Chapter 24 - Arc 02: Iapthae Portae

|| Total chapter ini sebanyak 5.346 kata. Silakan cari posisi ternyaman untuk membaca.

|| Beri vote dengan komentar 350, kalau nggak capai target, nggak bakal update lagi^^ Jangan spam komentar yang sama.

Aalisha sedikit menyesal karena telah menceritakan segala kejadian yang menimpanya dan tuan Thompson sebelum datang ke Eidothea bulan lalu karena kini seperti biasanya, Anila dan Mylo akan heboh dan panik. Terutama Anila yang pagi buta sudah menemui Aalisha untuk membahas lebih lanjut apa yang terjadi pada mereka ketika di asrama Drystan, mengenai profesor Chameleon, serta serangan tikus pembawa wabah zombie. Bahkan Anila sudah mengaitkan kejadian yang menimpa mereka, sama seperti yang menimpa Aalisha sebelumnya meski mereka tidak berada di kastil misterius atau dungeon. Ya, pasti keduanya saling berkaitan!

Meski Aalisha berkata kalau ketika ia di kastil misterius bersama tuan Thompson, ia tak ada melihat tanda-tanda musuh berupa tikus bayangan yang mengubah makhluk hidup lain menjadi zombie. Namun, Anila tetap keukeuh dengan argumentasinya dan harus meneliti semua ini lebih lanjut, tepatnya mencari tahu informasi sebanyak-banyaknya.

Benar-benar menunjukkan perangai seorang keturunan bangsawan Andromeda yang bahkan Majestic Families saja kemungkinan menyerah menghadapi rasa penasaran dan haus akan ilmu dari seorang keturunan Andromeda. Seperti kini saja, Aalisha dan Mylo merasa sangat lelah untuk menuruti perintah dari Anila Andromeda agar mereka mencari buku-buku yang berkaitan dengan wabah tikus atau informasi lain mengenai profesor Benedict Chameleon di perpustakaan Eidothea. Meski ada jeda sebelum kelas selanjutnya, tetap saja, berkutat dengan berbagai macam buku yang kebanyakan bersampul cokelat tua atau warna gelap, sesaat mata mereka sakit bahkan Aalisha saja merasa hendak pergi dari sini. Bukan masalah dia lelah membaca buku, tetapi sifat overprotective Anila serta gadis itu seperti hendak ikut campur urusan Aalisha yang membuat Aalisha enggan berada di sini.

Hanya saja jika dipikir-pikir lagi. Aalisha juga merasa penasaran dan kesal bercampur aduk. Pasalnya, ia jelas tak punya liontin, andaikata liontin yang membuatnya terlibat dengan malapetaka semalam. Ataukah jangan-jangan ada pemicu lain, selain liontin?

"Aku bersumpah, aku sudah memeriksa setiap sudut rak buku ini, tetapi tidak ada buku yang kita cari atau yang setidaknya berelevansi dengan wabah tikus," ujar Mylo, frustrasi dan depresi menjadi satu, ia duduk dengan geram di lantai, tak peduli jika jubahnya kotor karena debu.

Anila mengkerutkan dahinya, ia menghela napas pula. Sudah sejam lebih mereka di perpustakaan tersebut, tetapi tidak menemukan buku yang mereka cari. "Hanya ada buku yang menjelaskan tentang wabah flu burung, influenza, wabah sapi mengeluarkan susu basi, hingga wabah katak gatal, tidak ada tentang wabah tikus zombie. Jika pun ada kemungkinan hanya membahas wabah tikus yang memakan tanaman di kebun atau sawah."

"Ya, aku juga tak menemukan informasi apa pun," balas Aalisha, "aku coba gunakan kemampuanku, para nyamuk dan kepik bilang, tak ada buku sejenis yang kita cari."

Maka semakin membuat Anila frustrasi sementara Mylo hendak pingsan. Hampir dua jam mereka sia-sia saja di perpustakaan ini sementara kelas profesor Solana sebentar lagi akan dimulai. Seumur hidup mereka, tidak pernah tahu ada sihir wabah tikus yang membuat seseorang berubah jadi zombie.

"Jika dipikir-pikir lagi, bukankah sihir wabah tikus itu sangat mengerikan karena jangkauan sihirnya sangat luas karena menggunakan tikus lalu seseorang yang tergigit akan jadi zombie," ujar Mylo.

"Kau benar, jika pun sebenarnya sihir itu legal, pasti akan membawa bencana jadi menurut teoriku jika sihir itu kemungkinan dilarang karena menyebabkan kematian massal," balas Anila seraya menatap Aalisha yang mengangkat tangannya. "Kau temukan sesuatu?"

"Ya," balas Aalisha lalu seekor kelelawar tiba. Mylo terlonjak kaget saat kelelawar itu melewati atas kepalanya yang kini hinggap di rak buku, kakinya membawa selembar kertas cokelat. "Terima kasih, kau boleh pergi."

Kelelawar tersebut terbang keluar. Lalu Mylo berdiri dan mendekati Aalisha serta Anila yang kini mereka fokus pada kertas cokelat memuat berita memuat mengenai wabah menyerang sebuah Desa.

"Jelek sekali korannya," ujar Mylo.

"Koran ini sudah puluhan tahun, beruntung masih bisa dibaca sebagian," balas Aalisha.

"Mari fokus," ujar Anila, "surat kabar ini memberitakan mengenai serangan sekelompok binatang pengerat di sebuah Desa, menggerogoti rumah hingga menyerang para warga, dikatakan jika ada banyak korban berjatuhan, karena takut jika para binatang pengerat ini menyerang desa lain jadi pihak Kerajaan memerintahkan untuk membakar desa tersebut."

"Tidak ada nama Desanya atau wilayahnya," ujar Mylo.

"Kemungkinan berita ini tidak akurat atau dipalsukan," balas Aalisha, "lihat nama media surat kabarnya, Le Marche, ini adalah salah satu media surat kabar yang dapat disewa oleh para kaum bangsawan bahkan Kekaisaran. Sama halnya seperti media surat kabar Le Banniere dan Le Semaine. Mereka termasuk jajaran surat kabar kapitalis, mementingkan uang dibandingkan keaslian berita."

"Itu artinya?" ujar Mylo.

"Selagi bukan surat kabar dari media Lè Ephraim, maka media lain jangan terlalu dipercaya, mereka hanya mementingkan para petinggi atau siapa pun yang hendak berjabat-tangan," sahut Anila, "apakah tidak ada surat kabar lain yang memberitakan berita wabah tikus? Bagaimana dengan Lè Ephraim?"

"Sayang sekali," balas Aalisha, "aku hanya menemukan surat kabar ini di Eidothea."

"Ah jadi kita kembali buntu," ujar Mylo yang benar adanya, mereka tak menemukan petunjuk apa pun lagi bahkan surat kabar di tangan mereka kini saja tidak membuat informasi yang mereka inginkan karena bisa saja berita ini palsu dan ditutupi untuk kepentingan seseorang.

"Jika berita ini dipalsukan karena ada kepentingan personal atau bangsawan tertentu atau bahkan kerajaan, kenapa dipalsukan ya?" balas Anila.

"Cukup banyak alasannya, terutama jika mengancam posisi kekuasaan suatu bangsawan atau kerajaan bahkan Kekaisaran Ekreadel. Seperti mereka hendak menutupi kejahatan atau kejadian yang terjadi sangat mengerikan jadi ditutupi kebenarannya supaya orang lain tak mencari tahu lebih," balas Aalisha.

"Baiklah, anggap saja kita tak tahu kebenaran dari wabah tikus, tapi kenapa kemarin kita bisa melihat memori masa lalu atau berpindah tempat atau apa pun itu, aku sangat bingung," sahut Mylo.

"Kalau masalah itu ...." kata Anila, tetapi diinterupsi Aalisha.

"Iapthae Portae," balas Aalisha, "jika bukan memori masa lalu maka adalah gerbang teleportasi, tetapi dapat pula memori masa lalu yang bercampur aduk dengan kenyataan karena itu kita diserang para zombie."

"Dan kunci Iapthae Portae-nya adalah?" sahut Mylo.

"Gelang yang Aalisha tak sengaja temukan," sahut Anila, "pertanyaannya adalah, kenapa gelang seperti itu ada di asrama Drystan?"

"Apakah gelangnya masih ada di sana?" timpal Mylo.

Anila sesaat terkejut. "Kita harus mencari gelang itu!"

"Tidak secepat itu, Andromeda," sahut Aalisha, "kelas akan dimulai, lagi pula kudengar jika para murid Drystan sedang berbenah mengumpulkan barang mereka ke tenda tempat mereka tinggal sementara, selagi bangunan asrama akan diperbaiki."

"Tapi ...."

"Aku setuju dengan Aalisha, kita jangan tergesa-gesa, aku juga tak mau kalau kita tertangkap basah menyelinap ke bangunan asrama itu," sahut Mylo.

Anila menggeram seraya mengentakkan kakinya. "Baiklah, ayo kita kembali ke kelas." Sepertinya gadis Andromeda itu marah karena melangkah lebih dulu meninggalkan Aalisha dan Mylo.

"Maafkan dia, dia selalu seperti itu jika padamu, kau tahu 'kan? Terlalu khawatir seperti seorang ibu saja," sahut Mylo lalu menatap Aalisha padahal gadis kecil itu terlihat tak peduli.

"Aku tak memintanya peduli padaku, apalagi terlibat masalah ini, sebenarnya aku juga enggan mencari tahu lebih jauh mengenai apa yang terjadi pada kita kemarin," sahut Aalisha.

Sesaat Mylo merasakan sesak di dadanya, tetapi lekas ia tepis dan berucap, "kenapa?"

Si gadis kecil menoleh, menatap Mylo, dan tersenyum tipis. "Asalkan kau tahu Mylo, terlibat masalah seperti ini takkan membawa keuntungan apalagi jika musibah yang menimpa seorang Majestic Families karena hanya ada dua kemungkinan akhir yang kita dapatkan, kehidupan atau kematian."

Maka Aalisha lekas melangkah sementara Mylo menatap punggung dan bahu kecil gadis itu. Tangan Mylo mengepal kuat. Benar apa yang dikatakan Aalisha bahwa siapa pun yang terlibat musibah atau malapetaka yang menimpa seorang Majestic Families, pasti takkan jauh dari kematian. Inilah yang ibunya Mylo ceritakan padanya. Meskipun begitu, ibunya tidak terlihat sedikit pun menyesal karena memiliki sahabat seorang Majestic Families, terutama De Lune.

Jika ibunya saja mampu bertahan dan bersahabat dengan seorang De Lune, bukankah Mylo juga pasti mampu? Memang kalau Aalisha sangat dingin atau sering tak peduli pada orang lain. Namun, bagi Mylo, gadis itu tetaplah manusia yang pasti punya empati meski sekecil biji jagung dan Mylo ingin bertahan dengan kebaikan kecil itu.

****

Berkata bahwa mereka ada urusan yang harus diselesaikan dan tidak perlu mengkhawatirkan mereka adalah alasan yang dikatakan pada Frisca, Gilbert, dan Kennedy. Seperti biasa, mereka tak ingin ketiga teman tersebut terlibat, ini adalah perintah Aalisha juga karena bagi gadis itu semakin banyak yang terlibat semakin berat pula beban yang ia tanggung. Terdengar jahat, tetapi begitulah kenyataannya, apalagi mereka belum punya keahlian seperti Aalisha bahkan mustahil bisa setara dengan Aalisha yang notabenenya adalah manusia istimewa.

"Kau yakin kita takkan tertangkap?" kata Mylo, mereka berjalan di koridor menuju ke pintu keluar lain yang dekat dengan asrama Drystan.

"Ya, ini menuju sore, kuyakin para murid sudah tak ada di sekitar asrama itu lagi," balas Anila.

"Bagaimana jika gelangnya tak ada di sana atau ada yang mengambilnya?" sahut Mylo lagi.

"Gelang itu adalah kunci gerbang teleportasi," balas Aalisha, "kalau seseorang mengambilnya maka ia akan otomatis seperti kita, tetapi sejauh ini tak ada tanda-tanda murid pingsan atau menghilang."

"Setidaknya kita harus memastikan langsung apakah gelangnya masih ada atau tidak," sahut Anila.

Mereka bertiga mempercepat langkah. Saat masih mengobrol, Aalisha tak sengaja menabrak bahu seorang profesor yang tergesa-gesa. Membuat buku-buku dan kertas berhamburan di lantai.

"Maafkan kami, Profesor," ujar Anila. Lekas ia dan Mylo membantu profesor tersebut merapikan buku dan kertas cokelat yang berserakan di lantai. Sementara Aalisha hanya diam dan tak berkeinginan membantu.

"Tidak masalah, salahku karena terburu-buru," sahut profesor tersebut yang mengenakan pakaian bangsawan warna cokelat. "Terima kasih sudah membantuku." Ia lalu menatap Aalisha. "Salam, Nona De Lune."

Hanya dibalas anggukan oleh Aalisha dan setelahnya profesor tersebut berterima kasih lagi kemudian pamit karena sangat tergesa-gesa, ada urusan penting yang harus dia lakukan.

"Siapa dia?" sahut Aalisha setelah mereka kembali berjalan.

"Aku tak terlalu kenal, hanya tahu namanya, profesor Conor Prambudi," sahut Anila.

"Prambudi, bangsawan apa?" sahut Aalisha karena baru tahu jika ada keluarga bangsawan bernama Prambudi. Ah, tetapi Kekaisaran Ekreadel sangat besar jadi mustahil juga Aalisha mengingat setiap nama bangsawan.

"Kemungkinan dia cabang dari bangsawan tinggi, tapi aku juga tak tahu pasti," sahut Anila.

"Memangnya ada apa, kenapa kau bertanya?" balas Mylo.

Aalisha mengedikan bahunya. "Entahlah, aku hanya tak suka caranya memandangiku. Abaikan saja karena aku tak mau berurusan dengan makhluk rendahan."

Anila dan Mylo hanya mengangguk, tidak tahu harus benar-benar menjawab dengan apa jika Aalisha sudah mengeluarkan kata-kata seperti makhluk rendahan atau makhluk sepele. Sebenarnya ini adalah kata lumrah dan sudah sering terdengar dari mulut Majestic Families. Lagi pula, Anila pernah mendengar kalimat yang jauh lebih sakit dibandingkan perkataan yang Aalisha ucapkan dan kalimat itu diucapkan oleh keturunan Drazhan Veles.

"Kurasa dipasang barrier?" ujar Mylo. Mereka sembunyi di semak-semak dekat bangunan asrama Drystan.

"Tidak," ujar Aalisha.

"Oke, ayo masuk, kita lewat celah dinding yang hancur," balas Anila yang langsung percaya dengan Aalisha begitu juga Mylo percaya pula tanpa basa-basi bertanya.

Menuju celah dinding yang rusak setelah menyeberangi sungai asrama Drystan. Mereka susah payah untuk masuk ke dalam karena celah dindingnya cukup kecil dan sempit. Anila pertama masuk, kemudian disusul Mylo yang harus ditarik oleh Anila karena badan lelaki itu tersangkut. Ketika giliran Aalisha, gadis itu merangkak masuk dengan sangat mudah karena badannya kecil.

Mylo terkekeh karena melihat Aalisha. Lekas ditendang kaki Mylo dengan kuat. "Jangan tertawa," ujar Aalisha sementara Mylo mengusap kakinya yang berdenyut.

"Baiklah, di sinilah kita," ucap Anila.

Mereka mengedarkan pandangan pada bangunan asrama yang penuh debu, atap rusak sehingga sinar matahari tembus ke dalam, anak tangga banyak yang rusak bahkan kayu-kayu mencuat keluar, seperti kapal yang menabrak batu karang. Masih ada beberapa barang yang berserakan, terutama barang atau pakaian hangus, kaca jendela pecah berserakan serta masih banyak lagi kekacauan yang kemarin diperbuat oleh binatang magis.

"Hippi," ujar Aalisha dengan wajah datar.

"Kenapa kau panggil?!" sahut Mylo, "akan jadi masalah jika makhluk kecil itu muncul lagi."

"Aku hanya memastikan apakah ada Hippibia yang tersisa di sini, ternyata tak ada," balas Aalisha.

"Jangan bertengkar kalian berdua," ucap Anila, menghela napas. "Ayo ke atas, hati-hati dengan lantai kayu yang rusak."

Cukup berhati-hati mereka menginjak lantai yang kayunya berderit serta dinding rusak hingga mereka bisa melihat keluar. Sungguh sangat kacau asrama ini bahkan memprihatinkan terutama kamar-kamar para murid yang hancur lebur dan berantakan. Betapa malang hidup anak Drystan. Berada di lantai empat, kerusakannya semakin parah, pasti karena Hippibia kemarin, berada di lantai atas, jadi dipastikan kalau lantai lima akan semakin hancur jadi mereka harus berhati-hati.

Langkah kaki Aalisha berhenti. Mylo berucap, "ada apa, kenapa kau berhenti?"

Aalisha tak menyahut, dia hanya menoleh pada Anila yang lekas mengangguk, lalu Anila melirik pada Mylo. Meski awalnya tak paham. Lelaki itu lalu sadar akan kode yang diberikan. Maka lekas mereka menuju ke lantai atas karena merasakan Neith seseorang di bangunan ini selain mereka.

"Hey, berhenti!" teriak Anila lekas menggunakan mantra untuk menyerang seseorang yang berjubah dan menutupi wajahnya dengan tudung dan kain hitam tembus pandang. Namun, serangan Anila diblokir.

Serangan balik menyerang Anila, syukurnya gadis itu ditarik Mylo dan selamat kemudian Mylo menyerang menggunakan mantra bola api. Sekali lagi, serangan Mylo berhasil ditepis yang menyebabkan dinding retak sedikit. Sosok berjubah hitam hendak kabur dengan melompat keluar melalui dinding yang rusak. Hanya saja, sebelum ia melompat, kakinya tiba-tiba terjerat rantai yang lekas menyeretnya ke dalam kamar hingga tubuhnya menghantam kasur yang kini patah jadi dua.

Langkah Aalisha terdengar pelan mendekati si jubah hitam yang tak bisa menggerakkan kedua kakinya. Berada di hadapannya, seorang putri Agung Keturunan De Lune berdiri dengan sangat angkuh. Menatap nyalang sementara kedua temannya tiba dan berada di belakangnya. "Jangan mencoba untuk kabur jika tak mau kupatahkan kedua kakimu."

Aalisha tak main-main dengan perkataannya. Kini dia berniat memberi ancaman lagi agar si jubah hitam melepaskan tudung dan kain yang menutupi wajahnya. Namun, sebelum ancaman keluar dari mulutnya, si jubah hitam lebih dulu mengatakan identitasnya.

"Apa maumu, De Lune!" teriak si jubah hitam yang ternyata sosok yang sangat Aalisha kenali berada di balik tudung tersebut. "Kau selalu saja ikut campur! Hanya karena kau Majestic Families, jangan seenaknya ikut campur dengan urusan orang lain!"

"Jadi kau Killian!" teriak Mylo, "apa yang kau lakukan di sini?!"

"Rencana jahat apalagi yang kini kau perbuat?" ucap Anila melangkah hingga ke depan Killian. "Harusnya kubunuh kau sewaktu di hutan."

"Rencana jahat?!" teriak Killian, "ini asramaku, bajingan! Jelas aku kemari untuk mencari barang-barangku, kalian lah yang patut dicurigai, kenapa anak-anak Arevalous berada di asramaku jika tidak ada rencana licik yang hendak kalian lakukan!"

"Keparat!" balas Anila lekas menarik kerah baju Killian dan hendak menyerang lelaki sialan itu. Namun, tertahan ketika ada serangan lain yang hampir melukai Anila jika tidak Mylo tepis mantra tersebut.

"Lepaskan dia, Nona Andromeda," ujar seorang perempuan, tepat di ambang pintu perlahan maju bersama dengan sahabatnya. "Dia tak punya rencana jahat apa pun. Kami hanya diperintah Kepala Asrama kami untuk mengecek asrama ini jika masih ada barang yang tertinggal." Perlahan ia menatap Aalisha. Dengan gemetar, ia memberi hormat. "Salam, Nona De Lune."

"Salam, Nona De Lune," kata temannya juga.

Alis Aalisha terangkat, ia sangat kenal kedua gadis di tahun kedua ini sekaligus dua gadis yang ia temui jauh sebelum resmi menjadi murid Akademi Eidothea. "Kurasa sudah lama, aku tak melihat kalian berdua, Bethany dan ... Jasmine Delilah."

Bethany menelan saliva sementara Jasmine bersembunyi di belakang Bethany. Kemungkinan karena trauma di masa lalu serta kenyataan bahwa Aalisha adalah putri De Lune, membuat gadis itu kehilangan percaya diri dan keangkuhannya. Bahkan berusaha menatap Aalisha saja, ia tak mampu.

Bethany berdeham. "Aku sekali lagi mengulangi perkataanku jika Killian Cornelius tidak melakukan kejahatan atau apa pun itu seperti tuduhan kalian."

"Apa buktinya? Apakah kalian siap kehilangan lidah jika kalian berbohong?" balas Aalisha yang seketika suasana jadi mencekam. Gadis itu berucap tanpa ekspresi yang begitu kentara jadi ia semakin menyeramkan.

Bethany berusaha mengumpulkan kata-kata, lagi pula ia berkata serius. "Aku bisa membuktikannya dengan membawamu menemui Kepala Asrama kami bahwa kami hanya diberikan tugas untuk mengecek apakah masih ada barang penting yang tertinggal di sini."

"Baiklah," balas Aalisha sangat puas melihat rasa takut di wajah Bethany terutama Jasmine yang terus menundukkan pandangannya karena takut. "Aku percaya, tapi mengapa, Cornelius itu harus menutupi wajahnya dengan kain? Apakah tugas yang diberikan pada kalian, haruslah menyembunyikan wajah?"

Lekas Killian mendorong Anila dan maju selangkah, terlihat hendak menyerang Aalisha atau malah kabur. Namun, sekali lagi, mereka yang ada di ruangan tersebut, tidak bisa dibandingkan dengan Aalisha yang jauh lebih kuat karena kini tubuh Killian tak bisa bergerak bahkan Bethany, Jasmine, Mylo, dan Anila pun tak bisa menggerakkan tubuh mereka. Saat menatap ke lantai, mereka baru sadar jika kini mereka berpijak di atas pentagram sihir biru milik Aalisha.

Mereka bersamaan melirik pada Aalisha. Kapan gadis itu merapalkan mantra? Sejak tadi ia terlihat berbicara pada Bethany dan tak ada tanda-tanda ia merapalkan mantra, apakah setiap ia berucap tadi, termasuk rapalan mantra? Tidak! Lebih tepatnya adalah gadis itu menggunakan sihir tanpa rapalan mantra. Kini tubuh mereka merinding ketika Aalisha membuka mulutnya lagi.

"Aku bisa saja membunuh kalian semua detik ini juga dan aku takkan dihukum karena membunuh beberapa nyawa manusia rendahan dan sepele seperti kalian. Terutama kau, Cornelius sialan."

Rasa takut merayapi tubuh Killian ketika Aalisha melangkah dan sebuah besi tipis dan panjangnya se-telapak tangan orang dewasa kini persis berada di leher Killian dan hanya beberapa sentimeter saja akan menggorok tenggorokan lelaki itu. Suara Aalisha berbisik dengan halus. "Sekali lagi kukatakan, apa yang kau lakukan di sini? Jangan mencoba untuk berbohong karena aku bisa membunuhmu. Apakah kau lupa jika aku De Lune, posisiku di dunia ini jauh lebih terhormat dibandingkan para raja dan kaisar di tanah Athinelon ini."

"Aalisha," ujar Mylo dengan lembut. "Kumohon, bukan begini caranya."

Helaan napas terdengar. Gadis itu menarik tangannya dan menatap Mylo. "Kau menyebalkan---"

"Kalian dengar," cicit Jasmine, suaranya sangat kecil. "Ada suara nyanyian, seseorang sedang bernyanyi."

"Aku juga dengar," balas Mylo, "tapi terdengar sedih."

"Dindingnya," ucap Bethany. Mereka kini menatap dinding bangunan ini yang terlihat seperti diselimuti es serta hawa di sekitar mereka menjadi dingin. Cuaca di luar juga menjadi gelap.

"Laaaaa la laaaaaa la laaaaa."

"Nyanyiannya semakin keras," ucap Anila.

"Ada seseorang di bangunan ini selain kita," sahut Aalisha. Lekas ia melenyapkan pentagram sihirnya lalu berjalan keluar, diiringi oleh Anila dan Mylo, kemudian Bethany, Jasmine, dan Killian.

Detik itu betapa mereka bisa merasakan ketakutan dan punggung mereka merinding terkecuali Aalisha. Keringat dingin mengucur meski hawa di sekitar mereka sangat dingin. Kini tubuh mereka terpaku ketika berada di koridor tersebut, sesosok makhluk asing, terlihat perlahan mendekati mereka. Makhluk itu pasti bukan manusia, tubuhnya tinggi, sekitar 200 sentimeter. Gaunnya putih kotor penuh sobekan dan rendanya merah darah, saking panjangnya gaun tersebut sehingga menyapu lantai setiap ia bergerak, pergerakannya tidak terlihat seperti manusia melangkah, melainkan melayang sehingga tak terlihat kedua kakinya. Kulit makhluk tersebut putih pucat, kurus seperti hanya tulang tanpa daging, sehingga kulitnya seperti bergelambir, rambutnya yang hitam, kusut, sangat panjang hingga mencapai lutut, tidak terlihat matanya karena tertutupi poni, tetapi mulutnya tersenyum lebar hingga gigi tajamnya bak gigi hiu terpatri dengan jelas.

Mungkinkah makhluk itu adalah ....

"Oh Dewa," ujar Bethany, "itu pasti dia ...."

"Nona Sillavana Yinrieth," cicit Jasmine, hampir menangis. "Hantu itu di sini."

Langkah Sang Hantu berhenti, seraya mulutnya terbuka lebar, sangat lebar hingga rahangnya menjuntai seperempat dari tingginya. Makhluk tersebut sangat mengerikan, terutama aura Neith yang sangat mengerikan dan penuh emosi negatif. "Kalian pergi dari ini!!" teriak Aalisha, "ini perintah dariku!"

Seketika suara jeritan dari Sillavana Yinrieth terdengar menggelegar, langsung memekakkan telinga mereka semua yang sontak menutupi telinga saking mengerikannya jeritan itu bahkan menggetarkan bangunan asrama ini hingga debu dan serbuk dinding batu berjatuhan. Sekitar lima detik Sillavana Yinrieth menjerit lalu berhenti dan menutup mulutnya.

"Kenapa kalian hanya diam," teriak Aalisha lagi. "Kuperintahkan pergi dari sini, lewati celah ...."

"Aalisha," ujar Mylo, ia memuntahkan darah sangat banyak, bahkan hidungnya juga berdarah.

"Oh tidak, Jasmine!" teriak Bethany karena Jasmine juga muntah darah yang sangat kental hingga menggenangi lantai berdebu. Seketika tubuh Jasmine ambruk ke lantai.

"Mylo, kumohon jangan pingsan," ujar Anila mendekap tubuh Mylo karena lelaki itu hendak pingsan pula. Sementara Killian hanya terdiam karena ketakutan.

Aalisha diam sejenak melihat kedua manusia yang tak berdaya di hadapannya ini. Helaan napas gadis itu terdengar. Ia lalu melirik si hantu yang hanya diam saja, tetapi senyuman terukir jelas seolah-olah hendak merobek mulutnya serta menandakan kematian. "Pergi dari sini."

"Tapi---"

"Anila Andromeda, jika kau membantah, maka aku takkan bertanggung jawab jika kau akan pulang menemui orang tuamu dalam keadaan tanpa kepala atau jasad," sahut Aalisha melangkah maju untuk menghadapi Sillavana Yinrieth. "Kuperintahkan sekali lagi, pergi dari sini, jangan sampai De Lune ini mengulangi perkataannya lagi!"

Maka lekas Anila merangkul Mylo dan menopang lelaki itu sementara Bethany dan Killian membopong Jasmine, mereka akan kabur melewati celah dinding di belakang mereka. Hanya saja, ketika mereka melangkah, Sillavana Yinrieth terlihat hendak menjerit lagi.

"Oh tidak akan kubiarkan suara sumbangmu itu terdengar lagi!" Pentagram biru muncul, lesakkan besi diselimuti Neith menerjang ke arah hantu tersebut hingga suara berdentang terdengar, bersamaan debu-debu di lantai dan dinding berterbangan. Aalisha melirik ke belakang. Para manusia itu termasuk Anila dan Mylo sudah keluar dari bangunan ini.

"Sialan," umpat Aalisha karena besi-besi yang ia gunakan malah terbang ke arahnya kembali hingga Aalisha harus menghancurkan besi tersebut. Parahnya lagi adalah Sang hantu tak terluka sama sekali.

Manik mata Aalisha melebar saat Sillavana Yinrieth merapalkan mantra, maka asap putih melayang-layang dan terasa dingin mulai menerjang ke arah Aalisha. Maka dengan arena pertarungan yang sempit ini. Aalisha berusaha semampunya untuk menghindari asap putih dingin, tetapi ketika terkena jubahnya, maka jubah Aalisha meleleh seperti terkena cairan korosif. Ia berdecak karena asap putih tersebut ibarat zat kimia yang melelehkan segala benda.

Rapalan mantra, Aalisha lantunkan bersamaan mantra petir yang menyerang Silvana Yinrieth. Namun, sekali lagi, serangan Aalisha gagal mengenai hantu tersebut dan malah angin berembus kencang serta asap putih menerpa tubuh Aalisha. Lekas gadis itu membuat pelindung dengan Neith, tetapi selubung pelindungnya malah perlahan meleleh seperti plastik dimakan api. Rasa kesal menyeruak karena jubah Aalisha rusak, ia membuang jubahnya lalu detik selanjutnya, ia melantunkan rapalan mantra lagi yang mengeluarkan api ibarat ombak pantai dan berhasil menyapu bersih tubuh sang hantu. Itulah yang Aalisha harapkan, tetapi yang ia dapatkan adalah Sillavana Yinrieth tersenyum dan terukir jelas bahwa hantu tersebut tak memiliki mata, seperti buta.

"Sebenarnya siapa kau?" ujar Aalisha.

Sillavana Yinrieth tersenyum lagi. "Iblis ... kau iblis! Iblis sepertimu tak pantas hidup!"

Manik mata Aalisha berubah menjadi tajam dan gelap, ia menatap dengan kesal. "Hantu sepertimu lebih baik kembali ke neraka."

Jeritan terdengar lagi, asap putih yang seperti awan seketika menerjang Aalisha, kali ini ia tak sempat membuat pelindung dari selubung Neith. Maka sukses membuat seragam Aalisha sebagian meleleh atau hangus, menyebabkan luka bakar begitu pula dengan wajah dan leher Aalisha yang kini kulitnya perlahan-lahan terkelupas dan berdarah hingga memerah seperti memperlihatkan daging gadis itu.

Sejenak Aalisha menutup matanya seraya merapalkan mantra. Maka rantai-rantai besi menjerat seluruh tubuh Sillavana Yinrieth serta besi panjang berhasil menembus mulut hantu tersebut hingga suara rintihan terdengar. Apakah Aalisha berhasil menyegelnya? Sayangnya dia gagal karena tiba-tiba Sillavana Yinrieth terbebas dari rantai dan besi yang menusuk mulutnya. Suara jeritan terdengar bersamaan dua besi menerjang dan berhasil menembus perut Aalisha.

Gadis itu memuntahkan darah lalu Sillavana Yinrieth berteriak kencang, angin puyuh keluar dari dalam mulutnya dan mendorong Aalisha, mengempaskan gadis itu bersamaan dinding dan atap asrama Drystan hancur kembali. Aalisha terlempar jauh hingga tubuhnya terbanting ke tanah.

Betapa gadis itu menjerit ketika punggungnya menghantam rerumputan yang membuat dua besi di perutnya terdorong ke atas dan ujungnya tertancap pula ke tanah. Gadis itu kembali memuntahkan darah dan kini tubuhnya terpaku di tanah akibat kedua besi. Dia bisa mendengar suara tangisan Sillavana Yinrieth yang perlahan menuju Aalisha. Maka lekas gadis itu menarik kedua besi di perutnya hingga darah memuncrat. Ia lekas berdiri dan berlari menjauh dari Sillavana Yinrieth.

"Sialan, aku tak punya waktu melepaa segel pertamaku." Langkahnya gontai, darah bercucuran di rerumputan, ia berusaha mengobati perutnya, tetapi dia merasakan jika Neith-nya terkuras habis, serta densitas Neith di sekitarnya lebih rendah. Apakah karena hantu tersebut? Aalisha melangkah pelan, ia harus melawan jika perutnya sudah lumayan membaik. Namun, kedua kakinya terasa sangat lelah untuk melangkah, bahkan parahnya, kini kedua telinganya mulai mengeluarkan darah.

"Ada seseorang di sini," gumam Aalisha ketika menyadari ada Neith murid lain di dekatnya, entah milik siapa, tetapi ia harus pergi ke sana.

Hingga akhirnya ia berada di dekat kedua murid yang terlihat sedang meneliti beberapa ekor burung magis termasuk Amadeo yang tengah bertelur. Kedua gadis itu sangat fokus pada tugas mereka, tetapi terdistraksi oleh kehadiran Aalisha.

"Sialan, kenapa harus mereka berdua?" Setidaknya itulah yang terpatri di wajah Aalisha yang pucat pasi.

"Kau," kata Eloise Clemence. "De Lune, apa---"

"Oh Ya Dewa," ucap Nathalia langsung mendekati Aalisha yang perlahan Aalisha tertunduk, kedua lututnya lebih dulu menyentuh tanah lalu ia ambruk ke rerumputan. "Nona De Lune, hey, hey kau dengar aku? Sialan, dia terus berdarah, tubuhnya penuh luka bakar! Eloise panggil seseorang, aku akan memberikan pertolongan pertama padanya ...."

Nathalia menelan saliva ketika melihat sesosok makhluk asing bergaun putih yang kini mendekati mereka. Membuat pohon-pohon dan semak-semak bahkan rerumputan jadi tertutupi es dingin serta asap putih mengepul di belakangnya. Nathalia tahu siapa makhluk asing tersebut, termasuk Eloise. Kini perlahan keturunan Clemence melirik pada Aalisha yang pingsan.

"Enyahlah Sillavana Yinrieth," kata Eloise, suaranya lantang dan dingin, tapi tegas. "Jangan dekati bocah ini."

"Khi khi khi." Hantu tersebut malah menertawakan Eloise, membuat gadis itu geram.

"Jangan tertawa, karena manusia dan Orly saja posisi mereka jauh berada di bawahku, apalagi hantu sepertimu." Kalimat Eloise memiliki makna agar Sillavana Yinrieth pergi dari hadapannya.

Hanya saja bukan menuruti perintah Eloise, Hantu tersebut malah tersenyum lebar. Maka membuat Eloise semakin kesal. Ia akan gunakan kekuatannya untuk membunuh hantu rendahan tersebut. Namun, darah perlahan menetes dari hidung Eloise.

"Yang Mulia, kau berdarah, khi khi khi," kata Sillavana Yinrieth.

"Bajingan, berani makhluk menjijikkan sepertimu menertawaiku!"

Tubuh Eloise dilapisi Neith merah menyala, ia siap untuk menyerang hantu rendahan itu, tetapi Sillavana Yinrieth menyingkirkan poni yang menutupi matanya seraya mata butanya perlahan muncul cahaya merah menyala. Detik itu, Eloise merasakan kengerian, tetapi ia tak takut dan siap menggunakan kemampuan mistis. Hanya saja, gaun putih lain tiba-tiba muncul di hadapan Eloise bersamaan suara serak terdengar.

"Dia sangat berbahaya. Palingkan wajahmu! Jangan tatap matanya, Yang Mulia Putri Agung Clemence!" Suara Lilura terdengar memerintah, mau tak mau dituruti Eloise bahkan Nathalia pun memalingkan wajah sambil menutup mata.

"Sudah cukup," kata Lilura, ia melayang-layang di hadapan Sillavana Yinrieth. "Jangan ganggu mereka lagi."

Sillavana Yinrieth menutup matanya dengan poni lagi. "Jangan ikut campur!"

"Aku tak bisa tidak ikut campur," ujar Profesor Ambrosia baru tiba, ia dibalut gaun merah muda. Manik mata pink rouge-nya menatap tajam. "Mereka adalah muridku, jangan berani macam-macam pada mereka."

Lekas Sillavana Yinrieth melirik pada profesor Ambrosia yang kini berdiri di samping Eloise yang masih menutup matanya. Ambrosia berujar lagi. "Pergilah, jangan berani menyakiti murid-muridku atau aku takkan segan membuatmu menderita."

Detik itu, bukannya pergi. Tampak tangisan Sillavana Yinrieth terdengar sangat menyakitkan. "Anak itu harus mati ...."

Kemudian terus menangis tanpa henti, betapa menyakitkan seolah seluruh kesedihannya tumpah pada detik itu, ia lalu menunjuk Aalisha. "Dia bencana dan malapetaka!! Bunuh, bunuh, bunuh dia ... sebelum kehancuran terkuat bangkit kembali! Dia harus dibunuh! Anak itu malapetaka bagi seluruh dunia! Dia kehancuran dan ketiadaan! Dia harus mati!!" Maka hilanglah Sang hantu secara perlahan-lahan.

Hening menyeruak, profesor Ambrosia merasakan dadanya sesak saat mendengar bahwa Aalisha dianggap malapetaka dan harus dibunuh. Sillavana Yinrieth memang hantu yang tak bersahabat bahkan membenci setiap orang di akademi ini. Namun, dia tak pernah benar-benar menyerang seseorang hingga terluka parah. Hanya saja, kini dia jelas berusaha membunuh Aalisha dan entah apa alasannya.

"Profesor!" teriak Nathalia, "kita harus membawanya ke rumah sakit Eidothea!"

Lekas profesor Ambrosia tersadar dari lamunannya. Ia mendekati Aalisha dan mengecek kondisi gadis tersebut. Maka tanpa basa-basi ia menggendong tubuh Aalisha hingga gaun cantiknya terkena darah. Ambrosia dan Lilura lekas membawa Aalisha ke rumah sakit setelah memberi perintah pada Eloise agar diperiksa juga atau diobati Nathalia, tetapi Eloise menolak karena ia sudah baik-baik saja. Kini keduanya menatap kepergian profesor Ambrosia yang menggendong Aalisha dengan perasaan sangat panik.

"Kau mendengar yang dikatakan Sillavana Yinrieth?" ujar Nathalia.

"Ya," balas Eloise seraya mengusap hidungnya dengan sapu tangan putih. "Itu hal biasa dikatakan pada Majestic Families, jadi jangan dipikirkan, ayo pergi. Aku merasa lelah."

"Malapetka, ketiadaan, dan kehancuran, kau anggap itu hal biasa?" ujar Nathalia lagi.

"Sillavana adalah hantu, dia gila sewaktu masih manusia maupun jadi hantu, dia hanya membenci orang-orang karena nasibnya buruk. Jadi jangan pedulikan."

"Dengan artian secara tak langsung kau membela Aalisha, benar bukan?"

Eloise diam sejenak. "Bocah De Lune tolol itu adalah Majestic Families, aku juga, kami punya kesamaan karena lahir sebagai keturunan utama, tetapi secara pribadi aku membencinya."

****

Gelap gulita telah menyelimuti, awan-awan berarak menutupi sinar bulan, angin bertiup dengan pelan membuat dahan-dahan pepohonan saling bergesekan menimbulkan suara gemerisik pelan. Kunang-kunang terlihat berterbangan di sekitar akademi Eidothea serta para Orly mulai berjaga karena sudah memasuki jam malam.

Kini Aalisha menatap langit-langit rumah sakit Eidothea, lampu gantung paling terang dimatikan jadi hanya lentera redup dan temaram yang menyinari ruangan sunyi ini, dipenuhi kasur-kasur putih kosong, hanya satu kasur saja yang terisi karena gadis itu satu-satunya di dalam ruangan tersebut. Aalisha mengangkat tangan kanannya, ada plester kecil di pergelangan tangan, sepertinya bekas disuntik, lalu ia mengenakan pakaian tidur, serta perban melilit perutnya yang terluka. Jika diperhatikan, wajah Aalisha masih sedikit memerah, tetapi tidak separah sebelumnya.

Gadis itu selamat, tak Aalisha sangka. Entah siapa yang membawanya ke rumah sakit karena terakhir kali ia ingat, ia pingsan di hadapan Nathalie dan Eloise. "Mereka pasti akan menertawakanku nanti."

Ia memunculkan Cyubes-nya, lalu suara derit pintu terdengar. Seorang pria tua yang mengenakan tunik serta membawa lilin kecil perlahan mendekatinya. Aalisha pun memberi salam. "Salam, Profesor Eugenius."

Senyuman teduh profesor Eugenius terukir. "Salam, Nona Aalisha. Akhirnya kau sadar juga, kau pingsan hampir enam jam."

"Ah, jadi selama itu, aku pingsan," balas Aalisha, bingung harus menjawab atau bercakap-cakap tentang apa.

"Teman-temanmu baik-baik saja, Mylo dan Jasmine Delilah sudah diobati dan tidak perlu dirawat intensif di rumah sakit," sahut profesor Eugenius karena paham kegundahan Aalisha.

Aalisha mengangguk canggung. "Ya, pasti mereka baik-baik saja dan perlu kukoreksi jika Jasmine Delilah bukan temanku."

Profesor Eugenius sangat paham bagaimana jalan pikiran Aalisha. "Aku sangat meminta maaf atas apa yang terjadi padamu." Pria tua itu berujar setelah menggunakan sihir pada salah satu lentera agar bersinar lebih terang. "Aku tak pernah memikirkan kemungkinan jika Sillavana Yinrieth berusaha membunuhmu dan entah apan alasannya."

Aalisha hanya diam.

"Untuk saat ini, kami sudah berusaha mencari Sillavana Yinrieth karena dia menghilang, jika sudah ditemukan kami akan segera memproses masalah ini karena dia berusaha membunuhmu, Keturunan Agung De Lune," jelas profesor Eugenius lagi.

"Ya, terima kasih sudah memproses masalah ini," balas Aalisha, entah mengapa dia terlihat lelah untuk membahas si hantu atau mengulik lebih dalam dengan memberikan banyak pertanyaan pada profesor Eugenius.

"Makananmu akan tiba, setelahnya kau bisa beristirahat kembali," ujar profesor Eugenius, "adakah yang hendak kau tanyakan? Apa saja, aku akan menjawabnya."

"Baru-baru ini Anila Andromeda memberikan pengetahuan baru padaku, mengenai seseorang bernama Benedict Chameleon," ujar Aalisha, menatap profesor Eugenius. "Apakah benar, Beliau adalah kepala sekolah sebelum Anda."

"Tidak sepenuhnya benar," balas profesor Eugenius, "karena sebelum diriku, ada seseorang yang menjadi kepala sekolah sementara dan tidak resmi karena mengisi kekosongan sementara posisi mendiang Benedict Chameleon sebelum aku terpilih, jadi sebelum orang itu, profesor Benedict Chameleon yang menjadi kepala sekolah ini. Apakah cukup menjawab?"

"Satu pertanyaan terakhir," balas Aalisha.

"Tentu."

"Apakah profesor Benedict Chameleon punya keturunan?"

Sesaat profesor Eugenius berpikir. "Ya, dia punya, tetapi kemungkinan sudah berumur sepertiku."

"Terima kasih atas jawabannya," balas Aalisha, "salam Profesor."

"Salam, Nona Aalisha," ujar profesor Eugenius, "oh, makananmu sudah tiba. Selamat menikmati dan segeralah beristirahat setelah makan."

"Terima kasih." Kini seorang Orly mendorong troli tepat berhenti di samping kasur Aalisha. Semua makanannya masih hangat.

"Selamat menikmati makanan Anda, Yang Mulia," ujar Orly tersebut kemudian pergi.

Aalisha menatap kepergian Orly tersebut lalu melirik Cyubes-nya yang ternyata sejak tadi menampilkan panggilan dengan Anila Andromeda. "Kau dengar tadi Anila," ujar Aalisha seraya memakan sup ayamnya.

Anila dan Mylo berada di kamar Anila dan menatap Cyubes. "Ya, kami dengar," kata Anila, "profesor Benedict Chameleon memiliki keturunan jadi kita bisa saja bertanya pada keturunannya mengenai wabah tikus jika memungkinkan."

"Kau benar." Aalisha sesaat menatap sup ayamnya. "Ini akan jadi masalah yang panjang."

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

|| Afterword #13

Kini dimulai Arc 02 dari Book II mengenai gerbang teleportasi dan semacamnya, sehingga Arc ini cukup penting untuk penunjang cerita ke depannya.

Berdasarkan cerita, tampak Aalisha merasa sedikit menyesal bercerita banyak hal pada Anila dan Mylo? Kemungkinan ia masih berpikir jika kedua manusia itu hanyalah beban:) atau Aalisha terbiasa melakukan segala hal sendiri?

Sepertinya Killian menunjukkan gerak-gerik yang aneh, kira-kira ada yang bisa menebak?

Kali ini mari berkenalan lebih dalam mengenai tokoh bernama Sillavana Yinrieth---apakah ia adalah Orly layaknya Galee Ginan dan Tamerleine atau hantu seperti rumornya? Meski hanya sekadar hantu yang bergentayangan, tapi Sillavana Yinrieth seperti membawa sebuah petunjuk besar atau sekadar ungkapan kebencian sesosok hantu pada Majestic Families?

Hanya saja aneh ya, jika sang hantu yang biasanya tak menyerang para murid meski benci mereka, mengapa pada Aalisha malah berniat sekali membunuh? Ada yang mau berteori?

Oh ya, tumbenan Eloise mau menolong Aalisha.

Prins Llumière

Sabtu,  20 April 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top