Chapter 31
|| Before I take my shotgun dan kill you all, vote dan komen serta cari posisi ternyaman karena chapter ini totalnya 13.883 kata^^
|| Challenge: Setiap yang baca chapter ini, beri lima atau lebih komentar agar gue tahu reaksi kalian akan chapter ini yang penuh pertarungan Aalisha dan drama panggungnya.
Suara gemuruh serta kilatan cahaya berbagai macam warna dari sebuah pentagram sihir tampak jelas di lapangan sebelah Timur dari Kastil Utama Eidothea ketika praktikum mata pelajaran Sihir dan Mantra di angkatan tahun pertama sedang berlangsung. Para murid bersorak-sorai di posisi duduk maupun berdiri ketika dua murid maju ke tengah lapangan atau arena kecil yang dibuat oleh Master Arthur. Hari ini, praktikum berupa pertarungan antara murid sekaligus mengambil nilai tambahan semisal ada kekurangan poin di pengambilan nilai atau ulangan harian sebelumnya.
Tampak master Arthur yang mengenakan pakaian bangsawan dengan kemeja putih berlengan panjang dengan sedikit menggelembung di ujung lengannya, lalu dibalut semacam vest dengan warna biru tua dengan ada ukiran-ukiran emas di dadanya serta kancing emas, kemudian ia mengenakan celana kain putih dan sepatu hitam mencapai lutut. Ada pula aksesoris pita biru dengan permata biru tua yang cantik di tengah-tengah pita. Lalu untuk menujukkan kesan bangsawan tinggi, ia kenakan pula jubah dengan ukiran sulur-sulur emas, lalu ada semacam rumbai-rumbai di bahu, jubah luarnya berwarna biru tua, sementara dalamnya warna biru muda kemudian jubah tersebut hanya menutupi bahu kanannya hingga ke bawah, bahu kirinya tidak. Sentuhan akhir, ia membiarkan rambutnya agak berantakan dengan poni jatuh di sebelah kiri sehingga dahinya tak tertutupi poni.
"Apakah hanya segini kemampuan kalian?" ujar master Arthur menatap dua murid, berasal dari asrama Faelyn dan asrama Drystan. Mereka tampak terluka, meskipun bertarung dengan tenaga penuh, tetapi tidak mencapai standar Arthur. "Tidak ada yang memenuhi standarku! Kalian tidak satu pun melakukan pelafalan mantra yang baik bahkan ada yang gagal menggunakan mantranya!"
Kini Arthur terlihat marah, sudah berbulan-bulan ia mengajarkan teknik sihir dasar dan para muridnya masih saja tidak becus bahkan pelafalan mantranya terbata-bata dan perlu waktu untuk menggunakan sihir mereka. "Jika terus seperti ini, adanya kalian mati jika bertemu dengan musuh karena kalian tidak kunjung berhasil melafalkan mantra atau mempertahankan diri dari serangan sihir orang lain!"
Raut wajah ketakutan tercetak bak ukiran pematung yang gemetaran karena asal-asalan menggunakan alat pahat hingga hasilnya buruk rupa. Mereka tak satu pun berani menatap master Arthur; tak berani mendongak karena Arthur pasti sangat kecewa dan marah terutama pada para murid yang sudah maju praktikum mantra dan sihir, tetapi nilai yang mereka dapatkan tidak memenuhi standar kelulusan minimal. Hanya dapat dihitung jari saja para murid yang lulus di antara hampir 300 murid di lapangan ini. Ya, satu angkatan tahun pertama dikumpulkan di lapangan pada hari ini.
Arthur menatap sinis para muridnya. "Yang hanya ada di dalam kepala kalian adalah kalian lebih unggul dibandingkan teman atau murid lain, tidak peduli apakah teknik dasar mantra dan sihir sudah benar atau malah salah, kalian hanya ingin menyombongkan diri jika kalian mengetahui suatu mantra kemudian dapat menggunakannya untuk menyerang orang lain padahal dasar mantranya saja kalian tidak sempurna!"
Semakin saja para murid takut karena apa yang dikatakan Arthur adalah benar, mereka lebih ingin mengetahui mantra-mantra yang sulit kemudian menggunakannya sebagai ajang menyombongkan diri jika lebih unggul dari yang lain, tetapi mereka tidak mempelajari atau menyempurnakan pondasi dasar sehingga mantra tersebut sehingga menjadi tak sempurna saat digunakan bahkan bisa berakibat fatal pada diri sendiri maupun kawan. "Bayangkan saja jika kalian menggunakan salah satu mantra penyembuhan dengan asal-asalan tanpa tahu dasarnya. Yang ada kalian malah membunuh kawan atau diri sendiri, bukan menyembuhkan!"
Betapa seramnya ketika suara Arthur menggema terdengar pada seluruh murid di lapangan tersebut. Namun, pelafalan satu per satu katanya tetap terdengar jelas. Jika Arthur menjadi pemimpin pasukan perang, sudah dipastikan para prajurit akan tunduk padanya. "Kalian menggunakan suatu mantra untuk menyerang, jika mantra tersebut tak sempurna pelafalan atau dasarnya, kalian hanya akan punya dua kemungkinan, pertama kalian mati karena mantra kalian sendiri atau kalian membuat kerusakan, tidak pada targetnya! Apakah itu yang kalian inginkan?!"
Tidak satu pun murid yang berani menjawab. Hingga Arthur kembali berteriak, "kenapa diam saja?! Cepat jawab pertanyaanku!!"
"Tidak Master!" Suara bergema ketika serempak para murid di lapangan tersebut menjawab pertanyaan Arthur bahwa mereka tak mau jadi korban atas kesalahan mereka sendiri ketika menggunakan sihir dan mantra.
Meskipun begitu, sepertinya beberapa murid tertentu tidak menjawab pertanyaan Arthur karena para murid tertentu ini tidak merasa bahwa diri mereka lemah, kebanyakan mereka berasal dari bangsawan tinggi, terutama si gadis rambut hitam dengan nama akhiran De Lune yang duduk dengan lutut ditekuk dan memasang wajah malas. Ia benar-benar bosan dan lelah atas kelas membosankan ini, terutama ia punya banyak dendam pada Arthur. Lalu kenapa pula pria itu jadi sensitif? Oh ayolah, ceramah panjang ini semakin membuat Aalisha muak pada Arthur meskipun pria itu tampak bersinar karena wajah dan pakaian mahalnya.
"Arthur ini bodoh ya, sudah tabiat manusia mau menguasai banyak sihir agar dianggap kuat," batin Aalisha yang kekesalannya bertambah karena masih saja Arthur mengoceh. "Kupenggal lehernya saja kali ya, aku mustahil masuk penjara, kan aku Majestic Families. Penggal, nggak, penggal, nggak, penggal, nggak, eh atau bakar saja? Biar sekalian akademi ini kebakaran?"
"Apa yang ada dalam kepalamu itu?" kata Anila merasa jika Aalisha tengah memikirkan skenario buruk.
"Apakah kau cenayang?" kata Aalisha melirik dengan alis terangkat.
"Dia bukan cenayang, kau saja yang terlihat seperti hendak melakukan sesuatu pada master Arthur," balas Mylo, suaranya pelan.
"Aku ingin memenggal kepalanya," ujar Aalisha spontan.
"Jagad Dewa, Aalisha." Anila seketika terkejut. "Jangan macam-macam, dia itu tetap guru kita meskipun menyebalkan."
"Dia bisa diganti," balas Aalisha, "aku bisa mencari guru baru, satu menit setelah tubuh master Arthur dimakamkan."
"Adanya kau yang dimakamkan oleh master Arthur," balas Mylo, ia paham Aalisha kuat, tetapi Arthur tidak boleh diremehkan, dia pasti sangat kuat.
"Persetan," kata Aalisha, "dia selalu saja menguji kesabaranku."
Sedetik setelah perkataan itu terucap. Arthur yang sudah selesai mengoceh pun berniat untuk memanggil nama murid lagi untuk maju ke tengah arena dan bertarung melawan murid lain sebagai bentuk pengambilan nilai praktikum ini. Sangat aneh dari gerak-gerik Arthur karena ia tak seperti sebelumnya yang membaca daftar nama murid-murid dahulu. Ia langsung mengedarkan pandangannya, menilik pada dua murid yang selanjutnya akan maju ke arena. "Silakan maju ke arena pertandingan, Ixchel Nerezza."
Akhirnya seorang cabang Majestic Families maju ke depan. Pasti Arthur muak dengan murid lain karena tak sempurna pelafalan sihir dan teknik dasarnya jadi ia memutuskan untuk memanggil Majestic Families. Hal ini pula membuat beberapa murid bernapas lega, mereka takut terpilih karena tak mau diomeli oleh Arthur dan mendapatkan tatapan sinis.
"Tunggu kalau Ixchel dipanggil terus siapa lawannya?"
Sukses para murid jadi membisu dan keringat dingin, mereka semua takut andaikata terpilih oleh Arthur, maka lawan mereka adalah keturunan cabang Majestic Families, jika salah satu dari murid yang terpilih itu melawan Ixchel sudah pasti akan kalah telak terutama kalau teknik mantra mereka tak sempurna. Mereka dipastikan mendapatkan dua rasa sakit; pertama karena dibantai Ixchel, kedua karena dimarahi Arthur. Sungguh malang nasib murid dari kalangan non-Majestic Families terlebih bukan bangsawan karena tak sanggup melawan keturunan cabang tersebut. "Bukankah seharusnya master Arthur memilih lawan sepadan untuk Ixchel Nerezza? Kasihan jika murid kalangan biasa yang melawannya."
Detik itu, mereka memang punya prasangka terutama ketika senyuman Arthur terukir dan menatap ke salah satu kerumunan murid. Meskipun sudah dapat ditebak siapa yang akan melawan Ixchel, para murid tetap terkejut ketika nama tersebut disebutkan oleh Arthur. "Aalisha De Lune, maju ke depan untuk melawan Ixchel Nerezza."
Kini seluruh perhatian tertuju pada gadis paling pendek dan kecil di antara kerumunan murid-murid tersebut, tampak Aalisha masih duduk tenang dengan kaki ditekuk. Ia sampai harus dipanggil beberapa kali oleh Anila Andromeda dan Mylo Cressida karena sejak tadi Aalisha hanya melamun. Ketika kesadarannya telah kembali sepenuhnya, ia menatap sinis pada Arthur. "Pria bajingan itu pasti sengaja hendak mempermainkanku."
"Aalisha, maju ke depan," ujar Anila, "master Arthur memilihmu."
"Kenapa kau diam saja?" kata Mylo seraya menyenggol kecil siku Aalisha.
Helaan napas terdengar. "Aku tahu." Hanya saja gadis itu tak kunjung beranjak dari sana. Membuat para murid mulai berbisik satu sama lain karena sepertinya Aalisha mulai memperlihatkan bagaimana perangai Majestic Families. Ya, kurang ajar.
"Aalisha De Lune," ujar Arthur dengan rahang mengeras dan mata menatap tajam.
"Kenapa harus aku? Ada ratusan murid di sini, pilih yang lain saja," ujar Aalisha, sesaat membuat beberapa murid merasa deja vu terkait masa lalu saat kelas master Aragon dan Aalisha mengatakan kalimat hampir sama persis.
"Aalisha," ucap Anila karena tak ia sangka jika gadis ini akan melawan.
"Aku selalu jadi korban," balas Aalisha dengan enteng.
"Kita semua korban di sini," timpal Frisca, "dan akan mati jikakau tak kunjung maju ke depan karena master Arthur sedang marah!"
Aalisha memutar bola matanya, lalu terdengar suara Arthur lagi. "Maju ke depan atau kau kuhukum dan tak mendapatkan nilai praktikum kali ini."
"Dasar pria tukang mengancam," kata Aalisha perlahan meluruskan kakinya yang sebelumnya ditekuk, kemudian mengencangkan ikatan tali sepatunya. Ia berdiri sebelum teman-temannya semakin frustrasi akibat Aalisha melawan Arthur.
"Tolong hati-hati," kata Anila, langkah Aalisha terhenti mendengar suara gadis itu. "Aku tahu kaukuat, tapi tolong jangan sampai terluka."
"Oh ayolah Anila," tukas Gilbert, "meski Aalisha dan Ixchel kuat, Aalisha jauh lebih kuat berkali-kali lipat, ia akan baik-baik saja."
"Aku tahu, tetap saja kau harus berhati-hati." Anila berujar dengan cepat karena Aalisha kembali melangkah.
"Ya, lagi pula ini hanya praktikum," balas Aalisha, "aku takkan serius kok."
Seragam latihan berwarna raisin purple itu tampak mewah dan cantik ketika terpapar sinar matahari. Suara gemerisik rerumputan terdengar ketika para murid bergeser agar memberikan jalan pada Aalisha yang hendak menuju arena latihan. Terlihat knee high boots hitam mengkilap bersih seiring langkah tersebut, meskipun gadis itu pendek dan kurus, tetapi karena seluruh murid dalam posisi duduk, membuat Aalisha jelas di pandangan mereka, tanpa celah sedikit pun, seolah-olah hari ini adalah panggungnya atau ia sejak dulu selalu menjadi pelakon utama dalam setiap panggung di Athinelon ini?
"Sedikit berangin," gumam Aalisha, "lebih baik sebagian kukepang."
Sekali jentikan kecil, cahaya biru mengelilingi rambut gadis itu, perlahan-lahan mengepang waterfall sebagian rambutnya agar mempermudah ia dalam pertarungan. Ia tak mau kekalahan konyol karena pandangan tertutupi rambut. Detik itu, sungguh tak satu pun yang berani berbisik, menghina, atau merendahkannya seperti dulu karena Demi Dewa yang bertahta di Athinelon; kini gadis itu adalah salah satu murid yang menjadi pemilik tahta tertinggi di Eidothea berkat darah De Lune yang mengalir dalam nadinya, masih banyak murid tak menyangka bahwa gadis yang dulunya dihina sebagai kaum proletar ternyata adalah manusia yang sangat dihormati meski identitasnya masih disembunyikan dari khalayak ramai.
"Lain kali, jangan menilai seseorang dari penampilan luarnya saja," celetuk salah satu murid, "lihatlah dia, kenyataannya dia adalah manusia terhormat bahkan melebihi Kaisar Ekreadel."
Beberapa murid memberi penghormatan dengan menganggukan atau menundukkan kepalanya ketika Aalisha melangkah melewati mereka. Ada pula yang menyapa dengan memanggil nama Yang Mulia De Lune, meski diabaikan Aalisha. Betapa gadis itu benar-benar berbeda karena kini seluruh murid menghormatinya bahkan sungkan mendongak untuk menatapnya langsung karena kehormatan yang ia miliki.
Cobalah lihat dari kejauhan, para murid yang duduk mengelilingi arena latihan, serta ada jalan lurus yang dibukakan mereka untuk Aalisha melangkah ke arena, memperlihatkan makna bahwa sejatinya mereka takkan sebanding dengan Aalisha, sejatinya gadis kecil itu dihormati banyak murid sehingga mereka hanya bisa duduk dan menundukkan pandangan sementara Aalisha melangkah kokoh dibalut keangkuhan. Takdir benar-benar menunjukkan perputaran roda kehidupan bahwa seseorang bisa berada di puncak tertinggi padahal sebelumnya dihina mati-matian.
"Salam, Master Arthur Hugo Ellard." Aalisha menatap sinis, salamnya ini bukanlah bentuk penghormatan, melainkan sindiran atas rasa kesal Aalisha karena Arthur mempermainkannya.
"Salam, Yang Mulia De Lune," balas Arthur dengan senyuman licik.
"Semoga Anda mati sesegera mungkin," ucap Aalisha, melangkah memasuki arena latihan yang diselubungi Neith sebagai pelindung agar serangan sihir tak melukai murid lain. Sementara Arthur hanya diam menatap gadis itu yang melangkah ke tengah-tengah lapangan serta berhenti tepat di depan Ixchel Nerezza.
Tampak dari sudut pandang Ixchel, lelaki itu lekas memundurkan satu kakinya, tangan kiri di belakang pinggang sementara tangan kanan diayunkan ke dada kiri, lalu badan sedikit membungkuk, ia melakukan curtsy sebagai bentuk penghormatan langsung di hadapan Majestic Families garis keturunan utama. "Salam Yang Mulia, matahari kebanggaan Athinelion, Tuan Putri Aalisha De Lune." Suara Ixchel terdengar. "Hamba Ixchel Nerezza, garis keturunan cabang Keluarga Nerezza. Dengan ini menyapa Anda tulus dari lubuk hati terdalam dan betapa terhormatnya Hamba bisa melawan Anda dalam latihan kali ini."
"Ya." Lekas Aalisha berbalik kemudian melangkah beberapa sentimeter untuk memberi jarak pertarungan antaranya dengan Ixchel.
Pengabaian Aalisha pada Ixchel sesaat membuat lelaki Nerezza itu sedih. Sementara di sisi para penonton, Anila Andromeda berujar, "Jagad Dewa, Aalisha, seharusnya kau balas salamnya. Kasihan keturunan cabang itu."
"Dia kalau suasana hatinya buruk, benar-benar diperlihatkannya tanpa berniat ia sembunyikan," timpal Kennedy.
"Tak kusangka dia akan seperti itu pada Ixchel," kata Frisca Devorez.
Gilbert menimpali, "oh ayolah, master Aragon saja dia acungkan pedang, apalagi pada murid meski itu Majestic Families!"
"Tapi kurasa tak semua suasana hati buruknya ia perlihatkan," kata Mylo seraya menatap Aalisha yang tampak bersiap untuk bertarung melawan Ixchel. "Maksudku dia paling genius menggunakan berbagai topeng, bukan?"
"Buktinya, dia berhasil membodohi satu Akademi dengan identitasnya," timpal Anila.
"Aku berpikir, jika tak ada masalah Zephyr dan Hutan Kimari, mungkin dia takkan mengungkapkan jati dirinya," timpal Kennedy.
"Ya," kata Anila, "dia mungkin masih diremehkan hingga kini, tanpa ada yang tahu jika dia adalah tonggak kestabilan Athinelion setelah dunia ketakutan akibat menghilangnya Aldrich De Lune."
"Oh ya Dewa." Gilbert menghela napas ketika pentagram jingga muncul sebagai penanda pertarungan dimulai karena Ixchel lebih dulu menyerang. "Entah bakal seheboh apa jikalau identitas Aalisha ketahuan oleh seluruh masyarakat Kekaisaran Ekreadel kemudian seluruh Athinelion."
"Kurasa dia akan terkenal hingga seluruh benua dan wilayah di muka dunia ini," ujar Frisca, "mungkin akan banyak yang hendak melihatnya langsung. Berbondong-bondong datang ke Kekaisaran dan ia akan terkenal. Pasti banyak bangsawan yang hendak dekat dengannya." Ah, dibayangkan saja sudah membuat lelah, apalagi jika benar terjadi.
"Namun, tetap kita yang menang," ujar Anila dengan senyuman bangga. "Kita yang menang karena kita temannya."
"Dan kita yang menerimanya jauh sebelum identitasnya terungkap!" sambung Mylo.
"Ya." Kennedy tampak setuju. "Di antara ribuan murid Eidothea, kita yang dipilih para Dewa untuk menjadi teman Aalisha, terutama kalian berdua." Ia menatap pada Anila dan Mylo. "Kalianlah yang membuat kita mengenal Aalisha. Kalian diberkati para Dewa untuk berdiri berdampingan dengan Keturunan De Lune."
Secercah cahaya jingga bersinar ketika Ixchel Nerezza merapalkan mantra untuk menyerang Aalisha, maka melalui pentagramnya yang jingga tersebut, cahaya lurus ibarat tombak seketika menerjang tanpa henti ke arah gadis De Lune. Namun, Aalisha tampak tak khawatir dan ia hanya merapalkan mantra singkat untuk membuat pelindung dari Neith.
"Apakah kau hanya akan bertahan?!" teriak Ixchel, benar sejak pertarungan dimulai, hanya ia yang terus menyerang karena Aalisha terus bertahan. "Kau meremehkanku, huh!"
"Sudah kuberi kau lebih dari lima menit, tapi kau tak kunjung menggores pipiku," ujar Aalisha, "artinya kau lemah bukan?"
"Sialan!" Ixchel lekas mengangkat tangannya seraya ia ayunkan, dua pentagramnya bersinar, meluncurkan serangan berupa petir yang sukses membuat rerumputan gosong menghitam. "Keparat. Dia terus menghindar."
"Masih kurang, Ixchel," kata Aalisha kembali berpijak setelah menghindari beberapa serangan petir. "Mana kekuatan keturunan cabang Nerezza? Jangan katakan jika kau pun cacat."
"Aku tidak cacat, Yang Mulia!" Serangan selanjutnya berupa Neith yang mengubah bentuknya jadi pedang tajam kemudian melesak cepat hingga tanah tergores sedalam beberapa sentimeter. Sayangnya, tak satu pun berhasil melukai Aalisha karena gadis itu menangkisnya dengan sihir yang menciptakan pelindung.
"Nerezza ini, tidak punya strategi atau ia asal menyerang saja," batin Aalisha, "padahal dulu kukira dia lumayan kuat karena keturunan cabang, ternyata tidak bahkan Damien lebih unggul."
Pertarungan terus terjadi, kini Aalisha mulai menyerang setelah 15 menit tak kunjung juga serangan Ixchel berhasil menggoresnya. Detik itu, drama paling menakjubkan telah dimulai! Aalisha merapalkan mantra, pentagramnya muncul tepat di atas kepala Ixchel, lalu air bah dingin turun dengan cepat. Namun, Ixchel lekas menghindar, tetapi di sisi lain, rapalan mantra Diffunditur Elektra terdengar. Sebagai balasan dari Aalisha, lekas listrik menjalar melalui air tadi, lalu menyengat tubuh Ixchel. Meski tak berlangsung lama karena dia balik menyerang Aalisha dengan sihir api yang hampir membakar tubuh gadis itu.
Para murid tak dapat berhenti terkagum-kagum melihat pertarungan antara keturunan utama melawan keturunan cabang, meskipun mereka semua bertaruh jika yang menang adalah Aalisha. Mereka merasa meski Ixchel terlihat unggul karena terus menyerang dan merapalkan mantra dengan sempurna, tetapi tak satu pun serangannya membuat luka yang fatal pada Aalisha. Sementara gadis itu, ia sudah beberapa kali membuat Ixchel terpojokkan.
"Kaudengar," kata Aalisha, "mereka kebanyakan bertaruh bahwa aku yang menang. Takdir sudah dituliskan."
"Aku menghormati Anda, Yang Mulia, tetapi jangan sombong karena aku juga memiliki darah Majestic Families!" Lekas Ixchel mengarahkan tangannya ke Aalisha.
"Keras kepala," kata Aalisha seraya tersenyum lebar. "Mari lihat apa yang bisa dia lakukan."
Ixchel merapalkan mantra yang cukup panjang, serangan Neith yang membentuk serigala-serigala bercahaya jingga lekas berlari dan menerjang dengan cepat seraya cakar mereka hendak mencabik-cabik Aalisha. Hanya saja, gadis itu merapalkan mantra yang memunculkan tongkat besi dan menepis setiap cakaran sang serigala, tetapi hal ini membuat Aalisha harus mundur beberapa langkah untuk terbebas dari kepungan para cahaya terbentuk dari Neith warna jingga tersebut.
"Apakah hanya segini saja kemampuanmu?" ujar Aalisha lalu tersenyum tipis ketika ia berhasil menusuk para serigala sehingga serangan mereka terhenti lalu teknik mantra tersebut lenyap hingga tak bersisa cahayanya.
"Jangan remehkan aku, Yang Mulia!" teriak Ixchel lalu muncul rune di kedua punggung tangannya. "Special Technique, Nerezza Family, Gravits Altaram Petra."
Aalisha tersentak ketika tanah yang ia pijak bergetar, tampak jelas pula dari bebatuan maupun ranting pohon di rerumputan. Udara terasa berderak, lalu tepat dari dalam tanah, keluar perlahan tiga pilar batu berbentuk persegi panjang dan setinggi 200 sentimeter, ada ukiran rune di dinding batu tersebut seolah-olah diukir asal-asalan menggunakan alat paham, serta ada beberapa batu yang terkikis dan bercak darah. Ketiga baru tersebut mengelilingi Aalisha; belakang, kanan, dan kiri, terkecuali depannya karena tak jauh dari Aalisha, berdiri Ixchel yang tersenyum sinis.
Pemandangan mengerikan karena Ixchel akan memperlihatkan kehebatan keluarga Nerezza. Meskipun begitu, Aalisha masih bisa terkekeh seraya berujar, "untuk apa bebatuan ini---"
"Care'eum!" Tepat sebelum Aalisha menyelesaikan kalimatnya, Ixchel berteriak merapalkan mantra.
Maka ketiga pilar batu, rune di dindingnya bersinar jingga, seketika sukses membuat Aalisha terenyak bukan main ketika ia sadar bahwa Ixchel melancarkan serangan yang membuat tubuh Aalisha terdorong gravitasi yang sangat besar dari tiga sisi; ia tak mampu bergerak maupun mengangkat kepalanya karena besarnya dorongan gravitasi tersebut, kedua kakinya tak mampu bertahan, sukses ia tertunduk, kedua lutut menyentuh rerumputan. "Bajingan, aku tak bisa bergerak!"
"Inilah mengapa jangan meremehkanku, Yang Mulia De Lune," ujar Ixchel tersenyum, ia bahagia karena Aalisha berhasil terperangkap dalam jebakannya, tak sia-sia sebelum Ixchel melancarkan mantra seolah-olah tanpa strategi, padahal inilah strateginya. "Meskipun aku keturunan cabang, aku tetaplah Majestic Families."
Perlahan-lahan Ixchel melangkah, gemerisik rerumputan serta ranting yang berserakan terdengar ketika ia menginjaknya. Kini cahaya jingga mengelilingi Ixchel hingga berkumpul di tangan kirinya. "Yang Mulia, meskipun Anda De Lune, kita tetaplah seumuran jadi setidaknya kekuatan kita sama besarnya. Aku tak mau diremehkan hanya karena aku berasal dari keturunan cabang."
Ixchel memanglah menghormati Aalisha dan memanggilnya dengan sebutan Yang Mulia, tetapi tampaknya Ixchel masih tak menerima jika gadis yang juga dulu ia remehkan ternyata putri De Lune yang disembunyikan. Betapa ia hendak berteriak dan mengamuk setelah tiba di kediamannya saat liburan sekolah karena rasa kesal, amarah, benci, terutama ia memiliki sumpah jika tak boleh memberitahukan identitas Aalisha pada siapa pun bahkan pada pihak keluarga cabangnya sendiri.
Rasa kesal kian bergemuruh karena beberapa bulan terakhir, keluarga Nerezza kalah dari De Lune dalam pelelangan suatu wilayah di Timur Kekaisaran Ekreadel; wilayah yang dapat dijadikan pelabuhan dan menguntungkan jika dioperasikan dengan baik.
"Hanya karena De Lune selalu dianggap dapat mengubah takdir, bukan berarti segalanya benar-benar berjalan sesuai kehendak mereka!" Ixchel membatin dengan tangan kanannya muncul sebilah pisau tajam dengan ukiran bunga lily dan rune jingga bercahaya pudar. Ia genggam sangat kuat hingga urat-urat tangannya tampak.
Ia selalu teringat jika De Lune adalah keluarga paling sedikit berkontribusi dalam kestabilan Athinelion. Keluarga lain dalam setahun atau sebulan, setidaknya beberapa kali memerintahkan keturunan mereka entah cabang atau keturunan utama dalam sebuah misi berbahaya demi menjaga dunia ini tetap utuh dan tidak dikuasai kekuatan jahat. Namun, De Lune, keturunan mereka tak pernah berkontribusi dalam hal apa pun, parahnya pernah membiarkan suatu wilayah binasa karena mereka enggan turun tangan. "Angkuh, sangat angkuh. Kepala keluarga De Lune bahkan tak pernah terlihat batang hidungnya di rapat penting delapan Kepala Keluarga Majestic Families."
"Kau tak bisa membunuhku hanya dengan sebuah belati kecil, Ixchel Nerezza," ujar Aalisha, perlahan bisa mendongak meski tubuhnya terpaku akibat tekanan gravitasi.
"Ini bukan sekadar belati, Yang Mulia De Lune yang sangat angkuh!" Detik itu, betapa banyak murid terkejut ketika Ixchel dengan tenangnya menusuk dan menggores tangannya sendiri hingga berdarah-darah. "Ini baru pertunjukkan yang sebenarnya Yang Mulia." Tatapannya menggelap. "Akan kutunjukkan jika aku pun setara dengan Anda."
Kemampuan Mistis, Keluarga Nerezza pun diaktifkan. Darah yang merembes di rerumputan kini semakin banyak, terbentuk genangan darah, tetapi berangsur-angsur mengering, lalu menguap seperti air yang dididihkan, hingga tercium bau aneh perpaduan antara dedaunan dan bau gosong, hampir menyerupai obat-obatan. "Special Technique, Nerezza Family, Medici Illusoria Sanguis Timet." Ixchel menatap pada Aalisha yang tepat tertunduk di hadapannya. "Bersiaplah kalah, Yang Mulia."
Hal yang ingin Ixchel lihat adalah tergambarnya ketakutan di wajah Aalisha, terlebih ia tengah menggunakan Kemampuan Mistisnya. Namun, bukan itu yang ia dapatkan melainkan Aalisha tersenyum bengis dan sejenak manik matanya terukir seberkas cahaya emas lalu darah merah menetes dari hidungnya. Sementara Ixchel terkejut dan diam membisu.
Apakah barusan, gadis itu tersenyum lalu tertawa?
Berada di sisi lain, para murid menjadi sangat tegang bukan main. Mereka semakin tak berkedip ketika Arthur membuat barrier ganda karena ia berkata jika akan ada pertarungan hebat, karenanya diperlukan perlindungan tambahan, mencegah para murid terluka hebat.
"Apa yang dilakukan Ixchel?" teriak Frisca sangat panik. "Apa Aalisha akan kalah?"
"Aalisha takkan kalah," timpal Gilbert, "aku percaya dia akan menang, tapi aku takut dia terluka terlebih lagi, bukankah Ixchel menggunakan kemampuan mistisnya?"
"Darah Nerezza," kata Anila tampak khawatir. "Dia menggunakan kemampuan mistis, seseorang akan terkena dampak kemampuannya tersebut jika terciprat darah, meminumnya, atau mencium bau darahnya."
"Apakah darah yang menguap itu termasuk?" ujar Mylo dan lekas Anila mengangguk. "Jagad Dewa, Aalisha dalam bahaya."
"Dia benar-benar terpojok," ujar Kennedy yang semakin membuat Anila khawatir.
Sementara itu, para murid tak menyangka jika seorang De Lune terpojokan oleh keturunan cabang Nerezza, bahkan Aalisha sama sekali tidak mampu menggerakan tubuhnya, padahal darah dari Ixchel terus menguap ke udara dan mulai berbau menyengat. Sudah dipastikan siapa saja yang mencium bau tersebut akan terkena kemampuan mistis Nerezza tersebut.
"Medici Illusoria Sanguis Timet," kata Victoria, "Ixchel selalu mengasah kemampuan itu meski hanyalah salah satu teknik paling dasar dari kemampuan mistis keluarga Nerezza." Ia menjelaskan pada teman-teman di sekitarnya, sangat bangga dan juga syok karena ia juga tak membayangkan opsi jikalau Ixchel bisa memojokkan Aalisha, terutama tak berkutik gadis De Lune itu.
"Kemampuan jenis apa itu?" tanya murid lain. "Maaf jika aku bertanya."
"Darah Nerezza dapat dimanipulasi sesuai keinginan penggunanya, tetapi ada batasan dan tergantung dari seberapa kuat seorang individu Nerezza dalam menggunakan kemampuan mistisnya." Victoria kembali menjelaskan. "Salah satunya seperti kemampuan mistis Ixchel saat ini. Dia mengubah darahnya menjadi semacam racun ilusi yang menggambarkan ketakutan atau hal-hal menyeramkan, sehingga targetnya akan melihat ketakutan maupun apa pun yang menyeramkan bagi target tersebut. Mudahnya memperlihatkan rasa takut terdalam dari targetnya berupa ilusi sehingga mengaburkan pandangan dan akal pikiran."
"Apa itu berpengaruh pada De Lune?" Murid lain berujar, gawat jika Aalisha kalah. Ia sudah bertaruh dengan temannya; pemenang, tugas sekolahnya akan dikerjakan yang kalah selama sebulan penuh.
"Kemampuan Nerezza berpengaruh pada setiap manusia biasa termasuk Majestic Families," ujar Victoria, "lagi pula, untuk apa menjadi bagian dari mereka jika darah Nerezza tak terpengaruh pada Majestic Families lain?"
"Oh sialan, tak kusangka kalau De Lune akan kalah." Ada murid berkata dengan nada mengejek. "Kupikir dia kuat."
"Mulut siapa berkata seperti itu?" Tiba-tiba dua murid asal Arevalous berujar. Mereka terlihat membawa berondong jagung warna-warni. "Kalian tetap bodoh ya, membicarakannya di belakang, coba katakan hal itu di depannya."
"Ya!" sahut saudaranya yang mengambil segenggam berondong jagung. "Kalian hanya berani menghina Aalisha di belakangnya, sungguh-sungguh pengecut."
"Kami tak menghina!" Murid tersebut membalas perkataan Easton dan Noah dengan gemetar, apalagi ia tahu kalau dua bersaudara Cressida itu satu asrama dengan Aalisha. "Maksud kami, kami hanya berteori siapa yang akan menang, ya! Kami tak berani menghina Majestic Families."
Kedua Cressida itu malah terkekeh seolah-olah mereka tahu jika para murid ini panik dan ketakutan. "Yeah, apa pun yang ada dalam kepala kalian, tetap De Lune pemenangnya."
"Kenapa seperti itu?" balas Victoria, "hanya karena dia De Lune dan keturunan utama, dia bisa mengalahkan Ixchel?"
"Benar, justru karena dia keturunan utama, sementara Ixchel cabang, seperti kau pula dari keluarga cabang," jelas Easton tampak angkuh. Ia berdoa Aalisha menang karena ia dan Noah membuat taruhan pula dengan beberapa teman mereka.
"Tak ada sejarah yang menuliskan seorang cabang keluarga mengalahkan keturunan utama," tambah Noah.
Hal ini sedikit menyenggol ego Victoria karena ia keturunan cabang dari keluarga Adratus. "Baiklah, aku akui itu. Namun, tetap saja, mereka berdua masih kurang pengalaman jadi setidaknya kekuatan mereka tidak terpaut jauh. Bukankah Aalisha, keturunan yang disembunyikan? Mustahil ia punya banyak pengalaman karena harus menyembunyikan identitasnya."
Terdengar lagi kekehan Noah. "Okay, kau cerdas juga, tapi bukan kau yang mendapatkan Zephyr dari tangan Phantomius dan menyelamatkan Eidothea."
Detik itu, mereka semua hening bahkan Victoria meski ia kepalkan kedua tangannya, menahan amarah. Lalu Easton berujar juga. "Lagi pula, kita tak tahu bagaimana kehidupannya sebelum ke Eidothea dan jangan lupakan satu hal, dia Aalisha De Lune dan takdir selalu berjalan sesuai keinginan De Lune."
"Kita lihat hasil akhirnya," ujar Victoria tidak mau kalah. Ia akan tetap pada pendiriannya bahwa Ixchel mampu menang.
"Ya, mari lihat bagaimana takdir berjalan!" ujar Easton seraya melakukan tos dengan Noah karena mereka berhasil membuat marah keturunan cabang Adrastus.
"Aku bertaruh penuh pada Ixchel," ujar Victoria
Arena pertarungan kian menyeramkan ketika bau darah sudah menyebar, Ixchel terlihat cukup kesakitan karena menahan perih pada lengannya yang terluka, tetapi ia takkan berhenti meneteskan darahnya hingga Aalisha benar-benar terkena kemampuan mistisnya berupa ilusi yang menggambarkan hal-hal menyeramkan selama Aalisha hidup. Biasanya, orang-orang yang terkena kemampuan mistis jenis ini, mereka akan melihat ketakutan terbesar mereka atau apa pun yang dipercayai mereka sebagai sesuatu yang menyeramkan; entah monster, binatang magis, iblis, bahkan manusia sendiri. Ketakutan ini hanya akan dilihatnya seorang diri saja dan mulai menggila hingga sesak napas bahkan menjerit-jerit.
"Apakah Anda mulai merasakannya, Yang Mulia De Lune?" Ixchel perlahan membalut lukanya, cukup sudah darah yang menetes karena ia hanya perlu menunggu hingga Aalisha benar-benar terkena kemampuan mistisnya.
Sihir gravitasi dari Ixchel perlahan sirna ketika tiga pilar batu kembali ke dalam tanah. Namun, tak kunjung Aalisha bergerak bahkan menggerakkan jemarinya. Gadis itu hanya tertunduk dengan kedua lutut dan kaki menyentuh tanah. Ia terdiam membisu, tetapi keringat dingin mengucur, serta tampak napasnya tak teratur hingga jantung berdegup kencang, serta seolah-olah terdengar ribuan dentuman atau gong dibunyikan dalam kepalanya.
"Apa yang kau lakukan padaku?" ujar Aalisha, kepalanya terasa sangat sakit. Ia mulai memegangi kepalanya dan menatap sinis pada Ixchel, tampak pula wajah gadis itu memucat. "Kenapa penglihatanku buram? Lalu apa monster-monster di belakangmu itu!"
"Anda terkena kemampuan mistisku dan ah kurasa monster-monster ini siap mencabik-cabik Anda," ujar Ixchel tentunya berbohong, di belakang Ixchel tak ada apa pun karena yang Aalisha lihat hanyalah ilusi dari ketakutannya saja. "Bersiaplah untuk kalah karena aku memanggil para monster ini."
Perlahan Ixchel menciptakan pedang dari Neith yang dipusatkan di tangan kanannya kemudian sedikit dipadatkan sehingga membentuk pedang tajam. Sungguh tak ia sangka jika ia bisa mengalahkan keturunan De Lune secepat ini.
Ayunan pedang Ixchel lakukan, tetapi lekas Aalisha berdiri dan melancarkan serangan sihir berupa listrik, tetapi karena penglihatan Aalisha berbeda akibat terkena kemampuan mistis Ixchel, maka serangan sihir tersebut malah meleset. "Apa kau memanggil pasukan monster?!" teriak Aalisha.
Sementara Ixchel terkekeh, betapa lucunya hal ini karena Aalisha menyerang tanpa target akibat penglihatannya berbeda. Pasti para murid juga tertawa. "Ya, mereka adalah monster, bukan hanya kau yang bisa mengendalikan monster, tetapi aku, Ixchel Nerezza juga bisa!" Ia kembali menyerang Aalisha, tetapi gadis itu berhasil menghindar, lalu tiba-tiba Aalisha menunduk dan menyerang tanpa arah tujuan seolah-olah ia dikelilingi monster-monster yang siap mencabiknya hingga menjadi daging potong.
"Bajingan, mustahil mereka monster! Karena mereka tak terkena dampak apa pun dari seranganku!" ujar Aalisha.
"Mereka monster, Anda hanya tak bisa mengalahkan mereka, jadi menyerahlah!" Ixchel kembali menyerang Aalisha, kali ini lelaki itu berhasil menggores lengan si gadis De Lune hingga berdarah.
"Aku takkan menyerah dari manusia sepertimu!" Maka Aalisha kembali menggunakan berbagai macam jenis mantra untuk menyerang para monster yang ada di sekelilingnya, tetapi nyatanya serangan tersebut menargetkan sosok yang tak ada sama sekali. Membuat para murid kebingungan dan terkejut serta tak menyangka jika Aalisha terkena kemampuan mistis Ixchel. "Sialan, mereka tidak ada habisnya."
"Sudah kubilang menyerah saja, Yang Mulia. Terlebih monster-monster ini tak ada habisnya." Senyum Ixchel terukir lebar. Ia tunda mengalahkan Aalisha saking Ixchel menikmati kebingungan gadis itu, bahkan tampak seperti seseorang yang kehilangan kewarasannya. Bahkan Aalisha berusaha menggunakan kemampuan mistisnya untuk mengendalikan para monster milik Ixchel ini, tetapi para monster tak terpengaruh kemampuan mistis Aalisha.
"Sialan! Kenapa kemampuan mistisku tak berfungsi!" ujar Aalisha merasa sangat geram.
Tawa Ixchel Nerezza terdengar puas. Ia sangat berharap pula kalau para murid juga tertawa karena pemandangan ini sangat langka. Bagaimana tidak? Ixchel berhasil membuat De Lune kewalahan. "Anda seperti seseorang yang mulai menggila, opss, maaf atas ketidaksopananku ini. Namun, sekali lagi menyerahlah Yang Mulia, Anda takkan menang."
Mendengar hal tersebut, sesaat membuat Aalisha terdiam. Lalu tersenyum tipis. Perlahan ia menegakkan tubuhnya. "Kau bilang aku gila? Terima kasih atas pujiannya karena atas perkataanmu itu membuatku sadar bahwa aku memang harus menunjukkan bagaimana kegilaan seorang De Lune. Benar bukan?"
"Apa maksud Anda?" ucap Ixchel.
"Oh Ixchel Nerezza, aku hanya ingin mengatakan bahwa meski kita memang berada di tahun pertama akademi ...." Perlahan-lahan muncul pentagram biru di rerumputan tempat keduanya berpijak. "Pengalamanmu jauh berada di bawahku. Kubuktikan detik ini juga."
Betapa terkejut seluruh murid ketika tanah bergetar terutama di dalam arena pertandingan, maka tiba-tiba akar-akar pohon besar menerjang, membelah tanah hingga retak, hingga tumbuh setinggi beberapa sentimeter. Lekas Aalisha arahkan tangannya tepat ke depan Ixchel, langsung saja, akar-akar pohon yang ujungnya tajam bercabang-cabang tersebut melesak hendak menembus tubuh Ixchel, membuat lelaki keturunan Nerezza terpaksa melompat mundur untuk menghindari serangan akar-akar pohon tajam bahkan ia mengeluarkan pedang magisnya untuk menebas akar-akar tersebut.
"Aku tak bisa mengalahkan monster-monstermu, jadi akan kubinasakan saja seluruhnya yang ada di arena ini! Hingga tak bersisa!" Aalisha tersenyum lebar bak seorang pembunuh kejam yang siap mencincang musuhnya. "Mari mulai permainannya."
Tangan diacungkan ke atas bersamaan dua jarinya; telunjuk dan jari tengah kemudian pentagram biru bermunculan dan rantai besi hitam seketika dengan cepat keluar dan menargetkan Ixchel sehingga ada dua serangan yang hendak menjeratnya. Sukses membuatnya terdesak bahkan rapalan mantra saja tak cukup untuk menyelamatkan dirinya, selain itu luka-luka mulai tercipta ketika ujung akar pohon menggores perut dan pahanya. Tidak hanya itu, rantai besi melilit kakinya seraya menariknya bersamaan akar pohon menembus paha dan engsel bahunya.
"Bajingan!!! Kenapa kau bisa memiliki kekuatan seperti ini?!" Tidak ada lagi kesopanan dalam nada bicaranya. Ixchel sangat marah, kini darah yang menetes dari tubuhnya berubah jadi racun yang berhasil melelehkan rantai besi dan akar pohon milik Aalisha. "Akan kutunjukkan jika aku bisa mengalahkanmu, dasar kau De Lune sialan!! Keluarga paling bajingan di Athinelon!"
"Jeritan yang merdu," balas Aalisha dengan tenang. "Mari lanjutkan ke tingkat berikutnya. Latreia." Darah menetes dari hidungnya.
Detik berikutnya, pentagram sihir biru muncul di langit-langit bawah barrier---pelindung arena tersebut. Lalu air bah sangat dingin turun bak air terjun di hutan liar, seketika membasahi seluruh akar pepohonan serta rantai besi yang menjerat Ixchel, tanpa rasa takut, Aalisha merapalkan mantra selanjutnya yang seketika petir menyambar bersamaan listrik menjalar di air bah hingga menciptakan rasa sakit penuh kejutan jika mengalir ke tubuh manusia. Detik itu pula jeritan rasa sakit Ixchel terdengar sampai ia tak mampu menggunakan mantra lagi.
"Belum usai." Aalisha menatap samar-samar pada sekitarnya, masih banyak musuh akibat efek kemampuan mistis Ixchel. "Belum cukup. Jadi jangan menyerah lebih dulu sebelum aku selesai bermain." Aalisha merasakan ada beberapa kupu-kupu terbang di sekitar para murid.
Sontak para murid di luar barrier berteriak ketika akar-akar pepohonan tajam semakin banyak, panjang, dan membesar serta mengerikannya berhasil menghancurkan barrier yang diciptakan Arthur, lalu menerjang sangat cepat ke arah para murid bahkan berhasil melukai beberapa dari mereka.
"Cepat pergi dari sini!" Murid asal Gwenaelle berteriak mengomando teman-temannya.
"Menjauh dari lapangan!" Murid Arevalous ikut berteriak, "Tuan Putri De Lune sedang marah! Kalian semua harus pergi jika tak mau terluka!"
Tampak salah satu murid menggunakan kekuatannya untuk memenggal akar pohon yang hampir melukai murid lain. "Segera menyingkir! Tuan Putri takkan peduli siapa yang terluka!"
Sementara itu, Anila, Mylo, dan kawan-kawannya segera mundur seraya tetap menatap Aalisha yang masih di arena pertandingan, padahal Ixchel sudah tak mampu bertarung lagi.
"Kenapa Aalisha sampai menyerang di luar barrier? Apakah dia sengaja?" kata Frisca.
"Dia sengaja meski Ixchel sudah tumbang, Aalisha tetap akan menyerang karena dia tak dalam suasana hati yang baik," ujar Mylo.
"Lebih tepatnya adalah kesalahan Ixchel sendiri," timpal Anila.
"Maksudmu?" ucap Gilbert.
"Apa mungkin karena kemampuan mistisnya?" sambung Kennedy.
"Ya, teknik yang Ixchel gunakan adalah ilusi rasa takut terbesar dalam diri Aalisha," ujar Anila sembari membuat pelindung untuk mereka agar tak terkena imbas serangan. "Meskipun kita tak tahu pasti apa rasa takutnya, tapi kuyakin ilusi tersebut memicu Aalisha untuk menghancurkan segala yang ada di sekitarnya."
"Mudahnya, jika dia tak bisa mengalahkan Ixchel karena terdesak akibat kemampuan mistis itu, maka Aalisha mencari cara dengan menghancurkan segalanya bahkan yang bukan targetnya ... tanpa ampun," kata Mylo.
"Inilah alasan kenapa Majestic Families dianggap sebagai manusia tak berperasaan," ujar Kennedy malah tampak sedih. "Karena mereka dididik seperti itu agar bisa terus hidup akibat nyawa mereka selalu diincar banyak musuh."
"Ya, karena itu Aalisha perlu kita sebagai teman yang tak menganggapnya monster." Senyuman Anila terukir lembut. Mungkin ia sudah gila karena tersenyum melihat seorang gadis yang kekuatannya sangat besar dan menyakiti orang lain, tetapi mengetahui sejarah panjang Majestic Families; mereka semua menderita bahkan tak pernah ada kata bahagia yang tulus dalam hidup mereka.
Sungguh miris dan menyedihkan.
Kembali dalam arena pertarungan, betapa Ixchel Nerezza sudah berderai air mata karena kedua tangan dan kakinya dililit akar pohon yang cukup tipis, menyerupai sulur-sulur, lalu rantai besi juga tampak melilit lehernya. Tampak jika dengan perintah singkat dari Aalisha, maka sudah dipastikan tulang-tulang dalam tubuh Ixchel akan patah atau malah ditarik paksa hingga putus dari tubuhnya.
"Kini kau jadi sadar betapa besarnya perbedaan jarak kekuatan kita, benar bukan?" Aalisha berujar dengan tenang seraya melangkah dan menatap naas pada Ixchel.
"Aku ...." Ixchel tak mampu melanjutkan perkataannya. Tampak jika darah yang menetes dari tubuhnya meski menguar ke udara, tetapi tak berefek apa pun karena terserap oleh dedaunan.
"Perkataanmu memang benar jika kita seumuran, oh tidak, aku lebih muda darimu dan yaps kita sama-sama masih bocah." Perlahan Aalisha mengangkat tangannya dengan dua jari terarahkan. "Meski kau juga berasal dari garis Majestic Families. Namun, ada perbedaan besar antara kita, selain karena kekuatanku ... aku jauh memiliki lebih banyak pengalaman dibandingkan kau. Lagi pula, aku adalah De Lune dan takdir telah kutuliskan!"
"Sudah cukup, Aalisha De Lune." Suara master Arthur terdengar tepat ketika dia muncul di hadapan Aalisha, menghentikan gadis itu membunuh Ixchel. "Kau sangat berlebihan dan menyebabkan kerusakan hingga keluar arena."
"Para monsternya belum pergi." Aalisha berujar, tersenyum simpul.
"Apa maksudmu?" balas Arthur dengan kebingungan.
Sekonyong-konyong, akar pepohonan tajam menerjang ke arah Arthur, membuatnya melompat agar selamat. Lalu tiba-tiba tubuh Ixchel Nerezza ditarik kuat ke belakang oleh akar pohon. "Maaf, aku takkan berhenti sebelum penglihatan monster ini akibat kemampuan mistis Nerezza itu hilang sepenuhnya."
"Kubilang sudah cukup!"
"Salah satu prinsip De Lune," ujar Aalisha, memanggil Aeternitas yang bersinar kebiruan. "De Lune takkan membiarkan satu pun musuhnya hidup. Mereka semua harus mati."
Kericuhan terjadi ketika Aalisha mengayunkan pedangnya tepat ke sembarang arah, tetapi sembarang arah ini ternyata menyerang para murid yang sebelumnya berhenti kabur, kini mereka jadi berlarian tunggang-langgang akibat efek serangan yang sukses membelah tanah hingga cekung sedalam satu meter serta melukai beberapa murid.
"De Lune ini, dia benar-benar takkan berhenti," gumam Arthur lekas menggunakan sihirnya untuk menolong Ixchel, sementara Aalisha terus menyerang dan tak mempedulikan Ixchel yang diselamatkan Arthur.
Para murid kembali menjerit dan berusaha lari sekencang mungkin ketika pentagram biru bermunculan dan pergerakan mereka menjadi lamban bahkan ada yang kakinya terjerat akar pohon. Mereka berusaha melepaskan diri satu sama lain karena tak mau terluka atau parahnya mati.
"Kenapa dia menyerang kita?" ujar seorang murid.
"Pengaruh penglihatannya," timpal murid asal Sylvester. "Dia terkena efek ilusi dari kemampuan mistis Ixchel jadi di penglihatan Aalisha De Lune, dia melihat monster yang tak ada habis-habisnya menyerangnya, padahal tak ada satu pun monster itu nyata."
"Keparat, jadi karena ini dia mengira kita monster dan menyerang kita?"
"Lebih tepatnya," ujar murid Arevalous, "karena monster di penglihatannya tak kunjung mati, jadi putri De Lune terus melancarkan serangan agar membunuh para monster, dan ia tak tahu jika serangannya itu ternyata melukai kita."
"Bajingan! Suruh Ixchel Nerezza sialan itu menghentikan tekniknya, jika tidak, kita akan mati di tangan De Lune!"
"Nerezza keparat itu, berbuat ulah saja! Kita yang jadi korbannya, terlebih dia malah kalah! Sedangkan efek kemampuan mistisnya belum selesai!" Kini para murid marah pada Ixchel. Mereka jadi korban pula sementara Ixchel berhasil diselamatkan oleh master Arthur.
Serangan membabi-buta Aalisha berhasil membuat banyak murid ketakutan bahkan seorang lelaki congkak yang selalu menghina dan merundung murid yang kastanya di bawahnya, ya siapa lagi kalau bukan si Killian Cornelius, putra Marquess Cornelius. Detik itu, ia sangat sial karena kedua kakinya terjerat akar pepohonan serta pahanya tertusuk duri tajam hingga tembus. Ia sangat ketakutan ketika melihat tuan putri De Lune melangkah ke arahnya.
"Aku bukan monster!" teriak Killian, "seranganmu menghancurkan barrier sejak tadi dan kau melukai para murid."
"Benarkah?" kata Aalisha, seraya tersenyum. Secercah harapan muncul jika Aalisha berhenti menyerang Killian. Hanya saja, sepertinya bukan karena ilusi akibat darah Nerezza yang membuat Aalisha menyerang Killian, melainkan karena gadis itu memang sengaja.
"Kenapa kau takut, Killian?" ujar Aalisha lagi, ia tanpa takut kembali melancarkan serangan pada Killian hingga dadanya berdarah, seragam sekolahnya terkoyak. "Apakah kau berpikir jika aku menyerang sembarang arah karena ilusi dari Nerezza itu?"
Muncul akar pohon, melilit pergelangan tangan Killian. Sukses membuat lelaki itu terpaku, tak bisa bergerak sedikit pun. "Kau, jadi kau berbohong?!" teriak Killian.
Sungguh tak ada yang akan melihat ketika Aalisha tertawa karena sekelilingnya dan Killian, tertutupi pepohonan serta kabut putih; hanya mereka berdua di sana. Para murid berhasil kabur. Rasa takut terukir di manik mata Killian yang seraya berujar, "kenapa kau tertawa? Sialan, berhenti tertawa!"
Senyuman Aalisha terpatri, ia tarik rambut Killian, bilah pedang tajamnya persis beberapa sentimeter dari leher lelaki itu, bahkan lehernya mulai tergores dan meneteskan darah. Perlahan Aalisha berbisik, suaranya sangat rendah dan mengerikan hingga membuat punggung merinding. "Apa kau menyukai aktingku? Bukankah pertunjukan operaku, sangat sempurna."
Mata Killian membulat lebar, degup jantungnya berdetak sangat kencang. Barusan De Lune itu berkata jika ia hanya berakting? "Oh Killian, kau dan seluruh murid sangat bodoh dan mudah tertipu." Aalisha kembali berujar. Betapa ia sangat mengerikan karena tampak seperti pemeran penjahat. "Semua yang kau dan seluruh murid lihat tadi hanyalah bagian dari aktingku, bahkan Ixchel pun telah tertipu."
"Apa maksudmu?"
"Aku hanya berakting, dimulai dari aku sengaja tak menyerang Ixchel, aku terpojokkan olehnya, hingga aku jatuh ke perangkap gravitasi batu milik Ixchel." Aalisha terkekeh, menikmati ketakutan Killian. "Bahkan aku kesakitan dan berteriak karena serangan Ixchel pun hanyalah kepura-puraan."
"Tapi mustahil darah Ixchel tak berefek apa pun padamu!!" teriak Killian.
"Darahnya memang berefek padaku," balas Aalisha, "tetapi aku tahu jika itu hanyalah ilusi, jadi tidak benar-benar ada monster yang dipanggil Ixchel. Mereka semua palsu akibat penglihatanku yang dikacaukan darah Nerezza itu."
"Lalu kenapa kau menghancurkan barrier!"
"Karena aku sengaja!" Betapa kejujuran Aalisha itu membuat Killian paham bahwa Majestic Families memang bukanlah manusia biasa. Bahkan lebih mengerikan dari pada iblis itu sendiri. "Aku dengan kesadaran penuh, sengaja menghancurkan barrier dan menyerang para murid dengan berdalih jika aku mengira kalian adalah monster, padahal tidak. Kenyataannya aku memang berniat menyerang dan melukai para murid di luar arena."
Killian tak sanggup menyahut ketika ia melihat senyuman Aalisha, padahal gadis itu hampir membuat beberapa murid terbunuh, tetapi masih bisa tersenyum.
"Bukankah aktingku sempurna? Aku menggunakan kesempatan ini agar tak dihukum, jadi para pengajar akan memaafkanku karena mengira jika aku menyerang akibat efek darah Nerezza." Ia mengeratkan genggamannya pada rambut Killian hingga beberapa helaian tercabut. "Betapa bodohnya kalian semua yang termakan akting dan dramaku yang begitu sempurna ini."
Killian meneguk salivanya ketika rasa perih menjalar akibat luka-luka di paha serta lehernya bahkan darah mulai menetes. "Nah Killian karena kau salah satu tujuan mengapa aku sampai berakting dan menyerang murid-murid lain, maka kau harus mendengarkanku."
Sialan, Aalisha tak bisa berlama-lama karena berdasarkan informasi para capung jika master Arthur menuju ke tempatnya. Lekas ia menarik kepala Killian agar lebih dekat, supaya mudah bagi Aalisha untuk berbisik. "Jangan berpura-pura bodoh dan apa pun rencana yang kau lakukan, segera hentikan, sebelum aku membunuhmu."
Maka Aalisha berdiri, menarik pedangnya, tetapi sebelum pergi, ia tendang wajah Killian menggunakan lutut hingga lelaki itu, tubuhnya ambruk ke tanah, ia pingsan. "Waktuku terbatas." Aalisha membersihkan seragamnya, ia melangkah keluar bersamaan akar-akar pepohonan masuk ke dalam tanah lagi. "Halo Master Arthur." Aalisha berujar ketika pria itu muncul dari kepulan kabut putih.
"Jangan bertingkah seolah-olah kau tak bersalah." Dia melirik sekilas pada Killian Cornelius.
"Oh ya, maafkan aku karena efek darah Nerezza sangat kuat, aku jadi menyerang ke sembarang arah karena kupikir aku dikelilingi monster, ternyata kemampuan mistis berupa ilusi ketakutan terdalamku," balas Aalisha, "dan tenang saja, aku tak membunuh Killian, hanya kutonjok karena kupikir dia monster."
Arthur hanya diam, ia hendak bertanya lagi dan menginterogasi Aalisha, tetapi di lapangan ini sudah sangat kacau terutama beberapa murid terluka parah terutama Ixchel dan tampaknya Killian juga.
"Tak mau katakan sesuatu?" balas Aalisha, "baiklah, artinya praktikum sihir dan mantra dasar selesai hari ini, aku harus bergegas pergi. Sampai jumpa lagi, Master. Jangan lupa beri aku nilai yang tinggi."
Senyum Aalisha terukir seraya melangkah pergi, melewati Arthur begitu saja, tetapi setelah beberapa langkah, suara Arthur terdengar, "kau tak benar-benar melihat para monster itu bukan?"
Oh sialan, Demi Jagad Dewa, pria ini memang tak bisa dikelabui. "Anda benar." Bukankah lebih baik Aalisha jujur saja? Maka ia akan jujur.
"Aku benar? Jadi kau tak melihat para monster itu?"
"Ya, Anda tahu bukan jika kemampuan mistis Ixchel bukanlah memanggil para monster, melainkan ilusi ketakutan terdalam seseorang."
"Bukan itu maksudku," ujar Arthur, "ilusi yang kau lihat itu, bukanlah para monster."
Aalisha menatap dengan sinis, tetapi senyuman terukir. Sementara Arthur memicingkan matanya. "Baiklah Anda benar. Aku berbohong soal monster, karena sebenarnya ilusi yang aku lihat adalah ...."
Detik itu, mata Arthur membulat sesaat setelah mendengar pengakuan Aalisha. Jika begitu, bukankah yang gadis itu katakan dengan jujur adalah ketakutan terdalamnya? Atau gadis itu kembali berbohong?
"Salam, Master Arthur, lalu nikmati bersih-bersih lapangan dan mengobati para murid." Lekas Aalisha berbalik dan melangkah. "Inilah yang kaudapatkan karena merusak suasana hatiku." Maka ia pergi dari sana, meninggalkan Arthur yang tampak sedikit frustrasi.
"De Lune," gumam Arthur, "terlalu banyak rahasia yang ia miliki. Sungguh membuatku pusing."
****
Setelah makan siang, tampak Aalisha, Anila, Mylo, serta ketiga teman mereka tengah memutuskan untuk rembuk membahas liontin dan gerbang misterius yang membawa ke suatu tempat asing. Sesegara masalah ini harus mereka bahas agar malapetaka atau bencana datang ke Eidothea terutama jika membahayakan nyawa mereka dan para murid, meski Aalisha hanya ingin mencari tahu siapa dalang sebenarnya, bukan karena peduli pada nasib dan nyawa murid Eidothea.
"Jadi maksudmu kalau di sekolah ini ada semacam gerbang tersembunyi yang terhubung dengan sebuah kastil sihir?" ujar Gilbert, mereka berjalan ke belakang halaman asrama Arevalous, menuju kuil terbengkalai.
Anila yang menyahut, "ya, itulah asumsi utama dari Aalisha, jika ada beberapa titik tertentu yang menjadi gerbang tersembunyi di Eidothea kemudian terhubung dengan kastil sihir. Kalau digunakan kunci yang tepat, maka gerbang itu akan menteleportasi kita menuju kastil tersebut."
"Titik mana saja yang kalian curigai," ujar Kennedy, kini mereka duduk di undakan anak tangga kastil terbengkalai tersebut, membelakangi sang patung. "Lalu apakah liontin yang kalian temukan beberapa hari lalu termasuk kuncinya?"
"Setidaknya ada tiga titik gerbang teleportasi yang kuketahui," ujar Aalisha, "pertama jembatan di danau, kedua dinding di koridor, gerbang ini yang digunakan oleh Killian, dan yang ketiga adalah salah satu kamar di asrama Gwenaelle."
"Kamar siapa?" kata Frisca bingung.
"Intinya kamar seorang murid," balas Aalisha tak mau membahas lebih lanjut.
"Baiklah." Frisca pun enggan bertanya. "Okay, mau kuperjelas. Totalnya ada empat bagian artefak, bukan? Pertama di organisasi Alastair, kedua di Killian, ketiga liontin yang tiba-tiba datang pada Aalisha, dan yang keempat belum diketahui keberadaannya?"
Maka Aalisha, Anila, dan Mylo serempak menganggukkan kepala. Frisca kembali berujar, "bagaimana bisa liontin itu datang padamu."
"Inilah yang juga sedang kami selidiki," ujar Anila seraya menghela napas.
"Liontin itu seharusnya di organisasi Alastair atau disimpan tuan Thompson, tapi tiba-tiba Sillavana si hantu itu mempunyai liontin ini, entah bagaimana liontinnya ada pada dia," ujar Mylo.
"Mungkin teleportasi?" balas Kennedy.
"Itu tak penting," sahut Aalisha, "karena kini ada padaku, jadi tentu saja aman. Permasalahan di sini adalah gelang atau pecahan artefak lainnya yang ada pada Killian."
"Kau benar, Killian sangat aneh, dia punya artefaknya, tapi berkata pada ayahnya jika ia tak punya atau kehilangan artefak itu," timpal Gilbert, "mungkin dia mau menyembunyikan hal ini dari ayahnya." Mereka semua sudah mendengar berbagai macam sudut pandang dari Anila, ia bercerita mengenai apa saja yang ketiganya alami dimulai dari Aalisha dan tuan Thompson hingga profesor Chameleon serta Aalisha menguping pembicaraan antara Marquess Cornelius dan Killian.
"Dia mau menguasai kekuatan dari artefak itu, barangkali," balas Frisca.
"Punya otak juga kau," tukas Aalisha.
"Hey, jangan mengejek!" Frisca jadi cemberut.
"Kau memang sedikit bodoh, Frisca," timpal Gilbert.
"Sedangkan kau banyak bodohnya!" teriak Frisca, "aku bahkan lebih mahir di mata pelajaran ramuan! Kau selalu rendah nilaimu!"
"Wah kau mengajakku bertengkar, huh?!" Gilbert memberi tantangan.
Helaan napas terdengar. Seorang Andromeda sakit kepala. "Ayo fokus kembali karena selain yang harus kita waspadai adalah Killian Cornelius karena memiliki gelang artefaknya, profesor Conor Prambudi juga mencurigakan." Anila kembali membuat teman-temanya berfokus pada diskusi. "Kami sudah mencari tahu apa yang dilakukan profesor Prambudi dan dia seperti menggunakan alat membaca rasi bintang. Salah satu kegunaan alat itu berkaitan dengan keberadaan kastil sihir atau gerbangnya."
"Apakah musuh kita, seorang profesor lagi?" Kennedy berucap, "seolah-olah akan ada pengkhianat lagi dari Eidothea."
Hening terdengar sesaat. Mereka berlima tampak mengingat masa lalu dan rasa sakit ketika dikhianati dua profesor Eidothea. Kini apakah pengkhianatan akan terjadi lagi?
"Mengapa kalian memasang wajah itu?" sahut Aalisha, satu alis terangkat. "Kalian harus terbiasa dengan pengkhianatan dalam hidup. Lagi pula, masalah ini masih di lingkup akademi, jika sudah berurusan dengan bangsawan Kerajaan atau semacamnya, pasti lebih menyakitkan, terutama kalian pasti tahu jika bangsawan sudah terbiasa saling menusuk satu sama lain."
Tidak ada yang berani menyangkal perkataan Aalisha karena benar adanya yang gadis itu katakan jika hal lumrah, para bangsawan saling bersaing bahkan menusuk dari belakang. Bergosip saja sudah menjadi makanan sehari-hari maka tak mengherankan jika seseorang berusaha menjatuhkan bangsawan lain dengan berbagai cara.
"Jadi apa yang harus kita lakukan terhadap Killian atau profesor Prambudi?" balas Frisca, "sepertinya Killian tak mempan dengan ancaman Aalisha kemarin karena jika aku jadi dia, aku akan menyerahkan gelangnya padamu atau menaruh gelang itu di suatu tempat yang bisa kau temukan."
"Mungkin Killian tak paham dengan maksud ancaman Aalisha," timpal Kennedy.
"Mustahil," balas Mylo, "Killian tak bodoh, seharusnya dia sudah curiga semenjak aku, Aalisha, dan Anila pergi ke asrama Drystan yang runtuh dan memergoki Killian mencari sesuatu di sana."
"Pasti ada yang Killian rencanakan," ujar Anila, "jadi antara dia takut rencananya terbongkar atau dia percaya diri dengan rencana ini dapat meloloskannya dari ancaman Aalisha."
"Kita di posisi sulit," kata Gilbert, "jika langsung memaksa Killian, dia pasti melapor. Kita juga kena imbasnya."
Kini mereka kembali hening karena merasa buntu; mereka tak mau mengambil risiko. Sebenarnya alasan Aalisha mengancam Killian tanpa menyebut gelang yang dimilikinya karena Killian pasti akan curiga jika Aalisha memata-matainya karenanya ia hanya mengancam dengan kalimat konotatif bahwa Killian jangan melakukan tindakan bodoh, ia lakukan hal ini supaya Killian tak menyadari bahwa Aalisha sudah mengetahui apa yang Killian sembunyikan serta menggunakan gelang sebagai kunci masuk ke cermin misterius.
"Bagaimana dengan profesor Prambudi, haruskah kita memata-matainya juga?" ujar Kennedy.
"Tidak, saat ini fokus pada Killian karena dia memiliki gelangnya dan sudah beberapa kali masuk ke cermin yang barangkali menuju kastil sihir," ujar Aalisha.
"Okay, sekarang apa rencana kita selanjutnya," kata Gilbert.
"Kami sebenarnya hendak mengobrol dengan seorang Orly, si Tilliana," kata Anila, "tapi dia sulit sekali ditemui, kemungkinannya menghindari kami."
"Curiga dia bersekongkol dengan Killian." Gilbert berdecak sebal.
"Inilah yang kutakutkan, terlebih Tilliana beberapa kali melihat Killian sebelum dia masuk ke cermin ajaib." Anila menghela napas. Ia sangat curiga pada Tilliana terlebih Orly itu seperti menghindari Aalisha yang seorang Majestic Families.
"Tilliana?" ujar Frisca selesai membalas beberapa pesan dari temannya. "Maksudmu Tilliana Polyn, Orly yang sering mengajak anak-anak minum teh itu?"
"Kau kenal dia?" balas Mylo.
"Tentu saja, dia sangat suka gosip dan minum teh, kadang mengajak beberapa murid yang ia kenal dekat untuk berkumpul dengannya, aku juga termasuk ke perkumpulan minum teh Tilliana dan seingatku hari ini termasuk perkumpulan itu," jelas Frisca, kini teman-temannya termasuk Aalisha menatap sinis padanya. "Kenapa kalian menatapku begitu?"
"Jadi maksudnya kau bisa membawa kami menemui Tilliana itu," kata Mylo.
"Iyaaaa, aku punya undangan teh dari Tilliana," kata Frisca.
Aalisha sudah berdiri dan tersenyum penuh rasa kesal pada Frisca. "Harusnya sejak awal kaukatakan."
"Aku tak tahu jika Tilliana kabur darimu ...."
"Bawa aku menemui Orly itu." Kalimat Aalisha terkesan tegas. "Sekarang juga." Oh sepertinya Sang De Lune, suasana hatinya sangat buruk.
****
Salah satu taman dalam akademi, tampak barrier mengelilingi taman tersebut untuk menyembunyikan apa yang ada di dalamnya. Maka masuklah ke barrier tersebut, ternyata ada meja panjang dengan lebih dari 15 kursi putih. Taplak mejanya berwarna biru langit, di atasnya penuh dengan berbagai jenis makanan dimulai dari kue bolu berbagai rasa, kue kukis, piring dengan ukiran bunga mawar, cangkir berukiran bunga lily, hingga teko putih berisi teh chamomile hangat yang sangat nikmat, serta dituangkan ke cangkir. Terlihat ada 13 murid di sana serta seorang Orly berpakaian bangsawan dan topi besar, ia tampak menyambut tamu-tamunya dengan riang gembira, tetapi sesekali rasa bingung menyeruak.
"Kenapa hanya 10 tamu saja?" ujar Tilliana Polyn, si Orly yang menjadi penyelenggara pesta teh eksklusif ini karena hanya beberapa murid saja yang diundang serta wajib membawa undangan mereka sebagai kunci untuk masuk ke pesta teh ini.
Seorang gadis dengan rambut pirang dan mengenakan kacamata menyahut, "ada empat murid yang belum datang."
"Padahal sudah 10 menit sejak jam perkumpulan, kenapa belum kunjung datang mereka," sahut murid lain.
"Bagaimana jika mulai saja acara minum tehnya dan tinggalkan saja orang-orang terlambat itu," sahut seorang gadis bertubuh agak besar, ia cukup dikenal di kalangan murid, ia adalah Tiona Delilah, sepupu dari Jasmine Delilah.
"Tiona, tidak baik seperti itu, kita harus menunggu keempat murid ini," ujar Jasmine Delilah yang duduk tepat di samping Tiona, "barangkali mereka ada kesibukan jadi sedikit terlambat." Tampaknya ia menggunakan topeng sebagai gadis lugu dan baik hati karena jauh dalam dirinya, ia juga kesal karena ada yang terlambat sehingga acara belum dimulai, waktu pun terbuang.
"Aku setuju dengan dengan Jasmine," kata Bethany, "mari tunggu sebentar lagi. Kurasa empat orang sisanya akan datang." Ia akan selalu mengikuti pemikiran sahabatnya dan para murid lain menganggukkan kepala karena setuju dengan Jasmine.
"Baiklah, jika kalian setuju untuk menunggu, mari menunggu sebentar lagi." Tilliana Polyn meminum tehnya.
"Menyebalkan, siapa sih yang belum juga datang?!" Meskipun yang lain setuju, terlihat Tiona Delilah sangat kesal, ia sepertinya berada dalam suasana hati yang buruk karena mengetahui jika poin individunya disalip beberapa murid dari angkatan bawah, terutama gadis yang akhir-akhir ini selalu dibicarakan dan dipuja-puja.
"Kalau berdasarkan data, ada tiga murid dari angkatan kedua; Laufeia, Georgia, dan Mary Jones, terus angkatan tahun pertama ... ada Frisca Devorez."
Hening merebak ketika nama terakhir itu disebut, mereka tak asing karena nama tersebut sangat dekat dengan murid Paling Terhormat di akademi ini.
"Tiona," kata Jasmine dengan suara manisnya. "Mari tunggu sebentar, kuyakin mereka berempat akan segera datang kemari."
Tidak ada sahutan dari Tiona karena ia masih kesal, sementara Tilliana juga diam saja hingga seorang murid berujar, "kurasa ada yang datang." Ia menatap Cyubes-nya untuk memantau siapa saja yang melewati taman ini, jika membawa undangannya, maka akan membuka kunci agar bisa masuk ke barrier ini. "Pas sekali, empat orang kemari. Itu pasti mereka."
"Lihat, mereka akhirnya datang, kesabaran adalah kunci utamanya," ujar Jasmine, berdiri karena hendak menyambut tamu terakhir, ia seolah-olah menjadi gadis baik hati yang menerima siapa pun meski ia bukan tuan rumahnya.
"Halo, selamat datang kalian, kami sudah menunggu ...." Perkataan Jasmine terhenti, sementara Tilliana Polyn meletakkan cangkir tehnya, lalu menatap tajam pada siapa yang datang.
Murid pirang berkacamata tiba-tiba berdiri dengan berujar, "semua berdiri, berikan penghormatan kepada Yang Mulia Aalisha De Lune!"
Tanpa banyak pertanyaan meski mereka semua terkejut bukan main, lekas para murid di sana berdiri. Terlihat ada yang mengayunkan tangan dan diletakkan di dada kiri, membungkuk, serta menundukkan pandangan, sementara yang mengenakan gaun, ia cubit sedikit ujung gaunnya lalu membungkukkan badan, bahkan Tiona Delilah, Bethany, serta Jasmine Delilah yang tepat di dekat pintu masuk karena hendak menyambut tamu, mereka lekas meletakkan tangan kanan di dada kiri dan membungkukkan badan mereka; curtsy sebagai bentuk penghormatan tertinggi kepada Tuan Putri De Lune.
"Tak kusangka, ada pesta kecil yang tersembunyi dibalik barrier," ujar Aalisha, sama sekali tak peduli pada para murid yang melakukan penghormatan padanya, hal ini sukses membuat para murid itu tak berani mengangkat kepalanya. "Pantas saja, aku tak bisa menemukanmu, kau selalu bersembunyi di ruangan-ruangan rahasia atau di balik barrier maupun dungeon. Benar bukan, Tilliana Polyn?"
Sungguh pada detik itu, para murid merasakan kengerian bercampur aduk rasa bingung, mereka masing-masing bertanya dalam hati; mengapa Aalisha De Lune kemari? Dia tak termasuk dalam undangan, lalu mengapa dua sahabatnya; Anila Andromeda dan Mylo Cressida juga di sini, mereka tak diundang! Hanya Frisca Devorez saja yang diundang oleh Tilliana Polyn.
"Aku merasa tersanjung karena Anda berhasil menemukanku, meski dengan bantuan temanmu," ujat Tilliana menatap pada Frisca yang membawa undangan, ia beralih pada Anila dan Mylo pula. Sementara ia merasakan jika ada Neith di luar barrier, kemungkinan dua teman Aalisha menunggu di sana; Kennedy dan Gilbert tak masuk ke dalam.
"Ya, bukankah artinya kau harus memberikan penghormatan padaku?" ujar Aalisha.
"Ah bodohnya aku," kata Tilliana seraya berdiri dari kursinya dan membungkukkan badan, memberikan penghormatan. "Salam Yang Mulia De Lune, sekali lagi aku tak menyangka kau berhasil kemari. Namun, harus tetap kukatakan ... bahwa Anda tidak kuundang dalam pesta teh ini."
Aalisha tak peduli. "De Lune tidak perlu undangan agar dapat menghadiri setiap pesta di Kekaisaran Athinelon ini, apalagi pesta teh sampah dari seorang Orly yang dengan beraninya terus mengabaikanku." Seketika suasana semakin mencekam.
Tilliana merasakan belati menusuknya atas perkataan menyakitkan Aalisha, tak ia sangka bahwa sesakit ini jika langsung dihina oleh keturunan Majestic Families. "Sungguh perkataan yang menyakitkan, Yang Mulia."
"Nona Tilliana," ujar Anila karena ia rasa jika Aalisha yang berujar lagi, maka masalah ini akan semakin runyam. "Kami kemari karena ada yang hendak kami bicarakan denganmu."
Senyuman Tilliana terukir. "Maaf, tapi aku sedang ada pesta teh di sini, aku tak bisa membiarkan para tamuku menunggu karena terganggu kedatangan tamu tak diundang ...."
Mata Tilliana membulat ketika pentagram biru besar muncul di bawah kakinya serta para tamunya, pentagram itu adalah milik Aalisha. Kini memanggil pedang Aeternitas-nya. "Sepertinya cara lembut tak membuatmu berhenti kabur dariku, jadi akan kugunakan cara kasar." Aalisha kesal, sementara Anila, Mylo, dan Frisca hanya bisa menghela napas.
"Memangnya Anda hendak melakukan apa?" kata Tilliana.
Oh Jagad Dewa, kenapa Tilliana malah seolah-olah menantang Aalisha? Ketiga sahabat Aalisha membatin.
"Kau bilang jika tak mau mengobrol denganku karena ada tamu-tamumu di sini." Aalisha mengeratkan genggaman tangannya pada Aeternitas. "Jadi kalau mereka semua mati, kau takkan punya tamu lagi, bukan?"
Tilliana Polyn terpaksa mengalah karena ia tahu bahwa seorang Majestic Families takkan main-main dengan perkataannya, terlebih lagi, para murid di sini sangat ketakutan bahkan ada yang hampir menangis. Helaan napas terdengar, Tilliana bergumam sesaat. "Oh Dewi, gadis kecil ini benar-benar mengerikan."
"Apa jawabanmu, Tilliana?" ujar Aalisha lagi, ia seperti hendak mengayunkan pedangnya.
"Baiklah," ujar Tilliana, "aku setuju mengobrol dengan Anda, tetapi hanya berdua dengan Anda saja dan berada dalam dungeon-ku. Apa Anda setuju?"
"Setuju." Aalisha menghilangkan Aeternitas-nya. Lalu hendak melangkah maju, tetapi ditahan tangannya oleh Anila. Tampak ia khawatir, barangkali Tilliana hanya menjebak Aalisha saja. "Aku akan baik-baik saja."
"Okay, tapi tetap jaga dirimu," balas Anila.
Tidak ada sahutan dari Aalisha, dia persis di hadapan Tilliana yang merapalkan mantra. Maka para murid keluar dari barrier tersebut, berada di taman dalam sekolah. Sementara Aalisha dan Tilliana, kini di sebuah dungeon yang Tilliana ciptakan. Tempat misterius seperti di sebuah aula besar dengan pilar-pilar berwarna putih, lalu muncul pula dua kursi putih, meja bundar dengan taplak biru, beberapa kue kering serta cangkir dan teko di atas meja tersebut.
Aalisha mengedarkan pandangannya sejenak. "Jadi ini dungeon-mu? Pantas saja kau selalu menghilang, ternyata bersembunyi di dungeon."
"Aku tinggal di sini, kusebut rumah sebagai tempatku mengistirahatkan diri ketika lelah," ujar Tilliana, "Orly berbeda dengan manusia yang perlu tidur di kasur. Kami hanya perlu menghilangkan diri atau bersembunyi di dungeon. Tidak perlu kamar atau kasur dan sejenisnya."
"Informasi yang bagus, meski aku sudah tahu," balas Aalisha tanpa takut, ia raih cangkir berisi teh chamomile kemudian diseruput. "Namun, mengabaikan Majestic Families, tetaplah kesalahan besar, meski kau berkedok pura-pura tak tahu karena beristirahat di dungeon jelekmu ini."
Sedikit ego Tilliana tersindir karena susah payah ia membuat dungeon terbagus bagi dirinya, tetapi dihina jelek oleh seorang bocah hanya karena memiliki darah De Lune. Namun, apa daya Tilliana karena De Lune lebih terhormat dibandingkan Orly. "Apa yang hendak Anda bicarakan denganku?"
Aalisha meletakkan cangkirnya seraya menatap tajam nan sinis. "Jangan bertingkah bodoh, kau pasti sudah tahu, apa yang hendak kubahas sampai harus menemuimu."
Tilliana tampak hendak berpura-pura bodoh saja karena ia tak mau membahas topik ini. Hanya saja, tingkah Aalisha yang tampak mendominasi itu, membuatnya takkan menghindar lagi. "Baiklah, aku paham. Kau hendak membahas tentang menghilangnya anak-anak Eidothea beberapa tahun lalu, bukan---"
"Killian Cornelius." Aalisha menginterupsi. "Selain membahas tentang kisah murid Eidothea yang pernah menghilang di suatu malam lalu ditemukan esoknya, aku juga hendak kau jujur mengenai Killian Cornelius." Tampak Aalisha berujar seraya menuangkan teh ke cangkir, diberi gula, lalu diaduk menggunakan sendok emas.
"Ah, ternyata gadis ini tahu." Tilliana membatin sebelum menyeruput tehnya juga kemudian berujar, "sepertinya aku memang tak bisa menghindari Anda lagi."
"Maka dari itu, jujurlah atau benar-benar kuseret kau ke Evigheden," balas Aalisha.
Perlahan Tilliana memejamkan matanya, lalu menilik pada gadis berambut hitam yang sebagian dikepang tersebut. "Dahulu, sebelum kau di sekolah ini, pernah ada kasus, seorang murid Eidothea menghilang begitu saja pada suatu malam. Padahal tidak ada tanda-tanda penculikan atau musuh memasuki area sekolah. Teman-temannya juga mengkonfirmasi jika awalnya mereka sedang bersama-sama di perpustakaan dan mencari buku teori, lalu poof, murid itu menghilang begitu saja. Lekas ketiga temannya melapor dan dilakukan pencarian, tetapi baru esok ditemukan."
"Di mana ditemukannya anak itu?" ujar Aalisha.
"Prairie Lynx Woods," ujar Tilliana.
"Bagaimana kondisinya setelah ditemukan?" kata Aalisha.
Tilliana tampak berusaha mengingat-ingat karena kejadian ini sudah bertahun-tahun lalu. Bahkan sebelum kakak Aalisha masuk ke akademi Eidothea. "Anak itu terlihat linglung, seperti habis mengalami mimpi buruk, dan tak terlalu ingat apa-apa. Namun, berdasarkan informasi beredar jika anak itu berkata bahwa ia tiba di sebuah tempat antah-berantah seperti bukan di sebuah Kota di Kekaisaran Ekreadel. Sejak saat itu, para murid diminta berhati-hati dan pergi selalu bersama teman serta tidak menuju tempat-tempat yang jarang dilalui."
"Apa ada informasi selain itu?"
"Ya, para profesor menjelaskan jika kasus yang dialami anak itu kemungkinan berupa teleportasi ruang menuju ke sebuah tempat antah berantah, wilayah berbeda, maupun wilayah magis. Mudahnya dikenal sebagai Gerbang Teleportasi atau isitilahnya Iapthae Portae."
Aalisha diam sejenak, ternyata asumsinya benar. "Apa itu artinya Eidothea sendiri mengkonfirmasi jika memang ada Iapthae Portae di beberapa titik tertentu di bangunan kastil atau sekitaran wilayah ini?"
Tilliana mengangguk. "Bisa dikatakan seperti itu, tetapi kasus ini sudah jarang terjadi bahkan tidak pernah terjadi lagi. Hal ini, karena seperti yang kau tahu jika Iapthae Portae haruslah memiliki kunci jadi kalau tak ada kunci, seseorang takkan bisa membuka gerbangnya."
"Jadi maksudmu, anak yang kau ceritakan, punya kunci Iapthae Portae-nya?" balas Aalisha.
"Seingatku, dia tak punya." Tilliana berkata jujur. "Namun, kunci Iapthae Portae tidak harus dimiliki pemiliknya atau kalau normalnya tidak harus dimasukkan ke lubang kunci layaknya kunci pintu pada umumnya, karena kunci Iapthae Portae, selagi masuk jarak jangkauan kuncinya dan gerbangnya terbuka, maka seseorang bisa tersedot masuk. Meski orang itu tak tahu di mana letak kuncinya atau pun tidak memegang kuncinya."
"Seperti pusaran air?"
"Ya, perumpamaan tepat." Tilliana senang karena mendapat lawan bicara yang sangat cerdas dan langsung tahu maksud perkataannya. "Anggap saja kita sedang berenang, lalu ada pusaran air di jarak dua meter, kita bisa berenang ke sana kemudian tenggelam atau pusaran tersebut semakin besar kemudian menyedot kita padahal kita berusaha kabur dari pusaran air tersebut."
"Baiklah, jadi anak itu tak sengaja tersedot Iapthae Portae karena kemungkinan ada seseorang mempunyai kuncinya dan berada di sekitar gerbang lalu gerbang teleportasi terbuka dan anak tak bersalah itu tersedot pula?"
"Anda benar sekali Yang Mulia."
Aalisha melirik sesaat ke sekelilingnya, entah mengapa jadi semakin dingin di tempat ini. "Apakah gerbang Iapthae Portae bisa berpindah-pindah?"
"Setahuku tidak, kecuali pemiliknya yang memindahkannya," kata Tilliana, "mudahnya jika pemiliknya membuat gerbang tersebut di kelas Ramuan, maka hingga bertahun-tahun gerbang tersebut akan ada di kelas tersebut, kecuali pemiliknya yang memindahkannya."
"Artinya siapa pun yang tak punya kunci, jika berada di kelas ramuan itu mereka takkan masuk atau membuka gerbangnya bukan? Sementara jika ada yang membawa kuncinya, maka akan terbuka gerbangnya di kelas itu?"
Tilliana mengangguk. "Ya."
Sejenak Aalisha berpikir, jika seperti itu, maka titik-titik gerbang teleportasi yang ia ketahui saat ini berada jembatan danau,di dinding koridor, serta kamar mandi Athreus karena terakhir kali ia berteleportasi kembali ke Eidothea, ia muncul di tempat itu. "Ada berapa banyak gerbang tersembunyi di sekolah ini."
"Berapa banyak Anda bilang?" kata Tilliana.
"Ya, berapa banyak yang kauketahui atau menurutmu ada berapa?" ujar Aalisha lagi.
"Aku tidak tahu karena aku tak pernah masuk ke gerbang teleportasi tersebut, tetapi jika berdasarkan asumsiku ...." Tilliana tampak menghitung karena jarinya bergerak-gerak. "Sepuluh gerbang, eh tidak, dua puluh, oh sepertinya tidak, kemungkinan kurang-lebih seratus gerbang teleportasi."
Sesaat Aalisha tampak terkejut, tetapi ia kembali mengatur ekspresinya. "Sesuai dugaanku."
Terdengar tawa Tilliana, renyah sekali tawa tersebut hingga bergema di aula ini. "Hebat, Anda sangat hebat, Yang Mulia, bagaimana bisa Anda menduga hal yang sama denganku?"
Aalisha menyilang kakinya. "Eidothea didirikan oleh delapan Majestic Families, umur sekolah ini pasti sudah berabad-abad, jadi tak mengherankan jika memang ada banyak gerbang teleportasi tersembunyi di sini meski tak diketahui di mana kuncinya."
"Anda benar sekali," ujar Tilliana, "bahkan banyak yang percaya jika Majestic Families para pendiri Eidothea telah membuat ruangan rahasia di akademi ini bahkan gerbang teleportasi itu sendiri."
"Karena itulah, seluruh makhluk hidup harus tunduk pada Majestic Families, terutama pada keturunan De Lune." Aalisha berujar dengan sangat congkak. Sementara Tilliana Polyn hanya dapat diam ketika merasakan aura Neith cukup pekat dari Aalisha.
"Adakah hal yang hendak Anda bahas lagi?" kata Tilliana.
"Tentu, ada banyak," balas Aalisha, "nah Tilliana, bisakah kau jawab, apa tugasmu di akademi ini? Atau kau hanya Orly yang menumpang tinggal di Eidothea."
Tilliana menyipitkan matanya. "Aku bertugas memantau murid saja, tanpa ikut campur, dan aku laporkan jika terjadi sesuatu pada murid tersebut."
"Hanya itu?"
"Aku senang bergosip."
"Kau pandai berbohong ya atau lebih tepatnya kau sangat bodoh karena masih berani tak jujur padaku," ancam Aalisha.
"Aku tak paham maksud Anda, Yang Mulia." Tilliana hendak mengalihkan pembicaraan agar tak membahas Killian Cornelius.
"Ternyata Anda lebih memilih berpihak pada makhluk rendahan dibandingkan aku," ujar Aalisha seraya mengeluarkan liontin yang tampak bersinar. Sukses hal ini membuat Tilliana terkejut. "Kau tahu benda apa ini?"
"Yang Mulia De Lune! Aku tahu jika Anda selalu membuat orang-orang terkejut, tetapi benda yang Anda miliki, penuh dengan kejahatan!" Tilliana sedikit panik sampai ia mendorong mundur kursinya sehingga berderit. "Benda itu sangat berbahaya, Yang Mulia. Artefak itu benar-benar berbahaya."
"Jadi kau tahu benda apa ini?" Aalisha menatap sinis. "Bagaimana bisa kau tahu?" Kini ia mulai mencurigai Tilliana Polyn.
"Bukankah seharusnya aku yang bertanya? Mengapa Anda punya benda itu?" balas Tilliana hendak mengalihkan pembicaraan.
"Kau tak perlu tahu," balas Aalisha dengan tenang. "Jawab saja pertanyaanku, Tilliana Polyn."
Tilliana sangat gundah, ia mengepalkan kedua tangannya, perasaan takut merasuk, tetapi ia tak punya pilihan selain kabur dan mengelak dari topik pembicaraan ini. Maka ia pun berujar, "maaf Yang Mulia, tetapi aku tak mau menjawab sesuatu hal yang membahayakan nyawaku!"
Seketika aula bergetar, muncul lampu gantung besar tepat di atas mereka, hanya saja jangan mengagumi lampu gantung tersebut karena meskipun lampunya terbuat dari berlian cantik dan mengkilap, sayangnya berlian tersebut membentuk lembing-lembing tajam yang siap untuk menembus kepala maupun tubuh targetnya, tampak Tilliana mengancam dengan menciptakan perangkap di atas kepala mereka. "Maaf karena aku tak sopan, tetapi kurasa pembicaraan kita sampai di sini saja, Yang Mulia. Aku sudah cukup menjawab beberapa pertanyaan Anda hari ini."
Aneh sekali karena Aalisha tampak tak takut dan masih sangat tenang bahkan amarahnya tidak terpancing. Diamnya gadis kecil itu serta malah meminum tehnya kembali, sukses membuat Tilliana ketakutan dan punggungnya terasa dingin. Seharusnya ia paksakan saja menyerang Aalisha kemudian menendangnya keluar dari dungeon ini, tetapi pada detik itu, betapa Tilliana diam membisu dengan bibir gemetar serta menahan serangannya ketika ia menyadari bahwa selain mereka berdua di dungeon ini, ada makhluk lain yang tak diundang dan seharusnya tak berada di sini.
Mata Tilliana membulat ketika melihat senyuman tipis Aalisha yang terukir. "Apakah kau melihatnya juga? Makhluk itu."
Pandangan Tilliana buram, tetapi samar-samar ia tahu jika beberapa sentimeter di belakang Aalisha, sesosok makhluk berpakaian hitam hingga tak terlihat wajahnya, tengah duduk di kursi seraya menyeruput secangkir teh pula. "Tilliana Polyn." Suara Aalisha terdengar, membuat si Tilliana sadar dari keterkejutannya. "Sebelum kau bersikap tak sopan padaku, setidaknya pahami dulu di mana posisimu berada, dasar kau makhluk rendahan."
Detik itu, keadaan berbalik dengan cepat ketika cahaya biru bersinar sehingga melahap dungeon Tilliana, membuat lampu gantung berlian menjadi serbuk berlian lalu berjatuhan ke bawah, pilar-pilar aula runtuh beserta atap-atapnya, kini dungeon tersebut dengan mudahnya diambil alih oleh Aalisha. Tergantikan dengan dungeon berupa lantai kaca dengan pemandangan tak terbatas, langit biru, awan-awan berarak, serta matahari bersinar redup.
Ya, Aalisha berhasil mengambil alih dungeon ini serta sosok makhluk asing di belakangnya telah menghilang.
"Pemandangan ini jauh lebih baik." Aalisha terkekeh, sementara itu, Tilliana sangat pasrah. "Jadi mari lanjutkan pembicaraan kita."
"Baiklah, Yang Mulia. Maafkan kesalahanku."
"Kalau begitu, bisakah kau jelaskan, apa yang kauketahui mengenai liontinku ini dan mengapa kauberkata jika liontin berbahaya?" Aalisha menatap kecurigaan. "Apa jangan-jangan kau sebelumnya pernah memiliki liontin ini?" Perlahan muncul pentagram biru yang siap melesakkan lembing tajam ke arah Tilliana jika Aalisha merasa bahwa Orly tersebut menunjukkan gerak-gerik mencurigakan.
Tilliana tampak menghela napas sebelum mulai berbicara. "Sejujurnya tidak, tetapi liontin itu berbahaya karena terasa dari auranya yang sama persis seperti milik Killian Cornelius."
"Ah jadi kau jujur jika kau menyembunyikan sesuatu mengenai Killian Cornelius? Apa kau bekerja sama dengannya?" kata Aalisha dengan senyuman yang siap untuk membunuh siapa saja.
"Aku tak bekerja sama dengannya dan aku sudah memperingatkannya jika benda yang ia miliki adalah kejahatan dan dapat membawa bencana, tetapi ia tak peduli," jelas Tilliana, "aku juga enggan untuk ikut campur dengan masalah Killian Cornelius itu, terutama kuketahui jika benda yang ia miliki sangat berbahaya."
"Kenapa kau hanya membiarkannya?"
"Karena tugasku di Akademi ini hanyalah memantau bukan terlibat dan turut campur," ujar Tilliana.
"Alasan yang bodoh," balas Aalisha, "lalu mengapa tak kau beritahukan masalah ini kepada profesor Eugenius atau Master Arthur?" Sungguh Tilliana sangat mencurigakan. Aalisha tak bisa mempercayai Orly itu.
"Killian mengancamku," ujar Tilliana.
"Sekali lagi alasan yang bodoh." Aalisha tampak mengayunkan tangannya maka lembing tajam lekas melesak dan berhasil menembus dada Tilliana, Orly itu memuntahkan darah, tetapi ia tak mati karena inti kehidupannya masih ada. "Aku mau kejujuran darimu."
Jeritan dan umpatan terdengar, tampak Tilliana sangat kesakitan, tak ia sangka jika Aalisha benar-benar melesakkan lembing itu, ia pikir hanya gertakan saja. "Aku berkata jujur, Yang Mulia. Killian Cornelius telah mengancamku, jika aku melaporkan masalah ini, dia berniat membunuhku serta menghancurkan akademi ini!"
"Dia hanya putra Marquess yang manja, bukan Majestic Families! Bagaimana bisa kau takut pada ancaman manusia rendahan sepertinya!" Suara Aalisha meninggi dan tampak lantai kaca yang mereka pijak bergetar.
"Bukan Killian yang mengancamku, tetapi sesuatu yang berbeda! Seperti makhluk lain dalam dirinya!" teriak Tilliana karena merasa dadanya sangat sakit meski ia takkan mati, tetapi perasaan perih menyeruak.
Lekas Aalisha menjentikkan jarinya, maka lembing di dada Tilliana ditarik kembali dan masuk ke dalam pentagram sihir. Sukses membuat Tilliana menjerit kesakitan dan darah menyembur hingga membuat meja memerah serta mengenai cangkir berisi teh termasuk teh milik Aalisha. "Mari lanjutkan ke pertanyaanku yang lain."
Tampaknya Aalisha tak mau berputar-putar membahas Killian Cornelius terutama setelah ia mendengar jika yang mengancam Tilliana bukanlah Killian, maka ada cukup banyak asumsi yang bisa Aalisha ambil. "Katakan semua yang kauketahui mengenai liontin ini, profesor Benedict Chameleon, dan lainnya. Jangan mencoba berbohong karena aku takkan mengampuni dan benar-benar membuatmu lenyap dari dunia ini."
Tilliana baru selesai mengobati lukanya menggunakan sihir penyembuhan, perlahan ia berujar, "dahulu jauh sebelum profesor Eugenius menjadi kepala sekolah, ada seorang pria bernama Benedict Chameleon ...."
"Aku tahu hal itu, langsung jelaskan mengenai liontin dan apa yang kau ketahui mengenai wabah yang merajalela," balas Aalisha dengan nada cukup kasar.
"Bagaimana kau tahu?" sahur Tilliana, "maksudku, kau tahu soal wabah tikusnya?"
Senyuman tipis Aalisha terukir, beruntung Tilliana tak sadar. "Jawab saja pertanyaanku, jangan bertanya balik atau kupotong lidahmu itu."
Hening merebak dan kengerian dengan cepat menjalar, memenuhi relung dada Tilliana. Ia merasa takut mengingat cerita yang dulu beredar di sekolah ini dan berusaha ditutupi rapat-rapat demi menjaga nama baik keluarga Kekaisaran serta tidak membuat trauma para murid. "Dahulu, aku mendengar sebuah kisah yang tak banyak orang ketahui karena disembunyikan. Ini saat masih zaman profesor Chameleon yang menjabat menjadi kepala sekolah, pada saat itu, ada sebuah wabah yang menjangkit beberapa kota hingga ke Eidothea Academy ini. Kabarnya wabah itu berbentuk hewan pengerat seperti tikus dan jumlah mereka sangat banyak, orang yang tergigit menjadi gila dan bersikap seperti binatang kemudian menyerang orang lain. Sumbernya dari sebuah kota, tetapi aku tidak tahu namanya karena disamarkan oleh keluarga Kekaisaran. Saat itu korban jiwa berjatuhan, para warga mati, kebakaran di mana-mana akibat kericuhan karena perang sesama masyarakat di Kekaisaran ini, hingga Vigillium Eques harus membunuh para warga maupun prajurit yang terjangkit wabah tikus ini."
Tilliana mengambil jeda sesaat. "Suatu hari, wabah tikus tersebut berhasil sampai Eidothea dan membuat banyak murid terjangkit hingga korban jiwa berjatuhan. Membuat profesor Benedict Chameleon harus menyelesaikan masalah ini. Ketika wabahnya usai, dia diturunkan dari jabatannya oleh banyaknya orang tua murid yang menuntut bahwa ia tak pantas menjadi kepala akademi lagi karena tak bisa melindungi murid-murid akademi Eidothea."
Aalisha diam sejenak. "Apakah ada informasi mengenai siapa pelaku atau dalang dari wabah tikus ini?"
"Aku pernah mendengar rumornya dari sesama Orly jika pelakunya adalah salah satu keluarga dari kaum bangsawan tinggi, tetapi tak diketahui identitasnya, kemungkinan karena disembunyikan Kekaisaran," jelas Tilliana.
"Kau yakin tidak tahu siapa spesifik dari bangsawan itu?" ujar Aalisha.
"Yang Mulia, aku takkan berbohong." Sepertinya Orly itu berkata jujur. Namun, tetap saja Aalisha tak mempercayai Tilliana sepenuhnya.
"Bangsawan yang dirumorkan menggunakan wabah tikus ini, apakah kemungkinan sudah mati?" kata Aalisha.
"Kemungkinan mati dihukum pihak Kekaisaran," ujar Tilliana.
Aalisha menatap sinis dan penuh kecurigaan. "Mengapa bisa wabah tersebut sampai ke Eidothea?"
"Entahlah, barangkali sumbernya berasal dari kota atau desa di dekat wilayah Akademi Eidothea," jelas Tilliana.
Perlahan Aalisha menghela napas, seraya diam-diam merapalkan mantra hingga terbentuk pentagram sihir kecil tepat di dekat telapak kaki Tilliana. Kini gadis itu menepuk dahinya, mengerang kesal, wajahnya tampak masam; ia memulai aktingnya. "Keparat, ini benar-benar menyebalkan! Harusnya sejak awal kau laporkan masalah ini ke pihak akademi! Atau jawab panggilanku ketika aku memintamu datang! Ini semua karena kau mengabaikanku!"
"Maafkan aku Yang Mulia," ujar Tilliana, "aku punya banyak kesibukan."
Aalisha berdecak sebal, mendorong kursinya agar ia bisa menyilang kakinya karena terasa pegal. "Kau sangat sialan, terutama si Cornelius manja itu. Kenapa pula dia memiliki benda berbahaya itu! Dari mana dia mendapatkannya?! Lalu apa maksudmu dengan Killian yang seperti orang yang berbeda?" Ia berpura-pura frustrasi. "Kira-kira bagaimana bisa Killian itu memiliki benda sialan pemanggil wabah tikus?"
Senyum Tilliana yang tampak jahat; tak disadari Aalisha, kini terukir sempurna, Tilliana berujar, "Yang Mulia, ini hanya pendapatku, kemungkinan artefak itu saling memanggil satu sama lain, Anda memiliki salah satu pecahannya yang mulanya berada di mantan Inquisitor Thompson, kemudian Killian. Artinya tersisa dua yang tak berada di Eidothea. Kuyakin jika keempat pecahan artefak saling bersatu, maka kemungkinan wabah tikusnya dapat diaktifkan."
"Kau benar Tilliana" ujar Aalisha dengan manik mata berbinar-binar. Seraya ia bangkit dari kursinya. "Kau sangat brilian! Bukankah artinya aku harus mencari pecahan lainnya, supaya mencegah sihir wabah tikus jatuh ke tangan yang salah?"
Tilliana mengangguk. "Anda benar sekali Yang Mulia, barangkali jika keempat artefaknya disatukan, akan membuka kunci ke sebuah kastil sihir juga."
"Aku benar-benar bingung di mana dua pecahan sisanya," ujar Aalisha, "apakah kau punya petunjuk?"
"Sayangnya tidak, Yang Mulia. Namun, aku berasumsi jika salah satu pecahannya ada di organisasi Alastair."
Aalisha mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. Tanpa disadari Tilliana jika pentagram sihir di bawah telapak kakinya bersinar. "Tilliana Polyn, kau sangat brilian." Senyum Aalisha terukir. "Namun, kata brillian dan kecerdasan takkan cukup untuk membohongi seorang De Lune."
"Apa maksud Anda---BAJINGAN! APA YANG ANDA LAKUKAN, YANG MULIA!" Seketika rantai besi melilit kaki Tilliana, lalu besi-besi tajam keluar dari lantai kaca yang mereka pijak hingga menghancurkan meja dan kursi, lalu tubuh Tilliana terlilit rantai besi yang menempel pada tongkat besi; tampak seperti dipasung.
"Yang Mulia! Aku sudah jujur dan menjawab seluruh pertanyaan Anda!" kata Tilliana yang ketakutan karena Aalisha memanggil pedang Aeternitas-nya.
"Kau yakin sudah menjawab semua pertanyaanku dengan jujur?" kata Aalisha, tampak pedangnya bersinar biru.
"Aku bersumpah menjawab semua pertanyaan Anda dengan jujur," ujar Tilliana, tubuhnya gemetar, punggungnya merinding.
"Kalau begitu jawab jujur pertanyaanku ini, jika kau bisa menjawabnya, aku akan melepaskanmu."
"Tentu, katakan saja apa itu?" ungkap Tilliana.
"Nah, katakan padaku ...." Aalisha menatap tajam. "Di mana Tilliana Polyn yang asli kausembunyikan ataukah kau telah membunuhnya?"
Detik itu keheningan merebak dengan cepat. Sungguh tak ada jawaban dari Tilliana yang terpasung di tongkat besi, tetapi makhluk itu menatap tajam dengan mata membulat. Hal ini membuat Aalisha yakin dengan kecurigaannya. "Kau bukan Tilliana Polyn, awalnya aku tak sadar, tetapi setelah kau menyebut tentang artefak, aku mulai curiga. Hingga puncaknya ketika kau berkata jika artefaknya terbagi menjadi empat bagian dan saling memanggil satu sama lain lalu artefak liontin ini awalnya ada pada tuan Thompson."
Tilliana Polyn hanya diam.
Aalisha mengeratkan genggaman pada gagang pedang. "Bagaimana bisa kau tahu artefaknya terbagi menjadi empat bagian? Padahal yang tahu informasi ini hanyalah organisasi Alastair, Tuan Thompson, dan juga aku. Dasar kau peniru, di mana Tilliana Polyn yang asli?"
"Sudah kuduga." Perlahan-lahan makhluk yang meniru Tilliana Polyn tersebut tertawa hingga tampak gigi tajamnya ibarat gigi hiu. "Seorang De Lune memang sulit dipermainkan!"
Detik itu kengerian terjadi ketika Tilliana membuka mulutnya lebar-lebar hingga sobek, lalu puluhan serangga-serangga berbentuk monster keluar dari mulut serta seluruh tubuhnya melebur menjadi serangga mengerikan itu. Seketika menerjang tubuh Aalisha, ribuan serangga menyayat seragam hingga kulitnya, serta gadis itu tak bisa mengayunkan pedangnya saking banyaknya serangga tersebut. "Bajingan!" Ia rapalkan mantra yang sukses membakar seluruh serangga tersebut.
"Kemari kau makhluk rendahan!" teriak Aalisha.
Sekonyong-konyong dungeon tersebut runtuh ibarat kaca pecah dan kegelapan lekas menguasai, seolah-olah matahari padam dalam hitungan detik. Betapa mengenaskannya pula ketika kegelapan hampir menelan Aalisha, tiba-tiba sebuah tombak kayu tajam melesak sangat cepat ke arah Aalisha hingga membuat gadis itu tak sadar. Maka detik selanjutnya, tombak kayu itu berhasil menembus mulut Aalisha dan ke tengkorak kepala belakangnya, darah memuncrat, lalu kegelapan menutupi segalanya. Peniru Tilliana Polyn pun menghilang, lenyap dari sana, tak bersisa, dan Aalisha terbaring tak sadarkan diri.
****
Jeritan bergema dahsyat ketika darah memuncrat dan Sang Putri De Lune ambruk ke tanah dengan darah keluar dari mulutnya, lekas para murid menjauh dari sana dan menatap pada sesosok Orly, Tilliana Polyn yang perlahan-lahan tubuhnya dibalut aura hitam kemudian kabur dari taman tersebut. Detik selanjutnya, Anila Andromeda menerobos kerumunan para murid, suaranya yang tegas nan nyaring berteriak agar para murid menjauh dan segera memanggil para Orly yang berjaga di rumah sakit Eidothea.
"Kejar Orly itu!" teriak Anila, segera Kennedy dan Gilbert mengejar Tilliana meski mereka tak tahu apa yang terjadi dan mengapa Aalisha bisa terluka dan berdarah.
"Oh tidak, dia semakin mengeluarkan darah," ujar Mylo tepat berada di samping Anila yang berusaha menghentikan pendarahan tersebut.
"Harusnya tak kuiizinkan dia bicara dengan Orly itu." Anila menggigit bibirnya hingga tergores, Neith terus ia gunakan sebagai mantra pengobatan, tetapi tak kunjung menghentikan pendarahan pada Aalisha, tampak ada racun mengalir dalam tubuh gadis itu pula.
"Para Orly datang," ujar Frisca, basah kuyup akibat berkeringat dan panik. "Anila tenangkan dirimu."
Kini empat Orly segera memberikan pertolongan pertama seraya membawa Aalisha menuju rumah sakit Eidothea, sukses hal ini membuat kerumunan murid semakin banyak. Mereka sampai takut sehingga menutupi mulut dan wajah mereka dengan kedua telapak tangan karena melihat pemandangan mengerikan; Putri De Lune telah diserang Orly hingga pingsan, kini dilarikan ke rumah sakit.
"Mylo," ujar Anila seraya mengikuti Orly yang membawa Aalisha. "Kau bantu Kennedy dan Gilbert mengejar Tilliana itu. Lalu Frisca, laporkan hal ini pada profesor Madeleine atau master Arthur."
"Ya," ujar Mylo, mengusap air matanya, lalu berlari sambil menghubungi Gilbert, supaya tahu di mana posisi sahabatnya itu.
"Baiklah," kata Frisca, lekas pergi untuk mencari keberadaan profesor mereka atau siapa pun yang bisa ia temui. Sedangkan, Anila akan di samping Aalisha, ia benar-benar tak bisa meninggalkan sahabatnya itu, terlebih rasa sesak di dadanya ketika melihat Aalisha tiba-tiba ambruk dan berdarah.
"Dewi," ujar Anila, "kenapa harus dia, kenapa harus dia yang menderita!!"
Sementara itu, tanpa ada yang sadar karena para murid masih ricuh akibat putri De Lune yang ambruk. Tampak sesosok murid diselimuti jubah hitam tengah memantau keadaan sekitar, perlahan-lahan melangkah menuju koridor yang berbeda dan sangat sepi, ia lalu melepaskan tudung jubahnya karena tak seorang pun berada di sana. Kini terlihat jelas pakaiannya yang berasal dari asrama Drystan serta wajahnya yang sangat familiar itu, ya dia adalah Killian Cornelius. Perlahan ia mengenakan gelangnya dan diarahkan ke dinding koridor yang perlahan-lahan muncul cermin buram. Ia memasuki cermin tersebut, tubuhnya perlahan-lahan ditelan sang cermin, lalu ia berujar, "rencana apa yang harus kulakukan lagi?"
Siapakah sosok yang ditemui Killian Cornelius di dalam cermin misterius tersebut? Apakah pertemuan mereka akan menjadi malapetaka baru atau takdir yang harus dilalui semua orang serta bagi Putri De Lune?
Mungkinkah serangkaian kejadian yang terjadi pada hari ini, berhasil membuat Putri De Lune serta kawan-kawannya berhenti untuk melanjutkan investigasi mereka? Ataukah mereka takkan menyerah meski suatu hari akan bertemu dengan kematian?
Kini malam pun tiba dan rembulan bersinar.
"Tidak kusangka jika peniru itu berhasil kabur," ujar Aalisha, dibalut dengan piyama tidur berbahan dasar katun yang dirajut sedemikian rupa serta berwarna biru tua.
"Ya," kata Mylo sambil mengusap-usap puncak kepala Tuan Bhuncis, si kelinci mendatangi mereka ketika kehadiran Aalisha berada di dekat danau ini. "Kennedy sempat bertarung sihir dengan peniru itu, tetapi Kennedy kalah saing dan berakhir terluka juga meski tak parah."
"Ke mana peniru itu menghilang?" ujar Aalisha, melangkah pelan menuju jembatan kayu di danau tersebut, diiringi Mylo dan Anila.
"Kurasa dia bunuh diri? Karena tiba-tiba tubuhnya meledak begitu saja," kata Mylo.
"Kemungkinan karena tak mau identitasnya terbongkar jadi dia memilih bunuh diri," ujar Anila.
"Yeah, lagi pula sejak awal sudah dapat kutebak, jika tugasnya hendak membunuhku atau mengalihkan perhatian kita karena pasti ada dalang lain di baliknya." Aalisha tersenyum tipis. Ia sangat yakin, jika peniru Tilliana Polyn menyerang Aalisha, bukanlah rencana utama.
"Maksudmu, penyerangan oleh peniru Tilliana itu hanya untuk mengalihkan perhatian kita?" kata Mylo.
"Tentu saja, bukankah selalu seperti itu takdir berjalan atau adegan klise di dalam karya sastra." Aalisha melirik tuan Bhuncis yang tampak nyaman tidur dalam pelukan Mylo. "Jika pun tidak, barangkali, rencana utama adalah membuat kita goyah dan berhenti menyelidiki kasus ini. Benar bukan?" Ia menatap Anila.
"Diamlah, jujur aku sempat goyah karena kau terluka siang tadi," kata Anila.
"Dan?" Aalisha menelengkan kepalanya.
"Dan kurasa percuma menyerah, terlebih kau adalah De Lune," ucap Anila berusaha sabar. "Kau pasti takkan mundur meski jantungmu tertusuk pedang sekali pun."
Aalisha terkekeh seraya berujar, "gadis pintar." Terlihat Anila hanya diam, tak membalas, sedangkan Mylo pura-pura tak dengar dan fokus mengelus puncak kepala kelinci.
Aalisha perlahan-lahan mengeluarkan liontinnya, hendak mencoba sebuah peruntungan. "Mereka ingin kita menyerah, tapi aku takkan menyerah. De Lune, takkan pernah menghentikan peperangan, sebelum seluruh kepala musuhnya terpenggal."
Ia angkat liontinnya yang sedikit terpantul cahaya rembulan. "Mari berdoa agar alurnya klise, jadi aku bisa dengan mudah melewati semua ini dan membunuh para dalangnya secepat mungkin."
"Bagaimana dengan para profesor?" kata Anila, "kau harus menemui master Arthur dan profesor Eugenius esok hari. Kini pun jika kau ketahuan kabur dari rumah sakit, kau pasti akan dicari dan bisa mendapatkan hukuman."
"Aku lebih penasaran, kenapa mereka atau para profesor di Akademi ini tak ada yang tahu tentang peniru Tilliana atau Killian yang keluar-masuk cermin?" ujar Mylo.
Tampak Aalisha menghela napas. "Oh ayolah, bukankah seperti itu alur klisenya? Agar kita yang terlibat dan boom kita seolah-olah seperti tokoh-tokoh utama dalam karya sastra genre detektif atau kriminal yang berhasil memecahkan masalah."
Mylo dan Anila menatap Aalisha dengan alis naik sebelah, tak mereka sangka jika gadis itu sempat bercanda di saat-saat serius. "Baiklah, baiklah aku akan serius. Lagi pula, tidak segala sesuatu dapat diketahui oleh mereka bukan? Mereka bukan Dewa, meski mereka dianggap sebagai penyihir kuat, tapi masih ada kekuatan yang melebihi mereka. Apakah kalian lupa jika akademi ini banyak masalahnya, profesor Eugenius juga sibuk bolak-balik ke Kekaisaran karena kasus Aramis dan master Arthur sibuk mengatur tim khusus untuk menjalankan misi yang diterima Eidothea dari beberapa Kerajaan. Kemudian profesor Xerxes sibuk dengan urusan Keluarga Nerezza, bahkan dia mengambil cuti."
"Mudahnya Mylo, jika takdir berjalan seperti ini, maka begitulah jalannya, sulit berubah meski ada cendekiawan secerdas profesor Eugenius," ujar Anila.
"Itulah yang kumaksudkan," kata Aalisha, "bukankah aku tokoh utamanya di sini?" Ia terkekeh. "Aku Aalisha De Lune dan ketika De Lune memasuki panggungnya, maka semua mata tertuju padaku dan bertepuk tangan sekencang mungkin."
"Ya, kau De Lune," ejek Mylo, lalu terkekeh pula, "bagaimana dengan liontinnya?"
"Tampak tak berfungsi," kata Anila, "benar bukan?"
"Ya, aku sudah menduganya," balas Aalisha.
"Jadi apa yang harus kita lakukan? Kita harus sesegera mungkin mencari dalangnya selain Killian 'kan? Sebelum wabah tikus atau semacamnya menjajah kastil Eidothea," ujar Mylo.
"Seperti yang dikatakan peniru itu," ujar Aalisha, "kita harus mencari pecahan terakhir artefaknya."
"Lalu di mana kita bisa menemukannya?" ujar Mylo dengan alis bertaut.
"Dia benar, pecahan liontin ada padamu, gelang pada Killian, satu pecahan di organisasi Alastair, sehingga tersisa satu," ujar Anila.
Senyuman Aalisha terukir. "Perpustakaan ... buku bercahaya emas yang ada di perpustakaan Eidothea, kuyakin benda itu adalah pecahan artefaknya."
Mylo yang tengah duduk sambil mengusap-usap kepala tuan Bhuncis, kini mendongak, begitu pula Anila lekas menatap pada Aalisha. Gadis kecil itu memegangi liontinnya dengan senyuman yang terukir tipis, tetapi manik matanya penuh dengan berbagai macam rencana dan isi kepala yang sulit ditebak.
"Kau memang penuh kejutan, bahkan sejak pertama kali kita bertemu di kereta kuda," ujar Anila Andromeda.
"Ya," timpal Mylo Cressida, "bagaimana bisa kau punya otak cemerlang seperti ini?"
Perlahan-lahan Aalisha melirik rembulan, angin bertiup pelan membelai helaian rambut mereka, mengantarkan rasa dinding ke kulit mereka, tetapi tak membuat mereka berniat beranjak dari sana. "Otak cemerlang?" kata Aalisha tersenyum sinis. "Kurasa kecerdasan saja takkan cukup, karena aku akan melakukan apa pun agar bisa mengalahkan musuh-musuhku, termasuk berpura-pura menjadi Marionette yang mudah dikendalikan. Padahal diam-diam aku menjadi manipulator di balik layar."
Anila dan Mylo hanya diam mendengarkan. Ah, jadi seperti inilah sifat seorang Majestic Families, terutama keturunan De Lune. "Lagi pula seluruh dunia adalah panggungku untuk memainkan drama." Senyuman Aalisha terukir, ia tidak tampak seperti pahlawan, melainkan penjahat dengan seribu akal licik. "Jadi, mari menuju ke babak selanjutnya dengan drama yang dikarang oleh Aalisha De Lune, Matahari Kebanggaan Athinelon dan kesayangan takdir serta para Dewa dan Dewi ini."
Detik itu, kabut putih, berangsur-angsur menutupi tubuh mereka bertiga, menelan mereka dalam kesunyian malam yang disinari rembulan cantik, serta mengakhiri malam dan menggantikannya dengan takdir baru yang dituliskan oleh para Dewa.
Apakah takdir akan berpihak pada Aalisha dan sesuai dengan prediksinya atau harus ada kesedihan yang datang dan merenggut segalanya? Sungguh patut dinantikan.
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
|| Afterword #20
Bagaimana pertarungan antara Aalisha dengan Ixchel? Adakah yang merasa kesal sejenak karena berpikir jika Aalisha dipojokkan dan dikalahkan oleh Ixchel? Harus diingat selalu jika Aalisha selalu menganggap segala hal sebagai panggungnya untuk berakting jadi sebelum bereaksi berpikirlah berkali-kali dulu karena barangkali kalian adalah penonton yang terjatuh dalam akting sang gadis De Lune^^
Berbicara mengenai percakapan Arthur dan Aalisha jika ilusi dari kemampuan mistis Ixchel yang dilihat oleh Aalisha bukanlah monster, kira-kira apa ya yang dilihat olehnya?
Lagi, lagi, dan lagi pengkhianatan telah terjadi? Ataukah ada seseorang yang berhasil menjebak dan membunuh Tilliana? Namun, kapan hal ini terjadi? Coba cek chapter sebelumnya ....
Mengenai percakapan antara Aalisha dan Tilliana palsu, meski sang peniru tengah berbicara pada Aalisha, tetapi informasinya terdengar sangat dapat dipercaya, benar bukan? Apakah kalian termasuk yang terkejut karena Tilliana Polyn ternyata palsu?
Satu kata untuk Killian Cornelius?
Prins Llumière
Kamis, 26 September 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top