Chapter 11

|| Kalian bisa dukung gue melalui trakteer.id, link ada di bio

Semua murid tercengang bukan main ketika tercipta jurang sedalam satu setengah meter akibat efek dari serangan pedang Aalisha. Kini gadis kecil itu tersenyum kecil pada master Aragon seraya meminta maaf atas perbuatan yang katanya tak dia sengaja. Maka master Aragon hanya bisa menghela napas sambil mengusap wajahnya, kasihan sekali dia jadi frustrasi. Aalisha yang identitasnya belum diketahui saja, sudah suka membuat akademi heboh apalagi kini! Bisa-bisa Aragon akan mati karena frustrasi dibandingkan mati di tangan iblis.

"Baiklah Nona Aalisha tak masalah," ujar Aragon enggan memperbesar masalah ini. "Aku akan meminta Orly-ku memperbaiki tanahnya, jadi jangan khawatir. Kauboleh kembali ke barisan."

"Baiklah," sahut Aalisha seraya berjalan tanpa ada beban yang ia tanggung.

Apakah ini kesalahan Aragon karena meminta Aalisha jadi relawan yang menunjukkan cara mengaktifkan senjata magis dan menyerang boneka? Karena sepertinya para murid bukan termotivasi, melainkan jadi pesimis setelah mengetahui betapa jauhnya perbedaan kekuatan mereka dengan seorang gadis kecil ... yang dulunya mereka hina. Ah, kini hilang sudah harga diri mereka ketika mengingat betapa gencarnya mereka menghina Aalisha dengan sebutan lemah dan rakyat jelata.

"Gila!" ucap Gilbert, "jangan katakan jika itu belum kekuatan penuhmu!"

Aalisha berhenti di dekat Anila. "Ya, baru 2% dari total yang kubisa."

"Kau bercanda 'kan? Kalau baru segitu, maka kau bisa meratakan benua jika kekuatan penuhmu!" timpal Frisca sangat melebih-lebihkan atau ia sebenarnya serius?

Gilbert lekas menyahut, "ya benar! Jadi ini kekuatan seorang Majestic Families---eh darah keluar dari hidungmu!"

"Aalisha, kau berdarah," ujar Mylo lekas mengambil kain putih dari dalam invinirium lalu diserahkan pada Aalisha yang ternyata ada orang lain dengan sapu tangan biru yang juga disodorkan pada Aalisha untuk menyeka darah yang keluar dari hidungnya.

"Aku yang lebih dulu, Mylo," ujar Anila menatap tajam.

"Jelas-jelas aku lebih dulu!" sahut Mylo yang ia yakini jika ia lebih cepat dua detik menyodorkan kain putihnya pada Aalisha.

"Kau tak lihat Aalisha berdiri di dekatku, artinya dia sengaja hendak meminjam sapu tangan dariku!" Anila semakin mendekatkan sapu tangan birunya pada Aalisha.

"Apa? Memang dia tahu kalau kau membawa sapu tangan?" tukas Mylo.

"Kau sendiri? Memang Aalisha tahu kalau kaubawa kain putih, lagi pula itu handuk, masa kauberikan handuk yang bisa saja bekas kaugunakan!" Sepertinya Anila akan menyatakan perang pada detik ini!

"Aku memang selalu membawa handuk ini dan handuknya bersih! Selalu kucuci setiap hari!" balas Mylo yang dengan senang hati menerima pernyataan perang dari Anila.

"Mylo, sejak awal, aku tahu kalau dia akan mimisan, begitulah dia setelah menggunakan kekuatannya! Jadi aku lebih dulu sadar, karenanya biarkan Aalisha menggunakan sapu tanganku!" Anila sungguh sangat mengerikan ibarat naga atau monster purba yang mengeluarkan api dari mulutnya jadi terpaksa Mylo mengalah meski hati kecilnya jadi tersakiti.

"Baiklah kaumenang!" ujar Mylo menarik tangannya sementara Anila berteriak kegirangan.

"Aalisha usap hidungmu dengan sapu tanganku ...." Suaranya jadi pelan karena kini dia melihat Aalisha sudah membersihkan darah yang keluar dari hidungnya dengan sapu tangan berwarna ungu.

"Apa? Aku selalu bawa sapu tanganku sendiri," balas Aalisha sama sekali tak berperasaan atau ia tak paham pertengkaran Anila dan Mylo?

Maka detik itu gelak tawa menyerang, Frisca dan Gilbert tak berhenti tertawa sampai-sampai mereka harus memegangi perut karena perut mereka sakit saking lelahnya tertawa. Mylo juga ikutan tertawa karena lucu sekali ketika Aalisha sudah selesai membersihkan darah di hidungnya padahal Anila baru memberikan sapu tangan. Terlebih lagi wajah Aalisha polos dan tak merasa bersalah. Sedangkan Anila terdiam mematung sembari memegangi sapu tangannya, ia seperti habis tertolak cintanya, kini dia berjongkok kemudian wajahnya murung sekali, mungkinkah dia menangis?

"Kalian semua jahat," ujar Anila.

"Kenapa dia?" tanya Frisca yang kini berada di samping Aalisha.

Gadis kecil yang habis minum sebotol air itu menyahut, "entahlah."

Gilbert terkekeh. "Sialan kau, dasar tak berperasaan. Lagi pula, Anila aneh ya, seperti bukan dia yang biasanya, si bangsawan Andromeda yang sangat menjaga martabatnya."

"Kau benar, jangan-jangan dia kerasukan atau tertular sifat anehnya Frisca," timpal Mylo.

"Sialan kau Mylo!" teriak Frisca.

Setelah lapangan diperbaiki boleh Orly master Aragon, latihan kembali dimulai, para murid dibagi menjadi enak kelompok, kemudian masing-masing akan mencoba menghancurkan boneka kayu sebanyak tiga kali percobaan secara bergantian. Jadi seraya menunggu giliran, mereka mencoba untuk mengaktifkan senjata mereka karena beberapa murid terlihat masih sulit mengaktifkan senjata magis. Bahkan ada yang sudah diaktifkan malah lenyap karena tidak bisa mengontrol aliran neith senjata mereka. Master Aragon harus berteriak kencang saking dia marah karena para muridnya masih saja sulit melakukan teknik dasar menggunakan senjata magis.

Kemudian yang sudah bisa mengaktifkan senjata juga belum tentu bisa mengayunkan senjata mereka tanpa melakukan kesalahan dan dapat menghancurkan pelindung boneka. Banyak dari mereka yang ketika mengayunkan senjatanya malah terpental ke belakang lalu menghantam tanah, ada pula yang setelah mengayunkan senjata malah terjadi ledakan sehingga seragam dan wajahnya jadi hitam, lihatlah rambutnya yang berdiri seperti habis tersambar petir. Ada murid lain yang berhasil mengayunkan senjatanya tanpa kesalahan, tetapi daya serangnya tak ada sama sekali sehingga pelindung lapisan pertama saja gagal dia hancurkan. Banyak pula murid yang tidak bisa menghancurkan boneka kayu padahal sudah tiga kali percobaan.

"Sakit!" Itulah teriakan murid yang setelah mengayunkan senjata magisnya, tetapi membuat telapak tangannya jadi terluka parah dan memerah. Pergelangan tangannya juga terasa ngilu.

"Tanganku bengkak!" Meskipun ada murid yang berhasil menghancurkan pelindung dam boneka kayu. Namun, dia mengeluh bahwa pergelangan tangannya yang membiru dan bengkak seperti habis kecelakaan saja.

Melihat kekacauan para muridnya, master Aragon berteriak, "tangan bengkak atau telapak tangan terluka dan memerah adalah efek karena kalian tidak bisa mengontrol neith ketika menggunakan senjata magis sehingga berakibat pada diri kalian sendiri. Lalu kalau kalian memaksakan diri menggunakan kekuatan penuh untuk senjata magis padahal belum kalian kuasai maka tangan kalian juga akan terkena akibatnya! Jadi jangan paksakan jika kalian memang belum mampu, setidaknya cobalah untuk mengontrol neith kalian!"

Sudah diperingatkan, tetapi para murid memang kebanyakan belum mampu mengaktifkan senjata mereka dengan baik serta mengontrolnya ketika hendak digunakan menyerang. Dari kalangan bangsawan saja masih susah, kesusahan juga menimpa anak-anak proletar yang baru diajarkan teknik berpedang yang benar di Eidothea. Duh, kalau seperti ini bagaimana cara master Aragon memberi nilai? Karena sudah pasti banyak muridnya yang nilai mereka berada di bawah rata-rata! Bisa dihitung jari saja yang benar-benar mencapai nilai di atas rata-rata, itu pun masih kurang memuaskan.

"Terkecuali gadis itu, dia sudah pasti lulus praktik ini," ujar Orly master Aragon, "sangat genius."

Aragon menghela napas. Ia berdiri dengan tangan disampirkan ke belakang. Menatap pada gadis kecil yang duduk di rerumputan seraya memperhatikan anak-anak lainnya yang terlihat kesusahan mengaktifkan senjata magis mereka. "Ya, sudah tak diragukan, dia Majestic Families. Teknik dasar seperti ignitio sangatlah mudah baginya."

Aragon tadi sengaja meminta agar Aalisha tidak mengikuti praktik menghancurkan boneka kayu lagi karena gadis itu sudah bisa teknik dasar dan cara menyerangnya bahkan sampai menghancurkan lapangan, ia tak mau dua kali harus memperbaiki lapangan dan membuat laporan pada profesor Eugenius. "Hingga kini aku masih tak percaya jika profesor Eugenius menyembunyikan identitas anak itu."

"Apakah Anda membicarakan pertemuan waktu itu, setelah malam penyerahan penghargaan," balas Orly-nya dengan senyuman tipis.

Maka Aragon menganggukkan kepalanya. Ia kembali terbawa ke waktu sekitar sebulan yang lalu, malam ketika pemberian penghargaan pada para murid yang berhasil menyelamatkan Zephyr dan mencegahnya jatuh ke tangan Phantome Vendettasius. Serta tepat setelah Aalisha mengungkapkan jati dirinya sebagai keturunan De Lune, para pengajar di Eidothea langsung melakukan pertemuan di salah satu ruangan yang biasa dijadikan tempat rapat para pengajar dan pengurus akademi. Berada di sana euforianya sangat campur aduk serta dipenuhi rasa ketidakpercayaan atas apa yang terjadi di acara itu.

"Oh Dewa," ujar profesor Madeleine sangat sakit kepala. Dia merasa jika yang barusan terjadi di aula hanya mimpi, tapi terlalu nyata. Sungguh jantungnya sesaat berhenti berdetak ketika nama Aalisha disebutkan dengan nama keluarganya. "Tolong katakan kalau kalian semua baru tahu jika anak itu adalah Majestic Families jadi bukan hanya aku yang terkejut setengah mati."

"Tenanglah profesor Madeleine," sahut profesor Solana yang mendekati profesor Madeleine seraya mengelus punggungnya. "Aku juga sangat terkejut, pantas saja anak itu terkadang menunjukkan gelagat aneh."

"Harusnya kusadari sejak awal!" ucap tuan Howard sambil mengacak rambutnya. "Padahal anak itu terlihat mudah disukai para hewan. Mengapa aku tak menyadarinya!"

"Kau sadar dia punya keunikan disukai binatang, tapi kenapa kau tak curiga!" balas profesor Solana.

"Lagi pula sudah biasa anak-anak disukai binatang, di luar Majestic Families juga banyak, kupikir anak itu hanya punya kelebihan! Ternyata dia seorang De Lune ...." Suara tuan Howard menjadi pelan di akhir.

"Aku masih tak percaya bahwa anak itu adalah Keturunan De Lune!" teriak profesor Reagan yang melangkah tertatih-tatih karena kakinya terluka---ia ada menjalankan misi dan terluka, tetapi tak mau memberitahu alasannya---lalu duduk di kursi kayu. "Keturunan yang disembunyikan! Sejak awal dunia tahu jika De Lune hanya punya satu keturunan!"

"Aldrich De Lune," timpal seorang pria yang mengajar di tahun ketiga. "Itulah yang dunia tahu termasuk kita, tidak pernah ada rumor atau desas-desus dari kalangan bangsawan jika keluarga De Lune memiliki keturunan utama lagi selain Aldrich."

Beberapa pengajar memilih untuk diam ketika pengajar lain mengutarakan isi pikiran mereka. Ini bukanlah hal sepele yang bisa dibiarkan begitu saja. Keturunan Utama Majestic Families peringkat satu disembunyikan dari dunia, maka jika tersebar, pasti akan menggemparkan seluruh benua di Athinelon. Eidothea adalah yang pertama tahu serta para penghuninya. Maka mereka harus bertindak segera untuk mengatasi semua ini sebelum hal-hal buruk terjadi seperti rumor yang tidak baik.

Keheningan pecah ketika master Aragon berujar, "bagaimana dengan Ambrosia, apa Anda tak tahu bahwa anak itu De Lune karena notabenenya dia yang terlibat Zephyr dan juga menyelamatkan Anda."

Ambrosia diam, ia masih teringat kenangan mengerikan ketika Lugaldaba hampir memperkosanya serta ia hampir mati pula di tangan Hesperia dan Zahava. "Aku tidak tahu apa-apa, aku tak menaruh curiga apa pun, kupikir dia hanya anak kecil yang mencoba bertahan meski dia lahir dari kaum proletar tanpa nama keluarga. Namun, perlu ditanyakan pada Lilura karena sepertinya kau menyadari anak itu, bukankah di kelas pertama, kau sempat menuduh anak itu menyembunyikan neith-nya?"

Semua mata tertuju pada Lilura yang duduk tenang di meja. Ia perlu berterima kasih pada Aalisha, berkatnya para pengajar jadi pusing kepalang akibat identitasnya. Sungguh sejak anak itu menginjakkan kaki di Eidothea, banyak hal tak terduga yang terjadi. "Ya, aku sempat mencurigainya. Karena aku boneka Belphoebe, aku merasakan ada ketidakstabilan neith yang aneh dalam diri Aalisha ketika pelajaran nereum menggunakan orxium. Namun, anak itu mengelak dan mengatakan jika dirinya cacat."

"Itu pasti segel," sahut profesor Xerxes Nerezza. "Anak itu menggunakan segel untuk menutupi aura asli dari neith-nya, tetapi kurang sempurna karena itu nona Lilura menyadarinya. Lalu mengapa kecurigaan Anda hilang, apa dia mengatakan sesuatu yang membuat kecurigaan Anda hilang?"

"Ini karena Aalisha pingsan dan berdarah, dia bahkan kejang sampai dilarikan ke rumah sakit. Maka aku berkesimpulan jika dia cacat, maksudku seorang niteleum. Terlebih lagi di data yang ia miliki, Aalisha tertuliskan sebagai seorang niteleum. Tentu saja aku dan Ambrosia jadi percaya," jelas Lilura yang entah mengapa seru saja melihat berbagai macam ekspresi para pengajar Eidothea ini. Aalisha, dia benar membuat sekolah gempar.

"Sial, jadi sejak awal anak itu sudah mempermainkan kita semua," ucap Reagan.

"Aku tak setuju dengan perkataan Anda Profesor Reagan," ujar profesor Madeleine seraya berdiri sambil melangkah menuju seseorang di ruangan ini. "Menurutku mustahil anak itu mengelabui kita semua sendirian karena sepertinya ada seseorang yang mendukungnya atau berperan di balik layar. Informasi mengenai nona Aalisha adalah niteleum berasal dari profesor Eugenius. Semua data mengenai anak itu, Anda yang membuatnya."

Kini profesor Madeleine berhenti di hadapan profesor Eugenius yang sedari tadi duduk tenang, menyeruput tehnya, dan menyimak para profesor saling berdebat serta bertukar pikiran. "Kini beritahu aku Profesor Eugenius, apakah Anda mengetahui nona Aalisha sebagai keturunan De Lune sudah sedari awal atau baru saja seperti kami?"

Profesor Eugenius tidak langsung menjawab, pria itu meletakkan cangkirnya kemudian tersenyum. Ya! Dia hanya tersenyum. Maka satu ruangan tahu benar apa arti dari senyuman itu.

"Eugenius!" teriak profesor Madeleine, "Anda tahu bahwa dia De Lune dan Anda menyembunyikannya dari kami semua!!"

Sungguh bukanlah hal yang mengejutkan jika Eugenius selalu punya pemikiran gila dan sangat di luar nalar karena ia begitu cerdas dan kuat, punya banyak relasi dan disegani bahkan oleh para Majestic Families. Namun, menyembunyikan fakta bahwa ada keturunan De Lune yang tidak diketahui oleh dunia, kemudian masuk ke Eidothea, sangatlah keterlaluan.

"Sejak kapan Anda tahu dia De Lune?" tanya profesor Ambrosia. Sial, setiap membicarakan De Lune, selalu saja teringat akan dia.

"Jauh sebelum dia menerima surat undangan," balas profesor Eugenius begitu tenang.

"Pantas saja, ada Orly yang melapor padaku jika ada kelebihan surat undangan hitam dari total jumlah murid yang seharusnya menerima surat itu, kupikir surat itu hilang, ternyata Anda mengirimkannya pada nona Aalisha," ujar profesor Madeleine seraya memegangi kepalanya yang semakin pusing. "Oh Dewa, tak kusangka semua ini nyata."

Mimpi, bahkan jika mimpi, dunia mimpi pun akan sama gemparnya mengetahui jika De Lune punya keturunan utama lagi. "Bukankah ini bisa jadi secercah harapan," ujar profesor Godiva si profesor di kelas ramalan. "Saat ini banyak yang takut karena Aldrich De Lune menghilang, lalu ternyata dia punya adik."

"Dibandingkan membicarakan hal itu," balas si profesor yang mengajar di tahun ketiga. "Mengapa tak tanyakan, bagaimana bisa Keluarga De Lune menyembunyikan keberadaan anak itu selama bertahun-tahun! Bayangkan, kurang lebih 12 tahun anak itu disembunyikan. Dunia tidak pernah tahu jika istri Kepala Keluarga De Lune, Teresa De Lune ternyata hamil anak kedua, tak ada rumor atau desas-desus mengenai kehamilan itu! Mengapa pula keluarga mereka menyembunyikannya?"

"Itu hal yang biasa 'kan?" balas Ambrosia, "di kalangan bangsawan juga banyak anak yang disembunyikan untuk melindungi mereka."

"Ya! Benar sekali, tetapi apa untungnya menyembunyikannya?" Ia berkata lagi, perlu diketahui jika nama profesor itu adalah Conor Prambudi. "Jika disembunyikan ketika sudah lahir dengan dalih dilindungi maka tak masalah bahkan anak kedua dari Kaisar Ekreadel saja disembunyikan, tapi tidak dengan kehamilan Yang Mulia Permaisuri. Semua tahu bahwa Permaisuri akan punya anak kedua, sementara Teresa De Lune, kehamilannya bahkan disembunyikan. Bisa saja 'kan ada hal lain yang mengerikan sehingga kehamilannya disembunyikan. Misalnya saja, anak itu ... anak haram? Ya anak haram---"

Satu ruangan terkejut bukan main ketika angin kencang bertiup di ruangan ini. Lalu dengan gerakan tak terbaca, profesor Rosemary sudah berada di hadapan profesor Prambudi dengan pedang Rosemary yang mengkilap berhasil menggores leher profesor Prambudi hingga darah menetes. Semua profesor terkesiap karena sejak tadi Rosemary hanya diam, tetapi kini amarah sudah menyelimutinya bahkan ia berniat memenggal kepala profesor Prambudi. Ah, tadi disebutkan jika semua yang di ruangan itu terkejut? Namun, tidak berlaku untuk profesor Eugenius dan Arthur yang duduk tenang seraya menikmati minuman mereka.

"Profesor Conor Prambudi." Suara Rosemary sangat dingin dan kelam. Wajahnya menggelap. "Beritahu apa maksud dari perkataan tidak sopan Anda itu agar aku punya alasan untuk menembus leher ini dengan pedangku."

"Rosemary," ujar Ambrosia terkejut, ia sampai berdiri dari kursinya.

"Pro-profesor Rosemary, apa Anda berniat membunuhku?" ujar profesor Prambudi dengan terbata-bata terutama karena takut merasakan aura mengerikan yang terpancar dari diri wanita itu.

"Benar sekali. Anda sangat kurang ajar. Berani berkata menjijikkan seperti itu, berani menghina keturunan Majestic Families padahal Anda tahu jika di ruangan ini ada dua keturunan Majestic Families juga meski bukan berasal dari De Lune." Rosemary semakin menggores leher Prambudi hingga darah semakin menetes.

"Anda benar, perkataan profesor Prambudi sungguh membuatku tercengang," sahut profesor Astrophel Kieran Zalana, sengaja dia memprovokasi. "Meski Yang Mulia Teresa De Lune sudah tiada, dia tetaplah dikenal sebagai Archduchess yang Sangat Terhormat. Lalu sungguh berani Anda menghina keturunan Keluarga Agung."

"Suasananya jadi sangat panas," timpal profesor Xerxes.

Di sisi lain, profesor Prambudi merasakan sakit di lehernya karena Rosemary semakin menggoresnya dengan pedang, sungguh pria itu tak bisa bergerak sedikit pun karena Rosemary menggunakan sihir yang membuat tubuhnya seolah mematung. Suatu perbedaan kekuatan antara keduanya, Rosemary terlalu kuat. "Anda tahu 'kan jika penghinaan terhadap Keluarga Utama Majestic Families dengan artinya penghinaan terhadap istri Kepala Keluarga akan mendapat hukuman penggal langsung di tempat oleh siapa pun yang mendengar penghinaan itu dan ada saksinya. Kami semua tahu perkataan Anda itu mengandung penghinaan maka tak ada alasan bagiku untuk tidak memenggal kepala Anda."

"Rosemary." Kini Ambrosia sudah berada di belakang profesor Rosemary. "Kumohon tenanglah." Perlahan ia memegangi lengan Rosemary. Meskipun Ambrosia kesal, tapi membunuh sesama profesor di Eidothea bukanlah hal baik dan akan jadi masalah juga.

Rosemary menatap nyalang pada profesor Prambudi yang terlihat ketakutan bahkan tubuhnya gemetar. "Memohon ampun lah dan tarik perkataan Anda sebelumnya."

Maka benar, dalam posisi duduk di kursi, profesor Prambudi meletakkan kedua tangannya di kedua lutut lalu dia membungkuk penuh ketakutan sampai keringatnya menetes. "Aku meminta maaf atas semua perkataanku yang tak baik itu, aku takkan memikirkan dan mengulanginya lagi, jadi tolong maafkan atas segala perkataanku yang kurang ajar itu."

"Kupegang kata-kata Anda," ujar Rosemary perlahan menarik pedangnya. "Namun, jika aku mendengar sedikit saja Anda mengulangi perkataan menjijikkan itu di hadapan para murid terutama Aalisha De Lune. Niscaya aku akan memastikan kepala Anda masuk kerangkeng besi kemudian ditusuk besi panas."

Rosemary perlahan berbalik, ia tersenyum simpul pada Ambrosia, lalu terdengar suara pria yang sepertinya menikmati apa yang terjadi di hadapannya. "Aku penasaran, kira-kira apakah besok banyak murid yang kepalanya masih utuh atau dipenggal karena kutahu kalau Aalisha banyak dihina para murid. Jika aku jadi dia, maka sudah kueksekusi mereka semua."

"Rosemary," ujar Ambrosia ingin sahabatnya itu berhenti. Kenapa pula pria itu memprovokasi profesor Rosemary!

"Sebentar saja," balas Rosemary tersenyum manis, ia sangat cantik, lalu mengelus pelan puncak kepala Ambrosia.

Rosemary mulai melangkah menuju pria yang menceletuk sebelumnya. Sepatu high heels Rosemary terdengar sepanjang dia melangkah. Kini dia berhenti tepat di depan master Arthur yang duduk tak jauh dari profesor Eugenius.

"Apa sekarang Anda ingin memenggal leherku? Apa aku ada berbuat kesalahan?" ucap master Arthur.

"Anda sejak awal mengetahui kalau Aalisha adalah keturunan De Lune, apa aku benar?" ujar Rosemary tanpa basa-basi yang langsung mendapat senyuman kecil dari Arthur.

"Ya, aku tahu."

Satu ruangan kembali tercengang meski tidak sampai membuat jantung copot atau pingsan. "Ah, pantas saja Anda tiba-tiba mau membantu seorang bocah membeli keperluannya sebelum masuk Eidothea. Dari mana Anda tahu dia De Lune, apakah si Owen brengsek yang jadi sahabat Anda itu?" Sengaja Rosemary menambahkan umpatan setelah nama Owen karena ia benci sekali karena sahabatnya, Ambrosia dicampakkan pria keturunan cabang De Lune itu.

"Oh." Sesaat Arthur berpikir, andai Aalisha De Lune sudah dewasa, maka sifatnya bisa saja seperti profesor Rosemary. Apakah hanya kebetulan? "Sayangnya aku tak sedekat itu dengan Owen De Lune, lalu kurasa, aku punya rahasia sehingga aku tak bisa mengatakan dari mana aku tahu Aalisha adalah putri De Lune. Namun, intinya aku tahu dia De Lune karena inilah aku tak mengkhawatirkan anak itu meski terkena musibah besar."

"Benar kata banyak orang ya," sahut Rosemary seraya mendekatkan wajahnya pada Arthur dengan tatapannya yang sangat mengerikan. "Semua pria itu berengsek, terutama Anda dan Owen De Lune."

"Terima kasih atas pujiannya," balas Arthur tersenyum sangat tampan.

Rosemary berdecak. "Mari akhiri ini, aku lelah dan hendak beristirahat. Ambrosia, kaujuga tidurlah sekarang, biarkan urusan ini diselesaikan para orang tua."

Entah Arthur kesal dengan Rosemary atau ada urusan lain, tetapi dia berdiri dari kursinya. "Kurasa benar yang dikatakan Rosemary, mari sudahi dan lanjutkan di rapat lain waktu, jika bisa dengan Aalisha De Lune langsung, kurasa pasti ada yang hendak anak itu bicarakan mengenai dirinya seperti jangan sampai identitasnya tersebar keluar akademi."

"Arthur benar," ucap profesor Eugenius, "mari beristirahat, kita semua sudah cukup lelah."

"Tunggu!" ucap Arthur, "masih ada hal yang harus kukatakan pada profesor Astrophel dan profesor Xerxes."

"Apa?" sahut Xerxes.

Arthur tersenyum, ia menatap pada kedua keturunan cabang Majestic Families itu, satunya Nerezza dan satunya lagi Kieran Zalana "Pasti terungkapnya identitas Aalisha sebagai De Lune cukup mengguncang. Aku tahu jika sesama Majestic Majestic biasanya saling mencari informasi maupun desas-desus atau skandal untuk dilaporkan pada Kepala Keluarga. Meskipun delapan Majestic Families dianggap pelindung, tetapi jauh di dalamnya, kalian sering berseteru bahkan tak jarang ada pertumpahan darah sesama keturunan Majestic Families. Begitu pula kini, akan jadi informasi eksklusif jika kalian melaporkan kepada Kepala Keluarga kalian mengenai keturunan kedua De Lune."

"Apakah Anda menuduh kami, jika kami akan melaporkan mengenai Aalisha De Lune kepada Kepala Keluarga?" sahut Xerxes.

"Hanya antisipasi. Kalian adalah pengajar, jadi setidaknya masih punya hati dengan mengutamakan para murid, tapi sulit ya melupakan tugas sebagai keturunan Majestic Families." Arthur berucap.

"Jadi apa yang akan Anda lakukan pada kami, Arthur?" Kini Astrophel yang berujar.

"Meskipun kita bersahabat, jika kalian berani melaporkan identitas Aalisha pada pihak keluarga kalian, maka aku takkan segan menyeret dan merantai kalian agar bungkam selamanya." Detik itu, semua tahu bahwa Arthur Hugo Ellard tidak main-main dengan perkataannya.

Satu pertanyaan, apakah Arthur sesayang itu pada muridnya atau ada alasan lain di balik semua tindak-tanduknya?

Suara ledakan terdengar yang membuat master Aragon tersadar dari lamunannya mengenai cerita tentang pertemuan setelah identitas Aalisha terungkap itu selesai. Ia pun berteriak pada muridnya karena terluka akibat kekuatan senjata magisnya yang tak bisa dia kendalikan.

"Kurasa karena anak-anak itu masih terbawa suasana liburan jadi mereka belum fokus," jelas Orly master Aragon.

"Masih hendak liburan?! Kalau seperti ini terus mereka pasti akan menangis jika tiba-tiba dikirim ke medan perang!" Maka ia lekas melangkah seraya berteriak, "baru 25 murid yang nilainya mencapai rata-rata dari total murid yang mencapai 100 ini, jika yang mencapai nilai rata-rata rata tidak di atas 40 murid maka kalian semua akan mendapat hukuman!"

"APAAA?!" teriak mereka serempak, bahkan murid yang bersantai dan berbaring di rerumputan sontak berdiri.

"Jadi serius dan fokus lah!!! Kurang dari 40, kalian akan dihukum! Tiga kelas dihukum bersamaan!"

Riuh terdengar, para murid yang belum mendapat giliran jadi merasa terbebani. Mereka mulai serius dengan memasang kuda-kuda serta melakukan nereum terlebih dahulu agar hasilnya maksimal, supaya mereka tak susah mengaktifkan senjata mereka dan mampu menyerang dengan benar.

"Yang lain serius juga ya! Agar tak dihukum dan dapat nilai bagus!" teriak murid dari asrama Gwenaelle.

"Serius lah! Kau mau kita dihukum?" Murid perempuan asal Drystan kesal pada temannya karena sejak tadi terlihat lemas bahkan mengangkat senjata magisnya saja tidak mampu.

"Demi Dewa, masa kautak bisa mengenai sasarannya! Padahal sudah diajarkan berkali-kali!"

"Kau gunakan senjata magis jenis panah, harusnya bisa mengenai sasaran dengan mudah kenapa malah melenceng, huh!"

"Jangan kau serang ke arah sini! Lihat bonekamu di sana!"

"Tolonglah, jangan kau serang kami! Perhatikan arah serangannya!"

Aalisha merasa lelah melihat keributan para murid, ia semakin lelah mendengar teriakan para murid seperti seekor lebah yang berkerumun. Jadi dalam posisi berbaring, dia menengok ke arah Anila, Mylo, dan Gilbert yang mengelilingi Frisca yang terlihat sedang kesusahan. Ia juga melirik para murid lainnya yang berkumpul seolah-olah membantu yang berada di gilirannya untuk menyerang boneka kayu. Dia juga mendengar bisik-bisik murid yang membicarakannya karena gadis itu sudah tak perlu khawatir akan nilainya bahkan dia diberi perlakuan khusus agar tak usah ikut praktik hari ini. Hello! Bukan Aalisha yang menginginkan hal itu, master Aragon menyuruhnya agar Aalisha tak menghancurkan lapangan lagi! Sialan, untung saja dia tak kesal kalau iya sepertinya Aalisha siap untuk meratakan lapangan ini.

Kini dia kembali memperhatikan Anila dan lainnya, padahal dia mau menutup matanya lagi dan melanjutkan tidurnya, tetapi malah bangun kemudian menuju yang lainnya. Ternyata sebentar lagi giliran Frisca, tetapi sejak tadi dia tak kunjung bisa mengaktifkan pedangnya.

"Ayolah Anila masa kau tak tahu?" ujar Gilbert, "bantu Frisca mengaktifkan pedangnya!"

"Kaupikir ini senjataku? Aku hanya tahu tekniknya, bukan meminta pedang orang lain aktif! Lagi pula yang bisa mengaktifkannya hanyalah masternya!" balas Anila jadi kesal.

"Tidakkah ada mantra untuk mengaktifkan senjata dengan mudah?" tanya Mylo.

"Cuma ada tombol aktif dan non-aktif di pedangnya, tinggal tekan saja!" sahut Anila.

"Jadi beneran bisa begitu?" balas Mylo.

"Tentu saja tidak, dasar bodoh!" Sudah habis kesabaran Anila.

"Kalian meributkan apa?" Sontak mereka berempat terkejut dan menatap pada gadis kecil yang baru datang itu.

"Baru bangun kau," ujar Frisca, "jangan pedulikan, aku hanya sulit mengaktifkan senjataku. Sialan, sebentar lagi giliranku."

Gilbert menimpali, "ya, sejak tadi sudah dicoba, tetapi tidak kunjung bisa. Sepertinya kaukurang melakukan nereum."

"Sepertinya bukan bermasalah di nereum," sahut Anila.

"Senjatanya palsu mungkin, jadi bukan senjata magis? Atau senjatanya ngambek barangkali marah padamu?" Mylo berujar asal-asalan.

"Lebih parah lagi isi otakmu itu," tukas Gilbert, "mana bisa senjata magis marah atau ngambek!"

"Tidak," balas Aalisha, "kurasa Mylo benar. Senjatanya ngambek."

"Kauserius dengan perkataanmu atau mau menghiburku?" ujar Frisca.

"Apakah aku terlihat seperti bercanda," sahut Aalisha menatap sinis. Ia lalu mendekati Frisca. "Setahuku senjata magis punya kesadaran tersendiri atas inilah senjata magis bisa diaktifkan. Dikarenakan punya kesadaran, ibaratkan saja senjata ini seperti makhluk hidup."

"Jadi ...." Frisca masih agak bingung.

"Mudahnya begini, senjata magis diibaratkan seperti makhluk hidup, mereka punya kesadaran, inilah yang membuat senjata magis memilih master yang cocok untuknya serta bisa berakibat fatal jika digunakan oleh orang lain yang tidak cocok dengannya. Sehingga senjata magis bisa menolak untuk diaktifkan kalau mereka tak mau, alasannya cukup banyak, entah kaujarang menggunakannya atau tidak akrab dengan senjata magismu, bisa juga karena senjata ini sedang marah."

Aalisha bisa dengan sabar menjelaskan. Ia kini menjadi sorotan para murid terutama yang kesulitan pula dalam mengaktifkan senjata magisnya. Hal ini mencuri perhatian master Aragon. Bagaimana bisa keturunan Majestic Families yang dikenal congkak, mau membantu orang lain?

"Jadi bagaimana agar senjata ini mau diaktifkan kalau lagi ngambek?" tanya Frisca.

"Coba mulai mengakrabkan diri dan lakukan nereum dengan perlahan kemudian biarkan energi dari senjatamu menyatu dengan neith-mu." Perlahan Aalisha menarik pedangnya. "Biar kucontohkan."

Kini semua memperhatikan Aalisha dengan pedang Aeternitas-nya, mula-mula pedang itu tidak terjadi apa-apa, lalu ketika diaktifkan, mulai cahaya biru mengalir dan terasa energi kuat di sana. "Fokus untuk mengalirkan neith-mu di bilah pedang jika menggunakan pedang agar mempermudah energi senjata menyatu. Lalu cobalah untuk berkomunikasi dengan senjatamu ...."

"Komunikasi?!" Gilbert berujar tiba-tiba.

Aalisha lekas menatap sinis pada Gilbert. "Apakah aku mengizinkanmu menginterupsi penjelasanku?"

"Aku tak bermaksud! Hanya saja, aku terkejut saat kau berkata tentang berkomunikasi dengan senjata magis," jelas Gilbert.

Aalisha berusaha menenangkan dirinya. "Apakah kalian semua tak pernah diajari sejak kecil jika senjata magis punya kesadaran?"

Para murid mengelilingi Aalisha, Ada beberapa murid yang mengangguk, ada pula yang berkata jika mereka tahu, tapi tidak pernah menyadari jika ada teknik komunikasi khusus dengan senjata magis.

"Aku enggan menjelaskan panjang lebar. Namun, intinya, setiap senjata memiliki kesadaran diri jadi master atau pemiliknya harus sesering mungkin melakukan komunikasi agar kalian bisa akrab dengan senjata kalian. Komunikasi tidak harus berteriak seperti komunikasi kita dengan sesama manusia, tapi cukup dalam hati atau seolah-olah melakukan telepati."

Terlihat sangat rajin para murid itu mencatat setiap perkataan penting yang keluar dari mulut Aalisha. "Baiklah kulanjutkan. Setelah merasa akrab dengan senjata kalian. Terus pertahankan neith kalian, kemudian ayunkan perlahan dan sebisa mungkin tetap pertahankan kestabilan neith-nya agar partikel neith-nya tidak berantakan atau terhambur jadi ketika menyerang, efek daya serangannya tidak berkurang."

Maka Aalisha mengayunkan pedangnya, menyerang tepat di samping boneka sehingga membuat tanahnya jadi rusak sedikit, ah gawat, master Aragon pasti marah lagi. "Sialan, kekuatanku terlalu besar." Ia menggunakan sihir sehingga tanah yang rusak itu kembali seperti semula. Makin saja para murid memuji Aalisha.

"Sekarang giliranmu," ujar Aalisha, "perlahan saja."

Senyuman terukir di wajah Frisca, ia merasa senang karena Aalisha mau membantunya. Maka sesuai dengan instruksi dari Aalisha, ia perlahan-lahan mempraktikkannya. Awal-awal sangat sulit karena dia memang tak ahli dalam menggunakan senjata, tetapi dia tak mau gagal, takut jika Aalisha marah padanya. Hingga akhirnya ia berhasil mengaktifkan senjatanya meski aura kekuatannya tak begitu besar. Hendak sekali dia memeluk Aalisha.

"Jangan peluk," sahut gadis itu, "fokus pada senjatamu!"

"Baiklah, baiklah, selanjutnya apa?" Frisca menatap Aalisha yang menghela napas panjang.

"Ya serang boneka itu!"

"Tak ada tips agar aku bisa menghancurkannya?"

"Fokus untuk mengendalikan neith-mu agar selalu stabil, jadi ketika pedangmu diayunkan maka kekuatannya akan tetap sama, tidak berkurang! Jadi, lakukanlah!" Aalisha menekankan perkataannya. Ia sangat tidak cocok menjadi mentor karena galak sekali.

Maka Frisca mulai melakukan serangan, serangan pertama gagal menembus selubung neith pelindung boneka. Ia harus fokus karena tersisa dua kali serangan, lalu diayunkan pedangnya lagi, serangan kedua berhasil menghancurkan pelindung dari boneka, kini ia harus berhasil agar mendapatkan nilai bagus. Sayangnya, serangan Frisca hanya membuat tubuh boneka itu retak dan tidak hancur apalagi berubah jadi puing-puing seperti yang Aalisha lakukan. Meskipun begitu, apa yang dilakukan Frisca sudah sangat cukup.

"Lumayan, lumayan," ujar Gilbert, "ya 'kan Aalisha?"

Aalisha mengangguk. "Ya, tak buruk meski sangat jauh dari yang kuharapkan."

"Tak masalah, aku tetap bangga pada usahaku!" teriak Frisca, tetapi dia senang saja.

"Syukurlah, yang penting tidak gagal atau meledak dan wajah gosong," ujar Anila.

"Apakah kini kita harus berguru pada Aalisha," timpal Mylo yang langsung mendapat tatapan tajam dari Aalisha.

Lekas si gadis kecil menjawab, "kau harus membayar seharga Kastil Terbang jika mau belajar dari---"

"HEEEIII!!! MENJAUH DARI SANA!"

Serangan tak terkendali dari seorang murid asrama Faelyn menggunakan senjata tipe pedang claymore mengarah pada mereka, serangan itu berupa kilatan cahaya dari neith yang berwarna merah pudar serta mampu membuat tanah tergores seolah ada ribuan pedang kecil di kilatan cahaya itu. Sudah dipastikan jika siapa pun yang terkena serangannya itu akan terluka parah, setidaknya tubuh penuh goresan dan mengeluarkan darah. Ya, begitulah harusnya karena murid secerdas Anila Andromeda saja tidak sempat membuat pelindung. Apakah mereka akan terluka?

Maka dengan gerakan yang cepat, Aalisha menarik kerah seragam Mylo serta tangan Anila karena mereka berdua berada tepat di depannya serta paling dekat dengan serangan tak terkendali tersebut, kini tangan gadis itu terarah ke depan, lalu dia merapalkan mantra.

"Mutatio Vota, dandelion's." Dalam sekejap---sebelum serangan itu menyentuh kulit mereka---Aalisha berhasil mengubah serangan itu menjadi bunga-bunga dandelion lalu biji benih dandelion beterbangan karena tertiup angin. Betapa indahnya ketika bunga-bunga itu berguguran ke tanah dan biji benihnya melayang dan terbang seolah mengelilingi gadis kecil itu yang berhasil menyelamatkan teman-temannya sehingga tak satu pun ada yang terluka.

Detik itu pula, banyak yang terkagum pada Aalisha, ada pula yang bertepuk tangan dan bersorak-sorai, bahkan beberapa murid mulai menjadi penggemarnya. Ah, sepertinya Aalisha benci jika memiliki penggemar. Lalu tanpa Aalisha sadari, di antara gerombolan para murid yang menyaksikan kehebatan yang dia lakukan. Salah satunya bergumam sangat pelan seolah hanya para dewa yang mendengar gumaman itu.

"Demi Dewa, aku terpesona dengannya."

****

Kamar mandi atau toilet khusus perempuan kini sangat penuh karena para murid berganti seragam. Mereka malas kembali ke asrama, terlebih matahari bersinar terik sedangkan kelas selanjutnya sebentar lagi. Aalisha, Anila, dan juga Frisca juga berganti seragam di sana. Terdengar para murid mulai bergosip hal-hal aneh yang terjadi di Eidothea. Salah satunya, seorang murid mendengar cerita dari kakak tingkatnya bahwa pernah ada kejadian di Akademi ini sekitar beberapa tahun lalu, yakni murid perempuan yang merupakan putri bangsawan Baron menghilang selama semalam.

"Katanya putri Baron itu tiba-tiba menghilang ketika pulang sendirian melewati koridor yang dekat dengan perpustakaan. Akhirnya dilakukan pencarian hingga melibatkan para Orly dan beberapa profesor, lalu ditemukan esok harinya dalam keadaan pingsan. Ketika sudah sadar, ditanyalah murid itu, dia bercerita jika dia hilang kemudian muncul di tempat antah-berantah, sangat aneh tempat itu, sayangnya dia tak ingat detail bagaimana tempat antah-berantah itu."

Murid lain menyahuti, "kurasa dia berteleportasi."

"Memangnya bisa?" tanya murid lain.

"Tentu saja bisa, tapi kecil kemungkinannya, apalagi sihir teleportasi sangatlah sulit dilakukan, orang dewasa saja masih banyak yang tak bisa menggunakan sihir teleportasi!"

"Benar sekali, kecuali kau diberkahi seperti Majestic Families!" Sontak mereka semua langsung senyap karena sadar ada Aalisha di ruangan itu juga yang sedang fokus membaca novel selagi menunggu Anila dan Frisca selesai berganti seragam.

"Duh, harus jaga mulut," gumam murid yang berujar sebelumnya. "Intinya pasti susah menggunakan sihir teleportasi lagi pula untuk apa dia berteleportasi keluar akademi, terlebih pas ditemukan sudah penuh luka-luka, apa dia mau kabur dari Eidothea? Dia pikir ini penjara." Ia berujar lagi.

"Aku setuju saja dengan perkataanmu, tapi sebenarnya bisa saja 'kan seseorang berteleportasi meski bukan dia yang menggunakan sihir itu. Maksudku konsepnya seperti gerbang teleportasi di kota-kota untuk mempermudah akses, lagian ada sihir teleportasi yang menggunakan kunci jadi bisa berpindah sesuai lokasi kunci itu diatur."

"Benar sekali perkataanmu Nak." Suara itu terdengar di sisi lain ruangan itu, tepatnya di sebuah meja bundar dan kursi, tetapi melayang-layang. Di kursi itu, seorang perempuan dengan gaun biru dongker serta ada renda, penuh dengan manik-manik, mengenakan kalung berlian, rambutnya bergelombang sehingga diikat dua kanan-kiri kemudian berwarna blonde. Mejanya begitu penuh makanan kecil seperti kue, ada pula teko dan cangkir.

"Nona Tilliana, senang bertemu denganmu," sapa salah satu murid, lalu temannya berbisik.

"Siapa dia?"

"Orly, tenang saja, dia baik meski aneh," balasnya setengah berbisik.

Teman lainnya ikutan berbisik. "Jelas sekali aneh, mana ada minum teh di toilet. Untung dia perempuan, kalau Galee Gila yang di sini, sudah kutonjok."

"Apa Anda tahu cerita tentang murid yang menghilang kemudian dia terdampar di tempat antah-berantah, karena banyak yang berkata jika dia hanya mengigau," ujar murid yang membawa gosip itu.

"Aku lupa nama anak itu," ujar Tilliana seraya meletakkan cangkirnya. "Dia sudah lulus dari akademi ini, setahun sebelum kalian kemari. Memang banyak yang berkata jika dia mengigau dan hanya tersesat di akademi. Namun, tak menutup kemungkinan jika dia benar tiba di tempat antah-berantah yang ia maksudkan, sayangnya dia tak ingat bagaimana caranya dia berada di tempat itu dan apa yang terjadi padanya. Lalu mengenai teleportasi yang kalian bicarakan tadi, kurasa di akademi ini ada sesuatu yang merupakan kunci gerbang teleportasi."

"Jangan-jangan selain putri Baron itu, ada murid lain juga yang pernah menghilang?"

Tilliana menatap para murid angkatan tahun pertama itu. "Apa yang kalian harapkan dari akademi ini? Percayalah padaku, kalian bisa menemukan sarang penuh ular kobra di sini jika kalian benar ingin mencarinya. Jadi jangan heran jika seorang murid tiba-tiba menghilang kemudian kembali tanpa ingat ke mana dia pergi ...." Perlahan dia meraih cangkirnya, ia seruput tehnya, seraya manik mata hijaunya menatap pada seorang gadis berambut hitam dengan kedua temannya hendak keluar dari toilet ini.

"Yang Mulia De Lune," panggil Tilliana.

Langkah Aalisha berhenti, ia melirik pada Tilliana. Apa pula Orly itu memanggilnya?

"Tidakkah Anda mau menerima undangan minum teh denganku," ujar Tilliana.

"Tidak," balas Aalisha, "karena saat ini, aku hanya menerima undangan pesta teh dari profesor Ambrosia dan nona Lilura."

"Sayang sekali, sampai jumpa lagi kalau begitu," balas Tilliana kecewa, ia bahkan menatap Aalisha hingga gadis itu benar-benar pergi.

"Apa Anda sedih?" tanya seorang murid.

"Sedikit, agak sesak juga ditolak langsung oleh Keturunan Keluarga Agung."

"Nona Tilliana, aku punya pertanyaan. Kira-kira Anda punya asumsi ke mana putri Baron menghilang?"

"Ah, mengenai itu. Aku berani bertaruh, tempat antah-berantah yang dimaksudkan putri Baron itu adalah sebuah dungeon yang misterius." Senyuman Tilliana terukir lebar. "Akademi ini memang penuh dengan rahasia."

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

So funny, komedi chapter ini adalah seorang profesor mengatakan Aalisha anak haram? Beruntung dia tidak dipenggal~

Bahan hujatan baru unlocked; Profesor Conor Prambudi.

Aalisha kadang ada baiknya ya, meski dikit dan sebesar biji pasir^^

Prins Llumière

Sabtu, 9 Desember 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top