Chapter 23
|| Total chapter ini sebanyak 3.137 kata. Silakan cari posisi ternyaman untuk membaca.
|| Beri vote dengan komentar 300, kalau nggak capai target, nggak bakal update lagi^^ Jangan spam komentar yang sama.
|| Mohon maaf baru update karena ada urusan di real-life
Mereka gagal menyelamatkan diri karena cahaya putih terang dan membutakan mata seketika melahap mereka bertiga. Berangsur-angsur, ketika membuka mata, sekitar mereka bukan lagi dinding asrama Drystan yang sebagiannya hancur, mereka juga tak berpijak di lantai karpet hijau tua, melainkan kaca yang memantulkan langit biru dan berawan tetapi tak terlihat matahari yang bersinar terik. Sejauh mata memandang, tak mereka temukan ujung dari tempat mereka kini berada.
"Oh sialan!" teriak Mylo terkejut bukan main. "Di mana kita?! Tempat apa ini? Mengapa lantainya kaca!!! Apa-apaan cahaya tadi?! Kenapa kita bisa di sini! Dan kenapa pula kau membawa makhluk magis itu kemari!"
Satu tinju berhasil menghantam wajah Mylo hingga lelaki itu tersungkur ke lantai. Rasanya Dejavu seperti sewaktu di Hutan Kimari. Anila sangat geram karena Mylo terlalu panik. "Jangan berteriak dan panik, dasar bodoh!" Ia lalu menatap Aalisha. "Jelaskan secara singkat, padat, dan jelas, apa yang kau ketahui!"
Aalisha diam sejenak, ia merasa Dejavu juga mendengar perkataan Anila tersebut. "Aku tidak tahu pastinya, intinya setelah aku menemukan Hippibia ini ...." Aalisha menatap binatang magis di pelukannya yang menatap balik dengan mata berbinar. "Aku mendengar suara aneh yang berasal dari gelang, tiba-tiba saja bercahaya putih terang, bersamaan kalian datang. Dan poof, kita berada di sini."
"Hippi, Hippi!" ujar Hippibia seolah-olah meyakinkan Anila jika cerita Aalisha adalah benar, bukan karangan.
Anila berusaha menganalisis segalanya dengan tenang dan cermat. "Jadi ini bukan karena kekuatan sihirmu atau sihir binatang ini?"
Aalisha dan Hippibia menganggukkan kepala secara bersamaan, benar-benar kompak, pantas saja cocok jadi partner. "Baiklah, kalau gelangnya, bukan milikmu 'kan?"
"Gelang itu sejak awal ada di asrama Drystan, tertutupi selimut, lalu berdenging jadi aku mengeceknya ternyata malah bersinar dan membawa kita ke---"
"Alam baka!" teriak Mylo seraya berdiri dan mengusap pipinya. "Apakah ini alam baka?"
"Demi Dewa," balas Anila, "sekali lagi kau berkata hal-hal aneh dan tak masuk akal, aku akan meninjumu hingga pingsan!"
"Baiklah aku akan tutup mulut," kata Mylo jadi sedih lalu menatap si Hippibia yang terkikik. "Jangan tertawakan aku, dasar monyet!" Maka si Hippibia jadi sedih, wajahnya cemberut dan bibir manyun.
"Jangan berteriak pada makhluk ini," sahut Aalisha.
"Dia lebih dulu menertawakanku!" balas Mylo.
"Bisakah kalian berdua tenang!" teriak Anila, "ada yang lebih penting ketimbang bertengkar karena seekor makhluk magis!"
Mereka menurut meskipun Mylo dan Hippibia saling bertatapan, kemudian menjulurkan lidah satu sama lain, lalu memalingkan muka, mereka bermusuhan! Sementara Anila harus sabar karena kini bertambah satu anggota pembuat onar. Ia kembali menatap sahabatnya yang sama sekali tak menunjukkan kekhawatiran.
"Berdasarkan pengamatanku, maka mungkin saja, kita berteleportasi ke suatu tempat," ujar Anila.
Mylo menyahut dengan nada panik. "Teleportasi, mustahil! Memangnya ada daerah atau wilayah dengan lantai kaca bahkan tempat ini tak berujung!"
"Tentu saja ada! Kau pikir Athinelon hanya sekadar Kerajaan dan Kekaisaran Ekreadel?! Lagi pula seseorang juga bisa berteleportasi ke tempat magis seperti kastil sihir atau lain sebagainya!" balas Anila.
"Ah ya, maaf, aku hanya panik," balas Mylo.
Anila menghela napas. "Jawab aku Aalisha, menurutmu bagaimana tentang tempat ini? Kau terlihat tenang sejak tadi, jangan katakan jika kau sudah terbiasa dengan situasi ini?!"
Aalisha balik menatap gadis Andromeda itu. "Aku setuju dengan perkataanmu. Kita bisa saja berteleportasi ke tempat antah-berantah ini." Perlahan terlihat kabut putih mengelilingi mereka. "Namun, masih ada kemungkinan-kemungkinan lain, seperti kita masuk ke sebuah Dungeon atau ... ini hanyalah memori masa lalu yang disegel dalam gelang yang kutemukan sebelumnya."
"Jadi kemungkinan mana yang paling besar menurutmu?" sahut Anila.
"Memori masa lalu," balas Aalisha.
Seketika langit bergemuruh, semula yang langit biru kini menjadi gelap bersamaan bulan purnama muncul. Lantai kaca yang mereka pijak kini perlahan-lahan menjadi tanah becek yang penuh dengan genangan air, kanan-kiri mereka bukan lagi hamparan luas tanpa ujung, melainkan menjadi rumah-rumah kayu yang reyot, tua, kusam, serta beberapa dari rumah kayu tersebut hancur, hampir roboh, bahkan ada yang terbakar. Mereka juga melihat beberapa kereta kuda yang rodanya hancur sehingga tak bisa ditarik kuda, parahnya ada banyak kuda yang bergelimpangan, berdarah, isi perut mereka terburai hingga usus-usus yang dikerubungi lalat.
"Sialan," ujar Anila lekas menyembunyikan wajahnya di bahu Mylo. "Apakah ini memori masa lalu?"
"Kurasa iya," balas Mylo yang juga sama takutnya dan perutnya mual. "Hey, kenapa para warga berlarian ketakutan?"
Manik mata mereka menatap para warga di desa ini yang berlari keluar dari rumah-rumah tua mereka. Teriakan-teriakan terdengar, mereka saling membantu untuk lari dari sesuatu yang mengejar mereka. Sementara di sisi lain, terlihat panji-panji besar yang menunjukkan lambang Vigilium Eques atau kesatria di bawah Kekaisaran Ekreadel. Apakah para warga kabur dari kejaran kesatria-kesatria itu? Ternyata tidak karena para kesatria malah melindungi para warga dari musuh yang entah apa yang mereka lawan. Namun, jeritan para kesatria terdengar kencang, melengking, memecah malam purnama.
"Aalisha menjauh dari sana!" teriak Anila ketika seorang Kesatria berlari menuju Aalisha. Namun, Aalisha hanya diam dan tenang, seketika tubuh kesatria itu menembus Aalisha. Gadis itu baik-baik saja.
"Jangan khawatir dan takut, ini hanyalah gambaran atau memori masa lalu saja, jadi mereka takkan menyakiti kita," balas Aalisha.
"Oh syukurlah," sahut Mylo.
"Tapi tetap saja ...." Anila menghela napas, siapa pula yang ia ceramahi? Seorang Putri De Lune yang pastinya punya segudang pengalaman jadi kerusuhan di desa seperti ini takkan mengusiknya. "Ayo pergi ke sana, mari cari tahu ada apa yang terjadi di desa ini."
Mereka kini bersembunyi di balik kereta kuda yang terbalik. Kerusuhan semakin menjadi-jadi karena sejak tadi para warga terus menjerit-jerit ketakutan, berlari, tetapi tak mereka lihat, musuh apa yang dihadapi dan mengacaukan desa ini. Di sisi lain, terdengar dentuman akibat serangan sihir yang menghanguskan sejumlah rumah, serangan itu dilakukan oleh beberapa Vigilium Eques.
"Kenapa mereka menyerang rumah-rumah di sini?" ujar Mylo. Sesekali mereka merunduk karena serangan sihir ini tepat berada di atas kepala mereka. Meski mereka tak terkena dampaknya, tetapi mereka tetap refleks menghindar, meskipun Aalisha tidak, dia terlihat tenang, tapi seraya mengamati.
"Lihat!" kata Anila menunjuk pada seorang kesatria yang berhadapan dengan seorang warga; pria badan besar, botak, pakaian compang-camping, serta mata merah, dan mulut berdarah. "Kenapa dengan warga itu? Dia terlihat mengerikan dan menyerang para kesatria dan warga lain."
"Dia mirip zombie!" balas Mylo, "maksudku tak mirip dengan iblis, terlihat seperti mayat hidup."
"Apakah sihir jenis memanggil tentara manusia yang sudah mati?" sahut Anila.
"Kurasa tidak," sahut Aalisha, "jika benar memanggil manusia yang sudah mati, pasti akan terlihat tulang-belulang dan wajah pucat atau setidaknya mirip mayat yang dikubur dalam peti mati selama bertahun-tahun, tetapi dia terlihat seperti masih segar dan tidak mati lama."
"Arah jam satu!" teriak Mylo, "orang-orang yang mati, perlahan bangun lagi dan menyerang para kesatria!"
"Mungkinkah mereka dikuasai sihir atau dikendalikan?" balas Anila, "tapi kalau diperhatikan lebih jeli, kesamaan para warga yang menyerang warga lain dan kesatria Vigilium Eques adalah ...."
"Mulut mereka berdarah dan mata merah," sahut Mylo dan Aalisha bersamaan.
"Merunduk!" teriak Anila ketika serangan sihir berupa bola api dari kesatria membakar para warga karena hendak membunuh warga lainnya.
"Siapa pria itu? Yang mengenakan pakaian bangsawan," ujar Mylo.
Mereka bertiga memunculkan kepala mereka dari balik kereta kuda, begitu pula Hippibia yang berbaring dengan cara telungkup di kepala Aalisha, ia juga menatap pada pria bangsawan. Terlihat pria itu menggunakan sihir yang begitu kuat, menciptakan rantai yang seketika menjerat para warga maupun kesatria yang terlihat menggila bak zombie karena menyerang sesama warga maupun para kesatria lain. Setelah tubuh mereka terjerat rantai, mereka semua ambruk dan tak bisa bergerak. Namun, belum selesai karena banyak zombie---sementara sebut saja mereka sebagai zombie---yang terus menyerang pria bangsawan itu. Terutama para zombie itu menyerang dengan berbagai mantra tingkat tinggi yang sukses membuat lokasi di sekitar mereka semakin hancur lebur.
"Aku tahu siapa pria itu," ujar Anila.
"Benarkah, siapa?" balas Mylo.
Anila mulai menjelaskan. "Aku sudah membaca beberapa sejarah Eidothea, sebelum profesor Eugenius menjadi kepala sekolah. Pria yang kita lihat ini adalah profesor Benedict Chameleon, kepala sekolah Akademi Eidothea sebelumnya. Dia sangat kuat dan dikatakan jika dia salah satu orang yang diberkahi Neith karena itu berdasarkan sejarah, umurnya hingga 200 tahun dan dia meninggal pada umur 213 tahun karena dibunuh, tapi tidak diketahui siapa pembunuhnya hingga kini dan kasusnya ditutup pihak Kekaisaran Ekreadel!"
"Lalu apa yang dilakukannya di sini? Kurasa dia masih terlihat muda, tidak setua profesor Eugenius," balas Mylo, ia sesaat melirik pada Aalisha yang terlihat menatap tajam pada profesor Benedict yang pergi untuk menyelamatkan beberapa warga. "Kau baik-baik saja, Aalisha?"
"Aku seperti pernah melihat wajah pria itu, tapi aku tak ingat, di mana aku pernah melihatnya," balas Aalisha.
"Hal yang lumrah karena dia termasuk Bangsawan Tinggi bergelar Duke dan Kepala sekolah Akademi Eidothea, jadi barangkali kau pernah melihatnya di koran atau surat kabar atau buku sejarah," balas Anila.
Tidak, tidak, Aalisha yakin jika dia tak pernah melihat tampang wajah pria itu di koran atau surat kabar, tetapi ia sangat familiar. Hingga detik selanjutnya, manik mata Aalisha sedikit membesar ketika ia ingat. "Oh Dewa, aku ingat siapa dia." Profesor Benedict Chameleon adalah pria yang Aalisha lihat dalam memori masa lalu pertama kali diperlihatkan padanya ketika ia dan tuan Thompson terjebak di kastil. Ya, ia sangat yakin pasti pria itu! Oh sialan, apakah ini lanjutan dari lembar atau adegan masa lalu sebelumnya?!
"Ayo kita ikuti profesor itu," ujar Anila menarik Mylo dan Aalisha.
"Tunggu." Mylo menahan. "Apakah itu tikus? Gerombolan tikus?!"
Ketiganya terkejut bukan main ketika gerombolan tikus terlihat memenuhi tanah becek, mereka semakin terkejut karena tikus-tikus tersebut berwarna hitam pekat dengan mata ungu tua dan tampak seperti bayangan, terlebih para tikus itu juga dapat menyatu dengan bayangan. Salah satu tikus bergerak cepat, kemudian melompat dan menyerang seorang warga. Betapa mengerikannya ketika tikus hitam tersebut memaksa masuk ke dalam mulut dan menggerogoti kerongkongan atau pun tenggorokan warga tersebut hingga berdarah-darah kemudian tubuhnya ambruk.
"Tikus itu membunuhnya," ujar Anila dengan suara gemetar.
"Dia hidup lagi," balas Mylo ketika pria yang diserang tikus tersebut perlahan berdiri lagi dengan mulut mengeluarkan darah dan mata memerah, kini tampak seperti zombie.
"Sihir terlarang," kata Aalisha, "tikus itu adalah sihir terlarang yang membuat para warga menjadi gila dan menyerang warga lainnya. Para tikus itu adalah penyebabnya, menyerang warga, menggerogoti mulut dan tenggorokan mereka, kemudian mereka menjadi zombie untuk menyerang warga lain."
"Atas inilah para kesatria membunuh warga maupun kesatria yang digerogoti para tikus!" balas Anila, "tapi bagaimana bisa kau menyimpulkan jika ini sihir terlarang?"
"Menurutku hanya ada dua kemungkinan, sihir terlarang atau sihir kuno, tapi besar kemungkinannya adalah sihir terlarang. Lagi pula mana ada sihir legal yang membunuh orang lain kemudian menjadi pasukan zombie!" balas Aalisha.
"Kawan ...." ujar Mylo dengan takut.
Anila abaikan perkataan Mylo. "Baiklah kini semuanya masuk akal, mengapa desa ini sangat kacau dan para warga atau kesatrianya saling menyerang satu sama lain. Sekarang yang jadi pertanyaan, dari mana para tikus ini berasal."
"Kawan tolonglah dengarkan aku!" teriak Mylo, "para zombienya menatap pada kita!"
"Oh ayolah Mylo, berhenti bertingkah penakut!" sahut Aalisha kini sangat kesal. "Kita hanya melihat memori masa lalu, jadi mustahil para zombie itu ...." Kini Aalisha merasakan jika Hippibia dipelukannya, diselubungi aliran listrik dan dia kembali mendesis karena merasakan akan adanya ancaman. ".... menyerang kita."
Kini Aalisha, Anila, dan Mylo terdiam, saling merapatkan tubuh mereka, mengedarkan pandangan karena mereka telah dikelilingi oleh para zombie yang menatap dengan rasa lapar dan menjadikan mereka sebagai buruan.
"Aku benar bukan?" kata Mylo sedikit gemetar.
"Bagaimana bisa, sebelumnya kita hanya melihat memori masa lalu bahkan beberapa warga hanya menembus tubuh kita," ujar Anila sepelan mungkin.
Sementara Aalisha mendekap kuat Hippibia yang masih mendesis. "Entahlah, aku juga bingung, tapi kurasa ada pergesekan dengan masa lalu dan barangkali dungeon dari gelang yang membawa kita kemari, jadi para zombie ini menyerang kita. Kalian siap?"
Anila mengangguk, begitu pula Mylo. "Satu, dua, tiga---"
Masing-masing melakukan serangan pada zombie sebelum para zombie menyerang mereka. Anila menggunakan sihir yang menyebabkan angin kuat menerjang tubuh para zombie kemudian tercabik-cabik, Mylo menyerang dengan bola api yang meledak di tubuh para zombie, sementara Aalisha dengan bantuan Hippibia, mereka menggunakan sihir petir yang membuat kejang tubuh para zombie hingga hangus jadi abu.
"Kembalikan liotinnya!" ujar salah satu zombie. "Kembalikan liotin kami!"
"Liontin, apa yang mereka bicarakan?!" teriak Mylo.
"Kenapa mereka meminta liontin pada kita?" sahut Anila.
"Liontin!!!" teriak zombie tersebut, jauh sebelum ia menggunakan sihir, Aalisha menyerang dengan sihir Igniesco hingga tubuh para zombie hancur lebur.
"Fokus saja membunuh mereka," sahut Aalisha.
Sayangnya, serangan Aalisha itu semakin memancing pada zombie mendekati mereka. Kini desa itu sunyi dan hanya dipenuhi para zombie yang semakin banyak jumlahnya. Mereka memang saling membantu menyerang para zombie, tetapi seperti ada batasan bagi Anila dan Mylo karena densitas Neith di sekitar mereka sangat rendah sehingga sulit menggunakan sihir. Meskipun begitu, mereka tak menyerah, terus bertarung melawan para zombie. Berusaha pula menghindari para tikus yang melompat-lompat dan hampir menyerang dan menggigit tubuh mereka. Hanya saja pertarungan ini tak kunjung berakhir dan para zombie terus bermunculan, tidak ada habisnya.
Kini mereka kelelahan, terutama Anila dan Mylo, meskipun ini masa lalu atau apa pun itu, tetapi energi Neith mereka terkuras habis. Mereka terus bergerak mundur karena puluhan zombie berada di depan mereka terutama para tikus yang bersiap menggigit mereka.
"Sialan, ini tidak ada akhirnya." Aalisha terdiam, ia melihat tak jauh dari posisinya, sebuah cahaya yang mirip portal tengah bersinar putih. Ada kemungkinan jika itu adalah jalan keluar mereka. Namun, cahaya itu berada di sebelah kanan gerombolan para zombie. Sebenarnya mudah bagi Aalisha untuk pergi ke sana langsung dengan sendirinya tanpa Anila dan Mylo, karena jika bersama mereka, maka Aalisha akan terhambat, terlebih lagi kedua manusia di depannya ini terlihat kelelahan dan kehabisan tenaga.
Haruskah Aalisha membuang Anila dan Mylo? Bukankah ini kesempatan yang bagus untuk membuang mereka karena mereka takkan lagi mengusik hidup Aalisha. Selain itu, Aalisha harusnya lekas melenyapkan orang-orang yang kemungkinan besar akan mengkhianati dirinya di masa depan nanti. Ya, bukankah pilihan terbaik bagi hidupnya adalah membunuh mereka sebelum mereka menusuk Aalisha dari belakang. Lagi pula sudah sejak lama, Aalisha ingin bebas dari Anila dan Mylo, tetapi keduanya selalu saja mengusik hidupnya, selalu berada di sekitarnya, selalu mengkhawatirkan Aalisha.
Sesaat Aalisha menatap Hippibia yang manik matanya terlihat sendu. Seolah-olah paham isi pikiran Aalisha. "Hippi." Makhluk itu menggeleng pelan, tetapi Aalisha abaikan.
Maka Aalisha membuat keputusan. Ia arahkan tangan kanannya ke depan Anila dan Mylo yang terlihat berusaha menyerang para zombie. Aalisha hanya perlu melumpuhkan Anila dan Mylo kemudian gadis itu meninggalkan mereka dan mati dimakan para zombie. "Selamat tinggal."
Seharusnya sangat mudah bagi Aalisha membuang manusia lain karena ia sudah terbiasa membereskan nyawa para pengkhianat. Namun, detik ini, gadis itu malah mengerahkan tangannya ke hadapan para Zombie yang langkah mereka berhenti karena kemampuan mistis Aalisha kemudian muncul pentagram biru yang sangat besar dan mendorong para zombie hingga terempas ke tanah.
"Cepatlah, ada jalan keluarnya, ikuti aku," ujar Aalisha maka Anila dan Mylo mengikuti. Seketika cahaya putih bersinar sangat terang dan membawa mereka pergi dari desa itu yang perlahan-lahan runtuh.
Tidak disangka jika gadis itu mengurungkan niatnya untuk membunuh Anila dan Mylo. Barangkali kedua manusia itu bisa berguna ke depannya jadi jangan terlalu cepat untuk membunuh mereka, pikir Aalisha De Lune.
****
Pukul sebelas malam, di sebuah perpustakaan dalam kastil Eidothea. Berada di sanalah; Aalisha, Anila, dan Mylo, serta Hippibia dalam pelukan Aalisha, tiba. Mereka terbaring di lantai dan menatap langit-langit perpustakaan.
"Kenapa kita tiba di sini," ujar Mylo, "harusnya kita di asrama Drystan 'kan? Dan ini sudah malam!"
"Mylo, pelankan suaramu, ada Orly yang berjaga," bisik Anila.
"Siapa di sana?!!!" teriak seorang Orly berupa wanita tua dengan rambut putih.
"Sialan, itu madame Bianca, dia sangat seram dan takkan segan menghukum berat kita jika ketahuan," bisik Anila.
"Aku punya ide," sahut Aalisha, "Hippi, tolong ya."
Maka Hippibia mengangguk kemudian melompat ke atas rak buku, mengeluarkan bola api dari dalam mulutnya hingga asap hitam membumbung ke langit-langit perpustakaan. Lalu ia mulai melompat dari rak buku, ke rak buku lainnya.
"Dasar monyet kurang ajar!!" teriak madame Bianca, "ayo yang lain, kejar binatang sialan itu!" Maka para Orly di perpustakaan mengejar Hippibia yang sangat sulit mereka tangkap.
"Hippi, akan baik-baik saja," balas Aalisha, "ayo pergi sebelum tertangkap."
Maka dibalas anggukan oleh Anila dan Mylo, mereka merangkak perlahan-lahan menuju pintu keluar. Namun, sebelum benar-benar pergi, sesaat Aalisha menatap ke salah satu rak buku, ia melihat ada buku yang bersinar-bersinar emas beberapa lembar kertasnya. "Abaikan saja," ucapnya dalam hati. "Sudah cukup untuk hari ini. Aku lelah." Ia lekas merangkak dan berhasil keluar dari perpustakaan dengan selamat bersama dengan Anila dan Mylo.
Berkat kemampuan mistis Aalisha yakni dengan bantuan para serangga seperti kunang-kunang, kepik, bahkan hewan melata seperti cicak dan kadal di rerumputan. Mereka berhasil menggunakan jalan pintas menuju asrama Arevalous tanpa ketahuan para Orly yang berjaga pada malam ini. Mereka bahkan masuk ke asrama melewati jendela kamar Aalisha karena berbahaya jika lewat pintu depan, takut tertangkap Damien atau Orly di Arevalous yang juga berjaga.
Berada di kamar gadis itu, mereka bersyukur bisa selamat dan tidak terluka sedikit pun. "Terima kasih Dewa, kita selamat, ini pengalaman yang benar-benar menegangkan." Mylo duduk di lantai setelah melepaskan sepatunya.
"Kurasa kalian harus segera kembali ke kamar masing-masing," ujar Aalisha hendak menuju pintu dan membukakan pintu agar Anila dan Mylo keluar dari kamarnya. Namun, tangan Aalisha dihentikan Anila.
"Tidak, cukup menyembunyikan rahasia dari kami berdua," ujar Anila, "aku tahu ada sesuatu yang kau sembunyikan. Inilah mengapa kau terlihat tak panik saat kita melihat memori masa lalu atau melawan para zombie itu!"
"Apakah hal yang menimpa kita, ada kaitannya dengan serangan yang menimpamu dengan tuan Thompson yang mangan Inquisitor Altair?" balas Mylo dan sepertinya Anila juga berpikiran hal yang sama.
"Aalisha De Lune," ujar Anila, "ceritakan pada kami sekarang juga!" Kini aura Neith Anila terasa sedikit mengintimidasi.
Aalisha perlahan menghela napas. Ia tak punya pilihan. "Baiklah, akan kuceritakan, semua ini dimulai ketika tuan Thompson ...." Dan pada malam itu, Aalisha menceritakan segala yang ia lalui ketika keberangkatannya ke Akademi Eidothea hingga gambaran masa lalu yang ia lihat serta liontin yang para zombie maksudkan.
"Oh Dewa, kau benar-benar menyembunyikan banyak hal dari kami berdua!" teriak Anila dengan penuh amarah. Sialan, jadi siapa yang paling galak di sini? Aalisha sebagai keturunan De Lune atau si Anila Andromeda ini? Oh Dewa, Aalisha hanya ingin tidur sekarang.
Berada di sisi lain akademi, tapi di waktu bersamaan. Tampak para murid asrama Drystan tidur di tenda. Ketika semua orang tengah tertidur nyenyak, seseorang dibalut jubah hitam tengah gelisah dan terus mondar-mandir ke sana kemari, ia seperti merencanakan sesuatu, tetapi juga ketakutan.
"Sialan, sialan, aku kehilangan gelang itu, aku harus menemukannya besok." Ia berujar pada dirinya sendiri dan terus-menerus diliputi ketakutan seolah-olah ia akan mati. "Pasti masih ada di asrama itu, ya aku harus menemukannya sebelum ayah membunuhku dan akademi ini menyadarinya."
Mulai malam itu, ketika tengah malah terlewati, maka lembaran baru dari takdir para Dewa telah tertuliskan. Akankah berupa malapetaka atau bahagia? Patut dinantikan.
◇─◇
Arc 1
[Welcome to Eidothea]
- Selesai -
Selanjutnya
Arc 2
[Iapthae Portae]
- Dimulai -
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
|| Afterword #12
Sepertinya Book 2 ini semakin kompleks, tetapi seperti itulah alur dari cerita fantasi. Cobalah untuk membaca novel-novel terjemahan yang memiliki akur kompleks juga.
Berbicara mengenai Aalisha, dia dan Anila serta Mylo telah dibawa ke masa lalu lagi dan kali ini kembali ditekankan kata tikus yang kemungkinan menjadi musuh utama? Meskipun belum diketahui siapa sebenarnya dalang dibalik semua ini.
Jika diteliti, gelang ditemukan di asrama Drystan yang artinya salah satu murid Drystan memiliki gelang tersebut? Siapakah dia, mengapa bisa memiliki gelang magis yang berkaitan dengan liontin Tuan Thompson. Perlu diingat bahwa Artefak yang dicari Tuan Thompson dan Alastair, terbagi menjadi empat bagian, mungkinkah gelangnya ....
Aalisha hampir membuang Anila dan Mylo, harusnya dia lakukan saja bukan sih? De Lune ini memang sungguh sulit ditebak:)
Prins Llumière
Rabu, 03 April 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top