Chapter 21
|| Total chapter ini sebanyak 12.676 kata. Silakan cari posisi ternyaman untuk membaca.
|| Beri vote dengan komentar 300, kalau nggak capai target, nggak bakal update minggu depan^^ Jangan spam komentar yang sama.
|| Ada cukup konflik tegang, lucu, dan hangat di chapter ini. Happy reading.
Ruangan yang didominasi oleh warna merah, kuning, dan jingga kini dipenuhi oleh para murid yang beberapa dari mereka duduk di sofa, ada pula yang duduk di karpet tebal berbulu berwarna merah bahkan sampai berbaring terlentang di sana. Langit-langit ruangan tersebut terukir bintang-bintang dengan langit malam, kemungkinan warna langit-langitnya akan berbeda setiap minggunya. Selain itu di ruangan utama atau tempat bersantai terdapat jam raksasa berupa jam pasir dengan pasir kuning sedikit berpendar ketika malam hari sehingga menjadi penerangan di ruangan utama.
Itu semua adalah gambaran dasar dari asrama Faelyn yang warna merah adalah warna utama mereka. Selain ruangan utama yang terdapat jam pasir besar, asrama Faelyn juga terdapat perpustakaan yang cukup besar, dapur penuh dengan makanan, patung kesatria mengenakan zirah besi terdapat di beberapa titik aula dan lantai. Serta tak disangka-sangka ada perosotan di asrama tersebut sehingga beberapa murid bisa menuruni lantai dengan menaiki perosotan dibandingkan melewati tangga atau lift.
Kini ruangan atau aula utama asrama Faelyn cukup ramai, para murid berada di lantai satu, ada pula yang duduk di sekitar anak tangga seraya memakan camilan dan mengobrol dengan kawan mereka. Namun, pastinya mereka berfokus pada beberapa murid terutama dua Majestic Families dan beberapa kawan mereka.
Malam ini, Eloise Clemence mengurai rambutnya. Ia mengenakan kaos merah dibalut blazer warna krem, celana hitam panjang, dan knee high boots. "Jika tak berhasil, aku akan membakar kalian berempat," ujar Eloise seraya menguap pelan.
"Jangan terlalu kejam, mereka juga berusaha," balas Nicaise yang mengenakan kemeja putih dan celana hitam serta sepatu hitam, oh dia mengenakan capelet cloak.
"Tutup mulutmu, Nicaise," balas Eloise, "waktu kita tak banyak. Bisakah kalian mempercepat mantranya?"
"Tolonglah sabar, Nona Clemence," ujar Eugeo, seorang lelaki berambut putih dengan manik mata hazel yang kini di telapak tangannya, melayang-layang sebuah kotak kecil berpendar biru. "Tolong yang lain, bersiap di posisi!"
Kini ia memerintah ketiga temannya yakni Phariss, Aland, dan Peter. Ketiga temannya itu mengendalikan sebuah kotak biru melayang yang mirip dengan Cyubes, tetapi berfungsi sebagai perantara sihir teleportasi, diketahui jika benda tersebut disebut Cyupter.
"Aku tidak yakin, apakah benar-benar bisa mengirim kalian sesuai koordinat titik lokasi karena ini bukan Iapthae Portae," ujar Eugeo, "tapi setidaknya 89% kalian akan tiba dekat titik koordinat."
Eloise menatap sinis kakak tingkatnya itu. "Jika perkataanmu ternyata salah, kau sepertinya harus turun kelas, betapa bodohnya kau sudah di tahun keempat, tapi masih sulit menggunakan sihir teleportasi."
Mendengar perkataan menusuk Eloise ternyata sukses menyakiti beberapa murid karena banyak dari mereka tidak bisa menggunakan sihir teleportasi bahkan jika sudah dibantu Cyupter. Sebenarnya sudah hal biasa dalam kehidupan bagi seorang Majestic Families merendahkan orang lain, tetapi didengar secara langsung ternyata menyakitkan juga. Mereka harus banyak-banyak sabar menghadapi keangkuhan para Keturunan Keluarga Agung itu.
"Tenanglah Eloise, sihir teleportasi memang sulit," ujar Nicaise yang ternyata masih punya hati dibandingkan Eloise. "Mereka juga sudah berusaha jadi percayalah jika kita akan tiba di titik lokasi."
Eloise memutar bola matanya malas. "Menjijikkan, jangan menasehatiku, Von Havardur. Lagi pula aku hanya tak senang kegagalan, terlebih jika menghambat dan menjadi beban. Jadi berusahalah untuk membuat kami berteleportasi sedekat mungkin dengan titik koordinat!"
"Akan aku lakukan sebaik mungkin," ujar Eugeo, ia waras dan sabar jadi ia akan mengalah. "Yang lain bersiap, kalian berdua, mohon berdiri di tengah-tengah Cyupter."
"Tanpa dikatakan pun aku tahu," balas Eloise melangkah ke tengah-tengah titik yang dikelilingi tiga Cyupter.
"Lakukan dengan baik," ujar Nicaise, "aku percaya kalian, tapi jika kalian meneleportasi kami sangat jauh dari titik koordinat." Senyum Nicaise terukir yang membuat para murid merinding. "Niscaya kalian akan mendapatkan hukumannya."
Ah, Nicaise ternyata tidak ada bedanya dengan Eloise.
"Bersiaplah," ujar Eugeo yang kini Cyupter kecil di telapak tangannya bercahaya terang diikuti Cyupter seukuran Cyubes yang mengelilinginya Eloise dan Nicaise juga berpendar sangat terang. Para murid jadi gugup sekaligus bersemangat untuk melihat hasil bagaimana teleportasi ini.
"Aku kasih peringatan," ujar seorang murid perempuan yang jadi teman Eloise, dia berambut blonde dan bernama Leticia. "Kalian hanya punya waktu sejam, jika lebih dari itu, bisa ketahuan profesor Madeleine atau master Arthur. Dan sebisa mungkin, jangan sampai ketahuan identitas kalian oleh pasukan Kekaisaran."
Kini ketiga Cyupter saling terhubung Neith-nya yang membentuk simbol segitiga dan semakin bercahaya biru. Perlahan tubuh Eloise dan Nicaise menghilang seolah-olah menyatu dengan cahaya.
"Leticia, lucu sekali kau memperingatkan kami." Eloise berucap, "kau pikir siapa kami sehingga kau berani mengatakan hal itu, huh?!"
Maka detik selanjutnya, cahaya bersinar terang memenuhi ruangan utama asrama Felyn bersamaan suara dengungan hingga perlahan tubuh Eloise dan Nicaise menghilang beserta ketiga Cyupter, mereka melakukan teleportasi.
"Apakah berhasil?" ujar Phariss.
"Ya. Mereka berhasil," ujar Eugeo mengecek Cyupter-nya yang ternyata kedua Majestic Families berhasil melakukan teleportasi sedekat titik koordinatnya. "Namun, kurasa kukirim mereka dekat dengan musuh."
Maka takdir menuliskan skenario ketika cahaya biru bersinar dan kini kedua Majestic Families tiba di sebuah wilayah yang tak jauh dari ada sebuah desa yang kini tengah diincar oleh sekelompok perampok yang hendak menjarah setiap rumah yang ada di desa tersebut bahkan tak segan untuk menyakiti warganya.
"Kurasa teleportasinya berhasil, meski tidak mencapai 85%," ujar Nicaise seraya menepuk-nepuk bahunya karena kotor akibat teleportasi. "Eloise, awas!"
Sontak Eloise menghindar saat lembing hitam hampir menembus kepalanya. Manik mata amber Eloise menatap pada sekelompok perampok mengenakan penutup wajah yang menaiki kuda dan membawa lembing serta siap melesakkan lembing mereka lagi. Namun, jauh sebelum Neith mengalir dalam diri mereka. Eloise mengarahkan satu jarinya pada lima perampok seraya merapalkan mantra. Maka dalam hitungan detik, muncul pentagram sihir yang menembakkan bola api dan membakar para perampok hingga hangus serta tubuh gosong mereka ambruk ke tanah. Lekas Nicaise menggunakan mantra segel yang menjerat para kuda agar tidak kabur dan menenangkan mereka.
"Kurasa kita di teleportasi dekat dengan para musuh," ujar Eloise kembali menginjak tanah. "Arah jam tiga."
"Aku tahu," balas Nicaise yang kini tangan kanannya diselubungi Neith bersinar ungu. Ia menjentikkan jarinya sambil merapalkan mantra. "Fuligur Iaculans."
Terciptalah lembing panjang yang terbuat dari angin kemudian diselimuti petir ungu, dengan ayunan tangan secara pelan, melesak cepat lembing-lembing tersebut tepat ke dada para perampok yang ada di atas kuda, mereka tersengat petir, tubuh kejang, hingga terjengkang, mereka ambruk dan mengejat di tanah hingga tiada. Kuda-kuda mereka mencongklak tak tentu arah, tetapi lekas berhenti mengamuk karena mantra milik Eloise.
"Kita bagi tugas," ujar Eloise ketika menatap ke arah desa yang terlihat api berkobar. "Kau bagian belakang desa, aku bagian depan. Hubungi Athreus dan Nathalia, kuharap mereka sudah tiba dan menahan Vigilium Eques."
Perlahan Nicaise melepaskan capelet cloak-nya, ia simpan ke dalam Invinirium. Mereka berdua perlahan melangkah menuju Desa Guthram. "Kalau itu tenang saja, mereka pasti sudah di posisi dan akan menangani pasukan Kekaisaran dengan mudah."
"Ya, kuharap begitu karena Athreus senang membuat kekacauan," balas Eloise yang kini memunculkan pedang, tapi bukan senjata magisnya. "Sekarang berpencar!"
Desa Guthram adalah desa di sebelah Utara Akademi Eidothea. Memerlukan hampir dua jam lebih untuk mencapai Desa tersebut jika menggunakan kuda biasa. Jadi atas inilah para Majestic Families tersebut menggunakan teknik Teleportasi. Sebenarnya mereka juga hanya ingin mencoba teknik teleportasi yang diajarkan kepada murid angkatan tahun keempat. Malam ini di bawah sinar bulan purnama, Desa Guthram diincar oleh sekelompok perampok yang hendak menjarah desa tersebut serta menculik anak-anak dan wanita untuk diperjual-belikan. Sebenarnya kelompok perampok ini sudah menjarah di desa lain dan telah masuk berita utama Minggu ini bahkan diangkat oleh media surat kabar Lè Ephraim, atas inilah pada malam ini sebenarnya pasukan Kekaisaran yakni Vigilium Eques dikerahkan untuk menangkap para perampok. Namun, karena para keturunan Majestic Families yang ada di Eidothea tahu jika akan diserangnya Desa Guthram. Maka mereka memutuskan untuk campur tangan dengan mengalahkan para perampok, tetapi tentu pula mereka harus mencegah Vigilium Eques tiba. Agar tidak disalahkan Eidothea karena tak bisa mengontrol para muridnya.
Dasar murid-murid pembuat onar! Mereka yakin jika tak lama lagi akan mendengar teriakan itu entah dari profesor Madeleine, master Arthur, atau pengajar lain.
Hanya saja, apakah mereka peduli?! Tentu tidak! Mereka melakukan semua ini hanya untuk kesenangan mereka saja!
Maka inilah yang membuat Nicaise berdiri di gerbang belakang Desa Guthram dengan di samping kanan-kirinya, ia memanggil Orly. Ada lima kelompok perampok yang terdiri dari enam orang dengan artian jumlah musuhnya sekitar 30. "Cukup dua Orly-ku untuk membantai para lintah itu. Benar bukan?"
Romulus sosok Orly yang memiliki rambut hitam panjang dan bermanik mata merah menyala, ia mengenakan pakaian bangsawan dengan jubah panjang, serta membawa dual-blade yang memiliki rantai sihir terikat di kedua pegangan pedang dan tangannya. "Dengan senang hati, Master!!!" teriaknya sangat bahagia karena sudah lama tidak dipanggil untuk membantai kehidupan. "Akan kucincang mereka dan kutarik organ tubuh mereka!"
"Kau sangat menjijikkan, Romulus," ujar seorang wanita yang memiliki rambut pirang panjang, mengenakan zirah dan membawa pedang Claymore bergerigi tajam. Ia awalnya mengenakan ketopong, tetapi dilepaskan dan memperlihatkan wajahnya yang cantik serta bermanik mata cokelat. Orly cantik itu bernama Nikolevna. "Bersikaplah seperti manusia yang memiliki etika, jangan bertingkah seperti anjing liar."
"Eh!" teriak Romulus, "jangan ajari aku, Nikolevna! Aku bergerak sesuai kehendakku dan Master, aku tak mau diceramahi olehmu!"
Nikolevna berdecak. "Inilah kenapa aku tak suka dipasangkan denganmu. Aku terlalu beretika untuk berpasangan dengan anjing liar."
"Berhenti bertengkar," ujar Nicaise seraya menatap para perampok yang datang dengan kuda-kuda mereka. "Tugas kalian adalah melindungi Desa ini dan jangan sampai para perampok menyentuhnya bahkan seujung jari pun! Ah dan jangan bunuh kuda-kudanya mereka hanya diperbudak. Jadi apa yang kalian tunggu-tunggu?" Manik mata Nicaise bersinar ungu. "Lenyapkan para perampok itu dan rantai mereka ke neraka!"
"Siap Master!" teriak Romulus diselimuti Neith merah.
"Akan kulaksanakan, Masterku!" ujar Nikolevna.
Hitungan detik selanjutnya, kedua Orly tersebut menerjang sangat cepat. Setiap serangan sihir yang dikerahkan para perampok berhasil mereka hindari atau ditepis dengan senjata mereka. Lalu mereka melakukan perlawanan, dua ayunan pedang dari Romulus berhasil memenggal tubuh bagian atas para perampok hingga darah memuncrat bersamaan usus-usus terburai, tubuh mereka yang terpenggal seketika ambruk ke rerumputan, para kuda mencongklak dan membawa sisa tubuh yang masih berada di atas kuda, memperlihatkan pemandangan mengerikan karena kuda-kuda membawa mayat yang terpenggal. Lekas Nikolevna menggunakan sihirnya untuk menghentikan para kuda dan membakar sisa tubuh para perampok.
"Baru beberapa menit, apakah kau lupa jika Master bilang jangan lukai para kudanya? Lalu kau brutal sekali!" teriak Nikolevna, tetapi diabaikan Romulus.
"Jika tak ingin darah mereka mengotori zirahmu, jangan berada di sini, pengecut!" balas Romulus seketika mendapatkan tinju di bagian wajah dari Nikolevna hingga ia tersungkur ke tanah.
"Jangan ejek aku," balas Nikolevna lalu dengan satu rapalan mantra, ia membuat akar-akar tanaman di rerumputan menarik kaki dan menghentikan gerakan para kuda, membuat para perampok berjatuhan, maka dengan sekuat tenaga, Nikolevna mengayunkan pedangnya hingga memenggal kepala para perampok yang kemudian tubuh mereka terbakar api biru hingga hangus tak bersisa. "Dasar pada perampok menjijikkan---sialan!"
Dari arah samping, serangan Romulus menerjang dan hampir menggores pipi Nikolevna jika tak lekas ia mengenakan ketopongnya. "Kau mau menggores wajahku, Romulus?"
"Kau meninjuku tadi!" teriak Romulus, "aku akan membalasmu!"
"Bajingan, akan kupenggal kau!" teriak Nikolevna merasa sangat kesal karena terpancing oleh Romulus.
Dari kejauhan, Nicaise hanya bisa menghela napas ketika melihat kedua Orly-nya malah bertengkar. Sejak awal dia sudah menebak jika kedua Orly yang itu memang tak bisa akur, tetapi ia tak punya pilihan lain selain memanggil mereka karena jika Nicaise memanggil Orly yang tingkatannya di atas mereka, pasti Desa Guthram hancur bukan karena para perampok melainkan karena Orly-nya.
"Seharusnya Master memerintahkanku saja, dari pada kedua Orly bodoh itu," ujar seorang Orly yang berada tak jauh dari Nicaise.
Perlahan Nicaise menatap pada Orly lelaki yang duduk di sebuah kursi putih, di depannya terdapat meja yang di atasnya ada teko dan cangkir porselen putih yang berukiran bunga. Orly itu mengenakan pakaian bangsawan berwarna biru tua, celana selutut, sepatu tinggi mencapai di bawah lutut. Perhatikan lah jika Orly itu memiliki rambut biru tua serta kedua matanya ditutupi kain putih panjang berukiran simbol geometri warna emas.
"Aku sudah lama tidak diperintahkan oleh Anda, Yang Mulia," ujar sang Orly.
Helaan napas Nicaise terdengar. Inilah salah satu Orly yang Nicaise maksudkan yang jika diperintahkan maka bisa menghancurkan desa Guthram dengan sangat mudah. Orly itu bukan sembarangan Orly seperti Romulus dan Nikolevna karena Orly itu adalah hadiah dari Kepala Keluarga Von Havardur untuk pesta debutante Nicaise pada usia enam tahun. Artinya Nicaise sudah memiliki Orly itu sekitar lima atau tujuh tahun.
Nicaise tersenyum tipis. "Sayangnya ini tugas sepele, jadi aku tak perlu memerintahkanmu, Rahvana Kastara."
Sayangnya, hingga kini, Nicaise baru sekali memerintahkan Rahvana Kastara dan perintah pertamanya pada Orly tersebut, sungguh membuat Nicaise enggan menggunakan Orly itu lagi. Alasannya?
"Ah sayang sekali, aku terkadang sakit hati dan merasa duniaku runtuh karena Anda tidak mau memerintahkan diriku bahkan untuk tugas yang berat," ujar Rahvana seraya menyesap teh camomile-nya. "Apakah aku sangat berharga bagi Anda karenanya Anda tak mau menggunakan diriku, Yang Mulia, ataukah karena Anda takut padaku?"
Meskipun Rahvana adalah Orly milik Nicaise dan terikat kontrak, tetapi karena kemampuan mistis milik Von Havardur terutama milik Kepala Keluarga Von Havardur membuat Rahvana terkadang bergerak berdasarkan perintah Kepala Keluarga. Barangkali karena itu yang membuat Rahvana sedikit berbeda dibandingkan para Orly yang Nicaise miliki.
Terutama karena Rahvana Kastara sangat mengerikan ... di balik penutup matanya ada kengerian yang tak berujung. Membuat Nicaise merinding saat pertama kalinya Rahvana Kastara membuka kain yang menutup matanya tersebut. Mata kanannya memiliki sklera putih bersih, iris mata berwarna silver hampir putih serta pupil mata yang membentuk jam dengan ada jarum jamnya yang bergerak setiap detiknya. Sementara maka kirinya memiliki sklera putih, iris mata ungu, kemudian di tengahnya terukir simbol geometri berbentuk bintang yang berwarna emas.
Ya, kengerian adalah satu kata yang Nicaise gunakan saat umurnya delapan tahun dan pertama kali melihat Rahvana Kastara melepaskan kain yang menutupi kedua matanya. Namun, kejadian itu sudah lama. Tidak ada alasan bagi Nicaise untuk takut, hanya saja ia tetap enggan memerintahkan Orly yang tampak luarnya seperti makhluk waras, tetapi jauh di dalamnya, ia pantas dikatakan sangat angkuh sehingga mampu membuat kontrak dengan Yang Mulia, Kepala Keluarga Von Havardur.
"Aku putra satu-satunya, Kepala Keluarga Von Havardur saat ini, tidak ada alasan bagiku untuk takut pada makhluk sepele sepertimu," balas Nicaise.
Maka Rahvana tersenyum. "Anda benar, Yang Mulia. Aku hanyalah makhluk sepele yang tak berharga."
Perlahan Nicaise berujar, "Xerafhim."
"Hamba di sini, Yang Mulia," ujar Xerafhim.
"Bagaimana dengan Eloise Clemence?" ujar Nicaise.
"Dia baik-baik saja dan masih bermain-main dengan para perampok," ujar Xerafhim.
"Baiklah, kini panggil Romulus dan Nikolevna." Nicaise perlahan menatap Rahvana. "Dan kau, kembalilah, Rahvana. Kehadiranmu tidak dibutuhkan di sini."
Beralih ke gerbang utama Desa Maheera. Sudah banyak para perampok yang bergelimpangan, tubuh mereka penuh dengan luka bakar, ada pula anggota tubuh mereka yang hangus tak bersisa seperti kaki, tangan, bahkan jari-jari, ada pula yang hangus kepalanya sehingga hanya menyisakan tubuhnya yang berhamburan di tanah. Sementara itu ada beberapa perampok yang tubuh mereka penuh sayatan, tetapi bukan dari benda tajam seperti pedang melainkan angin yang menyayat kulit hingga daging mereka seolah-olah ada ribuan pedang yang diayunkan. Beberapa perampok terlihat kesakitan ketika gelombang air menghantam mereka kemudian tidak sengaja tertelan air tersebut, maka air itu perlahan mendidih dalam tubuh mereka kemudian membuat mereka kesakitan hingga menjerit-jerit kemudian perlahan tubuh mereka kejang lalu tiada.
Semua serangan itu berasal dari mantra Eloise, para perampok tiada tanpa Eloise bersusah payah bergerak atau mengayunkan senjatanya. Ia enggan untuk turun tangan atau bertarung jarak dekat, terlebih sudah malam dan ia lumayan mengantuk jadi pasti cepat lelah. "Tikus, tetaplah tikus, mereka semua adalah hama yang harus dihanguskan. Aku enggan menunggu para Dewa menyeret mereka ke neraka jadi aku saja yang membakar mereka seolah-olah di neraka."
Baru hendak Eloise merapalkan mantra untuk membunuh dua perampok yang kedua kakinya sudah hangus terbakar, terdengarlah lolongan para serigala bersamaan pasukan perampok lagi yang kini datang dengan membawa monster yang tubuhnya sangat besar, berbulu, mengenakan zirah. Kepala monster tersebut ditutupi ketopong yang memancarkan cahaya merah seperti api. Mereka membawa palu besar yang ujungnya tajam karena ada tonjolan seperti ada puluhan besi di sana.
Manik mata amber milik Eloise menatap pada segerombolan pasukan yang baru tiba itu. Perlahan muncul Cyubes-nya, memperlihatkan panggilan dari Nicaise. "Apakah di tempatmu ada pasukan monster? Kurasa mereka bekerjasama dengan Organisasi Phantome Vendettasius atau mereka adalah Phantomius?"
"Ah, pantas saja Vigilium Eques turun tangan, ternyata ada sangkut pautnya dengan para iblis dan monster," balas Eloise seraya tersenyum lebar. Apakah waktunya ia bermain dengan serius?
Manik matanya perlahan bercahaya meski pudar, tubuhnya dikelilingi Neith berwarna merah. Ia memunculkan sekitar lima pentagram sihir yang merah menyala. Baru hendak menyerang. Muncul kembali Cyubes-nya.
"Eloise, tolong jangan berlebihan! Jangan kau bakar seluruh daerah ini," ujar Nicaise karena dari posisinya, dia bisa melihat sinar pentagram sihir milik Eloise
"Kau selalu melebih-lebihkan, Nicaise, aku takkan membakar daerah ini, jadi tenang saja."
Detik itu Nicaise hanya bisa menghela napas dan berdoa jika perkataan Eloise benar-benar dapat dipercaya karena selama Nicaise menjalankan misi bersama Eloise dan Athreus serta Nathalia. Eloise sering sekali tidak mempedulikan sekitarnya dan membakar apa pun yang ia inginkan.
Perlahan Nicaise menatap pada cahaya kekuningan yang jaraknya cukup jauh dari Desa Guthram. "Kurasa Vigilium Eques dalam perjalanan, waktu kami tak banyak sebelum pasukan Kekaisaran menemukan jika anak-anak Eidothea berbuat kekacauan. Kuharap mereka berdua dapat menanganinya dengan baik."
Kini di lokasi yang sedikit lebih jauh dari Desa Guthram, rerumputan terbentang luas, tetapi sangat gelap karena hanya diterangi cahaya bulan, terdengar suara langkah kaki kuda, menarik kereta yang berisi para kesatria Vigilium Eques. Namun, perjalanan para kesatria tersebut untuk menyelamatkan Desa Guthram terhenti ketika seseorang menghalangi jalan mereka. Berdiri di jalan tempat kereta kuda melintas.
"Siapa itu?!" teriak salah satu kesatria.
"Menjauh dari sana!"
"Mungkin dia salah satu perampok?"
"Mustahil hanya satu perampok saja, bagaimana bisa dia berani menghadapi kita?"
"Sialan, siapa dia, kenapa mengenakan jubah hitam, topeng, dan rambutnya putih," ujar salah satu kesatria.
"Hey kau! Jika tidak menyingkir dari sana, kami akan menabrak atau membunuhmu!"
Meskipun peringatan itu digaungkan, tetapi sosok yang berdiri di tengah-tengah jalan dengan pakaian serba hitam terutama jubahnya, kemudian rambut sosok berpakaian hitam itu putih susu, serta ia mengenakan topeng putih berbentuk wajah rubah, ia tetap tak berkutik dari posisinya.
"Bajingan! Bunuh saja dia! Semuanya serang!" teriak salah satu kesatria. Kemudian para kusir kuda menarik pelana mereka dan para kuda segera mencongklak.
Sosok bertopeng putih masih tak berkutik, perlahan dari balik jubahnya, ia keluarkan kedua tangannya yang diselimuti Neith biru tua, bersamaan muncul busur panah beserta anak panah yang panjang dan diselimuti cahaya biru. Perlahan dia memasang anak panah ke busurnya, menarik tali busurnya, dan di arahkan tepat ke depan pada para kesatria Vigilium Eques.
"Musuh akan menyerang!" teriak salah satu kesatria. "Bersiap bertahan dan serang balik!"
Seorang kesatria merapalkan mantra yang menciptakan bola api sangat besar dan siap menghantam tubuh musuhnya.
Hanya saja, sama sekali tak terukir rasa takut dari si sosok bertopeng putih, ia malah menarik tali busurnya yang kini seluruh tubuhnya diselimuti Neith biru tua. "Ignitio," ujarnya sangat pelan, "Special technique, Kieran Zalana Family, Sagitta lucis Orionis."
Detik-detik itu, ketika anak panah dilesakkan sangat cepat, cahaya biru seketika menerangi daerah tersebut, ibarat ada komet yang bergerak sangat cepat serta bintang-bintang yang bersinar sangat terang, menerjang dan berhasil menembus bola api serangan dari kesatria Vigilium Eques yang kemudian membelah pasukan tersebut lalu cahaya terang benderang yang menyilaukan pandangan meledak hingga para kesatria pingsan dan tak memberikan perlawanan apapun. Mereka yang di atas kuda ambruk ke tanah, mereka di dalam kereta kuda, terbaring tak sadarkan diri. Sementara ada beberapa kesatria yang berhasil selamat dan tidak pingsan.
"Bagaimana pun juga, mereka tetaplah kesatria Kekaisaran," ujar sosok bertopeng putih.
"Jangan bunuh mereka, Eloise berkata jika kita hanya perlu membuat mereka pingsan," ujar rekannya yang juga mengenakan topeng, tetapi ia adalah perempuan berambut panjang.
"Permintaan diterima," ujar sosok bertopeng putih. "Berjaga di sini jika ada cecunguk yang melintas!"
Dalam sekejap saja, si topeng putih menghilang kemudian muncul di antara para kesatria. Lekas beberapa kesatria menarik pedang mereka dan menyerang lebih dulu. Namun, setiap serangan mereka berhasil dihindari dengan mudahnya, malah mereka mendapatkan perlawanan yang sangat kuat dan kejam. Ketika si topeng putih menyerang mereka dengan menggunakan tangan kosong saja, tetapi menyerang titik vital para kesatria hingga mereka lumpuh dan ambruk ke tanah karena tak bisa menyeimbangkan kedua kaki mereka, bahkan tangan mereka terkena serangan tepat di beberapa titik aliran Neith mereka hingga sesaat tangan mereka lumpuh, pedang mereka berjatuhan, dan tubuh mereka tersungkur ke tanah. Sangat cepat si topeng putih memberikan serangan entah di titik vital seperti leher, dada, bahu, punggung, pinggul, hingga mereka dibanting pula ke tanah yang menyebabkan suara berdebum keras terdengar dan mereka pingsan.
"Sangat lemah atau aku yang terlalu berlebihan-oops."
Perkataan si topeng putih terhenti saat dua rantai besi melilit kedua tangannya, lalu beberapa kesatria menggunakan mantra petir untuk mengalirkan listrik ke kedua rantai. Bukannya tubuh si topeng putih kejang, ia baik-baik saja kemudian dengan sekuat tenaga, ia tarik kedua rantai hingga beberapa kesatria terbang menuju arah mereka, kemudian dalam sekejap, sebuah tombak muncul dan menembus bahu kiri mereka bersamaan darah memuncrat. Kemudian para kesatria dibanting ke tanah dengan menggunakan rantai mereka sendiri. Para kesatria pingsan, beruntunglah tidak mati. Lalu untuk sisa para kesatria yang masih sadar. Si topeng putih merapalkan mantra.
"Tenues Venenum Acus!" Ia memunculkan dua pentagram sihir yang menembakkan puluhan jarum besi kecil nan tipis yang kemudian menusuk leher para kesatria yang tak dilindungi ketopong serta jari-jari kesatria yang hanya diselimuti sarung tangan kain bukan sarung tangan besi. Racun yang mengalir melalui jarum tipis tersebut berhasil membuat para kesatria lumpuh dan tubuh mereka ambruk ke rerumputan serta tak bisa bergerak untuk dua jam ke depan. Kini si topeng putih berhasil melumpuhkan seluruh kesatria dari pasukan Vigilium Eques yang hendak ke Desa Guthram.
"Kau bunuh mereka, Athreus?!" Suara itu terdengar di belakang si topeng putih.
"Aku tak membunuh mereka, Nathalia," balas lelaki itu. "Kauperiksa saja sendiri, aku hanya membuat mereka lumpuh dan tak sadarkan diri untuk dua jam ke depan!"
Perlahan si topeng putih melepaskan topengnya yang kini terpampang jelas wajah lelaki yang tampan sekaligus cantik, terlebih dengan kulitnya yang mulus dan lembut, kontur wajahnya yang diukir sedemikian rupa serta tak ada bekas luka sedikit pun. Malam ini yang tanpa penerangan lentera dan hanya disinari cahaya bulan, manik mata biru tanzanit-nya terlihat sangat, sangat cantik bahkan lautan biru pun akan merasa iri dengan kecantikan manik mata itu terlebih lelaki itu sedikit berbeda karena setiap helaian rambutnya berwarna putih susu bersih tanpa ada debu atau kotoran yang menempel. Dia sengaja mengubah warna rambutnya untuk operasi misi dadakan ini, jadi selain mengenakan topeng agar identitasnya tidak diketahui, ia mengubah pula warna rambutnya. Meski sebenarnya alasan utamanya karena ia hendak main-main saja dengan mengubah warna rambutnya. Dasar!
"Lihat, aku tak membunuh mereka 'kan?" kata Athreus lagi ketika Nathalia memeriksa salah satu kesatria yang ternyata masih hidup.
Nathalia menghela napas. "Ya, tapi ada yang kau tusuk tubuhnya! Ugh tapi syukurlah karena kau lebih bisa diatur, karena biasanya kau suka mengabaikan permintaan untuk tidak membunuh musuh, tapi kau malah mencincang mereka."
Lelaki berambut putih itu melangkah pelan, ia terlihat sangat menyebalkan dan kekanak-kanakan terutama tingkahnya yang terlihat angkuh itu. "Ayolah, biasanya karena mereka adalah iblis atau Phantomius jika ini karena mereka kesatria Kekaisaran, aku juga punya hati jadi jangan khawatir!"
"Ya, ya, dan ya!" balas Nathalia perlahan menggunakan sihir penyembuhnya untuk menyembuhkan luka-luka para kesatria yang terkena lembing Athreus. Ia hanya menyembuhkan lukanya, tetapi para kesatria akan tetap tak sadarkan diri. "Kau sedikit berubah ya, kupikir kau akan membunuh kuda-kuda mereka juga."
Senyuman Athreus terukir, ia terlihat sangat cantik terutama ketika cahaya rembulan menyinari wajahnya. "Kalau kubunuh para kudanya, kutakutkan jika ada Tuan Putri De Lune di sini. Dia yang akan mengamuk nantinya."
Nathalia mengangkat satu alisnya, ia kembali menghela napas. Tidak mengerti jalan pikiran Athreus. "Namun, dia tak di sini, kau pikir dia akan tahu? Lagi pula aku tebak jika Nona De Lune takkan peduli apa yang kita lakukan malam ini."
"Ya, siapa tahu, benar bukan? Dia, diam-diam memantau kita semua," ujar Athreus seraya menatap pada burung hantu putih yang sebelumnya hinggap di batang pohon kini terbang pergi.
Nathalia abaikan saja perkataan Athreus dan menatap salah satu kesatria yang terlihat bergerak. "Hey, kurasa ada yang tidak pingsan."
"Mustahil," balas Athreus, "aku membuat mereka pingsan semua, setidaknya hingga dua jam ke depan---sial."
Keduanya terdiam ketika melihat beberapa kesatria perlahan bangkit kembali bersamaan zirah mereka lepas dari tubuh mereka, kemudian tubuh mereka diselimuti bulu-bulu halus berwarna cokelat, tubuh mereka membesar dan bongkok, berotot serta muncul kuku-kuku tajam serta gigi taring yang menetes pula air liur.
"Mereka Werewolf," ujar Nathalia, "pasti karena bulan purnama malam ini."
Suara lolongan terdengar ketika para kesatria itu kini berubah menjadi manusia serigala sepenuhnya. Namun, ada yang aneh karena kini tubuh mereka diselimuti Neith hitam pekat. Serta aura yang sangat jahat.
"Aku baru tahu Vigilium Eques mempekerjakan Werewolf," balas Athreus perlahan mengenakan topengnya begitu pula Nathalia. "Mereka pasti penyusup di antara pasukan Kekaisaran ini. Meskipun bisa saja bangsa Werewolf, tapi jarang sekali mereka bergabung dengan pasukan manusia."
"Ya, pasti ada yang salah di sini," balas Nathalia yang perlahan memunculkan Cyubes untuk memantau lokasi pertarungan ini, ada 30 lebih para kesatria manusia yang pingsan dan harus dipindahkan sebelum mati karena pertarungan melawan Werewolf. "Barangkali ada seseorang yang mengacau. Kau melihatnya?"
Meski tertutupi topeng, Athreus tersenyum lebar ketika di antara pasukan kesatria yang pingsan dan para Werewolf bermata merah, ia melihat sesosok manusia mengenakan pakaian bangsawan serta membawa tongkat yang kemungkinan senjata magis. Sepertinya sosok pengganggu itu yang menyelinapkan beberapa Werewolf di pasukan Vigilium Eques.
"Katakan pada Eloise jika kita akan terlambat dan selamatkan para kesatria sebelum dicabik-cabik para Werewolf, sisanya, aku saja yang atasi," ujar Athreus.
"Baiklah," balas Nathalia, "tapi jika ada yang di dekatku, maka mereka akan kupenggal."
"Silakan, Nona Clodovea," balas Athreus.
Cahaya biru menyinari kedua tangan keturunan Kieran Zalana tersebut. Memunculkan senjata magis yakni dua pedang panjang dan tajam. Tidak terukir ketakutan di wajah Athreus, bukan karena terhalang topengnya, tetapi karena ia memang tak takut bahkan ia melangkah dengan sangat santai sementara Nathalia lekas memindahkan para kesatria yang pingsan ke tempat yang lebih aman. Namun, salah satu Werewolf menerjang dan hampir mencabik kesatria yang hendak diseret Nathalia, sayangnya sebelum kuku tajam menembus jantung atau merobek wajah, Werewolf tersebut terbelah secara vertikal hingga ambruk tubuhnya dan darah mengenangi rerumputan.
"Maaf, tapi lawanmu adalah aku, dasar para serangga!"
Pertarungan Athreus melawan para Werewolf terlihat begitu mudah bagi Sang Keturunan Kieran Zalana, bahkan ia menggunakan Neith untuk mengelilingi tubuhnya agar cipratan darah tidak mengotori pakaiannya. Athreus membunuh para Werewolf ibarat ia tengah berdansa di pesta debutante yang diiringi oleh musik piano, biola, dan harpa. Menciptakan harmoni musik terindah pada malam ini. Setiap langkah Athreus terlihat berirama seraya ia mengayunkan kedua pedangnya dan memenggal tangan, kaki, hingga tubuh para musuhnya. Setiap tubuh yang ambruk ke tanah meski diselimuti darah dan organ tubuh terburai bahkan otak terhambur. Langkah dansa Athreus tidak sedikit terganggu, bahkan ia menginjak rerumputan yang tak terkena cipratan darah sambil kembali membunuh musuh-musuhnya. Ketika cahaya rembulan menerpa tubuh Athreus, lelaki itu terlihat mempesona meski wajahnya ditutupi topeng, tetapi rambut putihnya yang lembut, pasti membuat siapa pun yang melihatnya akan terkagum-kagum.
"Biar aku tebak," kata sosok berpakaian bangsawan dan memegang tongkat. "Kalian bukanlah pasukan Kerajaan atau Kekaisaran, tidak mungkin jika kalian adalah anak-anak dari Desa Guthram! Dari mana asal kalian?"
Athreus menarik kembali pedangnya yang menusuk dada salah sayu Werewolf. Lalu melangkah ke hadapan musuh terakhirnya karena kini di belakang Athreus terdapat lautan darah dan Werewolf yang tiada. "Ah, kami hanya pengelana yang singgah untuk bermain dengan para perampok yang hendak menjarah kehidupan manusia di Desa itu."
"Aku sudah menduga jika kalian bukan sembarang orang atau masyarakat di Desa Guthram," ujar si pakaian bangsawan. "Jadi tak masalah jika aku membunuhmu!"
Satu ketukan tongkatnya memanggil monster yang berbentuk bayangan, muncul tepat di belakang sang pengguna, bayangan besar berwarna hijau dan menyerupai tengkorak yang membawa pedang serta tameng. Ada dua bayangan tengkorak hijau tersebut serta keluar ular dari dalam mulut mereka.
Sesaat Athreus menelisik, ia berpikir, jenis sihir dan mantra yang digunakan lawannya. Apakah ia pernah menghadapi musuh yang menggunakan jenis sihir tersebut atau baru pertama kali ini dia menghadapi sihir tersebut. Namun, sepertinya ada beberapa tipe sihir dan mantra yang sama. "Apakah kau Phantomius? Pengkhianat Kekaisaran dan menyekutukan Para Dewa?"
"Sayangnya aku tak punya kewajiban untuk menjawab pertanyaan itu." Suara ketukan tongkat terdengar lagi. "Tarik dia ke neraka."
"Neraka huh?" Kini Athreus menatap pada dua bayangan tengkorak hijau yang menerjang ke arahnya. "Padahal kau yang berkhianat pada Dewa, tapi kau hendak mengirimku ke neraka? Sungguh bodoh!"
Kini Athreus sedikit serius, dia menghindari setiap serangan dari hantu-tengkorak-hijau, mari sebut seperti itu karena tidak diketahui nama monster itu. Namun, dalam pertarungan ini, Athreus sadar jika serangan pedangnya tidak mempan, setiap ayunan pedangnya malah menembus dan tak menyakiti kedua hantu-tengkorak-hijau, apesnya membuat pedang Athreus jadi rusak seperti besi yang keropos.
Apakah Athreus terdesak?
Demi para Dewa yang bertahta di Athinelon! Athreus malah tertawa dan kini dia sangat bahagia karena ia pikir, malam ini hanya menghadapi para cecunguk yang lemah, ternyata ada lawan sepadan sehingga tak begitu membuatnya bosan. Maka dengan kemampuan mistisnya, Athreus menciptakan sebuah pedang yang terbuat dari Neith sehingga bersinar biru dan sedikit transparan.
Tanpa menunggu lagi dan tak mau membuang waktu. Simfoni pertarungan dimulai. Serangan hantu-tengkorak-hijau menggunakan sabit bercahaya hijau berhasil ditangkis oleh pedang Athreus dengan mudahnya yang menyebakan terdengar dentingan antara senjata tersebut serta angin bertiup kencang. Hampir saja Nathalia terempas karena serangan antara Athreus melawan musuhnya. Gadis itu hanya bisa memperhatikan dari kejauhan seraya mengamati jika semisal Athreus terluka, tapi mustahil lelaki itu akan terluka.
Angin kembali bertiup kencang ketika pedang Athreus berhasil mengempaskan sabit salah satu hantu-tengkorak-hijau hingga tanah cekung terbentuk sedalam satu meter. Tanpa peringatan, Athreus memunculkan lima pentagram sihir yang meletakkan puluhan lembing bercahaya biru lalu menembus tubuh kedua hantu-tengkorak-hijau hingga jeritan mereka terdengar menggelegak, sangat sumbang, hingga Athreus kesal dan memanggil pentagram yang lebih besar. Namun, muncul di bawah kaki kedua hantu-tengkorak-hijau.
"Sealing Technique, Septem Laquei Lapidei."
Gemuruh petir terdengar dan tanah di sekitar kedua hantu-tengkorak-hijau bergetar, lalu muncul tujuh patung kesatria dengan pedang teracung ke langit, di dahi atau dada setiap patung tersebut terdapat kristal yang kini bersinar terang, tiba-tiba menciptakan kristal yang sangat besar berbentuk segitiga dan langsung memerangkap kedua hantu-tengkorak-hijau, kristal tersebut berwarna seperti aurora di dalam hari, perpaduan berbagai macam warna dan mengkilat. Perlahan kristal tersebut tenggelam ke dalam pentagram sihir biru di tanah dan melenyapkan hantu-tengkorak-hijau hingga tak bersisa. Inilah salah satu teknik penyegelan yang dikuasai Athreus. Namun, tak ada yang tahu apakah kedua hantu-tengkorak-hijau hanya tersegel atau dilenyapkan oleh Athreus, ia saja yang tahu jawabannya.
"Siapa kau sebenarnya?" ujar pria pakaian bangsawan. Ia terdiam di jarak meter dari Athreus dan tangannya menggenggam erat tongkat kayunya.
Perlahan Athreus melepaskan topengnya, mata biru tanzanit-nya terlihat cemerlang dan cantik, seketika pria pakaian bangsawan terkejut bukan main. Ia hendak mengentakkan tongkatnya lagi untuk melakukan serangan sihir. Namun, terlambat ketika tanah yang ia pijak bersinar biru.
"Special Technique, Kieran Zalana Family; Garden of Luminositas."
Kini sekitar Athreus dan pria pakaian bangsawan berubah menjadi gersang, rerumputan yang lautan darah para Werewolf kini berubah menjadi tanah pasir yang sangat gersang, serta bunga-bunga layu dan mati dan penuh semakr berduri awalnya malam kini menjadi siang, tetapi ditutupi oleh awan hitam sehingga matahari tidak benar-benar bersinar.
Athreus berdiri di tengah-tengah gurun pasir tersebut seraya mengayunkan tangannya, maka ribuan lembing yang dibawa awan hitam seketika melesak ibarat hujan deras, menghancurkan tanah-tanah pasir, semak-semak, bunga-bunga layu, hingga menembus seluruh tubuh sang pria pakaian bangsawan hingga darah memuncrat dan menyebabkan tanah pasir jadi tertutupi darah segar.
Ketika jentikan jari terdengar, maka seketika sekitar mereka kembali seperti semula. Malam yang gelap dan hanya disinari rembulan sementara sang pria yang tertembus lembing benar-benar tertembus lembing dan kini tubuhnya terjengkang tak bernyawa. Athreus berhasil mengalahkan musuhnya. Kini dia melepaskan topengnya seraya menghela napas.
"Kau sedikit berlebihan," kata Nathalia muncul di samping Athreus dan menggunakan sihir penyembuhannya karena pasti Neith Athreus terkuras habis.
"Hanya mencoba teknik spesial yang jarang kugunakan," balas Athreus.
"Meski kita kenal sejak kecil, aku masih sulit mengerti cara berpikirmu itu."Nathalia melangkah mendekati musuhnya, setidaknya ia harus tahu siapa wajah di balik penjahat yang membawa Werewolf untuk mengacaukan pasukan Vigilium Eques.
"Kurasa dia Phantomius meski tak mau menjawabnya," ujar Athreus. Namun, perkiraannya salah ketika melihat ekspresi Nathalia. "Ada apa?"
Gadis itu perlahan menatap Athreus. "Aku tak kenal wajahnya, tetapi tubuhnya perlahan jadi abu."
"Sialan, aku tak gunakan kekuatan sehingga membuat wajahnya menjadi abu-"
"Oh tubuhnya perlahan jadi abu semua!" teriak Nathalia menginterupsi Athreus.
"Kurasa dia menanamkan sihir khusus dalam dirinya sendiri sehingga jika ia mati, identitasnya takkan dikorek atau tubuhnya takkan diteliti." Athreus merenggangkan bahunya. "Abaikan saja, tidak penting, kemungkinan salah satu Phantomius seperti biasa."
Hanya saja Nathalia masih diam, seolah-olah ia cukup syok karena sempat melihat tato di lidah musuhnya tersebut sebelum jadi abu dan lenyap.
"Nathalia, ayo pergi, ada apa lagi-"
"Athreus, kurasa kali ini, kau atau pun kita tak bisa mengabaikan musuh ini," ujar Nathalia.
"Memangnya kenapa-"
"Woy, keparat! Kalian lama sekali!" teriak Eloise yang bersama Nicaise mendekati Athreus dan Nathalia. "Kami sampai lumutan menunggu kalian berdua!"
"Tenanglah," balas Nicaise, "kalian sudah selesai? Cukup berantakan di sini."
"Dengarkan aku dulu!" teriak Nathalia.
"Ada apa?" balas Eloise melihat Nathalia sedikit pucat.
"Katakan," ujar Athreus, "kami tadi melawan musuh yang kemungkinan Phantomius jadi bukan bagian dari perampok biasa."
"Tidak! Dia bukan Phantomius!" balas Nathalia.
"Apa maksudmu? Jika bukan Phantomius, lalu apa?" sahut Nicaise.
Perlahan Nathalia menatap ketiga Majestic Families dengan ekspresi khawatir. "Aku melihat tato di lidahnya sebelum dia lenyap jadi abu dan aku kenal lambang tato itu ...."
Eloise menyahut, "apa, jangan katakan salah satu Majestic Families?" Namun, dipukul Nicaise.
"Katakan Nathalia, siapa? Lambang apa?" balas Nicaise.
Nathalia berujar, "Organisasi Cruelle Obscurité."
Seketika para Majestic Families hanya terdiam, tak berucap apapun. Sementara rembulan yang tadinya tertutupi awan, kini bersinar terang setelah awan-awan berarak pergi. Kemudian beberapa kepik dan kunang-kunang di sekitar mereka kini berterbangan, seolah-olah terkejut pula mendengar bahwa salah satu organisasi paling berbahaya di dunia setelah Phantome Vendettaius bergerak kembali setelah bertahun-tahun lamanya tidak memperlihatkan kehidupan.
"Menjijikkan," kata Eloise memecah keheningan. "Pasti hanya pengikut fanatik mereka. Lagi pula, Ratu Mereka sudah lama mati, jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan. Sekarang ayo pulang! Aku sangat lelah!"
****
Kehebohan terjadi sebelum jam sarapan pagi, ketika para murid selesai mandi pagi, mengenakan seragam Eidothea mereka, serta mendengar ricuh di luar akademi, tepatnya di gerbang selatan akademi. Kini beberapa dari mereka segera menuju gerbang, banyak murid yang berkumpul di sana, ada pula yang memperhatikan dari dalam akademi melalui jendela-jendela kaca, serta beberapa murid merekam dengan Cyubes yang disambungkan ke Cyubes lain sehingga beberapa murid bisa melihat melalui Cyubes jadi tak perlu susah payah menuju gerbang selatan akademi.
"Kurasa ada yang mengacau," ujar seorang murid seraya menyantap susu cokelat yang ia seduh di dapur akademi.
"Sepagi ini?" balas murid lain. "Siapa yang berani membuat kericuhan sepagi ini!"
"Bukankah bisa ditebak dengan mudah?" balas Evanora. "Sampai pengajar yang turun untuk menghukum mereka adalah Master Arthur dan profesor Rosemary lho!"
Jika sudah dikatakan seperti itu maka para murid bisa langsung menebak siapa pembuat onar yang menyebabkan kehebohan di pagi hari. Bukannya para murid bersiap ke aula makan bersama, mereka malah antusias untuk melihat kehebohan yang diperbuat oleh Majestic Families dan satu Bangsawan Clodovea.
Kini pukul enam, para murid menonton kehebohan yang akan ditangani oleh dua pengajar terkuat di Akademi ini, atas inilah, master Arthur yang telah mengenakan pakaian rapi dan profesor Rosemary yang terlihat sangat cantik dengan gaun birunya tengah berdiri di hadapan tiga Majestic Families dan bangsawan Clodovea. Sudah dipastikan jika mereka akan terkena masalah besar dan berujung pada hukuman. Tidak peduli jika mereka adalah Keturunan Keluarga Agung di Athinelon ini. Eidothea tetap mampu menghukum mereka jika mereka memang bersalah bahkan takkan segan mengirimkan surat pada pihak keluarga mereka.
"Pantas saja salah satu Orly melaporkan jika ada beberapa murid kabur dari Eidothea." Suara profesor Rosemary terdengar seraya menelisik keempat murid pembuat onar ini. "Ternyata kalian menggunakan sihir teleportasi untuk keluar dari Eidothea di jam malam dan tanpa sepengetahuan siapa pun terutama para pengajar?"
"Kurasa kalian tidak pernah jera sedikit pun," balas master Arthur.
Sayangnya bukan mereka berempat jika tidak tergambar rasa bersalah atau takut karena bisa jadi mereka dihukum atau dikirim surat teguran ke orang tua mereka. Kini saja keempat murid tahun kedua itu hanya berdiri dan sesekali menatap sekeliling karena para murid berkumpul, syukurnya para murid tak terlalu berani mendekat dan menguping apa yang dibicarakan, mereka takut jika jadi target selanjutnya oleh ketiga Majestic Families.
"Kami hanya sedikit mengalami kendala saat hendak pulang," balas Athreus cengengesan. Sesaat membuat Rosemary ingin menghantam wajah satu per satu muridnya ini. Namun, ia punya martabat yang harus dijaga.
"Bisakah kami kembali ke asrama, aku harus mandi," ujar Eloise. Sementara Nicaise dan Nathalia hendak berujar pula, tetapi diinterupsi oleh profesor Rosemary.
"Kalian berani menjawab lagi, kupastikan pedangku akan kuayunkan," ancam profesor Rosemary yang membuat mereka berempat terdiam dan punggung merinding karena mulai takut.
Sebenarnya mereka berempat memang mengalami kendala di jalan pulang setelah menyelamatkan Desa Guthram. Mereka tidak bisa melakukan teleportasi, sudah menghubungi Eugeo, serta Eugeo mencoba teknik teleportasi berulang-kali menggunakan Cyupter, tetapi mereka gagal, hingga setengah jam lebih ketiga Majestic Families dan Clodovea menunggu, tidak kunjung mereka berteleportasi pulang, maka terpaksa mereka kembali ke Eidothea dengan menaiki kuda yang memakan waktu dua jam untuk sampai, tunggu sepertinya lebih dari dua jam karena di perjalanan pulang, mereka sempat diincar beberapa iblis hutan yang berkeliaran karena mencari makan dan mencium Neith dari tiga Majestic Families. Alhasil perjalanan mereka sedikit terhambat karena harus melawan beberapa iblis meski iblis tingkat rendah. Sampai di Eidothea menjelang pagi dan inilah detik ketika mereka jadi sorotan para murid dan akan segera dihukum oleh dua manusia yang termasuk jajaran pengajar paling mengerikan di Akademi ini.
"Beruntung profesor Eugenius ada urusan lain pagi ini jadi kami yang akan menghukum kalian," ujar Arthur. Ia menggunakan mantra penghalang yang membentuk selubung Neith jadi walaupun para murid menonton mereka, tetapi tidak bisa mendengar pembicaraan mereka. Kecuali ada yang paham cara menembus teknik sihir tingkat tinggi ini.
"Kami lebih senang jika profesor Eugenius yang menghukum kami," balas Nicaise dengan senyuman khasnya.
"Ya, aku juga setuju," timpal Nathalia. Oh wow bahkan Clodovea yang waras saja lebih ingin dihukum oleh profesor Eugenius ketimbang Arthur dan Rosemary.
"Kalian kalau memberi hukuman lebih mengerikan dibandingkan profesor Eugenius," ujar Athreus.
Eloise menganggukkan kepalanya. "Kuyakin Beliau takkan menghukum kami dan berpihak pada kami jika Beliau yang menangani kami."
Senyuman master Arthur terukir. "Inilah alasannya mengapa para murid keras kepala dan suka mengacau diserahkan pada kami berdua."
Di sisi lain, beberapa murid Arevalous hanya menyaksikan kejadian tersebut memakai Cyubes karena enggan pergi ke gerbang akademi terutama sudah banyak yang pergi ke sana; Gwenaelle dan Faelyn paling banyak berkumpul, mungkin karena pembuat onarnya berasal dari kedua asrama tersebut.
"Di luar sana sangat ramai, seperti ada pertunjukan opera saja," ujar Gilbert seraya menjahit salah satu sweater-nya yang berlubang.
"Apakah mereka sering mengacau," kata Frisca seraya menatap Cyubes yang melayang.
"Setiap bulan selalu ada saja masalah yang datang pada mereka atau mereka yang membuat masalah," balas Evanora. Dia tak habis pikir, apa yang diperbuat tiga Majestic Families dan keturunan Clodovea itu.
"Pasti sangat pusing bagi para pengajar menghadapi tingkah mereka," sahut Mylo.
"Tidak perlu mereka," timpal Damien, "kedua kakakmu saja, biang onar di asrama ini sampai profesor Rosemary lelah karena tingkah mereka."
"Tepat sasaran," timpal Frisca menyetujui perkataan Damien.
"Hey! Kami bisa mendengar hal itu!" teriak Easton tak terima diejek pembuat onar.
"Benar! Kami inginnya dipanggil kesatria gila yang pemberani!" balas Noah.
"Dewa, bawa saja kedua saudaraku itu pergi!" teriak Mylo dan para murid terkekeh.
Anila tidak lama datang karena habis mengembalikan beberapa buku yang dipinjam dari perpustakaan asrama ini. Kemudian menatap Cyubes yang masih memperlihatkan master Arthur seperti memarahi keempat pembuat onar tersebut. "Apakah mereka dari luar akademi? Bukankah jika di jam malam, ada barrier yang mendeteksi jika seseorang keluar dari akademi dan akan ditangkap oleh para Orly?"
"Gadis kritis, tiba," ujar Gilbert.
"Diam kau, Gilbert," balas Anila.
Damien berucap setelah menyeruput kopinya. "Mereka sepertinya menggunakan sihir teleportasi, jadi takkan terdeteksi barrier akademi."
"Dan kemungkinan mereka tak bisa kembali ke Eidothea dengan teleportasi lagi," timpal Evanora, "jadi karena itu mereka kembali berjalan kaki dan tertangkap master Arthur dan profesor Rosemary. Jika semisal mereka kembali dengan teleportasi juga, pasti takkan tertangkap."
Para murid mendengar percakapan Damien, Evanora, dan Anila. Hingga tak lama kemudian meski dari kejauhan. Mereka mencium wangi parfum yang memiliki aroma sangat menyegarkan, seolah-olah mereka seperti berjalan di bawah pohon-pohon lemon. Parfum ini sepertinya menggabungkan bahan-bahan; lemon, bergamot, dan pear pada top notes, dengan coriander, mate absolute, dan green tea pada middle notes, serta cedarwood, cistus absolute, dan white musk pada base notes. Kemudian terdengar langkah menuruni undakan tangga yang setiap langkahnya mendekati gerombolan para murid, mereka semakin mencium wangi parfum lemon yang sangat segar itu.
Kini tak bisa dimungkiri jika mereka semua jatuh cinta pada wangi parfum yang mahal ini, sudah dipastikan harganya sangat mahal dan berkelas. Mereka bisa menebak siapa pemilik wangi parfum ini terutama dari langkah congkaknya yang entah mengapa malah membuat mereka bergidik ngeri, tetapi juga terkesima.
"Meski Majestic Families, mereka cukup bodoh karena menggunakan sihir teleportasi, padahal mereka tahu jika teknik yang mereka gunakan belum sempurna," ujar seorang gadis yang telah mengenakan seragam Arevalous dengan rapi serta capelet cloak. "Mereka sangat memalukan saja."
Aalisha De Lune. Gadis itu selalu saja membuat banyak orang terkesima dengan sikapnya yang sangat angkuh.
Masih seolah-olah mimpi jika seorang gadis yang dulu sering dihina, tetapi kini berdiri sebagai sosok paling dihormati di Akademi Eidothea, bahkan dunia, andai dunia tahu identitasnya sebagai Keturunan Utama De Lune.
"Oh Ya Dewa, dia mengenakan-" Perkataan salah satu murid terhenti karena teriakan Easton dan Noah.
"Hey! Apa-apaan kau, kenapa kau menggunakan kacamata?!" teriak Noah.
"Ada apa gerangan, sehingga Keturunan De Lune menggunakan kacamata pada hari ini?!" timpal Noah sama hebohnya dan murid lain juga berfokus pada kacamata gadis itu.
Kini hal yang membuat para murid terkesima adalah gadis pendek itu mengenakan kacamata dengan frame bulat, gagang silver terbuat dari logam. Gadis itu mengurai panjang rambutnya, tetapi bagian kanan rambutnya, meski hanya sedikit ia kepang kecil dan diberi pita ungu.
"Kenapa kalian heboh sekali," balas Aalisha berdiri dengan bersilang dada.
"Kenapa kau malah bertanya?!" teriak Easton, "bahkan Gilbert terlihat terkejut dan lainnya juga! Kau gunakan kacamata, bagaimana kami tidak terkejut?!"
"Jangan bawa-bawa namaku!" teriak Gilbert.
Lekas Noah berujar, "oh Dewa, apakah matamu rabun atau apa atau mengapa kau gunakan kacamata? Ada angin apa yang membuatmu seperti ini?"
"Seseorang bebas mengenakan kacamata kapan saja bahkan tanpa harus didiagnosa miopia atau semacamnya," balas Aalisha menggeleng pelan. "Mylo, aku jujur saja, kedua saudaramu ini sangat menyebalkan."
"Mereka memang seperti itu, dari lahir, jadi maklumi saja jika otak mereka sedikit berbeda," sahut Mylo.
"Jahat kau sebagai adik kami," sahut Noah.
"Kenapa kau tidak terkejut dengan perubahan temanmu ini?" balas Easton.
"Dia sudah beberapa kali mengenakan kacamata," balas Mylo seraya menghela napas. Bisakah ia meminta pengajuan pada Kekaisaran untuk mengganti atau menukar kedua saudaranya itu ke saudara yang lebih baik dan waras?
"APA?!" teriak Noah dan Easton bersamaan. Beberapa murid juga terlihat terkejut seraya memperhatikan Aalisha yang sepertinya sangat cocok dengan kacamata frame bulat tersebut.
Anila berucap, "jangan berlebihan. Aalisha terkadang mengenakan kacamata, kalian saja tidak memperhatikannya."
"Ada acara apa sehingga kau gunakan kacamata?" balas Evanora sedikit terkesima dengan Aalisha. Ia sadar jika Aalisha cukup memperhatikan fesyen terutama di beberapa malam gadis itu sering mengenakan blazer, outer, vest, di mana kebanyakan murid memilih piyama supaya lebih nyaman. Sungguh, tak ia sangka jika gadis De Lune itu benar-benar totalitas dalam berpakaian bahkan mengenakan aksesoris.
"Aku tidak perlu pesta atau acara khusus untuk mengenakan kacamata," balas Aalisha seraya menatap Cyubes di mana sudah selesai perseteruan antara ketiga Majestic Families dan Clodovea menghadapi amarah Arthur dan Rosemary. Para murid di gerbang juga sudah bubar. "Aku mengenakan apa pun yang kusukai, kapan pun, aku mau."
Melangkah dengan santai dan sedikit angkuh, gadis itu menuju pintu masuk, sementara Gilbert dan Frisca menyusul, Mylo juga setelah memberikan ejekan pada kedua saudaranya, sementara Anila menatap para murid yang senantiasa diam karena masih syok serta mereka berpikir; Aalisha bukanlah manusia yang sangat kaku, dia begitu memperhatikan penampilannya, apakah karena dia Bangsawan tingkat tinggi sekaligus putri Keluarga De Lune? Yang derajat Aalisha bahkan lebih tinggi dari Tuan Putri Kekaisaran Ekreadel. Jadi memperhatikan fesyen tentu jadi kunci utamanya juga dalam kehidupan sehari-hari.
"Tolong jangan kaget dan terbiasalah dengan Aalisha yang dulu kalian ejek," balas Anila, "atau jika tidak, ia akan memenggal kepala kalian satu per satu." Senyuman itu terukir sebelum Anila berlari cepat menuju Aalisha dan menggandeng lengan gadis itu.
Padahal Aalisha sudah menolak dan menepis tangan Anila, tetapi ia berisi keras memeluk lengannya jadi mau tidak mau, ia biarkan saja karena Aalisha tak mau merusak harinya yang cerah ini. Kini mereka berjalan menuju pintu masuk akademi Eidothea yang ternyata sudah ditunggu Kennedy. Jadi mereka bersama-sama pergi ke aula makan karena sebentar lagi sarapan akan dimulai.
Sepanjang jalan di koridor. Setiap murid yang berpapasan atau melihat Aalisha; mereka terpesona karena penampilan gadis itu. Ya, sungguh sulit ditebak keunikan yang dimiliki Keturunan De Lune Yang Maha Agung.
****
Waktu berlalu cepat. Memutuskan untuk makan siang di kantin rumah pohon dibandingkan di aula makan bersama. Namun, Aalisha tak menyangka jika harus sebanyak ini para murid berkumpul di sekitarnya. Dikarenakan setiap meja kayu penuh, jadi seorang Orly menggelar tikar sehingga Aalisha, Anila, Mylo, Gilbert, Frisca, Kennedy, dan para murid Arevalous serta beberapa murid asal Sylvester, duduk di tikar serta berkumpul untuk makan siang bersama.
Makanan dan minuman; il te priel dan caelum milk tepat di hadapan mereka sesuai dengan menu yang mereka pesan. Awalnya hanya ada Aalisha, Anila, Mylo, dan lainnya kemudian datang Easton dan Noah dengan makanannya yang sangat banyak, tanpa izin, mereka seenaknya duduk di tikar. Tak lama kemudian Evanora dan Damien juga datang serta disusul teman-teman mereka. Kini ribut sekali suasana di sekitar Aalisha yang sejenak membuat gadis itu hendak pergi atau mengusir mereka. Namun, entah mengapa hari ini, suasana hatinya sedang baik dan ia tak ingin menguras energi dengan berteriak atau memenggal kepala para manusia-manusia menyebalkan ini.
"Kau masih betah dengan kacamata itu?" ujar Easton seraya mengunyah daging sapi yang dimasak dengan saus barbeque.
"Setidaknya telan dulu sebelum berbicara," ujar Mylo, kini ia sangat bingung, siapa yang adik, siapa yang kakak karena tingkah saudaranya sangat kekanak-kanakan.
Evanora berucap setelah menghabiskan makanannya, tetapi masih ingin makan bolu keju. "Jujur, aku kaget ketika kau gunakan kacamata. Namun, kacamata itu cocok untukmu."
"Ya," timpal murid lain yang setahun di atas Aalisha. "Kau terlihat berbeda, tapi itu bagus. Aku suka caramu memilih pakaian dan aksesoris."
Seorang murid lelaki asal Sylvester yang duduk di sebelah Damien ikut nimbrung percakapan. "Oh, ayolah kalian, Nona De Lune adalah bangsawan tinggi, jadi tak usah heran jika ia sangat paham tren fesyen terutama di kalangan bangsawan Kerajaan!"
"Woah! Apakah maksudnya seperti tren gaun dengan tambahan emas atau batu kristal, atau rantai besi," ujar Noah, asal berucap saja.
"Bukan tren seperti itu," balas Anila, "kau terdengar bodoh karena jarang membaca surat kabar atau koran yang membahas tren di kalangan bangsawan."
"Aku laki-laki, bagaimana bisa aku paham," balas Noah.
"Inilah alasannya, mengapa para laki-laki sangat kolot memilih pakaian atau pun fesyen yang bagus," sahut Anila.
"Sepertinya Nona Andromeda akan segera membuka kelas fesyen," balas Easton.
"Ya! Dan kalian berdua akan jadi modelnya," ucap Anila pada Easton dan Noah. "Kalian harus mengenakan gaun!" Maka terdengar tawa para murid terutama Gilbert yang perutnya hingga sakit.
"Jujur, tapi tren fesyen selalu jadi topik hangat setiap Bulan bahkan Minggu, karena pasti ada bangsawan atau tokoh masyarakat yang menciptakan ide baru untuk pakaian dan aksesoris," balas Gilbert, tumben sekali dia cerdas.
Frisca mengambil cookies di dekat Aalisha, membuat gadis kecil itu melirik cookies yang berbentuk kotak, bulat, segitiga, bahkan jajargenjang. Cookies apaan ini?! "Tidak mengherankan jika tren fesyen juga dijadikan topik paling sering dibicarakan di pesta atau salon." Frisca berucap.
Aalisha penasaran jadi dia meraih cookies yang bentuknya jajargenjang kemudian ia makan. Manik matanya membulat sesaat karena merasa jika cookies-nya enak terutama renyah dan rasanya manis, Aalisha suka makanan manis untuk dessert, sementara makanan berat yang rasanya asin dan asam. Ia tak suka pedas, Aalisha sangat benci pedas! Satu cookies habis, ia kembali mengambil cookies kedua yang bentuknya segitiga.
"Ho ho ho," ujar Easton memperagakan para lady yang hadir di salon bangsawan. Easton seraya memegang cangkir. "Hari ini Sir Damien terlihat sangat tampan dengan fesyen barunya."
Noah ikut-ikutan tingkah saudaranya itu. "Aku dengar jika Lady Evanora membawa gaya fesyen terbaru, ala-ala Bangsa Timur."
"Berhentilah kalian berdua, terdengar menjijikkan," teriak Evanora.
"Ya, kalian terlihat semakin bodoh," timpal Damien dan para murid di sana menertawakan kelucuan yang dibawa Easton dan Noah. Sementara Mylo menutupi wajahnya karena sangat malu.
"Kurasa mereka berdua bukan saudaramu atau kau yang bukan saudara mereka," bisik Gilbert.
"Diam," balas Mylo.
Semua sibuk dengan obrolan dan candaan sementara Aalisha fokus makan cookies. Anila yang tepat di samping kiri Aalisha, segera mengambil piring cookies yang masih penuh kemudian ditaruh di dekat Aalisha. "Makan yang banyak."
Sesaat Aalisha menyipitkan matanya. Kemudian mengambil cookies, entah cookies yang keberapa kemudian gadis itu inisiatif meraih gelas yang berisi caelum milk kemudian mencelupkan cookies-nya ke dalam minuman susu tersebut, lalu ia makan. "Hmm, ini enak." Gadis itu kembali makan cookies yang dicelupkan ke caelum milk.
"Sepertinya Nona De Lune menciptakan tren, makan cookies dengan caelum milk," ujar Evanora.
"Ini enak, kalian harus mencobanya," balas Aalisha.
"Kau terlihat seperti bocah," ujar Gilbert.
"Hey, Aalisha menurutmu mengenai pernikahan politik, apakah keluargamu ada pernikahan politik?" ujar Noah.
"Entahlah," balas Aalisha.
"Aku jarang mendengar pernikahan politik keluarga De Lune," ujar Frisca, "maksudnya biasanya jika ada pernikahan Majestic Families atau Bangsawan Kelas Atas, pasti masuk surat kabar atau koran, terutama Lè Ephraim."
"Biasanya tergantung dengan Keluarga Agungnya, ada beberapa Majestic Families yang tak ingin pernikahan keturunan mereka diumbar," ujar Damien, ia tentu saja paham masalah ini karena dia keturunan cabang Nerezza. "Meskipun ada banyak media nakal yang akan tetap mencari tahu. Bahkan parahnya menyebarkan kebohongan di kalangan kaum borjuis atau proletar."
"Media surat kabar Lè Ephraim, media ini paling ditakuti sekaligus dipercaya karena jarang menyebar rumor tak berdasar," jelas Evanora, "bagaimana menurutmu, Nona De Lune? Ataukah kau hanya ingin fokus makan cookies-mu."
Aalisha masih mengunyah cookies-nya jadi para murid harus menunggu sampai gadis itu menelan makanannya. "Setiap media surat kabar selalu melakukan segala macam cara untuk mendapatkan berita demi kelangsungan hidup media surat kabar tersebut. Namun, bukankah tak bisa dimungkiri jika setiap media surat kabar juga bersifat kapitalis jadi beberapa dari mereka akan menyebarkan rumor dan kebohongan sesuai dengan permintaan yang berjabat tangan. Namun, Lè Ephraim sedikit berbeda, sepertinya seseorang di balik media surat kabar itu tak pernah berjabat tangan dengan siapa pun."
Maksud dari berjabat tangan adalah melakukan sogok atau menyogok media surat kabar untuk menyebarkan berita bohong.
"Bukankah karena hingga kini tidak ada seorang pun yang tahu siapa sebenarnya Lè Ephraim? Jadi tidak ada yang bisa berjabat tangan dengan media surat kabar tersebut," timpal Mylo, "bahkan ada yang berasumsi jika Lè Ephraim hanya bekerja sendiri, tidak seperti media surat kabar lain yang ada banyak wartawan dan memiliki relasi dengan beberapa bangsawan."
"Ya," balas Evanora, "banyak asumsi yang mengatakan jika Lè Ephraim hanya bekerja sendiri, bahkan dia dianggap sebagai pengarang bukan jurnalis atau wartawan."
"Namun, bagaimana mereka bisa mengetahui semua hal-hal yang sulit diulik media surat kabar lain?" balas Kennedy, dia jarang bicara jadi terlihat seolah-olah ia tak ada di sana sejak tadi.
"Entahlah," ujar Evanora, "sulit mencari informasi mengenai kebenaran siapa Lè Ephraim yang sebenarnya."
Gilbert menimpali, "jika begitu, bisa saja Lè Ephraim adalah seseorang yang punya kekuasaan tinggi sehingga identitasnya sulit dibongkar, tetapi dia selalu berhasil mendapatkan berita eksklusif bahkan yang ditutupi."
"Majestic Families," ujar Noah, "banyak asumsi itu jika salah satu Majestic Families adalah Lè Ephraim."
"Hati-hati lho, di sini ada dua Majestic Families, jangan seenaknya berbicara. Lagi pula belum tentu mereka, bisa saja bangsawan tinggi atau bahkan keluarga Kekaisaran atau Kerajaan." Anila menegur.
"Tidak masalah, Andromeda," balas Damien, "aku tak masalah, lagi pula sudah banyak asumsi itu bahkan di keluargaku saja terkadang membicarakan mengenai Lè Ephraim. Kalau De Lune, kau tak masalah juga 'kan?"
Aalisha menyediakan bahunya dan kembali makan cookies. "Aku tidak peduli."
Easton berdiri. "Ya! Bagaimana jika kita beropini, menurut kalian, Majestic Families, bangsawan, atau bahkan Kerajaan mana yang kemungkinan menjadi dalang di balik identitas Lè Ephraim?"
Mereka awalnya ragu, tetapi tidak dapat dimungkiri obrolan ini seru juga jadi mereka menyampaikan setiap opini mereka. Ada yang menyebutkan beberapa Kerajaan di Kekaisaran Ekreadel, bangsawan seperti Cornelius, bahkan ada yang menyebut bangsawan Andromeda, sesaat membuat Anila kesal karena mustahil pihak keluarganya adalah Lè Ephraim, beberapa murid juga menyebutkan Majestic Families seperti Nerezza, Von Havardur, Clemence, hingga De Lune, beruntung Aalisha tak tersinggung.
"Bagaimana menurutmu, De Lune, tinggalkau yang belum memberi opini, bahkan Anila saja mengatakan jika pihak Kekaisaran sendiri yang menjadi dalang di balik identitas Lè Ephraim?" ujar Noah.
"Entahlah," balas Aalisha sebenarnya enggan menjawab dan lebih fokus makan dan menatap Cyubes yang memperlihatkan pesan dari profesor Eugenius. Tiba-tiba piring cookies-nya ditarik Easton. "Hey, kembalikan!"
"Tidak," sahut Easton, "takkan kukembalikan sampai kau memberi kami jawaban."
Helaan napas terdengar, ia memperbaiki posisi kacamatanya karena sedikit melorot. Seraya perlahan berdiri. Kemudian menatap semua orang. "Drazhan Veles," ujar Aalisha, "mereka Pemilik Mata Dewa dan dapat melihat masa depan atau masa lalu jadi cocok saja jika salah satu dari mereka menjadi Lè Ephraim yang selalu tahu permasalahan di kehidupan masyarakat Kekaisaran ini dan semacamnya, benar bukan?" Perlahan Aalisha menyibak jubah capelet-nya. Hendak pergi.
"Kau mau ke mana," kata Anila menahan lengan Aalisha.
"Menemui profesor Eugenius, ada yang hendak Beliau bicarakan," sahut Aalisha.
"Haruskah aku menemanimu?" ucap Anila.
"Tidak," tegas Aalisha, "aku ingin sendiri saja."
Setelah anggukan Anila. Lekas Aalisha melangkah yang sesaat diperhatikan oleh para murid yang duduk di tikar serta beberapa murid di luar kelompok pertemanan Aalisha juga menaruh perhatian setiap gadis Keturunan De Lune tersebut ada di sekitar mereka.
"Rasanya masih seperti mimpi," ujar Evanora, "jika kenyataannya dia adalah Keturunan Utama De Lune yang disembunyikan selama 12 tahun."
****
Menuju ke kantor profesor Eugenius. Aalisha melewati koridor yang dipenuhi oleh lukisan-lukisan yang dapat bergerak dan berbicara. Sejenak ia memutuskan menghentikan langkahnya dan memperhatikan beberapa lukisan yang terpajang di dinding-dinding koridor tersebut. Perlahan ia menuju lukisan pertama yang menarik perhatiannya. Lukisan tersebut berupa gambar pemandangan desa dengan ada sawah dan rumah-rumah kayu dan langit biru. Namun, jika diperhatikan lebih jeli, terlihat masyarakat di desa tersebut bergerak dan melakukan aktivitas mereka. Para masyarakatnya terlihat sangat kecil, tetapi bergerak. Inilah lukisan sihir. Aalisha lalu berfokus pada ujung bawah lukisan yang terdapat tanda tangan dan nama pembuat lukisan; Yovanca Dianse.
Lukisan kedua yang membuat Aalisha melangkah untuk memperhatikan lukisan tersebut adalah lukisan yang menggambarkan sebuah aula bangsawan dengan warna dominan kuning-keemasan, terdapat piano besar dan harpa, serta seorang wanita mengenakan gaun biru dan pria mengenakan jas hitam, mereka tengah berdansa, mereka bergerak, serta jika didekatkan telinga ke lukisan tersebut, bisa terdengar alunan musik piano dan harpa. Pelukis lukisan ini adalah Harizanov Kushner.
"Senang bertemu dengan Anda, Nona De Lune." Suara tersebut terdengar bersamaan kedua pasangan yang tengah berdansa menghentikan dansa mereka dan melakukan curtsy pada Aalisha. "Kami senang bertemu dengan Anda, Yang Mulia, Matahari Kebanggaan Athinelon."
Sesungguhnya Aalisha tak terkejut karena ia memang tahu jika lukisan sihir, objeknya dapat berinteraksi dengan makhluk lain. "Dansa kalian bagus."
"Terima kasih Yang Mulia," ujar si pria berjas hitam. "Perkenalkan Hamba, Grissham. Dan ini, Jeanice, mantan tunangan Hamba."
Maka si wanita bergaun membungkuk untuk menghormati Aalisha. "Salam, Yang Mulia."
Hening terdengar sesaat karena Aalisha diam. Perlahan ia berujar, "mantan tunangan?"
"Benar sekali, Yang Mulia," balas Jeanice, "kami tidak berhasil mencapai pernikahan dan dansa kami ini adalah dansa terakhir sebelum kematian kami."
"Makna dari lukisan ini adalah cinta yang sirna. Kami saling mencintai, telah bertunangan, tetapi pihak keluarga Jeanice. Dituduh melakukan kudeta atau pemberontakan terhadap Kerajaan, dituduh oleh bangsawan jahat. Maka seluruh anggota keluarga Jeanice akan dihukum mati termasuk Jeanice, serta pertunangan kami batal," jelas Grissham.
"Hari ini kami berdansa, esok adalah hukuman bagiku, aku akan dipenggal di hadapan seluruh masyarakat Kerajaan," tambah Jeanice, "tetapi aku tetaplah mencintai Grissham hingga akhir hayatku."
Grissham berucap, "begitu pula Hamba, jadi ketika hari esok, Jeanice akan menemui kematiannya, maka aku akan mengikutinya, aku menyamar menjadi salah satu anggota keluarga Jeanice kemudian naik ke atas panggung kematian dan akan dipenggal kepala bersama Jeanice. Kami memang mati, tapi cinta kami abadi."
Perlahan Aalisha melangkah. "Terima kasih sudah menceritakan makna lukisan ini."
"It's my pleasure, Your Majesty," ujar Grissham dan Jeanice bersamaan kemudian mereka berdansa kembali.
Sebenarnya Aalisha tak terlalu peduli dengan kisah di balik lukisan tersebut, lagi pula bisa saja lukisan itu murni tanpa inspirasi dari kejadian nyata, meskipun tidak dapat dimungkiri jika ada banyak kisah cinta menyedihkan seperti itu. "Lukisannya indah, maknanya sangat menyedihkan."
Sudah cukup melihat-lihat lukisan jadi kini Aalisha hendak menuju kantor profesor Eugenius. Hanya saja langkahnya terhenti saat terdengar suara seseorang memanggilnya. "Hey!"
Hendak Aalisha abaikan.
"Hey!!"
Aalisha tak peduli.
"Hey!"
Maka ia hentikan langkahnya kemudian menuju salah satu lukisan yang sejak tadi sangat ribut. Ia menghadap pada lukisan yang melukiskan pemandangan berupa rerumputan yang terbentang sangat luas. Pohon besar dan rindang, di dekat pohon tersebut, seorang lelaki remaja duduk seraya membaca buku, terlihat kaki lelaki itu bergerak dan ia membalik halaman buku yang ia baca. Sementara di sisi lain, terlihat seorang gadis kecil yang berlarian ke sana kemari. Gadis kecil itu yang sejak tadi memanggil Aalisha.
"Kenapa kau memanggilku?" kata Aalisha. Namun, tak ada jawaban karena si gadis kecil dalam lukisan asyik bermain seraya melompat-lompat.
"Apakah kau tak dengar aku?" ujar Aalisha lagi, "jawab aku, kenapa kau memanggilku terus?"
Tidak ada jawaban sama sekali dari si gadis kecil dalam lukisan, Aalisha kini membentak si lelaki yang membaca buku. "Kau jangan diam saja, lihat adikmu terus mengabaikanmu padahal sebelumnya dia terus memanggilku."
Ternyata si lelaki sama saja, dua-duanya mengabaikan Aalisha. Membuat gadis itu kesal, ia lekas menatap siapa nama pelukis inj, barangkali ia bisa protes karena sepertinya lukisan sihirnya rusak dan kurang diajarkan etika karena tak menghormati Aalisha! Namun, lukisan ini tak memiliki nama pelukis bahkan tidak ada tanda tangan.
"Lukisan yang aneh. Profesor Eugenius harus membakar lukisan aneh itu." Setelah menghela napas, gadis itu akhirnya melangkah karena enggan bertengkar dengan lukisan, lagi pula ia sudah banyak membuang waktu untuk melihat-lihat lukisan di koridor ini.
****
Pantas saja sepanjang koridor banyak lukisan. Telah semua murid ketahui jika kantor profesor Eugenius sering berpindah-pindah dan teka-teki menuju kantornya juga sering berbeda-beda. Seperti kali ini, pintu kantor profesor Eugenius berubah menjadi lukisan seorang pria tua berambut cokelat dan kumis tebal, mengenakan satu kacamata bundar di mata kanannya. Serta tawanya sangat berat dan punya lelucon yang tidak lucu sama sekali.
Seperti sekarang ini. "Apa yang dikatakan oleh seekor kuda ketika dia melihat seekor zebra?" kata tuan Rath Tan Maneever.
"Aku tidak tahu," balas Aalisha, wajahnya terlihat masam karena kesal sejak tadi belum diizinkan masuk ke kantor profesor Eugenius.
"Jawabannya adalah, kamu bercorak!" tawa tuan Rath Tan Maneever terdengar. "Pertanyaan selanjutnya."
"Tolong izinkan aku masuk," ujar Aalisha seraya memperbaikinya posisi kacamatanya karena agak turun.
"Tidak, gadis kecil, kau harus menjawab pertanyaanku," ujar pria tua lukisan tersebut. "Jadi pertanyaannya adalah apa yang dikatakan ikan saat berenang?"
"Ikan tak bisa berbicara," balas Aalisha.
"Tidak! Jawabannya adalah aku basah, ho ho ho, ini sangat lucu."
Demi Dewa! Apakah Aalisha akan mendapatkan pengurangan poin individu jika merusak lukisan menyebalkan ini?
"Bisakah beri pertanyaan yang lain agar aku bisa masuk ke dalam karena aku harus segera menemui profesor," ujar Aalisha.
"Baiklah, aku akan serius." Tuan Rath Tan Maneever berdeham. "Apakah kau tahu pelukis bernama Gladwyn Fillmore? Jika ya, beritahukan aku aliran apa yang ia gunakan dalam lukisannya."
"Surealisme," balas Aalisha, "lukisan surealisme, lukisan yang menggambarkan dunia imajinasi, mimpi, dan alam bawah sadar dengan cara yang tidak logis atau tidak realistis. Lukisan surealisme sering menampilkan objek-objek yang tidak biasa, bentuk-bentuk yang aneh, dan kontradiksi yang menciptakan suasana yang misterius dan tentu saja magis. Lukisan surealisme bertujuan untuk membebaskan imajinasi dari batasan logika dan aturan konvensional, serta untuk mengeksplorasi emosi dan perasaan yang lebih dalam melalui karya seni rupa."
Senyuman tuan Rath Tan Maneever terukir. "Silakan masuk, Yang Mulia." Maka terbuka pintu tersebut.
"Akhirnya," gumam Aalisha, perlahan melangkah masuk ke dalam kantor profesor Eugenius. "Aku benci semua teka-teki ini hanya untuk menemui Kepala Sekolah. Pantas saja banyak murid yang enggan menemui profesor dan memilih bertemu jika berpapasan di luar ruangan karena teka-tekinya sangat menyebalkan." Kini ia mengoceh pada dirinya sendiri.
Ia pikir, ia hanya akan menemui profesor Eugenius, nyatanya dia melihat dua pria lain selain profesor Eugenius, yakni profesor Astrophel dan master Arthur. Entah mengapa, Aalisha refleks berhenti, bersembunyi di dekat salah satu patung di ruangan ini, dan mendengarkan percakapan mereka yang sepertinya membahas hal penting. Salah satu perkataan yang terdengar jelas, diucapkan oleh profesor Astrophel.
"Ada kemungkinan serangan yang melenyapkan satu desa di wilayah timur adalah karena organisasi Cruelle Obscurité, hal ini dikarenakan serangan ...."
"Tahan dulu, Astrophel," ujar master Arthur, "sepertinya ada penyusup di sini. Keluarlah, Aalisha De Lune."
Sialan, Aalisha sangat benci manusia itu. Perlahan gadis pendek itu memperlihatkan dirinya. "Aku bukan penyusup, aku dipanggil kemari oleh profesor Eugenius. Jangan asal menuduhku."
"Ah benar sekali, aku memanggilmu karena ada hal penting yang hendak kubahas," ucap profesor Eugenius, "Arthur, Astrophel, kurasa pembicaraan kita bisa dilanjutkan di lain waktu."
"Baiklah, Profesor," balas Astrophel.
"Ya, mari lanjutkan di lain waktu," sahut Arthur seraya menatap sinis Aalisha. Kemudian kedua pria tersebut pergi dan meninggalkan Aalisha dan profesor Eugenius di dalam ruangan tersebut.
"Anda harus percaya padaku, Profesor," ujar Aalisha, "aku tak menguping, hanya sedikit mendengar pembicaraan kalian, itu pun bait terakhir perkataan profesor Astrophel."
Senyum profesor Eugenius terukir seraya ia menganggukkan kepalanya. "Ya, Nona Aalisha. Aku percaya padamu." Ia kemudian mendekatkan guci yang berisi permen rasa buah. "Mau permen? Ah, kau mengenakan kacamata, sangat cocok untukmu."
"Terima kasih Profesor dan terima kasih pula untuk permennya," ujar Aalisha mengambil satu permen.
"Silakan duduk atau jika mau berdiri saja juga boleh, aku lelah duduk jadi perlu bergerak," ujar profesor Eugenius dan Aalisha memutuskan untuk berdiri saja karena ia pun enggan untuk duduk. Terutama Alisha merasa tak sopan jika pria tua berdiri sementara ia duduk.
"Jadi apa yang hendak Anda bicarakan?" Seraya berucap, ia memakan permennya yang rasa buah mangga.
Terlihat profesor Eugenius mencari sebuah dokumen di rak penyimpanan dokumen. "Kudengar kau sudah mulai latihan rutin Oulixeus."
"Ya, Damien Nerezza selalu saja memaksaku," balas Aalisha, "dia juga sudah menjelaskan sejarah, peraturan, dan resiko pertandingan Oulixeus. Memangnya kenapa, Anda bertanya hal ini padaku?"
Pria tua itu meletakkan dokumen di atas meja dan Aalisha mendekati meja tersebut. "Sebenarnya jika seorang murid bergabung dengan tim Oulixeus, maka perlu persetujuan dari pihak orang tua atau wali sehingga mereka juga harus menandatangani beberapa dokumen. Dokumen ini memuat isi berupa persetujuan jika anak-anak mereka mengikuti pertandingan dan menerima segala resiko yang ada hingga ada kemungkinan terpilih menjadi anggota tim Oulixeus di bawah Kekaisaran dan masih banyak lagi. Jadi sangat diperlukan persetujuan pihak orang tua atau wali."
"Jadi apa inti yang hendak Anda bahas denganku?" balas Aalisha cukup dingin.
Profesor Eugenius bisa memahami perubahan suasana gadis tersebut. "Aku telah mengirimkan dokumen ini pada pihak keluarga De Lune, sejak profesor Madeleine merekomendasikanmu masuk tim Oulixeus di asrama Arevalous. Namun, hingga beberapa Minggu berlalu, tak kunjung ada informasi lanjut mengenai dokumen tersebut, apakah sudah ditandatangani atau belum."
"Tepatnya, pada siapa Anda mengirimkan dokumen tersebut?" ujar Aalisha.
"Tentu saja pada Yang Mulia Kepala Keluarga Utama De Lune, Beliau ayahmu dengan artian Beliau harus tahu apa yang kau lakukan terutama yang berkaitan dengan ikut organisasi atau mengikuti pertandingan," jelas profesor Eugenius, "sehingga Beliau pula harus menandatangani dokumenmu menjadi anggota tim Oulixeus."
"Dia takkan peduli," balas Aalisha. Betapa Aalisha sengaja memanggil ayahnya dengan kata dia. "Pada Archduchy-nya saja dia tak peduli, apalagi padaku."
Profesor Eugenius sesaat terdiam, ia memperhatikan mimik wajah gadis kecil itu yang berujar tanpa kesedihan atau emosi padahal bagi beberapa orang pada umumnya akan merasa sedih. "Karena Beliau belum menandatangani dokumennya jadi aku mengirimkan dokumen baru pada Kepala Keluarga Cabang De Lune, yakni Owen De Lune."
Oh wow, malah dikirimkan ke si berengsek Owen. "Dan," balas Aalisha.
"Owen De Lune, juga tak kunjung mengirimkan kembali dokumen tersebut jadi besar kemungkinan jika Beliau juga belum menandatangani dokumennya," ujar profesor Eugenius.
Perlahan Aalisha bersedekap. "Sepertinya Anda harus mengirim dokumen tersebut kepada semua Kepala Cabang De Lune atau sekalian saja pada para Tetua Agung," balas Aalisha, "setahun berlalu pun, mereka takkan menanggapi dokumen itu. Aku minta maaf harus mengatakan hal ini, tapi usaha Anda, tidak berguna sama sekali."
"Aku tahu hal itu, aku hanya berusaha karena ini permintaan profesor Madeleine juga," ujar profesor Eugenius.
"Jadi bagaimana kelanjutan masalah dokumen ini? Jika tidak ada yang menandatangani, apakah artinya aku tidak bisa bergabung dengan tim Oulixeus? Ataukah ada yang mau jadi waliku, barangkali profesor Madeleine sendiri?"
Pertanyaan itu dibalas dengan gelengan kepala. "Tidak bisa, yang menandatangani harus dari pihak keluarga, orang tua, saudara, atau wali sah, bukan pengajar, tetapi terkhusus untukmu ...." Profesor Eugenius mendorong dokumen yang harus ditandatangani ke depan Aalisha serta menaruh pena berbulu. "Kau harus menandatangani dokumen ini sendiri sebagai persetujuan bahwa kau setuju menjadi anggota tim Oulixeus dan menerima segala konsekuensi yang ada ketika berlangsungnya pertandingan."
"Anda serius?" balas Aalisha menaikkan satu alisnya. "Aku harus menandatangani dokumen ini sendiri, padahal aku menjadi anggota tim dan menanggung konsekuensinya sendiri?"
"Maafkan aku, Nona Aalisha, tetapi dokumennya harus segera diurus agar kau benar-benar resmi menjadi anggota tim Oulixeus," sahut profesor Eugenius, "tetapi aku punya tawaran lain, jika kau tak mau bergabung dengan tim, maka tidak perlu menandatangani dokumen ini. Pilihan ada padamu dan aku takkan memaksa bahkan profesor Madeleine juga tidak memaksakan kehendaknya."
Sesaat profesor Eugenius berpikir jika Aalisha De Lune akan berpikir terlebih dahulu untuk memberikan jawaban. Namun, tanpa basa-basi, gadis itu meraih penanya, lekas membubuhkan tanda tangan dan namanya dokumen tersebut serta ia merapalkan mantra sehingga selama beberapa detik tanda tangannya bercahaya biru. "Maaf, kugunakan mantra agar tak seorang pun bisa meniru tanda tanganku, hanya antisipasi termasuk pada Anda."
"Baiklah, terima kasih, Nona Aalisha. Sekali lagi aku meminta maaf karena gagal agar pihak keluargamu mau menandatangani dokumen ini," ucap profesor Eugenius.
Aalisha memutar bola matanya. "Aku saja tidak dipedulikan, apalagi Anda, jadi tak perlu meminta maaf."
Profesor Eugenius hanya mengangguk kecil. "Sebelum kau pergi, bolehkah aku bertanya sesuatu yang personal padamu, Nona Aalisha?"
"Sebenarnya jauh dalam relung hatiku, aku enggan menjawab, tetapi jika Anda mau bertukar informasi padaku maka aku akan menjawab pertanyaan Anda," ujar Aalisha, "bagaimana, apakah Anda setuju?"
"Aku setuju," balas profesor Eugenius cepat.
Senyum Aalisha terukir. "Tak kusangka Anda akan menyetujuinya dengan cepat. Jadi apa yang hendak Anda tanyakan?"
"Alasan apa kau masih setuju menjadi anggota Oulixeus padahal aku menebak jika kau tidak mau terlibat dalam hal-hal yang bisa saja membahayakan nyawa maupun identitasmu."
Ah, Aalisha pikir akan ada pertanyaan lebih personal dari pria tua itu seperti mengenai hubungan Aalisha dengan Kepala Keluarga De Lune atau apa yang membuat Aalisha terlihat membenci Kepala Keluarga De Lune.
"Karena aku sudah latihan Oulixeus dengan anggota tim, jadi sayang sekali jika aku mengundurkan diri, bukankah membuang-buang waktuku latihan?"
"Aku ingin jawaban serius," balas profesor Eugenius.
Manik mata Aalisha menatap tajam. "Karena kudengar dari anggota timku bahwa kakakku, Aldrich De Lune adalah salah satu pemain terbaik Oulixeus tim asrama Arevalous. Itu jawaban seriusku, Profesor Eugenius yang terhormat."
"Baiklah, aku terima jawaban itu, sekarang giliranmu, apa informasi yang ingin kauketahui?" balas profesor Eugenius.
"Ketiga Majestic Familes," ujar Aalisha, "siapa yang menandatangani dokumen mereka karena resmi bergabung dengan tim Oulixeus? Apakah Anda berkenan membagikan informasi ini padaku ataukah terlalu personal karena menyangkut mengenai Majestic Familes?"
Entah apa yang hendak Aalisha cari tahu dari informasi ini, tetapi Eugenius tidak melihat adanya tanda-tanda perbuatan jahat jika semisal gadis De Lune itu menggunakan informasi ini untuk berbuat suatu kejahatan. "Eloise Clemence, ditandatangani oleh Kepala Keluarga Clemence, Nicaise Von Havardur juga begitu sementara Athreus Kieran Zalana, ditandatangani oleh Archduchess Kieran Zalana, ibunya."
Ada ekspresi yang tak bisa profesor Eugenius jabarkan dari gadis kecil di hadapannya itu. Perlahan Aalisha mundur beberapa langkah seraya melakukan curtsy. "Terima kasih atas jawaban Anda, aku pamit undur diri karena pembicaraan kita telah selesai."
"Ya, terima kasih kembali," balas profesor Eugenius dan Aalisha pergi meninggalkan ruangan tersebut setelah Tamerlaine memberikan Aalisha permen rasa buah mangga.
"Apakah Anda hendak kubuatkan teh camomile?" tawar Tamerlaine.
"Ya, tolong seduhkan aku teh," ujar profesor Eugenius seraya menatap dokumen yang ditandatangani oleh Aalisha. "De Lune, jika memang Kepala Keluarganya membenci putrinya, bukankah terlalu berlebihan? Karena Aldrich De Lune, tidak diperlakukan seperti ini. Sungguh kasihan takdir gadis itu."
****
Sedikit enggan pergi ke salah satu bangunan latihan karena Anila mengabari jika mereka menonton beberapa murid bertarung di sana sekaligus mata pelajaran latih pedang. Jadi Aalisha memutuskan untuk pergi ke kuil sebentar agar tidak terlalu lama berdesak-desakan dengan para murid yang antusias menonton pertarungan tersebut.
Ketika melangkah di koridor, gadis itu berhenti ketika mendengar alunan musik piano yang bergema di seluruh koridor, sangat merdu dan indah, membuat gadis kecil itu mendengarkan jeli dari mana asal musik piano tersebut yang ternyata berasal dari dalam sebuah ruangan khusus kelas musik. Seingat Aalisha kelas musik baru ada di tahun kedua, tetapi siapa pun diperbolehkan menggunakan ruangan tersebut jika ada izin dari Orly atau pengajar yang bertugas mengawasi ruangan tersebut.
Pintu terbuka lebar, tak ada seorang pun di sana dan kebetulan musiknya berhenti. Membuat Aalisha bingung mengapa alunan musik piano terdengar bergema di koridor padahal tak seorang pun ada di ruangan ini? Apakah ada murid iseng yang memainkannya atau barangkali para Orly sendiri yang memainkan piano kemudian pergi karena sadar jika Aalisha kemari? Namun, apapun alasannya. Piano besar dan berwarna hitam serta mahal tersebut sangat membuat Aalisha penasaran, lagu pula sudah hampir setahun ia tak menyentuh piano.
Aalisha sebenarnya di waktu belia juga ada guru privat yang khusus mengajarkan bermain alat musik seperti biola, harpa, cello, dan paling utama adalah piano. Karena bagi kaum borjuis bangsawan, mampu memainkan piano dianggap nilai tambahan sebagai bangsawan yang beretika dan berkelas, terutama Majestic Familes yang dituntut untuk sempurna dalam segala aspek.
Berada di dekat piano, ia menyentuh tuts piano, terdengar bunyi piano. Meski tangan gadis itu kecil, tetapi ia mahir menekan satu per satu tuts, jadi dia mencoba mengalunkan musik dari piano itu dengan kelima jarinya.
"Aku coba salah satu musik," ujar Aalisha. Sambil berdiri, perlahan ia kembali memainkan piano, menekan setiap tuts yang kini terdengar alunan musik piano yang merdu, bernada lembut dan pelan.
Tiba-tiba jari gadis itu terhenti saat terdengar suara lain dari piano ini karena seseorang menekan tuts juga yang berada di ujung lain piano ini. Lekas gadis itu menoleh cepat dan mendapati seorang lelaki yang tersenyum lembut dengan jubah Faelyn-nya tersampir di bahunya.
"Apakah kau terkejut, Nona De Lune? Maaf jikalau aku membuatmu terkejut." Suara yang tenang itu mengalun seolah-olah mengalahkan alunan musik piano, terutama manik mata ungu yang terkena paparan sinar matahari yang menembus jendela seolah-olah membuat manik matanya bercahaya.
"Aku tidak terkejut," ujar Aalisha tidak sepenuhnya berbohong.
Di sisi lain, sesaat Nicaise terpana, tidak ia sangka jika gadis itu mengenakan kacamata. Ada acara apa sehingga ia sedikit membuat penampilannya berbeda?
"Kacamata yang bagus," balas Nicaise, "aku menyukai kacamata itu."
Tolong tenanglah Aalisha. Kini degup jantung gadis itu jadi tak karuan. Apakah barusan, Nicaise memujinya? Namun, pasti siapa pun akan memperhatikan penampilan Aalisha karena tiba-tiba mengenakan kacamata, jadi pujian dari Nicaise pastinya cuma bentuk kesopanan pada lawan bicaranya. Aalisha tidak perlu memperbesar masalah ini dan tak harus membalas pujian dari lelaki itu.
"Apa yang kau lakukan di sini, Tuan Nicaise Von Havardur?" ujar Aalisha.
"Kurasa aku yang meminta izin pada Orly agar bisa menggunakan ruangan ini," ujar Nicaise seraya tersenyum, tanpa ada kebohongan dalam perkataannya.
"Oh benarkah? Jadi kau yang menggunakan ruangan dan piano ini sebelumnya?" Aalisha bersedekap. "Namun, mengapa aku tidak melihatmu ketika aku masuk ke ruangan ini? Apakah kau mengerjaiku?"
Nicaise terkekeh. Suara tawa dan senyumannya, sukses secara perlahan membuat degup jantung Aalisha berdegup kencang. Tolong jangan tersenyum dan tertawa. Aalisha benci jika tubuhnya merespons dengan aneh. "Tentu tidak, Nona De Lune," balas Nicaise, "aku pergi keluar sebentar untuk ke toilet dan mengambil minumanku yang diantarkan salah satu Orly." Nicaise memperlihatkan botol kaca yang berisi Caelum Milk. "Kurasa saat aku keluar, kau masuk ke ruangan ini. Percayalah padaku, untuk apa pula, aku mengerjaimu. Lagi pula bukankah aku yang seharusnya bertanya, mengapa kau ada di sini?"
"Sebelumnya aku mendengar alunan musik piano, jadi aku tertarik kemari dan aku mencoba memainkan piano ini karena sudah lama juga aku tak menyentuh piano," jelas Aalisha dan langsung dipercayai Nicaise tanpa banyak bertanya.
"Jadi kau juga menyukai piano?" ujar Nicaise seraya duduk setelah menaruh jubahnya di atas pahanya.
"Tidak juga." Aalisha berbohong. Ia sangat menyukai piano sekaligus sangat membenci piano. "Kurasa aku harus pamit agar tidak mengganggumu."
Apakah percakapan mereka akan berakhir begitu saja? Sejujurnya Aalisha tak mau lama-lama berada di sekitar Nicaise karena degup jantungnya selalu tak terkontrol jika bersama lelaki itu. Namun, sayangnya takdir selalu berkata hal berbeda.
"Nona De Lune, mau bermain piano denganku?" ujar Nicaise, sontak langkah gadis itu berhenti. "Jika kau tak mau, tidak masalah, aku takkan memaksa."
"Lagu apa yang kau tawarkan? Jika membuatku tertarik maka aku akan memainkannya denganmu," balas Aalisha.
Senyuman Nicaise terukir lebar. Perlahan ia berbalik agar bisa menatap Aalisha dengan intens seraya satu tangannya terulur seperti dengan sopan ia ingin Aalisha menggenggam tangannya jika menyetujui bermain piano bersama. "Bagaimana dengan Amouris Caritas Khutwah?"
"Baiklah mari mainkan," balas Aalisha, tetapi tak meraih tangan Nicaise dan langsung duduk di bangku piano agak sedikit ke ujung agar tidak terlalu dengan dengan Nicaise. Sementara Nicaise yang tertolak, perlahan tersenyum meski sedikit sakit, ia pun berbalik menghadap piano kembali. "Mari mulai."
Amouris Caritas Khutwah karya Watar Jacob Lyachintum, seorang komponis dan pianis dari bangsawan Lyachintum yang terkenal dengan banyak karya musiknya. Salah satunya yang kini dimainkan oleh Aalisha dan Nicaise, musik piano berkisah tengah seseorang yang tengah jatuh cinta, tetapi tak mampu menyatakan cintanya dan hanya berani berdoa pada para Dewa dan Dewi setiap malam untuk menyampaikan cintanya meski secara tidak langsung.
Aalisha tahu lagu ini karena terkenal di kalangan bangsawan dan pernah dibawakan guru privatnya sebagai salah satu contoh musik piano yang beralunan merdu dan nada lambat, tetapi tak ada kesedihan. Maka dengan cekatan gadis itu menekan setiap tuts-nya dan Nicaise juga melakukan hal yang sama, mengimbanginya. Barangkali karena keduanya memang mahir dalam memainkan piano jadi keduanya bisa saling mengimbangi tanpa merusak nada lagunya dan terlihat begitu sempurna.
Mungkin karena kebiasaan Aalisha, gadis itu memainkan piano dan sesekali menutup matanya. Hal ini membuat Aalisha tak menyadari satu hal bahwa Nicaise sesaat memperhatikan gadis itu dengan tatapan teduh dan senyuman tipis terukir seolah-olah ia bahagia bisa melihat gadis kecil nan pendek di sampingnya terlihat begitu menikmati bermain piano dengannya dan alunan musik piano yang bergema begitu indah. Ya, Nicaise jujur jika ia tak menyesal membiarkan gadis kecil itu masuk ke dalam ruangan ini dan memperhatikan dari kejauhan apa yang akan dilakukan Aalisha. Dewa, maaf jika Nicaise terkadang berbuat kenakalan meski ia tahu batasan jika seorang lelaki dilarang berbuat semena-mena pada nona bangsawan. Namun, Nicaise menikmati waktunya ini bersama dengan Aalisha.
"Cantik," gumam Nicaise, setelah melihat senyum gadis kecil itu terutama kacamata yang terbingkai di wajah kecilnya.
Sementara dari arah pintu masuk, tanpa ada yang tahu, seseorang bersandar di dinding. Bersedekap seraya mendengarkan alunan musik piano yang mengalun di sepanjang koridor. Seorang lelaki dengan jubah asrama Gwenaelle-nya perlahan tersenyum tipis setelah manik mata biru tanzanit-nya menatap keturunan De Lune dan Von Havardur bermain piano bersama. Perlahan ia melangkah pergi dan jubahnya beterbangan sesaat setiap ia melangkah.
Ia pergi dan entah apa yang ada di pikirannya. Namun, terlihat jelas, di dahinya terdapat Marajha, pergelangan tangannya terlilit gelang merah, dan ia menggenggam benang merah yang lainnya, kemungkinan hendak ia berikan pada seseorang. "Kacamata, sungguh aksesoris yang cocok untuknya. Ah, Kupikir dia akan ke kuil, ternyata aku salah. Lalu bagaimana bisa, dia tersenyum seperti itu? Sementara selalu memberi tatapan kebencian padaku. Oh Dewa, hidup ini sangat tidak adil."
Kini langkah Athreus berhenti, ia menatap pada langit biru saat melewati taman dalam akademi Eidothea. Senyuman Athreus terukir lembut ketika ia mengeratkan genggamannya pada gelang merah. "Semoga Dewa, selalu memberkatimu, Nona Aalisha."
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
|| Afterword #10
Cruelle Obscurité adalah organisasi kriminal paling jahat selain Phantome Vendettasius, mereka dipimpin oleh seorang Ratu, meskipun hingga kini belum dijelaskan lebih dalam siapa ratu tersebut. Namun, pengaruhnya sangat besar dan Ratu ini hampir menghancurkan dunia Athinelon hingga membuat Delapan Kepala Keluarga turun tangan.
Aalisha termasuk tipe gadis yang cukup memperhatikan gaya fesyennya, ia juga sering mengepang rambutnya maupun mengenakan pakaian rapi dan mahal meski hanya di malam hari. Pada chapter ini terlihat dia mengenakan kacamata, sebenarnya ada alasan lain ia mengenakan kacamata tersebut. Namun, belum bisa diungkapkan alasannya.
Berbicara mengenai kantor profesor Eugenius. Kantornya selalu berpindah-pindah setiap bulan, kadang dua minggu, kadang seminggu, serta sering diberi teka-teki. Hal ini dilakukan untuk mengasah kecerdasan para muridnya jika hendak menemuinya, tetapi kebanyakan dari para murid malah enggan menemui profesor Eugenius.
Profesor Eugenius lebih murah hati dibandingkan profesor Rosemary dan Master Arthur.
Sejak kecil, Aalisha diajarkan piano dan ketika di kediaman dahulu, ia hampir setiap minggu selalu bermain piano atau alat musik yang ia sukai. Kebanyakan para bangsawan memang harus mahir di bidang musik. Begitu pula Anila dan Mylo, Anila mahir di beberapa bidang alat musik seperti piano, harpa, dan biola. Sementara Mylo lebih sering memainkan cello dan suling.
Wajib jawab, kalian Tim Athreus atau Nicaise? Jangan jawab yang lain:)
Prins Llumière
Jum'at, 15 Maret 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top