Chapter 06
|| Chapter ini mengandung adegan kekerasan, darah, dan hal yang mengganggu bagi sebagian pembaca
|| Chapter ini cukup panjang^^
Mungkin saja sudah kebiasaan Keturunan para Majestic Families yang senang memprovokasi lawan mereka padahal sebisa mungkin menghindari amarah dari lawan karena bisa berakibat fatal apalagi kalau lawan hilang kendali karena dikuasai emosi negatif. Namun, bagi para nekat dan gila seperti Majestic Families hal itu tak berlaku. Mereka malah senang jika lawan mereka dikuasai amarah sehingga tidak dapat berpikir jernih karena kebanyakan dari keturunan itu selalu bertarung dengan kepala dingin.
Begitulah yang terjadi kini. Tuan Thompson hendak turun tangan, tetapi tak jadi ketika dengan mudahnya Aalisha menghentikan serangan sihir salah satu anak-anak Gustavo, ah lebih mudahnya disebut apa ya? Badut mungkin cocok karena mereka terlihat begitu. Ya, maka salah satu badut melancarkan serangan sihir yang Aalisha blokir tanpa perlu energi banyak. Setelahnya pedang Aeternitas Aalisha bersinar biru lalu dia ayunkan yang satu serangan, berhasil memukul badut pertama, beruntung tak terkoyak tubuh gempal itu karena sabitnya berhasil melindungi.
Jeritan Gustavo terdengar karena anaknya hampir terluka, dia memerintahkan anak kedua atau badut kedua menyerang. Kini serangan bertubi-tubi dilancarkan pada Aalisha, hanya saja gadis itu berhasil menangkis setiap serangan dari sabit si badut, tak satu pun mengoyak pakaian Aalisha hingga ia mengempaskan sabit tersebut, bunyi keras dari besi yang saling bersinggungan terdengar lalu Aalisha ayunkan maka berhasil dia menebas perut badut kedua yang suara angin kencang terdengar seperti benar-benar balon, barangkali bola yang dikempeskan.
"Ternyata benar balon." Aalisha tergelak karena merasa ini lucu. Ia pun melebarkan jemarinya mengarahkan tepat pada perut si badut lalu merapalkan mantra yang sukses membakar tubuh badut tersebut hingga bau gosong menguar.
Suara berkelentang dan teriakan gustavo bersamaan terdengar, Aalisha menahan sabit badut pertama yang terlihat wajahnya memerah padam melebihi warna buat tomat yang masak. Kini si badut terkejut bukan main karena sabitnya patah, lalu tubuhnya berkelejat akibat mantra listrik yang Aalisha rapalkan. Suara berdebum terdengar karena tubuh gempal itu jatuh ke tanah, tubuhnya berkiat, ia meninggal.
"Apa kau masih punya anak? Karena keduanya sudah mati." Aalisha memulai percakapan dengan kalimat yang menusuk sekali.
Gustavo menganga karena kedua anak-anaknya sudah mati, sebenarnya mereka bukan anaknya benaran hanya suruhan atau bawahan yang ia panggil anak. Ia bahkan belum menikah. Namun, melihat kedua bawahannya mati dengan mudah di tangan gadis kecil, Gustavo merasa harga dirinya tercabik-cabik. "Bajingan, bajingan, kau bunuh mereka! Kau bunuh anak-anakku!"
"Kau yang mulai duluan." Ah sekarang Aalisha sudah lelah, entah jam berapa saat ini, dia rasa para murid sudah duduk anteng atau menikmati kasur mereka di Eidothea.
"Kau bunuh mereka! Kau sudah bunuh anak-anakku!" Gustavo menginjak-injak lantai dengan kuat sehingga ruangan tempat mereka berada jadi bergetar. "Sebenarnya apa mau kalian para pengacau?!"
Pengacau, Aalisha rasa dari tamu berubah menjadi pengacau. Lagi pula bukan salah Aalisha melainkan para badut itu yang sangat, sangat, sangat lemah. Perlu diketahui bahwa harus pasukan iblis jika ingin membuat Aalisha dan tuan Thompson kewalahan. Lagi pula mereka harus bersyukur karena Aalisha membunuh para badut itu dengan pedang dan sihir tingkat rendah, jika tuan Thompson turun tangan, bisa makin menderita.
"Para pengacau sudah membunuh anak-anakku, mereka mati, mereka sakit tadi." Gustavo berjongkok sambil memeluk lututnya kemudian menangis. "Sebenarnya mengapa kalian kemari? Para pengacau sialan." Isakan tangisnya makin kencang.
"Kupenggal saja ya kepalanya." Aalisha mengeratkan genggamannya pada Aeternitas.
"Tidak Yang Mulia," bisik tuan Thompson, "biar aku yang tangani."
Suara batuk terdengar, tuan Thompson menginterupsi tangisan Gustavo. "Maaf, tapi bolehkah aku bertanya? Kami mencari liontin berukiran selestial, itulah mengapa kami tiba di sini."
"Tak ada liontin!!" Gustavo berdiri sambil mengentakkan kakinya. "Tak ada liontin di mansion ini, kalian pikir Baron menyimpan benda seperti itu? Bahkan emas dan perak kami hanya sedikit. Tuan Baron itu miskin, mana mungkin kami punya liontin atau apalah yang kalian cari!"
"Apa?!!" Aalisha berteriak kencang, amarahnya mulai naik. "Jika kau berbohong, niscaya kusiksa kau saat ini juga!"
Gemetaran tubuh Gustavo, hampir terkencing dia, tetapi dia keukeuh dengan perkataannya. "Aku tak berbohong, Baron memang miskin! Mengapa kau begitu memaksa!"
"Sepertinya dia tak berbohong, dia memang tak punya liontinnya," ujar tuan Thompson.
Aalisha menatap Thompson setelah menyarungkan pedangnya. "Kalau begitu mengapa liontin itu membawa kita kemari! Pasti ada alasannya!!"
"Mengenai itu ...." Sialan, tuan Thompson juga tak tahu alasannya.
Suara gruduk-gruduk terdengar memenuhi ruangan itu bersama seluruh ruangannya bergetar hebat. Gempa terjadi kembali yang membuat lampu gantung jatuh dan kaca-kacanya terhambur. Patung-patung juga hancur, vas dan furniture berjatuhan juga.
"Hei butler! Kini apa yang kau lakukan!"
"Aku tak melakukan apa pun, gadis tolol! Ini bukan ulahku!" balas Gustavo, mengucur keringat dingin karena ia memang tak tahu alasan kastilnya bergetar hingga suara poof terdengar, muncul sosok kurcaci di dekat kakinya yang sudah duduk bersimpuh.
"Tuan Gustavo, itu, itu aku---"
"Mengapa kau di sini! Harusnya kau menemani tuan Baron!" sembur Gustavo hingga air liurnya ke mana-mana.
"MAAFKAN AKU! TAPI, TAPI TUAN BARON SUDAH MATI!" Kurcaci itu menangis kencang sekali sementara Gustavo membeku bagaikan patung.
"KAU BILANG MATI!" Pucat pasi wajah Gustavo, kemungkinan begitu karena wajahnya sudah seputih tepung. "TIDAK! TIDAAAK! TUAN BAROOOON!"
Semakin saja ruangan itu bergetar hingga lampu-lampu pecah, patung-patung lain hancur berjatuhan. "Pasti ada penyusup lain! Ada yang menyabotase dungeon ini! Tuan Baronku, Baron! Tuan Baron mati! Dia mati ...." Suaranya perlahan lenyap ketika Gustavo menghilang dari sana bersama dengan kurcacinya.
"Yang Mulia!" Tuan Thompson berteriak, ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tetapi paham jika bencana lain perlahan datang bagaikan awan hitam. "Kita harus pergi."
Suara petir menyambar di dalam ruangan, lantai bergetar hingga undakan tangga di depan mereka runtuh ke bawah. Semakin cepat lantai di ruangan itu runtuh lalu sebelum Aalisha bereaksi, pijakannya sudah menghilang, maka ibarat jatuh dari air terjun, mereka terjun bebas ke bawah yang tak ada lantai lagi di sana. Keduanya lalu masuk ke sebuah lubang hitam yang berbeda, ah bukan sekadar lubang hitam melainkan pintu terbuka lebar yang menyeret mereka ke tempat berbeda, setelah keduanya lenyap, pintu tersebut tertutup dan mansion Baron Jacob Nakroth runtuh untuk selamanya.
****
Kegelapan adalah yang pertama menyambut Aalisha ketika dia terjatuh entah dari ketinggian berapa meter, tetapi jelasnya seluruh tubuhnya sakit. Ia menjerit kecil karena kaki kanannya terasa lebih sakit dibandingkan bagian tubuh lainnya. Dia pun merapalkan mantra yang menciptakan tiga bola cahaya sebagai penerangan, kini bola-bola itu akan melayang-layang di sekitarnya dan mengikutinya jika Aalisha berjalan.
Perlahan dia bangkit dari posisinya, lalu menatap pada sumber yang membuat kaki kanannya sangat menyakitkan. Darah, dia melihat darah mengalir dan membanjiri lantai di sekitar kaki kanannya. Aalisha menutupi mulutnya serta sedikit hidung dengan telapak tangan ketika dia menemukan tiga pecahan kaca yang cukup besar dan tajam tertancap serta menembus kain celananya, kulitnya sobek, dan daging kaki kanannya terasa sakit. Itulah sebab darah membanjiri serta sumber rasa sakitnya.
Air matanya tak jadi jatuh karena ia seka serta Aalisha tak menunjukkan kepanikan. Lekas dua bola cahaya menerangi lebih dekat ke sekitar kakinya. Cahaya biru muncul ketika dia memanggil invinirium-nya, kain putih berupa handuk yang tebal lekas diraihnya. Lalu tangan kanannya bersiap untuk mencabut pecahan kaca tersebut.
Tanpa jeritan kencang, tangan kanannya yang dilapisi neith begitu cepat mencabut ketiga pecahan kaca hingga darah menyembur, lekas dua jarinya yang dilapisi neith tadi merobek kain celananya hingga di lutut, lalu handuk putih ia tekan di atas lukanya yang semakin banjir darah. Kini dirapalkan mantra untuk menghentikan pendarahan, cukup lama dia tekan lukanya dengan kain sehingga handuk putih itu berubah warna jadi semerah darah. Setelah dirasa sudah agak berhenti pendarahannya, ia jauhkan handuk tersebut kemudian menuangkan elixir berupa ramuan penyembuh dan pencegah infeksi. Rasa sakit, panas, perih sekali seperti dituangkan jeruk lemon ke atas luka sayatan, maka begitulah rasanya. Aalisha sempat mengerang, sampai memegangi kuat pahanya dengan dua tangan, ia menahan rasa sakit sampai dahinya menyentuh lantai saking perihnya obat itu mengalir di lukanya. Wajahnya jadi pucat dan keringat mengalir di punggungnya. Perlu beberapa menit dia menahan rasa sakit itu, tapi tak sedikit pun ia meneteskan air mata.
"Sudahlah, aku tak peduli apa tahap penanganan ini benar," ujarnya seraya mengambil kapas, lalu perban putih kemudian dia perban kaki kanannya. Meski agak awut-awutan, tetapi ia menutupi seluruh lukanya. Kini Aalisha terbaring di sana kembali dengan ketiga bola penerangan berada di sekitarnya. Sejauh matanya memandang, hanya kegelapan yang ia temukan, seolah ia sendiri di sana, hanya satu-satunya yang bernapas di tempat itu, Aalisha bisa mendengar keheningan yang mencekam. Entah mengapa, perasaan ini sama sekali tak asing. Kesepian dan kesendiriannya mungkin telah menjadi nama tengahnya.
Aalisha bisa merasakan jika densitas neith di tempat ini sangat rendah sehingga sulit baginya melakukan nereum. Densitas atau kerapatan neith adalah ketersediaan neith di alam atau suatu tempat. Semakin tinggi densitasnya maka mudah untuk melakukan nereum dengan artian mudah bagi para penyihir menggunakan sihir karena energi yang tersedia ada banyak. Sementara densitas rendah membuat penyihir atau seseorang sulit melakukan nereum sehingga sulit pula menggunakan sihir tingkat tinggi. Namun, seseorang sebenarnya tetap bisa menggunakan sihir tingkat tinggi di wilayah yang densitasnya rendah, tetapi memerlukan keahlian serta risiko terluka atau efek pada tubuh akan lebih besar.
"Cyubes." Ia menatap cyubes-nya yang masih tidak bisa menghubungi siapa pun bahkan ia tak bisa melihat peta dan jam, entah pukul berapa sekarang ini. Ia menutup matanya sesaat. Dia menatap pada dua kontak yang paling sering menghubunginya, tak lain dan tak bukan adalah Anila disusul nama Mylo.
"Apa mereka sudah di Eidothea? Kurasa sudah, mereka sehari sebelum dimulainya sekolah pasti sudah di sana." Tiba-tiba saja perkataan itu meluncur dari mulutnya. Ia mengenyahkan pikirannya, perlahan bangun dari sana, lalu berdiri meski agak sempoyongan. Ternyata kakinya sudah lumayan, bisa dia gerakan, tapi pergerakannya agak terganggu.
Aalisha mengedarkan bola cahayanya, barangkali tuan Thompson ada di sekitarnya dan pingsan, tetapi tak ia temukan. "Kurasa dia tak ada di sini."
Mulailah gadis itu melangkah, sedikit sakit ketika kaki kanannya menginjak lantai, ngilu menjalar hingga ke tulang-tulangnya. "Oberon, hei Oberon, bisakah kau mendengarku." Kini dia berusaha memanggil Oberon, berharap jika Orly-nya itu mendapat panggilannya dan segera tiba di sini, tetapi Aalisha tak merasakan hawa keberadaan Oberon. Ah, sejak awal ketika dia tiba di wilayah antah-berantah ini pun dia sudah tak berkontak langsung dengan Oberon.
"Aku akan mati jika menggunakan sihir untuk memanggil Oberon," gumamnya karena merasa jika neith-nya takkan cukup jika memanggil Oberon dengan teknik pemanggil. Lebih tepatnya, neith-nya terkuras hingga batas terbawah karena segel yang mengekangnya, ia juga tak mau rantai-rantai besi itu aktif kemudian membakar seluruh tubuhnya. "Baiklah mari berkeliling."
Suara sepatunya yang satu-satunya terdengar di ruangan gelap ini, ia tak menemukan patung atau furniture seperti sebelumnya, lantai yang ia pijak pun berwarna cokelat tak ada yang spesial apalagi ukiran aksara kuno. Ia tak temukan ruangan lain maupun undakan tangga. Benar-benar ruangan kosong yang terhampar luas seolah tak berujung, terlebih lagi ruangan ini gelap gulita. Dia seolah-olah berada di neraka ... atau jurang terdalam sehingga dia hanya menempati kekosongan serta hanya dirinya saja yang ada.
"Sialan." Langkahnya terhenti, Aalisha menatap kaki kanannya yang di perban itu ada bercak darah. Apakah lukanya terbuka? Meskipun terasa ngilu dan perih, gadis itu tak memperlihatkan ekspresi penuh rasa sakit. Dia begitu datar. Tadi saja saat dia menuangkan elixir rasanya seperti terbakar. Kini ia begitu mudahnya mengabaikan rasa sakitnya dan kembali melangkah.
Berbicara mengenai teknik penyembuhan. Sudah dia duga jika dia tak begitu ahli, berbeda dengan keluarga Nerezza yang paling ahli dalam bidang itu. Aalisha juga tak memprediksi jika akan terjadi penyerangan hingga dia tersesat di dungeon dan terluka parah jadi dia tak membawa persediaan ramuan dan obat. Namun, masa bodoh lah, dia pernah terluka lebih parah lagi dibandingkan saat ini. Di masa lalu, dia bahkan tak bisa menggerakkan kedua kakinya, sehingga harus susah payah menyeret tubuhnya hingga kuku-kuku tangannya kotor dan rusak. Dagunya berdarah serta perutnya penuh luka. Aih, kenapa dia harus teringat kenangan kejam itu?
Bola-bola cahaya milik Aalisha berhenti ketika langkah gadis itu berhenti pula. Dari jarak sekitar lima meter, dia melihat cahaya kuning berpendar menyerupai cahaya lilin di malam hari. Hendak tak pergi ke sana karena bisa saja itu bahaya yang mengincar nyawanya, tetapi dia sudah berkeliling hingga satu jam lebih demi menemukan sesuatu di ruangan aneh ini.
Tidak ada pilihan, mari temui kematian itu. Atas kalimat yang terlintas di kepalanya jadilah Aalisha melangkah tanpa ragu, ah sejak awal dia tak pernah ragu untuk menemui kematiannya yang sejak kecil selalu dia panggil-panggil.
"Jika sudah menjelang malam." Ia berujar di sela-sela langkahnya menuju cahaya lilin itu. "Kurasa Anila dan Mylo akan kebingungan karena aku belum kunjung tiba di akademi." Jeda sesaat karena Aalisha berpikir keras. "Sial, kenapa aku memikirkan mereka, lagi pula ada tidaknya aku takkan mengubah apa pun di Eidothea."
Dia tiba di depan cahaya lilin---pertama-tama dia sudahi dulu sihir bola cahayanya---yang ternyata ada sebuah patung! Ya benar patung yang kemungkinan patung seorang Dewi karena wajahnya ditutupi tudung atau veil. Patung ini menggenggam lilin yang cahaya lilin inilah yang Aalisha lihat. Lalu sedikit edarkan pandangan ke bawah, maka di sana ada batu yang berbentuk buku dengan tulisan di atasnya. Aalisha membungkuk untuk membaca tulisan tersebut. Mula-mula Aalisha tak paham karena berasal dari aksara kuno, tetapi ketika jemarinya menyentuh tulisan itu, keajaiban terjadi. Tiba-tiba saja huruf demi huruf bergerak dan berpindah hingga berubah menjadi tulisan dengan bahasa yang dia pahami. Enggan mempertanyakan keanehan ini, ia langsung membaca tulisan itu yang berbunyi; Dari keheningan, dicarilah suara bising demi mengusir para penghuninya. Dari kegelapan, cobalah untuk diam dan jangan kabur, lalu binasakan hingga terang.
Aalisha diam, harusnya dia perlu memikirkan teka-teki ini karena sudah dipastikan jika tulisan ini adalah teka-teki. Terlebih tak ada hal lain yang bisa ditemukan selain lilin dan patung ini. Sayangnya gadis kecil itu malas berpikir jauh jadi tanpa ragu dia genggam api dari lilin tersebut hingga mati yang seketika sekitarnya gelap gulita. Namun, tak berlangsung lama karena dalam sekejap saja ruangan ini yang semula gelap gulita langsung berubah penuh dengan cahaya.
Melalui manik matanya, Aalisha melihat jika lantai yang ia pijak berubah jadi sebening cermin, lalu muncul pilar-pilar yang menurunkan air sehingga seperti air terjun, patung-patung ada di mana-mana meski tak semua patung adalah patung Dewa. Di langit-langit ada puluhan lilin melayang lalu ada bagian lantai yang tergenang air karena pilar air terjun itu. Hanya selangkah saja, maka sepatunya akan tergantikan menginjak lantai yang basah hingga membuat sepatunya tenggelam.
Entah penglihatannya salah atau tidak, tetapi di lantai yang tergenang air, di dekat pilar air terjun pertama. Ada cahaya kebiruan yang membentuk patung kesatria karena mengenakan zirah, ketopong, serta pedangnya menancap ke bawah. Jadi Aalisha injak genangan air itu hingga sepatunya benar-benar basah.
Sampai dia di depan cahaya membentuk patung kesatria. Bisa dia rasakan pancaran energi sihir yang aneh, tetapi tak bisa dia prediksi apa. Perlahan disentuhnya cahaya itu yang melayang-layang, berputar di sekitarnya, lalu berubah menjadi tulisan. Huruf demi huruf dibacanya karena tak begitu tampak. Tulisan itu berbunyi; "anugerah telah diberikan, hendak direnggut seperti seteguk air yang direbut keserakahan. Pada jiwa-jiwa yang terpilih, memberikan persembahan hingga mengalir tak terhenti demi kebenaran". Cahaya itu mengitarinya lagi lalu whoosh hilang begitu saja.
"Baiklah, jiwa terpilih dan persembahan." Aalisha mengingat kalimat yang dia baca tadi. "Kuharap bukan persembahan pada iblis atau setan yang terkutuk. Aku tak mau berakhir di penjara atau biara."
Refleks tangan Aalisha melindungi matanya karena ada cahaya yang menyorotnya sehingga silau sekali. Dia juga mendengar dentingan kaca. Seraya mengedarkan pandangannya, dia mendapati dari kejauhan benda yang berkilau serta sumber dari cahaya menyilaukan yang mengenai manik matanya. Ia pun mulai menuju ke benda berkilau itu, suara berkecipak terdengar ketika dia menyusuri lantai yang tergenang air ini. Sungguh tak terlihat kesusahan gadis itu melangkah di lantai tergenang air padahal kaki kanannya terluka parah, bahkan perbannya perlahan jadi merah karena lukanya terbuka kembali.
"Mengapa ada pecahan kaca cermin berkilau di sini?" Aalisha menemukan pecahan kaca cermin yang melayang karena terlapisi neith yang berbentuk balon seperti balon sabun, pastinya ini sihir. Kaca itu berputar pelan, sempat terlihat pantulan wajah Aalisha dari kaca cermin itu.
"Apa ini teka-tekinya?" Aalisha menelisik, sayangnya hanya ada pecahan kaca cermin ini saja. Ia pun memgedikkan bahunya seraya meraih pecahan kaca cermin itu, bunyi poof terdengar ketika balon yang menyelubunginya pecah, kini kaca cerminnya berada di genggaman Aalisha. Belum sempat ditatap cukup lama. Suara dentingan terdengar kembali lalu angin bertiup di sekitarnya bersamaan cahaya biru yang berputar di depan Aalisha kemudian muncul piala emas; cangkir berwarna emas dengan kakinya.
Ditatapnya sesaat piala emas itu bergantian dengan pecahan kaca cermin. Tanpa pikir panjang dan tanpa keraguan, Aalisha mengeratkan genggamannya pada pecahan kaca, ia menjulurkan tangan kirinya tepat di atas piala emas itu kemudian menyayat telapak tangannya hingga darahnya menetes masuk ke dalam piala emas itu. Sungguh gila dia! Mengapa dia melakukan hal itu!!
"Memberikan persembahan hingga mengalir tak terhenti." Aalisha mengulangi kalimat tadi. "Sudah pasti darah yang dimaksudkan." Maka benarlah prediksinya karena tiba-tiba piala emas itu bersinar sangat terang lalu lenyap begitu saja.
Benarkah teka-tekinya telah selesai? Aalisha akan lega jika begitu karena dia hendak segera keluar dari sini. Sayangnya, takdir sulit berpihak padanya. Tiba-tiba muncul barrier yang mengitari seluruh pilar air terjun sehingga Aalisha tak bisa kabur. Suara keras terdengar, air di lantai menyembur ketika dari langit-langit jatuh para prajurit yakni Hanos Urn yang sebagian dari mereka membawa pedang berapi.
Kedatangan musuh semakin diperparah ketika sosok kesatria berwajah monster yang mengenakan zirah hitam di sekitar pinggang ke bawah serta dada dan punggungnya sementara kedua tangannya tak ditutupi zirah karena ada sayap di tangannya itu menyerupai kelelawar. Kesatria itu membawa pedang tipis, ringan, tetapi sangat tajam.
"Sungguh!" Aalisha berucap cukup keras. "Setelah menyayat telapak tanganku sendiri, aku disuguhi para monster? Lagi pula monster bersayap apa itu!"
Serangan dadakan dilancarkan dua Hanos Urn sekaligus, berhasil Aalisha menghindar yang kini dia tarik Aeternitas kemudian diayunkan hingga menebas kedua musuhnya dengan sekejap mata. Arah samping muncul Hanos Urn lagi dengan kapak besinya hampir mengenai bahu Aalisha, tetapi gadis itu menggunakan mantra yang sukses mengempaskan tubuh musuhnya hingga menabrak Hanos Urn yang lain lalu mereka mati ketika Aalisha melancarkan serangannya kembali.
Baru berpijak kembali di lantai air, ia tersentak karena kaki kanannya begitu ngilu lalu melalui manik matanya dia menangkap kilatan cepat yakni sosok monster bersayap yang menerjang sangat cepat hingga berhasil memukul mundur Aalisha. Sungguh kuat sekali dia dan membuat pedang Aalisha jadi gemetar. Namun, gadis itu berusaha sekuat tenaga seraya merapalkan mantra yang menciptakan angin lalu terempas jauh tubuh monster itu, sayangnya tak terluka karena dia begitu mudahnya bangkit kembali terutama sayap-sayapnya yang membantu itu.
"Itu monster jenis apa, aku baru menemuinya---" Oh Dewa, tak maukah Kalian memberi Aalisha petunjuk karena mustahil dia menghafal nama, jenis, dan wajah dari setiap makhluk magis, monster, atau iblis di Athinelon ini!
Cahaya biru melintasi manik matanya lalu perlahan cahaya itu berubah menjadi huruf, kata, dan kalimat serta mengukir bentuk dari monster yang barusan Aalisha lawan. Kini dibacanya tulisan itu.
"Vespe Nikova---jadi ini nama monster itu."
Monster yang Aalisha lawan bernama Vespe Nikova, jenis monster yang menyerupai sosok kesatria karena mengenakan zirah dan membawa senjata. Monster ini memiliki tinggi rata-rata 200 sentimeter, tubuhnya kurus dan kulitnya sangat putih pucat, punya mata merah menyala, tak ada rambut sehingga botak. Dia melapisi tubuhnya dengan zirah hitam yang terbuat dari batu khusus dari pegunungan. Dia menutupi wajahnya dengan ketopong hitam, katanya---informasi dari tulisan yang Aalisha baca barusan---karena malu dengan wajah jeleknya, kemudian zirahnya hanya tidak menutupi bagian lengannya karena monster itu punya sayap seperti binatang kelelawar.
Keahlian dalam menggunakan senjata terutama pedang adalah keunggulan Vespe Nikova terutama ia sangat gesit dan cepat serta terbantu dengan kedua sayapnya. Monster itu harus dilenyapkan hingga bagian tubuhnya tak bersisa karena mampu beregenerasi dan menyambung bagian tubuhnya yang terpotong dengan cepat serta mengeluarkan gas metana yang mempengaruhi pernapasan. Dia juga mampu mengubah gas tersebut menjadi api berkobar.
"Beregenerasi dengan cepat dan mengeluarkan metana." Aalisha menatap pada Vespe Nikova yang sudah bangkit kembali. Menepuk-nepuk sayapnya lalu mengeratkan genggamannya pada pedang hitam.
"Menyusahkan saja, kenapa harus aku yang terlibat. Mengapa buka Keturunan Clemence saja, dia pasti mudah meledakkan kelelawar itu karena ada metana di dalam tubuhnya."
Aalisha sungguh berkata jujur bahwa Eloise Clemence lebih cocok di saat seperti ini terlebih dengan kemampuan mistisnya yang dapat mengendalikan berbagai elemen, zat, dan gas. Apalagi Keturunan Clemence ahli pertarungan jarak jauh berbeda dengan Aalisha.
"Andai aku tak diberi batasan." Aalisha merapalkan mantra singkat yang menciptakan sebuah rantai panjang dengan ujungnya berupa pengait yang sangat tajam. "Kuharap bisa menggunakan mantra tanpa perlu muntah darah."
Suara sayap dikepakkan sangat kencang terdengar seperti terpal yang berkibar akibat tertiup angin. Vespa Nikova menerjang begitu cepat bersamaan para Hanos Urn yang mengayunkan pedang mereka. Aalisha terlebih dahulu memblokir serangan kelelawar itu, lalu melemparkan rantainya hingga melilit kaki dua Hanos Urn sekaligus, ia tarik keduanya sambil diayunkan pedang hingga keduanya lenyap. Kini Aalisha beradu pedang dengan Vespe Nikova ketika monster itu terlempar, tanpa aba-aba, Aalisha lempar rantainya kembali hingga melilit kaki kanan si kelelawar. Kemudian Aalisha tarik lalu dia empaskan tubuh monster itu ke salah satu pilar air terjun.
Satu serangan Hanos Urn berhasil mengenai bahunya, tetapi lekas Aalisha tebas kepala prajurit itu hingga belah dua. Kini muncul tiga Hanos Urn lagi, tapi dinding terbuat dari air melindungi Aalisha lalu air itu menerjang ibarat ombak dan menyapu habis para Hanos Urn, sebelum bangkit kembali, dari bawah, tombak air menusuk mereka semua hingga binasa.
Aalisha hampir terjengkang ketika rantai besinya menariknya kembali yang ternyata sang Vespe Nikova terbang di langit-langit serta mencengkeram erat rantai miliknya. Kepala kelelawar itu mulai bergerak-gerak, terdengar suara patah-patah, lalu mulutnya menganga lebar hampir mematahkan rahangnya. Kini tercium bau aneh yang merebak dengan cepat. Bisa ditebak jika monster itu hendak menyebarkan gas metananya.
"Kau pikir bisa melakukannya, dasar makhluk menjijikkan!" Aalisha menancap Aeternitas ke lantai, kemudian dengan kedua tangannya yang dilapisi neith biru, ditariknya begitu kuat rantai tersebut hingga membuat Vespe Nikova mengatupkan mulutnya, menukik begitu tajam, terseret hingga kedua sayapnya tak bisa mengepak lalu ketika hampir sedekat Aalisha, maka satu tendangan memutar---ia abaikan kaki kanannya yang terluka---berhasil mengenai batang leher monster itu hendak menghantam lantai, tetapi tidak berhasil karena besi-besi tajam lebih dulu muncul kemudian menusuk seluruh tubuhnya yang disusul api nyala, memanaskan besi-besi itu, tubuh Vespe Nikova menggelembung, hingga meledak dan menyembur keluar seluruh isi tubuhnya. Begitulah cara membunuh monster tersebut agar tak beregenerasi.
Aalisha ambruk, kini tidak hanya celana dan pakaian bagian bawahnya yang basah, tapi hampir ke atas juga. Dia muntah darah kemudian, seluruh tubuhnya jadi ngilu, tetapi tak ada waktu merasakan semua sakit itu. Ketika dia berdiri kembali meski agak sempoyongan, barrier di sekelilingnya sirna. Tak ia sangka ternyata potongan tubuh Vespe Nikova serta sisa-sisanya lenyap begitu saja bahkan darah yang Aalisha muntahkan tak tergenang di air.
"Invinirium." Aalisha mengambil elixir kemudian diminumnya lalu beralih pada bukunya yang bersampulkan hitam. Ia mulai menulis jenis monster tersebut, tak lupa digambarnya juga sosok dari Vespe Nikova itu. "Tulis sendiri." Kesal dia karena kelelahan jadi digunakan sihir yang membuat buku dan pena berbulu melayang, pena itu mulai menulis sendiri sesuai dengan apa yang Aalisha ingat mengenai Vespe Nikova tadi.
Menyusuri air kembali, tak ia temukan apa pun, tak ada hal misterius lagi, hanya ruangan besar tak terkira, lantainya tergenang serta pilar-pilar air terjun. Ia mendengar suara dengungan kaca seperti gelas kaca yang dipukul pelan dengan sendok jadi ia menuju ke sumber suara yang ternyata sebuah pecahan kaca cermin melayang diselubungi gelembung seperti sebelumnya.
Diraih pecahan kaca itu, muncul piala emas lagi. Aalisha diam menatap piala itu lalu beralih mengedarkan pandangannya, tak ia temukan apa pun, hanya pecahan kaca ini saja. Mungkinkah akan terjadi hal lain atau muncul ruangan baru jika dia iris kulitnya lagi? Dikarenakan ini satu-satunya petunjuk di sini jadi Aalisha kembali menyayat telapak tangannya, darah kali ini menetes lebih banyak ke dalam piala emas. Tiba-tiba hilang piala itu, barrier kembali mengelilingi Aalisha.
Sial! Jangan bilang---gedubrak, suara itu terdengar ketika dua Vespe Nikova jatuh dari langit-langit, melalui lantai-lantai muncul para Hanos Urn.
Belum setengah jam dari pertarungan tadi, sudah muncul monster lagi? Begitulah kira-kira yang terbaca dari raut wajahnya. Maka tak ada pilihan bagi Aalisha untuk melawan para monster kelelawar dan prajurit tengkorak itu. Dia masih mengenakan teknik dan cara bertarung yang sama seperti sebelumnya, rantai besi melilit kaki musuhnya, pedang Aeternitas menebas hingga binasa, serta ia gunakan sihir, tetapi sebisa mungkin tidak berlebihan terutama perlu diingat jika densitas neith di tempat ini sangat rendah sehingga sulit melakukan nereum dan energi lebih cepat habis. Pertarungan babak dua selesai, Aalisha selamat meski mendapat beberapa luka di bagian tubuhnya.
"Aku lelah."
Dengan sangat pasrah, Aalisha kembali menyusuri tempat ini meski kanan-kirinya terlihat sama saja, tak ada perubahan, tak ada ruangan baru. Dia malah menemukan pecahan kaca cermin di dalam gelembung lagi. Dia pun meraih kacanya lagi, diiris telapak tangannya, diteteskan darah ke dalam piala emas, barrier muncul, dan para prajurit Hanos Urn serta Vespe Nikova bermunculan. Kali ini sang monster bersayap kelelawar membawa dua kapak, lalu jumlah mereka ada empat.
Aalisha harus melawan mereka sedikit lebih ekstra lagi, rantainya sempat putus, harus dia panggil rantai lain. Dia juga menggunakan tombak karena satu Vespe Nikova tidak kunjung turun dan terus terbang. Akibat pertarungan ketiga ini, dia cukup terluka terutama ada Vespe Nikova yang hampir menebas lehernya, tetapi tergantikan mengenai pelipis Aalisha saja hingga darah mengalir dari sana.
Menyusuri ruangan itu lagi, ia yakin jika kakinya sudah keriput, merasa dingin juga karena sejak tadi terus-menerus berada di air. Kapan tempat ini menemukan ujungnya?! Mungkinkah Aalisha harus menyelesaikan setiap rintangan dari pecahan kaca cermin itu sampai batas tertentu? Karena hanya itulah pilihannya. Maka Aalisha akan lakukan dengan hati yang berat. Kini mulai dia mengedarkan pandangannya mencari pecahan kaca lagi, ketika dia temukan, lekas pertarungan keempat dimulai. Sempat gadis itu membuat ekspresi sakit saat menyayat telapak tangannya lagi. Musuhnya sama saja, hanya jumlah mereka bertambah serta senjata mereka berbeda. Banyak terdengar suara dentingan antara pedang karena para monster menyerang secara bersamaan, selebihnya Aalisha menggunakan cara yang sama untuk membinasakan mereka dan pertarungan ini kembali dimenangkan Aalisha meski ia semakin terluka.
Mencari pecahan kaca cermin selanjutnya, ia sedikit terganggu karena telapak tangan kirinya berdenyut dan kesemutan. Namun, sebisa mungkin dia abaikan karena pecahan kaca cermin yang kelima ini tidak kunjung ditemukan. Terdengarlah suara dentingan kaca, lekas dia menoleh, ternyata pecahan cermin itu berada di puncak salah satu pilar, sangat tinggi.
"Serius?" Ia berucap, begitu lelah wajahnya. "Aku harus memanjat ke sana? Apakah aku tokoh utama di sini, bukankah aku maunya jadi tokoh sampingan ya."
Menuju belakang pilar, Aalisha melihat kotak-kotak besar---tingginya melebihi Aalisha---terbuat dari kaca dengan warna senada pilar air terjun yakni hijau muda gradasi emas. Ia rapalkan mantra, maka kotak-kotak itu melayang ke arahnya kemudian ditumpuk menyerupai undakan tangga. Lekas Aalisha menaiki tangga itu dengan susah payah karena ia begitu pendek, sudah berjinjit pun masih susah mencapai kotak itu jadi ia perlu agak melompat yang menyebabkan kaki kanannya semakin sakit, seperti hendak patah! Kini tinggal satu kotak lagi dilalui maka sudah ada di puncak pilar air terjun, tetapi Aalisha memilih untuk diam dulu, duduk, sambil menenangkan diri dan kaki kanannya yang berdenyut tanpa henti.
Sudah tak ada elixir atau ramuan lagi yang dapat diminumnya, sudah dikatakan jika dia tak membawa persediaan karena semua kejadian ini tak ia prediksi! Aalisha hanya bisa sedikit-sedikit menggunakan sihir penyembuhan untuk menghemat neith-nya, ia mengabaikan telapak kirinya yang cukup banyak luka serta agak membiru dan perih. Cukup istirahatnya, dia kembali menaiki kotak terakhir, akhirnya sampai di puncak pilar ini. Diraihnya pecahan kaca, muncul piala emas, disayat telapak tangannya hingga berdarah. Piala dan pecahan kaca itu hilang bersamaan muncul barrier. "Baiklah, aku turun---"
Sekonyong-konyong lesatan anak panah berhasil mengenai bahu kiri Aalisha. Byurr, gadis itu terjatuh dari pilar yang tingginya mencapai tiga meter lebih, menghantam lantai air sangat keras hingga air menyembur serta kepala belakangnya berdarah akibat benturan. Ia berteriak dan menjerit kesakitan karena anak panah itu menembus bagian bahunya, tepatnya di tulang belikat (Scapula) hingga benar-benar tembus. Telinganya berdengung, pandangannya sempat buram, ia melihat samar-samar di atas pilar lain ada Hanos Urn yang membawa panah serta enam Vespe Nikova beterbangan sambil membawa sabit hitam.
Suara jeritan digantikan rintihan karena seluruh tubuh Aalisha sakit, ia berguling ke kanan-kiri saking sakitnya. Amarahnya langsung mendidih. Maka ia memunculkan banyak pentagram sihir, melempar para Hanos Urn dari atas pilar dan berjatuhan ke bawah, ia juga menggunakan Igniesco pada enam Vespe Nikova hingga mereka jatuh ke air pula. Lalu Aalisha dengan terengah-engah, menempelkan telapak tangan kanannya di lantai kemudian berteriak merapalkan mantra; Diffunditur Elektra, maka aliran listrik berhasil menghanguskan setiap monster yang berada di air, barrier seketika lenyap.
Masih dikelilingi amarah, Aalisha menggenggam erat anak panah yang menancap di bahunya lalu ditariknya hingga sedikit darah memuncrat, ia lempar anak panah tersebut kemudian terdiam, terlentang, menatap langit sambil merasakan sakit akibat anak panah yang menembus scapula-nya. Jantungnya masih berdebur kencang, berusaha ia stabilkan, tubuhnya seolah mati rasa dan tulang-tulangng remuk, kaki kanannya terasa sangat perih, pasti perban yang awut-awutan itu sudah terbuka. Dia masih diam di sana, cukup lama, merasakan keheningan nan sunyi melebihi hutan tak berpenghuni, sesaat membawanya ke masa lalu---sialan, dia benci mengingat saat itu.
Maka lekas Aalisha bangun, bahunya langsung sakit sekali, tetapi dia hanya perlu merasakannya, perlahan tangan kanannya, ia letakkan di lukanya, merapalkan mantra yang mengobatinya secara perlahan. Sayangnya, tak benar-benar sembuh. Aalisha rasa, dia harus berlatih keras ketika pelajaran Sihir Penyembuhan di Eidothea nanti ... bukankah lebih baik dia belajar dengan guru privat, pasti lebih cepat paham dibandingkan bertemu dengan orang-orang yang senang mengusik ketenangannya.
Manik matanya menatap pada perbannya yang benar-benar terbuka, serta jadi merah akibat lukanya yang tak sembuh total. Aalisha menyeret kakinya menuju salah satu pilar yang ia naikin tadi, duduk di kotak agar tak terkena air. Ia buka sepatunya, keduanya, mengenaskan sekali sepatunya karena sudah rusak, bolong-bolong akibat serangan Vespe Nikova tadi. Terlihat pula jari-jari kakinya sudah mengeriput, merah, juga terluka karena bergerak ke sana kemari saat pertarungan. Beralih dia membuka seluruh perbannya, menampakkan luka kakinya akibat ditembus pecahan kaca, agak bengkak pula, serta membiru, benar-benar terlihat jelek dan buruk.
Dahulu, entah di umurnya yang ke berapa, ketika terluka, penuh sayatan pedang, memar, maupun patah tulang. Aalisha kecil selalu bertanya-tanya; mengapa dia terlahir kecil, kurus, dan pendek? Mengapa pula sering terluka dan berdarah padahal tubuhnya tidak sekuat orang lain? Haruskah lengannya putus dahulu baru ia tak disiksa lagi.
Kini dia tak mau lagi mempertanyakan kebodohan dan kelemahannya itu. Ia memunculkan invinirium, mengambil perban baru, lalu menutupi lukanya dengan perban itu, tak ada ramuan yang tersisa jadi dia hanya perlu mengganti dengan perban baru saja agar darahnya tak keluar. Ia melepas trench coat black-nya, menyisakan baju dalam yang berupa kaos putih berlengan panjang dengan turtle neck. Ah, terkena cipratan darah juga, lebih tepatnya darahnya sendiri terutama setelah tertembus anak panah tadi.
"Aku harus cepat keluar dari sini." Dia tak jadi beristirahat karena tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya jika terlalu lama di sini.
Maka ia kembali menjejakkan kaki di lantai, airnya ternyata berada lebih sedikit di atas mata kakinya. Aalisha memutuskan untuk tak mengenakan sepatu karena percuma dikenakan jika sudah rusak dan bolong, dia merasa jari-jarinya sakit juga karena sepatu itu. Jadi dengan langkah yang mantap, dia menyusuri ruangan dengan air menggenangi lantai tanpa goyah sedikit pun. Tanpa tangis, tanpa berpikir membutuhkan bantuan karena dia selalu menganggap dirinya mampu melewati semua ini sendirian.
Pertarungan demi pertarungan melawan prajurit dan kesatria kelelawar berhasil dia lewati. Ia meraih pecahan jaca, menyayat telapak tangannya yang tak tahu sudah sayatan ke berapa, ia tak ingat karena telapak tangan kirinya seolah mati rasa meski darah menetes terus dari sana. Jumlah para monster semakin bertambah begitu pula kekuatannya, tetapi Aalisha mampu mengalahkan mereka. Meski setiap menggunakan mantra, dia terus-menerus muntah darah, bahkan mimisannya sulit berhenti. Entah berapa banyak kain putihnya yang terbuang karena dia menyeka darah yang keluar dari hidungnya.
Pertarungan ke-18 sudah membuat kepalanya sakit sekali, dia melapisi telapak tangannya dengan perban putih---pada pertarungan ke-15---meski perban itu tetap merah darah karena darahnya tak kunjung berhenti. Aalisha mengganti menyayat telapak tangannya dengan menyayat di lengannya, tenang saja, jauh dari pergelangan tangan. Maka setelah meneteskan darahnya, ia kembali bertarung, kini dia tak main-main lagi, dia menebas setiap musuhnya dengan sangat brutal, ia gunakan sihir yang langsung membinasakan musuh-musuhnya meski ia akan memuntahkan darah dan tenggorokannya terasa sangat sakit.
Waktu bergulir hingga tiba di pertarungan ke-25, Aalisha sudah ke sana-kemari mencari pecahan cermin itu, tapi tak kunjung dia temukan. Jalannya sudah mulai sempoyongan, kakinya keram, jadi dia memutuskan menggunakan sihir melayang kemudian menarik kotak-kotak seperti di pertarungan keempat kemudian duduk di atas sana, ia sudah tak kuat hingga akhirnya menutup kedua matanya.
Sempat dia tertidur, tetapi suara-suara aneh membuatnya terbangun. Suara seperti tawa anak-anak, samar-samar dia melihat sosok anak perempuan yang tengah berlari ke sana-kemari. Kemudian berdiam di dekat pilar sambil menunjuk-nunjuk pilar tersebut, anak itu lalu memposisikan diri seolah menggenggam pedang, anak itu seolah-olah menyerang pilar air terjun tersebut. Lalu tepat di dekat telinga Aalisha, dia mendengar suara berbisik, "bangun dan hancurkan".
Maka sosok anak kecil itu lenyap dan Aalisha terbangun dengan sakit kepala yang langsung dia memuntahkan darah ke air, tetapi lenyap karena sepertinya air ini tak menerima darah. Aalisha turun dari kotak seraya menyeka mulutnya dengan lengan baju. Berada di dekat pilar, ia tempelkan telinganya yang terdengar suara dentingan kaca alih-alih suara air terjun. Ia juga melihat cahaya samar-samar di dalam pilar tersebut. Maka seolah diberikan petunjuk, Aalisha mundur beberapa langkah, menarik Aeternitas-nya.
"Latreia." Cahaya biru bersinar di pedangnya itu. Ia angkat pedangnya setinggi mungkin, diayunkan begitu tangkas dan kuat sambil berteriak, "Aeternitas penuhi permintaanku!"
Ledakan terjadi hingga angin kencang bertiup, Aalisha mundur beberapa langkah, ia tahan tubuhnya dengan berpegangan erat pada Aeternitas yang ditancapkannya ke lantai. Setelah ledakan serta debu-debu menghilang. Cahaya biru tua bersinar. Lekas Aalisha mendekati cahaya itu, ia sentuh, seketika suara dengungan menyakitkan telinganya, perlahan ia menghilang dari sana karena ditelan cahaya biru itu.
****
Aula megah ini terasa dingin, lebih gelap dibandingkan tempat pilar-pilar air terjun yang terang, meskipun begitu tak memerlukan cahaya dari bola api untuk melihat sekeliling. Lantainya berwarna menyerupai warna galaksi sehingga gradasi warna hitam, biru, kuning, dan ungu. Lalu ada empat pilar besar berwarna agak gelap dengan ukiran melingkar berwarna emas. Langit-langit terdapat lampu gantung yang besar dengan warna temaram. Kemudian di sisi kanan dan kirinya menjulang pintu besar nan tinggi seolah raksasa setinggi tiga meter pun bisa masuk melalui pintu tersebut. Kemudian paling menakjubkannya adalah patung besar setengah badan yang mengenakan zirah, ketopong, serta kedua tangannya berada di tengah-tengah aula megah ini dan menangkup seolah melindungi dan menyembunyikan sesuatu.
Aalisha mengedarkan pandangannya, tak ia temukan orang lain terkecuali dirinya, ia sendiri lagi. Dirasa tak ada orang lain, ia pun mulai melangkah tanpa alas kaki menuju kedua tangan patung tersebut. Tinggal beberapa langkah agar sampai di tangan itu, tiba-tiba tangan patung itu bergerak dengan sendirinya, semula menangkup kini terlihatlah sesuatu yang disembunyikan patung tersebut---sebuah cermin besar dan bercahaya putih.
"Kenapa tak ada pantulanku?!" Aalisha menggerakkan tangannya, tetapi tidak terlihat pantulan dirinya padahal cermin di hadapannya ini tak kotor.
Ia terkejut kemudian karena cermin itu bercahaya, samar-samar terlihat seseorang di cermin tersebut, tetapi bukan Aalisha. Siapa itu? Mengapa terlihat lebih dari satu orang di sana?
Merasa harus mengusir rasa penasarannya, maka tanpa takut dia sentuh permukaan cermin tersebut hingga bersinar terang kemudian aula megah ini berubah menjadi sebuah ruangan yang sederhana. Ada sofa besar, meja yang di atasnya teko serta cangkir, kue-kue kering di piringan cantik, lalu meja berisi banyak dokumen dan buku. Rak berderet-deret yang juga penuh buku, furniture berupa pajangan foto entah menunjukkan wajah siapa, serta terdengar langkah kaki bergerak ke sana-kemari.
"Sudah kukatakan untuk tak mempercayainya! Mengapa mereka keras kepala, masyarakat bahkan membelanya, lalu lihatlah! Semua mati!" Seorang pria dengan rambut cokelat terlihat mondar-mandir dengan ekspresi yang menunjukkan kekhawatiran serta kesal. Omong-omong siapa dia? Aalisha tak mengenalnya sama sekali!
Pria berambut cokelat itu berjalan ke arah Aalisha, awalnya gadis itu pikir dia akan ditabrak, tetapi whoosh, ibarat Aalisha adalah hantu maka pria itu menembusnya begitu saja, tanpa merasakan keanehan atau kejanggalan.
"Tubuhku ditembus begitu saja, jadi ini bukan teleportasi ke tempat berbeda." Aalisha sangat yakin jika dia tak mati, sehingga tidak menjadi hantu, tetapi mengapa mereka tidak melihat Aalisha, lalu siapa pula mereka! Mengapa tak ada petunjuk sama sekali!
"Ini benar-benar gila! Harusnya sejak awal, kita basmi para tikus itu!" Kembali bersuara si pria rambut cokelat dengan wajahnya memerah seperti tomat.
"Tenanglah, bisakah Anda duduk dahulu dan mendinginkan kepala? Kita bisa mencari cara untuk menyelesaikan permasalah ini," balas pria lain yang duduk di kursi dengan depannya banyak sekali dokumen-dokumen. Pria itu memiliki rambut hitam, kumis tipis, hidung mancung, dan matanya biru meski tak sebiru dan secantik manik mata Athreus.
"Cara untuk menyelesaikannya adalah mencari para tikus dan menghentikan penyebarannya! Bakar mereka semua!" Pria rambut cokelat cukup marah yang membuat ruangan ini bergetar lalu kembali tenang ketika si rambut hitam berdiri dari kursinya.
"Aku setuju untuk mencari para tikus, tapi membakar atau melenyapkan suatu kehidupan begitu saja, takkan membawa keuntungan bagi kita. Pikirkanlah para murid, jika tikus dibunuh, maka para tikus lain takkan segan menyerang kemari." Pria tua itu memberi nasihat, suaranya benar-benar lembut seperti profesor Eugenius. Sempat Aalisha berpikir jika pria itu adalah profesornya, mungkinkah? Maka Aalisha melihat-lihat ruangan ini, ia temukan surat tanpa nama pengirim, hanya sebuah tanggal dan tahun.
"Sial," gumam Aalisha, ekspresinya menunjukkan keterkejutan. "Ini 100 tahun yang lalu."
Lekas dia mundur tiga langkah sambil menggeleng. "Tidak, tidak, tidak. Aku tidak mau terlibat. Aku harus keluar dari memori ini, tapi bagaimana caranya! Oh Dewa, aku tak mau terlibat dengan masalah lagi, cukup Zephyr, kali ini aku tidak mau!" Ia pun mengedarkan pandangannya, berusaha mencari cara keluar dari memori ini. Melihat sebuah pintu cokelat, Aalisha beranjak ke pintu tersebut, dibukanya, tetapi hanya kegelapan yang ia temukan.
"Mudah bagimu mengatakan hal itu!" teriak si pria rambut cokelat, lagi. "Namun, para tikus sudah mulai memasuki desa-desa, bahkan ada di antara para pendeta. Parahnya bagaimana jika mereka kemari?!"
Aalisha melepaskan gagang pintu tersebut, beralih menatap pada kedua pria di hadapannya yang masih saja berdebat membicarakan pengkhianat, masyarakat, hingga tikus? Sebenarnya tikus apa yang mereka maksudkan? Binatang biasa atau sesuatu yang merujuk pada makna konotatif, tetapi jelasnya yang harus digaris bawahi adalah tikus di sini bukanlah hal baik.
"Kalau begitu, kita harus melindungi sekolah ini, itulah prioritas kita." Pria berambut hitam kembali duduk di kursinya sambil menatap sebuah surat dengan amplop putih-kecokelatan.
"Baiklah kalau begitu, kita akan meminta pada pihak kerajaan---"
Pintu di ruangan itu seketika menjeblak dengan keras, satu pigura terjatuh ke lantai dan hancur. Seorang pria dengan tubuh gemuk dan agak pendek masuk sangat tergesa-gesa, seperti dikejar setan, napasnya memburu, keringat bercucuran. Sempat Aalisha terkejut karena pria yang baru datang itu serta memiliki rambut merah menembus tubuh Aalisha begitu saja. Suaranya yang melengking terdengar. "Gawat! Aku mendapatkan kabar ada tikus yang terlihat. Kini pasukan khusus dikirim kerajaan!"
Aalisha memperhatikan pria rambut cokelat yang menatap pria duduk di kursi, lalu seolah dia membaca maksud dari tatapan itu. Si rambut hitam berucap, "pergilah."
"Terima kasih," sahut si rambut cokelat. Lekas Aalisha menjauh karena tak mau ditembus lagi tubuhnya. Rasanya aneh karena Aalisha ibarat hantu yang berkelana ke masa lalu, lebih tepatnya ingatan masa lalu.
Kini Aalisha sedikit bercahaya, ia melihat pula ruangan di sekitarnya perlahan memudar, ah dia rasa sudah usai ingatan masa lalu ini dan Aalisha akan segera sadar. Sebelum itu, dia melangkah menuju meja di mana pria berambut hitam sedang membaca suratnya. Aalisha hendak tahu siapa nama pria itu, setidaknya nama keluarga atau gelar bangsawannya, tetapi tak ada petunjuk sedikit pun. Setiap suratnya hanya ada tulisan tanggal dan tahun serta tanda tangan kecil. Ah, tidak masalah dia tak tahu, toh dia memutuskan untuk tak mau terlibat dengan semua ini.
Sebentar lagi ia akan kembali, pria rambut hitam juga sudah mulai memudar, hingga akhirnya sebelum Aalisha benar-benar kembali, terdengarlah kalimat terakhir dari pria itu, dia berujar, "sulit untuk mencapai kemenangan, para tikus sudah merebak ke mana-mana. Terlebih lagi, masa depan sudah diramalkan Keturunan Drazhan Veles."
Sungguh demi Para Dewa dan Dewi yang bertahta di Athinelon ini. Setelah mendengar perkataan itu, detik ini Aalisha semakin memutuskan untuk tidak terlibat dengan masalah inj, terutama karena disebutnya nama Keluarga Drazhan Veles. Ya, keluarga gila yang senang bermain-main dengan ramalan yang hampir dari semua ramalan mereka selalu tentang kehancuran dan kematian.
****
Aalisha membuka matanya, mengerjap-ngerjap, kini dia sudah kembali, terlihat di hadapannya sebuah cermin yang tadi membawanya ke memori masa lalu. Manik matanya melebar ketika suara retakan terdengar, maka hancurlah cermin itu menjadi abu yang kemudian lenyap sebelum menyentuh lantai.
Hening menguar, Aalisha masih memikirkan apa yang baru saja terjadi padanya. Dia menemui kesialan dan malapetaka lagi.
Grak-grak-grak suara salah satu pintu yang terbuka terdengar cukup keras, sontak Aalisha menarik pedangnya, ia arahkan pada seseorang yang tiba ke aula megah ini.
"Ah, di sana Anda Yang Mulia." Ternyata tuan Thompson. "Bagaimana bisa Anda tiba di sini? Tadi aku berada di ruangan aneh penuh teka-teki dan musuh. Ada Hanos Urn dan monster kelelawar." Ia berujar seraya melangkah pelan menuju Aalisha.
"Seperti Anda, keanehan membawaku sampai di sini," balas Aalisha menurunkan pedangnya.
Tuan Thompson tak begitu memperhatikan Aalisha, ketika hampir di dekat gadis itu, dia berujar, "kurasa dungeon ini memberikan ujian ke setiap---Demi janggut salah satu penyihir Agung! Apa yang terjadi pada Anda?!! Ohh Dewa, Anda terluka parah, perban di kaki, bahu, lalu mengapa Anda tak mengenakan alas kaki?! Apa yang terjadi ketika kita terpisah?"
Aalisha diam karena ocehan dan begitu tergambar jelas kekhawatiran tuan Thompson. Dia lalu melihat pria itu dari ujung rambut hingga ujung kepala, dia terlihat baik-baik saja, tak ada luka, tak ada baju sobek, tak muntah darah, wajahnya tak pucat, dan ... masih mengenakan alas kaki. Inilah perbedaan antara Aalisha dengan tuan Thompson yang seorang inquisitor.
"Aku mengalami hal buruk, teka-tekiku hampir membuatku mau bunuh diri." Aalisha jawab asal meski tetap pada intinya jika penampilannya yang berantakan ini karena ujian dungeon, entah mengapa hendak sekali dia membunuh pencipta dungeon ini!
"Baiklah aku paham." Tuan Thompson sepertinya harus bersimpuh di hadapan profesor Eugenius karena muridnya hampir diambang kematian akibat terlibat dengan masalah ini. "Aku bersyukur Anda selamat dan bisa melalui teka-tekinya. Apa luka Anda masih parah, bagaimana jika aku---liontinnya!"
Aalisha pun menoleh sesuai arahan tangan tuan Thompson yang menunjuk pada liontin yang mereka cari-cari, ternyata berada di dada patung besar itu. Tunggu? Liontin itu baru ada di sana, ia yakin jika sebelumnya tak ada! Ohh, salah satu keanehan dunia lagi. Dia sudah terbiasa, mungkin.
"Akhirnya liontinnya kita temukan. Tidak, Anda lebih penting! Bagaimana luka Anda apakah masih---"
"Aku baik-baik saja." Sengaja Aalisha interupsi. "Bisakah kita segera mengambil liontin itu, aku ingin keluar dari tempat gila ini."
"Baiklah jika Anda berkata Anda baik-baik saja, kita akan mengambil liontinnya."
Graaakkk, terdengar kembali suara pintu terbuka, tetapi pintu yang berbeda dengan yang sebelumnya dilalui tuan Thompson. Kali ini, Aalisha benar-benar memasang kewaspadaan, begitu pula tuan Thompson. Kira-kira siapa yang datang? Mungkinkah ujian lainnya dari dungeon ini atau malapetaka yang lebih buruk?
"Yang Mu---Nona, lindungi kepala Anda dan merunduk!" teriak tuan Thompson.
Cahaya dengan warna kehitaman menerjang mereka, hampir menembus kepala Aalisha jika dia tak diberi peringatan sebelumnya. Ternyata cahaya itu adalah Kannirth Pogha, kembali dia menyerang, tetapi berhasil dihentikan tuan Thompson. Sang monster gagak lalu kembali ke pasukannya, ah ada pasukan yang datang kemari, jumlah mereka sekitar 20 orang.
"Bunuh mereka! Dapatkan liontinnya!" teriak sosok pria yang cebol, wajah gembung dan agak kotak, memiliki kantung mata, serta hidung bengkok dan panjang. Dia diketahui bernama Selerebi.
Aalisha berdecak. "Kurasa mereka bukan bagian teka-teki dari dungeon ini. Apa Anda kenal mereka?" Dia melangkah mundur sambil mengayunkan pedangnya karena serangan sihir beruntun hendak membunuhnya.
"Tidak Nona. Aku tak kenal mereka." Tuan Thompson menyelubungi dirinya dengan neith kemudian melancarkan serangan begitu dahsyat sehingga lima prajurit milik Selerebi berhasil terbunuh.
"Tak masalah." Aalisha mengeratkan genggamannya pada pedang. "Namun, sudah pasti jika si cebol berumur tua itu yang mengirim Kannirth Pogha pada kita."
"APA YANG KALIAN TUNGGU!" Suara Selerebi menggelegar. "CEPAT BINASAKAN MEREKA DAN AMBIL LIONTINNYA!"
"Tuan Thompson," ujar Aalisha memberi kode yang dipahami tuan Thompson karena gadis itu mempersiapkan diri dengan menyerang menggunakan sihir.
"Ya." Maka lekas tuan Thompson berlari menuju patung hendak mengambil liontin, sedangkan Kannirth Pogha berubah menjadi monster gagak lalu meluncur begitu cepat hendak meraih liontin yang sama.
Serangan demi serangan dilancarkan Aalisha, sihir api digunakan olehnya hingga membakar dua prajurit. Lekas dia mengayunkan pedangnya ketika salah satu prajurit membawa pedang magis hendak menebas kaki Aalisha. Terjadilah adu pedang di antara keduanya. Aalisha sempat terluka karena gerakannya terhambat oleh luka di kaki kanannya serta bahu kirinya.
Di sisi lain, tuan Thompson beradu sihir dengan Kannirth Pogha yang terbang ke sana-kemari begitu cepat. Keduanya sama-sama kuat atau tuan Thompson masih menahan diri. Ia sesekali melirik pada Aalisha yang terlihat kewalahan karena lukanya kembali terbuka.
"Nona!" teriak tuan Thompson karena satu serangan prajurit mengenai gadis kecil itu meski berhasil Aalisha balikan keadaan hingga prajurit yang menyerang terlempar dan tertusuk besi panjang nan tajam.
Aalisha berteriak, "jangan khawatirkan aku, fokus pada liontinnya---sial apalagi!"
Disadari oleh Aalisha, tuan Thompson, Selerebi, serta antek-anteknya bahwa lantai yang mereka pijak bergetar hebat, kemudian cahaya terang bersinar dari seluruh tubuh patung di aula megah itu. Maka menggelar terdengarlah suara di seluruh aula megah ini sehingga dapat didengar oleh semua manusia.
"Hari ini, telah datang para penyusup dan pencuri yang hina! Kalian telah berbuat dosa karena berani menjejakkan kaki ke tanah diberkati. Maka dengan ini, hukuman langsung diberikan oleh Midzstone!"
Detik itu, gempa semakin terasa, perlahan sang Patung bernama Midzstone. Dia mengenakan pakaian prajurit dengan penuh zirah. Ketika berdiri dia begitu tinggi hampir mencapai tiga meter.
"Pendosa!" teriaknya dengan suara begitu rendah, tetapi menggelegar dan sangat menyeramkan.
Detik selanjutnya, jeritan para prajurit milik Selerebi memenuhi aula ini karena sang patung menginjak mereka hingga usus-usus mereka terburai begitu juga organ tubuh yang lain. Kini para prajurit itu berusaha menyerang Midzstone dengan berbagai sihir tingkat tinggi. Beberapa serangan mereka ada yang berhasil, ada yang tak terasa daya hancurnya sedikit pun. Lampu gantung hancur dan berjatuhan, jadi mereka termasuk Aalisha dan tuan Thompson harus menghindari semua itu.
Aalisha berdecak sebal ketika dua prajurit mulai menyerangnya, sementara tak jauh darinya, patung gila sedang mengamuk. Seraya melancarkan serangan balik, dia melihat sekeliling, hendak mencari jalan keluar, lalu melihat sebuah cahaya biru yang sama seperti gerbang awal yang membawanya ke mansion Baron dan bertemu butler badut. Namun, sialnya cahaya biru itu berada di dalam semacam kolam kecil.
"Tuan Thompson, apa Anda melihatnya?! Cahaya di dalam kolam!" teriak Aalisha ketika tuan Thompson sedang menghindari serangan dari prajurit Selerebi dan patung yang hampir menginjak kepalanya.
"Ya, aku melihatnya! Pergilah lebih dulu, nyawa Anda penting! Aku akan di sini agar mendapatkan liontin itu." Barusan apa yang dikatakan pria berusia 50-an tahun itu? Menyuruh Aalisha pergi, mengapa begitu berharga liontin yang membawa mereka menuju dungeon penuh malapetaka ini!
"Pergilah!! Tinggalkan aku!" teriak tuan Thompson kembali.
Aalisha menatap cahaya biru cukup lama, lalu beralih pada tuan Thompson, ia lalu tersenyum simpul, di saat bersamaan satu prajurit melompat hendak menyerangnya, tetapi berhasil Aalisha tebas lebih dulu kemudian dibakar tubuh prajurit itu hingga menjadi abu. Lalu darah menetes dari hidungnya. Ia seka darah itu dengan punggung tangan yang diperban. "Berani sekali Anda memerintahku."
Senyuman tipis tuan Thompson terukir, dia paham sekali jika gadis De Lune itu takkan kabur dari marabahaya karena begitulah dia diajarkan. Maka tak ada cara untuk memaksanya. Tuan Thompson berujar, "aku ambil liontinnya, tolong tahan serangan para musuh."
"Masih saja Anda berani memerintahku." Lekas Aalisha berlari meski kaki kanannya berdenyut hebat. Dia menuju beberapa prajurit yang hendak menjatuhkan tuan Thompson yang berusaha memanjat patung itu.
"Sudah cukup ...." Suara Selerebi terdengar yang kini pentagram hitam besar muncul di lantai. "Kubunuh kalian semua! Jika tak bisa kudapatkan liontinnya, maka kalian juga. Aku memanggilmu Ajaxilirimus!"
Aalisha maupun tuan Thompson terdistraksi dengan dipanggilnya monster bertubuh cyclops, tetapi memiliki ekor ular---dua ular yang mengeluarkan racub. Tangan kanannya berupa hewan serigala dengan gigi tajam, sementara kirinya seekor buaya yang menggigit gada besar. Ya monster hibrida itu adalah Monster hasil eksperimen berupa perkawinan antara binatang, hasilnya monster ini dinamakan Ajaxilirimus.
Ayunan gada yang digigit tangan buaya berhasil mengenai sang Patung Midzstone, meskipun ditahan patung itu dengan kedua tangannya, tetapi dia berhasil terpukul mundur hingga tuan Thompson yang berusaha menaiki patung itu terempas ke dinding. Langit-langit di aula megah ini sebagian runtuh, akibat serangan kedua yang gagal. Kini Midzstone dan Ajaxilirimus saling beradu kekuatan, suara gemuruh, lantai hingga pilar bergetar terasa dahsyat, tercipta pula angin kencang setiap senjata mereka saling berbenturan. Sementara itu ekor ular monster hibrida itu menyerang tuan Thompson yang berhasil menghindari serangan itu.
Suara berdebum terdengar keras karena sang patung berhasil disudutkan ke dinding, sebagian dari tubuh patung itu juga hancur. Kini satu ekor ular melilit kaki Midzstone lalu ditariknya hingga patung itu ambruk.
"Gawat," gumam tuan Thompson, "kalau patung itu hancur bersamaan liontinnya, maka habis sudah." Maka dia berlari menuju pertarungan kedua raksasa itu, hendak mencegah serangan gada milik Ajaxilirimus agar tidak menghantamkan dada Midzstone yang di sanalah liontin itu berada. Tuan Thompson menciptakan pentagram di sekeliling Ajaxilirimus, serangan sihir tingkat tinggi berhasil membuat monster itu menjerit-jerit dan terdistraksi sehingga tidak menyerang Midzstone, tetapi malah menjadi malapetaka bagi tuan Thompson karena gada monster itu hendak diayunkan padanya.
Bisa terasa euforia yang mengerikan ketika di hadapan tuan Thompson adalah gada yang sebesar gunung dan hendak menghantam tubuhnya, ketika diayunkan gada itu, tiba-tiba sang monster membelokkan serangannya, tidak menghantam tuan Thompson atau Ajaxilirimus. Tak terduga serangan gada itu malah mengenai lima prajurit Selerebi hingga tubuh mereka hancur dan organ tubuhnya terhambur di lantai. Apa yang terjadi di sini?! Bahkan serangan itu berhasil membunuh Kannirth Pogha hingga kepalanya terlepas.
"Jangan bilang," gumam tuan Thompson, "Nona Aalisha mengendalikan monster itu."
Lekas dia mencari keberadaan Aalisha yang berada di dekat kolam, jalan keluar mereka. Gadis itu berdiri, gemetar tubuhnya, tangan kanannya terarah ke depan, sementara tangan kirinya bertopang pada pedangnya yang ditancapkan ke lantai. Sungguh mengerikan gadis itu. Bagian depan baju putihnya sudah bersimbah darah karena Aalisha terus memuntahkan darah, begitu pula mimisannya tak berhenti, sementara telinga kanannya juga mengeluarkan darah. Meskipun begitu manik matanya menatap tajam seolah dia tak merasakan sakit, tidak! Gadis kecil itu sebenarnya sangat kesakitan! Tubuhnya memanas seperti dia berpijak di atas bara api.
"Padahal hanya tiga detik ...." Aalisha kembali memuntahkan darah. "Tapi aku sudah mencapai batasan! AKU BENCI INI!"
Satu hantaman dari sang Midzstone tepat ke wajah Ajaxilirimus, patung itu berdiri kembali kemudian melancarkan serangan hingga menciptakan luka besar di dada monster itu. Ketika sang monster hendak menyerang kembali, Aalisha kembali mengendalikan monster itu selama tiga detik sehingga serangannya malah membunuh para prajurit yang notabene adalah rekannya sendiri.
"Nona sudah cukup!!!" teriak tuan Thompson, "Anda mencapai batasan! Sial dia tak mendengarkanku."
Percuma, dia tahu jika percuma meminta Aalisha berhenti di saat seperti ini. Gadis itu punya kesombongan dan gengsi yang sangat tinggi. Dia tidak suka diperintah dan tidak suka menerima kekalahan. Jika dia memutuskan untuk menang, maka segala cara akan dia dapatkan bahkan jika harus melewati batasan tubuhnya. Begitulah yang diajarkan keluarga De Lune.
"Aku harus dapatkan liontinnya dan membawa anak itu kabur." Lekas tuan Thompson berlari menuju pertarungan kedua raksasa itu lagi.
Di sisi lain Selerebi terkejut bukan main karena setiap serangan monster miliknya malah mengenai prajuritnya. Kini pun serangan gada yang harusnya diperuntukkan pada patung itu malah menghantam dinding dengan keras alhasil ketika Midzstone mengayunkan pedangnya, maka tangan serigala dari Ajaxilirimus putus dan jeritan melengking terdengar. Lalu langit-langit yang hancur menimpa para prajurit yang tersisa akibat efek serangan pedang Midzstone tadi.
"Mengapa kau tak menyerangnya dengan benar? Mengapa bisa! Sebenarnya apa yang terjadi ...." Selerebi berucap lalu terhenti ketika menatap gadis kecil yang bersimbah darah, tetapi masih berdiri dengan kokohnya.
"Kaauuu ...." Selerebi merasakan jika gadis kecil itu adalah penyebab dari semua ini. "Jangan-jangan kau adalah---"
"Dasar cebol bodoh." Itulah yang Selerebi baca dari gerakan bibir Aalisha.
Kemudian detik selanjutnya, Selerebi binasa ketika gada dari monsternya sendiri seketika menghantamnya dengan sangat kuat. Seluruh isi tubuhnya terhambur, darah di mana-mana, bau amis tercium terutama karena banyak sekali organ tubuh bergelimpangan. Kini tak tersisa lagi musuh Aalisha, hanya seekor monster hibrida yang sudah terpojok oleh patung yang kembali menebas kedua ekor ular maka jeritan yang menggema di seluruh aula megah ini terdengar. Akibatnya langit-langit mulai runtuh lagi, sementara itu Aalisha terdiam karena sudah tak kuat lagi untuk menggunakan kemampuan mistisnya.
Pandangan Aalisha buram, dia melihat pada patung itu yang terus memojokkan Ajaxilirimus, serta serangannya sudah tak karuan karena dinding pun tak dipedulikan jika hancur. Ah, Aalisha sadar jika sudah tak ada liontin lagi di dada patung itu. Lalu terdengar samar-samar suara tuan Thompson. Namun, ia abaikan karena Aalisha terfokus pada tubuh besar Ajaxilirimus yang mengarah padanya, bergerak mundur, hingga persis di hadapan Aalisha dan seolah hendak jatuh ke belakang serta menimpa Aalisha yang tak kuat lagi untuk menggerakkan kakinya.
Ia tak bisa kabur. Mungkin hari ini dia akan mati. Namun, detik selanjutnya, Aalisha terkejut bukan main karena tuan Thompson sudah berada di hadapannya, lalu mengangkat tubuh Aalisha yang lekas menggenggam erat pedangnya karena tak mau meninggalkan Aeternitas. Lalu tanpa berkata apa pun, sebelum tubuh monster hibrida itu menimpa keduanya, tuan Thompson terjun ke dalam kolam kemudian menuju cahaya biru---mereka pun menghilang ditelan cahaya biru tersebut bersamaan sang patung menusuk jantung Ajaxilirimus yang ambruk dan hancurlah kolam tersebut serta mati pula monster itu. Setelahnya sang patung melangkah menjauh sementara langit-langit mulai runtuh lalu aula megah itu tertutupi debu dan asap tebal.
****
Suara-suara yang terus memanggil nama Aalisha membuat gadis kecil itu sangat jengkel. Dia pun membuka matanya yang ternyata memperlihatkan hamparan bintang-bintang yang sangat indah dan bersinar terang. Tubuhnya sakit, tetapi dia bisa menggerakkan jari-jarinya, serta tak separah sebelumnya. Dia terkejut lagi ketika tuan Thompson tiba-tiba muncul dan permintaan maaf beruntun diucapkan olehnya karena membawa Aalisha terlihat dengan bencana.
Otak Aalisha mencerna semua yang terjadi dan menemukan kesimpulan jika mereka berhasil kabur dari dungeon gila, meski kini hari sudah malam. Seraya dibantu tuan Thompson, Aalisha perlahan bangun, di posisi duduk, dia memegangi kepalanya yang berdenyut sakit.
"Berhasil?" tanya Aalisha yang mendapat anggukan cepat dari tuan Thompson.
"Ya, Yang Mulia, aku mendapatkan liontinnya. Terima kasih karena sudah membantuku. Terima kasih." Entah mau berapa kali pria tua itu mengucapkan kata terima kasih.
"Sudahlah, sekarang bagaimana lagi? Apa kita dibawa teleportasi ke tempat antah-berantah atau Kastil---"
"Eidothea," ujar tuan Thompson.
"Apa?" tanya Aalisha belum paham.
Senyuman kecil tuan Thompson terukir. "Kita berteleportasi ke dekat Eidothea, Yang Mulia. Danau ini adalah danau dekat Eidothea, di sana Prairie Lynx Woods."
Perlahan Aalisha menoleh, menatap lantai, tidak jembatan kayu yang ternyata di sini adalah danau, lalu dia menoleh ke arah lain dan melihat salah satu menara di kastil Eidothea. "Sial, jadi kita selamat dan dibawa kemari. Dasar liontin bajingan."
Suara kekehan tuan Thompson terdengar. Dia perlahan berdiri sambil mengulurkan tangannya. "Mari Yang Mulia, maaf karena aku tak bisa mengeringkan total pakaian Anda. Kemudian luka Anda, kurasa lebih baik lagi jika langsung ditangani pihak rumah sakit Eidothea."
Aalisha pun menerima uluran tangan itu, ia berdiri dengan kakinya yang langsung berdenyut sakit. Perlahan dimasukkannya pedang Aeternitas ke dalam invinirium kemudian mengikuti langkah tuan Thompson.
Mereka berdua sangat kacau, tetapi berhasil kembali ke Eidothea.
****
Melewati gerbang akademi yang tak terlihat satu pun murid, sempat ada beberapa Orly yang terlihat dengan kesibukannya, tetapi mereka hanya menyapa singkat akan kedatangan Aalisha serta tuan Thompson. Sudah pasti jika para murid berada di aula utama akademi Eidothea yang kini menunjukkan pukul delapan maka acara makan sudah usai dan dilanjutkan dengan pidato panjang profesor Eugenius.
Aalisha mempercepat langkahnya, berusaha mengimbangi tuan Thompson ketika mereka menyusuri koridor panjang hendak ke aula utama. Kaki Aalisha berdenyut-denyut, bahunya juga sama sakitnya, telinga kanannya tak bisa mendengar dengan jelas, pandangannya agak buram. Namun, dia masih mampu menahan semua rasa sakit itu.
"Aku tak menyangka jika Anda menemukan cermin itu dan melihat memori masa lalu seseorang," ungkap tuan Thompson setelah mendengar cerita singkat dari Aalisha yang dimulai dari apa yang membuat Aalisha terluka parah hingga memori 100 tahun lalu.
"Ya, aku tak tahu jika cermin itu, cermin menyimpan ingatan," balas Aalisha.
Dia memutuskan sejak awal untuk menceritakan semuanya pada tuan Thompson karena dia tak mau terlibat lagi dengan semua kegilaan ini, jadi tak ada untungnya menutupi apa yang terjadi padanya. Dia berharap dengan cara ini, tuan Thompson bersama Alastair saja yang terlibat lagi kedepannya. Tolong, mohon, dan demi Para Dewa, jangan bawa-bawa Aalisha lagi, terlebih liontin itu yang tak mau ia lihat jadi diserahkan sepenuhnya pada tuan Thompson.
"Sebenarnya ada banyak cara, sihir, dan media yang digunakan untuk menyimpan memori seseorang, salah satunya yang terjadi pada Anda." Tuan Thompson melanjutkan perkataannya. "Mengenai para tikus yang dimaksudkan oleh orang yang Anda lihat, aku pernah mendengarnya, tetapi akan kupastikan di organisasi Alastair nanti sekaligus menyerahkan liontinnya."
"Ya, silakan. Lakukan apa pun yang Anda mau, tapi tolong jangan bawa aku terlibat lagi, jangan singgung atau sebut namaku di organisasi Anda nanti," pinta Aalisha yang kini mereka hampir dekat dengan aula utama, tinggal lurus dan belok ke sebelah kanan.
Langkah tuan Thompson terhenti, ia menatap Aalisha lekat-lekat, wajah pria itu sendu sekali. "Maafkan aku Yang Mulia. Mohon ampun karena aku membuat Anda terlibat masalahku."
"Sudahlah, ini sudah terjadi jadi lupakan, tapi untuk ke depannya, aku tak mau terlibat lagi, kuharap." Aalisha memegangi kepalanya.
"Akan kuingat." Tuan Thompson mengangguk. "Oh Yang Mulia, bolehkah aku meminta agar Anda tidak menceritakan pasal liontin, Artefak, dan apa yang terjadi pada kita terutama terjebak di dungeon? Ini misi rahasia Alastair. Kuharap hanya Anda dan aku yang tahu tentang kejadian ini."
"Aku tak berniat menceritakan apa yang terjadi pada siapa pun itu," balas Aalisha melangkah kembali.
"Terima kasih banyak Yang Mulia." Mereka akhirnya hampir sampai di pintu aula utama Eidothea yang menjulang tinggi pintu itu.
"Tuan Thompson!" ujar Aalisha, "bisakah Anda membantuku masuk dengan selamat dan berdalih. Aku tak mau dianggap pembangkang karena sebenarnya ini termasuk pelanggaran karena melewati jam kedatangan."
Kekehan terdengar, tuan Thompson merasa Aalisha lucu sekali. "Ternyata Anda peduli akan hal ini, kupikir Anda selalu semena-mena."
"Bukan," balas Aalisha cepat, "aku hanya tak mau jadi bahan gosip lagi. Mereka pasti berpikir jika aku terluka begini karena aku Majestic Families yang selalu diincar nyawanya. Aku ingin Anda saja yang membuat alasan karena aku sudah sangat lelah."
"Baiklah, baiklah Yang Mulia. Akan kulakukan, lagi pula ini penebusan dosaku karena masalahku lah yang membuat Anda jadi begini." Tuan Thompson sedikit membungkukkan badannya seolah memberi penghormatan sekaligus permintaan maaf, lagi. "Mari masuk."
Baru hendak masuk, mereka terkejut karena Tamerlaine keluar dari sana. Orly itu langsung menunjukkan wajah terkejut pula karena kedatangan mantan inquisitor Alastair serta--- "Oh Dewa, Nona Aalisha, apa yang terjadi pada Anda? Mengapa Anda baru tiba."
"Tuan Tamerlaine, mengenai itu ...."
"Ceritanya panjang," sahut tuan Thompson, "jadi bisakah nona Aalisha masuk ke dalam sekaligus aku hendak mengatakan sesuatu pada profesor Eugenius."
"Tentu saja, aku akan membukakan pintunya selebar mungkin," balas Tamerlaine lalu menjentikkan jarinya.
"Tuan Tamerlaine, jangan dibuka lebar-lebar!"
Terlambat karena suara derit pintu yang sangat keras terdengar, maka perlahan-lahan pintu besar itu terbuka yang mulai terdengar riuh para murid di dalam. Samar-samar terdengar pula suara profesor Eugenius yang sedang memikirkan candaan di pertengahan pidatonya agar para murid tak bosan.
Suara para murid itu yang ibarat para lebah di dalam sarangnya, sontak semua hening ketika tuan Tamerlaine masuk lebih dahulu. Kemudian disusul tuan Thompson Harper, serta Aalisha mengikuti langkahnya, tetapi lebih pelan karena Aalisha merasa sangat malu sekaligus kakinya semakin sakit setiap ia melangkah.
"Hei siapa pria dengan tuan Tamerlaine?"
"Bukankah itu bangsawan Harper? Dia yang dulu menjabat sebagai inquisitor!"
"Mengapa salah satu inquisitor terbaik Alastair datang ke Eidothea?"
"Apa ada masalah di sini jadi dikunjungi seorang inquisitor!"
"HEI! Bukankah dia nona Aalisha De Lune."
"Pantas tak kulihat dia bersama dengan teman-temannya."
"Oh Dewa, kenapa dia bersimbah darah!"
"Kakinya diperban, apa yang terjadi padanya? Mengerikan sekali, apa dia diserang?"
"Kenapa dia tak mengenakan alas kaki."
"Oh Dewa, tidak hanya pakaiannya, telinga kanannya juga ada bekas darah."
"Apa yang terjadi padanya?"
Inilah yang tak Aalisha sukai. Menjadi bahan pembicaraan lagi padahal dia sudah hampir setengah tahun selalu dibicarakan dari ujung ke ujung Eidothea. Yah, lagi pula siapa yang takkan membicarakan dirinya terutama melihat keadaannya yang mengenaskan itu.
Lihatlah, Aalisha melangkah, menyusuri lantai aula utama tanpa alas kaki. Telapak kakinya penuh luka, kaki kanannya diperban putih yang sudah jadi merah karena lukanya masih terbuka dan tak diobati dengan baik, apalagi perbannya awut-awutan. Perhatikan saja lagi, bahu kirinya diberi perban juga, masih ada noda darah di sana. Lalu bajunya juga ada bekas darah, merah sekali lagi karena bajunya berwarna putih. Sebagian bajunya juga sobek, lengannya terutama. Di sekitaran lehernya juga ada bekas darah, terutama telinga kanannya. Gadis itu benar-benar kacau, lebih kacau lagi karena tuan Thompson tak terluka parah jadi Aalisha terlihat sangat mencolok seolah habis berperang dan ada pertumpahan darah yang dahsyat.
Di meja asrama Arevalous lah yang paling heboh, terutama Anila dan lainnya sedang bercakap-cakap dan terhenti ketika ada yang menyebut nama Aalisha. Kini Si gadis Andromeda serta kawan-kawannya lekas berdiri untuk melihat dengan jelas, apakah benar Aalisha yang datang itu? Ketika mereka melihat Aalisha, detik itu pula dunia mereka seperti berhenti, terutama Anila dan Mylo.
Semakin Aalisha melangkah menuju panggung para pengajar dan profesor akademi. Ia menjadi pusat perhatian, mengambil segala atensi yang ada.
Eloise Clemence yang mengantuk kini terkejut karena kedatangan Aalisha yang penuh luka, begitu pula Nicaise yang bersama kawan-kawannya sedang mengobrol jadi terdistraksi dan kini manik mata ungunya tak berhenti menatap Aalisha. Sementara itu, Athreus yang sedari tadi diam mendengar ocehan tak bermutu kawannya yang duduk di sebelah, kini menegakkan tubuhnya, lalu berfokus pada kedatangan Aalisha. Ia sama pula seperti yang lain, tak mengalihkan tatapannya dari Aalisha.
Rasa terkejut tidak hanya menyerang seluruh murid di aula, tetapi para pengajar dan profesor di atas panggung. Profesor Eugenius yang tadinya berada di podium dan membawakan pidato kini terhenti padahal sedikit lagi usai sudah pidatonya. Dia terdistraksi tidak hanya karena kedatangan tiba-tiba dari mantan inquisitor, tetapi muridnya yang tiba di Eidothea dengan keadaan naas dan bersimbah darah.
"Nona Aalisha," ucap profesor Eugenius tidak mengalihkannya pandangannya dan perlahan turun dari podium.
Di meja para pengajar. Suara Profesor Maggie Madeleine terdengar kencang, wanita tua itu juga berdiri dan pergi dari kursinya. "Oh demi para Dewa, apa yang terjadi padamu?! Mengapa kau---dan apa pula mantan inquisitor, tuan Harper berada di sini?"
Tuan Thompson melakukan curtsy, Aalisha tidak, ia diam karena menahan sakit kakinya. "Mohon maaf Profesor Eugenius dan juga para pengajar semua, maaf atas kedatanganku yang mendadak ini serta keterlambatan nona De Lune. Namun, aku kemari karena hendak mengatakan jika ada masalah di perjalanan ketika kami kemari."
"Masalah?!" teriak profesor Agrafina Ambrosia yang sempat membuat Lilura terkejut. "Masalah apa, lalu mengapa Aalisha seperti itu?!"
"Ya!" sambung profesor Madeleine. "Oh nona Aalisha." Sepertinya wanita tua itu akan menangis sebentar lagi.
"Profesor Madeleine dan Ambrosia, bisakah kalian berdua tenang dahulu, biarkan tuan Harper melanjutkan penjelasannya," ujar profesor Eugenius yang masih tenang.
"Singkatnya," sahut tuan Thompson agak mengencang suaranya. "Kami diserang pasukan iblis ketika menuju kemari. Alasan inilah yang membuat nona Aalisha terlambat datang, jadi bisakah kalian memaafkan keterlambatannya."
Profesor Madeleine membalas cepat. "Tentu saja! Nyawanya lebih penting---"
"Madeleine," sahut profesor Eugenius, "tenang."
Aalisha seketika mengangkat tangannya lalu berujar, "terima kasih sudah memaafkan aku, bisakah aku kembali ke asrama langsung atau rumah sakit. Telinga kananku seperti tuli dan aku rasanya mau pingsan."
Satu aula langsung hening karena merasa jika perkataan Aalisha adalah suatu kengerian.
"Aku akan mengantarkanmu," balas profesor Madeleine turun dengan terburu-buru sampai-sampai pakaian jadi menyapu lantai. "Lanjutkan pembicaraan kalian berdua di kantor, karena aku akan mengantarkanmu ks rumah sakit, Nona Aalisha. Ayo Aalisha, oh Dewa, aku sedih melihatmu."
Profesor Madeleine membawa Aalisha pergi, ia menuntun gadis kecil itu, sesekali mengelus punggungnya dengan pelan dan lembut. Bisa Aalisha dengar suara isakan karena sepertinya wanita itu menahan tangis. "Aku akan membawamu ke rumah sakit."
Aalisha tak menyahut, diabaikan juga tatapan para murid yang terus mengikutinya. Tak ada perkataan yang terdengar dari mereka karena berfokus menatap Aalisha yang benar-benar kacau. Kini langkah Aalisha disusul profesor Madeleine terhenti ketika Aalisha melihat seorang gadis dengan rambut panjang yang berasal dari bangsawan Andromeda terdiam di hadapannya. Bisa ia lihat, tangisan dari gadis bangsawan itu yang tak lain dan tak bukan adalah Anila. Di samping Anila, ada Mylo yang berusaha menahan tangisnya juga.
Derap langkah kaki terdengar ketika Anila berlari kemudian tanpa izin, dia peluk, dia dekap tubuh kecil Aalisha dengan sangat erat. Tidak dia pedulikan jika pakaian Aalisha bersimbah darah karena kini yang Anila inginkan adalah memeluk erat Aalisha saking dia ketakutannya. Selain Anila, Mylo yang begitu tak sopannya juga mendekap tubuh Aalisha, begitu erat, bahkan terasa gemetaran dan isakan tangisnya bersamaan terdengar tangis Anila. Keduanya sama-sama menangis, sama-sama takut, sama-sama mendekap erat Aalisha karena sangat menyiksa bagi mereka ketika melihat sahabat mereka menyusuri aula ini dengan keadaan mengenaskan.
"Aku baik-baik saja---"
"Diam!" teriak Anila, "jangan katakan apa pun. Kau sudah lelah. Sebenarnya apa yang terjadi padamu, kenapa kau selalu begini."
Mylo berucap pula. "Tidak bisakah kau sehari saja tidak terluka? Kau membuat kami khawatir terus."
Aalisha diam, ia dengarkan tangis keduanya. Ia rasakan pelukan mereka yang seolah tak mau membiarkan Aalisha pergi. Gadis itu tidak sekali pun membalas pelukan Anila dan Mylo. Dia masih tak suka dipeluk, masih merasa asing dengan semua perhatian dan empati orang-orang padanya. Jadi Aalisha melirik pada profesor Madeleine yang tersenyum simpul kemudian mengangguk kecil. Maka Aalisha pun perlahan menutup matanya.
"Aku salah." Hanya kalimat itulah yang bisa Aalisha ucapkan.
Ternyata yang menangis tak hanya Anila dan Mylo, tetapi Gilbert, Frisca, serta Kennedy. Beberapa murid Arevalous juga menangis, bahkan terdengar sekali isakan tangis Noah dan Easton. Lihatlah juga ke meja asrama lain, beberapa dari mereka ada yang menangis, ada juga yang menahan tangis, jika tak menangis, mereka diam seolah merasakan euforia yang menyesakkan ini.
Sebenarnya sudah hal yang biasa bagi para Majestic Families yang hampir diambang kematian atau selalu terluka dan berdarah-darah. Eloise Clemence pernah tiba di Eidothea dengan patah tulang tangan karena diserang iblis dan binatang magis. Nicaise Von Havardur pernah tertusuk pedang saat di kereta api karena ada serangan dari pembunuh bayaran yang entah siapa yang mengirim pembunuh itu. Lalu Athreus sempat tak sadarkan diri selama dua hari ketika sampai di Eidothea karena diserang oleh iblis tingkat tinggi. Ketika semua kejadian itu menimpa para Majestic Families, para murid hanya bisa diam, berusaha memaklumi karena keturunan Majestic Families selalu diincar nyawanya, setiap detik, setiap saat.
Hanya saja, pada malam ini ketika melihat keturunan yang disembunyikan yakni Aalisha Galad De Lune, mereka semua merasakan sesak seolah-olah mereka berpikir, "mungkinkah lebih baik identitasnya disembunyikan saja dibandingkan terlibat dengan malapetaka yang selalu mencari-cari nyawanya agar menemui malaikat kematian?". Mereka semakin sesak karena melihat pertemanan yang dimiliki oleh Aalisha De Lune itu. Bagaimana tulusnya Anila Andromeda dan Mylo Cressida menangis dan mendekap erat tubuh Aalisha seolah mereka akan hancur jika gadis kecil itu mati.
"Aalisha," ujar Anila, tetapi tak ada sahutan. "Profesor, dia pingsan!"
"Ya Dewa," ucap profesor Madeleine, "siapa pun, tolong gendong nona Aalisha."
"Biarkan aku," balas Mylo yang langsung menggendong tubuh Aalisha. Entah dapat dari mana dia tenaga untuk melakukan hal itu. Lalu lekas dia bawa sahabatnya itu menuju rumah sakit.
"Kalian tetap di sini, nona Andromeda dan tuan Cressida saja yang menemani nona Aalisha," perintah profesor Madeleine ketika melihat Frisca, Gilbert, dan Kennedy hendak menyusul Aalisha juga. "Ayo kalian, kita bawa nona Aalisha ke rumah sakit. Cepat, cepat."
Detik itu, banyak yang berpikir. Kalau inilah salah satu alasan, mengapa banyak yang menganggap Eidothea sebagai rumah mereka. Mungkinkah begitu pula keturunan De Lune itu? Apakah Aalisha menganggap Eidothea sebagai rumahnya atau dia masih tak memiliki perasaan?
Satu pertanyaan pun tiba-tiba terlintas. Jika suatu hari Eidothea akan runtuh akankah Aalisha De Lune melindungi akademi ini?
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Bagaimana dengan chapter kali ini? Terlebih chapter ini sangat panjang^^
Jujur waktu nulis chapter ini agak nggak nyaman karena kejadian berulang yang Aalisha alami. Bayangkan saja harus berulang-ulang melawan monster terus nyayat tangan sendiri. Pasti ngilu dan sakit banget:)
Gue juga suka chapter ini pas adegan terakhir. Ngebayangin aja gitu, pas para murid lagi sibuk nikmatin makan malam sama ceramah kepala sekolah, eh datang Aalisha dalam keadaan bersimbah darah. Lalu cukup terharu juga dengan interaksi Anila dan Mylo.
Komen di sini kalau mau Aalisha, Anila, dan Mylo terus jadi sahabat^^
Spam komen di sini!!
Prins Llumière
Selasa, 26 September 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top