Chapter 01 - Arc 1: Welcome to Eidothea
Sebelum memasuki tahun ajaran kedua, yakni para Akademi Eidothea berada di semester genap. Kehidupan dan aktivitas di akademi tersebut sudah mulai berjalan setelah melalui libur selama hampir tiga Minggu lamanya. Mereka yang pulang ke rumah harus berkemas kembali dan pergi ke Eidothea, kediaman para murid bangsawan yang jauh maka mereka berangkat lebih cepat dengan kereta kuda dari keluarga masing-masing. Kini dikabarkan jika kereta api yang mengantarkan para murid ke Eidothea sudah berjalan sebagaimana mestinya sehingga para murid tak lagi menaiki kereta kuda. Paling beberapa bangsawan tertentu yang hendak pergi dengan kereta kuda sendiri atau ada yang menggunakan cara instans dengan menunggangi makhluk terbang? Ah sayang sekali sepertinya tidak ada, mereka pasti kesulitan dan tak mampu menyewa seekor pegasus atau malah dilarang menunggangi binatang magis yang dilindungi tersebut.
Hari ini sudah memasuki hari kelima aktivitas pembelajaran dilaksanakan. Para murid mengenakan seragam akademi sesuai dengan asrama mereka masing-masing. Pagi tadi ketika makan pagi di aula utama, para murid berceloteh panjang lebar, masih menceritakan diri mereka ketika berada pulang ke rumah.
Ada yang mendapat sambutan karena menjadi murid akademi Eidothea terutama dia satu-satunya anak di keluarganya yang bisa bersekolah, ada pula yang mengadakan makan besar karena bangga putra-putri mereka menjalani sekolah di sama yang notabenenya sangat sulit untuk diterima Eidothea, lalu diceritakan juga jika ada yang menghadiri pesta bangsawan kemudian dipuji teman sepantarannya, ah inilah waktu untuk menyombongkan diri. Kesombongan mereka semakin besar ketika menceritakan rasanya hidup di akademi yang sama dengan keturunan utama Majestic Families.
Seorang murid terlihat senang karena selama di rumah, dia begitu giat berlatih sihir yang sudah diajarkan di Eidothea dan mengaplikasikannya ke kehidupannya entah seperti membantu kedua orang tuanya atau iseng pada teman sebaya maupun adiknya. Beberapa murid ada yang menjalani aktivitas normal ketika di rumah mereka, tak ada yang spesial.
"Kau begitu semangat menceritakannya," ujar murid perempuan dengan jubah asrama Sylvester. "Kau ceritakan juga tidak waktu penyerangan pasukan minotaur ke akademi ini?"
Murid laki-laki dengan rambut merah kecokelatan itu duduk ke bangkunya kembali. "Tidak, aku tak mau membahas penyerangan yang mengerikan itu."
"Aku cerita," balas murid lain yang memiliki rambut putih.
Murid yang hendak menyuap sepotong kue rasa keju terhenti karena terkejut mendengar perkataan temannya itu. "Sungguh, kau cerita."
"Apa reaksi ayah dan ibumu?" tanya temannya lagi sambil melahap kue pie.
"Biasa saja," sahutnya sambil mengedikkan bahu. "Ayahku bilang sekali-kali serangan monster sangat bagus sebagai pembelajaran karena dunia luar jauh lebih gila dari pada di sini."
Sungguh teman-temannya yang mendengar hal itu langsung melongo dengan mata membuat. Orang tua mana yang biasa saja setelah mendengar akan invasi para monster bahkan mengatakan hal itu sangat baik sebagai pembelajaran!
"Bangsawan kelas tinggi memang gila." Dia menggeleng pelan, lekas meraih secangkir gelas yang berisi jus jeruk. "Masam sekali!"
Murid yang habis memakan kue keju kini memperhatikan teman-temannya laku sedikit mengedarkan pandangan ke meja para murid asrama Arevalous. "Apa kalian cerita tentang garis keturunan Majestic Families itu." Sungguh suaranya begitu pelan, teman-temannya hendak ia sedikit menaikkan volume suaranya, tetapi diurungkan karena mereka paham, siapa yang kini sedang mereka bahas.
"Maksudmu bercerita tentangnya pada orang rumah?" timpal si rambut putih. "Tentu tidak."
"Ah ha ha ha, kau takut ya?" sahut temannya.
"Kau berani?" balas si rambut putih.
"Takut juga." Maka terkekeh kecil temannya itu.
"Bodoh," balas si rambut merah. "Kalau aku tidak berani membuka mulut sama sekali, meski rasanya gatal hendak bercerita hal ini. Aku ingin melihat reaksi adik dan kakakku, pasti sangat heboh mereka."
"Saranku jangan," ujar murid dengan rambut hitam agak panjang sehingga perlu diikat, sedari tadi dia hanya mendengarkan celotehan teman-temannya, tetapi kali ini ikut nimbrung juga. "Kalian tahukan, kalau De Lune itu takkan memaafkan siapa pun yang berani menyebarkan identitasnya keluar dari Eidothea."
Kini mereka secara bersamaan menatap ke meja Arevalous, terlihat beberapa murid di sana mulai berdiri dari bangku mereka karena sudah selesai menyantap makanan. Diperhatikan ada seorang murid yang berasal dari bangsawan Baron Ronald, yakni Gilbert berdiri lebih dulu kemudian tertawa kencang lalu bercandaan kembali dengan bangsawan Viscount Cressida---Mylo yang menyahut perkataan Gilbert karena tak mau kalah.
Kini disusul Frisca Devorez yang memukul bahu Gilbert karena tingkah Gilbert yang akan mengundang seluruh mata di aula ini menuju mereka. Tawa garis keturunan Marquess yakni Kennedy terdengar karena selalu merasa lucu jika melihat interaksi Gilbert dan Frisca. Lalu perempuan dengan rambut diurai, ia menjadi salah satu murid cerdas di angkatan tahun pertama, sering bersaing dengan Kennedy maupun murid bangsawan lainnya dalam mata pelajaran, ya dia adalah putri dari Count Andromeda, yakni Anila Andromeda tengah menghela napas panjang dan geleng-geleng kepala akibat debat tak berguna antara Mylo dan Gilbert yang membahas; apakah makan daging Naga berdosa besar dan pasar mana yang menjual daging Naga? Sungguh pembahasan yang tak berguna sama sekali!
Terakhir yang membuat beberapa pasang mata atau hampir setengah murid di aula ini sedang tertuju padanya, seorang gadis dengan rambut hitam legam, ia mengepang sebagian rambutnya di sebelah kanan kemudian diberi pita berwarna ungu senada dengan warna utama asramanya. Tangan kanannya tengah memegangi sebuah buku dengan ukuran tak terlalu besar, sepertinya itu novel berkisah tentang detektif yang harus memecahkan sebuah kasus; Death on The Red River, judul novelnya.
Perlahan gadis yang hingga kini masih jadi topik utama diperbincangkan penghuni Eidothea berdiri lalu melangkah dari bangkunya sambil menutup novelnya yang sudah diberi pembatas buku. Tanpa berkata sepatah kata pun, tanpa mempedulikan ocehan tak jelas dari Mylo dan Gilbert, tanpa membalas lambaian tangan dari Easton, Noah, Evanora, dan kakak tingkat lainnya, tanpa menjawab salam dari murid-muridnya lain di meja Arevalous. Gadis itu melangkah dari sana dan diikuti kelima kawannya, selalu setia mengikutinya.
Manik matanya bergerak, menilik satu per satu murid yang membungkukkan badannya meski hanya sesaat sebagai tanda penghormatan. "Salam, Yang Mulia De Lune."
"Bagaimana kabar Anda, Nona De Lune?"
"Salam, Aalisha De Lune."
"Halo Nona Aalisha." Seorang kakak tingkat menyapa, tetapi dilewati Aalisha begitu saja.
"Apa kabar Aalisha De Lune."
"Senang bertemu denganmu, Nona De Lune."
"Semoga hari Anda selalu bahagia."
Tidak satu pun sapaan dari para murid itu digubris oleh Aalisha. Sungguh dia terus melangkah seolah menganggap manusia-manusia di sekitarnya adalah makhluk tak kasat mata. Kini ia keluar dari pintu aula makan bersama dan kawan-kawannya terus mengikuti langkahnya sambil berceloteh dan bercanda tawa. Entah mengapa hari itu mereka begitu bahagia, terutama karena bisa terus berteman dengan Aalisha dan gadis itu tak terlihat memberikan penolakan atas pertemanan mereka itu.
Berada di sisi lain, para murid yang membicarakan Aalisha tadi, kini saling bertatapan satu sama lain. Perempuan dengan rambut putih pun berujar, "kurasa para murid yang dulu menindasnya akan segera mendapatkan ganjaran."
"Oh tidak ...." Lelaki dengan rambut merah langsung kehilangan nafsu untuk camilan terakhirnya sebelum kelas dimulai. Ia kini tengah memegangi kepalanya, seolah sakit kepala menyerangnya tiba-tiba. "Aku pernah menertawakannya dulu, dia melihat wajahku."
"Kasihan," balas temannya, "semoga kau dikubur dengan baik atau berdoalah agar bagian tubuhmu masih tersisa meski hanya jari kelingking jadi biasa dikirim ke kediamanmu."
"Sialan kau!" teriaknya jadi kesal bercampur takut.
"Menurut kalian, kenapa dia hanya mengungkap identitasnya di Eidothea, tapi akan membunuh siapa pun yang menyebarkannya keluar?"
"Jawaban yang mudah, dia hendak menekan akademi ini atau lebih tepatnya para muridnya. Menurutku lebih dari cukup mengungkapkan dirinya di sini, jika ke luar Akademi akan lebih memusingkan. Bisa-bisa satu Athinelon gempar."
"Aku setuju, lagi pula bukankah bagus kita tahu dia keturunan Majestic Families, yang disembunyikan lagi. Terus aku berpikir jika dia berbeda dengan Eloise Clemence."
"Beda apanya, sama-sama sadis gitu!" teriak si rambut merah.
"Entahlah, berbeda saja. Dia terlihat apatis pada orang sekitar, kemudian bukankah bagus dia ada di sini karena ...."
"Karena apa?" Teman-temannya menatap padanya seolah sangat menunggu jawaban itu.
"Karena aku merasa aman."
"KAU ANEH! MENGAPA AMAN, AKU MALAH MERASA SATU SEKOLAH DENGAN PEMBUNUH BERANTAI."
****
Kelas Sejarah yang diajarkan profesor Reagan pada hari ini digabung satu angkatan karena ini pertemuan perdana di semester dua. Pria itu tidak perlu perkenalan lagi karena sudah hafal murid-muridnya, terutama yang hampir setengah tahun ini selalu disebut-sebut namanya entah di kalangan murid bahkan para pengajar sekali pun.
Aalisha duduk di bagian atas tribune, tentu saja di sebelah kanannya adalah Anila, sebelah kirinya yakni Mylo. Gilbert, Kennedy, dan Frisca juga berada di barisan tribune yang sama dengan Aalisha jadi mereka saling bersebelahan. Sungguh, kelas hari ini terasa lama sekali, mungkinkah jam pelajarannya diperpanjang atau Aalisha yang terlalu lelah mengikuti pembelajaran yang hampir semua materinya sudah ia ketahui lebih dulu. Guru privatnya yang mengajarkan Historis selalu memaksa Aalisha menyelesaikan buku sejarah yang tebal sekali, atau membaca tulisan aksara kuno dari dokumen yang hanya bisa diperbolehkan dibaca oleh garis keturunan termasyhur.
Sesaat pandangan Aalisha jadi agak buram, tolong jangan katakan jika ia masih sakit akibat kejadian beberapa hari lalu yang menimpanya dan hampir membunuhnya. Oh atau hanya sekadar rasa kantuk biasa? Harusnya ia tidur saja, takkan ada yang berani menghukumnya karena terlelap sebentar. Namun, ketika langkah kaki yang sangat terburu-buru seolah dikejar oleh ribuan monster terdengar hingga ke depan pintu kelas serta gebrakan pintu yang sungguh memekakkan telinga, maka terkejutlah para murid di ruangan itu begitu pula profesor Reagan.
Seluruh murid bahkan Aalisha dan kawan-kawannya langsung menatap seorang prajurit akademi yang pakaiannya berantakan, bahkan compang-camping. Peluh keringat membasahi tubuhnya, deru napasnya tak beraturan, suaranya begitu serak, tetapi terus dipaksakan untuk berteriak. Diperhatikan lebih jeli, sepertinya pria itu salah satu prajurit bertugas menjaga di kandang binatang magis. Lalu mengapa dia pergi ke kelas ini dan apa pula penampilannya itu?!
Profesor Reagan lekas berujar, "prajurit Ivert, ada apa denganmu—"
"AKU MOHON! TOLONGLAH BANTU KAMI!" teriak Ivert menatap pada salah satu murid.
"Bicaralah pelan-pelan, prajurit Ivert," ucap profesor Reagan melangkah menuju pria itu yang seolah hampir diambang kematian.
"Yang Mulia De Lune! Tolong bantu Hamba karena Hamba dan prajurit lainnya tidak bisa menangani amukan dari na---"
Perkataan prajurit itu terhenti karena digantikan suara keras dan memekakkan telinga seolah batu berton-ton beratnya berhasil menghantam jendela kelas bersamaan kaca-kaca jendela itu tersebut pecah berkeping-keping, terhambur lah kaca-kaca tersebut ke lantai, maka para murid berteriak, memekik kencang serta segera menjauh dari barisan kiri kelas untuk menghindari terkena pecahan kaca. Suara teriakan terdengar kembali karena para murid menyaksikan dengan kedua mata mereka sendiri; ekor naga---ya satu sekolah sebut sebagai naga---yang menyeret dinding luar kelas serta membuat kaca-kaca jendela jadi pecah. Kini sang naga terbang kembali, memperlihatkan sayapnya yang begitu lebar, kuat, dan besar serta berhasil menghantam salah satu atap menara kastil hingga runtuh dan ambruk ke tanah.
"Hei naganya lepas!" teriak salah seorang murid.
"Duh, hancur sudah menara itu."
"Bagaimana bisa mengamuk?"
"Apa tuan Howard tidak menangani naga itu?"
"Gawat banget, apa ada korban jiwa?"
"Kurasa hanya dia yang bisa menangani masalah ini."
"Yang Mulia De Lune, tolong bantu kami menjinakkan naga itu!" teriak Ivert kembali, "aku mohon Yang Mulia De Lune! Sulit bagi kami menanganinya!"
Bukannya langsung berniat menolong karena makhluk terbang di luar sana sudah menghancurkan sebagian menara kastil. Aalisha malah melirik tajam. Beberapa prajurit diketahui telah terluka karena berusaha menyegel makhluk itu. Sungguh makhluk itu dapat menggunakan sihir juga jadi semakin sulit bagi para prajurit untuk menghentikan amukannya.
"Aalisha, dia meminta bantuanmu," ujar Anila sambung menggoyangkan tangan gadis kecil itu.
"Duh ayolah, bantu dia! Naga itu menghancurkan menara astronomi!" timpal Mylo.
"Anila," ujar Aalisha, "kau sebut apa makhluk yang di luar sana?"
Anila diam sejenak. "Naga 'kan?" Oke kenapa Aalisha bertanya hal sepele itu.
"Kakinya hanya dua," balas Aalisha lalu melangkah menuruni tangga tribune, kini mengedarkan pandangannya pada semua yang ada di kelas itu hingga berhenti pada prajurit Ivert. "Sebenarnya aku enggan menolong. Terlebih kausalah mengenali makhluk itu."
Suara keras terdengar kembali karena makhluk terbang di luar sana hinggap di salah satu menara kastil Eidothea kemudian mengepakkan sayapnya lagi. "Namun, karena aku tak mau kastil Eidothea runtuh jadi aku dengan berat hati membantu masalah yang tak bisa diselesaikan makhluk-makhluk seperti kalian. Lalu perlu kalian tahu jika di luar sana bukanlah naga, melainkan Wyvern. Jadi ingat-ingat lah hal ini!"
****
Kehebohan terdengar di luar kastil akademi, tepatnya di lapangan hijau yang sering menjadi tempat latihan fisik. Para murid angkatan atas yang sedang menggunakan lapangan lekas berlari karena seekor naga, eh maksudnya Wyvern tengah mengamuk. Sementara beberapa murid lain terlihat menjadikan Wyvern yang lepas kendali itu sebagai tontonan meski dari jauh karena tak mau gosong akibat semburan api Sang Wyvern.
Fokus para murid teralihkan ketika mereka yang bergerombol lekas membukakan jalan untuk seorang gadis berambut hitam legam dengan jubah Arevalous yang sedikit berkibar akibat tertiup sepoi angin. Berada di belakangnya ada beberapa profesor akademi termasuk profesor Maggie Madeleine. Kini dengan naluriah, para murid yang berada di dekat lapangan hijau, sontak mundur karena membiarkan gadis itu melangkah dengan sendirinya ke tengah-tengah lapangan.
"Sudah kubilang sejak awal, memelihara Wyvern di akademi adalah suatu kebodohan. Eidothea keras kepala!" Aalisha berujar sambil menatap seekor Wyvern yang masih terbang ke sana-kemari tak terkendali, sepertinya akan menghancurkan barrier akademi Eidothea dan kabur mengacaukan kekaisaran jika tak segera ditenangkan.
Kini angin berembus, menyapu rambut panjang Aalisha. Terlihat beberapa binatang magis yakni Fleeyrix yang sedang bersembunyi di semak-semak mulai memunculkan dirinya, para Fleeyrix yang tengah memetik buah atau membantu seorang murid menyuburkan tanaman seketika meninggal aktivitasnya dan segera pergi ke suatu tempat. Terlihat pula kumpulan burung Kolibri yang berada di pepohonan kini terbang menuju lapangan di mana Sang Wyvern tak terkendali tengah terbang. Dari arah kastil akademi, para burung Amadeo yang bertengger, mulai mengepakkan sayapnya juga dan menuju lapangan.
"Sudahlah, semua sudah terjadi. Lagi pula Wyvern itu adalah pemberian pihak Kekaisaran."
Perlahan Aalisha menutup kedua matanya, neith kebiruan bersinar di sekitar telapak tangannya yang kecil itu, benar telapak tangan kecil, tetapi neith-nya begitu kuat. Kini neith biru tersebut menyelubungi seluruh tubuhnya. Membuat jubahnya seolah terbang pula ketika neith birunya menjalar hingga ke tanah di sekitarnya. Aalisha merentangkan tangannya begitu lebar, menggerakkannya perlahan ke atas sembarangan mengatur kekuatannya karena kini dia siap menggunakan kemampuan spesialnya sebagai garis Keturunan Utama De Lune; kemampuan mistis.
"Latreia."
Detik itu, penghuni Eidothea yang berada di sekitaran lapangan di mana Aalisha berpijak; murid angkatan tahun pertama, murid asrama Arevalous hingga Drystan, para kakak tingkat yang menganggap amukan Wyvern sebagai tontonan, anak-anak kalangan bangsawan, para murid proletar, profesor Madeleine, profesor Godiva, profesor Ambrosia dan bonekanya si Lilura serta para pengajar lain, terlihat pula para prajurit termasuk Ivert dan tentu saja Anila, Mylo, Kennedy, Gilbert, dan Frisca. Sungguh mereka semua kini sedang menyaksikan bagaimana keajaiban yang dibawa oleh seorang gadis kecil.
Sungguh mereka semua terpana sampai-sampai tak bisa beranjak dari posisi mereka ketika melihat para Fleeyrix beterbangan dengan cepat menuju tempat Aalisha berdiri, kemudian disusul puluhan burung Kolibri dan puluhan burung Amadeo yang terbang mengikuti perintah dari Aalisha. Kini para binatang itu terbang dengan barisan yang rapi, membentuk satu garis lurus, tetapi ada lebih dari satu barisan.
"Menakjubkan," ujar Anila tak sedikit pun mengalihkan pandangannya dari Aalisha.
"Ya, ini benar-benar indah," timpal Mylo.
Ketika tangan Aalisha diayunkan begitu gemulai dan lembut, layaknya seorang conductor dengan tongkatnya tengah memimpin jalannya penampilan musik orkestra agar semua pemainnya dapat bergerak sesuai dengan perintah dari Aalisha. Maka para burung dan Fleeyrix yang sudah berada di kelompok barisan masing-masing, mereka terbang begitu teratur, tak sedikit pun ada yang keluar barisan atau melenceng dari perintah Aalisha agar mereka menuju Sang Wyvern yang tengah terbang tak terkendali.
Kini manik mata Wyvern menatap pada pasukan burung dan Fleeyrix, Wyvern itu seketika berteriak kencang. Ia hendak terbang lebih tinggi, tetapi ada pasukan lagi yang menahannya. Kini para pasukan itu mulai terbang mengelilingi Sang Wyvern sehingga berhasil membuat pergerakan Wyvern itu terhenti, benar-benar terhenti karena kini Wyvern itu tidak terbang tak terkendali lagi. Seolah-olah ia menuruti perintah agar berhenti mengamuk dan terbang tak terkendali apalagi berbuat kerusakan.
Sang Wyvern sesaat menutup matanya, ia menilik pada sosok manusia bertubuh kecil dan pendek dengan rambut hitam panjang nan legam yang diselubungi neith biru. Maka dengan satu teriakan, Sang Wyvern perlahan mengepakkan sayapnya menuju gadis kecil tersebut. Bersamaan dengan para pasukan Fleeyrix dan burung-burung mengikuti Sang Wyvern.
"Kurasa ini kemampuan De Lune." Suara itu terdengar di salah satu menara Eidothea. Nicaise berada di sana bersama dengan Eloise serta Nathalia.
"Bukankah memang begitu cara kerja keajaiban dari Majestic Family, De Lune?" sahut Nathalia yang tersenyum simpul karena menganggap pemandangan di hadapannya ini begitu indah. Ah, lihatlah bagaimana Sang keturunan De Lune bisa memerintah para binatang itu tanpa perlu kekerasan.
Eloise menyilang kedua tangannya sambil memperhatikan burung Amadeo yang begitu indah bulunya. "Harus kuakui, dia berguna di saat seperti ini."
Nicaise terkekeh. "Eloise terlalu gengsi, dasar pemalu."
"Apa kau bilang?!" teriak Eloise.
"Syukurlah ada dia lalu yang ditangani masih naga biasa, bayangkan kalau naga kuno," sahut Nathalia Clodovea.
"Permisi mengoreksi," balas Nicaise, "itu Wyvern, bukan naga."
"Sama saja," tukas Eloise.
"Berbeda Nona Clemence!!" umpat Nicaise
Suara berdebum cukup keras terdengar ketika Sang Wyvern berpijak di tanah, debu-debu terlihat menyebar, tetapi hanya sementara karena Sang Wyvern kini perlahan-lahan mendekati Aalisha. Sedangkan para pasukan Fleeyrix, Amadeo, serta Kolibri hanya terbang saja mengelilingi Sang Wyvern serta Aalisha. Suara gesekan terdengar ketika sisik Wyvern menyentuh tanah terutama ekornya yang panjang ia seret sehingga menciptakan jejak panjang di sana. Begitu pelan, bercampur rasa malu, Sang Wyvern melangkah menuju Aalisha.
"Akhirnya kau tenang juga," ujar Aalisha kini membuka matanya, menyaksikan sosok Wyvern yang begitu besar badannya tengah berada di hadapannya dan semakin dekat padanya.
"Coba katakan, mengapa kau mengamuk? Apa mereka memperlakukanmu dengan buruk?" Tidak hanya Sang Wyvern yang melangkah menuju Aalisha, tetapi gadis kecil itu juga melangkah semakin dekat.
Detik ini, jarak di antara keduanya sudah tak tercipta lagi. Mereka benar-benar saling berhadapan, manik mata keduanya bertautan, sesaat bisa Aalisha rasakan napas panas dari Wyvern ini, tetapi sama sekali tak membuatnya takut. Benar-benar ia tidak takut!! Lihatlah, tangan kanan Aalisha bergerak menuju kepala Wyvern itu, seolah gadis memang tercipta tanpa rasa takut maka ia menyentuh Wyvern tersebut. Anehnya, Sang Wyvern bukannya mengamuk, tetapi malah merasa sangat senang. Bahkan Wyvern itu menutup kedua matanya karena merasakan ketenangan ketika berada di hadapan anak ini.
"Yang Mulia De Lune." Sontak Aalisha terkejut, barusan ia bisa mendengar suara dari Wyvern yang ada di hadapannya. Hanya sesaat saja rasa terkejutnya itu karena digantikan dengan senyuman.
"Aramis, kurasa nama itu cocok untukmu," ujar Aalisha sambil mendekatkan kepalanya pada Sang Wyvern. Begitu pula Aramis yang mendekatkan kepalanya pada Aalisha sehingga dahi Aalisha bisa menyentuh Aramis. Kini Aramis, Sang Wyvern berhasil tunduk di hadapan Aalisha dan menghormatinya.
Semua yang berada di sana pasti sepakat jika keajaiban ini begitu menakjubkan, indah, dan juga ....
"Cantik. Kemampuan yang cantik sekali, begitu diberkahi para Dewa." Senyuman itu terbentuk, senyuman dari Athreus yang tak disangka ia berada di sekitar lapangan hijau dan menyaksikan secara dekat keajaiban itu.
Ya, keajaiban yang dibawa oleh Keturunan Utama De Lune, Aalisha Galad De Lune.
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Bagaimana dengan chapter ini?!! Yuks komen siapa yang sudah kangen dengan bocil kita semua^^
Absen dulu para Arcaners!!
Tak disangka yah Aalisha punya teman seekor naga---ups maksudnya Wyvern. Entah motivasi apa akademi tercinta kita ini mau memelihara Wyvern padahal banyak kerusakan gegara tuh makhluk. Kira-kira Aramis bakal sering muncul nggak?
Semoga Book 2 memuaskan yah dan banyak sakitnya juga, Aamiin^^ Sekali lagi ingat, gue di sini yang jadi penjahatnya, hehe
Prins Llumière
Rabu, 28 Juni 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top