...."

"Ketiga Majestic Families dan Nona Clodovea, Master," ujar Orly tersebut, "apakah ini hal buruk?"

Hening merebak sesaat ketika profesor Godiva kembali menerawang kartu tersebut, terutama milik ketiga Majestic Families. "Oh Jagad Dewa. Mereka sepertinya akan menghadapi marabahaya tidak lama lagi. Namun, kuharap ini hanyalah kesalahan terutama konstelasi bintang yang mereka teliti adalah tiruan, bukan benar-benar aslinya."

"Namun, bagaimana jika ramalannya benar?" ujar Orly kedua.

Benar pula perkataan Orly tersebut. Jika ramalannya terbukti benar akan terjadi dalam beberapa hari atau bulan. Bukankah para Majestic Families itu akan dalam bahaya? Tentu saja mereka harus mempersiapkan diri atau berjuang demi keselamatan diri masing-masing. Namun, barangkali ada takdir tak terduga yang terjadi di masa depan nanti. Hanya saja, tidak dapat dipastikan melalui jalur apa takdir tak terduga itu akan datang.

"Kalau benar akan terjadi. Maka---"

"Permisi." Suara seorang gadis terdengar, menginterupsi profesor Godiva. Perlahan melangkah masuk seraya menaruh kotak kecil di atas meja di dekat profesor Godiva. "Salam Profesor. Ini ada titipan dari profesor Solana, aku diminta beliau menyerahkannya pada Anda."

Ah, sepertinya takdir tak terduga itu barangkali datang melalui seseorang secara tak sengaja.

"Salam, Yang Mulia De Lune, dan terima kasih telah mengantarkan titipan ini," ujar profesor Godiva melakukan curtsy singkat disusul kedua Orly-nya.

"Ya, salam untuk Anda juga." Ia membalas salam penghormatan itu. "Aku pamit pergi."

"Tentu saja, sekali lagi terima kasih banyak," kata Godiva.

Sebelum Aalisha pergi, sejenak ia memperhatikan kartu-kartu di atas meja tersebut, lalu tersenyum tipis, kemudian berbalik dan melangkah keluar untuk segera ke kelas selanjutnya.

Berada di koridor, gadis itu mengangkat tangan sambil menatap telapaknya. "Kelas ramalan. Aku sungguh tak sabar di tahun kedua nanti untuk mengikuti kelas ramalan." Ia berujar dengan penuh antusiasme. "Aku ingin tahu secara langsung. Apakah takdir dan ramalan akan berjalan sesuai harapanku atau tidak."

Jagad Dewa, apakah ke depannya akan ada malapetaka yang sangat besar serta menyeret banyak orang terlibat? Sungguh patut dinantikan.

****

Desas-desus yang dibawa para Orly mulai tersebar ke penjuru akademi Eidothea, terutama di kalangan para murid. Perbincangan yang para Orly bawa itu mengenai profesor Eugenius yang pergi ke Kekaisaran Ekreadel selama beberapa hari karena masalah si Wyvern yakni Aramis yang mengamuk dan melukai banyak murid.

"Para Orly berkata jika profesor Eugenius akan memberikan kesaksiannya jika Aramis mengamuk bukan karena kesalahan Eidothea, tetapi masih diteliti penyebabnya."

"Sempat terjadi perbedaan pendapat antara dewan Istana yang menganggap jika Eidothea sengaja membuat Aramis mengamuk agar menyalahkan pihak Kekaisaran."

"Huh?!" Murid lain tercengang. "Untuk apa Eidothea melakukan hal itu yang membuat murid-muridnya terluka dan reputasi jelek Eidothea dibicarakan kalangan bangsawan."

"Maka dari itu, profesor Eugenius membantah jika Eidothea yang bersalah."

"Sialan para dewan Istana itu! Padahal salah mereka karena memberi Eidothea, seekor Wyvern yang liar, tak jinak, dan selalu mengamuk tanpa sebab."

"Kecilkan suaramu itu," ujar murid lain. "Kita belum tahu penyebab utama Aramis mengamuk, mungkin ada seseorang dibalik semua ini."

"Atau lebih parahnya." Suara mereka semakin pelan. "Kekaisaran lah dalangnya. Mereka sengaja mengirim Aramis kemari, lalu mungkin ada seseorang yang diperintahkan Kekaisaran langsung untuk membuat Aramis mengamuk."

"Mengapa bisa kau buat teori konspirasi itu?"

"Ya, mengapa pula Kekaisaran Ekreadel hendak menyakiti murid-murid Eidothea?"

"Apakah kau tidak tahu? Jika---"

"Apa yang sedang kalian gosipkan?" Sukses para murid yang bergosip itu terkejut bukan main ketika dari atas pohon muncul Easton Cressida dengan kekehan kecilnya.

"Sudah kuduga, semakin kecil suara kalian, semakin panas gosipnya!" timpal Noah, melompat turun, langsung merangkul salah satu murid dari Angkatan tahun pertama tersebut.

"Biarkan kami ikut menimbrung karena kami sangat bosan kini," ujar Easton yang secara tiba-tiba sudah duduk di salah satu bangku panjang di taman tersebut.

"Lanjutkan gosip kalian." Sungguh tak disangka jika Damien Nerezza juga ada di sini, ia duduk di samping Easton, sementara Evanora duduk di dekat salah satu murid.

"Ayo kawan, aku juga ingin dengar, tenang saja, kami takkan membeberkan gosip ini karena hampir semua orang membicarakan topik yang sama," kata Evanora seraya terkikik.

"Baiklah ...." Adik tingkat tersebut berusaha untuk tak takut. "Teman kami bilang tadi jika Ekreadel sepertinya sengaja menyakiti murid-murid Eidothea menggunakan Aramis."

"Ya, itu konspirasi yang sejak dulu sudah ada," kata Evanora.

"Mengapa bisa? Maksud kami, bukankah Eidothea adalah bagian dari Kekaisaran Ekreadel juga? Kenapa mereka melakukan hal itu?" kata murid lain.

"Tolong jawab, Tuan cabang Nerezza," kata Evanora pada Damien yang kini menghela napas.

"Eidothea di wilayah Elysian ini adalah wilayah otomat, maksudnya sama seperti Archduchy milik Majestic Families yang termasuk wilayah dengan kekuasaannya di luar andil Kekaisaran Ekreadel. Sehingga Ekreadel tak bisa ikut campur atau seenaknya di wilayah tersebut," jelas Damien, "kalian pasti sudah tahu kan jika Eidothea didirikan oleh delapan Majestic Families?"

Para murid mengangguk-angguk. "Sejak berdirinya Eidothea, dilakukan rapat jika wilayah Elysian hanya khusus Eidothea, jadi dilarang pembangunan pemukiman selain bangun yang berkaitan dengan Eidothea ini. Kemudian meskipun Eidothea dianggap sebagai bagian dari Kekaisaran Ekreadel dengan diawasi Kerajaan Khoecheniel. Keduanya tak punya andil memberikan aturan di Eidothea atau memerintah akademi ini." Damien kembali menjelaskan.

"Intinya, segala peraturan, pembangunan, serta hal apa pun yang berkaitan dengan Eidothea, tak boleh diatur-atur oleh Kekaisaran Ekreadel dan Kerajaan mana pun," timpal Evanora, "ini adalah perintah mutlak langsung dari perjanjian Majestic Families ketika mendirikan Eidothea."

"Jadi siapa yang membuat aturan Eidothea itu?" kata murid asal asrama Arevalous.

"Tentu saja, orang-orang Eidothea dimulai dari Kepala sekolah hingga para pengajar," balas Damien, "karenanya jika ada misi, Kekaisaran takkan mudah ikut campur mengatur-atur murid Eidothea atau mengotak-atik peraturannya. Mereka bisa jika memberi misi pada kita, tapi disetujui atau tidaknya misi ini adalah pihak Eidothea yang mengatur."

"Inilah yang membuat kerenggangan antara Kekaisaran dengan Eidothea," ujar Easton, "karena ada beberapa misi penting dari masyarakat yang malah meminta Eidothea untuk turun tangan, bukan pihak Kerajaan atau Kekaisaran."

"Bahkan, ada murid Eidothea yang pernah mengungkapkan tindak korupsi di sebuah Kerajaan di bawah Kekaisaran Ekreadel, ini membuat nama Ekreadel tercoreng karena tak bisa menyelesaikan masalah korupsi," ujar Noah.

"Jadi karena ini, Kekaisaran terkadang suka mencurigai Eidothea?"

"Benar," kata Damien, "bisa kukatakan jika hubungan kita dengan Kekaisaran semakin renggang karena Kekaisaran terkadang menaruh curiga entah Eidothea dianggap sarang penjahat, pembuat onar, hingga murid-murid kita suka ikut campur. Padahal Kekaisaran itu saja yang tak bisa menyelesaikan suatu kasus, sampai orang-orang meminta bantuan pada kita."

"Bukankah Eidothea ini akademi terbaik ya?"

"Ini juga yang dipermasalahkan," kata Evanora, "saking banyaknya murid berbakat di sini. Ekreadel takut jika suatu hari kita akan membangkang bahkan berani melawan Kekaisaran itu bahkan bekerjasama dengan Majestic Families untuk menjatuhkan Kekaisaran."

"Tunggu, apa maksudnya?"

"Sejak lama, sering ada rumor jika Majestic Families hendak menjatuhkan Kekaisaran Ekreadel sehingga mereka bisa mendirikan Kekaisaran masing-masing," balas Easton.

"Pemikirannya picik nan bodoh," sahut Damien, "jika Majestic Families hendak meruntuhkan Ekreadel, maka sudah sejak lama mereka lakukan itu. Ekreadel saja yang terlalu takut pada Majestic Families."

"Ah jadi ini alasannya kenapa ada tiga faksi? Faksi Kekaisaran, faksi bangsawan, dan terakhir faksi Majestic Families."

"Ya itu bisa jadi alasannya," ujar Damien.

"Jadi, Aramis mengamuk ... bisa saja karena sudah rencana dari pihak Ekreadel untuk menyudutkan Eidothea seolah-olah salah kita?"

Keempat kakak tingkat mereka diam sejenak, teringat mengenai Aramis yang dipenggal kedua sayapnya. "Ya, barangkali atas inilah profesor Eugenius ke Ekreadel untuk memberikan pernyataan serta pembelaan kalau Eidothea tak bersalah karena sempat ada rumor tersebar jika Eidothea hendak menjatuhkan martabat Ekreadel karena Wyvern pemberian Ekreadel sengaja dibuat mengamuk dan menyakiti murid-murid agar masyarakat menyalahkan Ekreadel."

Hening.

Mereka bersyukur, tidak ada Yang Mulia De Lune di sini. Entah betapa canggungnya mereka karena membicarakan Aramis yang sangat disayangi Aalisha.

"Aku baru tahu jika Eidothea seburuk itu di mata Ekreadel."

"Tidak buruk, Ekreadel hanya tak mau kekuasaannya digulingkan oleh orang-orang yang mendukung Majestic Families," kata Damien.

Mereka lalu terfokus pada Anila Andromeda yang berjalan di koridor, lalu terlihat Aalisha, serta disusul kawannya yang lain. Mereka hendak menuju ke suatu kelas. Setelah mereka menjauh, salah satu murid berujar, "jika dunia tahu bahwa Eidothea menyembunyikan putri De Lune ...."

Para murid itu diam sejenak, tetapi paham maksud kalimat tersebut. "Maka dunia bisa membenci Eidothea. Terutama Kekaisaran Ekreadel dan Majestic Families lain yang sangat benci hal ini," ujar Evanora.

Mereka yang mendengarkan, mengangguk setuju.

****

Malam perlahan bergulir hingga ke pukul sebelas artinya para murid sudah tak boleh berkeliaran di luar asrama dan harus sesegera mungkin beristirahat. Para Orly yang berjaga tampak keluar, membawa lentera atau lilin dan mulai berkeliling di sekitar kastil Eidothea dan beberapa bangunan tertentu bahkan jalan-jalan setapak. Hal ini menandakan jika seorang murid tertangkap basah menyelinap keluar asrama di atas jam malam, maka mereka akan mendapatkan teguran serta hukuman.

Meskipun begitu, tampaknya ada beberapa murid pembuat onar yang kini tengah bersembunyi di semak-semak, memantau keadaan, sebelum berlari menuju gerbang Utara kastil Eidothea.

"Jagad Dewa, ini gelap sekali," bisik Mylo Cressida, "tidak bisakah kita menggunakan sedikit pencahayaan?"

Pukulan kecil di paha Mylo, membuat lelaki itu meringis. "Diamlah, apakah kau tak paham? Jika kita menggunakan penerangan, kita bisa ketahuan." Anila berujar sepelan mungkin, hampir seperti bisikan semut.

Mylo mengusap pahanya yang perih. "Kau benar juga ... sialan, kini aku dikerubungi nyamuk."

Anila menghela napas. "Diamlah Mylo, kau pikir hanya kau saja yang digigit nyamuk?"

"Lagi pula kenapa kita harus bersembunyi di semak-semak belukar yang jadi sarang nyamuk ini?" bisik Mylo lagi seraya menatap Aalisha. "Dan bagaimana bisa kau tidak merasakan gatal padahal aku sejak tadi dikerubungi nyamuk."

"Aku memerintahkan para nyamuk untuk tak menggigitku," balas Aalisha dengan enteng.

"Setidaknya usir juga nyamuk dari kami berdua," ujar Mylo jadi kesal.

"Itu nasib kalian, tanggung saja sendiri." Aalisha sungguh tak peduli. "Ayo, cepat menyelinap." Lekas ia berjalan setengah membungkuk dan agak cepat, mereka menuju ke gerbang Utara kastil akademi Eidothea.

Setelah memepetkan tubuh ke dinding, Aalisha memanggil binatang cicak dan melakukan komunikasi sesaat, lalu beberapa serangga datang pula seperti memberikan bantuan pada Aalisha.

"Bagaimana caranya kita pergi ke perpustakaan?" ujar Mylo, "terlalu banyak Orly yang berjaga."

"Apa yang dikatakan mereka?" ujar Anila menatap beberapa kunang-kunang yang tengah berbicara pada Aalisha.

"Para binatang sudah membantu mencarikan jalan," ujar Aalisha, "kita hanya harus berhati-hati agar tidak ketahuan. Jadi jangan bertindak bodoh atau kupenggal kepalamu, Mylo."

"Kenapa hanya aku?"

"Karena kau ceroboh," balas Anila.

"Baiklah, kali ini aku akan seratus kali lebih fokus," ucap Mylo.

"Sekarang fokus kalian berdua."

Maka dengan perintah Aalisha dan bantuan para serangga serta binatang seperti cicak maupun beberapa burung. Mereka dengan cukup lincah melewati penjagaan para Orly, meskipun tetap harus berhati-hati. Tampak mereka bersembunyi di balik tiang, lalu membuat pengecoh dengan bantuan burung-burung yang tiba-tiba berkicau keras sehingga para Orly mendatangi burung-burung itu.

Mereka bahkan menggunakan mantra menyelimuti diri dengan kotak kayu, bersembunyi di sana sampai Orly penjaga melewati mereka. Namun, yang paling berperan penting adalah bantuan para binatang dan serangga karena mereka beberapa kali menjadi pengecoh ketika ketiga murid tersebut hampir tertangkap.

Butuh 15 menit lebih hingga mereka sampai di perpustakaan akademi Eidothea tanpa ketahuan sedikit pun oleh para Orly. "Terima kasih," ujar Aalisha pada kunang-kunang yang hinggap di jemarinya.

"Ya, makasih tuan kunang-kunang," kata Mylo.

"Kami kemungkinan masih memerlukan bantuan kalian, tapi untuk saat ini, kalian benar-benar membantu kami, terima kasih banyak," kata Anila lalu kunang-kunang tersebut mengedipkan cahaya kecil seraya beranjak pergi.

"Ayo masuk," ujar Aalisha.

Perlahan-lahan mereka membuka pintu perpustakaan tersebut, suara ceklik bersamaan deritan kayu tua terdengar. Sukses membuat mereka bertiga sempat serangan jantung karena takut para Orly di dalam akan sadar dan menangkap mereka. "Melangkah hati-hati dan jangan ceroboh."

"Aku tahu itu," bisik Mylo.

"Jangan berisik." Anila mencubit kecil bahu Mylo. "Pakai bahasa isyarat saja."

"Aku tak bisa bahasa isyarat," sahut Mylo.

"Gunakan bahasa bibir," kata Anila.

"Kupukul kalian berdua kalau masih berisik," ancam Aalisha yang sukses membuat keduanya diam membisu.

Beruntunglah mereka masih anak sekolah berumur 12 tahun yang tidak terlalu tinggi dan ketika jalan berjongkok sambil melewati rak-rak buku, meja serta kursi bahkan vas bunga besar, mereka tidak ketahuan para Orly.

"Tidak seperti biasa, Madame Bianca tidak berjaga di sini," bisik Mylo.

"Kurasa dia ada keperluan lain," kata Anila, "di mana artefaknya berada?"

"Buku di rak itu, aku sangat ingat tempatnya." Butuh beberapa menit agar mereka sampai di rak buku yang Aalisha maksudkan. Ketika berada di sana, lekas Aalisha memerintahkan Anila dan Mylo untuk berjaga, sedangkan Aalisha akan mengambil bukunya.

"Memangnya kau sampai mengambil bukunya?" kata Mylo.

"Demi Dewa, keluar dari sini kupenggal kau." Aalisha mulai kesal.

"Maaf." Namun, Mylo terkekeh.

Kini manik mata Aalisha mencari-cari keberadaan buku yang salah satu halaman tengahnya berwarna emas. "Sialan," kata Aalisha.

"Kenapa? Kau temukan bukunya?" ujar Anila.

"Bukunya hilang," sahut Aalisha.

"Apa?!" ujar Mylo dan Anila bersamaan.

"Tutup mulut kalian, kita akan ketahuan."

"Bagaimana bisa hilang?" ujar Mylo.

"Mana aku tahu, kau pikir aku cenayang?" balas Aalisha, "kemungkinan ada yang mengambil bukunya duluan atau ...."

"Bukunya dipindahkan," sambung Anila, "ya pasti itu karena setahuku, ada pengaturan ulang penempatan buku. Bagi buku-buku yang sudah usang dan rapuh, dipindahkan ke perpustakaan satunya, kemungkinan beberapa hendak didaur ulang."

"Maksudnya perpustakaan yang dulu kita masuki untuk mencari informasi Zephyr?" ujar Mylo dan mendapatkan anggukan dari Anila. "Oh bukankah mudah saja? Dulu kita berhasil menyelinap masuk dengan mudah."

Lekas Mylo dan Anila menatap pada Aalisha. "Ya kuharap semudah dulu."

Aalisha pun kembali menggunakan kemampuan mistisnya untuk memerintahkan para binatang, mencarikan jalan mereka yang aman menuju perpustakaan di mana buku incaran mereka berada. Sesampainya di sana, awalnya mereka pikir sama seperti dulu jika hanya ada satu Orly yang berjaga. Namun, skenario para Dewa, benar-benar sulit ditebak.

"Lihat, tidak ada yang berjaga, sepertinya lima kali lipat lebih mudah," kata Mylo.

"Ini aneh dan mencurigakan, tak biasanya ada tempat penting di Eidothea yang tidak dijaga pada malam hari," kata Anila.

"Aku punya firasat buruk," ujar Aalisha.

"Oh ayolah kawan, barangkali kita sedang dibantu Dewi Genevieve," kata Mylo, "hey, ada air jatuh, apakah atapnya bocor?"

"Cuacanya tidak hujan, bagaimana bisa kau bilang bocor ...." Namun, Anila juga merasakan jika ada tetesan air jatuh ke atas kepalanya.

"Ada seseorang selain kita di sini." Baru Aalisha menyelesaikan perkataannya, tiba-tiba muncul pentagram sihir yang seketika air bah dingin turun deras. Lekas Aalisha melompat, tetapi terlambat bagi Anila dan Mylo yang kini tubuh mereka basah kuyup.

"Sialan, keluar kau," teriak Mylo.

"KEJUTAN!!!!" teriak seorang Orly yang wajahnya sangat jelek dan menyebalkan. "Oompa-Loompa! Oompa-Loompa! Oompa-Loompa! Oompa-ommpa loompa-loompa! Kena kalian berdua! Hahaha, lihatlah para tikus penyusup yang kini basah kuyup!" Suara tawa Galee Ginan terdengar. Orly itu mengenakan pakaian warna-warni dengan sepatu besar dengan ujung runcing.

"Sialan kau, kemari." Anila sudah mencapai batas kekesalannya. Ia hendak menggunakan mantra dan menyerang Galee Ginan yang masih tersenyum lebar dengan gigi emas mengkilap.

"Galee takut, takut!" Sungguh betapa sengajanya Orly itu melakukan akting ketakutan pada Anila. "Karena Galee Ginan takut maka Galee harus meminta bantuan!" Ia memunculkan, semacam benda berupa terompet yang sekali tiup akan menghasilkan suara keras membahana.

"Gales Ginan, hentikan," ujar Aalisha.

"Kalau Galee tidak mau, bagaimana?" ujar Galee yang mulutnya beberapa inci saja dari ujung terompet.

"Bagaimana jika kita membuat negosiasi saja," kata Aalisha, "apakah ada sesuatu yang kau inginkan akan kuberikan, tapi syaratnya, jangan kau bunyikan terompet itu."

"Benarkah? Yang Mulia De Lune hendak memberi Galee hadiah?!" kata Galee Ginan dengan mata berbinar.

"Ya, jadi katakan apa yang kau inginkan," ujar Aalisha, ia sangat berharap jika rencana ini berhasil.

"Kalau begitu, Galee ingin ... 5,000,000 D'Orques, 30,000 koin emas, dan 10,000 koin perak!" ujar Gales Ginan yang manik matanya berbinar karena gila uang. Perlu diketahui jika D'Orques adalah mata uang resmi yang digunakan di seluruh Athinelon, selain koin emas, perak, dan bronze.

"Apakah kau gila," ujar Mylo, "kau mau memeras seorang De Lune?!" Tidak ia sangka jika Orly buruk rupa ini malah meminta uang dengan segitu banyaknya?! Jumlah yang Galee Ginan minta itu setara membeli sebuah mansion mahal!

"Hahaha, bukankah karena dia De Lune, hartanya takkan habis," ujar Galee Ginan, "nah ayolah, Yang Mulia, beri yang kumau atau kutiup sekencang mungkin terompet ini!"

"Orly licik ini ...." Anila sudah sangat geram.

"Baiklah aku setuju," kata Aalisha, memanggil Invinirium-nya, mengeluarkan cek pengeluaran keuangan dalam bentuk kertas, kemudian ia tandatangani cek tersebut dan ia serahkan pada Galee Ginan. "Kau pergi ke bank, uangmu akan cair dengan menyerahkan kertas itu."

"Hahahha, Galee kaya! Kaya! Kaya!!!" Ia sangat kegirangan dan mendekap erat cek kertas tersebut. "Namun, maaf Galee, harus tetap menjalankan perintah!"

"Apa?!!!"

"TUUUUUUUUUUUUTTTTTTTTT!!!" Suara terompet terdengar sangat kencang ketika Galee Ginan tetap meniup terompetnya yang sukses membuat para Orly lain mulai berdatangan. "Pelanggar aturan tetaplah harus dihukum, meskipun itu Anda, Yang Mulia. Hahahaha."

"Keparat kau Galee Ginan." Aalisha berujar dengan geram kemudian bersama dengan Anila dan Mylo, lekas mereka kabur secepat mungkin dari area kastil akademi. Meski beberapa kali hampir tertangkap, mereka berhasil selamat dan kembali ke asrama Arevalous.

"Oh sial, sialan," kata Mylo, napasnya memburu. "Dia berbohong pada kita padahal Aalisha sudah memberinya uang. Benar-benar Orly bajingan."

"Aku kesal! Kenapa harus bertemu Galee itu," kata Anila, terduduk di karpet tebal. "Kita gagal karena dia."

"Lebih parahnya, Aalisha kehilangan ribuan D'Orques!" ucap Mylo.

"Apakah kau tidak apa-apa?" kata Anila pada Aalisha yang kini duduk di sofa dan menatap pada Cyubes-nya.

"Mari kita lanjutkan esok saja dan pikirkan bagaimana melewati Orly keparat itu di malam selanjutnya. Sekarang aku lelah dan mau istirahat."

"Tapi bagaimana dengan uangmu?" ujar Mylo.

Tampak Aalisha tersenyum licik. "Aku sudah menduganya. Orly itu pikir, dia bisa membodohi, De Lune? Sungguh naif dan dungu." Lekas ia melenggang pergi menuju kamarnya di lantai lima.

Bersamaan kalimat Aalisha tadi terakhir terucap. Maka di sisi lain, ketika Galee Ginan tengah menatap cek kertas dengan sangat bahagia. Ia mencium bau gosong. "Sialan! Cek uangku terbakar! Tidak, tidak, tidak! De Lune itu membohongiku! DE LUNE MEMBOHONGI GALEE GINAN." Ia tersungkur ke tanah, memukul-kul tanah, berguling-guling seperti anak kecil, dan merengek hingga air mata dan ingus membasahi wajahnya. "Lihat saja! Galee Ginan pasti akan menangkap mereka jika mereka berbuat pelanggaran lagi! LIHAT SAJA DE LUNE! LIHAAAAATTTT SAJAAAA KAUU DE LUNEEEE!"

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

|| Afterword #21

Ternyata memang mudah bagi Majestic Families untuk turut campur salam masalah di muka dunia Athinelon ini, tetapi terkadang rasa malas mereka lebih mendominasi^^ Betapa sulitnya Aalisha dan kawan-kawan menyelidiki soal Iapthae Portae atau gerbang teleportasi, tetapi Nicaise dan lainnya mudah sekali menemukan informasi hanya karena bantuan beberapa Orly ... kira-kira apa yang akan terjadi ke depannya ya?

Lalu sungguh tak disangka jika Hippi dan Squishy berteman deng Athy? Ada gerangan apa mereka jadi dekat? Dan teruntuk Hippibia, gunakan sedikit otakmu dan jangan asal menggedor jendeka kamar orang lain!!

Cukup banyak gosip sering beredar di Eidothea serta terungkap pula konspirasi bahwa Ekreadel membenci Eidothea^^

Lalu kepada Galee Ginan, siapa yang rindu dengan Orly kesayangan kita semua ini!!!

Prins Llumière

Minggu, 06 Oktober 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top