Chapter 15

|| Vote dan komen atau gue hilang setahun

Berbaring di rerumputan, tanpa alas, membiarkan tubuh terkena sepoi angin yang menenangkan serta menatap langit biru yang cerah dan sesekali terlihat kawanan burung berterbangan, ada pula burung Amadeo yang terlihat bolak-balik seraya membawa dedaunan kering dan ranting seperti hendak membuat sarang di salah satu pohon. Seraya berbaring terlentang di tanah, Mylo memulai obrolan dengan yang lainnya, mereka membicarakan banyak hal termasuk kegundahan mereka karena tugas dari master Arthur yang terkadang sangat susah, beruntung mereka ada Anila dan Kennedy. Hendak menyebutkan Aalisha, sebenarnya bisa karena dia sebenarnya sangat cerdas, tetapi Aalisha lebih sering enggan menolong yang lainnya. Sebuah keajaiban jika gadis kecil itu tiba-tiba menawarkan bantuan untuk mengerjakan tugas.

Mereka juga membicarakan tentang berita yang sedang panas di wilayah kerajaan. Salah satunya mengenai pernikahan yang gagal, penyerangan di sebuah salon, kemudian perseteruan antara anak angkat dan anak kandung salah satu bangsawan yang memperebutkan gelar dan siapa anak paling disayang.

"Aku kasihan dengan putri kandung itu," ujar Frisca, "meskipun putri kandungnya tidak terlalu kuat dan lebih sering mengecewakan. Bukan berarti posisinya bisa disingkirkan begitu saja oleh anak angkat."

"Rumornya anak angkat itu ditemukan begitu saja di hutan ketika Viscount sedang berburu kancil," balas Kennedy karena dia sempat membaca koran dari surat kabar Lè Ephraim. "Aku juga bersimpati pada si anak kandung. Dia jadi lebih sering diabaikan oleh ayahnya karena ayahnya lebih menyayangi si anak angkat."

Gilbert menyahut, "ayahnya benar-benar sialan! Seharusnya dia tidak membuang anak kandungnya begitu saja!"

"Oh aku sangat marah!" teriak Mylo yang entah mengapa merasakan sesak amat nyata. Dia lahir dari keluarga yang punya banyak anak. Mylo punya kakak lebih dari dua dan satu adik. Terkadang saja, Mylo merasa terasingkan. Ia juga sering dibandingkan, meskipun begitu, ayah dan ibunya masih memberikan kasih sayang yang rata ke semua anak-anaknya, tidak ada pilih kasih. Jika yang seperti Mylo saja terkadang sedikit terasingkan bagaimana dengan si putri Viscount yang tersingkirkan karena anak angkat yang ditemukan di hutan? Pasti dia sangat hancur.

"Jika aku jadi anak itu," balas Anila, "aku pasti sudah sakit hati setiap harinya."

Mereka hening kemudian. Terkadang di benak mereka, mereka takut jika suatu hari kasih sayang orang tua mereka hilang begitu saja atau lebih parahnya mereka tak bisa melihat kedua sosok yang sangat mereka sayangi itu.

Hening menyelubungi mereka karena baru sadar jika topik yang mereka bicarakan cukup sensitif untuk Aalisha. Namun, Aalisha terlihat hanya diam dan fokus membaca novelnya. Gadis itu sama sekali tak memberi respons seolah-olah obrolan mereka tadi hanyalah sekadar angin lalu. Baguslah, karena mereka tak mau menyakiti hati gadis itu.

"Aku mau pergi sebentar," ujar Aalisha menutup novelnya dan ia simpan ke dalam invinirium.

"Kau mau ke mana?" kata Anila.

"Kuil," balas Aalisha singkat, "aku sendiri saja, kalian tidak perlu menemani."

"Baiklah, hati-hati," ujar Anila.

Mylo menimpali, "jangan lupa, kita ada kelas nanti!"

Aalisha tak menjawab, dia melangkah menuju kuil yang biasa dia kunjungi serta Elijah yang berjaga. Baginya sejak awal berkunjung hingga kini, kuil itu yang menjadi favoritnya terlebih lagi sangat sunyi dan tentram serta jauh dari jangkauan orang-orang. Seraya melangkahkan kakinya, ia tahu bahwa beberapa murid memberi sapaan dengan membungkukkan badan mereka atau ada yang sekadar memanggil namanya serta melambaikan tangan dan tersenyum tipis. Tidak dipedulikan oleh Aalisha apakah sapaan mereka adalah ketulusan atau sekadar segan karena kini semua tahu jika dia adalah putri De Lune.

Setibanya di koridor yang mengarah ke kuil. Di sini benar-benar sepi, beberapa lentera terlihat masih menyala serta ada benang merah dengan lonceng kecil berbentuk bunga berwarna biru yang menghiasi sepanjang dinding menuju ke kuil yang akan Aalisha kunjungi. Gadis itu melangkah tak terburu-buru. Dia menikmati kesunyian ini, bersyukur pula, para murid jarang kemari jadi seperti Aalisha memiliki tempat amannya untuk menenangkan dirinya dari keriuhan dunia ini.

Sesampainya di depan pintu masuk kuil, dia melepaskan kedua sepatunya. Sedikit ada perubahan di kuil ini karena diberi karpet besar dan sedikit berbulu. Tercium pula aroma buah zaitun bercampur lemon sehingga terasa menyegarkan. Aalisha sedikit bertanya-tanya, mengapa aroma ini berbeda dari aroma yang biasanya ada di kuil ya? Di kuil ini biasanya Elijah menyemprotkan wangi kayu-kayuan bahkan hampir seperti bau gosong, entah dari mana Elijah mendapatkan wewangian itu, Aalisha enggan bertanya.

"Mungkin Elijah mengganti bau wewangiannya," ujar Aalisha mulai melakukan doa. Setelah semua tata cara berdoa dia lakukan. Aalisha mengikat benang merah di tiang kayu kemudian mengenakan gelang merahnya. Sesaat dia menatap pada satu benang merah yang sudah lebih dulu ada di sana, artinya ada seseorang yang lebih dulu di kuil ini sebelum dirinya. Alisnya terangkat seolah-olah Aalisha bisa menebak siapa yang berkunjung kemari dan melakukan doa. Namun, dia enggan mengutarakan pemikirannya bahkan pada dirinya sendiri.

Kini entah dorongan dari mana yang membawa Aalisha meraih marajha lalu ia bubuhkan marajha itu di dahinya, tipis saja, tetapi tak ia sadari jika ada bubuk yang mengenai pipinya. Setelah itu dia beranjak pergi karena tidak melihat keberadaan Elijah, ia juga tak mau menunggu Elijah karena Orly itu pasti akan mencerocos banyak hal. Di bagian taman dalam dekat kuil. Aalisha bisa merasakan sepoi angin membelai setiap helaian rambutnya yang semakin panjang. Kicauan burung terdengar serta beberapa hinggap di pepohonan. Aalisha mendongak, memperhatikan kawanan burung yang berkicauan seolah bernyanyi untuknya.

Tujuan Aalisha kali ini adalah kandang salah satu makhluk magis di Akademi ini. Benar sekali! Wyvern yang sempat menghebohkan akademi karena kabur dan mengamuk serta hampir menghancurkan bangunan beruntungnya ada keturunan De Lune di sini. Kalau tidak, sudah Aalisha pastikan jika Wyvern itu akan mengacau hingga ke luar akademi, parahnya lagi mengancam nyawa warga kota.

Sepatu hitamnya berhenti di rerumputan ketika Aalisha melihat si Wyvern berada di luar kandang, di dekatnya ada salah satu kesatria di akademi ini yang menggunakan sihir agar tercipta tali tak kasat mata yang mengikat leher si Wyvern, upaya ini dilakukan untuk mencegah jika semisal terjadi hal tidak diinginkan. Mungkin sekilas terlihat kasar dan jahat serta tak bisa menyayangi binatang, tetapi tenang saja karena sihir ini tidak menyakiti targetnya.

"Yang Mulia De Lune." Lekas sang prajurit membungkukkan badannya pada Aalisha. Dia sedikit takut dan berkeringat karena mendengar banyak rumor akan putri De Lune itu. "Mohon maaf, tapi apa yang membawa Anda kemari?"

"Hanya jalan-jalan saja," balas Aalisha, "pergilah, aku akan mengawasi Aramis."

"Baiklah Yang Mulia, Hamba mohon undur diri," kata sang prajurit lekas pergi.

Aramis tanpa aba-aba bergerak mendekati Aalisha setelah Aramis menelan sepotong daging yang sangat besar kemungkinan daging rusa atau kambing. Suara napas Aramis terdengar membuat uap panas menguar ke udara. Perlahan-lahan dia mendekatkan kepalanya pada Aalisha yang kini si gadis kecil itu menyentuh kulit Aramis yang tebal dan kokoh. Senyuman Aramis terukir. Kini dia merasa tenang ketika berada di dekat keturunan De Lune itu. Hingga akhirnya Aramis meletakkan kepalanya di rerumputan dan menutup matanya, Wyvern itu pun tertidur nyenyak setelahnya.

"Kurasa dia tidak terbiasa di Akademi ini," gumam Aalisha, "pihak Kekaisaran bodoh karena memberikan Wyvern ini ke akademi."

Angin kembali membelai setiap helaian rambut panjangnya, Aalisha menutup matanya sesaat karena merasakan seseorang mendekati dirinya. Ia lalu menoleh ketika sesuatu yang berbulu menggelitik kakinya, ternyata seekor kelinci putih, jadi ia gendong kelinci tersebut kemudian dielusnya begitu lembut. Dari sisi kanan, seekor kelinci lain dengan bulu abu-abu mendekatinya jadi perlahan ia duduk di rerumputan dan mengelus kedua kelinci setelah ia letakkan kelinci putih di pangkuannya sementara kelinci abu-abu tertidur di rerumputan.

Kembali Aalisha menutup matanya. Terasa begitu sunyi dan menenangkan terutama matahari tertutupi awan, angin bertiup dingin, dan ia ditemani oleh para binatang serta seekor Wyvern. Aalisha merasa memiliki kedamaiannya sendiri. Waktu bergulir cukup lambat, itulah yang Aalisha rasakan. Ia ingin kedamaian dan kesunyian ini berlangsung lama. Namun, takdir suka mengganggu dirinya dengan sedikit candaan dan trik murahan.

"Hey, Little Bunny."

Satu kalimat yang sukses membuat Aalisha perlahan-lahan membuka kedua kelopak matanya, lalu merasakan sepoi angin bertiup agak kencang ketika seseorang kini muncul di hadapannya begitu sunyi sampai Aalisha tidak bisa merasakan kehadiran seseorang itu yang diam-diam mendekati dirinya. Manik mata hitam Aalisha mengamati sepatu hitam yang hampir mencapai lutut, seragam akademi yang rapi, jubah sedikit berkibar karena sepoi angin, warna silver yang menjadi ciri khas asrama Gwenaelle, kemudian Aalisha sedikit mendongak, mengamati pemilik wajah yang tampan ... tidak, lebih tepatnya begitu cantik terutama karena rambut hitam tebalnya dan manik mata biru yang sebiru tanzanit atau malah lautan biru di luar sana. Aroma buah zaitun bercampur lemon yang menyegarkan tercium dari lelaki di hadapan Aalisha ini. Senyuman lelaki itu terukir penuh kejenakaan, tetapi tak bisa dimungkiri jika senyumannya meneduhkan serta sangat cantik. Bagaimana bisa Dewa menciptakan lelaki berwajah cantik? Atau hanya dari sudut pandang Aalisha saja. Ah, sudah gila Aalisha memuji salah satu musuhnya.

"Kenapa hanya menatapku saja, Little Bunny? Tidak sopan mengabaikan sesama keturunan Majestic Families," ujar lelaki itu yang suaranya terdengar sangat menyebalkan di telinga Aalisha. Terutama ketika kekehan juga terdengar di akhir kalimatnya.

"Bukankah tidak sopan pula, jika kau memanggilku dengan julukan itu? Sudah aku katakan berulang kali, berhenti memanggilku Little Bunny." Aalisha membalas, enggan sekali dia berdiri dari rerumputan hanya karena kehadiran lelaki menyebalkan, tetapi berwajah cantik ini.

"Kau benar, mana sopan santunku," balasnya. Perlahan lelaki itu mundur selangkah, kaki kanan di depan, kaki kiri sedikit ia mundurkan. Kemudian tangan kanannya bergerak ke dada kiri sementara tangan kirinya tetap di belakang pinggangnya. Gerakan curtsy yang begitu anggun dan indah. Betapa memperlihatkan jika lelaki itu sangat menggunakan pengetahuan etikanya dan bukan sekadar pajangan saja. "Aku Athreus Kieran Zalana, menyapa Tuan Putri De Lune." Ia berujar dengan suara yang lembut nan menenangkan, senyumannya senantiasa terukir di sana, entah senyumannya tulus atau hanya kejenakaannya saja yang suka usil pada Aalisha.

Kini Aalisha berdiri. Awalnya ia enggan, tetapi karena Athreus menyapanya dengan hormat, maka Aalisha harus melakukan hal yang sama pula. Etika dalam keluarga bangsawan terutama Majestic Families yang mengharuskan sesama keturunan utama saling menghormati, meskipun dalam lubuk hati, saling membenci bahkan hendak membunuh satu sama lain. Aalisha berdiri di hadapan Athreus sambil menggendong si kelinci putih dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanan Aalisha perlahan ia gerakan ke dada kirinya kemudian ia membungkuk sedikit seperti yang Athreus lakukan. Kemudian ia berujar, "Aalisha De Lune, menyapa balik, Tuan Athreus Kieran Zalana."

Hening mengelilingi keduanya saat mereka saling bertatapan. Athreus yang tinggi harus sedikit menundukkan kepalanya jika hendak menatap manik mata legam Aalisha, begitu pula dengan Aalisha yang harus sedikit mendongak agar bisa melihat manik mata biru dan ukiran wajah yang cantik itu. Lalu baru Aalisha sadari jika di dahi Athreus ada bercak merah seperti bubuk marajha, hal ini menandakan jika orang yang pertama mengunjungi kuil sebelum Aalisha adalah Athreus.

"Lucu sekali," sahut Athreus seraya tertawa. Membuat kesan cantik yang barusan Aalisha katakan langsung lenyap begitu saja. Diganti dengan sifatnya yang penuh jenaka dan tentunya sangat menyebalkan pula. "Little Bunny menggendong seekor kelinci kecil juga. Atas inilah sudah kukatakan jika julukan itu cocok untukmu."

"Kau sangat tidak sopan memberikan julukan jelek itu padaku," sahut Aalisha memperlihatkan wajah penuh rasa jijik dan kesal. "Berhenti memanggilku dengan julukan itu."

"Oh ayolah Little Bunny, kau harusnya menyukai julukan itu, sangat cocok untukmu bukankah binatang favoritmu adalah kelinci?" Terlihat jelas jika Athreus hanya ingin bermain-main dengan Aalisha. Terutama wajah Athreus yang merasa tak bersalah dan penuh ejekan itu.

"Akan kuhajar kau atau kuminta Aramis membakarmu sekarang juga," ancam Aalisha meskipun dia takkan benar-benar membakar Athreus karena pasti akan menimbulkan perang antara kedua Keluarga Agung, tetapi Aalisha bersumpah akan menghantam wajah Athreus terutama betapa menyebalkannya wajah lelaki itu!

"Maaf, tapi aku menolak," balas Athreus yang membuat Aalisha mengepalkan tangan kanannya.

"Apa yang membawamu kemari dan mengapa kau menggangguku? Kautahu jika aku merasa damai di tempat ini sebelum kehadiranmu," balas Aalisha, "kau sangat mengganggu dan membuatku risi." Tidak ada kebohongan sama sekali dalam perkataan Aalisha, dia sangat-sangat jujur dan berharap jika lelaki itu enyah dari hadapannya.

"Aku sejak awal sudah di sini," ujar Athreus kemudian menunjuk ke sebelah selatan. Sedikit menuruni bukit. Ada dua buku bertumpuk di sana serta botol berisi air minum. "Aku tidur di sana, sebenarnya sambil membaca buku, lalu tiba-tiba seekor Wyvern datang dibawa prajurit akademi ini. Aku juga mendengar suaramu. Jadi kupikir, aku harus menyapamu Little Bunny---sialan sakit!!"

Athreus berjengit, memegangi kemudian mengelus lututnya yang ditendang oleh Aalisha. Masih terasa berdenyut karena Aalisha menggunakan Neith hanya untuk satu tendangan kecil, tapi cukup terasa efeknya. Sialan, gadis itu benar menghajar Athreus.

"Tidak kusangka, kau benar-benar menghajarku." Athreus tertawa karena sudah tak sakit lagi lututnya. "Little Bunny jangan jadi Grumpy Bunny, kau sangat menyeramkan jika marah."

"Kau tak memberiku pilihan, Tuan Kieran Zalana. Kini aku sangat marah." Perlahan Aalisha menjentikkan jarinya. "Aramis."

Maka Aramis, Sang Wyvern terbangun dari tidurnya kemudian mulutnya terbuka lebar dan meraung cukup kencang bersamaan sayapnya terbuka. Sontak Athreus melompat mundur ketika Aramis mengibaskan sayapnya yang menghasilkan sepoi angin cukup kencang dan hampir menggores Athreus. Setidaknya jika terkena sepoi angin tersebut maka akan terlempar jauh dan seragam jadi sobek. Lihat saja rerumputan langsung terpangkas hanya karena sekali kibasan sayap.

"Hey, Little Bunny, kau tidak serius hendak hendak membunuhku 'kan?" teriak Athreus seraya menatap Aramis yang berdiri di belakang Aalisha dan siap untuk menyerang.

"Tenang saja, aku takkan membuat kedua keluarga kita saling berperang, tetapi membuatmu masuk rumah sakit, kurasa takkan menjadi masalah." Senyuman kecil Aalisha terukir yang detik selanjutnya Aramis kembali meraung kemudian merentangkan sayapnya selebar mungkin. "Bersiaplah, Tuan Kieran Zalana."

Aramis terbang sangat cepat, membuat Athreus terpukul mundur karena hendak menghindari cakar dan kuku tajam Wyvern itu. Suara berdentang terdengar setiap Aramis menyerang Athreus dengan cakarnya sementara Athreus bertahan dengan menggunakan sihir yang menciptakan pedang dari Neith. Aramis mengibaskan sayapnya, tetapi gagal mengenai Athreus yang malah membuat tanah jadi retak. Aalisha berdecak sebal karena tidak sedikit pun Aramis berhasil menggores wajah Athreus. Lelaki itu terlalu ahli terutama dia bisa menciptakan senjata dengan kemampuan mistisnya.

"Aku pernah dengar, penciptaan senjata keluarga Kieran Zalana berada di tahap tak terhingga." Aalisha berujar pada dirinya sendiri. "Aramis, bakar dia." Lalu dia berteriak.

Sontak Athreus menoleh pada Aalisha yang menatapnya sangat sinis seolah-olah gadis itu benar-benar ingin membunuhnya dan tak peduli jika terjadi peperangan antara dua Majestic Families! "Sialan gadis itu tidak segan menunjukkan jati dirinya."

Athreus menggunakan sihir, menciptakan dua pedang panjang yang sekaligus digunakan untuk menghindari setiap cakar tajam Aramis. Lalu ia sadari jika Wyvern itu semakin kesal dan tiba-tiba saja serangan Aramis berhenti digantikan dengan mulut Aramis yang berkilauan merah menyala, asap keluar dari celah gigi dan mulutnya. Mata Athreus membelalak ketika ia sadar bahwa Aramis akan menyemburkan api panas dari dalam mulutnya. Maka ketika Aalisha berteriak, suara raungan Aramis terdengar pula bersamaan semburan api sangat panas yang membuat asap hitam mengepul di udara. Serta rerumputan hangus terbakar dan panas membara menyengat hingga ke kulit barangkali mencapai tulang. Ya, semburan api itu sukses melahap seluruh tubuh Athreus hingga kepulan asap hitam semakin terlihat.

Aalisha berjalan mendekati kobaran api yang tidak hanya mengelilingi tubuh Athreus, tetapi menyebar ke rerumputan maupun semak-semak kini menjadi gosong bahkan sudah ada yang jadi abu. Aramis menurunkan sayapnya, duduk di tanah, kemudian merebahkan kepalanya. Sesaat Aramis bahagia karena bisa menuruti perintah masternya. Sementara itu, Aalisha melangkah hendak melihat secara langsung apakah Athreus benar-benar dilahap api atau tidak, tetapi kemungkinan besar adalah tidak. Aalisha sudah menebak, hanya saja ia tetap ingin memastikannya, setidaknya Athreus terkena luka bakar.

Kini suara langkah sepatu Aalisha yang menginjak rerumputan gosong terdengar. Ia tidak takut jika sepatunya menginjak kobaran api kecil yang menghanguskan rerumputan hijau. Jika Aalisha tak takut pada kobaran api kecil, maka dia sama sekali tak gentar ketika menatap kobaran api besar yang dipenuhi asap hitam di hadapannya. Ah, sulit sekali dia melihat jelas karena asap yang menghalangi pandangannya. Aalisha sampai harus mengibaskan tangannya untuk menyingkirkan kepulan asap hitam ini yang melintas di dekat wajahnya.

Perlahan matanya memicing, hendak melihat dan memastikan apakah benar api Aramis berhasil melukai Athreus karena berharap lelaki itu mati adalah hal yang mustahil jadi setidaknya dia harus terluka dan dilarikan ke rumah sakit. Aalisha benar-benar membenci Athreus semenjak pertemuan mereka di kuil yang dijaga Elijah. Kini di hadapan Aalisha adalah kepulan asap paling tebal. Perlahan dia menggunakan sihir untuk melenyapkan kepulan asap tersebut. Berangsur-angsur menghilang. Serta Aalisha berharap jika lelaki itu terluka, terluka parah!! Namun, Dewa selalu membuat skenario yang tidak terduga.

Suara langkah kaki berhenti di hadapan Aalisha. Sungguh gerakan itu tak bisa terbaca oleh penglihatan Aalisha, lalu semerbak wangi zaitun bercampur lemon tercium seolah-olah meredam bau gosong di sekitar Aalisha. Kini manik mata gadis kecil itu menatap seragam akademi Eidothea yang masih utuh dan tidak terbakar sedikit pun. Aalisha mendongakkan kepalanya, menatap pada pemilik mata biru tanzanit itu serta senyuman yang terukir penuh kemenangan.

"Maaf Little Bunny, tapi kau gagal." Suara Athreus terdengar lembut, tetapi mengintimidasi. Aalisha tersentak ketika menyadari jika tubuhnya tak bisa digerakkan seolah-olah terpaku ke tanah.

Perlahan tangan Athreus bergerak ke wajah Aalisha, menangkup dagunya, kemudian mengusap pipi gadis kecil tersebut dengan lembut. Senyuman Athreus terukir begitu cantik. Manik matanya bertatapan dengan manik mata Aalisha yang penuh amarah. "Kau pasti tidak sadar jika ada marajha di pipimu. Ceroboh sekali."

Setelah usapan lembut di pipi Aalisha. Athreus menarik tangannya, melangkah mundur, menjentikkan jarinya, maka berangsur-angsur kepulan asap hitam dan api berkobar di sekitar mereka jadi lenyap hampir tak bersisa.

"Aku membencimu." Aalisha berujar, tangannya terkepal kuat, nada suaranya gemetar dan penuh amarah, terlihat di sudut matanya, ada air mata tergenang seolah-olah gadis itu menahan tangis.

Athreus masih senantiasa tersenyum. "Aku tahu."

"Aku bersumpah Demi Para Dewa yang bertahta di Athinelon. Suatu hari nanti, aku pasti akan membunuhmu, Tuan Athreus Kieran Zalana." Tatapan itu terukir begitu kejam dan tanpa kebohongan. Ada hasrat besar yang berkobar-kobar di manik matanya yang siap untuk membakar segalanya menjadi abu tak bersisa. Meskipun begitu, terlihat pula gadis itu tengah menahan air matanya untuk jatuh. Membuat manik matanya berkaca-kaca karena air mata yang tertahan ibarat air bah tertampung di bendungan. Dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menunjukkan kelemahannya terutama di hadapan musuhnya. Ya, musuh yang sejak pertama kali Dewa mempertemukannya, sangat ingin Aalisha memenggal kepala musuhnya itu.

Perlahan Athreus menggerakkan tangan kanannya ke dada kiri. Dia melakukan curtsy yang sangat indah, memberi penghormatan pada Aalisha seolah dia hendak mengajak Aalisha berdansa di pesta debutante paling megah di Kekaisaran Ekreadel. "Aku sangat menantikannya, Your Majesty. Maka jika peperangan terjadi, datanglah sebagai pemimpin utama ke hadapanku dan aku dengan senang hati menyambutmu dalam pertarungan kematian, Tuan Putriku, Aalisha De Lune."

Ketika Athreus masih membungkukkan tubuhnya untuk memberi penghormatan. Dia tak menyadari jika satu air mata Aalisha berhasil lolos. Setelah kobaran api selesai, sebelum Athreus menatap Aalisha, gadis kecil itu sudah melenggang pergi dengan tubuh tegapnya dan langkah yang tak gontai sekali pun. Tidak peduli jika ada ribuan luka di tubuhnya, pedang tajam menembus dadanya, atau bara api yang kini ia pijak, Aalisha akan terus melangkah dengan angkuh lalu menunjukkan pada dunia bahwa ia juga dapat membawa kehancuran dan ... ketiadaan.

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

|| Afterword #4

Bukankah penasaran alasan mengapa hubungan Aalisha dengan sang Ayah tidak baik dan terkesan saling membenci? Ataukah para Kepala Keluarga Majestic Families memang memperlakukan setiap anak mereka dengan buruk?

Berbicara mengenai Aalisha, kini paham 'kan perbedaan antara sikap Aalisha ke Athreus dengan Aalisha ke Nicaise itu didasarkan pada apa? Coba jawab menurut pandangan kalian masing-masing^^

Prins Llumière

Selasa, 16 Januari 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top