Chapter 28
|| Total chapter ini sebanyak 8.304 kata. Silakan cari posisi ternyaman untuk membaca.
|| Beri vote dengan komentar 1.000+. Jangan spam komentar yang sama. Btw, I'm dead serious about this^^ Tolong beri apresiasi dan komentar, nggak usah buru-buru karena kali ini kalian punya waktu yang panjang untuk baca bahkan bisa diulang-ulang.
|| Chapter ini mengandung adegan berdarah, pertarungan, dan kesedihan
Pagi sebelum jam pelajaran kedua, ketiga murid Arevalous yang terdiri dari De Lune, Andromeda, dan Cressida menyelinap ke perpustakaan Eidothea untuk menyelidiki kegunaan alat sihir membaca rasi bintang. Mereka juga sudah merencanakan hal ini dengan Gilbert, Frisca, serta Kennedy, mereka bertiga takkan ikut ke perpustakaan karena akan besar resikonya, jika mereka ketahuan berkumpul terutama kalau murid lain diam-diam melapor karena melihat gerak-gerik mencurigakan mereka. Lagi pula, Gilbert, Frisca, dan Kennedy diperlukan untuk pengalihan isu dari master Arthur yang akan mengajar di jam kedua dalam materi teknik sihir penyembuhan.
"Kalian yakin kalau kita akan baik-baik saja?" ujar Mylo, mereka di koridor menuju perpustakaan.
"Ya Mylo, bolos sekali takkan membunuhmu," sahut Aalisha.
"Tapi setelah ini jam pelajaran master Arthur," cicit Mylo, "kalian tahu saja 'kan, bagaimana seramnya pengajar itu."
"Jagad Dewa," ujar Aalisha kesal, "dia hanya master Arthur, aku lebih takut profesor Rosemary. Lagi pula kenapa kau sangat takut, lihat Anila, dia yang rajin saja---Anila kau kenapa?"
"Poin dan nilaiku pasti akan berkurang banyak jika aku bolos sekali saja," ujar Anila. Sukses membuat Aalisha dan Mylo menatap putri Andromeda itu dengan alis bertaut. "Tidak, maafkan aku, mari fokus karena ada yang lebih penting dari pengurangan poin."
"Yeah, lagi pula poinmu akan tetap di atas Aalisha karena dia paling banyak dapat pengurangan poin setelah bertengkar dengan master Aragon," balas Mylo.
Aalisha menatap lelaki keturunan Cressida itu setelah mendorong kacamatanya yang terturun, perlu diketahui jika hari ini gadis De Lune itu mengenakan kacamata dan mengepang sebagian rambutnya lalu diberi pita ungu. "Mylo, bagaimana pun juga, aku tetaplah Majestic Families keturunan utama jadi jaga perkataanmu."
Mylo terkekeh. "Meski kau Majestic Families, kau tetaplah sahabatku dengan Anila." Setelah perkataan itu terucap, Aalisha tak menyahut perkataan Mylo dan mereka terus berjalan dan agak cepat menuju perpustakaan Eidothea.
Memasuki perpustakaan itu yang lumayan ramai serta terdengar beberapa suara murid yang kemudian ditegur para Orly agar jangan ribut di perpustakaan. Ketika berjalan ke salah satu rak buku, para Orly terlihat membungkukkan badan mereka saat Aalisha melintas begitu pula beberapa murid yang rela berdiri dari kursi mereka, lalu membungkukkan badan atau menganggukkan kepala sebagai salam.
"Aku tak suka selalu diberi hormat seperti tadi," ujar Aalisha.
"Mereka hanya tak terbiasa," balas Anila mulai mencari buku yang berkaitan dengan rasi bintang, astronomi, dan alat sihir pembaca rasi bintang. "Kau tahu, mereka masih segan dan takut bahkan masih tak menyangka kalau De Lune punya keturunan kedua."
Aalisha menghela napas. "Aku sedikit menyesal telah mengungkapkan diriku di malam penghargaan waktu itu."
"Aku juga bertanya-tanya, kenapa kau tiba-tiba memutuskan mengungkapkan dirimu?" Mylo bantu Anila mengambilkan buku yang ditaruh di rak sedikit tinggi darinya. "Bukankah cukup kami saja?"
"Aku sebenarnya sudah berpikir matang tentang tindakanku malam itu," sahut Aalisha, "salah satunya aku malas sekali jadi bahan perundungan lagi karenanya lebih baik identitasku mereka ketahui, meski membuat pihak keluargaku marah dan pusing terutama untuk mencegah identitasku terdengar di luar akademi."
"Sejujurnya aku setuju saja kau mengungkapkan identitasmu," ujar Anila seraya membolak-balikan halaman buku. "Kalau tidak kau lakukan, pasti sulit menyembunyikan kapasitas kekuatanmu saat berakting sebagai murid lemah terutama jika berhadapan sama tiga Majestic Families."
"Kau benar," balas Aalisha, ia tak bisa bayangkan jika hingga detik ini, identitasnya masih dikenal sebagai gadis cacat-proletar dan dihadapkan dengan berbagai macam manusia bodoh yang hendak merendahkannya.
"Butuh bantuan?" ujar Mylo lekas berjinjit hendak mengambil buku yang jauh dari jangkauan Aalisha.
"Tidak perlu," balas Aalisha, "aku bisa sendiri." Tanpa rapalan mantra, cahaya biru mengelilingi beberapa buku yang Aalisha butuhkan lalu melayang dan terbang berurutan mengikuti Aalisha ke meja di perpustakaan. Mylo lupa sesaat jika gadis itu bisa melakukan apa pun, tanpa bantuan orang lain.
Kini ketiganya sibuk membaca buku, sambil mencatat nama buku dan halaman berapa yang sekira membahas mengenai topik yang hendak mereka cari. Sayangnya tidak ada buku yang membahas detail mengenai rasi bintang dan apa kegunaan membaca rasi bintang, selain untuk penentu arah di malam hari semisal tak membawa kompas atau peta.
"Di sini tertulis kalau rasi bintang atau bintang-bintang bisa digunakan untuk membaca arah, terutama saat di gurun pasir," ujar Anila, "biasa digunakan para pengelana atau musafir. Namun, semenjak ada perkembangan sihir, orang-orang jadi jarang menggunakan pembacaan rasi bintang ini."
"Kalau di sini, rasi bintang bisa digunakan juga sebagai salah satu metode membaca ramalan," ucap Mylo seraya mencatat beberapa poin.
"Kedua hal itu adalah informasi dasar, sudah biasa digunakan bahkan di kalangan proletar," balas Aalisha, menutup bukunya karena tak ada informasi yang ia kehendaki.
"Kau benar, masalah di sini adalah profesor itu menggunakan alat membaca rasi bintang yang tak kuketahui," ujar Anila mengingat cerita Aalisha yang menjelaskan ciri-ciri alat yang digunakan profesor Prambudi. "Di kelas astronomi juga tak dijelaskan."
"Ya untuk apa juga dia baca rasi bintang, jelas-jelas dia tak tersesat di padang pasir atau dia bukan pengajar kelas ramalan 'kan?" timpal Mylo.
"Entahlah, setahuku profesor itu bukan mengajar di kelas ramalan," balas Anila seraya menatap Aalisha. "Ada yang ingin kau katakan?"
"Kau ikut ekstrakurikuler astronomi 'kan?" balas Aalisha dan dibalas anggukan kepala oleh Anila. "Seingatku, di sana ada perpustakaan juga."
"Iya, ada perpustakaan yang isinya buku-buku berkaitan dengan astronomi dan hanya bisa diakses oleh anggotanya, kalau di luar anggota harus minta izin ke ketuanya atau profesor yang mengepalai ekstrakurikuler itu," balas Anila, "salah satunya Profesor Cadwallon."
"Profesor Cadwallon," balas Aalisha dengan alis bertaut.
"Dia mengajar di kelas Astronomi juga sekaligus kepala Asrama Faelyn," ujar Anila.
"Oh jagad Dewa." Mylo menyahut sambil menatap Aalisha. "Bukankah dia yang kita lihat di asrama Faelyn bersama profesor Prambudi?" Dia kembali menatap Anila. "Aku dan Aalisha pernah melewati asrama Felyn terus melihat profesor itu dengan profesor Prambudi. Sudah beberapa minggu lalu sih."
"Benarkah?" balas Anila, "jika beberapa Minggu lalu, berarti dia sudah lama meneliti rasa bintang dengan alat itu."
"Itulah yang kupikirkan juga," sahut Aalisha, mengedarkan pandangannya karena beberapa murid menatapnya jadi ia tatap sinis agar para murid itu pergi. "Alasan aku mencurigai profesor Prambudi itu karena setahuku pembacaan rasi bintang juga dapat digunakan untuk menemukan kastil sihir yang tak terlihat atau membuka pintu menuju kastil sihir."
Sukses hal ini membuat Anila dan Mylo mengucapkan kata kastil sihir secara bersamaan, lalu Mylo lanjut berujar, "jika kastil sihir artinya kastil yang kau dan tuan Thompson masuki? Apa ini ada hubungannya juga dengan artefak termasuk si Llama yang masuk ke cermin misterius?"
"Ini hanya asumsi pertamaku saja." Aalisha mengulurkan tangan saat seekor kepik merah hingga di telapaknya. "Tapi ya, ketiganya saling berkaitan dan ada kemungkinan jika Prambudi itu hendak menemukan kastil sihir juga entah apa alasannya."
"Haruskah kita coba ke tempat itu lagi?" ujar Anila, "mencoba menemukan cerminnya?"
Alasan Anila berkata seperti ini karena beberapa hari lalu, mereka sudah dua kali coba mengecek tempat yang Killian datangi serta cermin buram muncul, tetapi berada di sana, mereka tak menemukan apa pun.
"Kelas sudah dimulai dan Arthur sepertinya tak mempertanyakan ketidakhadiran kita," ujar Aalisha dapat informasi dari kepiknya. "Kalau kalian ingin cari cerminnya, kita bisa kembali ke sana sebelum makan siang."
"Ayo," ujar Mylo, "kita harus ke sana karena aku ingin mengungkapkan apa yang direncanakan Llama sialan itu."
"Ini bukan permainan detektif atau cerita novel, Mylo," balas Anila sambil menggunakan teknik sihirnya untuk mengembalikan buku-buku ke rak.
"Dia benar." Aalisha berdiri. "Kalian dengan kesadaran terlibat hal ini jadi harus tanggung jawab dengan keselamatan masing-masing."
"Oh ayolah," balas Mylo, "selagi kita bersama, kita pasti bisa melewati banyak hal dengan selamat. Benar bukan? Kita sudah pernah bertahan hidup di hutan Kimari lho."
"Kau terlalu bersemangat, ingat kita harus tetap hati-hati," sahut Anila seraya menatap Mylo yang terlihat bahagia.
Sangat Anila pahami jika lelaki itu bahagia karena bisa berteman dengan Aalisha dan seolah-olah terlibat dalam misi penyelamatan dunia, tak bisa dimungkiri juga kalau Anila pun bahagia karena bisa menjadi teman Aalisha. Bukan karena gadis itu adalah De Lune. Namun, karena Anila memang ingin bersahabat selamanya dengan Aalisha---tidak peduli berasal dari keluarga apa dia---tentu saja dengan Mylo dan lainnya juga. Hanya saja, ada rasa takut di dadanya setelah tahu bahwa Aalisha adalah Keturunan Agung De Lune.
Rasa takut karena Anila sudah sering mendengar kisah duka para Majestic Families.
Rasa takut ketika diceritakan oleh ibunya bahwa Majestic Families selalu menemui kematian yang tragis.
Rasa takut setelah mendengar cerita dari ayahnya yang kehilangan sahabatnya yang seorang keturunan cabang De Lune
Dan rasa takutnya jika ia tak bisa lagi menggenggam erat tangan kecil Aalisha dan kehilangan sahabatnya ini untuk selamanya.
"Semua pasti akan baik-baik saja bukan?" Anila berujar seraya menggenggam tangan si gadis kecil De Lune.
"Apa yang kau bicarakan?" balas Aalisha bingung, wajahnya kesal karena tiba-tiba digenggam tangannya.
"Semoga Dewa melindungimu," ujar Anila lagi, "semoga Dewa melindungi kita semua."
"Aamiin," balas Mylo meski ia bingung karena Anila bertingkah aneh tiba-tiba. Sementara Aalisha hanya diam dan tak peduli.
****
Mereka tiba lagi di koridor yang sama dengan malam ketika Killian masuk ke cermin. Sebenarnya Killian itu tak dianggap menghilang atau dicari-cari karena dia sepertinya hanya sebentar saja pergi ke dalam cermin tersebut dan kembali di pagi hari sehingga tak seorang pun curiga padanya.
Berada di koridor ini mereka mengecek ke sekitar dan di dekat dinding tempat cerminnya muncul bahkan mengecek lenteranya. Tenang saja, tidak perlu takut kepergok karena kelas sedang berlangsung dan Aalisha sudah memerintahkan beberapa kepik, kupu-kupu, dan belalang untuk memantau keadaan sekitar mereka. Seandainya ada orang lain yang hendak menuju koridor di mana mereka berada.
"Kau berdarah," kata Mylo.
"Hanya sedikit," balas Aalisha sambil mengusap darah di hidungnya dengan sapu tangan ungu. "Hal biasa kalau menggunakan kemampuan mistis."
"Jangan terlalu dipaksakan," balas Mylo.
"Aku baik-baik saja," sahut Aalisha seraya kembali menggunakan kekuatannya dan memerintahkan para cicak untuk mengecek dinding, siapa tahu ada celah-celah yang dapat membuka pintu rahasia atau semacamnya.
"Tidak ada hal mencurigakan," ujar Anila, menghela napas. Sudah hampir setengah jam mereka di koridor tersebut. Namun, tak menemukan petunjuk apa pun.
"Mungkin harus malam hari supaya cerminnya muncul," ujar Mylo mengambil botol air dari dalam Invinirium-nya.
"Tidak, bukan itu alasannya, kurasa cerminnya bisa muncul karena Killian menggunakan artefak gelangnya," ujar Anila.
"Aku juga berasumsi yang sama, meski aku tak melihatnya melalui kedua kupu-kupumu malam itu, tetapi pasti dia gunakan artefak itu untuk menjadi kunci dan mendatangkan cerminnya," jelas Aalisha.
"Oh Dewa, kita percuma saja di sini karena kita tak punya artefaknya," balas Mylo, "lalu kalau benar dengan menggunakan artefak gelang itu dia masuk ke cermin misterius. Berarti setelah kejadian kita tertarik ke masa lalu dan ada wabah tikus, Killian sebenarnya sudah mendapatkan artefaknya?"
"Inilah masalahnya, dia mendahului kita, ternyata dia mendapatkan kembali artefaknya," balas Anila, "putra Marquess Cornelius itu benar-benar menyusahkan."
"Atau artefaknya yang mendatangi Killian," sahut Aalisha.
"Memangnya bisa begitu?" sahut Mylo.
"Apa yang tidak bisa jika berkaitan dengan sihir terutama jikalau sihir kuno," balas Aalisha sambil menatap lurus ke koridor.
"Kurasa satu-satunya petunjuk adalah dengan bertanya pada Tilliana," ujar Anila, "Orly itu satu-satunya saksi mata."
"Namun, kenapa dia hanya diam? Kenapa dia membiarkan seorang murid masuk cermin misterius, bisa saja jika ada hal berbahaya yang menimpa akademi ini karena dibiarkan perbuatan Cornelius itu," sahut Mylo.
"Mylo, apakah kau lupa." Aalisha berujar, "seorang Orly meski dianggap Servant Spirit, mereka juga punya tujuan tertentu, terlebih lagi tak heran jika seorang Orly berkhianat atau jahat jadi jangan heran kalau mereka terkadang membiarkan malapetaka datang kemari."
"Apakah tak ada yang bisa kau lakukan? Mungkin Tilliana akan menuruti perintahmu," ujar Anila.
"Inilah yang hendak kucoba, meski keberhasilannya kecil," balas Aalisha, "nona Tilliana, ini aku Aalisha De Lune, aku memintamu untuk menghadap padaku, sekarang juga."
Hening menyeruak, angin sepoi-sepoi bertiup, mengusap rambut ketiga murid tersebut, ketika memasuki menit kelima, tak kunjung juga Orly tersebut muncul.
"Sudah kuduga, dia tak mau muncul, meski aku yang panggil," balas Aalisha sedikit membuat lelucon. "Mungkin dia masih sakit hati setelah kutolak undangan minum tehnya dulu atau karena aku bukan masternya jadi dia enggan menurutiku."
"Kalau begitu, kita minta masternya yang memanggilnya," balas Mylo.
"Kurasa mustahil," sahut Anila.
"Apakah kau bodoh, Mylo? Kita bahkan tidak tahu siapa Masternya lalu beberapa Orly di Akademi ini juga ada yang tak punya Master karena tak mau membuat kontrak. Meski begitu diperbolehkan tinggal di Akademi ini dan bekerja di sini," kata Aalisha, "lagi pula, aku bukan keturunan Von Havardur yang dihormati seluruh Orly di dunia dan dapat memerintah Orly lain meski sudah memiliki master."
"Baiklah, kalau begitu, kita tak ada petunjuk dari Tilliana," sahut Mylo menghela napas karena tak punya petunjuk lain. Mereka juga kalau hendak langsung ke hadapan Killian pasti masalahnya semakin runyam.
"Kita sudahi investigasinya, lanjutkan hari lainnya karena sebentar lagi makan siang," ujar Anila.
"Kau benar." Aalisha berbalik, jubahnya sedikit tertiup angin. "Masalah Tilliana bisa ditunda, barangkali dia belum mau menemuiku. Aku juga malas gunakan kekerasan. Saat ini harus fokus pada informasi mengenai pembacaan rasi bintang karena aku punya firasat buruk andaikan benar jika Prambudi itu memang mencari kastil sihir."
Anila dan Mylo menatap sesaat pada Aalisha. Pasti karena gadis itu punya banyak pengalaman jadi dia dengan tenang menghadapi semua ini bahkan bisa memberi perintah dengan terstruktur dan tahu mana prioritas yang harus mereka lakukan.
****
Undangan minum teh secara dadakan dari profesor Ambrosia ketika makan siang jadi atas inilah, Aalisha, Anila, dan Mylo berada di salah satu taman dalam Akademi yang dekat dengan kuil yang dijaga oleh Elijah.
Kini mereka duduk di kursi putih, lalu meja lumayan panjang diselimuti taplak warna putih berenda, di atasnya ada cangkir cantik yang memiliki ukiran bunga lily, teko cantik berisi teh, beberapa kue kering, serta sepiring daging domba disiram bumbu lezat yang penuh citarasa.
"Makan yang banyak Nona Aalisha," ujar Ambrosia yang duduk di samping Aalisha. Depannya ada Anila dan Mylo sementara di samping Mylo adalah Lilura.
"Porsiku sudah cukup," balas Aalisha seraya memotong daging dan memakannya lagi.
"Itu tidak cukup," sahut Ambrosia, mengambil sepotong daging domba lagi dari dalam mangkuk porselen lalu ditaruh ke piring Aalisha. "Kau harus makan banyak karena masih dalam masa pertumbuhan."
"Dia benar," timpal Lilura, "perbanyak makan terutama yang bergizi agar tinggimu bertambah juga."
"Maaf, Anda berkata apa tadi?" sahut Aalisha, "ini sudah porsiku dan jangan membahas tinggi badan di depanku."
"Aalisha memang porsinya sedikit," kata Anila jadi penengah sebelum terjadi pertikaian. "Dia lebih suka camilan."
"Pantas saja kau seperti kekurangan gizi," sahut Lilura seraya tersenyum.
"Kau ingin aku merusak mulutmu itu?" balas Aalisha.
"Hey, hey, berhenti, jangan bertengkar lagi," ujar Ambrosia, merasa lelah karena pertengkaran ini, tetapi lucu juga seorang De Lune mau berinteraksi dengan mereka bahkan bersikap layaknya anak-anak remaja.
Percakapan kemudian berganti dengan beberapa percakapan membahas keseharian ketiga murid tersebut, mereka terpaksa menjawab karena Ambrosia terus bertanya, sebenarnya Aalisha yang terpaksa menjawab karena Anila dan Mylo terlihat menikmati makan siang hari ini. Anila bahkan menceritakan kesehariannya jika di rumah saat liburan sekolah, salah satu kesukaannya adalah merajut bersama ibunya dan pergi berbelanja ke kota dengan naik kereta kuda.
Sementara itu, Mylo bercerita kalau di rumahnya sangat ribut dan riuh, terutama harus satu atap terus-menerus bersama kedua saudaranya yang menyebalkan, lalu ibunya, Viscountess Cressida sering sekali mengomel jika anak-anaknya malas makan, sibuk main, malas mengerjakan pekerjaan rumah, atau menghancurkan kebun. Meskipun begitu, ada satu hal yang Mylo senangi ketika di rumah yakni memasak kue bolu atau camilan untuk keluarganya dan makan bersama di ruang tamu dan ditemani perapian ketika cuaca dingin.
"Jadi kau pandai memasak?" ujar Ambrosia, sungguh tak ia sangka jika murid kecilnya ini pandai memasak.
"Benar, dia pernah masak kue bolu di asrama kami," timpal Anila.
"Aku tak anggap diriku pandai, tapi bisa memasak beberapa makanan dan camilan," ujar Mylo, "aku masih perlu banyak belajar."
"Itu jauh lebih bagus," balas Lilura, "dibandingkan Ambrosia yang selalu gagal jika memasak, beruntung dia pintar membuat teh."
"Lilura!" balas Ambrosia, sangat malu karena ketahuan tak pandai masak di hadapan ketiga muridnya.
"Itu kenyataannya, setiap belajar masak, kau hampir membakar kompor dan dapur, membuat teh saja harus aku ajarkan dan sambil melihat buku," ujar Lilura, sengaja ia bercerita hal ini. "Bahkan kue kering dan bolu di sini saja, aku yang memasaknya."
"Diamlah dan tutup mulutmu, kumohon." Ambrosia menutup wajahnya yang memerah dengan kedua tangannya sementara Anila dan Mylo terkikik kecil, sedangkan Aalisha hanya diam, tak menggubris, fokus menikmati tehnya.
"Aku bingung, kalau aku tak ada atau kau sudah menikah dan aku lepas darimu, siapa yang akan memasak makanan jika kau berusaha membakar dapurnya." Lilura berucap lagi dan semakin menohok. Ternyata boneka ini, mulutnya tak bisa dihentikan.
"Sudah cukup, Lilura." Suara Ambrosia meninggi, wajahnya semakin memerah. "Lagi pula aku tak berpikiran untuk menikah dan kau takkan pergi ke mana pun kecuali bersamaku."
Lilura terkekeh, lucu sekali melihat wajah malu dan kesal Ambrosia di saat bersamaan. "Padahal aku ingin melihat kau punya anak." Ia sengaja berkata untuk menggoda Ambrosia.
"Apakah Anda belum punya calon?" Mylo berucap, sukses membuat Anila, Lilura, bahkan Aalisha tersentak sementara Ambrosia mendongakkan wajahnya.
"Sayangnya tidak, aku belum memutuskan untuk ke jenjang pernikahan," ujar Ambrosia, jantungnya berdebar kencang.
Bohong, Aalisha dan Lilura membatin dalam hati.
"Kalau pria yang Anda suka, apakah ada?" ujar Anila.
Ambrosia lekas menjawab dengan gugup. "Tidak ada, aku tak suka pria mana pun."
Bohong lagi, Aalisha dan Lilura membatin dalam hati.
"Kenapa kalian berdua senyam-senyum?" ujar Ambrosia menatap pada Lilura lalu Aalisha.
"Tidak," balas keduanya bersamaan sementara Ambrosia hanya memicingkan mata. Lalu berdiri dari kursinya setelah ada pesan melalui Cyubes. "Tunggu sebentar, aku harus berbicara dengan beberapa muridku." Dia pergi karena ada lima murid angkatan keempat mencarinya.
Aalisha, Anila, dan Mylo menatap kepergian profesor Ambrosia. Lalu beralih ke nona Lilura setelah beberapa saat tak ada obrolan. "Bolehkah aku bertanya?"
"Silakan Nak, tapi aku takkan menjawab jika bertanya mengenai Ambrosia yang tak mau menikah dan sebagainya," ujar Lilura.
Anila menggeleng. "Aku hendak bertanya mengenai pembacaan rasi bintang. Apakah membaca rasi bintang bisa digunakan untuk mencari kastil sihir?"
Lekas Lilura menatap tajam. "Kenapa bertanya hal ini?"
Anila berujar lagi supaya Lilura tidak curiga. "Aku ikut ekstrakurikuler Astronomi dan aku pernah mendengar beberapa kakak tingkat membahas Kastil sihir dan rasi bintang jadi aku penasaran, hanya saja malu bertanya pada mereka. Barangkali Anda tahu."
Lilura tak curiga karena Andromeda yang berkata seperti itu jikalau Aalisha, patut dicurigai. "Jawabannya adalah ya, layaknya rasi bintang yang juga bisa digunakan untuk membaca ramalan."
"Bagaimana konsep dan metodenya? Apakah ada alat khusus yang digunakan juga?" balas Mylo.
Lilura berujar, "ada, nama alatnya adalah Arcve Sidere Acus, alat ini digunakan untuk mencari benda yang punya jejak sihir atau dikelilingi sihir tersembunyi dengan bantuan melihat rasi bintang. Mudahnya seperti menemukan harta karun yang ternyata harta karunnya memiliki energi sihir kemudian terkubur di dalam tanah atau padang gurun, maka dengan bantuan alat ini, seseorang bisa menemukan harta karun tersebut. Hal ini sama pula untuk menemukan kastil sihir yang tak terlihat atau menemukan pintu gerbang kastilnya."
"Apakah dengan alat ini, langsung bisa ditemukan harta karunnya?" ujar Anila.
"Tentu saja tidak, seseorang yang menggunakan alat ini harus paham mengenai Astronomi dan perbintangan. Termasuk paham jenis rasi bintang apa yang ada di wilayah di mana ia hendak menemukan harta karun tersebut." Lilura menggerakkan tangannya, muncul cahaya membentuk salah satu rasi bintang.
"Salah satu dasar membaca rasi bintang untuk menemukan harta karun itu adalah paham apa saja empat bintang yang digunakan sebagai petunjuk arah mata angin. Misalnya Ursa Major, ini rasi bintang yang berarti beruang besar. Rasi bintang ini dijadikan sebagai patokan untuk menunjukkan arah Utara. Biasanya berada tepat di atas kutub utara sepanjang tahun. Jadi kalau seseorang di wilayah Utara, harus melihat rasi bintang Ursa Major ini sebagai dasar mencari harta karunnya."
Lilura menggerakkan jarinya. Kini rasi bintangnya berubah lagi. "Lalu apakah cukup dengan satu rasi bintang saja, tentu tidak karena seseorang harus lagi mencari rasi bintang lain yang ada di wilayah tersebut, jika di Utara ada Ursa Major, maka harus mencari rasi bintang lagi di sana yakni Capheus. Setelah itu melakukan pengamatan setiap malam pada rasi bintang tersebut apakah ada perubahan sesaat, cahayanya bersinar dengan warna berbeda, serta mengamati tanda-tanda jika terdeteksi sihir misterius."
"Mengapa bisa harta karun ini atau kastil sihir berkaitan dengan rasi bintang?" ujar Aalisha.
"Mudahnya adalah alam dan semesta selalu lebih kuat dari sihir itu sendiri, jadi ketika mata manusia tak bisa melihat harta karun atau kastil yang disembunyikan menggunakan sihir, maka melalui rasi bintang hal itu terlihat." Lilura menatap Aalisha. "Jadi rasi bintang di sini bisa dijadikan dua metode, pertama sebagai peta menunjukkan jalan menuju harta karun atau kastil sihir. Kedua adalah rasi bintang sebagai cermin yang bisa memantulkan bayangan dari harta karun atau kastil sihir. Setelah semua dasar dan metode terpenuhi, maka di alat Arcve Sidere Acus, akan muncul petunjuk harta karun atau kastil yang hendak kita temukan."
Kini mereka bertiga paham meski jika dipikirkan ulang, metode menggunakan rasi bintang ini sangat ribet dan rumit. Anila berujar, "semisal seseorang menemukan kastilnya, apakah langsung bisa dia masuk ke dalam kastil tersebut?"
"Tergantung dari jenis kastilnya, ada kastil sihir yang jika ditemukan gerbang atau pintunya, maka bisa langsung masuk ke dalam kastil tersebut. Ada juga yang harus menggunakan kunci khusus layaknya jika kita menggunakan Iapthae Portae atau gerbang teleportasi. Sudah cukup menjawab?"
Ketiga murid tersebut mengangguk termasuk Aalisha yang entah mengapa ekspresinya masih saja datar. "Satu pertanyaan. Semisal pintu kastil sihirnya ada di wilayah utara, tapi kastilnya ada di wilayah Timur, apakah masih mungkin?"
"Tentu saja, konsep kastil sihir sangat misterius jadi besar kemungkinan hal-hal yang kau sebutkan itu terjadi," ujar Lilura, "lagi pula, beberapa kastil sihir bisa berada di dimensi berbeda."
"Baiklah, cukup menjawab, terima kasih," sahut Aalisha.
"Ya, aku juga berterima kasih," ujar Anila dan disusul Mylo.
Detik itu ketiga murid tersebut yakin bahwa besar kemungkinan, profesor Prambudi berusaha mencari kastil sihir atau gerbangnya yang tersembunyi karena tak punya kuncinya? Karena kuncinya berada di Killian.
"Maaf, membuat kalian menunggu," ujar Ambrosia, "apa yang kalian obrolkan?"
"Kelas Astronomi," ujar Mylo, "Anila rajin sekali ikut kelas Astronomi."
"Baiklah, kalian memang harus banyak belajar," balas Ambrosia, "kalian tidak ada kelas?"
"Profesor Solana mengganti pertemuan kelas dengan membuat laporan bacaan tentang jenis tumbuhan magis," ujar Mylo.
"Baguslah. Mari lanjutkan mengobrolnya lagi" Ambrosia tersenyum tipis. "Oh ya, Aalisha, bagaimana denganmu? Apakah ada yang hendak kau cerita tentang keseharianmu di rumah?"
"Hidupku biasa saja, tidak ada yang perlu diceritakan karena aku tak ada teman mengobrol atau makan camilan di depan perapian," jelas Aalisha dan hening terdengar di sekitarnya. Mereka jadi bingung harus berujar apa untuk menanggapi Aalisha.
"Ah, kurasa jika kau---"
"Benarkah?!!!" teriak seorang Orly rambut blonde yang muncul tiba-tiba, dia Elijah. "Padahal kau sering ngomel di depan Dewa saat berdoa di kuil jika kau sangat kesal karena pamanmu."
"Elijah! Jangan seenaknya muncul!" balas Aalisha menatap sinis.
"Halo Elijah," ujar Ambrosia, "silakan ambil camilannya jika kau mau."
"Terima kasih!" Lekas Elijah mencomot lima cookies cokelat dan diraup sekali suapan.
"Apa maksudmu Paman Aalisha?" ujar Anila, sementara Aalisha memelototi Elijah agar tak buka mulut, tapi Elijah tidak mau mendengarkan.
"Pamannya sangat menyebalkan dan Aalisha jadi mengomel," jelas Elijah, "katanya sifat pamannya sama buruknya dengan master Arthur."
Terdengar Lilura terkekeh. "Maaf."
"Memang siapa Pamannya?" Mylo berucap dan Aalisha sudah tak peduli lagi.
Elijah berucap sambil mengunyah cookies lagi. "Duke Cendrillon, Owen Cendrillon De Lune, Aalisha dekat dengannya lalu aku cari tahu wajahnya dan ternyata pria yang sangat tampan dan kuat."
Seketika mereka terkejut saat Ambrosia terbatuk-batuk karena tersedak teh.
"Anda baik-baik saja?" kata Anila.
"Apakah Anda tak apa?" ujar Mylo.
"Aku baik-baik saja," ujar Ambrosia lekas meraih sapu tangan dan membersihkan mulut serta hidungnya. Kini wajahnya kembali memerah, tetapi berusaha ia menenangkan diri.
"Santai saja Ambrosia," ujar Lilura.
"Aku santai!" teriak Ambrosia, "maaf, maaf, aku hanya punya banyak pikiran. Silakan lanjutkan pembicaraan kalian."
Elijah diam sejenak ketika dia menatap Aalisha yang memberikan tatapan sinis dan tajam, jadi Elijah tak lanjut membicarakan Owen De Lune. "Oh yeah, apakah kalian tahu jika ada jenis marajha yang baru! Kali ini warna marajha-nya lebih merah dan tahan lama."
Sementara itu, di suatu tempat yang berbeda, meskipun masih di jam yang sama. Salah satu kelas di angkatan kedua, tengah melangsungkan pembelajaran di mata pelajaran sejarah, para muridnya terlihat sangat fokus. Nicaise yang rajin mencatat materi begitu pula Nathalia yang duduk di sampingnya sementara Eloise Clemence duduk sedikit di depan karena ia agak telat masuk kelas akibat membalas beberapa surat dari pihak keluarganya. Kemudian Athreus yang duduk sedikit ke pojok terlihat sibuk memainkan catur sihir yang ditaruh di dekat kakinya dan dia bermain dengan teman di sebelahnya, beruntung sekali tidak ketahuan oleh profesor mereka.
"Sekakmat," bisik Athreus ketika berhasil mengalahkan lawannya.
"Sialan," gumam Geraldine, "sudah lima kali dan kau mengalahkanku hanya dalam waktu kurang lebih lima menit, bagaimana bisa?"
"Kieran Zalana ahlinya strategi," balas Athreus seraya tersenyum tipis.
"Ayo tanding ulang," ujar Geraldine.
"Baiklah kalau kau siap kalah," bisik Athreus seraya memutar jarinya dan bidak caturnya kembali ke posisi masing-masing. "Kau lebih dulu."
Ketika Geraldine hendak memulai permainan, dia terhenti karena bidak catur mereka bergoyang, kini lantai kelas ini terasa bergetar juga seperti akan ada gempa yang datang. "Sialan, apa yang terjadi?" ujar Athreus.
"Ada gempa!!!" teriak salah satu murid di kelas tersebut karena lampu gantung terlihat bergoyang dan seolah-olah hendak jatuh.
"Bukan gempa," ujar Eloise.
Nathalia berdiri. "Asalnya dari luar!"
Seketika getaran di kelas tersebut semakin besar hingga detik selanjutnya, tiba-tiba muncul pentagram sihir hitam di langit-langit kelas, terasa sangat panas, lalu dalam sekejap saja, serangan api yang maha dahsyat membakar kelas tersebut beserta seluruh isinya. Namun, sebelum benar-benar membakar para murid, Athreus, Nicaise, dan profesor Wahlberg---guru sejarah mereka---lekas menciptakan pelindung dari Neith kemudian Eloise menggunakan kemampuan mistisnya untuk mengendalikan api tersebut dan memadamkannya.
"Ada gempa lagi," teriak Leticia yang duduk di samping Eloise.
Detik itu, para murid terkejut bukan main saat ekor besar dan tajam seekor Wyvern berhasil menghantam pintu kelas hingga menyeret dinding kelas dari arah luar yang membuat dinding batu rusak. Terlihat sang Wyvern pergi dari sana, tetapi ekornya terus menyeret dan menghancurkan dinding bahkan dia menyemburkan api tak terkendali hingga membuat beberapa murid terkena luka bakar.
"Kalian bertiga, jangan pergi begitu saja!" teriak profesor Wahlberg karena tiga Majestic Families lari dari kelas dan mengejar si Wyvern.
"Oh Dewa," gumam Nathalia, "ada masalah apalagi di Akademi ini."
Beralih ke taman dalam akademi, terlihat Alisha dan lainnya masih menikmati pesta teh kecil yang kini Elijah lah yang memimpin obrolan, dia bercerita banyak hal dimulai dari bercerita mengenai beberapa murid ketakutan ketika di kuil tempatnya berjaga karena Elijah sering muncul tiba-tiba, lalu banyak murid enggan mengenakan Marajha karena berpikir jika Marajha hanya digunakan oleh orang sudah menikah, padahal bisa digunakan siapa pun setelah berdoa bahkan setiap hari tanpa harus berstatus menikah, ia juga bercerita jika diberi liburan oleh profesor Eugenius jadi dia memilih pergi ke kastil berhantu.
"Kastil hantu?" ujar Mylo, "benar-benar hantu atau Orly menyamar jadi hantu?"
"Hantu beneran!" teriak Elijah, dia mengingat liburannya. Saat itu dia menyamar menjadi manusia, tak mengatakan jati dirinya sebagai Orly. "Jadi rumornya, kastil tersebut milik keluarga bangsawan yang mati dibantai pasukan iblis, lalu ada satu pria yang kematiannya sangat mengenaskan hingga kepala dan tangannya buntung, dia tak terima mati jadi arwahnya bergentayangan di kastil tersebut berusaha mencari kepala dan kedua tangannya. Namun, tak pernah ketemu. Akhirnya dia mulai menargetkan kepala dan tangan orang-orang yang berkunjung ke kastil itu!"
"Dan kau suka pergi ke tempat itu?" ujar Anila.
"Tentu saja! Aku senang dengan hal-hal berbau horor dan seram!" Elijah meraup banyak cookies.
"Mirip Lilura, dia juga terkadang minta berkunjung ke tempat angker," balas Ambrosia.
"Dia sendiri termasuk angker," gumam Mylo.
"Barusan kau bilang apa, Nak?" Mata bulat dan besar Lilura menatap pada Mylo.
"Maaf, aku tak bermaksud menghina, hanya spontan saja," balas Mylo jadi ketakutan.
"Aku memang seram, tapi aku tak sejahat hantu," sahut Lilura.
"Ya yang jahat adalah Sillavana Yinrieth," ujar Aalisha yang membuat Ambrosia serta lainnya hening.
"Syukurlah saat itu kau selamat," ujar Ambrosia.
"Hmm." Aalisha meraih cangkirnya lagi, enggan membalas lebih lanjut.
Ambrosia menepuk tangan. "Baiklah kurasa pesta kecilnya kita akhiri di sini karena sudah hampir jam tiga---semuanya berlindung!"
Maka ledakan besar hampir menghanguskan mereka jika Ambrosia tak membuat pelindung dengan cepat. Kini mereka terkejut dan menatap pada pentagram hitam besar, bersinar ungu-kehitaman, lalu perlahan keluar kepala naga warna hitam dengan manik mata merah menyala, seketika kepala naga itu membuka mulutnya dan hendak menyemburkan api hitam yang perlahan-lahan berubah menjadi racun mematikan.
"Aalisha, Lilura!" teriak Ambrosia memberi komando karena tahu jika dua orang itu yang kemampuannya lebih kuat, dibandingkan Anila, Mylo, serta Elijah.
Lekas Lilura melayang dari kursinya, merentangkan kedua tangannya dan memunculkan pentagram merah muda, begitu pula Ambrosia, sementara Aalisha berdecak sebal seraya mengarahkan tangannya ke depan yang perlahan muncul pentagram biru tua. Maka ketika mulut naga menyemburkan api hitam serta racun, serangan tersebut tak melukai mereka sedikit pun karena dilindungi selubung Neith dan pentagram merah muda menyerap api tersebut. Sedangkan Aalisha menggunakan kekuatannya, rantai besi hitam seketika menjerat kepala naga tersebut hingga melilit moncong mulutnya, perlahan tertutup rapat lalu kepala naga beserta pentagram hitamnya ditarik paksa masuk pentagram Aalisha hingga lenyap tak bersisa. Mereka berhasil selamat.
"Serangan dari mana itu?" ujar Mylo dan Elijah secara bersamaan.
"Apakah ada musuh?" Anila berujar seraya menggunakan mantra untuk menghilangkan asap di sekeliling mereka.
"Kurasa itu serangan dari Wyvern yang akademi ini pelihara," ujar Lilura, "bagaimana menurutmu, Nak ...."
Hening menyeruak, ketika mereka melihat si gadis De Lune terdiam dengan manik mata menatap lurus, tetapi ia tak terlihat sedih, melainkan ada air mata tergenang di pelupuknya. Perlahan Aalisha mengepalkan kedua tangannya lalu tanpa berujar apa pun, gadis itu langsung berlari dari sana.
"Aalisha, kau mau ke mana?!!!" teriak Anila.
"Nona Aalisha!" teriak Ambrosia juga ketika Aalisha langsung berlari ke dalam koridor. "Hey, kalian berdua!!!" Kini Anila dan Mylo juga berlari mengejar Aalisha.
Lilura menatap pada Ambrosia. "Anak itu menangis."
"Elijah, minta para Orly untuk siap siaga dan amankan para murid," ujar Ambrosia.
"Siap laksanakan!" teriak Elijah seraya hormat lalu menghilang.
"Ayo Lilura kita datangi para pengajar yang lain!" Lekas Ambrosia menggendong Lilura. "Ini akan jadi bencana karena profesor Eugenius dan yang lain lagi tak ada akademi."
"Tapi kurasa Arthur sebentar lagi kembali," ucap Lilura.
"Ya, kuharap dia lekas sampai." Maka keduanya pergi dari sana meninggalkan pesta teh kecil yang belum selesai sepenuhnya.
****
Kehebohan terjadi dan membuat banyak murid ketakutan serta terpaksa lari dari kelas karena bermunculan pentagram sihir hitam yang menyemburkan api hingga meledakkan kelas mereka, beberapa murid berhasil melindungi diri, ada pula yang terkena sedikit abu hitam, atau luka bakar, tetapi lekas disembuhkan. Sementara itu, sepanjang koridor, terlihat dinding-dindingnya rusak, tergores, bahkan hancur hingga batu dindingnya berjatuhan ke lantai karena dihantam ekor Wyvern. Kini serangan tak terkendali tersebut merajalela di Barat Koridor Eidothea.
"Awas serangan!" teriak seorang murid yang tubuhnya terempas jauh ketika terkena hantaman ekor Aramis.
Kemudian terukir pentagram sihir yang memunculkan tombak terbuat dari kuku tajam berwarna hitam. Lalu tombak-tombak tersebut melesak sangat cepat. Para murid lekas menggunakan sihir mereka untuk membelokkan tombak tersebut, tetapi dari arah belakang, muncul pentagram sihir yang mengeluarkan kepala naga, lekas membakar tubuh para murid tersebut hingga seragam mereka hangus, kulit mereka melepuh dan memerah, sebelum benar-benar binasa, murid angkatan atas menggunakan teknik sihir yang menciptakan air bah kemudian memadamkan api dan lekas menyerang Aramis yang kini meraung-raung lalu berlari pergi dari sana.
"Cepat tolong yang terluka!"
"Bawa yang pingsan dari sini!"
"Cari tempat perlindungan, jangan berada di sisi Barat Koridor!"
Sayangnya, teriakan terdengar lagi yang mereka mendapatkan informasi bahwa di sisi koridor lain, terus bermunculan pentagram hitam mengeluarkan kepala naga dan menyemburkan api hitam-keunguan yang sukses membuat banyak murid terluka bahkan ada yang kulitnya melepuh hingga hampir meleleh karena racun, beruntungnya lekas disembuhkan murid lain dan para Orly.
"Kurasa Wyvern itu bukan Wyvern biasa," ujar murid lainnya yang membawa informasi dari seorang Orly. "Wyvern itu masih punya hubungan darah dengan salah satu Elder Wyvern, meski sepertinya cacat karena berdasarkan informasi ini kalau Wyvern itu harusnya punya dua kepala, bukan hanya satu."
"Bajingan!" Kakak tingkat tersebut sangat marah. "Siapa pun yang masih bisa bertarung! Lekas tangkap dan lumpuhkan atau bunuh Wyvern itu sebelum lebih banyak murid yang terluka!!!"
Kengerian terasa ketika banyak murid terluka karena seekor Wyvern yang tak disangka merupakan Wyvern yang masih ada garis keturunan dari Elder Wyvern di Athinelon. Maka detik itu, para murid berusaha bertahan hidup dari serangan Aramis yang sangat tidak stabil, muncul pentagram di mana-mana yang mengeluarkan kepala naga dan menyemburkan api serta racun, tombak kuku berhasil menembus beberapa kaki dan tubuh para murid hingga mereka ambruk dan berdarah-darah, bahkan terdengar jeritan para murid yang meminta bantuan karena kini cahaya ungu menjerat kaki mereka kemudian ditarik menuju pentagram sihir dan kepala naga hendak memakan mereka.
"Athreus, Nicaise!" teriak Eloise, maka dengan kedua pedangnya, Athreus membelah rantai besi tersebut kemudian Nicaise menggunakan sihir yang berhasil melenyapkan puluhan pentagram sihir tersebut sementara Eloise menggunakan mantra anginnya dan mengempaskan tubuh Aramis hingga terpental dan menabrak dinding.
"Naga biadab!" Eloise tersentak karena pentagram hitam muncul tepat di depan wajahnya, hampir saja ia habis dilalap api jika tak menggunakan kemampuan mistisnya. "Kemari kau!!"
Raungan Aramis terdengar sangat kencang lalu dia terbang dan menghancurkan langit-langit koridor kemudian dengan mulut berasap, dia menyemburkan api maha dahsyat yang ibarat tsunami api tengah menerjang ke arah mereka semua yang ada di koridor tersebut.
"Euanescit!" Rapalan mantra tersebut berhasil membuat tsunami api Aramis berubah menjadi uap panas yang membumbung dan memenuhi koridor. Hanya saja, serangan tersebut tetap berhasil melukai beberapa murid yang kini berguling-guling di lantai karena luka bakar.
"Cepat kejar Aramis," teriak Nathalia yang muncul entah dari mana dan lekas menolong para murid yang tergeletak di lantai. "Aku akan tangani yang terluka!"
"Jaga dirimu," ujar Nicaise.
Maka ketiga Majestic Families berlari keluar menuju gerbang Utara akademi Eidothea karena Aramis terbang ke arah Utara. Berada di luar ternyata semakin kacau karena Aramis terus-menerus membakar atap serta dinding bahkan pepohonan dan semak-semak. Hal ini sukses membuat Eloise sangat kesal karena harus memadamkan api sementara Athreus dan Nicaise lekas mengejar Aramis.
"Aramis berhenti mengamuk!" teriak Athreus yang kini mengejar Aramis dan menggunakan mantra menciptakan rantai, lalu menjerat tubuh Wyvern tersebut, tetapi rantainya hancur. "Kenapa dia jadi sekuat itu."
"Awas!" teriak Nicaise ketika pentagram hitam muncul lagi. "Caeli Scutum." Nicaise menciptakan perisai terbuat dari angin yang berhasil menghalau tombak kuku Aramis, lalu mantra anginnya menyerang Aramis dengan berubah menjadi tombak juga, tetapi semua tombaknya malah terbakar menjadi api yang kini serangan api berbalik arah menyerang Nicaise dan Athreus bahkan tersebar ke segala arah hingga menembus atap-atap menara dan terbakar lagi.
"Ignitio!" Athreus berteriak dan kedua pedangnya aktif serta bersinar biru, maka dia mengayunkan kedua pedangnya, maka serangan cepat mengarah pada Aramis yang berhasil membuat tubuh Wyvern tersebut tersayat-sayat dan berdarah-darah.
"Venenum Nigrum Ignem!" Terdengar suara berat dan serak, berasal dari Aramis.
"Sialan, dia bicara di kepala kita!" teriak Nicaise, "awas api beracun!"
Ibarat air terjun dari langit, maka api hitam menyembur yang perlahan menjadi ungu karena mengandung zat beracun. Lekas Athreus dan Nicaise merapalkan mantra untuk membuat pelindung. Namun, tiba-tiba Eloise muncul dari antara mereka berdua seraya menunjuk Aramis.
"Special Technique, Clemence Family, Aquamerium Sancta Purificat." Teknik sihir hydrokinesis tersebut menciptakan gelombang air yang dapat memurnikan berbagai macam zat dalam sebuah sihir, perlahan berhasil melenyapkan api racun Aramis hingga racunnya hilang kemudian menerpa tubuh Aramis ibarat tsunami yang perlahan menyelimuti tubuhnya. "Alta Glacies!" Lalu gelombang air pemurnian tersebut perlahan membeku dan membentuk gunung setinggi tubuh Aramis, memerangkap Aramis dalam gletser es yang sangat dingin.
"Teknik yang hebat," puji Nicaise.
"Kenapa kau di sini? Bagaimana dengan menara yang terbakar?!" teriak Athreus.
"Para Orly yang memadamkannya." Perlahan Eloise membulatkan matanya karena esnya retak. "Sialan, apakah naga itu gila?! Dia meretakkan teknik esku---apa-apaan kau bocah, De Lune! Jangan menyentuhku!"
Nicaise dan Athreus terkejut karena Aalisha De Lune muncul begitu saja dari belakang mereka, kini gadis pendek itu mencengkeram lengan jubah Eloise dan menggoyang-goyangkannya seperti anak kecil anak kecil yang merengek. "Lepaskan Aramis dari gletser esmu! Cepat!! Lepaskan dia, dia kesakitan! Lepaskan Aramis, cepat!!"
"Kubilang, jangan sentuh aku!" raung Eloise langsung mengempaskan tubuh Aalisha. "Aku harus membunuh naga bodohmu itu!"
"Alta Glacies ...." Tangan Eloise bergetar saat dia berusaha untuk menghimpit tubuh Aramis dengan menggunakan es yang semakin padat dan dingin lalu muncul tombak-tombak es yang perlahan-lahan menusuk tubuh Wyvern tersebut. Menggores kulit tebalnya, hingga gletser es itu memerah.
"Lepaskan dia!" teriak Aalisha, "kau menyakitinya! Eloise Clemence!"
Eloise malah merapalkan mantra berbeda yang kini gletser es tersebut mengandung senyawa korosif yang membuat kulit Aramis meleleh, mulai terdengar raungan rasa sakit Aramis di sela-sela gletser es yang perlahan retak lagi. "Naga itu harus mati!"
"Aku bilang, lepaskan dia!!!" teriak Aalisha, "Igniesco!" Seketika ia menggunakan mantra dan menyerang Eloise hingga ledakan terjadi, gadis itu terempas karena tak sempat menghindar, dan tubuhnya menghantam tanah.
"Bocah biadab, berani kau menyerangku!" teriak Eloise. Namun, ia terdiam beserta yang lain ketika cahaya hitam mengelilingi gletser es miliknya hingga ledakan dahsyat terjadi ketika Aramis berhasil membebaskan diri.
Raungan Wyvern itu menggelegar ke seluruh langit Eidothea ketika ia mulai melebarkan sayapnya yang bermunculan pentagram hitam di sekelilingnya kemudian melancarkan serangan bola api hitam tak terkendali ke Eidothea hingga membuat banyak atap menara terbakar lagi dan rerumputan hangus hingga asap hitam membumbung. Kepakan sayap besarnya berhasil menghasilkan angin kencang yang membuat keempat Majestic Families harus membuat pertahanan karena tubuh mereka hendak terempas mundur.
"Semua salahmu, bajingan De Lune!" teriak Eloise yang dilindungi pentagram-nya agar tubuhnya tak terempas lagi. "Naga bodoh itu punya garis darah dari naga kuno! Dia harus dibunuh!"
"Aalisha," teriak Nicaise, "cukup, Aramis akan terus mengamuk!"
"Aku bisa menenangkannya!" Maka Aalisha bergerak maju dan menggunakan kemampuan mistisnya hingga darah menetes di hidungnya, tetapi Aramis malah melancarkan serangan api hitam pada Aalisha hingga gadis itu terkena ledakan dahsyat.
"Cukup!" teriak Eloise, "ayo bunuh makhluk sialan itu!" Eloise memunculkan senjata magisnya.
"Ya, ayo selesaikan sebelum banyak korban jiwa," ujar Nicaise perlahan-lahan memanggil senjata magisnya. "Athreus, fokus." Ia berkata seperti itu karena sejak tadi Athreus hanya diam.
"Baiklah," ujar Athreus, melangkah setelah mengganti senjatanya. "Wyvern itu harus dilumpuhkan."
Detik itu pertarungan mereka melawan Aramis yang dengan kemampuan Wyvern tersebut membuat densitas Neith di lokasi mereka jadi sangat rendah, bahkan awan-awan berubah hitam seolah-olah awan cumulonimbus mulai merajalela. Maka ketika Aramis melancarkan serangan api hitam dan petir ungu, ketiga Majestic Families beringsut maju.
Terlihat Eloise mengangkat tinggi pedangnya sambil merapalkan mantra. "Ignis Rosa Imbrem." Pedang magisnya dikelilingi bunga mawar api yang ketika ia ayunkan ke arah Aramis, maka dari langit, jatuhlah dengan cepat api yang dikelilingi bunga mawar berduri kemudian melalap tubuh Aramis. Suara raungan rasa sakit menggelegar ketika api membakar tubuhnya bersamaan duri-duri bunga mawar menyayat kulit tebalnya.
Di sela-sela serangan Eloise tersebut, Aramis melancarkan serangan balik, tetapi berhasil ditepis Nicaise seraya merapalkan mantra. "Acuti Ventus Anulum." Muncul empat bola putih dari angin berputar di sekitar Aramis yang seketika angin tersebut berubah menjadi serangan yang menyakitkan ketika cicin angin yang bergerigi menyerang tubuh Aramis berulang kali hingga darah menetes ke rerumputan.
Meskipun begitu, Aramis berteriak seraya melancarkan serangan berupa kuku tajam yang dilapisi petir dan racun, serangan tersebut berhasil menembus tanah dan membuat tiga Majestic Families terdesak, tetapi Athreus lekas mengangkat pedang magisnya seraya berucap, "Special Technique, Athreus Kieran Zalana, Duo Ferit Caedem: Magnolia."
Cahaya biru menyinari pedangnya, maka ia ayunkan pedang tersebut yang menjadi dua serangan dahsyat yang membentuk bunga magnolia kemudian menerjang cepat ke arah Aramis, dipastikan jika Aramis akan kehilangan kepalanya jika terkena serangan tersebut, tetapi dari arah lain, serangan yang bercahaya biru pula berhasil menghantam serangan Athreus hingga ledakan terjadi dan Aramis berhasil terselamatkan.
"Bocah, bodoh! Kenapa kau hentikan serangan itu!" teriak Eloise ketika menatap Aalisha yang melangkah pelan dengan pedang Aeternitas-nya yang bersinar biru.
"Aeternitas," ujar Aalisha dan tak menggubris perkataan Eloise. "Penuhi permintaanku!" Maka ia melancarkan serangan kepada ketiga Majestic Families, tetapi ditahan Athreus.
"Apa yang kau lakukan?!" teriak Athreus.
Perlahan Aalisha mengacungkan pedangnya ke arah Majestic Families. "Jika kalian hendak membunuh Aramis." Gadis itu memasang kuda-kuda bertarung. "Maka hadapilah aku dulu."
"Baiklah jika itu yang kau inginkan!" teriak Eloise, tubuhnya dilapisi Neith merah. "Dengan senang hati kulakukan dan jika kau mati, bukan tanggung jawabku!"
"Maaf Aalisha," ujar Nicaise, "kali ini kau keterlaluan karena Wyvern itu sudah banyak melukai para murid." Sementara Athreus hanya diam, tetapi dia akan menyerang juga.
Detik itu, telah terlukiskan oleh para Dewa. Ketiga Majestic Families melawan Aalisha dan Aramis. Meskipun Wyvern tersebut mengamuk tak terkendali, Aalisha harus melindunginya karena ia tak mau Aramis terbunuh atau lebih tepatnya, gadis itu menyayangi Aramis. Maka dentingan pedang terdengar bersamaan rapalan mantra yang menyerang Aramis, tetapi selalu berhasil ditepis Aalisha, ketika Aramis balik menyerang. Athreus dan Nicaise bekerja sama untuk melumpuhkan serangan tersebut serta menyerang balik, sementara Eloise Clemence terus menghadapi Aalisha hingga melancarkan serangan mantra api pada Aalisha dan gelombang air pada Aramis untuk memerangkap Wyvern itu lagi.
Keempat Majestic Families tidak terlepas dari kata terluka karena Aalisha menyayat tubuh mereka dan Aramis melancarkan serangan api hitam serta petir, begitu pula sebaliknya ketika tubuh Aalisha penuh luka karena serangan ketiga Majestic Families yang berhasil memukul mundur dirinya berkali-kali. Hal ini bahkan sukses menggores pipinya, membuat jubah Arevalous Aalisha lepas, bahkan kacamata yang ia kenakan retak dan pecah karena terkena serangan Athreus.
"Kau membuat pilihan bodoh, De Lune!" teriak Eloise hendak melancarkan serangan api tepat di tubuh Aalisha, tetapi tidak sempat ketika serangan dari arah belakang mengenai bahunya. "Jangan ikut campur, kalian makhluk rendahan!!!"
"Hey, jangan ikut campur!" teriak Nicaise ketika Anila dan Mylo muncul. "Pergi dari sini!"
"Tidak! Kami takkan meninggalkan Aalisha!" teriak Mylo lekas menyerang Nicaise dengan pedangnya.
"Kalian jangan membunuh Aramis, ada cara lain dibandingkan membunuhnya!" Lekas Anila menyerang Eloise lagi, tetapi berhasil ditepis dan hal ini membuat Eloise mengamuk.
"Jangan ikut campur! Kalian para tikus got!" Detik itu tubuh Anila dan Mylo seketika membeku, lalu keduanya ditarik paksa dengan kemampuan mistis Eloise yang menciptakan angin berbentuk tali lalu mengempaskan tubuh keduanya sejauh mungkin hingga menghantam tanah dengan sangat kuat, lalu tubuh mereka terjerat es hingga tak bisa berkutik.
"Bajingan kau!" teriak Aalisha, darah terus keluar dari hidung, ia merasakan sakit karena segelnya yang lepas, membuat rantai besi seolah-olah membakar tubuhnya!
"Special Technique, ab Orly, Fluxus Spissamentum." Nicaise menggunakan kemampuan mistisnya, meminjam teknik salah satu Orly yang pernah ia temui, lalu muncul patung kesatria dengan zirah di depan Aalisha yang sukses menyerang gadis itu, seketika tubuh Aalisha lumpuh lalu ia terempas hingga menghantam tanah, kini aliran Neith-nya jadi tak beraturan dan ia tak bisa bergerak.
"Maaf, Aalisha, tapi Wyvern itu sudah tak terkendali kekuatannya," ujar Nicaise karena Aramis terlihat sangat marah, awan hitam yang bergemuruh petir mengelilingi Aramis. Pentagram hitam besar terlihat di belakang Aramis.
"Tapi kalian tidak boleh---arghhh!!" Perkataan Aalisha terhenti saat kedua pahanya tertembus besi es dari teknik Eloise. Kini Aalisha memuntahkan darah dan air mata tergenang. "Sialan!!!! Aku benci kalian bertiga! Aku benci kalian!!"
Angin bergemuruh dan serangan Aramis mengarah pada ke ketiga Majestic Families. "Bunuh naga itu." Eloise mengomando.
Maka ketiga Majestic Families melancarkan serangan, Nicaise dengan meminjam kekuatan Orly, dia membuat Aramis tertarik ke bahwa dengan kemampuan gravitasi yang sangat kuat, lalu gelombang air menerpa tubuh Aramis kemudian diubah menjadi dingin hingga membeku oleh Eloise. Meskipun begitu, Aramis terus menyerang dengan petir ungu yang mengandung racun juga. Eloise dan Nicaise berusaha membuat serangan tersebut tertepis sementara Athreus mengangkat tinggi pedangnya yang bersinar biru tua.
"Athreus Kieran Zalana, jangan lakukan itu!" teriak Aalisha, "aku takkan memaafkanmu jika kau membunuh Aramis!"
Sesaat tangan Athreus gemetar, tetapi dia sudah memantapkan diri.
"Athreus Kieran Zalana!!" teriak Aalisha lagi, penuh rasa sakit, kesedihan, dan amarah. "Demi Dewi Aarthemisia D'Arcy, aku takkan memaafkanmu jika kau membunuh Aramis!!"
Perlahan Athreus berujar, "Special Technique, Athreus Kieran Zalana, Quinque Ferit Caedem: Magnolia."
Detik itu, waktu Aalisha terhenti, dia tak lagi merasakan sakit karena kedua pahanya tertembus besi es dan terus mengucurkan darah, tetapi karena serangan Athreus berhasil menebas sayap Aramis hingga putus dan perlahan-lahan sayap kirinya jatuh ke tanah, menciptakan suara berdebum yang sangat kuat bahkan menciptakan angin kencang.
"Serang lagi! Sebelum dia bangkit!" teriak Eloise.
Athreus mengangguk, lalu mengeratkan genggaman pada pedangnya, ia hendak menyerang lagi, tetapi seorang gadis De Lune berlari dan berdiri di hadapan Aramis yang meraung-raung kesakitan. Aalisha terlihat kacau balau, celana seragamnya memerah karena darah, ia menatap penuh amarah sekaligus kesedihan, tetapi dia tak menangis. "Jika kalian menyerangnya lagi, niscaya aku akan memenggal kepala kalian."
Tangan kanan Aalisha bersinar keemasan. Dia siap untuk memanggil Orhflaith Leucothea. Sementara Athreus kembali mengangkat pedangnya yang bersinar biru tua dan semakin kuat energi Neith-nya.
"GROAARRRGGHH!" Raungan Aramis terdengar. "Descenenus Vilaris!" Terdengar suara berat Aramis di kepala keempat Majestic Families.
Tiba-tiba tubuh mereka tertahan ketika muncul pentagram tepat di bawah kaki mereka. Sukses hal ini membuat keempatnya tak bisa berkutik sementara Aramis sebentar lagi akan menyerang. Maka ketika pentagram yang muncul lagi di atas keempat Majestic Families, bersinar kehitaman. Sukses membuat mereka diam membisu karena serangan maha dahsyat akan segera turun.
"Athreus cepat bunuh Aramis!" teriak Eloise.
"Aku bilang, jangan ayunkan pedanganmu!" teriak Aalisha dan hampir memanggil senjata magisnya yang kedua, tetapi tangan kanannya dihentikan seseorang.
"Cukup sampai di sini, kalian berempat."
Hening merebak ketika mereka mencium wewangian yang beraroma melati bercampur raspberry yang bersamaan dengan itu, seorang pria berdiri tepat di samping Aalisha, pria itu mengenakan pakaian bangsawan mewah berwarna hitam, perlahan dengan mudahnya dia berjalan padahal ada pentagram sihir Aramis yang membuat pergerakan targetnya jadi sulit.
"Jangan beraninya Anda ikut campur," ujar Aalisha.
"Maaf, tapi ini semua sudah di luar kendali." Maka Arthur Hugo Ellard, menggunakan sihir dan menyerang Aalisha hingga terempas lalu rantai besi mengikat kedua tangan dan kakinya.
"Arthur!!!!" teriak Aalisha ketika master Arthur mengarahkan tangannya pada Aramis. "Jangan berani kau menyakiti Aramis!"
"Deadly Technique, Releasotis Imperfegris."
Arthur memunculkan patung besar dari dalam tanah yang terbuat dari kayu membentuk sesosok manusia yang lebih besar dan tinggi dari Aramis, patung tersebut mengenakan pakaian seperti tunik gradasi kuning-biru, wajahnya sangat tua dengan serabut akar menjadi jenggot dan kumisnya, memiliki manik mata putih, punggung patung tersebut memanggul sebuah bangunan menyerupai kuil-kuil, serta ada tiang setengah lingkaran yang ujungnya berada dari bahu ke bahu patung tersebut, tangannya dua dengan jari lima dan kuku panjang.
"Bunuh Wyvern itu." Suara Arthur terdengar.
"Jangan lakukan!! Arthur!!! Jangan berani kau menyentuh Aramis!" Aalisha berusaha melepaskan rantai besinya, tetapi energinya sudah habis. Di sisi lain, Anila dan Mylo berusaha melepaskan diri juga dari sihir Eloise, tetapi tidak mampu. Sementara para murid menonton dengan takut bersama dengan Frisca, Gilbert, dan Kennedy yang berlari hendak ke tempat pertarungan, tetapi ditahan oleh sihir milik Ambrosia karena jika ikut campur akan terkena imbasnya.
"Bunuh," gumam Arthur.
Lekas kedua tangan sang patung kayu bergerak dan meraih ekor Aramis, lalu ditarik paksa kemudian dibanting kuat ke tanah hingga pentagram milik Aramis lenyap. Kemudian tangan sang patung, bergerak dan menarik paksa sayap kanan Aramis hingga robek dan putus. Maka raungan penuh rasa sakit terdengar dari Aramis.
"Arthur!!! Hentikan! Cukup!!! Aku akan membunuhmu jika kau menyakitinya lagi!" teriak Aalisha, "Arthur!!!!"
Perlahan sang patung kayu, kedua tangannya menyentuh tanah yang seketika berubah menjadi akar-akar pohon yang lekas menusuk tubuh Aramis hingga tembus.
"ARTHUR HUGO ELLARD!" teriak Aalisha sukses membuat banyak burung berterbangan dari pepohonan saking ketakutannya dan angin bertiup kencang. Namun, Arthur tak menggubris Aalisha sedikit pun.
"Sealing Technique." Arthur berujar. Lalu akar pohon itu menjerat leher Aramis hingga tak bisa bergerak, bahkan tak terdengar suara raungan Aramis lagi, kemudian tubuh sang patung berubah bentuk menjadi kerangkeng kayu yang memerangkap Aramis lalu tali-tali akar pohon melilit tubuhnya hingga melemah dan ambruk, bangunan menyerupai kuil jatuh di atas kerangkeng kayu tersebut dan perlahan suara lonceng terdengar.
Kini seluruh awan hitam pergi, Aramis sudah tak berkutik lagi bahkan manik matanya menjadi abu-abu dan kelopak matanya tertutup. Sementara itu, Aalisha terdiam dengan kepala menunduk ke tanah hingga dahinya benar-benar menyentuh rerumputan.
"Wyvern itu harus dilumpuhkan karena mengancam banyak nyawa akibat kekuatannya yang tak stabil." Arthur menggerakkan tangannya dan rantai yang melilit kedua tangan dan kaki Aalisha kini lenyap, tetapi gadis kecil itu masih diam dan menundukkan kepalanya.
"Sekarang pergi ke rumah sakit, obati luka kalian," ujar Arthur pada ketiga Majestic Families. "Kau juga Aalisha, berhenti menangisi Wyvern itu." Ia menatap tajam pada Aalisha.
"Aku tak menangis." Perlahan-lahan ia mendongak sambil menatap tajam pada Arthur. "Dan dia punya nama, namanya Aramis." Kini sekilas terlihat berkas cahaya emas di manik mata gadis tersebut.
"Kembali ke akademi dan obati luka---"
"Apakah dalam pikiranmu, Aramis adalah monster karena kekuatannya tidak dapat dikendalikan." Gadis itu berujar dengan wajah datar, tetapi penuh amarah dan sarkasme. "Apakah bagi kalian, mereka yang tak bisa mengendalikan kekuatannya dianggap sebagai MONSTER dan haruslah dibunuh!!"
Terdengar langkah kaki Eloise yang berbalik dan pergi dari sana, ia tak sedikit pun menjawab perkataan Aalisha bahkan tak peduli, Nicaise terlihat pergi dari sana juga karena sudah tak ada alasan baginya untuk mendengarkan perkataan itu. Terlebih lagi, pilihan untuk membunuh Aramis sudah benar bukan? Aramis melukai dan hampir membunuh banyak murid jadi sudah sepantasnya dibunuh agar tak membahayakan.
"Kenapa kalian pergi?!" Aalisha kembali menatap Arthur. "Bagaimana denganmu, Arthur Hugo Ellard, jawab aku!!!"
"Ya," sahut Arthur seraya melangkah pergi. "Mereka yang tidak dapat mengendalikan kekuatannya akan dianggap sebagai monster terutama makhluk dari iblis, semua itu haruslah dibinasakan."
"Ah jadi begitu menurutmu," ujar Aalisha.
Di sisi lain, sesaat manik mata biru Athreus bersinggungan dengan Arthur ketika Arthur menggunakan teknik sihirnya yang membuat kerangkeng kayu yang memerangkap Aramis, perlahan-lahan tertarik ke dalam tanah. Lalu keduanya mendengar suara Aalisha lagi.
"Bukan keinginan Aramis berada di sekolah ini. Bukan keinginan dia jika kekuatannya tak stabil," ujar Aalisha, "sekolah ini yang membawa Aramis kemari lalu kenapa kalian menyalahkannya!"
"Obati luka kalian berdua," ujar Arthur.
"ARTHUR HUGO ELLARD! SUATU HARI NANTI, AKU AKAN MEMBUNUHMU!" Suara Aalisha terdengar menggelegar, tetapi tak digubris Arthur yang terus melangkah pergi.
Hening terdengar setelah kepergian Arthur, kini tersisa Aalisha yang masih terduduk di rerumputan dengan kepala menunduk, sementara Athreus berada di jarak yang tak jauh dari gadis itu. Di sisi lain, Anila dan Mylo menatap dari kejauhan dengan saling berpelukan karena Anila terus menangis terutama melihat Aalisha yang terlihat penuh amarah dan kesedihan itu.
"Jika kau ingin menyalahkan Aramis dan menganggapnya sebagai monster juga, maka tutup mulutmu," ujar Aalisha.
Athreus diam sejenak, lalu melangkah ke depan Aalisha, tangannya bergerak, seraya meletakkan kacamata putih di dekat Aalisha, ternyata Athreus memperbaiki kacamata Aalisha, entah kapan lelaki itu mengambil kacamatanya yang rusak saat pertarungan. "Jangan lupa obati lukamu. Sampai jumpa dan salam, De Lune."
Setelahnya Athreus langsung melangkah pergi dari sana. Meninggalkan Aalisha yang masih diam dengan kepala menunduk, lalu Anila dan Mylo tiba, lekas mereka duduk di samping Aalisha. Lengan Anila terbuka lebar untuk mendekap tubuh Aalisha, tetapi malah didorong. "Jangan, biarkan aku sendiri, kumohon."
"Tapi---"
"Jangan membantah!!! Tinggalkan aku sendiri!!!!" teriak Aalisha, maka dengan kesedihan Mylo menarik Anila pergi.
"Dia butuh waktu," kata Mylo. Mereka pun pergi meninggalkan Aalisha sendirian di sana.
Kini Aalisha menegakkan badannya, kepala mendongak sambil menatap langit terbentang luas lalu dia ambil kacamatanya, ia genggam kuat hingga hancur, telapaknya tergores dan terluka, lalu kacamata tersebut jatuh ke tanah dan terbakar bersamaan telapak tangan Aalisha terobati dan sembuh. "Aku benci akademi ini dan seluruh isinya. Wahai Dewi Aarthemisia D'Arcy, mengapa Engkau selalu memberiku takdir yang mengenaskan?"
Di saat bersamaan, di sisi yang berbeda. Sebuah koridor sepi kini terdengar langkah kaki seorang murid dengan jubah Drystan. Kini berhenti di depan dinding batu, ia mengeluarkan gelang dari saku celananya, seraya di dekatkan ke dinding, maka gelang tersebut bersinar, perlahan-lahan muncul cermin buram, lalu dia masuk ke dalam cermin tersebut dan tubuhnya lenyap dari sana.
"Galee lihat!" Seorang Orly terkikik sambil melayang-layang di udara. "Cornelius masuk ke cermin misterius! Galee lihat! Hihihi, lalu gelang itu mirip sekali dengan buku berhalaman emas, buku halaman emas, kunci ke kastil misterius!! Hihihi, Galee suka sekali komedi di akademi ini."
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
|| Afterword #17
Chapter ini sepertinya benar-benar campur aduk, dimulai dari informasi mengenai alat membaca rasi bintang hingga pesta teh kecil serta Ambrosia yang sepertinya masih menyimpan perasaan untuk seseorang?
Seperti yang telah kita ketahui bahwa Aalisha adalah De Lune yang sejak kecil, tidak pernah merasakan kasih sayang, kecuali dari Aldrich. Namun, takdir mengambil Aldrich dari hidupnya, membuatnya menjadi pribadi yang tak tahu rasa kasih sayang bahkan lebih banyak menghabiskan waktu dengan para binatang.
Hingga ia berpikir jika binatang jauh lebih tulus dari manusia.
Ia pun menangis ketika makhluk yang ia sayangi, tersakiti tepat di hadapannya^^
Prins Llumière
Rabu, 05 Juni 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top