✒ Chapter 19
|| Chapter ini sangat panjang
|| Vote dan comment jangan lupa!!
|| Rekomendasi musik untuk chapter ini: ainsi bas la vida & heathens × centuries
Suara teriakan bergema kencang di langit yang bersamaan ledakan dahsyat terjadi hingga membuat angin bertiup kencang serta asap hitam menyebar sangat cepat bagaikan tsunami. Kini langit sesaat menghitam dan gelap akibat tertutupi asap hitam tersebut. Tidak berselang waktu, ledakan lain terjadi bersamaan cahaya kelap-kelip ibarat petir bergemuruh, tetapi di siang bolong. Sejauh mata memandang terlihat jelas pertarungan antara para kesatria khusus yang dikirim oleh pihak Kekaisaran Ekreadel-mengenakan zirah baja yang sebagian warnanya berwarna emas dan di bahu kanan terukir lambang Kekaisaran Ekreadel.
Masing-masing kesatria menggenggam kuat senjata mereka dimulai dari pedang berjenis long-sword hingga claymore bahkan katana, ada pula yang membawa senjata sejenis senapan busur yang sangat besar yang berisi peluru racun dan telah dimantrai dengan sihir tingkat tinggi. Tidak hanya itu terlihat seorang pria dengan rambut biru panjang yang tengah memandangi enam Cyubes sekaligus yang menjadi sebuah monitor serta memperlihatkan berbagai macam sisi dari pertarungan pasukan khusus Ekreadel ini melawan pasukan dari organisasi Phantome Vendettasius. Pria bernama Tordynnar Xyrpetor, dari kejauhan menjadi pengawas dari pertarungan ini untuk memberikan arahan serta perintah dari Pemimpin mereka ke para kesatria yang tengah bertarung dengan para Phantomius dan pasukan iblis yang membawa banyak monster bahkan ada binatang magis berupa dragon maupun griffin.
Pertarungan atau lebih tepatnya peperangan ini terjadi di salah satu daerah di Benua Wiotreseron yakni dekat dengan Desa Vinbagne, desa yang masih dihuni oleh ras manusia dan dibawah kekuasaan Kekaisaran Ekreadel. Perangnya tidak terjadi di desa tersebut, tidak pula di sekitar desa, melainkan tepat di langit yang tak jauh dari desa Vinbage. Ya, perang yang terjadi di langit tersebut sangatlah mengerikan bahkan hingga membuat para manusia yang berpijak di tanah menjadi ketakutan. Langit menghitam dan sesekali bercahaya ungu, biru, hingga hitam karena serangan sihir yang dilancarkan para Phantomius maupun perlawanan dari pasukan yang dikerahkan oleh Kekaisaran Ekreadel serta dibantu oleh tiga anggota yang berasal dari organisasi Alastair.
Cobalah untuk melangkah keluar rumah. Kemudian edarkan pandangan ke langit maka akan terlihat puluhan Navis Fluitantis atau diartikan sebagai Kapal Terapung yang merupakan sejenis kapal yang dapat terbang di langit karena dilengkapi dengan Fluitantia Crystallis, suatu mineral yang terbuat dari beberapa batu krystal tertentu kemudian diberi Neith dan sihir kuno sehingga menghasilkan energi berupa aliran listrik berkekuatan sihir yang mampu mengangkat atau mengapungkan suatu benda yang ukurannya sangat besar seperti bangunan, rumah, bahkan kapal ke langit, mudahnya benda-benda tersebut akan terbang di langit.
Sebuah Navis Fluitantis setidaknya membutuhkan satu Fluitantia Crystallis untuk memungkinkan Kapal Terapung tersebut untuk terbang di langit. Kemudian jumlah Fluitantia Crystallis, tergantung dengan desain, ukuran, dan berat Navis Fluitantis sehingga jumlahnya dapat bervariasi. Ada Navis Fluitantis yang hanya membutuhkan satu atau dua Fluitantia Crystallis, ada pula yang membutuhkan dua atau lebih bahkan hingga 10 Fluitantia Crystallis.
Adanya Navis Fluitantis atau Kapal Terapung ini dibuat untuk mengefisiensi perjalanan jarak jauh serta tempat beristirahat bagi yang menggunakannya kemudian satu Kapal Terapung bisa memuat hingga 10 orang lebih bahkan hingga ratusan maupun ribuan tergantung dengan ukuran Kapal Terapungnya.
Mungkin ada beberapa pertanyaan seperti mengapa tidak menggunakan teknik sihir seperti biasa untuk membuat Kapal Terapung ini, mengapa harus menggunakan Fluitantia Crystallis? Karena jika menggunakan sihir biasa, maka pengguna sihir akan kehabisan Neith sehingga tidak efisien dan hanya membuang tenaga. Sementara Fluitantia Crystallis dapat digunakan selamanya terkecuali krystal tersebut rusak atau hancur.
Kemudian jika pertanyaan, mengapa masih banyak yang menggunakan kendaraan seperti kuda, gerbang teleportasi, kereta api maupun kereta kuda jika ada Navis Fluitantis yang bisa memuat hingga ribuan orang? Karena menciptakan Fluitantia Crystallis, tidaklah mudah dan mineral maupun material yang digunakan sangat susah dicari, jika beli dari pedagang pun harganya akan sangat mahal kemudian pembuatan krystal ini membutuhkan waktu berbulan-bulan terlebih pembuatan badan Kapal Terapungnya yang juga memakan waktu yang sangat lama, meskipun menggunakan sihir. Memang sebenarnya ada pasar khusus yang menjual Fluitantia Crystallis maupun Navis Fluitantis, akan tetapi harganya sangat mahal bahkan sepuluh kali lipat dari sebuah mansion. Jadi hanya orang tertentu yang bisa membeli Navis Fluitantis atau Kapal Terapung tersebut, kebanyakan dari kalangan Borjuis tingkat tinggi dan tentunya para Majestic Families. Atas inilah mustahil kalangan bawah memiliki Navis Fluitantis.
Penemu dan pembuat dari Fluitantia Crystallis adalah Keluarga Achelois yang bekerjasama dengan Drazhan Veles sementara yang memberi ide dan terciptanya Navis Fluitantis adalah Keluarga Kieran Zalana yang sangat gila ingin memiliki militer terkuat dan terbanyak di antara delapan Majestic Families.
Dalam sejarah tercatat bahwa, "keluarga Kieran Zalana mencetuskan terciptanya pula Rostratae Fluitantis dan Castrum Fluitantis yang menjadi teknologi terbaik dan akan abadi hingga ribuan generasi". Dengan artian jika Navis Fluitantis memiliki beberapa jenis yang di antaranya adalah Rostratae Fluitantis atau Kapal Perang Terapung dan Castrum Fluitantis atau Kastil Terapung, kedua Kapal Terapung ini tentunya memiliki ukuran yang sangat besar dan jumlah Fluitantia Crystallis yang sangat banyak.
Rostratae Fluitantis adalah Kapal Perang Terapung yang digunakan dalam peperangan dan memiliki persenjataan atau kemampuan tempur tertentu. Serta dapat menampung banyak pasukan. Biasanya hanya dimiliki Keluarga Bangsawan Borjuis tertentu, Kekaisaran, dan Majestic Families merupakan pemilik terbanyak dari Rostratae Fluitantis ini. Kapal Perang ini juga disamakan dengan senjata pemusnah massal yang berbahaya.
Castrum Fluitantis yakni sebuah Kastil Terapung yang terbang di langit. Dari namanya saja adalah kastil sehingga ukuran kapal ini sangat besar, luas, dengan memiliki banyak desain, serta berisi berbagai macam benda di dalamnya layaknya sebuah Kastil yang berdiri di atas tanah. Jenis Kapal Terapung ini mudah dikenal karena ukurannya yang sangat besar dan kapasitasnya mampu menampung ratusan, ribuan, bahkan puluhan ribu makhluk hidup bahkan monster dan binatang magis. Kemudian tidak mengherankan jika di Kastil terapung ini dapat menampung gedung-gedung hingga gedung pencakar langit, rumah sebagai tempat tinggal, bahkan membuat pemukiman masyarakat seperti desa atau kota.
"Sungguh Maha Besar Para Dewa yang membuat Makhluk Hidup-Nya mampu menggunakan akal dan kemampuan yang diberikan Para Dewa untuk menciptakan semua benda dan teknologi yang termasyhur tersebut." Setidaknya inilah yang dikatakan orang-orang untuk memuji keagungan Para Dewa dan para Majestic Families yang selalu menciptakan hal-hal baru di dunia ini. Kemudian setidaknya Kastil Terapung ini hanya dimiliki beberapa Borjuis tertentu dari setiap ras di Athinelon serta Majestic Families juga memilikinya bahkan ada rumor yang beredar jika para Kepala Keluarga Majestic Families tinggal di Kastil Terapung masing-masing, atas inilah mereka jarang terlihat karena makhluk hidup lain hanya berpijak di tanah.
Kini para anak-anak di Desa Vinbagne ditarik oleh ayah dan ibu mereka untuk segera masuk ke rumah, banyak para orang tua yang ketakutan atas terjadinya perang di dekat Desa mereka. Terlihat dari arah barat Desa, Kapal-kapal Perang Terapung bergerak pelan dan melancarkan serangan begitu cepatnya untuk menghancurkan Kapal Perang milik Phantomius. Tidak hanya itu, suara berdentang terdengar menggelegar seolah-olah membelah langit ketika para kesatria mengayunkan pedangnya untuk membunuh iblis jenis Kol'gakun yakni iblis yang memiliki tubuh burung elang dengan sayap yang sangat lebar sekitar satu meter untuk satu sayapnya, kemudian kakinya berupa ekor ular yang sangat panjang dengan ujungnya yang runcing dan berduri. Iblis tersebut memiliki tangan yang penuh kuku hitam, punggungnya mencuat tulang-tulang yang tajam seperti besi, serta wajah iblis tersebut adalah seorang wanita dengan rambut panjang, mata melotot, mulut menganga lebar dengan gigi panjang, lidah panjang, dan wajahnya buruk rupa serta kulitnya yang keriput, mengeluarkan lendir seolah-olah membusuk.
Suara teriakan Kol'gakun sangat jelek dan menyakiti pendengaran, suara paling buruk rupa yang sangat berbanding terbalik dengan para Siren atas inilah para Kol'gakun dikenal sangat membenci ras Siren. Para kesatria terlihat kewalahan saat para Kol'gakun terbang dengan sangat cepat yang tanpa peringatan, mereka melancarkan serangan yang berhasil memotong kepala bagian atas para kesatria; darah memuncrat saat setengah kepala terpotong, memperlihatkan urat-uratnya, darah bercucuran, dan tubuh para kesatria tersebut ambruk. Teriakan Kol'gakun terdengar melengking saat para kesatria dari pihak Ekreadel menggunakan sihir mereka serta menembakkan peluru berupa racun melalui bowgun.
"Jangan mundur sedikit pun!" teriak salah satu pemimpin pasukan. "Mereka, Bangsa Iblis lebih rendah dari kita para Manusia! Jangan gentar sedikit pun!"
"Hancurkan dan binasakan para pendosa itu!"
"Iblis adalah ras paling hina di Athinelon! Jangan sedikit pun menyerah dan takut pada mereka!"
Ledakan terdengar menggelegar kembali, puluhan kilatan cahaya terlihat menghiasi langit ketika para kesatria menggunakan sihir mereka untuk menciptakan pentagram sihir yang kemudian serangan bertubi-tubi dikerahkan untuk memusnahkan para Kol'gakun. Namun, serangan balik tak berlangsung lama ketika dari arah lain, pasukan Siaghios yang ditunggangi oleh Yahua berdatangan bersamaan puluhan bahkan ratusan tombak melesak sangat cepat dilapisi Neith hitam dan berhasil menembus setiap jantung para kesatria, mereka terjengkang, mengejat, hingga tiada di tempat. Tubuh mereka yang awalnya melayang di langit kini berjatuhan ke bawah, menghantam tanah, atap-atap rumah warga, hingga tercebur ke sungai dan membuat sungai menjadi merah darah.
"Manusia adalah bangsa yang bodoh!" teriak seorang Phantomius-Sohkarioz Dunkrazrihd, tanpa menyadari bahwa ia sendiri juga manusia, ah, lebih tepatnya kini dia hendak mengubur identitasnya sebagai manusia dan lebih memilih menjadi bagian dari iblis. "Kalian pantas mati! Jangan mengganggu rencana kami!"
Maka ia memunculkan pentagram sihir hitam, sekejap saja ratusan rantai menerjang ke arah para kesatria yang seketika menarik mereka semua kemudian tubuh mereka hancur ketika ditelan pentagram sihir milik Sohkarioz yang ternyata berisi racun yang dapat melenyapkan kulit dan daging manusia.
"Wahai para pasukanmu, binasakan mereka semua!" teriak Sohkarioz yang seketika pasukannya berteriak. Mereka kembali menyerang dimulai dari Kol'gakun yang terbang sangat cepat kemudian membunuh setiap manusia di hadapannya, para Yahua yang tak terlihat oleh mata telanjang berhasil meratakan satu pasukan akibat rasa panik, kemudian Phantomius lain menggunakan Rostratae Fluitantis mereka untuk menghancurkan Rostratae Fluitantis milik pasukan Kekaisaran Ekreadel.
Ketika ledakan dahsyat terjadi karena beberapa Rostratae Fluitantis pihak pasukan Kekaisaran Ekreadel terkena serangan sihir yang sangat besar, Rostratae Fluitantis tersebut tidak mampu terbang lagi karena Fluitantia Crystallis retak dan akan hancur, maka secara berangsur-angsur jatuh. Hal ini sukses membuat masyarakat di Desa Vinbagne ketakutan karena jika satu bagian dari Rostratae Fluitantis tersebut jatuh ke Desa mereka maka akan menjadi bencana seperti ledakan atau korban jiwa berjatuhan akibat puing-puing dari Rostratae Fluitantis tersebut.
"Lindungi warga sipil!" teriak salah satu komandan pasukan Ekreadel sekaligus anggota Alastair, Folwin Helefina, wanita dengan rambut merah yang digelung dan ia lengkap mengenakan zirah. "Pasang pelindung di sekitar Desa! Perintahkan para masyarakat untuk tetap di dalam rumah karena jika keluar dari Desa juga akan terkena dampak perang ini! Gunakan barrier terkuat untuk melindungi Desa ini!"
Folwin berada di gerbang Desa Vinbagne, dia diperintahkan oleh komandan utama dalam misi ini untuk melindungi Desa Vinbagne dari terkena dampak serangan dan peperangan. Mereka tidak punya waktu mengevakuasi masyarakat karena para Phantomius telah melakukan serangan lebih dulu serta membawa puluhan Rostratae Fluitantis jadi mau tidak mau mereka harus berperang tanpa mengevakuasi masyarakat dari desa mereka.
Cyubes Folwin muncul, panggilan dari rekannya, Tordynnar Xyrpetor yang berada di sebelah timur Desa Vinbagne, berjarak sekitar tiga kilometer. Dia dan pasukannya serta satu Kapal Perang Terapung tidak terlalu besar tengah berjaga di sekitar Kuil Suci Dewi Eonostus. Saat ini kuil suci tersebut sudah dipasang barrier 10 lapis, penjaga ketat dari segala arah, serta pentagram sihir yang mengelilingi yang siap membunuh siapa pun yang mendekati kuil tersebut.
"Kapal Perang pihak musuh terus bergerak kemari," ujar Tordynnar.
"Desa Vinbagne juga bisa terkena dampaknya," ujar Folwin.
"Folwin, pasang barrier sekuat mungkin di desa Vinbagne," balas rekan mereka yang kini duduk di sebuah sofa mewah seraya merokok dan memantau keadaan di luar salah satu Rostratae Fluitantis. "Kemudian Tordynnar, teruslah berjaga. Kuil itu sangat penting, jika para iblis berhasil menyentuhnya, maka kita kalah."
"Aku tahu akan hal itu! Seharusnya kita membawa lebih banyak anggota atau minta bantuan pada Majestic Families!" teriak Tordynnar, merasa kesal.
"Keluarga itu takkan mau ikut campur masalah sepele ini terlebih lagi kita adalah pasukan dibawah Kekaisaran Ekreadel." Perlahan ia melangkah menuju pintu keluar Kapal Perang Terapung yang ia naiki. "Mustahil para Majestic Families mau ikut campur dengan serangga seperti kita ini." Dia mematikan rokoknya.
Tordynnar terdiam seraya menatap Cyubes-nya yang ternyata memperlihatkan rekaman gambar dari keadaan peperangan di langit sana. Kedua belah pihak telah berjatuhan korban, tetapi pasukan manusia lebih banyak korbannya. "Aku penasaran, kira-kira apa yang akan membuat salah satu dari Mereka mau turun dari Singgasana Mereka meskipun hanya seorang Kepala Keluarga Cabang."
"Intinya bukanlah masalah sepele yang bersangkutan dengan makhluk mengenaskan seperti kita ini," ujar rekannya yang kini melangkah keluar dari Kapal Perangnya. Ia terbang di langit, melangkah dengan santai seolah-olah ia tengah berpijak di tanah padahal kenyataannya berpijak di udara.
Tordynnar terdiam saat dia melihat rekaman melalui Cyubes-nya. Salah satu Phantomius membuka sebuah buku bersampul hitam yang kemudian memunculkan pentagram ungu kehitaman serta perlahan-lahan bercahaya. Mulutnya komat-kamit membacakan mantra. "Dia memanggil Iblis tingkat tinggi. Berhati-hatilah, komandan Siveril Herjeon."
Maka di sisi lain, komandan Siveril Herjeon dengan rambut biru tua, pakaian panjang dengan jubah hitam sedikit berterbangan karena tertiup angin. Perlahan dia menatap tajam pada salah satu Phantomius di hadapannya. "Aku Siveril Herjeon, komandan utama dalam misi kali ini. Ah jadi kau, pengkhianat manusia."
"Aku Tedeuh Donkhehk, sayangnya aku tak mau disebut sebagai manusia lagi!" Ia berteriak. Wajahnya mengerikan dengan penuh bekas luka, lidah terjulur keluar, mata merah melotot, dan ia mengenakan zirah yang terbuat dari kulit naga.
"Menjijikkan, Bangsa Manusia berjuang melawan Bangsa Iblis selama ratusan tahun, tetapi bukannya kau berterima kasih pada leluhurmu, kau malah berkhianat dan menjadi bagian dari iblis." Perlahan Siveril memunculkan pedangnya. Sebuah pedang panjang dan lentur seperti membentuk cambuk, kemudian meneteskan cairan berwarna ungu yang berupa racun mematikan.
"Haruskah aku berterima kasih karena aku membunuh kakek dan nenekku jadi tak ada leluhur yang harus aku hargai," balas Tedeuh seraya meneteskan darahnya di atas buku. "Demi Raja Iblis, Demi Kemenangan Sang Raja Iblis. Maka aku memanggil salah satu pengikutnya! Zuggemod!"
"Membunuh keluarga sendiri, ah pantas saja kau menjadi Iblis," ujar Siveril seraya menatap iblis yang perlahan muncul dari pentagram sihir hitam milik Tedeuh.
Zuggemod adalah iblis yang termasuk jajaran iblis Tingkat Tinggi yang setara dengan Mirzurich Zalmoz. Iblis Zuggemod memiliki badan yang sangat besar, tingginya hampir mencapai 300 sentimeter, tubuhnya berotot, mengenakan jubah hitam panjang yang robek dan tampak kotor serta menjijikkan, tangan kiri membawa kapak tajam sementara tangan kanannya menggenggam palu besar. Iblis tersebut tak memiliki kepala sehingga setelah lehernya, keluarlah 25 ular berbisa dengan gigi taring tajam.
"Maka takutlah wahai manusia, bangsa yang paling merasa diri mereka paling suci di Athinelon ini!" teriak Tedeuh.
Maka empat Zuggemod melangkah di langit, kaki mereka terlihat berlapis neith sehingga setiap mereka melangkah akan muncul neith yang membentuk kaca tipis agar mereka dapat terbang di langit. Para pasukan musuh yang lain seperti Siaghios dan Yahua bersiap menyerang lagi, begitu pula Kol'gakun yang telah membentangkan sayapnya selebar mungkin.
"Komandan!" teriak Tordynnar melalui Cyubes, "haruskah aku ke sana untuk membantumu?"
Siveril terdiam seraya menatap salah satu Zuggemod. "Tidak. Fokus saja menjaga kuil suci karena tempat itu yang paling penting."
"Tapi Komandan-"
"Maka tolong, bawa jasadku ke hadapan mantan istriku dan katakan padanya jika aku meminta maaf karena tidak bisa menjadi suami yang baik untuknya."
Tordynnar terdiam. Ia tahu jika Siveril baru bercerai seminggu yang lalu karena pekerjaan sebagai salah satu anggota Alastair membuatnya tak punya waktu dengan istrinya yang membuat mereka akhirnya berpisah. Mereka memang sudah bercerai, tapi dokumen perceraian mereka belum selesai diurus dan membutuhkan tanda tangan Siveril sebagai pengesahan terakhir sayangnya ia dipanggil untuk misi ini. "Baiklah, Komandan, tapi aku percaya jika kau akan kembali dengan selamat. Jaga diri Anda."
Siveril tersenyum. "Jika pun aku mati, maka aku akan bahagia karena dapat melindungi Kuil Suci Dewi Eonostus." Dia menutup matanya. "Ataukah aku hanya takut menghadapi kenyataan jika aku tak bisa bersama istriku lagi meski aku selamat dari sini. Sungguh menyedihkan."
"Jangan terus mengoceh sialan! Serang mereka!" teriak Tedeuh.
Maka raungan pasukan Tedeuh tersebut menggelegar bersamaan dengan pasukan milik Siveril yang bersiap untuk menyerang juga. Terjadilah pertarungan yang sangat mengerikan, suara dentangan antara senjata besi, teriakan ketika tubuh tersayat hingga berdarah, jeritan melengking hingga tak terdengar kembali saat kepala-kepala terpenggal dan jantung tertembus tombak, pekikan sumbang bergemuruh saat sayap-sayap terpotong oleh pedang yang dipanaskan, hingga suara ledakan beserta angin bertiup kencang dan asap hitam membumbung ketika Zuggemod menghancurkan satu Kapal Perang Terapung, tetapi dari pihak phantomius pun juga sama, beberapa Kapal Perang mereka hancur lebur akibat serangan dari senjata magis milik Siveril.
Tedeuh menggeretakkan giginya ketika melihat Siveril hanya berdiam diri di sana sementara tangannya sibuk menggerakkan senjatanya magisnya yang merupakan pedang cambuk yang berbisa-Vanquisher. "Ada apa? Apakah kau takut, kau tidak sedikit pun bisa menggoresku, tapi armada perangmu sudah sebagian hancur. Dasar pengecut."
"Jangan remehkan aku, sialan!" teriak Tedeuh seraya memunculkan puluhan pentagram sihir yang dari dalam pentagram tersebut keluarlah wajah seorang wanita yang sangat buruk rupa, mulut menganga lebar, dan hampir merobek kedua ujung mulutnya. "Nubem Veneno Oris."
Jeritan kepala wanita itu terdengar bersamaan keluarnya air bah ibarat tsunami yang berwarna hijau yang perlahan berubah menjadi ungu serta berlendir. Para kesatria yang berada di jalur lintasan tsunami tersebut tenggelam, terpanggang, tubuh mereka larut dalam racun bertekanan tinggi hingga tak menyisakan tulang-tulang mereka sedikit pun. "Matilah kalian dalam larutan racun ini!"
"Jakarivir," ujar Siveril memanggil nama Orly-nya. "Panggil, Froggy. Lindungi Kapal Perang kita."
Orly yang mengenakan pakaian khas bangsa Timur dengan tunik putih dan sorban tersebut perlahan memunculkan pentagram kuning yang kini dari dalam pentagram, enam ekor katak yang mendekap boneka kancil dan mengenakan kupluk. Masing-masing katak melompat, menghadap pada tsunami racun, lekas mereka membuka mulut mereka selebar mungkin karena mulut mereka sangat elastis. Maka tak butuh waktu lama, para katak tersebut menyedot semua racun yang hingga habis tak bersisa. Lalu asap kecil berwarna ungu keluar dari ujung mulut mereka ketika mengunyah racun-racun tersebut.
"Makan malam untuk para Katak sudah terpenuhi, Master," ujar Jakarivir.
Siveril terkekeh ketika melihat Tedeuh berteriak penuh amarah. "Terima kasih kawan, berkatmu peliharaanku mendapatkan makanan yang bergizi."
"BAJINGAN!!!" Seketika langsung berubah gelap ketika tubuh Tedeuh robek, darah memuncrat yang kini berubah menjadi hitam pekat. Suara raungan terdengar saat Tedeuh berubah menjadi besar, tubuhnya berbulu seperti serigala, ekornya muncul dan mirip dengan ekor buaya, dua tangan muncul dari punggung Tedeuh yang kini dia memiliki empat tangan serta wajahnya menjadi gelap dan mata sepenuhnya hitam pekat. Dia telah menjadi iblis. "Khi khi khi, aku akan menghancurkanmu, memakan seluruh pasukanmu."
Siveril terdiam, sesaat merasakan sesak di dadanya, bukan karena takut melainkan karena kecewa akibat seorang manusia yang entah karena alasan apa memilih menyembah iblis dan rela dirinya berubah menjadi sangat mengerikan dan buruk rupa. "Kini aku takkan ragu untuk mengirimmu ke neraka." Siveril menguatkan genggamannya pada Vanquisher-pedang cambuknya itu bercahaya merah dan meneteskan lahar yang awalnya racun. "Atas nama Dewi Eonostus, izinkan aku mengirim pendosa ini kepada kematian!"
Pertarungan antara Siveril melawan Tedeuh yang telah menjadi iblis pun terjadi, para pasukan yang lain tetap berfokus bertarung satu sama lain dan semakin banyak korban jiwa, tubuh yang telah mati berjatuhan ke tanah, memperlihatkan hujan darah bersamaan tubuh manusia maupun iblis dan para phantomius yang ikut berperang. Bergelimpangan di tanah, membuat para masyarakat di Desa Vinbagne menjerit-jerit ketika tubuh-tubuh mati itu membentur barrier pelindung Desa mereka dan tertahan di barrier tersebut atau terguling ke sisi lain hingga menghantam tanah.
Serangan demi serangan dilancarkan Tedeuh yang beberapa kali berhasil menggores dan menusuk tubuh Siveril, tapi perlawanan dari Siveril juga sangat mengerikan, pedang cambuknya berhasil memotong salah satu lengan Tedeuh hingga darah memuncrat. Tidak hanya itu, ia menjerit-jerit kesakitan saat tombak tipis menembus beberapa titik di tubuhnya kemudian membuat aliran neith di dalam dirinya jadi berantakan sehingga tubuhnya mengejang dan sulit menggunakan sihir. Terus menerus serangan dilancarkan, saling menggores tubuh satu sama lain, mendengar berita para pasukannya, ledakan terdengar di mana-mana, mayat mulai bergelimpangan, tetapi seiring waktu berjalan Siveril yang sepertinya mendapatkan dukungan dari Para Dewa, berhasil memukul mundur Tedeuh yang sudah tak memiliki lengan dan ekor lagi serta tubuhnya sebagian meleleh karena lahar dari pedang cambuk milik Siveril.
"Sohkarioz, bantu aku!" teriak Tedeuh perlahan berjalan mundur. "Kumohon kawan! bantu aku! Kenapa kau tidak menjawabku! Katakan sesuatu!" Ia masih berteriak pada Cyubes-nya, tapi tak kunjung ada balasan dari rekannya tersebut.
"Barangkali, rekanmu sudah mati ditangan kesatriaku," ujar Siveril, "jadi jangan susah payah untuk memanggil orang yang sudah mati lebih dulu. Ah, betapa beruntungnya aku karena Dewa berpihak padaku."
Benarkah? Atau sebenarnya para Dewa punya takdir yang berbeda dan tak terduga bagi seluruh makhluk hidup yang berperang tersebut?
Di sisi lain, tepat di gerbang Desa Vinbagne yang dijaga oleh Folwin. Perasaan tidak nyaman merayapinya beserta pasukannya yang berjaga di sekitar Desa Vinbagne. Folwin yang tak tahu perasaan tak nyaman ini berasal dari mana, ia memunculkan Cyubes-nya, hendak menghubungi rekannya yang lain atau barangkali Siveril. Namun, sebelum dia berhasil membuka mulut. Dia mencium semerbak aroma mawar bercampur melati dan wangi musk yang sangat menggoda. Terdengar pula suara gemerincing gelang tangan atau malah rantai besi.
"Siapa itu?" Suara Folwin gemetar ketakutan. "Kenapa aura Neith-nya sangat mengerikan?"
Dari balik kabut yang tak jauh darinya, Folwin melihat bayangan seorang perempuan yang melangkah pelan mendekatinya. Lekas Folwin menarik pedangnya. "Semuanya siaga! Musuh sedang menuju kemari---" Dia berbalik untuk memerintahkan pasukannya bahwa ada musuh bergerak ke arah mereka. Namun, betapa terkejutnya Folwin ketika menengok ke belakang dan menyaksikan pasukan yang berjaga di sekitar Desa Vinbagne ini pingsan, terkapar di tanah, tak sadarkan diri.
Cobalah menyusuri jalan setapak di desa tersebut pula, maka terlihat para warga ambruk ke tanah, anak-anak yang tadinya menonton peperangan di langit, kini tak satu pun ada yang sadarkan diri dan terbaring di tanah. Begitu juga para warga yang bersembunyi di rumah-rumah, setiap dari mereka terkapar dan tak sadarkan diri. Desa itu seketika menjadi sunyi mati.
Tubuh Folwin gemetar hebat, dia ketakutan melihat pemandangan seluruh pasukan dan masyarakat Desa Vinbagne yang terkapar di tanah dan tak sadarkan diri. Bagaimana bisa? Mengapa mereka semua tiba-tiba pingsan, apakah mereka mati atau hanya sekadar tak sadarkan diri? Kapan serangan ini terjadi, siapa pelakunya? Mengapa Folwin tak menyadari jika tepat di belakangnya terjadi serangan tak terduga seolah-olah serangan ini ibarat angin bertiup pelan.
"Apakah kau yang menyebabkan semua ini?" ujar Folwin tepat pada perempuan yang berhenti di belakangnya. Tubuh Folwin tak bisa ia gerakkan, ia mematung.
Senyuman terukir lebar di wajah perempuan tersebut yang perlahan mendekatkan wajahnya tepat di telinga Folwin seraya berujar, "ya, kini giliranmu, Adhabb"
Detik selanjutnya tubuh Folwin ambruk ke tanah, tanpa perlawanan sedikit pun, ia menutup matanya yang terasa berat tersebut dan hanya samar-samar mendengar langkah kaki perempuan tersebut menjauh pergi. Seiring detik berlalu, Folwin menyadari jika perempuan itu hanya mengatakan Adhabb yang berasal dari bahasa kuno Athinelon, artinya tidurlah. Maka kini Folwin benar-benar tak sadarkan diri.
****
Jeritan terdengar berulang kali ketika pedang cambuk milik Siveril mencambuk dengan kuat tubuh iblis Tedeuh. Darah terus bercucuran bersamaan rasa sakit dan perih akibat lahar yang melelehkan sebagian dari tubuhnya. Tedeuh benar-benar terpojok.
"Kumohon Siveril, jangan bunuh aku ... bukankah kita teman, aku juga rekanmu di Alastair. Aku, aku turut berduka atas perceraianmu dengan Danesya." Perlahan air mata Tedeuh menetes. "Kumohon kawan, aku bersumpah akan bertobat---"
Satu tombak berhasil menembus mulut Tedeuh hingga darah memuncrat. "Aku tak mau mendengar omongan dari mulut manusia munafik."
Suara mengerikan terdengar dari Tedeuh ketika dia memaksakan diri untuk berbicara padahal mulutnya telah tertembus tombak. "Kauuuuu ... kau yang ... akan mati ...." Lekas Tedeuh mencabut tombak besi dari mulutnya dan menjentikkan jarinya.
Dua Zuggemod tiba-tiba muncul dari arah samping Siveril dengan senjata kapak raksasa mereka yang telah terangkat dan siap menembus kepala Siveril, tetapi dua kesatria dari pihak Siveril muncul dengan cepat dan menahan serangan iblis Zuggemod tersebut hingga gesekan antara senjata mereka menghasilkan angin bertiup kencang. Kedua kesatria berusaha memukul mundur para Zuggemod.
"Sayangnya kau gagal memerintahkan dua bawahan bodohmu itu," ujar Siveril mencengkeram kuat Vanquisher.
"Jangan pikir kau sudah menang, Siveril!" teriak Tedeuh kemudian memunculkan pentagram hitam.
Keduanya kini bersiap untuk membunuh satu sama lain dengan kekuatan penuh. Hanya tinggal waktu dan keberuntungan yang akan menentukan siapa yang akan mati lebih dulu. Apakah Siveril yang berusaha melindungi kuil Suci Dewi Eonostus atau bangsa iblis yang berusaha menodai Kuil Suci tersebut?
Manik mata Siveril menatap tajam. "Vanquisher, Callidium Infarmesti-"
Pentagram hitam milik Tedeuh bercahaya. "Inferno Dolorem-"
"Wah, wah, sepertinya ada permainan yang menyenangkan di sini." Suara itu terdengar tepat di dekat Siveril dan Tedeuh. Membuat keduanya mengurungkan diri untuk menyerang satu sama lain. Kemudian menatap ke arah sumber suara. "Bolehkah aku ikut bergabung dengan permainan kalian. Karena jujur, aku merasa sangat bosan akhir-akhir ini."
Ternyata Para Dewa selalu punya skenario terbaik yang takkan pernah diduga oleh makhluk hidup-Nya.
Kini Siveril dan Tedeuh serta seluruh pasukan mereka terdiam. Kesatria tak menyerang para iblis dan Phantomius, begitu juga sebaliknya. Mereka semua menatap pada kedatangan tamu yang tak terduga.
"Namun, sebelum aku bergabung dengan permainan kalian. Izinkan aku memperkenalkan diriku terlebih dahulu."
Mereka semua kini menatap pada seorang perempuan yang memiliki tinggi sekitar 150 cm, mengenakan gaun berbahan dasar katun, penuh renda, dan pita hitam. Gaunnya perpaduan antara warna merah muda, putih, dan sebagian hitam, sepatunya adalah knee high boots berwarna hitam dan penuh pita putih. Ia memiliki rambut yang panjangnya sebahu dan berwarna merah muda sedikit gelap. Wajah perempuan itu tidak terlihat tua, lebih seperti anak remaja pada umumnya, ia cukup cantik dengan ukiran tato bunga mawar di pipi kanan tepat di bawah mata. Hal yang membuatnya mencolok adalah perempuan itu mengenakan five finger chain rings di kedua tangannya, yakni sebuah cincin yang dilengkapi rantai berwarna silver mengkilap.
Ketika perempuan tersebut membuka matanya. Maka iris matanya berwarna emas campuran kemerahan dan pupil matanya terukir tanda plus yang bersinar. Perlahan dia membentang kedua tangannya---membuat kedua finger chain rings-nya bergemerincing---perempuan itu seolah-olah menyambut para tamunya dalam perjamuan makan malam. Suaranya lembut ibarat simfoni nada rendah dalam sebuah alat musik piano, tetapi terdengar menggelegar sehingga seluruh pasukan yang berperang di sana dapat mendengarnya. "Namaku Carmine Yunaesa Ravamaer. It's a pleasure to meet you all, Makhluk Sampah Para Dewa!"
****
Hening merebak dengan cepat bersamaan rasa takut karena kini hawa di sekitar mereka semua terasa sangat menyesakkan hingga memenuhi relung dada. Tubuh gemetar dan punggung merinding saat mereka bisa merasakan jika densitas Neith di sekitar mereka menjadi rendah seolah-olah kehadiran perempuan tersebut membuat area sekitar dimakan energi negatif yang tidak hanya dirasakan oleh pasukan Kekaisaran Ekreadel melainkan pasukan organisasi Phantome Vendettasius juga.
Siveril yang masih terdiam segera menganalisis situasi yang menjadi lebih mencekam ini hanya karena kehadiran satu tamu tidak diundang. Jika berkata perempuan yang memperkenalkan dirinya sebagai Carmine adalah sekutu Siveril yang dikirim pihak Kekaisaran atau organisasi Alastair untuk membantunya dalam peperangan ini, maka bukanlah itu jawabannya karena Siveril tak menerima informasi jika akan ada bala bantuan, lagi pula ia tak pernah mengenal perempuan dengan energi Neith yang sangat jahat dan gelap melebihi Neith para iblis yang ia lawan sebelumnya.
"Perempuan itu sangat berbahaya," gumam Siveril lekas membuat kode dua jari yang ternyata diberikan pada Tedeuh. Namun, dibalas Tedeuh dengan gelengan pelan.
Siveril membulatkan kedua matanya, ia terkejut sesaat dan dengan cepat memahami bahwa perempuan tersebut bukanlah sekutu dari pasukan Tedeuh sehingga perempuan itu benar-benar tamu tidak diundang dari kedua belah pihak yang seenaknya ikut campur dalam peperangan ini. Jadi apakah kini musuh Siveril ada dua? Ataukah ia harus bekerja sama dengan Tedeuh. Hanya saja perempuan bernama Carmine itu datang sendiri. Tidak membawa rekan atau pun pasukan. Bagaimana bisa dia seberani itu?
"Sungguh berani mengganggu peperangan ini, kau bahkan tidak membawa pasukanmu, apa yang kau inginkan dari kami." Suara Siveril terdengar tegas dan dingin.
Senyum Carmine terukir. "Tentu saja, aku hendak bermain-main dengan kalian karena aku bosan!"
"INI BUKAN PERMAINAN, BAJINGAN!" teriak salah satu Phantomius yang tiba-tiba muncul tepat di belakang Carmine dengan pedang Claymore siap menebas kepalanya.
"Tidak, jangan menyerangnya!" teriak Tedeuh.
Terlambat karena jeritan melengking terdengar ketika kedua tangan Phantomius tersebut terpenggal hingga darah memuncrat. Ia menjerit-jerit kesakitan karena serangan yang tak terbaca dari Carmine berhasil memenggal kedua tangannya. Bagaimana bisa?! Bahkan perempuan tersebut tidak bergerak dari posisinya.
"Kalian pasti bertanya-tanya? Bagaimana caranya aku membunuh makhluk ini," ujar Carmine, manik matanya sesaat bercahaya. "Meledaklah hingga berkeping-keping!"
Sesuai perkataan Carmine, maka tiba-tiba Phantomius yang menyerangnya tadi, tubuhnya seketika meledak hingga seluruh organ dalam tubuh dan darahnya memuncrat ke mana-mana dan Carmine tak sedikit pun terkena darah yang memuncrat itu.
Tedeuh terdiam menyaksikan salah satu temannya mati begitu saja. Maka ia berteriak kencang. "BUNUH PEREMPUAN ITU!"
Dua Zuggemod langsung menerjang tepat ke hadapan Carmine yang tidak berkutik sama sekali dan malah berujar, "terbakar hingga mati!"
Sesuai dengan perkataannya, kedua Zuggemod terdiam mematung kemudian tubuh mereka terbakar oleh api yang muncul begitu saja dari kedua kaki Zuggemod tersebut. Melahap tubuh raksasa mereka, hingga raungan kencang terdengar ke seluruh pasukan. Api semakin membesar dan berhasil menghanguskan keduanya hingga tak bersisa.
"Itu sihir kuno," ujar Siveril.
Mata Tedeuh membelalak. "Seluruh pasukan mundur---"
Sayangnya takdir tak berpihak. Jantung dan dada Tedeuh meledak begitu saja tepat di samping Siveril. Membuat pria itu menatap Tedeuh yang perlahan tubuhnya ambruk, tetapi sebelum tiada, Tedeuh berujar, "selamatkan dirimu." Ia jatuh ke bawah, tubuh iblisnya perlahan berubah menjadi manusia lagi, kemudian menghantam tanah dengan sangat keras.
Perlahan Siveril menatap kembali pada Carmine yang masih tak bergerak dari posisinya. Suara gadis itu terdengar. "Mari kita mulai Kehancuran dan Ketiadaannya!" Carmine tersenyum seraya merentangkan kedua tangannya lagi, kemudian ia menjentikan jarinya bersamaan berujar, "meledaklah kalian semua hingga tak bersisa mengikuti pemimpin kalian yang mati menjijikkan!"
Ibarat simfoni musik paling mengerikan yang pernah Siveril dengar seumuran hidupnya. Maka jeritan terdengar tepat di belakangnya ketika setiap insan; para Phantomius, iblis Kol'gakun, iblis Zuggemod, hingga seluruh pasukan kesatria milik Siveril, mereka semua menjerit-jerit, ketakutan ketika satu per satu dari jantung mereka meledak hingga darah memuncrat di mana-mana, tubuh mereka berjatuhan ke tanah, air hujan darah seketika menutupi daerah tersebut bersamaan mayat-mayat dari langit bergelimpangan ke tanah, membuat rerumputan tertutupi lautan darah.
Manik mata Siveril membulat lebar menatap pada Carmine yang kini tertawa lebar saat satu per satu makhluk hidup dalam pertarungan tersebut, jantungnya meledak hingga mereka semua meregang nyawa. "Ini sangat menyenangkan! Mereka semua menjerit-jerit dan meledak seperti balon! Seharusnya sejak tadi aku ikut bermain bersama kalian!"
"Siapa kau sebenarnya," ujar Siveril tidak mampu menyerang karena mengetahui jika setiap pasukan di belakangnya mati begitu saja padahal tidak ada pentagram sihir atau mantra yang diucapkan Carmine. Sebenarnya apa kekuatan perempuan tersebut? Siveril hanya menebaknya sebagai sihir kuno. Namun, sihir sejenis apa? Mengapa perempuan itu seenaknya ikut campur peperangan ini, apa tujuannya?! "Apa tujuanmu melakukan semua ini? Kau bukan penyembahan Raja Iblis Ezequiel karena membunuh pasukannya, jadi siapa kau?! Dan apa tujuanmu?"
"Siapa aku?" kata Carmine dengan nada menggoda. "Kurasa aku tak bisa menjawabnya, tapi aku bisa mengatakan bahwa aku hanyalah salah satu pengelana asing yang membawa ketiadaan."
"Jika kau tak menjawab dengan benar, maka kupastikan lidahmu akan hilang," ancam Siveril.
"Ah, jelek sekali ancaman itu." Carmine perlahan menodongkan tangannya ke depan dengan satu jari telunjuk terarah tepat ke kepala Siveril. "Bagaimana jika kutunjukkan kau, apa yang disebut ketiadaan?!"
Maka pentagram sihir berwarna merah muda muncul dan memuntahkan cahaya merah muda-kehitaman. Membuat angin bertiup kencang dari arah belakang Siveril bersamaan suara ledakan yang sangat menggelegar di seluruh langit, cahaya akibat ledakan bersinar di mana-mana, dan suara memekakkan telinga ketika satu per satu Kapal Perang Terapung milik Siveril dan pasukan Phantome Vendettasius, meledak hingga tak bersisa puing-puing Kapal Perang Terapung tersebut bahkan para pasukan yang bersembunyi di dalam Kapal Perang juga tak selamat. Semuanya yang tepat di belakang Siveril kini lenyap tak bersisa. Bahkan serangan dari Carmine tersebut berhasil pula membinasakan Desa Vinbagne yang para warganya yang tertidur, kini menemui kematian mereka semua ketika desa mereka rata menjadi tanah, tak tersisa sedikit pun bahkan puing-puing bangunan maupun tulang-belulang mereka. Serangan ini juga ternyata sedikit menggores Tambang Tarrarias yang jaraknya berapa kilometer dari Desa Vinbagne.
Carmine berucap, "waktunya aku mengirimmu ke Evigheden."
Detik itu detak jantung Siveril seolah-olah terhenti saat dia menatap ke belakang dan menyaksikan seluruh Kapal Perang Terapung dan Desa Vinbagne lenyap dalam hitungan detik. Ini adalah serangan maha dahsyat yang tak pernah ia saksikan selama hidupnya sebagai anggota organisasi Alastair. Kini dia sangat menyadari bahwa perempuan di hadapannya bukanlah sekadar manusia biasa, melainkan ....
"Kau, jangan katakan jika kau adalah---" Siveril memuntahkan darah ketika jantungnya meledak. Pandangannya buram menatap Carmine yang hanya tersenyum tipis. Maka tanpa sempat menyelesaikan perkataannya, tubuh Siveril jatuh ke bawah dengan sangat cepat kemudian menghantam rerumputan yang telah ditutupi lautan darah. Pria itu pun tiada.
Carmine menghirup oksigen sebanyak-banyaknya kemudian ia buang dengan perasaan lega. Akhirnya dia bisa menghirup udara dengan segar. "Sepertinya permainan ini sudah selesai."
Baru hendak melangkah pergi, Carmine mengurungkan niatnya saat dia melihat seorang anak lelaki yang berdiri tak jauh darinya. Sesaat Carmine bingung, mengapa bisa tiba-tiba ada anak itu? Carmine tak merasakan kehadiran Neith-nya tadi.
"Kau siapa Nak?" kata Carmine, "mengapa kau ada di sini? Kau bukan salah satu dari pasukan tadi, 'kan?"
Anak lelaki tersebut memiliki rambut panjang melebihi bahu dengan warna cokelat-kehitaman, ia mengenakan anting mirip bulu burung merak berwarna hijau. Pakaiannya berupa tunik panjang berwarna putih. "Namaku Ilphas Darcassan. Kenapa kau membunuh mereka? Kenapa kau di sini?"
"Ah, karena aku bosan---"
"Kenapa kau menggores Tambang Tarrarias!" teriak Ilphas berani menginterupsi perkataan Carmine. "Aku kemari karena kau menggores tambang Tarrarias. Harusnya kau tidak menggores tambang itu! Itu sebuah pelanggaran!"
Carmine terdiam, entah mengapa dia merasa tak asing dengan aura Neith pemuda itu. "Hey Nak, itu hanya Tambang, lagi pula seranganku tak sengaja mengenai tambang itu."
"Tidak, kau harus bertanggung jawab karena menggores sedikit tanah di area tambang tersebut," ujar Ilphas.
"Kau umur berapa, Nak? Hingga tak bisa membaca situasi," balas Carmine sesaat merasa kesal. "Apakah kau ingin mati ditanganku?"
"Aku siap melawanmu!" ujar Ilphas hendak memanggil senjata magisnya, tetapi diurungkan ketika terdengar suara bergema di kepalanya.
"Biarkan aku saja yang turun tangan, cucuku."
Terlihat cahaya putih yang merupakan sihir teleportasi. Maka muncullah seorang pria yang tingginya hampir mencapai 300 cm, rambutnya hitam-kecokelatan melebihi bahu, manik mata hazel dan mengenakan kacamata bulat, pakaiannya berupa pakaian bangsawan dan dilapisi jubah panjang perpaduan antara warna biru tua dan hitam, serta ia merokok dan kepulan asap putih terlihat setiap ia mengembuskan asap rokoknya.
"Salam Kakek," ujar Ilphas melakukan curtsy kemudian menundukkan pandangannya pada Sang Kakek dan tak sedikit pun berani mendongak selagi pria tersebut belum memerintahkan Ilphas untuk berhenti memberikan salam penghormatan.
"Pergilah, biarkan aku yang menangani masalah ini," ujar Sang Kakek, maka Ilphas menganggukkan kepalanya kemudian menghilang dari sana. "Jadi kau pengacaunya?"
Carmine terdiam, dia mendongak untuk menatap pria di hadapannya ini. "Ya. Apakah kau akan marah karena aku mengganggu cucumu? Ataukah karena ada hal penting lainnya yang membuat seseorang dari Keluarga Agung sepertimu, mau turun tangan secara langsung?"
Pria tersebut mengembuskan asap rokoknya, perlahan ia jatuhkan kemudian lenyap sebelum semakin jatuh menuju tanah. Kini pria itu menatap Carmine. "Kau mengenalku?"
"Aku tidak terlalu mengenalmu, tetapi aku tahu siapa kau," ujar Carmine seraya melakukan curtsy. "Arafiel Darcassan De Lune, Kepala Keluarga Cabang Darcassan dari Majestic Family De Lune. Benar bukan?"
Hening menyeruak sesaat. Kemudian Arafiel menghela napas. "Jadi kau salah satu dari makhluk sepele. Sangat membuang waktuku."
Senyuman Carmine terukir, memang tabiatnya para Majestic Families, jika Kepala Keluarga Cabang saja se-congkak ini bagaimana dengan Kepala Keluarga Utamanya? "Kau belum menjawab pertanyaanku sebelumnya, apa alasanmu, turun dari singgasanamu itu?"
Arafiel menatap sesaat ke sekelilingnya yang tercium banyak bau darah. "Sejak tadi aku hanya menonton pertarungan sepele antara pasukan Kekaisaran Ekreadel melawan pasukan bangsa iblis serta kemunculanmu."
"Apakah karena aku membantai seluruh pasukan dari kedua belah pihak tersebut dan menghancurkan Kapal Perang mereka serta meratakan Desa Vinbagne, membuatmu turun tangan menghadapiku?" balas Carmine.
"Kau salah," sahut Arafiel, "kau telah menggores Tambang Tarrarias yang ada di dekat sini, salah satu tambang milik Keluarga Agung De Lune, aku tak bisa mengampunimu jika kau membuat kerusakan lebih dalam lagi," balas Arafiel dengan santai tanpa ketakutan terpatri di wajahnya.
Sementara Carmine berusaha menahan tawa. "Jadi kau tidak mempedulikan yang lain selain Tambang Tarrarias itu?"
"Ya."
"Termasuk kematian pihak pasukan Kekaisaran Ekreadel?
"Ya."
"Bahkan Desa Vinbagne yang kuratakan?"
"Ya, manusia sepele seperti mereka bukan urusan kami."
Kami? Pasti kata kami yang dimaksudkan merujuk pada Keturunan Majestic Families. Dengan artian Para Keturunan Majestic Families tak peduli dengan nyawa manusia lain. Hal ini membuat Carmine tertawa kencang hingga perutnya sakit. Sangat hebat! Inilah sifat sombong para Keturunan Majestic Families yang dianggap Karunia Terbaik Para Dewa-Dewi! "Bagaimana jika aku tawarkan sebuah permainan padamu? Aku yakin kauakan terhibur dalam permainan ini."
"Aku menolak," sahut Arafiel, ia sama sekali tidak mau bermain dengan para makhluk sepele.
"Maka aku akan meratakan tambangmu itu," balas Carmine. Namun, detik selanjutnya tubuhnya merasakan tekanan kekuatan yang sangat kuat.
"Makhluk sepele memang suka berbuat kurang ajar." Saat itu, Arafiel melepaskan kacamatanya dan seketika manik mata Arafiel berubah warna. Sebelumnya, ia bermata hazel. Kini skleranya terlihat sedikit guratan merah, iris matanya berubah menjadi warna hijau toska, sementara pupil matanya muncul garis-garis berwarna emas yang membentuk simbol atau rancangan geometris kompleks. Kini matanya bercahaya hijau dan terkadang keemasan.
"Aku memberimu peringatan wahai makhluk sepele," ujar Arafiel karena dia masih merasa enggan untuk turun tangan melawan makhluk sepele di hadapannya ini. "Tinggalkan tempat ini sebelum aku membunuhmu!"
"Inilah yang kusukai! Aku takkan takut-"
Tiba-tiba suara perempuan, bergema di kepala Carmine. "Sudah cukup, Carmine. Jangan melangkah lebih jauh lagi. Lawanmu adalah salah satu dari Kepala Keluarga Cabang De Lune. Kau takkan mampu untuk saat ini, lagi pula, tugasmu sudah selesai dan segeralah kembali."
"Tapi ...." ujar Carmine.
"Ini perintah dari organisasi." Suara itu sedikit meninggi dan terkesan memerintah dengan keras.
"Baiklah," ujar Carmine seraya menatap Arafiel yang menyipitkan matanya. "Kurasa aku harus kembali jadi permainannya tidak bisa dilaksanakan."
Mendengar hal itu, Arafiel mengedipkan matanya dan kini manik matanya kembali normal. "Pilihan yang tepat."
Carmine mundur beberapa langkah. "Namun, kemunduranku bukan karena aku takut padamu, tetapi ini perintah agar aku segera kembali."
"Perintah?" ujar Arafiel, "apakah kau salah satu anggota dari banyaknya organisasi kriminal bodoh di dunia ini?"
Senyuman perempuan bergaun merah muda tersebut terukir. "Kau boleh mengatakan itu---ah aku bahkan sampai lupa memperkenalkan diriku pada Tuan Kepala Keluarga Cabang, Darcassan De Lune."
Carmine melakukan curtsy dengan sangat anggun. Tubuhnya berangsur-angsur dikelilingi Neith merah muda. "Maka izinkan aku memperkenalkan diri. Namaku Carmine Yunaesa Ravamaer. Salah satu dari Deus Abyss, organisasi Cruelle Obscurité. Senang bertemu denganmu." Kini tubuh Carmine perlahan-lahan menghilang karena dia melakukan teleportasi. "Dan titipkan salamku kepada Kepala Keluarga Agung De Lune, serta Keturunan Utama De Lune. Semoga ketiadaan menemui mereka secepat mungkin." Ia hilang sepenuhnya dari hadapan Arafiel.
Detik itu, Arafiel terdiam sejenak. Ia memunculkan sebatang rokok kemudian mengenakan kacamatanya lalu mengisap rokoknya, ia embuskan asap rokok tersebut seraya menatap langit yang terbentang luas. Lalu tepat di sampingnya, muncul seorang laki-laki muda yakni cucunya, Ilphas.
"Siapa perempuan tadi, Kakek?" ujar Ilphas.
"Hanya makhluk sepele yang tidak penting, mari pergi cucuku, aku hendak beristirahat karena sangat lelah," ujar Arafiel yang kini tubuhnya diselimuti cahaya putih begitu pula Ilphas.
Ilphas sejenak menatap langit yang terbentang luas. Entah mengapa ia tak suka akan perempuan bergaun merah tadi. "Baik Kek!" sahut Ilphas dan keduanya menghilang dari sana begitu saja.
Sementara di sisi lain masih berada di daerah tersebut. Terlihat banyak kesatria---lebih tepatnya pasukan ketiga yang dikirim Kekaisaran Ekreadel dalam misi tersebut. Para kesatria terlihat duduk bersimpuh dengan kedua tangan disatukan seperti tengah berdoa, tetapi mereka semua tidak memiliki kepala. Ada sekitar 30 Kesatria duduk bersimpuh, saling berhadapan satu sama lain dan tak memiliki kepala. Sementara di tengah-tengah mereka adalah komandan mereka yakni Tordynnar Xyrpetor yang juga mati dengan tubuh tertembus tombak.
Sedangkan jarak delapan meter dari kematian mengenaskan pasukan tersebut, ada Kuil Dewi Eonostus. Serta seorang perempuan dengan gaun putih dan membawa sebuah buku tengah melangkah menuju Kuil Dewi Eonostus tersebut. Perempuan itu yang memerintahkan Carmine untuk tidak berbuat keonaran lebih jauh dengan melawan salah satu Kepala Keluarga Cabang dari De Lune.
"Mari berdoa sebelum pulang." Kini tangan perempuan tersebut menyentuh pintu Kuil Suci Dewi Eonostus, cahaya terang terlihat memenuhi pintu yang perlahan-lahan terbuka. Senyumannya terukir simpul.
Kira-kira apakah yang ia cari di dalam Kuil Suci tersebut? Dan mengapa ia tersenyum? Mungkinkah ini adalah salah satu awal dari malapetaka atau sekadar masalah sepele yang sering terjadi di Athinelon?
Sungguh dunia ini dipenuhi banyak misteri
Tepat Di Hari Yang Sama. Namun, berada di benua yang berbeda. "Woah, Little Bunny, menonton latihanku!" teriak Athreus yang tiba-tiba muncul dari arah samping. Hal ini membuat si gadis kecil yang menggendong kelinci putih, lekas melakukan tendangan berputar dan berhasil menghantam leher Athreus hingga lelaki itu terpukul mundur dan hampir tubuhnya menghantam tanah.
Kini para murid di sekitar lapangan hijau yang awalnya tadi menonton latihan Athreus melawan salah satu kakak tingkat, mereka dengan terkejut seraya menoleh ke belakang. Bukankah sebelumnya Athreus ada di depan sana? Mengapa jadi di belakang dan kini mengganggu keturunan De Lune?
"Kau tuli ya, berhenti memanggilku dengan nama itu, lagi pula aku di sini tidak untuk menontonmu. Jadi jangan terlalu percaya diri," balas Aalisha, menatap sinis pada Athreus. Sungguh kini dia sangat kesal akan sifat keturunan utama Kieran Zalana itu yang semakin hari semakin kurang ajar.
"Oh ayolah," balas Athreus, kembali ke hadapan Aalisha, tanpa luka gores sedikit pun. "Jangan malu-malu, katakan saja Aalisha jika kaukemari untuk melihat wajah tampan dan pesonaku."
Demi para Dewa dan Dewi yang bertahta di Athinelon, mengapa lelaki ini sangat percaya diri sekali?! Aalisha hendak muntah rasanya setelah mendengar perkataan Athreus itu. "Sudah kukatakan sebelumnya, Tuan Kieran Zalana, jangan terlalu percaya diri serta besar kepala karena mendengar perkataanmu tadi, sangat membuat perutku mual dan jangan sampai aku memuntahkan makan siangku hari ini."
Senyuman Athreus terukir. Sesaat dia mengedarkan pandangannya dan melihat sosok lelaki yang tengah berbicara dengan beberapa murid. Perlahan Athreus agak membungkuk agar bisa menatap mata Aalisha dengan sejajar dan berbisik di telinga gadis itu. "Kalau begitu, biar kutebak, apakah kau kemari untuk melihat tuan yang bermanik mata ungu di sana."
Sekakmat! Athreus memainkan kendalinya yang sukses membuat Aalisha terdiam membisu. Dalam dirinya kini, dia sedang bergelut dengan isi pikirannya. Mengetahui jika tidak ada kelas sore dan mendapatkan kabar jika beberapa murid di Angkatan tahun kedua ada latihan terbuka di lapangan, membuat rasa penasaran Aalisha menyeruak. Maka tanpa sepengetahuan Anila dan Mylo. Gadis itu menyelinap pergi menuju lapangan barat sebelah kastil akademi---ditengah perjalanan dia menemukan kelinci jadi ia pungut dan digendongnya sampai ke lapangan ini---ternyata benar dugaannya jika para keturunan utama Majestic Families juga berlatih hari ini. Tentunya juga Nicaise Von Havardur.
Meskipun hanya memperhatikan dari kejauhan seraya mendekap kelinci putihnya, ia bisa melihat bagaimana latihan lelaki itu yang terlihat sangat mahir dalam mengayunkan pedangnya yang dibarengi dengan serangan sihir begitu akurat bahkan tahu sihir paling efisien dalam pertarungan jarak dekat. Nicaise hanya dibalut seragam latihan, rambutnya acak-acakan, serta manik mata ungunya terlihat begitu cemerlang ketika ia tersenyum dan tertawa kecil saat menghadapi lawannya yang selalu terpukul mundur. Meskipun kuat, Nicaise tidak pernah meremehkan lawannya dan selalu berakhir dengan jabat tangan pertemanan.
Setiap memperhatikan Nicaise dengan lekat-lekat, Aalisha merasakan perasaan aneh menyeruak di dadanya bahkan degup jantungnya berdetak tidak karuan. Membuatnya semakin mendekap erat si tuan kelinci putih, kasihan hampir penyet kelinci itu. Aalisha sungguh tak memahami apa yang terjadi padanya, mengapa ia jadi bahagia bahkan tersenyum diam-diam ketika menatap Nicaise atau tidak sengaja bertemu dengannya. Namun, ia tak masalah dan membiarkan perasaan aneh ini terus menyeruak lagi pula ini pertama kalinya ia merasakan perasaan-perasaan ini. Tidak pernah terjadi ketika ia tinggal di kediamannya di Keluarga De Lune selama bertahun-tahun.
Benar bukan? Tidak apa-apa bukan jika Aalisha membiarkan perasaan aneh ini? Tanpa ia berniat bertanya atau mencari tahu arti dari semua perasaan ini? Ia terlalu banyak menemukan hal-hal baru semenjak di Eidothea, jadi terkadang dia pusing memikirkan semua ini dan memilih untuk membiarkannya tanpa mencari tahu lebih dalam. Barangkali jawabannya akan muncul begitu saja? Maka atas inilah, dia hanya memperhatikan Nicaise dari kejauhan dan berusaha bersikap se-normal mungkin ketika lelaki itu menyadari kehadirannya.
"Hey Aalisha, kenapa melamun?! Jawab dulu apa yang kukatakan tadi benar atau tidak?!" ujar Athreus seraya menjentikkan jarinya di depan mata Aalisha karena gadis pendek itu terlihat seperti melamun.
Detik ini, ingin sekali Aalisha mengumpat kencang. Mengapa lelaki ini masih saja mengusik Aalisha?! Sialan! Dia sangat berbeda dengan Nicaise yang jauh lebih kalem! Athreus terlalu semena-mena dan selalu saja membuatnya emosi!
"Tidak bodoh!" teriak Aalisha, "tidakkah kau lihat jika aku menggendong kelinci ini? Aku hanya lewat sebentar dan tak sengaja melihat kerumunan ini, kupikir ada pertunjukan sirkus, ternyata kau yang jadi pemain sirkusnya."
Athreus tiba-tiba memasang wajah cemberut, bibirnya manyun, ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Hmph! Harusnya kaujawab jika kau kemari untuk menonton latihanku!"
Sialan, kenapa harus berakting seperti anak kecil? "Aku lebih baik mati dibandingkan menonton latihanmu. Kecuali kau dipermalukan maka aku akan duduk paling depan."
"Sepertinya kau memang sangat membenciku, Nona De Lune," ujar Athreus menyudahi aktingnya, ia sangat jelek berakting. Kini lengannya mendekati Aalisha, lebih tepatnya jemari Athreus menyentuh pipi si tuan kelinci putih kemudian dia elus pelan.
"Jangan sentuh dia!" ujar Aalisha, "kelinci ini milikku, kau dilarang menyentuhnya." Lekas Aalisha menjauh dari Athreus, tetapi lelaki itu sangat keras kepala. Maka dengan sifat tengilnya, Athreus kembali mendekati Aalisha agar dapat mengelus si kelinci putih.
"Ayolah lagi pula kelinci itu milik Eidothea artinya milik semua murid!" ucap Athreus.
"Tidak! Jangan sentuh!" ujar Aalisha.
"Ayolah Little Bunny," ucap Athreus seraya mendekati gadis De Lune itu lagi. "Biarkan aku mengelus si kelinci putih."
"Kubilang tidak! Dan berhenti memanggilku Little Bunny!" raung Aalisha makin kesal.
"Wah ada apa di sini?" Tiba-tiba saja Nicaise muncul di antara Aalisha dan Athreus. "Kelinci kecil yang imut." Maka ia mengelus puncak kepala kelinci tersebut.
"Kau tidak diundang, Tuan Von Havardur." Tanpa permisi dan dengan kasarnya, Athreus menarik kerah seragam Nicaise agar menjauh dari Aalisha.
"Kau punya masalah apa denganku, Tuan Kieran Zalana?" Kini Nicaise balik mencengkeram kuat seragam Athreus.
Athreus semakin kuat mencengkeram kuat keras seragam Nicaise. "Aku hanya mau mengatakan jika latihan tadi kau terlihat sangat lemah, kurasa kau hampir dikalahkan lawanmu."
"Kau selalu saja meremahkan orang lain." Tidak mau kalah, Nicase mencengkeram kuat seragam Athreus seperti hendak merobeknya.
"Berhentilah bertengkar kalian berdua," ujar Aalisha dengan datar seolah-olah pemandangan ini sudah sangat sering terjadi. "Kalian berdua sama-sama payah---"
"Menyingkir dari jalanku, manusia-manusia bodoh!" Kini muncul lagi masalah ketika Eloise Clemence tiba-tiba berjalan dan menabrak ketiganya terutama Aalisha yang hampir saja membuatnya terjatuh. Beruntungnya dia dapat menyeimbangkan pijakannya dan mendekap kuat si tuan kelinci putih.
"Apa masalahmu, Clemence?" ujar Aalisha, menatap kesal pada Eloise yang memasang wajah tak bersalah. "Apakah kau buta?"
Eloise balas menatap angkuh. "Jangan mengatakan jika aku buta hanya karena kau terlalu pendek sehingga aku tak melihat kau berdiri di sini."
Kini rasa kesal menyeruak. "Ya, aku memang pendek, tapi tidak sependek adab dan umurmu." Aalisha memeletkan lidahnya.
"Sialan!" Tiba-tiba saja Eloise mencengkeram kuat bahu Aalisha. "Cobalah belajar tata krama dan cara menghormati yang lebih tua darimu, bocah."
"Menghormatimu?" balas Aalisha, "kita hanya beda dua tahun, untuk apa aku aku menghormatimu. Kecuali kau sudah setua profesor Madeleine!"
"Dua tahun," ujar Eloise berpikir sejenak, "Kau itu angkatan tahun pertama seharusnya umur kita hanya beda setahun saja---tunggu dulu, jika beda dua tahun artinya umurmu 11 tahun? Seharusnya kau belum bisa memasuki akademi ini! De Lune sialan bahkan kau masuk kemari dengan cara curang!"
Oh tidak, terbongkar sudah jika Aalisha seharusnya belum diterima masuk akademi Eidothea. "Sialan!" Maka Aalisha menendang kuat kaki Eloise hingga gadis itu melepaskan cengkeraman tangannya.
"Ke mana kau mau kabur, De Lune!" teriak Eloise, tetapi ia terkejut bukan main ketika angin kencang bertiup membuat jubahnya dan jubah Aalisha serta para murid lainnya jadi beterbangan. Detik selanjutnya terjadi ledakan dahsyat akibat benturan sihir milik Athreus dan Nicaise. Ternyata perkelahian adu mulut mereka tadi kini jadi pertarungan sengit.
"Oops, maaf Eloise, aku tidak tahu jika serangannya mengenaimu," ujar Nicaise yang kini rambut Eloise jadi sedikit berantakan serta jubahnya berdebu dan terkena abu ledakan.
Tawa Athreus menggelegar. "Wajahmu sedikit menghitam! Kau jadi seperti abu gosok!"
Di sisi lain, Aalisha yang berhasil selamat dari ledakan ternyata menertawakan Eloise juga. "Bahkan tuan kelinci putih, bulunya jauh lebih putih dan bersih dibandingkan kau."
Eloise yang sudah diambang batas kesabarannya. Perlahan berujar, "inilah kenapa aku membenci kalian semua. Solum Radices!"
"Eloise tenangkan dirimu!" ucap Nicaise.
"Wow Eloise, kami hanya bercanda!" teriak Athreus.
"Gawat, dia ngamuk," gumam Aalisha.
Maka detik itu, tanah rerumputan hijau bergetar hebat bersamaan akar-akar pohon yang ukurannya sangat besar merambat ke atas, membuat tanah yang mereka pijak jadi retak kemudian terdorong ke atas bersamaan akar-akar besar keluar dari dalam tanah. Para murid di sekitar mereka lekas kabur. Sementara itu, Athreus, Nicaise, bahkan Aalisha yang menggendong kelinci putih berusaha menemukan pijakan di atas tanah yang terdorong ke langit akibat akar-akar yang sangat besar. Kini akar-akar tipis terlihat mengelilingi sekitar mereka membuat barrier yang cukup memerangkap ketiga Majestic Families beserta Eloise.
"Biar kuajarkan kalian bagaimana hidup di dalam kandang kemudian dimangsa predator!" teriak Eloise, "terutama kalian berdua, Kieran Zalana dan De Lune."
Aalisha memasang wajah khawatir dan menyesal. "Harusnya aku tidak tertawa tadi."
"Tapi kau memang terlihat seperti abu gosok tadi!" teriak Athreus masih saja memprovokasi.
"Bajingan kalian semua!" teriak Eloise maka akar-akar besar tersebut seketika menerjang dan hampir menembus tubuh ketiga Majestic Families. Namun, karena kemahiran, tentu saja mereka berhasil menghindar.
"Baiklah, mari bermain," ujar Athreus, "artinya kita bisa melanjutkan pertarungan sebelumnya, benar bukan, Nicaise?"
"Tentu saja!" balas Nicaise, "kali ini aku akan memenggal kepalamu!"
"Aalisha ...." Panggil Eloise, "kemarilah, kau yang pertama harus kujadikan makanan binatang magis atau iblis di luar sana."
"Oh Dewa," ujar Aalisha, "kenapa hidupku sial sekali." Perlahan gadis kecil itu tersenyum.
Maka pertarungan kecil mereka terjadi. Keempatnya benar-benar menikmati pertarungan tersebut. Terlihat banyak sekali ledakan dan tanah hancur akibat pertarungan adu fisik antara Nicaise dan Athreus. Mereka bisa menghancurkan tanah atau batu yang melayang berkat tersangkut akar pohon, hanya dengan satu kali hantaman saja. Kemudian dilanjutkan dengan serangan sihir yang berhasil menciptakan kilatan cahaya biru dan ungu ketika sihir mereka saling beradu.
Di sisi lain, Eloise tak segan-segan menggunakan teknik sihir hydrokinesis-nya sehingga batu sebesar bangunan yang tersangkut di akar pohon berhasil dibelah Eloise hanya karena air yang menerjang sangat cepat dan tipis. Di posisi Aalisha, dia berusaha menghindari serangan Eloise tersebut seraya berhati-hati agar tuan kelinci putih tidak terluka. Ia melompat dengan cekatan dan berpindah tempat dari satu pijakan tanah ke pijakan lainnya atau berpijak melalui akar-akar besar tersebut.
Serangan Eloise terus dilancarkan, membuat Aalisha harus bersembunyi di balik batu agar tidak tergores sedikit pun. Namun, tiba-tiba sihir hydrokinesis tersebut berubah menjadi ledakan kita puluhan bola api yang melayang-layang kini menyerang Aalisha. Terpaksa gadis itu menguatkan dirinya dengan Neith untuk mempercepat langkahnya serta balik menyerang Eloise dengan sihir angin yang menghasilkan puting beliung serta membuat tanah-tanah dan akar-akar besar hancur serta terbelah.
"Sialan," gumam Aalisha seraya berpijak di akar besar kembali. "Sulit melawan manusia yang menyatu dengan elemen-elemen itu sendiri."
Terlihat Eloise tersenyum karena angin puting beliung Aalisha tidak sama sekali menggores wajahnya. Angin tersebut hanya mengitari Eloise saja. "Apakah kau lupa jika aku adalah Clemence?"
Justru karena Aalisha ingat atas inilah sejak tadi dia hanya menghindari serangan elemen Eloise dan enggan menyerang dengan sihir yang serupa karena pasti akan dibalikkan serangan tersebut. "Aku sebenarnya malas berada di sini."
"Bocah pembuat onar, tapi jika terpojok malah berkata malas!" teriak Eloise yang hanya dengan jentikan saja. Angin puting beliung di sekelilingnya seketika menyerang Aalisha balik yang di mana serangan angin tersebut berbentuk jarum-jarum tajam, lalu berhasil menggores tubuh Aalisha. Rasanya cukup perih terlebih seolah-olah ada ribuan jarum menusuk tubuhnya.
Permasalahan di sini bukanlah Aalisha takut terluka, tetapi takut jika tuan kelinci putih jadi terkena dampaknya. Hendak diturunkan ke tanah sedangkan tanahnya saja tidak tampak karena kini mereka bertarung dengan melompat dan berpijak dari akar ke akar atau berpijak ke tanah atau batu yang terangkat ke atas akibat akar-akar sialan ini!
"Maaf Tuan Kelinci Putih," kata Aalisha, "kau jadi terlibat pertengkaran para Majestic Families ini." Sesaat Aalisha terkejut karena di sisi lain, terlihat pertarungan antara Athreus melawan Nicaise. Keduanya sama-sama tidak mau kalah. Dasar ego laki-laki.
"Aalisha De Lune!" teriak Eloise, "dimana kau, sialan?!"
"Mari lawan dia dengan serius," ujar Aalisha perlahan menutup matanya sesaat. Lalu ia buka dan sedikit bercahaya keemasan. "Ayo Tuan Kelinci Putih, tetap dekat dengan-sial!"
Tanpa peringatan. Eloise merapalkan mantra yang berhasil menghancurkan batu yang melindungi Aalisha. Kini rapalan mantra lain memunculkan empat pentagram sihir, serangan angin bercampur petir bergemuruh terdengar menggelegar bersamaan hampir menghanguskan Aalisha jika gadis itu tak membuat pelindung dari Neith serta melompat dan berpindah tempat. Kini ketika Aalisha berada di jarak jangkauannya, maka ia merapalkan mantra yang memunculkan banyak rantai kemudian melilit kedua tangan dan kaki Eloise. Dengan cepat ia mengendalikan rantai-rantai besi tersebut, membawa tubuh Eloise melayang di udara kemudian dengan kuat menghantamkannya ke batu besar hingga batu tersebut retak dan hancur.
"Kau tidak patah tulang 'kan?" kata Aalisha, "Eloise---akh!"
Harusnya Aalisha tidak perlu bertanya karena tiba-tiba rantai yang ia gunakan malah melilit kakinya sendiri, cahaya merah mengelilingi rantai tersebut yang menarik Aalisha tepat ke hadapan Eloise. Maka tanpa belas kasihan, Eloise menendang kuat perut Aalisha hingga gadis itu terempas jauh bersama dengan tuan kelinci putih, ketika tangan Aalisha membentur akar, maka tuan kelinci putih terlepas dari tangannya sementara tubuh Aalisha masih melesak hingga menghantam batu dengan kuat.
"Dapat!" teriak Athreus lekas mendekap tuan kelinci putih. "Kau baik-baik saja, Tuan Bhuncis?" Athreus asal menamai kelinci tersebut. "Wow, perhatikan arah seranganmu, Clemence!"
Kini Athreus berpijak kembali di akar pohon setelah Eloise menyerangnya dengan mantra yang menghasilkan tombak api. Gadis Clemence itu menatap Athreus dengan penuh api. "Kemarikan kelinci itu."
"Oh, kau ingin Tuan Bhuncis?" balas Athreus seraya menggelengkan kepalanya. "Maaf, tapi Tuan Bhuncis nyaman bersamaku."
Apakah barusan Athreus memberi kelinci itu nama? "Kau akan kubakar, Athreus." Eloise mengepalkan kedua tangannya.
"Maka lakukanlah!" Dalam sekejap, Athreus menciptakan puluhan pedang tajam yang langsung melesak sangat cepat ke arah Eloise.
"Trik murahan," balas Eloise yang ia gunakan mantra sehingga menciptakan pelindung dari selubung Neith kemudian pedang milik Athreus terbelah saat melewati selubung Neith tersebut.
"Sayangnya ini trik yang penuh kejutan," balas Athreus seraya tersenyum.
Sementara manik mata Eloise membelalak ketika pedang-pedang yang terbelah tadi, kini menjadi benang tipis yang saling tersambung kemudian semakin menipiskan jaraknya dengan Eloise. Ketika gadis itu hendak kabur, satu benang tipis berhasil menggores wajahnya, lengannya, kakinya, hingga membuat sebagian dari seragamnya sobek. Sialan! Jadi Athreus sengaja membuat pedangnya terbelah dua oleh Eloise.
"Lux Ignis!" teriak Eloise, percikan api muncul di benang-benang tersebut kemudian membakarnya secara perlahan-lahan. "Ini hanya trik murahan. Takkan membunuhku."
Lagi pula siapa yang berniat saling membunuh? Setidaknya itu yang terlintas di pikiran Athreus. "Masalahnya jika kau mati akan jadi perang antara keluarga-Clypeus!!"
Athreus merapalkan mantra yang muncul tepat di sampingnya sebuah tameng besar berwarna emas, berhasil menghentikan serangan tombak yang dilemparkan oleh Nicaise. Perlahan Athreus menatap Nicaise yang berpijak di salah satu akar pohon. "Tombakmu sangat lemah, Nicaise."
"Itu baru permulaan," ujar Nicaise yang semakin mencengkeram kuat tombaknya. "Berikan kelinci itu padaku, jika di tanganmu, maka bisa jadi dia akan terluka."
Lekas Athreus menggeleng. "Maaf untuk kedua kalinya lagi, tapi Tuan Bhuncis lebih nyaman denganku."
"Maka bersiaplah, aku akan merebutnya!" teriak Nicaise yang langsung menerjang dengan cepat. Tombaknya di arahkan pada Athreus sementara Athreus memunculkan pentagram sihir, kini dua pedang yang digerakkan tanpa disentuh oleh Athreus berhasil menghalau setiap serangan dilancarkan Nicaise. Meskipun sesaat memukul mundur Athreus karena harus melindungi kelinci putih.
"Aku ingin melihat Athreus terpojok dan memohon padaku, jadi bersiaplah!" ujar Eloise yang kini juga menyerang Athreus. Maka pertarungan tersebut adalah dua lawan satu.
Pertarungan ketiga Majestic Families tersebut, cukup sengit, tetapi Athreus terlihat bisa mengimbangi Eloise dan Nicaise meskipun telah mendapat beberapa luka gores. Begitu pula Eloise dan Nicaise yang juga sama terluka. Namun, keadaan berbalik dalam hitungan detik ketika ketiga Majestic Families terdiam karena merasakan perasaan aneh menyeruak. Angin bertiup tak biasa. Terasa aura Neith yang cukup kuat bersamaan dengan ratusan burung Amadeo terbang dengan sangat cepat ke arah mereka bertiga, kemudian membuat ketiganya harus menghindari gerombolan burung-burung tersebut.
Maka dari balik akar besar. Aalisha berpijak setelah merasakan punggungnya remuk akibat benturan keras. Gadis itu mengarahkan satu tangannya untuk mengendalikan para burung Amadeo yang masing-masing dari burung tersebut terus mengitari para Majestic Families. "Apakah kita mulai pertarungan sesungguhnya?"
"Kau menggunakan kemampuan mistis, baiklah jika itu maumu!" Maka manik mata Eloise bercahaya merah muda. Tubuhnya dilapisi Neith yang sangat kuat. Sekelilingnya kini terasa panas.
"Ayo kita mulai," ujar Nicaise yang kini manik matanya bercahaya keunguan. Seragamnya dilapisi Neith ungu serta ia siap menggunakan salah satu teknik Orly yang pernah ia tiru. Teknik yang mampu meratakan sebuah kastil dalam hitungan detik saja.
Sementara Athreus yang tengah menggendong tuan Bhuncis. Perlahan ia lapisi Bhuncis dengan gelembung sabun yang membawa kelinci tersebut pergi dari arena pertarungan. Namun, Bhuncis tak pergi dan melah betah menonton pertarungan keempat Majestic Families. "Mari kita mulai!" Maka Athreus memunculkan beberapa pentagram sihir berwarna biru yang dari dalam pentagram tersebut ada puluhan pedang tipis dan tajam serta siap menyayat tubuh siapa pun.
Kini keempat Majestic Families telah siap dengan kemampuan mistis masing-masing. Kira-kira siapakah pemenangnya?
Berada di sisi lain, sedikit jauh dari arena pertarungan. Terlihat enam murid Eidothea yang berdiri dan menatap ke arah arena dadakan yang diciptakan keturunan Clemence dari akar-akar pohon yang muncul dari dalam tanah. Keenam murid tersebut adalah Anila, Mylo, Frisca, Gilbert, Kennedy, dan satu kakak tingkat yakni Nathalia Clodovea.
"Sebenarnya apa penyebab pertama yang membuat mereka saling bertarung?" ujar Frisca.
"Entahlah," balas Gilbert, "apakah salah satu alasannya karena Aalisha kabur dari pengawasan kita dan berada di sana kemudian memicu pertarungan?"
"Kurasa tidak sepenuhnya karena De Lune," balas Nathalia, "pasti karena Eloise yang juga tak bisa mengendalikan emosinya."
"Atau Nicaise dan Athreus yang memprovokasi? Barangkali mereka lebih dulu memicu pertarungan," timpal Mylo.
Lekas Nathalia menoleh pada salah satu keturunan Cressida itu. "Ah, kau adik Easton dan Noah?" Kemudian memberikan senyuman simpul.
Mylo mengangguk. "Iya, aku adik mereka." Mylo tersenyum simpul sebagai balasan juga.
"Senang bertemu denganmu," ujar Nathalia yang terlihat sangat cantik gadis itu dan Mylo hanya menganggukkan kepalanya.
"Serius tak ada yang mau menghentikan mereka?" ujar Frisca.
"Bagaimana mau dihentikan, pertarungan itu saja sudah seperti perang." Lekas Gilbert menyahut.
"Jujur, aku saja menyerah menghadapi Eloise apalagi ditambah tiga Majestic Families." Nathalia menghela napas panjang.
Kini mereka berlima menghela napas masing-masing. Tercetak jelas bahwa mereka sangat lelah karena harus menghadapi tingkah para Keturunan Utama Majestic Families itu.
Tiba-tiba saja Kennedy yang sejak tadi diam, kini berujar, "mereka takkan dihukum bukan? Kerusakan yang mereka perbuat cukup banyak."
Kelima murid itu lekas terdiam lagi, memikirkan perkataan Kennedy. Lalu mereka kembali menghela napas panjang karena sudah dipastikan jika keempat Majestic Families akan dihukum oleh pihak Akademi Eidothea karena membuat kerusakan di sekitar lapangan latihan.
"Wah," ujar Mylo, "bukankah itu profesor Rosemary? Dan dia menuju ...." Kini semuanya menatap pada wanita cantik yang mengenakan gaun biru, mengenakan topi, serta membawa dua pedang panjang serta dua Orly yang kepalanya tengkorak kijang.
"Dia menuju pada keempat Majestic Families," timpal Nathalia.
"Kalau profesor Rosemary sudah turun tangan, maka ...." Frisca diam sejenak.
"Hukuman mereka pasti berlipat ganda," sambung Gilbert.
"Atau dibunuh profesor Rosemary," timpal Anila.
Tamat sudah riwayat keempat Majestic Families ditangan profesor Florence Tennyson Rosemary.
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Tidak ada afterword
|| Fluitantia Crystallis
|| Navis Fluitantis
Prins Llumière
Senin, 19 Februari 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top