Chapter 10

|| Alasan bertahan baca cerita ini?

|| Pendapat kalian mengenai Kepala Keluarga De Lune alias Ayah Aalisha?

Suatu malam, seorang gadis cilik dengan gaun hitam tengah menyusuri padang rumput. Ia tidak takut pada malam karena mempersembahkan ribuan bintang yang berkilauan, lagi pula ketika dia melangkah, para kunang-kunang senantiasa mengikutinya. Ia bahagia, begitulah yang terlihat. Namun, jauh dalam lubuk hatinya ada labirin yang sulit dipahami. Hingga di persimpangan, langkahnya berhenti ketika dia melihat seseorang di malam ini selain dirinya. Seseorang yang mengenakan pakaian putih bersih. Sangat kontras dari gaunnya. Meskipun begitu, Sang gadis cilik tak segan untuk berlari menuju seseorang dengan pakaian putih itu.

Ia rasa, ia bisa mengejarnya.

Mendekap tubuhnya. Begitu erat.

Hanya saja, rantai yang mengikat leher serta kedua tangan dan kaki gadis itu, menghentikannya. Ia pun kehilangan. Hilang, tak tergapai.

Aalisha terbangun dari tidurnya, suara jam berdetak terdengar, sunyi sekali. Ia menutup matanya dengan lengan seraya menghela napas. Ia terkadang benci tidur karena mimpinya selalu buruk. Ia benci ketika dia dan pria itu muncul di mimpinya. Setelah merasa baikkan, ia bangkit perlahan, turun dari kasurnya, menginjak karpet, lalu menuju jendela yang ternyata masih gelap di luar sana. Ah, pantas saja, pukul setengah empat lewat.

Ia pun beranjak ke kamar mandi, membersihkan diri, setelah segar, ia mengenakan pakaian latihan karena hari ini ada kelas Latih tanding dan pedang yang diajarkan master Aragon. Manik matanya menatap sinis pantulan cerminnya. Entah apa yang ia pikirkan sampai-sampai melamun. Ia menggeleng, menuju meja belajarnya, lalu duduk seraya membuka buku pelajaran, dibacanya meskipun ia sudah paham isi dari buku teori itu. Aalisha menghabiskan waktu setengah jam lebih untuk membaca atau alasan dia mengenyahkan isi pikirannya? Merasa sudah waktunya untuk keluar---ia hendak jalan-jalan pagi sendirian sebelum sarapan---lekas merapikan buku-bukunya, tak sengaja sebuah plester biru gambar bintang jatuh ke lantai, ia ambil plester tersebut, ditatapnya seolah ada sesuatu yang cukup membuatnya terdiam lalu ia remas plester tersebut kemudian dibuangnya ke tempat sampah. Aalisha pun keluar dari kamarnya.

****

Baru disadarinya kalau semalam hujan deras karena rerumputan basah dan sebagian jalan setapak di Eidothea tergenang air dan becek. Semua itu tidak menurunkan niat Aalisha untuk jalan pagi. Dia suka ketenangan di pagi hari sebelum riuh para murid mengacaukan akademi ini. Maka lapangan sebelah timur menjadi pilihannya untuk jalan pagi.

Rerumputan terhampar luas, pepohonan sangat subur, masih tercium semerbak bau setelah hujan turun, begitu asri dan menenangkan. Aalisha memicingkan mata, ia tak salah lihat 'kan? Kalau tak jauh darinya ada seseorang yang sedang memberi makan burung elang atau itu ternyata hantu, barangkali si Galee Ginan yang menyamar jadi manusia? Semakin dia melangkah, tebakannya benar jika tak jauh darinya adalah manusia yang ternyata pengajar di Akademi ini.

"Suatu kehormatan bisa bertemu dengan Anda di sini, Nona De Lune." Pria itu menyapa seraya berbalik dan memberikan penghormatan.

Terasa familier, di mana ya? "Salam, Profesor Astrophel. Apa yang Anda lakukan di sini, jalan pagi sepertiku?" Aalisha ingat. Pertemuannya dengan master Arthur ketika pria sialan itu menjemputnya untuk menemani Aalisha mencari barang-barang sebelum ke akademi.

"Bisa dibilang begitu. Rasanya sejuk menghirup udara di pagi hari. Kebetulan juga aku sedang membantu pekerjaan seseorang," jelas profesor Astrophel.

Entah mengapa Aalisha merasa bahwa cerita persahabatan antara Arthur dan Astrophel tak benar. Masalahnya bagaimana bisa si Arthur yang kejam itu bersahabat dengan Astrophel yang terlihat lembut dan baik hati? Oh Dewa, persahabatan manusia memang aneh!

"Membantu pekerjaan seseorang, siapa?" ujar Aalisha yang tak lama terdengar suara derap langkah begitu besar, tanah jadi sedikit terguncang.

"Oh ada Nona Aalisha ternyata. Apa kabarmu? Baik-baik saja 'kan?" Suara yang berat seperti sosok Sinterklas di musim dingin berasal dari tuan Howard. Tunggu, apa di belakang pria besar itu adalah Wyvern?

"Aramis," ucap Aalisha. Langsung saja Aramis menarik lehernya sehingga terjatuh lah master Howard karena dia memegangi rantai yang mengikat Wyvern itu. "Tunggu, Aramis! Jangan berlari!"

Sosok Wyvern yang lehernya diberi rantai pengekang itu berhenti beberapa sentimeter dari Aalisha kemudian menatap gadis itu dengan mata berbinar-binar. Hal ini mengundang tatapan dari profesor Astrophel maupun master Howard. Entah gadis De Lune itu menggunakan kemampuannya atau memang naluri para binatang magis menghormati dan menyukainya?

Di sisi lain, Aalisha masih sulit berada di dekat Aramis. Ia memegang pendiriannya jika memelihara seekor naga atau Wyvern di Akademi adalah tindakan konyol. "Master Howard, mengapa Anda bawa makhluk ini kemari?"

"Aku berniat mengajaknya berkeliling, kasihan dia, bosan jika hanya berdiam di kandang," jelas master Howard. Sebenarnya alasan itu cukup bisa diterima meski tak umum karena biasanya mengajak kucing atau anjing jalan-jalan, tetapi ini malah Wyvern.

"Kalau begitu lakukanlah, aku hendak kembali." Aalisha mau berbalik, tetapi embusan napas Aramis begitu kuat, terasa panas seolah api hendak menyembur, Aramis sebenarnya enggan pergi dengan pria tukang penanganan binatang di sebelahnya ini-maksudnya tuan Howard.

"Kurasa dia menolak pergi denganmu, Tuan Howard," ujar profesor Astrophel tersenyum tipis karena Wyvern itu terlihat lucu sekali. Padahal pertama kali kemari makhluk itu sangat seram, tetapi setelah bertemu Aalisha kemudian diberi nama olehnya, tingkahnya berubah, ya meskipun hanya pada Aalisha saja.

"Tentu saja!" balas tuan Howard, "ada pemiliknya di sini! Dan makhluk ini hanya mau dengan pemiliknya!"

Aalisha tersenyum. "Maaf, aku bukan pemiliknya!"

"Namun, kau beri dia nama," sahut tuan Howard.

"Aku beri dia nama karena dia meminta padaku, dia bilang kalau nama yang Anda berikan sebelumnya terdengar sangatlah buruk," balas Aalisha yang tak peduli apakah kalimatnya menusuk hati atau tidak.

"Benarkah seburuk itu?" Tuan Howard berpikir, sebelumnya ia punya beberapa rekomendasi nama untuk Aramis, seperti Popori, Poyo, Muku, Mayo, Mimi, dan beberapa lagi, tapi sudah agak lupa. "Karena kau beri dia nama, artinya kau semakin jadi pemiliknya."

Lucu sekali Aramis yang seperti menganggukkan kepalanya dan memberi kode bahwa Aalisha menjadi pemiliknya, tetapi gadis itu malah menyangkal dan sama sekali enggan jadi pemilik Aramis meskipun dipikir-pikir sangatlah hebat punya peliharaan sejenis naga atau Wyvern. Kapan lagi punya peliharaan naga di dunia?

"Tidak. Aku tak mau, tapi bisakah aku meminta sesuatu." Aalisha menggerakkan jari telunjuknya yang seketika rantai pengekang leher Aramis terbuka dan jatuh ke tanah. "Tolong jangan beri dia rantai karena dia peliharaan bukan monster liar."

"Aih, semakin saja kau terlihat sebagai pemiliknya! Akuilah kalau kau menyukai Wyvern ini!" Masih saja tuan Howard keukeuh dengan perkataannya.

"Aku izin pamit---"

"Nona Aalisha bagaimana jika Anda yang membawa Aramis berkeliling?" ujar profesor Astrophel, "Aramis haruslah tetap terbang untuk menjaga nalurinya, jadi barangkali Anda mau terbang bersama dengannya."

"Terbang," ujar Aalisha seraya berbalik. Ia jadi penasaran. "Maksud Anda, aku menaiki Aramis dan dia membawaku terbang?"

"Ya, tentu saja. Aramis pasti senang, lagi pula bukankah Anda belum pernah terbang menaiki naga sebelumnya?" Senyum profesor Astrophel terukir, ia menatap Howard seolah rencananya ini akan berhasil.

"Ayolah Nona Aalisha, ini akan jadi pengalaman yang menarik seperti kau menaiki seekor pegasus atau griffin," ujar master Howard.

"Aku tak pernah menaiki naga atau sejenisnya, jadi akan kucoba," ujar Aalisha sembari mendekati Aramis, sudah agak menunduk Wyvern itu. Kini Aalisha memikirkan cara untuk naik, sebenarnya mudah, dia bisa memanjat tebing maka hal seperti ini bukan masalah. "Baiklah aku harus naik---ehhh."

Tanpa berkata apa-apa, tuan Howard menggendong Aalisha, diangkatnya begitu mudah karena gadis itu ringan saja, kini Aalisha duduk di atas Aramis yang terlihat bahagia sekali sementara Aalisha merasa jantungnya hampir copot. "Lain kali katakan permisi dahulu! Lagi pula, aku bisa naik sendiri tanpa bantuan Anda!"

"Oops," ucap tuan Howard, "kupikir kau tak bisa naik."

"Lupakan," sahut Aalisha enggan bertengkar dan berdebat. Kini dia diam, mengedarkan pandangannya, lalu menatap Aramis. "Jadi bagaimana caramu membawaku terbang? Lalu jika kau jatuhkan aku, niscaya kau akan kuhukum."

Aramis menggeleng seolah ia sudah berjanji demi hidupnya jika ia takkan menjatuhkan Aalisha. "Baiklah jika kau berjanji, mulai perlahan saja."

Getaran terdengar ketika Aramis mulai melangkah pelan, lalu ancang-ancang untuk terbang, ketika sayapnya terbentang, ia pun mulai mengepakkannya. Bisa terdengar suara tuan Howard yang tertawa kencang saking dia senangnya melihat Aramis terbang. Berada di atas, Aalisha bisa melihat tuan Howard dan profesor Astrophel yang mengecil.

Suara Aramis terdengar, ia seperti meminta izin pada Aalisha apakah dia harus membawa Aalisha terbang keliling akademi atau menurunkannya? "Ya, bawa aku terbang."

Maka dengan sekali anggukan, Aramis mulai mengepakkan sayapnya lebih cepat dan kencang yang sukses dia membawa Aalisha mengudara. Awalnya gadis itu menutup mata karena ini pertama kalinya dia menaiki dan duduk di atas seekor makhluk terbang, Wyvern pula! Ia mulai merasakan terpaan angin yang dingin dan sejuk. Aramis mengudara lebih stabil ketika sudah di langit. Maka perlahan Aalisha membuka matanya; indah, hal yang pertama dia lihat adalah keindahan ketika ia berada di udara kemudian menyaksikan langit terbentang luas, hamparan rerumputan yang begitu hijau. Ia semakin takjub, begitu kagum dengan alam ciptaan Para Dewa ketika matahari perlahan terbit, benar-benar indah karena ia bisa melihat secara langsung dan begitu jelas bahkan Aramis mengakui jika matahari terbit begitu indah. Semakin saja Aalisha kagum ketika menatap awan-awan yang berarak tak terhingga jumlahnya, memperlihatkan bahwa dunia ini tak ada batasannya.

Aramis membawa Aalisha terbang ke dekat akademi, kini bisa ia lihat bangunan kastil akademi yang sering ia hina infrastrukturnya karena selalu menyesatkannya ketika hendak ke kelas. Ia bisa lihat pula bangunan lain seperti kastil kelima asrama, kastil latihan, gudang penyimpanan senjata, istal, kebun, taman akademi, rumah kaca, hingga bangunan lainnya. Semakin Aalisha sadari jika Eidothea benar-benar luas, baru tampak luarnya, belum masuk ke dalam yang entah ada ratusan ruangan yang belum terjamah olehnya.

Suara kepakan sayap Aramis terdengar, ia lalu menuju Prairie Lynx Woods, bisa Aalisha lihat betapa hutan berbahaya itu sangat luas dengan pepohonan yang hijau bahkan kata para murid jika di musim panas maupun gugur sekali pun, dedaunan pepohonannya masih banyak yang hijau. Sungguh Aalisha sama sekali tak berhenti takjub dan memuji para Dewa atas ciptaan Mereka yang sangat indah ini. Aramis bahkan terbang cukup rendah ketika mengudara di atas danau sehingga Aalisha bisa menyentuh air danau tersebut bahkan Aramis mengikuti Aalisha, sayap kanannya sedikit diturunkannya agar mengenai air, sukses Aalisha tertawa karena makhluk ini sangatlah cerdas. Selama terbang di atas danau, dikarenakan tak ada yang mengamati Aalisha, maka gadis itu merentang kedua tangannya, merasakan terpaan angin yang semakin kencang. "Ini benar-benar menakjubkan!"

Demi Para Dewa yang bertahta di Athinelon, Aalisha takkan berbohong jika dia merasa sangat bahagia. Ia berani berteriak lebih dari sekali ketika Aramis terbang dengan cepat, tetapi sama sekali tidak membuat Aalisha takut. Sepertinya gadis itu menikmati hidupnya di Eidothea meski ke depannya ada banyak malapetaka yang menimpa, tetapi tak masalah 'kan jika ia merasa senang pada detik ini? "Kurasa aku setuju jika dipanggil sebagai pemilikmu."

Maka terdengarlah raungan Aramis yang seolah menggetarkan danau, raungan yang penuh kebahagiaan karena ia mendapat keberuntungan menjadi peliharaan dari keturunan De Lune! "Iya, iya, aku tahu kau bahagia, tapi jangan teriak juga, telingaku sakit."

Aalisha diam setelah Aramis terlihat merasa agak bersalah. Kini Wyvern itu terbang rendah dan mengurangi kecepatannya sehingga mereka mengudara dengan santai. Rasanya di atas sini begitu tentram, hanya terdengar suara angin dan kepakan sayap Aramis. Sesaat Aalisha bisa melupakan segala hal yang memenuhi pikirannya. Meski hanya sesaat, ia rasa lebih baik dibandingkan setiap malam bermimpi buruk dan pria itu selalu muncul dalam mimpinya; memberikan luka yang takkan sembuh dengan mudah.

"Aramis."

Suara Aramis terdengar, ia menyahut Aalisha.

"Aku memang berkata jika aku setuju jadi pemilikmu. Namun, bisakah kau jangan berharap padaku. Aku bukan manusia yang baik. Aku bahkan tak bisa memahami diriku sendiri."

Hening, mungkin terdengar bodoh nan gila karena mengajak seekor Wyvern mengobrol. Namun, Aalisha tahu jika makhluk seperti Wyvern juga setidaknya punya hati jadi mereka pasti ada kesedihan tersendiri. Terutama binatang magis yang sulit ditebak.

"Aku ini sangat buruk, bisa saja esok hari aku akan menghancurkan dunia atau membunuhmu jadi jangan berharap padaku."

"Apa Anda pikir aku makhluk yang baik, Yang Mulia De Lune?"

Sontak Aalisha terkejut karena mendengar suara yang berat dan serak, pasti Aramis. "Kau bicara melalui pikiranku?"

"Ya, Anda De Lune. Pasti tak heran jika kita bisa berkomunikasi."

Senyuman Aalisha terukir kecil. "Apa maksud perkataanmu sebelumnya?"

"Aku hanya ingin bilang jika aku jugalah pembunuh, kini pun aku kesal ketika dibawa kemari. Isinya anak-anak lagi, dasar Kekaisaran gila dan profesormu itu! Aku terus mengutuknya! Namun, ketika bertemu denganmu, aku tak lagi marah."

"Kenapa? Apa karena kau sadar aku seorang De Lune?" ucap Aalisha.

"Mungkin, tapi lebih tepatnya karena kau memberi nama yang bagus padaku."

"Alasan bodoh." Aalisha terkekeh. Ia pasti semakin gila karena punya teman ngobrol seekor Wyvern. "Baiklah Aramis, mari kembali. Jam sarapan hampir dimulai."

Lekas Aramis mengepakkan sayapnya, memutar kemudian terbang dengan kecepatan rata-rata karena Aalisha memang tak mau terbang cepat. Ia masih belum terbiasa dan tidak lucu jika dia terjatuh dari Aramis kemudian tenggelam.

Kini rerumputan mulai terlihat. Harusnya Aalisha bisa kembali ke Eidothea dengan selamat. Namun, manik matanya malah menangkap sosok makhluk berpakaian hitam berdiri di tepi jembatan kayu di danau, tepat di bawah Aalisha dan Aramis. Semakin diperhatikan, ia bisa mengenali sosok makhluk tersebut terutama topeng gagak hitamnya. "Kannirth Pogha."

Tidak salah lagi, makhluk gagak jadi-jadian itu yang ada di tepi jembatan. Namun, apa yang dilakukannya? Mengapa bisa di wilayah Elysian, di Eidothea! Bukankah gila menampakkan diri di akademi ini karena ada puluhan penyihir kuat bahkan dari Majestic Families juga ada! "Aramis," ujar Aalisha, "turun ke bawah, ke dekat jembatan."

Suara Aramis terdengar, ia menuruti perintah Aalisha jadi Wyvern itu menukik tajam. Kemudian berhasil sampai di daratan, suara berdebum terdengar ketika kedua kaki besarnya menginjak tanah. Lekas Aalisha turun dan berlari menuju jembatan. Alasannya hendak menemui Kannirth Pogha bukan untuk celaka, tetapi memastikan jika penglihatannya tidak salah. Ia hendak tahu pula apakah benar makhluk itu nekat kemari padahal Aalisha tak memiliki liontinnya lagi. "Tenanglah," gumam Aalisha, "monster itu takkan bisa membuatku koma di rumah sakit."

Sayangnya takdir memang suka mempermainkannya. Melangkah di jembatan kayu, ia pikir akan menemukan sosok monster gagak itu, ternyata tidak! Monster itu menghilang. Aalisha berpikir jika penglihatannya salah ataukah monster itu kabur sebelum Aalisha kemari? Kini si gadis kecil melangkah, seraya mengedarkan pandangannya. "Cahaya," ujarnya menemukan cahaya putih di ujung jembatan. Ia mendekati cahaya itu yang terlihat memancarkan sihir, tetapi samar-samar.

Entah mengapa ada perasaan hendak menyentuh, tetapi Aalisha enggan melakukannya. "Lebih baik aku pergi. Aku tak berniat jadi tokoh utama dalam novel."

Bolehkah jika dia sekali saja diberikan kesempatan untuk tidak terlibat dengan masalah? Padahal Aalisha hendak menjauh, tetapi cahaya itu malah bersinar terang seketika yang sukses membuat pandangannya kabur saking terangnya cahaya itu. Ketika Aalisha membuka mata, maka langit terbentang luas yang menjadi pemandangannya, tak ia lihat daratan atau rerumputan bahkan yang tersisa hanyalah jembatan kayu yang kini dipijak olehnya. Sisanya berupa air danau yang begitu bening, tidak, air danau itu ternyata membeku seolah berubah jadi lantai cermin yang memantulkan langit-langit. Aramis pun tak ada di sekitarnya. Detik, itu Aalisha mengumpat tak henti di dalam hatinya.

"Aku benci semua ini." Ia berdiri tepat di ujung jembatan kayu sembari mengedarkan pandangannya. "Kurasa ini dungeon. Di mana ya Elterius-nya?" Tak ia temukan tanda-tanda dari pemilik dungeon ini.

Maka ia mulai melangkah ke atas danau yang airnya menjadi cermin. Gadis kecil itu sama sekali tak takut, padahal dia baru saja dibawa pergi ke sebuah dungeon entah bahaya apa yang memantinya. Tak ada pemikiran untuk meminta pertolongan atau berteriak, setidaknya memanggil nama Aramis. Dia seolah sudah terbiasa, tiba-tiba terseret ke tempat antah-berantah dan harus berjuang sendiri. Lagi pula untuk apa meminta pertolongan jika dia bisa melewati segalanya sendirian?

"Cyubes." Tidak muncul alat komunikasinya. Ia berujar lagi. "Invinirium." Tidak muncul pula kotak penyimpanannya. Sial, Aalisha kesal karena pedang Aeternitas disimpannya di dalam invinirium. Sungguh Aalisha sama sekali tak bisa memanggil apa pun. Apakah dia hanya bisa menggunakan teknik sihir di dungeon ini?

"Aku sudah di sini, jadi mana tantangannya!" Tak ia sangka, perkataan asalnya itu terjawab karena tak jauh dari posisinya, patung putih keluar dari lantai cermin.

Patung itu berukiran wajah perempuan, mengenakan selendang, memeluk sebuah buku besar yang di tengahnya ada cermin bundar. Jadi mau tak mau Aalisha melangkah ke patung itu. Ia tatap cermin yang ternyata tidak memantulkan wajahnya, melainkan memperlihatkan tempat yang sama persis dengan tempat Aalisha kini berada, tetapi penuh kesatria berpakaian putih dan membawa pedang mengkilap.

Suara dentangan menggelegar bersamaan patung putih tersebut kembali masuk ke lantai cermin maka dari arah belakang Aalisha, sekitar 10 kesatria berpakaian putih dan membawa pedang bermunculan. Cukup mengerikan para kesatria itu karena seluruh pakaian termasuk wajah mereka berwarna putih susu, terutama wajah mereka tak ada, hanya terlihat matanya, itu pun juga putih seolah mereka semua mengenakan topeng.

"Jadi apakah kalian kesatria suci yang diperintahkan Saintess atau malaikat yang akan menghukumku?" Aalisha tersenyum tipis. Tak tahu dia cara agar keluar dari sini, tetapi menghadapi para kesatria itu sepertinya salah satu jalan keluar. "Dengar ya, aku tak punya liontinnya jadi berhenti untuk mengusikku."

Suara langkah kaki yang serempak dari para kesatria terdengar. Mereka tak berniat menjawab perkataan Aalisha, barangkali tak mengerti bahasa manusia atau tidak punya mulut untuk menjawab. "Curang jika hanya aku yang tak menggunakan senjata, setidaknya berikan aku senjata."

Para kesatria putih sudah siap di posisi mereka masing-masing, serta gaya bertarung sudah dipasang bahkan neith terpancar dari diri mereka. "Serius kalian mau main keroyok? Ayolah, aku tak punya liontinnya, kejar saja tuan Thompson yang ada di Alastair!" Harus Aalisha buktikan bagaimana lagi agar mereka paham bahwa Aalisha sungguh tak punya liontin bahkan pakaian yang ia kenakan ketika musibah dungeon bersama tuan Thompson sudah ia bakar agar tak menyisakan apa pun.

Sekitar lima kesatria mulai melangkah maju, sisanya berada di posisi bertahan. Percuma Aalisha mengoceh jika yang diajaknya bicara adalah makhluk tanpa mulut. Kini Aalisha mulai menghindari setiap ayunan para kesatria putih. Begitu terasa lambat serangan mereka yang sepertinya karena pedang mereka terlalu berat. Kini Aalisha terus menghindari serangan para musuhnya dan mencari celah untuk menyerang balik setelah mempelajari pola serangan mereka.

Hingga ia berhasil di hadapan salah satu kesatria yang terlihat celah gerakannya dan sangat yakin Aalisha bisa memasuki celah itu maka dengan neith menyelimuti tangan kanannya, dia meninju keras celah itu, tetapi bukannya si kesatria terpukul mundur atau tubuhnya hancur, melainkan Aasiha yang menjerit kencang. "Sialan, sakit! Apa aku meninju batu atau besi! Tulangku rasanya mau patah! Gawat---"

Tidak sempat menghindar, dua kesatria lain sudah mengayunkan pedangnya yang berhasil menghantam perut dan leher Aalisha secara bersamaan hingga gadis itu terempas jauh serta punggungnya menghantam lantai cermin dengan kuat. Ia memuntahkan saliva serta kepalanya jadi pusing. Sungguh Aalisha tak mau dirinya terlalu banyak jeda karena pasti para kesatria akan mulai menyerang lagi. Jadi ia bangun, seraya memegangi lehernya yang sakit. "Mereka benar-benar batu bahkan pedang mereka juga sekeras batu, bukan setajam pedang pada umumnya!"

Para kesatria bergerak lagi, kini bertambah dari lima kesatria yang awalnya diam sambil memasang kuda-kuda menyerang. "Aku memang tidak sebaik Clemence ketika menggunakan sihir, tapi jangan remehkan aku. Jadi mari selesaikan secepatnya ... latreia."

Para kesatria terlihat aneh ketika mereka menyaksikan bagaimana manik mata gadis kecil itu berubah jadi emas bercahaya. Serta mulai bermunculan pentagram emas yang begitu indah ketika terpantulkan ke lantai cermin. Dalam sekejap, gerakan begitu cepat, Aalisha muncul di hadapan salah satu kesatria, ia berhasil memghindari tebasan pedangnya dan menyentuh dada kesatria itu dengan telapak tangan sambil merapalkan mantra maka satu pentagram bercahaya lalu menghasilkan serangan berupa angin beliung yang bercampur dengan gemuruh petir, berhasil menghancurkan kesatria itu, seperti batu dihantam palu besar hingga hancur berkeping-keping.

Serangan dari arah samping, tetapi dihindari Aalisha yang menunduk, lalu meletakkan kedua tangannya di lantai, ia merapalkan mantra sehingga muncul besi-besi tajam dari bawah, berhasil menembus tubuh beberapa patung, membuat pergerakkan mereka terhenti lalu mantra sebelumnya dirapalkan, angin beliung bercampur amukan petir menyambar sukses menghancurkan para patung. Terus pertarungan berjalan, Aalisha sempat terpojok ketika para patung meningkatkan kecepatan mereka. Serta pola serangan mereka berubah menjadi semakin tajam.

Sakit menjalar ketika kaki kurus Aalisha dihantam pedang sekeras batu, memang tak memotong kakinya, tapi tulangnya terasa hendak patah. Pasti kakinya membiru dan bengkak. Namun, dia mulai mengubah serangan sihirnya dengan menggunakan teknik mantra tingkat tinggi. "Igniesco!" Api membara itu menghasilkan asap hitam yang menyebar ketika meledak mengenai tubuh para kesatria putih. Sayangnya tak semua dari mereka hancur bahkan ada yang berhasil selamat meski sebagian tubuh mereka terkikis. Tak Aalisha sangka para kesatria itu menggunakan pelindung dari neith karena tahu daya serang mantra yang kuat itu.

Darah menetes dari hidung Aalisha. Perlahan diseka dengan punggung tangannya. Ia benci sekali dengan keterbatasan ini terutama densitas neith di dungeon ini sangat rendah, jadi ia sulit melakukan nereum untuk tambahan energi menggunakan sihir. Terlalu dipaksakan, ia bisa-bisa pingsan. Sudahlah, mengulur waktu tak ada gunanya, maka Aalisha meningkatkan kekuatannya, ia menggunakan mantra yang kembali menghentikan pergerakan para kesatria karena besi-besi tajam nan panjang menembus tubuh batu mereka. Lalu pentagram sihir emas bermunculan yang sukses mantra berupa ledakan api menghancurkan para patung hingga tak bersisa.

Aalisha menyeka peluh keringat yang menetes dari dagunya. Entah mengapa hawanya terasa panas. Ia terkejut pula ketika bekas dari patung yang hancur, puing-puingnya terlihat bergerak, tersedot ke belakang Aalisha. Ternyata puing-puing itu tersedot ke sebuah cahaya putih yang kini perlahan membentuk sesosok makhluk mengerikan; seperti raksasa, lebih besar dari iblis pembawa lava yang pernah hampir membunuh Aalisha dan tuan Thompson. Tubuhnya tak gemuk dan tak kurus, kaki jenjang dengan gelang kaki emas, kulit makhluk itu seputih susu, beberapa titik tubuh terutama area vital diselimuti kain emas, ada pula selendang di sekitar pinggangnya. Makhluk itu semakin mengerikan karena memiliki enam tangan, wajahnya tak kalah mengerikan; mulut terbuka lebar, lidah terjulur panjang, gigi tajam dan taring keluar dari mulutnya. Matanya besar, melotot, memerah serta bergerak karena memperhatikan Aalisha.

Makhluk apa itu? Apakah sejenis iblis atau monster? Aalisha tidak bisa mengidentifikasi makhluk itu.

Kini manik mata makhluk bertangan enam dan lidah terjulur itu menatap nyalang pada Aalisha seolah sudah menetapkan mangsanya. Sontak Aalisha melangkah mundur. Dia takut, dia sadar juga kalau dia bukanlah tandingan makhluk menyeramkan itu yang sukses membuat bulu romanya bergidik.

"Keluarkan aku dari dungeon ini," ujar Aalisha pelan, tetapi terdengar hingga telinga sang makhluk putih. Maka makhluk itu menggerakan mulutnya meski lidahnya terjulur panjang, ia seperti memberi isyarat pada Aalisha melalui gerakan bibir, tetapi sama sekali tak dipahami gadis kecil itu.

Setelah selesai berucap, detik itu Aalisha langsung berbalik, ia mulai berlari karena dua tangan dari makhluk itu bergerak kemudian ia tepuk sekali sehingga kedua tangannya benar-benar menyatu maka cahaya putih seketika bersinar terang, melahap Aalisha yang tertelan cahaya serta dungeon itu runtuh seketika.

Sakit kepala menyerang, Aalisha menstabilkan penglihatannya yang tadinya buram akibat cahaya putih begitu terang. Ia rasa tubuhnya remuk redam hancur, ia juga sadar kalau ia terbaring di tanah karena kini yang dilihat olehnya adalah pepohonan yang rindang serta hanya sedikit yang tertembus sinar matahari.

"Di mana aku?" Aalisha perlahan bangun, ia sesaat mendengar suara tulang retak dan bahu kanannya ngilu. Perlahan dibersihkan rambutnya karena ada daun maupun rerumputan yang menempel. "Sepertinya ini daerah hutan di luar barrier; zona bahaya."

Dari kejauhan, tak Aalisha sadari jika ada sosok monster liar menyerupai macan dahan hitam yang bergerak sangat cepat dengan kuku tajam mengkilap siap untuk mencabik-cabik sarapannya, ya kini ia akan makan daging manusia. Maka dengan kekuatan sihirnya sehingga kuku-kukunya jadi semakin tajam dan panjang, monster bernama Marcaganax itu melompat dan hanya dengan satu cakaran saja, mangsanya dipastikan kehilangan nyawa. Detik itu pula, Aalisha sadar jika ada monster yang sudah melompat dan terlihat dari pandangannya ukuran monster itu yang cukup besar. Sial! Meskipun Aalisha bisa mengalahkan monster itu, tetapi serangan ini tak bisa ia hindari karena ia belum siap, maka sudah gadis itu yakini jika tubuhnya akan terkena cakaran, parahnya lagi terpotong-potong jadi enam bagian!

"Groarggghhhh!" Suara itu terdengar tepat di belakang Aalisha yang seketika semburan api berhasil mengenai tubuh Marcaganax, tidak hanya itu, sang monster macan seketika terkena serangan dari ekor panjang lalu terempas tubuh monster itu ke pepohonan kemudian kabur meninggalkan Aalisha.

"Aramis," ujar Aalisha yang berbalik, menatap pada Aramis yang memperlihatkan wajah penuh amarah karena berani sekali monster macan dahan hendak melukai Aalisha. Kini wajah mengerikan Aramis berubah jadi tenang setelah menatap gadis kecil itu. "Kau menyelamatkanku ... terima kasih."

Wyvern itu mendekati Aalisha, napasnya terdengar seolah ia merasa senang karena gadis kecil itu baik-baik saja. "Terima kasih, meski sebenarnya aku tak terlalu memerlukan bantuanmu," kata Aalisha lagi.

Aramis mendengus, dia kesal karena Aalisha tidak mau mengakui kalau sebenarnya gadis itu senang mendapatkan bantuan. "Kalau begitu mari kembali."

"Anak nakal!!!" teriak seorang Orly bertubuh anak kecil dengan pakaian bangsawan yang rapi dan celana pendek. "Kenapa kau melewati barrier, kenapa kau berada di teritori terlarang! Kau akan dihukum!"

Sontak kehadiran Orly itu membuat Aramis jadi menggeram dan waspada karena merasa jika Orly itu hendak menyakiti Aalisha. "Dasar naga nakal, jangan memasang tatapan seperti itu padaku!" sahut si Orly.

"Aramis tenanglah," ucap Aalisha yang sukses membuat Aramis benar tenang kembali. Kini Aalisha berada di hadapan si Orly yang songong sekali. "Siapa kau?"

"Aku, Ethan!" sahut Ethan yang terdengar familier suaranya. Di mana ya, Aalisha pernah mendengar dan melihat Orly ini? "Aku Orly yang melayani master Arthur. Kini kau harus menghadap padanya dan menerima hukumanmu karena melanggar aturan, Nona De Lune."

Kini Aalisha ingat, salah satu Orly terbaik yang menyembah master Arthur dan sama seperti pemiliknya, Ethan punya sifat yang persis sekali; menyebalkan! "Bagus, masalahku bertambah lagi. Para Dewa sangatlah kejam." Padahal beberapa menit lalu Aalisha memuji kebesaran para Dewa, tetapi kini ia sudah mengutuk Mereka berkali-kali.

****

Ruangan master Arthur sedikit berubah, barangkali pria itu juga mengatur ulang ruang kerjanya. Ada patung-patung baru di sudut ruangan dan rak buku-bukunya seperti bertambah begitu pula isinya yang terlihat banyak buku bersampul cokelat, putih, dan hitam. Karpet di ruangan ini juga berubah, lebih tebal dari biasanya. Furniture dan pigura foto ada yang berubah. Sudah tak mengherankan karena pria itu memang menyimpan banyak rahasia, terutama selera fashion-nya yang entah dari mana.

"Apa kautak mau memuji ruangan ini? Cukup lama aku menata ulang," ujar Arthur seraya membaca buku. Ia mendongak setelah menutup bukunya yang bersampul hitam.

"Sayangnya tidak ...." Aalisha menatap Ethan Eveston, si Orly kurang ajar yang menyeretnya kemari. "Sebelum kuberi pujian, setidaknya ajarkan tata krama pada Orly-mu ini."

"Apa kaumau mengatakan jika aku ini kurang ajar?" balas Ethan.

"Ya, kau sialan seperti Galee Ginan," balas Aalisha.

"Hei! Jangan samakan aku dengan makhluk itu!" teriak Ethan saking kesalnya hendak memukul kepala Aalisha mumpung dia dan Aalisha tingginya sama.

"Ethan keluar," sahut Arthur.

"Kau membelanya Master?" Ethan menatap dengan mata membulat. Mengenaskan karena dirinya tidak dibela oleh masternya sendiri.

"Tentu dia membelaku, aku De Lune. Jadi enyahlah Orly!" Sepertinya Aalisha harus menambahkan nama Orly itu di jajaran Orly menyebalkan yang diketuai oleh Finnicus.

"Sialan kau ya! Awas saja, aku tak takut meski kau Majestic Families!" teriak Ethan hendak melenggang pergi.

"Mana hormatnya padaku?" sahut Aalisha maka sontak Ethan berbalik lagi.

"Salam Yang Mulia," balas Ethan seraya melakukan curtsy lalu pergi. Sungguh dia tak bisa benar-benar melawan keturunan Majestic Families jadi seolah naluri maka Ethan perlu memberi hormat pada gadis kecil itu. Atas hal inilah Aalisha tersenyum puas.

"Gila hormat juga kau ya," sahut Arthur.

"Bukan gila hormat, begitulah dunia bekerja." Aalisha menggunakan sihir, kursi bergerak sendiri hingga persis di belakangnya, gadis itu duduk dengan kaki menyilang. "Aku De Lune, mereka tunduk padaku, itulah ketetapan para Dewa."

Arthur selesai menuangkan kopi di cangkirnya lalu bersandar di mejanya sembari menyeruput kopinya. "Ternyata kau tak main-main dengan namamu, kupikir kau benci nama itu?"

Salah tidak salah perkataan Arthur. Namun, Aalisha memang membenci nama De Lune, lebih tepatnya dia benci dilahirkan sebagai keturunan utama De Lune terutama mengakui lahir sebagai putri dari Sang Kepala Keluarga. Andai jika Aalisha bisa memilih tak punya darah dari Kepala Keluarga De Lune meski harus kehilangan tangannya, maka Aalisha rela menyerahkan diri pada algojo. "Aku tak benci, mana mungkin aku benci lahir bergelimang harta."

"Terkadang kau terlalu senang mengelak perkataanku dengan berbagai macam kebohongan, mungkinkah kau dulu ada kelas berbohong yang diajarkan guru privatmu?"

"Jangan sok jadi manusia suci Master, kau pikir kau tak pernah berbohong?" balas Aalisha menatap Arthur yang meletakkan cangkir kopinya. "Lagi pula perlu kuralat, aku tak ada kelas berbohong, tetapi kelas drama dan sandiwara. Buktinya aku sukses membohongi seluruh dunia."

"Sebelum sombong dengan dosamu karena berbohong. Cobalah ikut kelas etiket lagi karena kau bicara sangat tidak sopan padaku," sahut Arthur karena sejak tadi Aalisha berbicara dengan kata kau-kamu seolah ia menghadapi musuh bebuyutannya.

"Ah, baru ingat, maafkan atas ketidaksopananku pada Anda Master Arthur." Aalisha lekas duduk tegak dengan tangan kanan di dada kiri lalu memberi hormat meski hanya sesaat. "Jadi Master sebenarnya apa yang hendak Anda bicarakan sepertinya obrolan kita menyita waktu sarapan pagiku."

"Ini tentang, mengapa bisa kau berada di hutan terlarang? Bukankah sudah kuperingatkan untuk tidak melewati batas teritorial aman?" Maka Arthur memulai pembicaraan yang sudah Aalisha tebak sedari awal. Kini perlu kebohongan lagi karena Aalisha tak mungkin mengatakan jika ia terjebak di dungeon, dia saja masih tak yakin alasannya berada di dungeon itu, ia perlu menyelidikinya atau lebih baik melupakannya.

"Jika aku berkata bahwa aku jatuh dari atas seekor Wyvern kemudian pingsan selama beberapa menit, hampir dibunuh oleh Marcaganax kemudian ditemukan Orly Anda, apakah Anda percaya?"

Arthur bingung harus bereaksi seperti apa. Gadis itu selalu punya segudang pengalaman yang buruk. "Apa buktinya agar aku percaya?"

"Tanyakan pada sahabat Anda, profesor Astrophel. Dialah yang menyuruhku menaiki Aramis dan membawanya berkeliling Eidothea." Aalisha baru sadar jika luka-lukanya tak ada setelah keluar dari dungeon, padahal ia babak belur ketika melawan para kesatria batu, lalu ia seperti tidak terjatuh dari atas Wyvern juga.

"Baiklah, aku akan membicarakan hal ini pada profesor Astrophel. Namun, kauakan tetap mendapatkan pengurangan point dan dihukum karena berada di teritori terlarang," sahut Arthur yang sukses membuat Aalisha berdiri dari kursinya.

"Aku habis mengalami musibah dan kau malah menghukumku?" teriak Aalisha, sial maksudnya musibah ini ketika dia tiba-tiba berada di dungeon! Meski dari sudut pandang Arthur berpikir jika jatuh dari naga---eh Wyvern adalah musibah.

"Pelanggaran tetaplah pelanggaran, kau dihukum, tanpa ada bantahan. Hukumanmu akan menyusul nanti."

"Hei, apa Anda tak pernah melanggar peraturan? Anda bukan manusia suci Master!"

"Kau benar Nona Aalisha, aku-bukan-manusia-suci. Apa kau tahu? Aku pun punya persamaan denganmu, pandai bersandiwara. Jadi cobalah untuk tak terlalu percaya padaku." Arthur tersenyum yang mengingatkan Aalisha akan tokoh jahat di sebuah novel pembunuhan.

"Baguslah, sejak awal Anda selalu masuk daftar hitam untuk kutebas dengan pedangku. Lalu dikarenakan Anda juga pandai bersandiwara, maka perlu kukatakan juga bahwa aku pun punya banyak sandiwara yang kumainkan hingga kini. Jadi cobalah untuk mengungkapkannya."

Arthur melangkah hingga persis di hadapan Aalisha. Wah, lihatlah bagaimana ketampanan pria itu yang tak berkurang sama sekali. Wajahnya yang dipahat bak patung, wanginya campuran buah persik serta bunga melati, tercium segar dan manis, tak ada yang lelah memandang Arthur terutama karena tak sedikit pun ada luka di wajahnya itu. Pasti jika terkena cahaya rembulan, wajahnya akan semakin tampan. "Apa kini kaumau aku ikut dalam permainanmu? Seperti novel misteri, seorang detektif berusaha mengungkapkan kejahatan?"

"Ya!" Aalisha mendongak menatap Arthur. "Mari mainkan. Seperti dalam novel, bukankah ada pahlawan dan penjahat, polisi dan pencuri licik, atau detektif dan pembunuh berantai! Anda sangat cocok menjadi salah satu pemeran utamanya."

"Aku setuju, kalau gitu mari mainkan salah satunya, kurasa peran penjahat sangat cocok untukku---"

"Tidak," balas Aalisha, "Anda lebih cocok menjadi Sherlock Holmes, maka aku adalah James Moriarty!"

"Apa?"

"Ya!" Aalisha tersenyum simpul. "Anda lebih cocok menjadi pahlawan, sementara aku adalah iblisnya. Ibarat kebajikan yang membinasakan kejahatan, maka suatu hari nanti, tangkaplah aku, ungkapkan sandiwaraku, dan bunuhlah aku."

Detik itu Arthur hanya terdiam seolah perkataan Aalisha bukanlah sekadar candaan untuk permainan kanak-kanaknya, tetapi benar-benar perkataan yang suatu hari diyakini gadis itu akan jadi kenyataan. Kini Aalisha membungkukan badan, melakukan curtsy yang begitu anggun seraya berujar, "salam, sampai bertemu lagi Master Arthur." Lalu ia melenggang pergi dari ruangan itu begitu mantap dan meninggalkan Arthur sendirian.

"Kurasa dia sangat membenciku, sampai tak ada obrolan hangat dan tenang di antara kami." Arthur berujar sebelum ia kembali ke kesibukannya.

****

Aalisha menutup kedua telinganya karena mendengar ocehan panjang Anila, lebih tepatnya gadis Andromeda itu sangat marah karena Aalisha tidak menjawab pesan maupun panggilan telepon darinya. Ia semakin marah karena Aalisha telat sarapan dan ternyata gadis itu berada di kantin rumah pohon. Amarahnya meningkat jadi tiga kali lipat ketika Aalisha bercerita jika dia dipanggil master Arthur, serta musibah yang menimpanya yakni jatuh dari Aramis tepat di hutan terlarang dan hampir dicabik seekor monster menyerupai macan dahan.

"Kau mendengarkan aku tidak sih?!" ucap Anila menghentikan langkah Aalisha, mereka kini hendak ke lapangan sebelah barat karena ada mata pelajaran latih pedang, kelas master Aragon.

"Ya, tentu," balas Aalisha asal karena ia tak mendengarkan sama sekali.

"Aalisha! Bisakah sehari saja kau menjauhi masalah atau perhatikan dirimu agar tidak terseret hal-hal yang membahayakan! Aku benar-benar terkejut ketika kau bercerita terjatuh dari Aramis, mengapa kau harus menaiki naga itu di pagi buta!" Kembali lagi Anila mengoceh yang kini tidak hanya Aalisha yang lelah mendengar ocehan Anila, tetapi juga Mylo, Gilbert, dan Frisca, sayangnya Kennedy masih belum bisa bersekolah.

"Perlu kuralat, aku tak mendekati bahaya, bahaya itulah yang datang. Lalu Aramis itu Wyvern bukan naga." Sungguh Aalisha seperti sengaja menuangkan bensin di atas api yang berkobar, maka Anila semakin memuncak amarahnya meskipun begitu dia tak bisa membenci Aalisha yang notabenenya paling dikhawatirkan dan dia sayangi.

"Aalisha, itu tak penting sekarang," balas Mylo hendak tertawa, tetapi ditahannya, oh ayolah Aalisha berani sekali membuat Anila marah.

"Tentu saja penting, Aramis akan menangis karena satu sekolah selalu berpikir jika dia naga padahal Wyvern ...." Aalisha terdiam karena dia merasakan aura neith yang terpencar. Ah, ternyata berasal dari Anila, gawat, kesabaran Anila sudah habis. "Anila, sungguh aku baik-baik saja."

Terlambat karena kini Anila memunculkan pentagram sihir yang sangat besar. Sontak para murid yang berada di sekitaran koridor langsung mundur atau menjauh dari sana. Gilbert dan Frisca jadi sangat panik.

"Woi, Anila tenanglah! Aalisha ada di sini, dia baik-baik saja jadi hilangkan pentagram sihir itu!" Gilbert merasa jika nyawanya sudah setengah lenyap.

"Anila, tenang, kumohon." Frisca berucap, ia menoleh pada Aalisha. "Lakukan sesuatu De Lune!" Sudahlah tak peduli sopan atau tidak, dia sudah diambang kematian.

"Anila, tenang okay?" ujar Mylo mencoba menenangkan.

"Diamlah Mylo, jangan ikut campur, aku takkan berhenti sampai Aalisha mau meminta maaf dan berjanji takkan terlibat masalah yang berbahaya." Manik matanya menatap nyalang, sayangnya yang dihadapan Anila adalah gadis kecil yang iblis saja berani dia lawan.

"Maaf, aku tidak mau," balas Aalisha tersenyum simpul bahkan setelah ledakan terjadi hingga asap membumbung ke langit akibat mantra ledakan milik Anila, ia masih tersenyum, ia juga berdiri tegak tanpa luka sedikit pun padahal Mylo, Frisca, dan Gilbert melindungi diri mereka dengan pelindung dari neith. Sementara itu Anila menatap Aalisha yang kini satu air matanya berhasil lolos, ia kesal, marah, sekaligus penuh kekhawatiran. Sayang sekali, Aalisha tak peduli jadi dia berbalik dan mulai melangkah.

"Sudahkan khawatirnya?" ucap Aalisha, "aku tak tahu bagaimana kau memandangku, tapi aku De Lune, Anila. Bahaya tak lepas dariku, bahkan sebelum kemari, banyak hal yang lebih parah menimpaku dan lihat aku---aku baik-baik saja hingga kini, tanpa kurang sedikit pun. Jadi berhenti mengkhawatirkan hal yang tak berguna."

"Kau benar," sahut Anila, "tapi setidaknya kini kau ada kami, tidak bisakah kau sedikit berbagi pada kami rasa sakit itu atau setidaknya bercerita! Jangan kau sembunyikan terus!"

"Anila benar! Kau ini teman kami!" sahut Frisca.

"Ya aku setuju! Kau banyak menolong kami, masa kami tak boleh menolongmu?" Gilbert menimpali.

"Lucu sekali," balas Aalisha, "perkataan kalian seperti dialog dalam novel yang terdengar garing. Namun, tak masalah teruslah mencoba karena aku takkan peduli."

"Aalisha---"

"Bagaimana jika kita segera ke lapangan," balas Mylo seraya merangkul Anila dan Aalisha. "Ayolah kelas hendak dimulai. Bahaya jika kita dihukum master Aragon! Ayo, ayo!" Maka Gilbert dam Frisca mulai berjalan, disusul Anila yang berjalan lebih cepat setelah melepaskan rangkulan tangan Mylo. Begitu pula Aalisha yang lekas menjauh, sialan Mylo seenaknya menyentuh Aalisha.

"Lain kali jangan sentuh aku jika kau ingin kedua tanganmu masih utuh," ujar Aalisha yang melangkah pelan, sesaat menatap pada Anila yang berjalan tanpa menunggu mereka, meskipun gadis Andromeda itu terlihat marah, tetapi dia sangat sayang pada Aalisha.

"Perkataanmu tadi keterlaluan," ucap Mylo.

"Aku tahu, aku sengaja mengatakannya karena itulah kenyataannya," sahut Aalisha.

Mylo tersenyum kecil. "Baiklah, tak masalah. Kau boleh menyangkalnya untuk saat ini karena suatu hari nanti, kau akan menerima kami."

"Takkan pernah terjadi."

"Cobalah secara perlahan-lahan, ibuku bilang segala sesuatu harus diterima pelan-pelan, kalau sudah terbiasa, kau akan tahu rasanya," ujar Mylo yang kini menatap Aalisha sementara gadis itu hanya diam, menerawang jauh, entah apa isi pikirannya yang begitu sulit ditebak. Barangkali gadis itu sedang memikirkan dalam-dalam akan perkataan bijak Mylo.

"Kau benar," ujar Aalisha langsung menatap Mylo yang terkejut seolah wajah lelaki itu berkata; apakah Aalisha memahami maksud perkataannya.

"Ya, aku benar."

"Iya." Kini keduanya mulai melangkah di atas rerumputan. "Lebih tepatnya perkataan ibumu itu benar, tapi tak berlaku untukku karena ibuku tidak pernah memberi nasihat apa pun padaku."

Detik itu, Mylo menyadari betapa melelahkannya menghadapi gadis De Lune itu. "Aalisha!!!"

****

Amarah Anila sepertinya tidak bertahan lama karena ketika kelas master Aragon dimulai, gadis itu sudah bersikap normal pada Aalisha, tak pula ada niat membunuh bahkan dia berdiri di samping Aalisha ketika berbaris dan sesekali bercerita hal random seperti waktu liburan dia menghadiri pesta salon yang berakhir seru karena ada pertengkaran antara nona bangsawan sampai tragedi menyiram teh ke gaun.

Aalisha tak terlalu menanggapi Anila, ia lebih banyak mendengarkan, malah Mylo yang sepertinya menikmati cerita itu dan membayangkan betapa serunya melihat dua nona bangsawan saling berseteru. Sebenarnya Aalisha sudah sering mendengarkan tentang pesta salon, debutante, dan acara bangsawan sejenisnya bahkan guru privatnya sudah mengajarkan bagaimana etiket di semua acara itu, tetapi ia sama sekali tak pernah menghadiri acara yang sungguhan, tentu saja karena identitasnya yang dirahasiakan. Yah, terkecuali jika dia menyamar jadi orang lain dan menyusup ke acara-acara bangsawan itu.

"Hari ini, kelas akan melakukan praktik menggunakan senjata magis yang diaktifkan!" ucap master Aragon yang langsung saja para murid saja berteriak sedih, kecewa, dan tentunya belum siap sama sekali! Bukankah dadakan tiba-tiba harus praktik, terlebih lagi tak ada informasi apa pun akan praktik kelas hari ini! "Mengapa semua berbisik, aku menggabungkan tiga kelas, tidak untuk mendengar ocehan kalian yang seperti lebah berkerumun. Jadi diam semuanya!"

Tiga kelas itu pun diam membisu dan mematung. Hari ini, tiga kelas sengaja digabung untuk mengefisiensi waktu. Terutama karena master Aragon harus mengurus beberapa kakak tingkat yang menjalankan sebuah misi sehingga mereka dikirim ke salah satu wilayah do Kekaisaran; wilayah yang katanya banyak sekali kelaparan serta dicium adanya korupsi oleh pemimpinnya jadi mereka harus menyelidikinya dan master Aragon yang bertanggung jawab atas keselamatan para murid itu.

"Sebenarnya dari tahun kapan kita akan mendapatkan misi seperti itu?" ujar Mylo, berbaris di belakang Aalisha.

"Entahlah, kau tahu?" tanya Anila pada orang di belakangnya yang berasal dari asrama Sylvester yang satu kamar dengan Kennedy. Dia juga yang mulai menceritakan alasan kenapa beberapa kelas digabung oleh master Aragon.

"Biasanya tahun kedua semester dua atau tahun ketiga, para murid sudah dipersiapkan untuk dikirim menjalankan misi mudah seperti menyelidiki kasus, membantu masyarakat, membantu korban bencana alam, menyelidiki invasi binatang magis atau monster, dan lainnya. Kalau berbakat sejak awal, biasanya dapat menjalankan misi lebih cepat," jelas lelaki itu yang tidak salah bernama Benedict.

"Apa ada yang dikirim lebih cepat dari itu?" tanya Mylo seraya melirik Aalisha yang terlihat seperti tak peduli dengan pembicaraan ini.

"Ada, kalau dirasa sudah mencapai kemampuan yang memadai, maksudku kekuatan kita sudah bisa di beberapa tingkatan sihir terus teknik menggunakan senjata sudah lumayan lalu lolos syarat untuk mengikuti misi maka diperbolehkan, tentunya dengan izin dari Kepala Asrama serta Kepala akademi," jelas Benedict yang melirik pada Aalisha karena sejak tadi gadis itu tak peduli padanya, ah sialan, padahal dia ingin Aalisha ikut nimbrung.

"Jadi ada syaratnya?" ujar Mylo lagi.

"Setahuku, dari cerita kakak tingkat, setiap misi ada jenis dan tingkatannya jadi disesuaikan dengan kemampuan setiap individu, terus ada beberapa misi khusus yang biasanya akan dicari para murid yang paling cocok menjalankan misi itu. Curi-curi dengar, misi khusus ini langsung di bawah pengawasan profesor Eugenius bahkan tingkatnya tidak main-main."

"Mengapa?" ucap Mylo.

"Ini hanya kudengar dari cerita kakak tingkat kalau misi khusus ini, para murid bisa dikirim ke luar wilayah Kerajaan atau Kekaisaran bahkan benua lain, tugasnya pun tak main-main bahkan ada yang dikirim untuk menaklukkan monster maupun iblis. Misi yang katanya setara tugas Kesatria Kekaisaran malah dijalankan anak-anak akademi."

Tidak hanya Anila dan Mylo yang tercengang dengan cerita Benedict, tetapi para murid lain di dekat mereka yang dapat mendengar cerita tersebut bahkan Killian yang terlihat tak peduli, ikutan curi-curi dengar.

"Gila," ucap Anila sedikit berbisik. "Bagaimana bisa para murid dikirim untuk misi seperti itu? Sama seperti bunuh diri."

"Kalau dipikir-dipikir memang gila, tetapi kenyataannya semua misi itu berhasil diselesaikan dan para murid yang dikirim untuk misi selalu kembali dengan selamat dan utuh organ tubuh mereka." Benedict kembali berujar, sesekali memperhatikan master Aragon agar tidak ketahuan jika mereka sedang bergosip. Sepertinya master mereka sedang sibuk menata boneka kayu yang akan jadi target mereka nanti.

"Kini aku tahu alasan Eidothea diawasi Kekaisaran," ujar perempuan rambut blonde dan mengenakan pita. "Pamanku bekerja sebagai kesatria di Vigilium Eques, katanya Eidothea sering diawasi karena kita sering diberi misi yang seharusnya diselesaikan pihak Kerajaan atau Kekaisaran."

"Bukan salah kita," timpal murid lain, "mereka saja yang lambat turun tangan jadi kita yang menyelesaikannya. Contohnya saja Zephyr, kalau bukan karena kalian berdua dan keempat Majestic Families, kuyakin batu itu sudah aktif dan Eidothea terancam hancur."

Mereka sontak menatap pada Anila dan Mylo serta berfokus pada si De Lune yang terlihat masih berdiri tegak, tak berniat sedikit pun untuk nimbrung gosip mereka. "Dia benar, maksudku ada banyak hal yang diselesaikan murid di sini karena pihak Kekaisaran tidak becus, lalu kita diawasi seolah kita yang jadi penjahatnya."

Duh, Anila dan Mylo tak menyangka jika murid lain akan banyak yang ikut nimbrung padahal awalnya hendak diam-diam saja bercerita tentang misi ini. "Aneh, kalau tahun kedua atau ketiga baru dikasih misi, tapi seingatku Eloise Clemence sudah pernah menjalankan misi deh. Kalau tidak salah, misi membasmi para pencuri di wilayah utara kerajaan Ekreadel."

"Jangan heran kalau mereka---para Majestic Families biasanya menjalankan misi jauh lebih dulu dibandingkan murid lain, ya karena mereka di Kehidupan Keluarga saja sudah pasti sering menjalankan misi. Jadi tak mengherankan jika mereka lebih dulu menjalankan misi, bahkan para Majestic Families terkadang diperintahkan pihak keluarga mereka untuk menjalankan misi dari Eidothea, barangkali sebagai ujian kelayakan sebagai anggota Majestic Family."

Para murid mengangguk, mereka paham. Lalu si rambut blonde berujar, "kudengar juga kalau misi untuk murid keturunan Majestic Families biasanya susah dan langsung di bawah pengawasan profesor Eugenius, ada juga kerjasama dengan pihak tertentu agar mengawasi mereka.."

"Kurasa sahabat kalian juga tak lama lagi---"

Lekas Anila berucap, "tidak! Apa kalian pikir dia akan menjalankan misi berbahaya lebih cepat? Aalisha tidak akan menjalankan misi apa pun, tanpa persetujuanku."

Anila langsung mengakhiri obrolan ini, para murid jadi berpikir jika gadis itu sangat protektif pada si Keturunan De Lune sementara itu bagaimana dengan Aalisha sendiri? Apakah dia ada tanggapan, meskipun terlihat tak peduli, bukankah dia mendengar semua pembicaraan mereka sejak awal? Ah, ternyata tidak peduli karena gadis itu malah terlelap sesaat, sampai suara master Aragon terdengar, barulah Aalisha membuka matanya dan terbangun dari tidurnya.

"Di depan kalian ada enam boneka kayu yang akan menjadi target kalian nanti. Jadi praktik hari ini, kalian akan bergilir menyerang boneka itu dengan senjata magis yang diaktifkan. Apakah hanya semudah itu? Tidak!" teriak master Aragon yang menggunakan sihir kemudian menyerang boneka tersebut, tetapi tidak hancur karena tercipta pelindung neith di sekeliling boneka. "Boneka ini sudah diberi mantra khusus yang melindunginya, jadi seperti tadi, muncul pelindung bertingkat, maka kalian harus bisa menghancurkan pelindung itu dengan senjata magis kalian!"

Para murid langsung heboh, saling berbisik satu sama lain karena baru minggu awal semester dua sudah disuguhkan tugas praktik yang sulit. "Aku akan melakukan penilaian! Setiap murid hanya boleh melakukan tiga kali percobaan, jika sudah lebih dari tiga dan boneka itu tidak hancur, maka nilai kalian akan kurang! Kemudian perlu diperhatikan kalau aku akan menilai hal lainnya juga, seperti dasar kalian mengaktifkan senjata magis hingga teknik yang kalian gunakan! Semisal teknik dasar kalian bagus, tetapi bonekanya tidak hancur, kurasa nilai kalian masih aman. Sebaliknya, jika teknik dasar pengaktifan kalian malah jelek, boneka tidak hancur, maka kalian gagal dan mendapatkan remedial! Sampai sini, apakah kalian semua paham?!"

"Siap kami paham, Master!" teriak para murid serempak.

"Bagus, kuharap kalian tetap berlatih selama liburan kemarin, minimal menyentuh senjata kalian. Benar 'kan?" Tidak ada satu pun murid yang menjawab, ah dapat ditebak jika tak ada yang berlatih selama liburan! Dasar anak-anak nakal dan pemalas!

"Kalian benar harus dikerasi, jangan katakan jika cara mengaktifkan senjata magis saja kalian lupa." Aragon memasang wajah sakit kepala. Lalu dia terpikirkan sesuatu. "Aku butuh relawan untuk menunjukkan cara mengaktifkan senjata magis dengan benar dan menyerang boneka itu! Adakah yang bersedia?"

Ia mengedarkan pandangannya berharap jika salah satu dari muridnya mengangkat tangan. Namun, tak seorang pun mengajukan diri, seolah-seolah di depan Aragon ini adalah hantu semua, tak ada muridnya! Sejak tadi dia hanya mengoceh sendirian! "Akan kupilih saja," teriak Aragon, "Nona Galad De Lune, maju kemari!"

Sontak ketiga kelas dengan artian seluruh murid di lapangan itu langsung hening dan menatap ke barisan di mana Aalisha berada. Perlu disenggol siku gadis kecil itu karena sejak tadi melamun. "Aalisha, kau dipanggil ke depan."

Gadis kecil itu tersenyum sinis seraya menatap Anila. "Pendengaranku masih sempurna." Lalu dia melenggang pergi, tak perlu susah payah karena para murid dengan sendirinya membukakan jalan yang kini Aalisha sampailah di hadapan master Aragon.

"Nona De Lune, aku ingin kau mempraktikan---"

"Aalisha," koreksi gadis itu, "panggil aku seperti biasa, aku tak mau dipanggil dengan nama keluargaku."

"Baiklah ... Nona Aalisha," ujar Aragon, "jadi tolong praktikkan pada kami cara mengaktifkan senjata magis dan menyerang boneka kayu itu."

Sesungguhnya Aalisha enggan melakukan semua ini bahkan jika pekerjaan ini bisa ia lakukan sambil menutup mata, ia tetap enggan melakukannya. Lagi pula mengapa dari sekian banyaknya manusia di sini malah Aalisha yang terpilih padahal para pengajar tahu akan kepribadian seorang Majestic Families yang congkak dan tak suka diperintah. "Ya, aku akan kulakukan."

"Semuanya tolong perhatian Nona De Lune---maksudku Nona Aalisha dalam mencontohkan cara melakukan ignitio dan tekniknya ketika menyerang boneka kayu."

Kini semua menatap pada Aalisha, tak satu pun ada yang mengalihkan pandangannya. Beberapa murid sengaja keluar dari barisan agar bisa melihat dengan jelas sementara itu ada murid lain yang diam-diam merekam semua ini menggunakan kamera yang disambungkan ke cyubes karena hendak didokumentasikan kemudian jadi laporan untuk organisasi jurnalistik. Pasti jadi berita favorit dengan tajuk; kehebatan putri De Lune ketika menggunakan senjata magis!

Beruntunglah Aalisha lahir sebagai bangsawan dan Majestic Families karena dia terbiasa dengan beragam tatapan orang-orang yang entah ada menyimpan rasa suka, bahagia, iri bahkan kebencian. Aalisha sungguh tak peduli dengan semua itu, ia sudah pernah melewati kematian yang penuh siksaan jadi gosip atau pandangan orang-orang takkan mengusik hidupnya. Namun, mengapa ya kepalanya pusing, bahunya juga sakit, tolonglah ini bukan karena efek ia melawan kesatria batu ketika di dungeon tadi lagi 'kan?

"Tolong perlahan saja," ujar Aragon meminta agar Aalisha mengontrol kekuatannya karena dia tahu perbedaan antara keturunan agung dengan manusia di luar itu. "Jangan hancurkan lapangannya."

Oh ayolah! Aalisha hanya perlu mengaktifkan senjatanya dan menggores sedikit boneka kayu itu, mengapa Aragon takut sekali seolah Aalisha hendak meruntuhkan kastil pada detik ini. "Dia terlalu khawatir. Duh, kepalaku semakin sakit."

Meskipun sakit kepala menyerang, Aalisha tetap berdiri tegak, kaki kanannya maju sedikit lebih ke depan dibanding kaki kirinya. Ia perlahan menarik pedang Aeternitas-nya yang terpancar aura neith begitu kuat, cahaya biru memenuhi bilah pedang tajam itu. Dengan genggaman yang kuat, Aalisha memasang kuda-kuda paling dasar, sengaja dia gunakan kuda-kuda diajarkan master Aragon karena kalau teknik bertarung khusus dari De Lune, bisa-bisa Aragon akan marah! Aalisha lelah mendengar ocehan orang tua itu. Ketika sudah siap, sayangnya gadis itu sesaat pandangannya kabur, ia abaikan seraya berujar, "ignitio!" Pedangnya diaktifkan, cahaya biru semakin bersinar.

Para murid semakin antusias melihat kemampuan berpedang keturunan De Lune, sementara Aragon merasa akan ada hal buruk yang terjadi. Entahlah, meskipun Aalisha berdiri kokoh, tetapi gadis kecil itu seperti menahan sakit? "Nona Aalisha tunggu dulu!"

Sayangnya Aalisha tak menggubris perkataan master Aragon. Dengan segenap kekuatannya serta ia lupa peringatan masternya tadi, maka ia ayunkan pedang Aeternitas-nya yang cahaya biru ibarat ombak, bukan ombak! Melainkan tsunami menerjang sangat cepat dan begitu dahsyat ke arah boneka kayu yang menjadi targetnya; tidak hanya tergores, boneka itu hancur berkeping-keping, begitu pula boneka lain yang terempas hingga beberapa hancur akibat dahsyatnya serangan itu, ah ada pula kepala boneka yang menggelinding. Semakin saja mencengangkan semua orang ketika tanah yang terkena serangan Aalisha kini rerumputannya tersapu habis, tanah itu menjadi cekung ibarat tercipta jurang di sana, jurang yang dalamnya mencapai 3 meter lebih. Sial, sepertinya Aalisha melakukan suatu kesalahan.

Gadis itu pun melirik master Aragon yang ternganga, sementara Aalisha tersenyum tipis seraya berujar, "oopsie, maaf aku sedikit ... berlebihan."

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

Mengapa bisa Aalisha ada di dalam dungeon?! Apakah malapetaka yang dibawa liontin masih mengikuti Aalisha, padahal dia tidak mau terlibat lho. Takdir selalu kejam ya pada Aalisha^^

Berbicara mengenai Arthur, kenapa dia tidak pernah akur dengan Aalisha? Hmm, lalu masih banyak sepertinya rahasia yang Arthur sembunyikan! Lebih penasaran mana antara rahasia Arthur atau Aalisha?

Kasihan banget master Aragon harus menghadapi si gadis pendek, tapi suka berbuat keonaran, terlebih sering merasa nggak bersalah lagi ....

Prins Llumière

Rabu, 15 November 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top