Chapter 27

|| Sorry untuk chapter yang lambat update karena masalah kesehatan dan skripsi^^

|| Total chapter ini sebanyak 6.409 kata. Silakan cari posisi ternyaman untuk membaca.

|| Beri vote dengan komentar 350. Jangan spam komentar yang sama.

Kesibukan melanda Aalisha dan lainnya terutama karena sudah banyak tugas yang diberikan para pengajar mereka. Selain itu Aalisha semakin sibuk berlatih Oulixeus setelah dia dimarahi Damien dan Evanora karena beberapa kali sengaja bolos dengan berbagai macam alasan padahal karena Aalisha malas saja dan lebih memilih mendekam di kamarnya sambil membaca novel.

Rasa lelah Aalisha menumpuk karena setiap latihan, dikarenakan posisinya sebagai Principes yang ahli dalam posisi mana pun, maka ia harus mencoba empat posisi lainnya dengan empat arena yang berbeda, terlebih dia harus menghadapi yang lain termasuk melawan Damien, Easton, dan Noah. Sungguh sialan kedua saudara Mylo itu karena senang sekali menggunakan trik dan lelucon saat bertarung. Pantas Mylo sering berdoa agar diberi saudara yang waras.

Posisi pertama yang Aalisha coba adalah Hastae, arena berupa hutan yang penuh dengan prajurit-prajurit serta melawan Easton dan Noah, mereka juga Hastae. Sebagai Hastae atau Penyerang Terdepan, Aalisha harus beradu pedang dan melawan musuh dalam jarak dekat. Maka ia turun ke arena, tujuannya adalah mengambil bendera yang dijaga para prajurit dan Easton serta Noah. Pertarungan terjadi cukup memakan waktu hingga setengah jam lebih dengan Aalisha yang menjatuhkan para prajurit begitu mudah dan ia berhasil membuat Easton maupun Noah terdesak, gadis itu bahkan tak segan mengaktifkan Aeternitas dan membuat tanah di arena tersebut hancur hingga jadi cekung sedalam tiga meter.

"Kau berhasil," ujar Damien, "sebagai Principes di percobaan pertama, kau bisa menempati posisi Hastae. Waktumu saat di arena mencapai 45 menit dan nilaimu 78/100."

Perlahan Aalisha menarik pedangnya yang hampir menggores pipi Easton seraya menoleh pada Damien, ia berujar, "ya."

Latihan terus berlanjut di hari berikutnya pada Rabu---jadwal latihannya tiga kali dalam seminggu pada hari Senin, Rabu, dan Jum'at---posisi kedua yang harus Aalisha coba adalah Custodes dengan artian posisi sebagai Penyembuh. Di posisi ini, Aalisha akan dilihat seberapa mampu dia melakukan penyembuhan entah pada dirinya sendiri atau orang lain, entah menggunakan ramuan dan obat-obatan atau teknik sihir. Lawannya pada latihan kali ini adalah Evanora dan Fabian yang jadi Custodes di tim Oulixeus. Misi yang harus dilakukan adalah menyembuhkan prajurit-prajurit yang terluka sebanyak mungkin, sementara Aalisha juga harus melindungi dirinya sendiri agar tak terluka.

Di posisi ini, Aalisha terlihat cukup kesulitan. Bukan karena dia harus melawan Fabian dan Evanora dan menyembuhkan luka para prajurit, tetapi karena ia memang tak terlalu mahir di posisi penyembuhan, meskipun begitu bukan berarti ia tidak bisa menempati posisi tersebut karena kemampuan Aalisha tentu di atas rata-rata murid atau orang lain yang seumuran dengannya. Dalam posisi ini, ia mencoba menggunakan ramuan, lalu hanya menggunakan teknik sihir penyembuhan, dan dapat pula ramuan dikombinasikan dengan teknik sihir karena teknik penyembuhan juga harus melihat luka atau racun jenis apa yang menimpa seseorang.

"Sudah cukup," ujar Damien sambil menatap Aalisha yang masih berdiri di arena meski peluh keringat membasahinya. "Satu jam, 10 menit, cukup lama dari Hastae. Nilaimu 55/100, tetapi kau tetap bisa menempati posisi Custodes semisal Custodes tersingkir."

"Sialan," teriak Aalisha, "aku tak menyangka jika posisi Principes akan se-menyusahkan ini! Pantas saja jarang ada yang mau menempati posisi ini! Lagi pula, kau Nerezza, keluarga cabang, seharusnya kau bisa menempati posisi Principes 'kan?"

"Benar," sahut Damien tanpa ekspresi berlebihan. "Namun, aku menolak selain karena aku lebih cocok di Exploratorem, aku tahu jika Principes posisi paling penuh beban." Ia tersenyum licik, sementara Aalisha membulatkan matanya.

"Bajingan kau ya! Jangan katakan jika kau bersekongkol dengan profesor Madeleine dan master Arthur agar aku masuk Oulixeus ini!" Aalisha mencak-mencak, sedangkan anggota lain menahan tawa.

"Semangat De Lune," kata Evanora mengusap kepala Aalisha, "masih ada dua posisi lagi yang harus kaucoba di latihan berikutnya."

"Aku benci kalian," balas Aalisha.

Atas inilah pada hari Jum'at, Aalisha kembali mengenakan seragam latihannya, kali ini ada Anila dan Mylo yang akan menonton latihan Aalisha. Mereka duduk di pinggir arena yang dikelilingi barrier. Keduanya saling makan berondong jagung, sungguh membuat Aalisha kesal saja terlebih ketika kakak tingkat lain ikutan makan berondong jagung sambil menonton Aalisha.

Posisi ketiga adalah Veneficus atau penyerang jarak jauh menggunakan teknik sihir, lawannya adalah Priscilla, Aguero, dan Bellezac. Rintangan yang dilewati adalah menangkap seorang prajurit yang membawa bendera di arena pertandingan. Maka latihan pun dimulai, Aalisha di posisi ini jauh lebih mahir dibandingkan posisi Custodes. Meskipun ia bukanlah pengendali elemen layaknya Clemence yang memang ahli dalam bidang sihir. Aalisha masih bisa mampu melawan ketiga kakak tingkatnya dan membuat mereka kewalahan. Ia menggunakan berbagai teknik sihir yang ia bisa gunakan dan ia sengaja tak gunakan teknik sihir tingkat tinggi untuk tidak terlalu memperlihatkan jati dirinya.

"Woah," kata Evanora, "bukankah itu teknik sihir penyegelan? Dia mampu menggunakannya dengan mudah."

"Ya," sahut Mylo, "dia memang berbakat di teknik itu."

"Sudah bukan hal mengejutkan lagi karena Aalisha adalah De Lune. Keluarga yang memang ahli dalam menggunakan teknik penyegelan," jelas Anila dengan sangat antusias sambil menatap gadis kecil di arena itu, senyuman Anila mengembang lembut.

Latihan berakhir dengan waktu satu jam, 35 menit dan kemenangan di tangan Aalisha setelah dia menggunakan sihir menciptakan akar-akar pohon berbentuk kerangkeng besi yang memerangkap ketiga kakak tingkatnya. Ia terduduk di rerumputan, kemudian terkejut saat Anila dan Mylo berlari ke arahnya dan memberikan minuman pada Aalisha berupa il te priel yang dingin dan menyegarkan.

"Kau sangat hebat tadi," ujar Anila sambil tersenyum manis.

Mylo terlihat sangat bahagia juga. "Kami sangat bangga tadi, kau benar-benar De Lune yang berbakat!"

"Kalian terlalu berlebihan," balas Aalisha.

Sementara dari kejauhan, Damien dan lainnya menatap pada ketiga adik tingkatnya itu. Bellezac mendekati Damien. "Berapa nilai yang lain beri untuknya?"

"Kurasa 75/100, dia menyembunyikan kekuatan sihirnya, tapi tak masalah karena sudah biasa bagi seorang Majestic Families tidak terlalu memperlihatkan berapa banyak teknik sihir yang mereka kuasai di depan lawannya terutama di hadapan sesama Majestic Families," ujar Damien.

Priscilla menimpali, "mereka terlihat dekat, maksudku aku tak menyangka jika mereka yang bukan dari Bangsawan Tinggi atau Keturunan Majestic Families bisa sedekat itu dengan Putri De Lune."

"Ya, hidup memang sulit ditebak," balas Damien.

Kebencian Aalisha meningkat pada Damien, saat minggu pagi setelah sarapan, lelaki itu mengetuk pintu kamar Aalisha dan mengatakan jika harus latihan Oulixeus karena sisa satu posisi lagi yang harus Aalisha coba. Sempat terjadi pertengkaran terutama Aalisha marah karena Minggu tenangnya harus diganggu lelaki itu. Namun, pada akhirnya Aalisha kalah debat dan terpaksa pergi ke lapangan meski tak mengenakan seragam latihan Eidothea.

"Mengapa kalian ikut juga?!" pekik Aalisha pada kelima manusia yang mengekor sejak dari asrama.

"Kami juga bosan di asrama dan bingung harus apa," ujar Gilbert, "jadi kami sekalian saja menonton latihanmu."

"Tenang saja, hanya kami, tak ada murid yang tahu jika kau bergabung dengan tim Oulixeus," ujar Mylo.

"Lalu mengapa Kennedy ada di sini?" balas Aalisha sambil bersedekap.

"Aku yang membawanya kemari, dia kan memang sudah tahu," ujar Frisca tersenyum lebar sementara Aalisha menghela napas.

"Bagus sekali." Ia balas dengan nada mengejek.

"Ayo pergi! Kau sudah ditunggu lho!" sahut Anila seraya mendekap lengan Aalisha dan menariknya pergi. Gadis kecil itu hanya bisa pasrah.

Berada di lapangan sebelah Timur karena sebelah Barat digunakan tim lain. Aalisha akan menempati posisi terakhir yakni Exploratorem atau dianggap sebagai Otak dalam Pertandingan, biasanya menjadi ketua dalam tim. Dalam latihan ini, lawan Aalisha adalah Damien Nerezza yang seorang Exploratorem di tim Oulixeus. Dikarenakan Exploratorem berkaitan dengan strategi dan lain sebagainya. Maka Aalisha akan memimpin sebuah tim yang terdiri dari Easton (Hastae), Evanora (Custodes), dan Belezzac (Veneficus). Sementara Damien memimpin tim yang terdiri dari Noah (Hastae), Fabian (Custodes), dan Aguero (Veneficus). Mereka akan menargetkan seorang Orly yang dapat mengecilkan badan dan membawa batu permata, itulah target kemenangan.

Waktu berlalu dan latihan ini hampir berlangsung selama dua jam bahkan membuat para anggota tim kewalahan, Aalisha juga merasa lelah, ternyata mengatur tim dan membuat strategi jauh lebih sulit dibandingkan menjadi pion yang bergerak secara langsung dan menghadapi musuh. Aalisha harus memikirkan segala macam kemungkinan dan strategi baru jika strategi sebelumnya gagal. Ia juga harus memantau Cyubes untuk memonitor pergerakan anggota timnya dan mengirimkan sinyal perintah melalui Cyubes anggota tim juga. Sulitnya menjadi Exploratorem ternyata cukup banyak seperti memberikan informasi dan strategi, kesusahan jika anggota tim tak bisa menangkap maksud dari perintah seorang Exploratorem, hingga kesalahan Exploratorem mengambil langkah yang membuat anggotanya dalam bahaya.

"Nilaimu 50/100, tidak buruk juga," ujar Damien, "kini kau sudah tahu bukan, sesusah apa menjadi ketua tim terutama Exploratorem?"

Aalisha menghabiskan sebotol air mineralnya. "Dengar ya, jauh lebih sulit menjadi Principes! Karena harus ahli dari semua posisi! Jika Exploratorem mati atau keluar pertandingan, maka semua beban akan ada di pundak Principes!"

"Atas itulah kau dipilih menempati posisi Principes," sahut Noah.

"Ya, dia yang paling yakin kau cocok dengan posisi Principes," timpal Easton.

"Apa maksud kalian?" sahut Aalisha.

"Master Arthur." Evanora yang menjawab. "Dia yang paling keukeuh dan berisi keras agar kau di posisi Principes, dia bilang, dia sangat tahu dirimu dan dia yakin kau memang terlahir sebagai Principes."

Detik itu mereka terdiam termasuk Anila, Mylo, Kennedy, Gilbert dan Frisca saat melihat Aalisha mengepalkan kedua tangannya karena dia sangat kesal. "Bajingan dia, master Arthur Hugo Ellard!!!"

Maka di sebuah ruangan di Akademi Eidothea. Terlihat master Arthur tengah duduk santai menikmati teh dan bermain catur melawan profesor Astrophel. "Lucu sekali." Arthur terkekeh.

"Ada apa Arthur? Mengapa kau tertawa," sahut profesor Astrophel.

"Tidak ada," jawab master Arthur, "aku hanya merasa jika ada seseorang yang sedang membicarakanku. Kurasa dia penggemarku karena terus memikirkan diriku."

****

Aalisha, Mylo, dan Anila kini berada di ruangan yang didominasi oleh warna merah muda dan putih, semua furniture sangat cantik, estetik, dan berkelas bahkan tampak mahal. Karpet warna merah muda, rak buku berwarna putih yang penuh dengan buku-buku bersampul putih dan merah muda, kemungkinan buku-buku tersebut disampul kembali agar warnanya senada, meja dan kursi bahkan sofa di sini antara berwarna merah muda dan putih, serta masih banyak furniture dan detail lainnya yang estetik. Ada pula lemari besar penuh dengan gaun, hingga lemari berukuran sedang yang penuh dengan gaun pula, tetapi ukurannya cocok untuk anak-anak atau malah boneka? Meskipun begitu ternyata masih ada beberapa benda yang berwarna berbeda seperti warna emas, cokelat, hingga krem.

Dari dominan warnanya saja sudah dapat ditebak siapa pemilik ruangan ini. Ya, tentu saja profesor Ambrosia, si pemilik manik mata pink-rouge. Kini dia sengaja memanggil ketiga murid favoritnya? Untuk membantunya mengatur dan mengemasi barang-barang yang sudah tak ia gunakan lagi dan hendak ia sumbangkan ke panti asuhan. Jadi Ambrosia masih aktif memberi sumbangan ke beberapa panti Asuhan yang ada di Kerajaan Khoecheniel dan sekitarnya. Selain sering berdonasi menggunakan sejumlah uang, ia juga akan menyumbangkan pakaiannya terutama gaun yang sudah tak digunakan serta buku-buku yang jarang dan kemungkinan tak ia baca lagi. Lilura juga akan menyumbangkan gaunnya, meski ia adalah boneka Belphoebe yang takkan bertambah tinggi atau besar seperti manusia, ia selalu memiliki gaun baru setiap bulannya jadi sudah banyak gaun menumpuk maka gaun tersebut yang akan ia sumbangkan. Entah dijadikan gaun untuk para Belphoebe lain atau untuk anak-anak panti bermain boneka mainan menggunakan gaun tersebut.

"Aalisha tolong hati-hati saat naik ke kursinya, aku takut kau jatuh," ujar profesor Ambrosia, seraya memberikan gaun-gaunnya pada Anila untuk dilipat rapi kemudian dilapisi plastik agar tidak berdebu dan kotor saat dimasukkan ke dalam kardus.

Sementara Aalisha naik ke atas kursi untuk memindahkan beberapa buku dan diberikan pada Mylo untuk dilapisi plastik juga. Gadis itu naik kursi karena dia pendek dan tak bisa menjangkaunya. "Aku akan baik-baik saja, jangan remehkan aku, aku bukan anak bayi."

Profesor Ambrosia berujar, "kau bayi. Umurmu sebelas tahun dan tinggimu bahkan belum mencapai 130 sentimeter."

"Jangan bicara umur dan tinggi badan---" Hampir saja Aalisha terjatuh karena kursinya bergoyang, untung saja ditahan Mylo meski hal ini membuat beberapa buku berjatuhan ke lantai karena terlepas dari tangan Mylo.

"Lihat," sahut Ambrosia, "kau hampir jatuh, berhati-hatilah, aku tak mau kauterluka!" Wanita cantik itu menggunakan sihir untuk mengambil beberapa gaun milik Lilura, diserahkan pada Anila. "Kau sangat pandai melipat gaun-gaun itu, Andromeda."

"Terima kasih, Profesor," balas Anila dengan senyuman menyejukkan.

Di sisi lain, Aalisha menatap sinis pada Ambrosia karena dia memuji Anila sedangkan dari tadi selalu mengoceh pada Aalisha. "Mengoceh saja terus padaku."

Lekas Mylo memelototi Aalisha begitu pula Anila, sementara Ambrosia yang jelas mendengar perkataan itu kemudian berujar, "aku mengoceh demi kebaikanmu." Beruntung saja profesornya tak marah dan kembali mengambil gaunnya untuk diberikan pada Anila.

Aalisha kembali bekerja, ia mengecek list buku mana saja yang harus disumbangkan, lalu tepat di sampingnya, nona Lilura melayang-layang hendak mengambil buku-buku juga yang akan disumbangkan, lebih tepatnya buku bacaannya seputar novel pembunuhan, detektif, boneka berhantu, hingga horor.

"Tolong kalian urus di sini dahulu, aku keluar sebentar karena profesor Solana memanggilku," ujar Ambrosia, "jika ada yang hendak ditanyakan, katakan saja pada Lilura dan Lilura, tolong awasi ketiga bocah ini." Maka bergegas wanita yang mengenakan gaun biru tua itu pergi keluar untuk menemui profesor Solana.

"Apa dia selalu seperti itu? Tidak seperti profesor Ambrosia ketika di kelas," ujar Aalisha pada Lilura yang bolak-balik melayang untuk mengambil buku-buku di rak yang tak bisa Aalisha jangkau, boneka itu mengenakan gaun putih seperti biasanya.

Anila sedang menyusun gaun-gaun yang dilapisi plastik ke kotak kardus, ia sambil mendengarkan percakapan Aalisha dan Lilura begitu pula Mylo. "Jika di kelas, Ambrosia pasti bersikap profesional sebagai pengajar jadi mustahil dia menunjukkan sifat aslinya terkecuali pada beberapa pengajar atau orang-orang terdekatnya. Sebenarnya Ambrosia sangat cerewet."

"Apakah artinya, profesor menganggap kami, orang terdekatnya?" ujar Mylo.

"Mengapa tidak?" sahut Lilura, "kalian bertigalah yang sejak awal percaya jika Ambrosia bukanlah Phantomius saat semua menuduhnya seperti itu bahkan kalian nekat ke hutan Kimari, jadi sudah pasti kalau Ambrosia menganggap kalian orang terdekatnya."

Hening terdengar, Mylo dan Anila merasa terharu sementara Aalisha seperti biasa, tanpa ekspresi dan empati. Ia tidak perlu bereaksi berlebihan, lagi pula Ambrosia terlalu baik dengan menjadikan seorang De Lune sebagai orang terdekatnya. Kini gadis itu hendak tertawa, terapi ia tahan. Bayangkan saja ketika Ambrosia tahu kenyataannya bahwa Aalisha tahu sejak awal jika Ambrosia dikendalikan Zephyr dan semua penyelamatan itu karena terpaksa agar Aalisha bisa merebut Zephyr dari tangan Phantomius. Ia tak benar-benar ingin menyelamatkan Ambrosia dan alasan mengapa Ambrosia masih hidup pun karena Owen berengsek yang turut ikut campur.

"Profesor Ambrosia suasana hatinya terlihat sedikit berbeda, apakah ada sesuatu yang mengganggunya?" ujar Anila, menatap Lilura yang terhenti meraih buku.

"Ternyata kalian sadar," balas Lilura, "bisa kukatakan jika Ambrosia memang dalam suasana hati yang buruk setelah kembali dari kediaman Keluarga besarnya sekitar beberapa hari lalu."

"Apakah ada masalah?" kata Mylo memberanikan diri. Hingga kini, ia masih takut dengan Lilura. "Sempat kudengar dari para murid jika profesor pulang karena ada yang---"

"Melamarnya." Lilura menginterupsi. "Ya, Ambrosia pulang karena ada beberapa pria dari bangsawan lain hendak melamarnya dan mereka semua ditolak Ambrosia."

"Bolehkah kami tahu alasannya? Jika sensitif, tidak perlu Anda ceritakan, tidak masalah," ucap Anila.

Lilura diam sejenak, seperti ada sesuatu memenuhi pikirannya. "Dia hanya menjawab dengan balasan yang sama seperti lamaran-lamaran terdahulu yang datang padanya; belum siap menikah dan masih ingin fokus mengajar."

"Itu jawaban teraman," ujar Mylo, "aku tak bermaksud mengejek atau lainnya, tapi bagiku lebih baik menolak karena belum siap 'kan?"

Lilura dan Anila termasuk Aalisha menatap pada lelaki itu. "Perkataanmu tak salah," ujar Anila, "tapi Mylo, ada beberapa bangsawan mempermasalahkan jika seorang wanita yang sudah mencukupi umur ternyata belum menikah. Maksudku ... akan menjadi rumor dan gosip di kalangan bangsawan."

"Mudahnya, mereka seperti mengatakan; sudah tua, belum kunjung menikah," timpal Lilura, "dan hal inilah yang membuat Ambrosia sedikit buruk suasana hatinya. Sebelum kembali ke Eidothea, dia mendengar beberapa bangsawan membicarakan dirinya karena terus menolak lamaran dan mereka bergosip jika Ambrosia sudah tua, tapi belum juga mau menikah bahkan ada yang berkata jika alasan Ambrosia menolak para pria karena standarnya terlalu tinggi. Parahnya ada yang berani berkata langsung pada Ambrosia agar dia menurunkan standar pria idamannya. Hal inilah yang mengusiknya hingga kini."

Mereka cukup terheran karena Lilura mau curhat sebanyak 76 kata, padahal Lilura dikenal sebagai Belphoebe yang sangat sinis dan dingin serta pendiam terutama di hadapan para murid, tetapi nyatanya banyak oceh juga kalau berkaitan dengan Ambrosia.

"Jika membahas pernikahan akan sangat rumit, terutama mulut para bangsawan yang senang bergosip," timpal Anila karena dia sering membaca surat kabar dan ketika di kediamannya, dia sering mendengar para bangsawan bergosip akan kehidupan bangsawan lain. "Biasanya bangsawan terutama para wanita, rata-rata menikah di umur 25 tahun, jadi jika ada yang lebih dari umur itu dan tak kunjung menikah, bisa menjadi bahan gosip. Berbeda dengan para pria, mereka berumur 30 tahun pun, tidak dipermasalahkan jika belum menikah."

"Bahkan para bangsawan yang pro-Kerajaan dan Kekaisaran, terkadang para wanita bangsawan itu kalau belum menikah, mereka bisa dipaksakan menikah atau dinikahkan secara politik," timpal Lilura.

"Jadi maksudnya, profesor Ambrosia hendak dinikahkan secara politik juga?" kata Mylo.

"Beruntungnya tidak, hingga sekarang, hanya para pria dari bangsawan lain saja yang datang untuk melamar Ambrosia, dia tak dipaksakan menikah," sahut Lilura, "meski banyak bangsawan yang membicarakannya dari belakang."

"Tinggal bakar saja mereka, apa susahnya?" ujar Aalisha seraya menyeruput Caelum Milk dalam tempat berbentuk kotak terbuat dari kertas karton tebal.

"Tidak semudah itu," balas Anila, menghela napas karena Aalisha mengatakan hal itu dengan wajah datar. "Akan dapat masalah jika membunuh bangsawan."

"Oh oke," ucap si gadis kecil, "ternyata bakal jadi masalah membunuh bangsawan lain?"

Lilura berujar, "Demi Jagad Dewa, tidak semua manusia adalah keturunan Majestic Families yang takkan dihukum jika membunuh bangsawan tanpa alasan."

"Ya, ya, aku tahu," balas Aalisha, terdengar suara dia menyeruput Caelum Milk-nya.

"Aku ingin memukulnya, tapi dia Majestic Families," ujar Lilura, terdengar pada ketiga muridnya, tetapi Aalisha malah acuh tak acuh.

"Er, sebenarnya umur profesor Ambrosia berapa sampai dia dikira tua dan harusnya sudah menikah?" Mylo mencari topik lain.

Tidak disangka jika Lilura mau menjawab, "umur Ambrosia, 29 tahun."

Tiba-tiba saja, Aalisha terbatuk-batuk karena tersedak minumannya sampai Anila harus menepuk-nepuk punggung gadis kecil itu, "Hey, hati-hati kalau minum."

"Ada apa denganmu, Nak?" Lilura menatap heran. Bukan karena jawaban Lilura mengenai umur Ambrosia 'kan?

"Tidak, aku hanya tersedak saja," sahut Aalisha, "dan berhenti menepuk punggungku." Maka Anila menarik tangannya.

Kini Aalisha mengambil sapu tangan ungu dari Invinirium, seraya mengusap mulutnya. Ia terdiam sejenak lagi sembari memikirkan perkataan Lilura. Profesor Ambrosia berumur 29 tahun?! Aalisha terkejut bukan karena menganggap jika Ambrosia sudah terlalu tua, dia masih muda! Namun, Aalisha terkejut karena Ambrosia lebih tua dibandingkan Owen yang baru berusia 24 tahun! Dengan artian, umur mereka terpaut lima tahun!

Gadis itu perlahan membatin di saat yang lain kembali mengobrol, "Owen bajingan, jadi dia mendekati wanita yang lebih tua darinya? Lalu umur berapa pria berengsek itu ketika bertemu dengan profesor Ambrosia?"

"Kalau profesor Ambrosia dibicarakan bangsawan karena belum menikah, apakah profesor Rosemary juga di posisi yang sama?" ujar Anila.

"Aku tidak tahu pasti," balas Lilura sambil melirik Aalisha yang ekspresinya kembali datar padahal sempat Lilura lihat jika gadis itu memasang raut wajah terkejut dan kesal jadi satu. "Namun, kemungkinan Rosemary tidak dibicarakan sebanyak Ambrosia. Alasannya karena tidak ada yang berani membicarakan keluarga Bangsawan Rosemary."

"Apakah karena keluarga itu adalah keluarga yang terkenal sebagai pencetak pahlawan perang," ujar Mylo.

"Itu salah satu alasannya," balas Lilura, "alasan kedua karena kebanyakan para perempuan yang punya darah yang lebih kuat dibanding lelaki di bangsawan Rosemary."

"Karena hal inilah, Kepala Keluarganya adalah wanita?" timpal Anila.

"Ya, mereka seperti Majestic Families Adrastus dan Nerezza yang Kepala Keluarganya adalah seorang wanita," sahut Lilura dan tak lama kemudian, percakapan mereka berakhir ketika Ambrosia masuk ke ruangannya kembali.

"Apakah sudah selesai? Maaf aku merepotkan kalian," ujar Ambrosia yang terlihat seperti manusia paling sibuk di dunia ini. "Sebagai gantinya, aku akan mengundang kalian minum teh ...."

"Apakah Anda sedang bersedih?" Aalisha berujar tiba-tiba yang sukses membuat Anila, Mylo, dan Lilura memelototinya.

"Maaf," balas Ambrosia, bingung. "Apa maksudmu?"

"Apakah Anda menyibukkan diri Anda untuk mengusir kesedihan? Menyumbangkan seluruh gaun dan buku Anda untuk panti asuhan."

Demi Dewa, Lilura kini hendak membungkam mulut Aalisha karena gadis itu malah memperjelas perkataannya! Namun, percuma saja karena semua itu sudah terucap dan Lilura serta lainnya menunggu jawaban Ambrosia.

"Aalisha," ujar Ambrosia begitu lembut, sesaat dia menatap Lilura seolah-olah Ambrosia paham jika boneka itu menceritakan sesuatu ketika Ambrosia tak ada tadi. "Aku menyumbangkan gaun dan buku karena aku selalu melakukan hal itu setiap tahun, terkadang beberapa bulan sekali. Kau tahu 'kan jika aku juga sering berdonasi ke panti asuhan. Anggap saja jika ini salah satu hobiku selain mengadakan pesta minum teh."

Mereka tahu benar jika Ambrosia tengah berbohong, meski perkataannya terdengar meyakinkan, tetapi manik matanya tak bisa berbohong. Wanita itu pasti menyembunyikan rasa lelah dan kesedihannya. Perlahan Ambrosia tersenyum dan mengusap puncak kepala Aalisha, lalu kembali memberi arahan untuk menyusun tumpukan kotak kardus sementara Aalisha kembali memasang wajah datar. Setelah kardus menumpuk, Ambrosia memanggil Orly yang akan mengantarkan semua kotak kardus tersebut ke kantor pos Eidothea lalu dikirimkan ke panti asuhan yang dituju.

****

Pagi ini, akademi riuh karena ada kabar jika salah satu bangsawan tinggi hendak berkunjung ke Eidothea, cukup dadakan karena suratnya baru tiba subuh tadi. Namun, tidak diperlukan sambutan dikarenakan sudah biasa bagi bangsawan Tinggi berkunjung ke Eidothea terutama jika ada anak-anak mereka bersekolah di akademi ini. Hanya saja yang jadi masalah adalah bangsawan tersebut sepertinya cukup dibenci beberapa keluarga bangsawan lain termasuk anak-anak Cressida dan Cymphonique.

Easton menggebrak meja. Mereka kini masih di asrama karena setelah makan pagi, lekas kembali ke Arevalous. "Cornelius itu, kenapa dia berkunjung kemari?"

"Tentu saja karena hendak mengunjungi anaknya 'kan? Tapi kudengar juga kalau Kepala Keluarga Cornelius berkunjung ke sini karena kebetulan ada tugas di Kerajaan Kheochiniel," balas Miguel.

Luna ikut berucap, "hanya alasan, kemungkinan dia kemari karena anaknya rindu." Perkataan itu disambut tawa beberapa murid.

"Dasar Killian manja," ucap Noah terlihat sangat kesal. "Bocah itu jika ada masalah selalu saja melapor dan menggunakan otoritas ayahnya. Temanmu itu memang menyebalkan Mylo."

"Woah maaf, tapi Killian bukanlah temanku," sahut Mylo, "aku sangat benci dia sejak pertama masuk sekolah terutama dia senang menggangguku dan Aalisha."

Beberapa murid menatap pada Aalisha yang kali duduk tenang di karpet seraya rambutnya dikepang satu oleh Anila Andromeda. "Berhenti menatapku atau kubuat kalian semua buta."

"Atau bisa saja, ayahnya Killian kemari karena Killian melapor setelah kejadian dia bertengkar dengan Aalisha, seminggu lalu," ujar Evanora. Mereka semua hening sejenak, sudah mereka tahu jika seminggu lalu, Aalisha bertengkar dengan Killian dan membuat Killian harus dirawat di rumah sakit selama tiga hari dan mereka juga tahu kalau Aalisha sempat bertarung melawan master Aragon yang membuat jembatan di danau Eidothea hancur. Mereka tak mau bertanya lebih dalam mengenai alasan pertarungan itu.

"Jika itu alasannya maka Killian benar-benar pengecut yang payah," sahut Aalisha, "andai aku tak dicegah master Aragon, sudah kupastikan kalau Cornelius itu hanya tertinggal nama."

"Aalisha," ujar Anila dengan lembut sambil memberi Aalisha botol Caelum Milk.

"Mau keripik kentang?" Mylo menyodorkan keripik kentang, ia sejak tadi duduk di samping Aalisha sementara Anila di sofa.

"Ya." Maka gadis kecil itu kembali diam dan menikmati minuman susu dan keripik kentang. Para murid yang memperhatikan interaksi antara Anila dan Aalisha, mereka jadi paham jika si De Lune hanya bisa ditenangkan oleh kedua sahabatnya.

"Kenapa kalian benci pada Cornelius?" ujar Frisca pada Easton dan Noah. "Kau juga tak suka pada Killian sejak awal, apa alasanmu?" Dia menatap Kennedy. Sungguh aneh karena Kennedy satu-satunya Sylvester di asrama Arevalous. Namun, anak-anak Arevalous menerima Kennedy, karena tak menganggap jika lelaki itu sebagai ancaman.

Easton dan Noah menghela napas, Mylo juga merasa agak kesal jika membahas Cornelius. "Kalau kami sejak kecil memang tak suka bangsawan Cornelius, terutama karena Cornelius sering menghina dan meremehkan ayah kami. Mereka pernah berada di tugas yang sama dan ayah kami habis-habisan dihina oleh Kepala Keluarga Cornelius itu. Hingga kini pun, Cornelius masih sering menghina kami hanya karena ayah kami seorang Viscount, sedangkan Cornelius Marquess."

Kennedy berujar, "aku juga kurang lebih seperti itu, ayahku dan ayah Killian, sama-sama Marquess, jadi sering terlibat perbedaan pendapat. Lalu saat diberi tugas yang sama, perbedaan pendapat itu membuat beberapa tugas jadi tidak berjalan dengan lancar. Terutama Cornelius memiliki sikap yang kejam dan diktator berbeda dengan ayahku yang selalu tidak tega jika ada prajuritnya yang terluka, sedangkan Cornelius bisa mengorbankan pasukan dengan mudah. Lalu terkadang, Cornelius sering menganggap ayahku sebagai saingan padahal kami sama-sama memerintah perbatasan wilayah yang diberikan pihak Kerajaan."

"Ah jadi mulanya karena masalah keluarga," ujar Frisca, "sama seperti Gilbert, dong."

"Aku memang benci Cornelius karena keluarganya sering semena-mena dengan keluargaku," sahut Gilbert.

"Tapi sekarang sudah tidak lagi 'kan?" ujar Luna.

Gilbert tersenyum tipis sambil melirik Aalisha. "Ya, ayahku sekarang bekerja dengan salah satu relasi keluarga De Lune."

"Siapa nama Kepala Keluarga Cornelius?" ujar Aalisha.

"Kau serius tak tahu?" balas Mylo.

"De Lune tidak harus tahu semua nama Kepala Keluarga makhluk rendahan," sahut Aalisha yang membuat mereka tertohok semua. Namun, sebisa mungkin tak perlihatkan karena seperti inilah jalan pikiran Majestic Families.

"Hendrix Lafayette Cornelius." Anila berujar, "dia bergelar Marquess, menjaga perbatasan wilayah Timur dari Kerajaan Kheochiniel. Sering mengikuti ekspedisi Zero Domain juga."

"Keluarga itu memegang motto jika mereka hanya menghormati para bangsawan atau kaum borjuis saja, selain dari itu terutama kaum proletar, hanya dianggap sampah," ujar Miguel.

"Sama seperti Majestic Families yang menganggap manusia lain sebagai sampah bahkan nyawa manusia lain tak berarti." Tiba-tiba Damien Nerezza berujar lalu menatap Aalisha. "Benar bukan, De Lune?"

Aalisha menatap pada Damien. "Ya. Namun, di mata Majestic Families, semuanya adalah makhluk rendahan termasuk bangsawan Cornelius bahkan Keluarga Kerajaan dan Kekaisaran. Jadi Majestic Families berada di tingkatan berbeda sedangkan Cornelius tetaplah manusia biasa seperti yang lainnya, mereka tak pantas bersifat langit jika pada akhirnya akan jatuh ke neraka."

Para murid sontak terdiam ketika merasakan hawa sekitar mereka jadi terasa sesak dan mengerikan. Ketika dua Majestic Families saling bertatapan, membuat segalanya terasa sempit dan tak nyaman.

"Kau benar sekali, Yang Mulia De Lune," sahut Damien kemudian tersenyum manis. "Jadi apa yang kalian semua tunggu lagi? Hawa di sini tak mengenakan jadi keluar dari asrama karena jam pelajaran hampir dimulai!"

****

Semesta memang senang sekali bercanda, padahal yang Aalisha inginkan adalah menjalani hidupnya, setidaknya sehari yang tenang, tetapi sepertinya hal ini sulit sekali dikabulkan. Dia sebenarnya sudah berusaha untuk tidak berada di sekitar masalah termasuk tidak berada di dekat kerumunan para murid yang penasaran dengan ayahnya Killian, yakni Hendrix Cornelius. Sayangnya, ibarat Aalisha adalah magnet yang menarik masalah datang, maka seperti itulah masalah menghampiri Aalisha melalui hal paling sederhana seperti ketika ia selesai menemui profesor Madeleine. Ia sendirian karena yang lain berada di kelas, Aalisha berjalan di koridor yang sama, meski tak penuh kerumunan para murid, tetapi secara kebetulan, Hendrix Cornelius dan putranya, Killian melewati koridor tersebut juga karena hendak menemui profesor Madeleine atau profesor Eugenius.

Aalisha sudah pasti berpapasan dengan pria itu, terlebih para murid melakukan curtsy atau setidaknya menundukkan kepala saat Hendrix Cornelius lewat di depan mereka, sementara Aalisha tentu saja takkan mau melakukan hal itu. Ia adalah Majestic Families yang terhormat, tidak menundukkan kepala pada bangsawan lain kecuali yang benar-benar Aalisha anggap pantas dihormati, sayangnya identitas Aalisha hanya diketahui penghuni akademi, tidak dengan orang luar.

"Berhenti di sana, gadis kecil." Suara Hendrix Cornelius terdengar yang seketika membuat bulu roma para murid di koridor tersebut jadi terangkat. Mereka merasa jika akan ada perang di sini. "Aku berkata berhenti."

Aalisha menghentikan langkahnya ketika Hendrix Cornelius berada di hadapannya. Pria itu memiliki rambut senada dengan Killian dengan beberapa helaian rambutnya warna merah juga. Tingginya kemungkinan lebih dari 190 cm, mengenakan pakaian bangsawan warna biru tua dan hitam, tersampir pedang jenis rapier di kanan pinggang serta jenis long-sword, dia membawa dua pedang. Wajah pria itu tak ada luka gores, manik mata hijau tua, hidung panjang agak bengkok, alis tebal, serta tatapan sinis nan angkuh.

Siapa pun pasti akan menundukkan pandangannya jika menatap pria itu, tetapi tidak dengan Aalisha. "Maaf, apakah Anda ada urusan denganku?" Ia sama sekali tak mengucapkan salam atau memberikan penghormatan meskipun curtsy sejenak.

Mendengar ucapan itu keluar dari mulut Aalisha, membuat para murid semakin takut. Mereka tahu alasan Aalisha bersikap seperti itu, tetapi situasinya adalah Kepala Keluarga Cornelius tidak tahu jika Aalisha adalah Majestic Families. Maka kalau bersikap kurang ajar di hadapan bangsawan, bisa dijatuhi hukuman.

"Congkak sekali kau," ujar Hendrix, "tidakkah kau tahu siapa aku? Betapa tidak sopannya murid sepertimu di akademi ini dan tak memberikan salam bahkan berani menatap padaku dengan wajah mendongak."

Beberapa murid ada yang pergi, ada yang bertahan. Sementara Aalisha seperti berusaha untuk tak tertawa, ia lalu menatap pada seorang lelaki di belakang Hendrix Cornelius, ternyata putranya, Killian yang wajahnya tertekuk, ah kasihan sekali Killian itu karena tangannya masih diperban serta lehernya.

"Anda Hendrix Cornelius bukan? Salam kenal Marquess, tapi aku harus pergi karena masih ada kelas," sahut Aalisha.

"Siapa berkata kau boleh pergi?" Seketika Hendrix menggunakan sihir yang membuat langkah Aalisha terhenti, ada sesuatu yang menahan kakinya.

"Baru kali ini aku melihat seorang kaum proletar berani bersikap congkak," ujar Hendrix Cornelius, melangkah hingga di samping Aalisha.

"Aku tak punya urusan dengan Anda," balas Aalisha seraya tersenyum tipis. Andai ia takkan dimarahi serta dihukum para Tetua Agung De Lune jika identitasnya terbongkar lagi, maka ia sudah membuat Hendrix Cornelius ini bungkam dan bertekuk lutut di hadapan Aalisha.

"Kau benar-benar diajarkan untuk menyahut perkataan seorang bangsawan ya?" ujar Hendrix Cornelius, "biadab sekali mulutmu itu. Lalu kau pasti tak diajarkan etika atau tata krama memberi penghormatan pada seorang bangsawan, apakah kau tinggal di tempat paling kumuh di dunia ini?"

Sebelum menjawab perkataan itu, Aalisha menatap Killian yang hanya diam dengan wajah tertekuk. Harus Aalisha apresiasi karena Killian tidak menceritakan identitas Aalisha sebagai De Lune karena ia awalnya berpikir jika Hendrix Cornelius akan tahu identitas aslinya dari Killian. "Aku hanya buru-buru ke kelas karena jika terlambat lagi, bisa dikurangi poin nilaiku." Mari gunakan jawaban paling aman dan cepat selesai karena Aalisha enggan menatap wajah makhluk rendahan ini.

Hendrix perlahan menoleh pada Killian. "Putraku, apakah gadis ini adalah gadis yang sama yang pernah kau cerita sebagai kaum proletar, tetapi congkak seperti bangsawan?"

Killian terlihat ketakutan, ia gugup, tangannya sedikit gemetar. Sesaat ia menatap Aalisha, seketika rasa takut mendesir dalam darahnya saat melihat Aalisha yang memelototinya dengan sinis. Killian melirik ke atas terlihat beberapa burung termasuk Amadeo hinggap di lampu gantung dan beberapa lentera, seolah-olah bersiap menyerang jika Killian salah memberikan jawaban.

"Tidak Ayah," ujar Killian dengan suara serak. "Dia juga bangsawan seperti kita jadi bukan gadis yang pernah kuceritakan padamu." Mendengar jawaban itu, Aalisha tersenyum mengerikan pada Killian.

"Baiklah," sahut Hendrix lalu melirik Aalisha lagi. "Meskipun kau berasal dari bangsawan tinggi, kau tetaplah harus memberi hormat dengan membungkuk padaku. Selain itu dari bangsawan apa kau berasal? Dan apa nama keluargamu, perkenalkan diri secara lengkap padaku."

"Anda tak perlu tahu," sahut Aalisha.

"Kau sepertinya bukan bangsawan yang punya tata krama ya," sahut Hendrix Cornelius seraya jempol kirinya mendorong gagang pedangnya karena hendak ia gunakan. "Sejak tadi, kau sangat tak sopan padaku, jadi aku akan ajarkan bagaimana caranya sopan santun---"

"Wah, wah, ada ribut apa di sini?" Tiba-tiba seorang lelaki berwangi mawar kini muncul tepat di belakang Aalisha bersamaan sepoi angin meniup jubah asrama Faelyn-nya. "Kupikir ada pertunjukan opera, ternyata Anda, Marquess Cornelius."

Detik itu semakin menyesakkan terutama bagi para murid di koridor tersebut termasuk Killian. Ia merasa jika hidupnya berada di ujung tanduk, Killian terus menundukkan kepalanya, semakin tak berani menatap, saat Nicaise Von Havardur juga berada di sini.

"Kenapa hanya diam?" kata Nicaise ketika Hendrix Cornelius berhenti hendak menarik pedangnya. "Bukankah seharusnya Anda memberikan penghormatan padaku?"

Maka tanpa diperintah lagi, Hendrix Cornelius melakukan curtsy, ia membungkuk dengan tangan kanan di dada kirinya. Dia takkan selesai memberi penghormatan jika Nicaise tidak menerima salamnya, tetapi entah mengapa, cukup lama Nicaise tak menjawab salam itu dan malah berujar, "sepertinya putra Anda enggan memberi penghormatan padaku."

Maka dengan kesal, Hendrix mendorong kepala Killian dan memaksanya untuk memberikan penghormatan pula. Hal ini sukses membuat Nicaise terkekeh seraya berujar, "aku terima penghormatan Anda, Marquess."

Nicaise lalu menatap pada Aalisha, kemudian lelaki itu tersenyum simpul. Seolah-olah dia di sini untuk menyelamatkan gadis kecil itu. Sayangnya bukan senyuman balik, Aalisha malah mengalihkan pandangannya, mengepalkan kedua tangan sekuat mungkin karena menahan rasa malu akibat wajahnya memerah dan jantungnya berdegup kencang. Maka tanpa berkata apa pun, Aalisha lekas melangkah pergi begitu saja. Nicaise harus mengejarnya, tetapi sebelum itu, dia berujar, "lain kali, ajarkan sopan santun terlebih dahulu pada putra Anda, Marquess Cornelius, terutama ketika berada di hadapan Majestic Families, sepertiku."

Nicaise pergi dari sana. Sementara Hendrix menatap nyalang pada Killian. "Dasar anak bodoh, apakah kau harus disuapi dahulu untuk memberi penghormatan pada Majestic Families?!" Ia melangkah pergi pula menuju kantor atau ruangan profesor Madeleine atau profesor Eugenius. Killian mengikuti langkah ayahnya meski wajahnya tertekuk penuh kesedihan.

Di sisi lain, Nicaise masih berusaha mengejar Aalisha karena gadis itu sama sekali tak mau berhenti dan tak mau mendengar Nicaise. "Aalisha De Lune."

"Jika kau ingin kata terima kasih," ujar Aalisha, "maka terima kasih meski aku tak butuh bantuanmu!" Sialan, Aalisha berusaha mati-matian untuk menyembunyikan degup jantungnya.

"Aku mencarimu, bukan karena itu," ucap Nicaise kemudian tersenyum lagi.

"Lalu apa?!" balas Aalisha seperti akan marah kapan saja.

Nicaise tersenyum manis. "Kau suka novel Servant of Evil, 'kan?"

"Ya, terus kenapa?"

"Aku hendak memberimu ini," ucap Nicaise sambil menyodorkan sebuah novel yang tebal dan bersampul merah serta ada ukiran warna emas. "Ini novel terbaru dari pengarang yang sama, terbit Minggu lalu dan diedarkan secara terbatas. Aku berhasil mendapatkan dua buku jadi kurasa satunya dapat kuberikan padamu."

"Aku tidak butuh," balas Aalisha tegas meski ia bingung pula, kenapa harus dia tolak?

"Oh ayolah, jangan ditolak karena ini buku sastra!" Maka Nicaise memaksa agar Aalisha mengambil novel tersebut. Setelahnya, Nicaise perlahan mundur dan hendak pergi. "Tak perlu kau bayar, jadi selamat membaca!"

Aalisha diam sejenak, ia merasakan sepoi angin berembus menerpa tubuhnya. Manik matanya menatap pada sampul merah-keemasan ini, tertulis judul novel tersebut, PRAY: Angels of Death, lalu ia menatap langit-langit yang sangat terang tanpa berawan hari ini. Perlahan-lahan novel tersebut ia dekatkan ke hidungnya, menggunakan indra penciuman, ia bisa merasakan wangi mawar yang harum ini, barangkali karena parfume milik Nicaise menempel di buku ini.

Gadis itu masih diam, tanpa ada yang sadar karena sekeliling Aalisha sepi, perlahan ia menutup matanya dan senyuman manis terukir di wajahnya. "Tolong, jangan rasakan karena aku sangat membencinya, aku benci semua manusia di dunia ini. Aku benci takdir dan segala ketidakadilan dalam hidupku. Aku sangat benci hidupku." Maka lekas Aalisha masukan novel tersebut ke dalam Invinirium, wajahnya kini kembali datar dan ia lekas melenggang menuju kelasnya seolah-olah tidak ada yang terjadi detik itu.

****

Malam ini, bulan bersinar cukup terang, tak ada awan berarak yang menutupi cahaya rembulan itu. Sunyi merebak setelah melewati pukul sepuluh malam karena para murid akademi sudah kembali ke asrama masing-masing barangkali ada yang terlelap dalam tidur nyenyak. Namun, di salah satu sudut Akademi Eidothea yang mengarah ke gerbang utama. Di sana sepi karena para Orly yang berjaga, diminta untuk pergi sebentar oleh seorang pria berjubah biru tua, kini menatap putranya dengan sangat sinis.

"Ayah sudah berkali-kali berkata untuk tidak berbuat onar di akademi, jadi ini peringatan terakhir untukmu setelah kejadian kau terluka minggu lalu." Tangan bersarung milik Hendrix Lafayette Cornelius menyentuh leher Killian. Ia berbisik sangat pelan, tetapi setiap kata yang keluar sangat menusuk relung dada. "Lalu ini perintah terakhir yang kuberikan sebelum aku pergi."

Killian menelan salivanya, ia gemetar takut menatap sang ayah. Perlahan Killian mengangguk dan Hendrix berujar, "temukan artefak gelang itu, sebelum aku turun tangan. Jangan sampai satu orang pun ikut campur terutama ketiga Majestic Families."

"Baik Ayah," ujar Killian, bibirnya gemetar. "Aku akan segera menemukan artefaknya."

Senyum Hendrix terukir, ia mengusap pelan belakang kepala Killian. "Putraku yang cerdas. Sekarang Ayah harus pergi, aku akan sampaikan kabar pada ibumu jika kau baik-baik."

"Terima kasih Ayah, semoga perjalananmu baik-baik saja, salam." Killian melakukan curtsy bersamaan Hendrix melenggang pergi yang diikuti oleh kedua Orly-nya menuju kereta kuda dan akan kembali ke kediaman Cornelius di Kerajaaan Kheochiniel.

Killian kembali menegakkan tubuhnya, menatap kepergian ayahnya dengan manik mata yang seperti menahan tangis serta tubuhnya gemetar, ia berusaha menenangkan dirinya sekuat mungkin agar bahunya tak luruh dan ambruk. Ia berpikir jika malam ini benar-benar sunyi, tetapi tak ia sadari jika ada tiga kupu-kupu sayap biru yang sejak tadi terbang di sekitarnya dan telah menguping percakapan antara Killian.

Kini satu kupu-kupu biru terbang menuju sebuah asrama dan hinggap di jemari kecil yang terulur keluar jendela. Bersamaan dengan itu, senyum lebar hingga gigi putih terpatri terlihat menyeramkan di malam sunyi itu. Tawa kecil seorang gadis berambut hitam panjang terdengar di kamarnya sendiri. "Ternyata memang benar." Suara Aalisha De Lune terdengar, ia berucap pada dirinya sendiri atau barangkali pada kupu-kupu yang hinggap di jemarinya? "Jika gelang artefak yang mirip liontin tuan Thompson adalah milik Killian Cornelius atau barangkali milik ayahnya. Sungguh alur yang klise."

Aalisha menatap pada kupu-kupu biru yang seperti memberi informasi lagi. "Apa? Dia tidak langsung kembali ke asramanya."

Maka dua kupu-kupu yang memantau pergerakan Killian, mereka mengikuti Cornelius itu yang berjalan di koridor sebelah timur akademi ini, menuju koridor yang cukup asing bagi Aalisha karena Killian malah menuruni tangga. Kemudian menuju sudut koridor yang sempit, ada beberapa lukisan di sana, lentera, benang merah, bahkan Killian melewati kuil kecil. Hingga berhenti ketika menatap sebuah dinding yang di atasnya ada dua lentera yang apinya bersinar biru menyala.

"Tunggu bukankah dia, Orly waktu itu," gumam Aalisha memantau menggunakan kedua kupu-kupu birunya.

"Salam, Nona Tilliana," ujar Killian pada seorang Orly yang tengah menikmati secangkir teh di kursi putihnya. Tilliana terlihat hanya duduk saja, tanpa peduli dan menggubris Killian seolah-olah apa yang dilakukan Killian bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan.

"Jangan pedulikan aku." Tilliana berucap.

"Baiklah." Killian kembali menatap dinding di depannya, bibirnya bergerak tanpa suara, merapalkan sebuah mantra yang perlahan-lahan cermin besar seukuran tubuhnya, sangat buram dan kotor muncul di dinding tersebut. Ketika cermin itu bersinar putih redup, Killian melangkah dan masuk ke dalam cermin itu hingga tubuhnya lenyap dimakan sang cermin serta ia menghilang dari sana bersamaan cermin tersebut juga menghilang dan lentera kembali bersinar seperti biasa yakni kuning-jingga pudar.

"Kilian memiliki gelangnya, tapi kenapa ia tidak jujur pada ayahnya?" Kedua kupu-kupu Aalisha mengepakkan sayap, hendak beralih menatap nona Tilliana, tetapi Orly tersebut sudah tak ada di koridor tersebut. "Killian menghilang di cermin." Gadis De Lune menatap sinis kupu-kupu di jemarinya. "Kembali." Aalisha memerintahkan kedua kupu-kupunya untuk kembali ke asramanya. Mereka terbang keluar dari koridor melewati taman dalam akademi.

"Tunggu, ada seseorang di sana. Pantau dari jauh." Kini kedua kupu-kupu terbang ke bawah menuju seorang pria yang berada di dekat air mancur di taman dalam akademi Eidothea tersebut. Pria itu terlihat mengenakan pakaian mirip tunik, lalu menatap pada sebuah cawan mirip piringan putih yang melayang, piringan itu sangat besar dan lebar serta tipis, permukaan datar dan lebar berwarna biru gelap menyerupai langit malam dan seperti cairan kental, mirip tinta. Kemudian di tengah-tengah mengambang sebuah jarum jam beserta angka-angka dan ukiran beberapa rasi bintang yang terbuat dari serbuk pasir emas.

"Itu alat sihir," gumam Aalisha, "alat untuk membaca rasi bintang. Kemudian pria itu adalah ... profesor Conor Prambudi."

Para kupu-kupu terbang pergi dari sana, sementara di asrama Arevalous, Aalisha tersenyum sangat lebar, terlihat mengerikan dan jahat seolah-olah ia adalah sosok iblis dalam karya-karya sastra kriminal. "Jagad Dewa, sepertinya kali ini, para makhluk rendahan yang menyebalkan itu lebih banyak dibandingkan masalah Zephyr. Aku jadi penasaran, siapa dalang utama di balik semua ini yang harus kupenggal dengan Deus Sword of Chaos dan kutarik ke Evigheden agar terbakar di sana selama-lamanya."

Setelahnya para kupu-kupu terbang kembali ke sarang mereka, jendela kamar Aalisha tertutup dengan sendirinya ketika gadis kecil itu berbalik dan cahaya yang terlihat dari kamarnya seketika mati. Maka malam itu benar-benar kembali sunyi, ibarat simfoni paling menenangkan sebelum terdengar tabuh genderang seperti gemuruh petir yang akan membawa penderitaan dan malapetaka.

Mari mulai permainannya.

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

|| Afterword #16

Tidak semua orang dapat menempati posisi Principes karena harus mahir dalam segala bidang. selain kemahiran dalam menggunakan sihir dan teknik berpedang, juga harus ahli dalam teknik bela diri tanpa senjata, penyembuhan, hingga memimpin suatu kelompok atau pasukan karena diperlukan kecerdasan terutama membuat strategi melawan musuh. Atas inilah posisi Principes dianggap sangat beban karena selain tugasnya bisa menempati posisi apa pun, ia juga harus bertahan di segala medan bahkan hingga akhir pertandingan karena bertugas pula sebagai pengganti dan penyokong posisi lain yang kosong.

Dalam sejarah Eidothea, jarang sekali para murid bahkan dikalangan Majestic Families yang dengan senang hati menempati posisi tersebut karena bagi yang cerdas pasti paham jika posisi Principes akan sangat sulit dan rawan diincar oleh pihak musuh. Hal ini diperlihatkan di banyak pertandingan jika yang berada di posisi ini, paling awal diincar musuh karena jika Principes tumbang lebih dulu, maka benteng utama kelompok tersebut hancur dan mudah dikalahkan akibat tak ada pengganti di posisi yang hilang.

Kedatangan Marquess Cornelius sepertinya punya tujuan tertentu termasuk menemui putranya yang dikabarkan terluka akibat melawan seseorang, tetapi tampaknya ada tujuan tersembunyi karena kehadiran Marquess tersebut?

Tidak disangka Killian berbohong pada ayahnya juga? Apakah Killian hendak menyimpan sendiri gelangnya? Barangkali ada rencana yang telah ia rancang, tetapi tak mau seorang pun tahu termasuk ayahnya. Namun, bagaimana dengan Nona Tilliana? Dia cukup mencurigakan.

Dan apa yang dilakukan profesor Conor Prambudi?

Prins Llumière

Kamis, 30 Mei 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top