Extra Chapter (2)
10. Sudahkah Tersenyum Tulus?
Hari ini hujan yang semalam menutupi akademi perlahan sirna meskipun matahari masih malu-malu menampakkan dirinya. Minggu pagi dan cuaca dingin adalah hari yang sempurna untuk anak-anak akademi menghabiskan hari mereka di dalam selimut atau menikmati secangkir cokelat panas. Namun, tidak berlaku bagi seorang gadis yang sudah mandi di pagi hari kemudian keluar dari asrama, memasuki kastil akademi, kemudian menyusuri koridor ini karena pesan dari cyubes-nya ia harus menemui seseorang di salah satu taman di dalam akademi Eidothea.
"Salam Profesor Eugenius," ujar Aalisha ketika menatap profesornya yang sedang duduk di kursi putih. Kemudian menuangkan secangkir cokelat panas yang uapnya mengepul.
"Silakan Nona Aalisha, duduklah, aku baru menuangkan secangkir cokelat untukmu. Kuyakin kauakan suka karena tidak terlalu manis, tidak pula pahit," ujar profesor Eugenius begitu lembutnya seperti sosok kakek yang bercengkerama dengan cucunya.
"Terima kasih atas cokelatnya," sahut Aalisha meraih cangkir berwarna emas itu. "Aku terkejut karena mendapat pesan Anda subuh tadi, mengapa tiba-tiba?"
"Maafkan aku karena dadakan memanggilmu Nona Aalisha, tetapi aku baru tahu juga kabar ini jadi lekas kupanggil kau karena kuyakin kau hendak tahu pertama," jelas Eugenius, sesaat manik matanya menatap pada Aalisha yang meminum sedikit cokelat tersebut kemudian diletakkan cangkirnya di piringan putih.
"Kabar apa?" sahut Aalisha bingung.
"Tamerlaine, bawa dia kemari," ucap profesor Eugenius, maka tuan Tamerlaine membungkuk sesaat, kemudian pergi ke pintu lain di taman ini. Dia lalu memanggil seseorang. Kini profesor Eugenius berujar kembali. "Kuil yang terbakar sudah direnovasi, aku takkan menunggu sampai liburan karena terlalu lama. Lalu karena sudah selesai direnovasi, tentu saja kuil itu harus ada penjaganya dan kurasa penjaga kuil itu takkan berganti."
Sesuai perkataan pria tua itu, manik mata Aalisha menatap pada sosok Orly bertubuh anak kecil yang berbalut pakaian berwarna putih, kini melangkah pelan menuju Aalisha. Maka gadis itu perlahan bangkit dari kursinya, lalu beranjak hingga persis di hadapan Orly tersebut yang sangat Aalisha kenali.
"Setelah kejadian itu," sambung profesor Eugenius, "aku langsung memerintahkan Tamerlaine untuk menemui kenalanku yang berasal dari keturunan cabang Nerezza, lalu dia berhasil menyelamatkan nyawanya. Meskipun butuh waktu lama, tetapi kini dia sudah sehat dan bisa kembali bertugas di kuil akademi ini."
"Elijah," ujar Aalisha, sukses hal itu membuat senyum Elijah terukir sangat lebar.
"Suatu kehormatan bagi Hamba karena bertemu kembali dengan Anda, Yang Mulia Aalisha," ujar Elijah sambil membungkukkan tubuhnya. "Sungguh dengan ketulusan, Hamba senang sekali bisa melihat Anda."
Perlahan Elijah menyudahi penghormatannya, kini ia terdiam membisu ketika dengan manik matanya. Dia bisa melihat senyuman tipis dari Aalisha, ya senyuman tipis yang begitu tulus.
"Ya," ujar Aalisha, "senang kau kembali."
"Akhirnya, Anda tersenyum tulus juga. Syukurlah banyak perubahan terjadi pada Anda, Yang Mulia." Maka semakin senang Elijah, sementara Aalisha tidak menanggapi dan tidak dibantah. Namun, tak bisa ia bohongi dirinya sendiri jika ia benar-benar senang Elijah kembali meski harus mendengarkan ocehan Orly itu.
"Mari, mari, duduklah kalian, kita sama-sama menikmati secangkir cokelat ini," ujar profesor Eugenius.
"Dengan senang hari Profesor!" sahut Elijah begitu senang kemudian melangkah ke salah satu kursi dan duduk di sana. "Ayo, Yang Mulia. Kita nikmati cokelatnya!"
Maka Aalisha pun duduk kembali di kursinya, ia meraih cangkirnya, ia minum kembali cokelat yang sudah hangat tersebut. Lalu disusul Elijah yang begitu menikmati cokelatnya juga.
Hari ini, Aalisha tak tahu benarkah ia tersenyum tulus? Namun, jika Elijah berkata begitu maka anggap saja Aalisha benar tersenyum tulus meski senyumannya takkan bertahan lama.
11. Kucing Garong vs Tikus Kecil
Sekitar dua Minggu sebelum Ujian Tengah Semester, tetapi masih banyak kelas yang berlangsung bahkan tugas pun tetap diberikan! Setidaknya beri hari tenang atau waktu istirahat sebelum mereka menghadapi ujian nanti, oh Dewa jahat sekali akademi ini.
Kini Aalisha, Anila, dan Mylo menyusuri koridor karena habis mengumpulkan tugas sejarah yang diberikan oleh profesor Reagan. Fokus Aalisha hendak segera ke kastil asrama malah terdistraksi ketika melihat gerombolan anak-anak yang menuju lapangan sebelah timur, mereka ternyata tertarik dengan unjuk bakat yang diperlihatkan kakak tingkat mereka berasal dari angkatan tahun kedua. Ya para murid itu sedang sedang melakukan praktik sihir yang akan dinilai ketika ujian nanti.
Semakin saja banyak yang berkumpul karena ada putri dari Archduke Clemence yang bersama teman-temannya sedang memperlihatkan kehebatan mereka dalam menggunakan sihir, terlihat sekali betapa berbakatnya Eloise Clemence. Ketika sudah usai dia unjuk bakat, lekas Eloise hendak beristirahat dan menuju pinggir lapangan, sontak para gerombolan murid itu membukakannya jalan. Namun, ternyata para murid tidak hanya membukakan jalan untuk Eloise, melainkan untuk seorang gadis kecil dengan rambut dikepang sebagian dan mengenakan jubah Arevalous.
"Halooooo, Eloise Clemence!" Maka suara Aalisha yang menyapa Eloise itu menggelegar ke seluruh lapangan. Membuat setiap murid yang ada di sana meneguk salivanya kasar dan tak mengalihkan pandangan mereka karena benar-benar tertuju pada dua perempuan garis keturunan Majestic Families itu.
Sementara itu, Eloise terdiam sambil menatap Aalisha. Ia perhatikan gadis kecil yang tersenyum begitu lebar padanya. Kini sudah terjawab dengan jelas, berasal dari mana keberanian Aalisha sehingga berani menatap manik mata Eloise secara langsung. Ya, ternyata karena gadis itu juga sama seperti Eloise.
"Eloise, kok malah pergi!" ucap Aalisha sedikit terkejut karena Eloise malah mengabaikannya. "Kok kau begitu, bukankah kau dulu suka sekali bermain denganku? Eloise ...."
Maka Aalisha lekas melangkah di belakang Eloise yang sukses membuat para murid semakin tak bisa berkata-kata. Lihatlah Keturunan De Lune itu ibarat adik kecil yang akan selalu mengikuti kakaknya, ke mana pun kakaknya pergi. Bahkan Aalisha sengaja melangkah lebar-lebar agar menyamakan langkahnya dengan kaki Eloise yang lumayan jenjang.
"Ayolah! Kenapa kau tak mau bermain denganku? Ayo, E L O I S E." Bahkan dia mengeja nama Eloise, ya sepertinya dia sengaja untuk menambah amarah Eloise karena ia ketahui jika keturunan Clemence itu memendam amarahnya dalam-dalam.
"Ah aku tahu alasan kau tak mau bermain denganku," ujar Aalisha, "kau takut padaku 'kan?"
Sukses perkataan Aalisha itu menghentikan langkah Eloise, maka gadis itu pun berbalik kemudian menatap Aalisha yang terlihat jika manik mata Eloise bersinar warna merah pudar. "Takut kau bilang?"
"Iya, kau takut itulah mengapa kau kabur. Lagi pula kau ini tak punya tata krama ya, bukankah kau harus meminta maaf atas kesalahan dari Orly-mu yang bernama Finnicus? Dia harus dihukum penggal." Aalisha tersenyum tipis sedangkan Eloise mengepalkan kedua tangannya yang terlihat cahaya merah pudar di sana.
Atas hal ini, para murid di lapangan hijau dan menyaksikan perdebatan kedua Majestic Families. Lekas mereka melangkah mundur dan menjauh sehingga tercipta jarak agar tidak terkena dampak kegilaan kedua perempuan itu.
"Finnicus tidak bersalah, kau lah yang bodoh karena terjatuh trik kotornya!" balas Eloise.
"Ah jadi kau menyalahkanku balik? Aduh, aduh sukanya pura-pura tersakiti ya, kasihan sekali. Terus aku lebih kasihan lagi karena betapa bodohnya kau sampai tidak tahu bahwa aku adalah Keturunan De Lune."
"SIALAN!"
Maka tak terbaca oleh mata para murid yang ada di sana. Eloise Clemence sudah menerjang ke depan, ia menciptakan pedang api dari kemampuan mistisnya kemudian pedang tersebut diayunkan hingga ke leher Aalisha, tetapi tidak jadi menebas leher gadis De Lune itu karena Aalisha dengan cepat pula mengarahkan dua jari tangan kirinya tepat ke leher Eloise dengan pancaran aura neith yang sama kuatnya berasal dari kedua Majestic Families itu.
"Kucing garong memang sulit mengontrol emosi," ujar Aalisha.
"Aku tak peduli jika kastamu sama denganku, aku benar-benar bisa menebas lehermu, dasar tikus kecil!" sahut Eloise semakin membuat pedangnya panas sedangkan Aalisha mengalirkan neith ke tangan kirinya.
"Baiklah kita lihat, siapa yang akan segera masuk rumah sakit," balas Aalisha.
"Sudah ditentukan para Dewa," timpal Eloise.
Detik itu, keduanya berniat menyerang satu sama lain dengan niat benar-benar mengetahui siapa yang akan lebih dulu dilarikan ke rumah sakit. Namun, seperti yang telah ditetapkan para Dewa, keduanya telah salah.
"AALISHA DE LUNE, HENTIKAN!"
"ELOISE CLEMENCE, SUDAH CUKUP."
Suara kedua perempuan itu terdengar melewati gerombolan para murid, kemudian dengan beraninya mereka berdua menarik kedua Majestic Families tersebut dengan paksa, terkesan diseret.
"Anila, sakit hoi! Jangan jewer telingaku!" teriak Aalisha tak jadi menggunakan sihir karena terkejut bukan main ketika Anila Andromeda menarik kupingnya kemudian menyeretnya menjauh dari Eloise.
"Kau pantas dijewer karena selalu saja mau berbuat keonaran! Harusnya kupukul saja kau kuat-kuat!" cerocos Anila penuh amarah.
Sementara itu, Eloise habis tercekik karena kerah bajunya ditarik sangat kuat oleh Nathalia Clodovea. "Kau kenapa menghentikanku! Nathalia!"
"Ya karena kau gila, mau apa bertarung dengan sesama Majestic Families?! Kau mau hancurkan akademi ini!" ceriwis Nathalia yang terpancar neith kuat seolah-olah dia akan menggunakan kekuatannya jika masih saja Eloise bertengkar dengan adik tingkatnya.
"Sekarang ayo pergi!" ucap Anila langsung menarik lengan Aalisha dan menyeretnya menjauh dari sana.
"Tunggu, hei jangan seenaknya! Anila! Aku ingin kucing garong itu meminta maaf padaku!" Aalisha tak bisa melepaskan genggaman tangan Anila jadi terpaksalah dia menurut pada perempuan itu.
"Bajingan Nathalia, lepaskan aku! Harus kuberi pelajaran tikus kecil itu!" Namun, Nathalia tak peduli jadi dia menarik seragam Eloise dan perlahan menyeret gadis itu juga menjauh dari lapangan.
Kini kedua Majestic Families sudah lenyap dari lapangan yang akhirnya menyisakan para murid. Mereka semua terdiam bagaikan batu karena barusan menyaksikan keajaiban di Athinelon. Dua Majestic Families kalah dari temannya yang galak? Oh tak disangka sama sekali. Sungguh membuat mereka semua tak mampu berkata-kata.
Sementara itu, Mylo yang masih terdiam di antara gerombolan para murid itu. Ia pun berujar, "oh Dewa, kenapa tidak ada perempuan yang waras di akademi ini."
12. Menerima Novel
Perpustakaan adalah salah satu tempat favorit Aalisha karena banyak buku yang ada di sini, meskipun tidak sebanyak di perpustakaan Kastil Utama milik Keluarga De Lune. Namun, berbicara koleksi buku, keluarga Drazhan Veles dan Nerezza paling banyak membaca buku di antara delapan Majestic Families karena mereka memang maniak dan cinta ilmu pengetahuan.
Berada di sini, Aalisha membaca buku yang ditulis oleh salah satu sastrawan dari Negara Benua Timur, ia seorang dokter sekaligus pengarang novel dan dikenal sebagai aktivis feminisme. Novel yang ditulisnya sebenarnya merepresentasikan dari kehidupan di negaranya serta pemerintah yang birokrasi. Banyak ketimpangan sosial yang ada di sana terutama pertentangan antara kelas Borjuis yakni kalangan pemerintah dan juga Proletar yang kebanyakan berprofesi sebagai petani dan pedagang. Seorang perempuan lah yang menjadi tokoh utama yang akan mengungkapkan betapa pemerintahan mereka bertindak sewenang-wenang pada rakyat jelata kemudian akhir dari novel ini adalah .....
"Halo," sapa seorang lelaki berjubah Faelyn yang muncul di hadapan Aalisha kemudian duduk di kursi sana. "Akhirnya kita bertemu."
Aalisha masih diam, enggan menjawab. Padahal dia sudah berada di meja paling pojok di perpustakaan ini, tetapi masih saja lelaki itu mendatanginya. Entah hanya kebetulan, tetapi sudah pastinya sengaja. "Enyahlah Nicaise"
"Jahat sekali, memangnya perpustakaan ini milikmu?"
"Aku bisa beli perpustakaan ini," sahut Aalisha sambil perlahan membalik halaman bukunya.
"Aku juga bisa," balas Nicaise sambil menopang dagunya, menatap nyalang pada Aalisha yang sesaat manik mata ungu lelaki itu berpendar.
"Oh, apakah aku bertanya?" ujar Aalisha, "enyahlah kubilang."
Nicaise menghela napas. Ternyata gadis ini memang sudah sifat dasarnya yang mengerikan dengan ucapan menusuk. "Aku kemari mau memberimu novel, sebagai hadiah karena kau berhasil membuatku terkejut."
Hal inilah yang membuat Aalisha tersenyum kemudian segera menutup novelnya meski belum selesai dibaca, tenang saja, Aalisha sudah tamat membaca novel ini, tetapi dia hanya membaca ulang lagi. "Hadiah karena aku lebih berperan besar di hutan Kimari seminggu yang lalu atau karena para Orly tunduk dan bernyanyi untukku?"
Perkataan itu sukses membuat Nicaise terkejut. Lalu tebakan Nicaise ternyata benar jika para Orly penghuni hutan Kimari memang benar bernyanyi untuk Aalisha. "Sejak awal kau memang harus diwaspadai."
"Memang begitu." Perlahan Aalisha berdiri. "Oh ya Nicaise, dibandingkan kau memberiku novel, bagaimana jika sebaliknya kulakukan?" Aalisha menyodorkan novel yang ia baca ke dekat Nicaise. "Pernah kau baca?"
Nicaise menatap sampul novel yang bertuliskan judul novel tersebut kemudian dia baca. "Sajak Mati Sang Penguasa."
"Pernah kau baca?" ucap Aalisha.
"Tidak," sahut Nicaise jujur.
"Bagus bacalah itu dari pada aku menerima bahan bacaan darimu." Aalisha pun memutari meja hingga ia berada tepat di samping Nicaise.
"Oh ya, singkatnya novel ini bercerita tentang perempuan dari kaum jelata yang melawan patriarki dan birokrasi. Sungguh novel ini sangat cocok untuk kaubaca karena diakhir novel, tokoh laki-laki atau si penguasa sombong akhirnya mati di tangan perempuan rakyat jelata itu."
Lekas Aalisha melenggang dengan angkuhnya karena berhasil membungkam Nicaise. Belum jauh ia melangkah, Aalisha berbalik kembali kemudian berujar terakhir kalinya sebelum benar-benar meninggalkan perpustakaan ini. "Satu hal lagi Nicaise, bodoh sekali kau karena tidak mengetahui bahwa aku adalah Direct Line, Majestic Family De Lune."
Perlahan Nicaise menutup matanya dengan tangan terkepal kuat. "Sialan."
13. Doa-doa yang Bersahutan
Kelas pada hari ini sungguh melelahkan, Arthur Hugo Ellard benar-benar manusia keturunan iblis. Akibat rasa lelahnya, Aalisha meninggalkan Anila serta lainnya yang masih beristirahat di kantin rumah pohon. Gadis kecil itu menuju koridor yang mengarah pada kuil favoritnya di Eidothea ini. Ketika hampir sampai di muka pintu masuk kuil, langkah Aalisha terhenti karena melihat Elijah yang ada di sana sedang mengobrol dengan Orly lain kemudian Orly itu pergi karena Aalisha datang.
"Oh halo, Nona Aalisha, akhirnya kau berkunjung juga!" sapa Elijah dengan senyuman yang lebar.
"Ya," balas Aalisha melangkah pelan. "Tak ada orang kan di dalam?"
"Untuk saat ini tentu belum ada," sahut Elijah.
"Memangnya ada yang kemari selain aku?" balas Aalisha sambil melepaskan kedua sepatunya, kali ini lantai kuil di beri karpet jadi harus melepaskan alas kaki agar tidak kotor. Ya harus Aalisha akui jika profesor Eugenius sedikit membuat kuil ini jadi lebih baik.
"Jangan salah sangka, Nona Aalisha! Ada kok pengunjung kuil yang rajin kemari," sahut Elijah kemudian langsung antusias dan ia melambaikan tangannya pada seseorang. "Nah itu dia! Halo Tuan Athreus!"
Sontak nama yang disebut Elijah membuat Aalisha berbalik cepat kemudian mendapati keturunan Kieran Zalana tanpa jubahnya, melangkah perlahan hingga ke depan kuil. Kemudian tersenyum tipis pada Elijah. "Hai Elijah, senang melihatmu."
Kini Athreus menatap pada sosok gadis kecil yang terdiam di daun pintu kuil. Keduanya sama-sama terkejut, hening sesaat karena cukup lama mereka bertatapan hingga akhirnya Athreus memecah keheningan tersebut dengan berujar, "halo Aalisha."
"Aku pergi," balas Aalisha hendak meraih sepatunya, ia tak sudi berada di satu tempat dengan Athreus terutama di kuil.
"Loh mana boleh!" teriak Elijah lekas menghentikan Aalisha kemudian menarik gadis itu hingga ke dalam kuil tersebut. "Kalau sudah kemari tidak boleh kembali jika tak berdoa dulu! Nanti kena azab, berani kau sama azab para Dewa, hah!"
"Mana ada yang begitu!" balas Aalisha jadi semakin kesal pasalnya Athreus sudah melepas sepatunya kemudian melangkah masuk. "Aku mau pergi, jangan halangi aku Elijah!"
"Kau pergi karena ada aku?" ucap Athreus tepat berdiri di hadapan Aalisha. Sungguh tinggi sekali lelaki itu sehingga Aalisha harus mendongak untuk menatap manik matanya. "Aku kemari bukan untuk berperang, tetapi berdoa, jadi aku takkan mengusikmu. Kalau kau kemari niatnya berdoa juga, ya berdoalah, anggap saja aku tak di sini."
Sesuai perkataannya, Athreus pun melangkah melewati Aalisha kemudian duduk di lantai dengan menghadap pada patung Dewa serta tangannya mulai ia satukan pertanda dia mulai berdoa. Kini Aalisha melirik sedikit pada lelaki keturunan Kieran Zalana itu, tak disangka jika manusia gila itu punya sisi seperti ini.
"Ayolah, duduk di sampingnya dan berdoalah," bujuk Elijah sambil tersenyum dan menaik-turunkan alisnya.
"Elijah menyebalkan," sahut Aalisha yang pada akhirnya mau mengalah.
Maka gadis kecil itu duduk di samping Athreus. Helaan napasnya terdengar karena jarang ketika dia berdoa kemudian di sampingnya ada orang lain terkecuali Aldrich karena dia pernah beberapa kali berdoa bersama Aldrich di kuil. Kini Aalisha pun mulai menempelkan kedua tangannya, lalu berdoa juga. Keduanya sangat khusyuk sampai tak seorang pun termasuk Elijah berani mengganggu mereka.
Di akhir doa dan persembahan pada Dewa.
"Kalian mau gunakan marajha?" tawar Elijah setelah Aalisha dan Athreus mengenakan gelang merah.
"Tidak!" balas keduanya.
"Yah." Elijah menjadi sedih. Ia sengaja membuat wajahnya seolah-olah berkaca-kaca dan hampir menangis agar kedua Majestic Families di hadapannya agar iba padanya.
"Berhenti berakting bodoh," ucap Aalisha. Ah, sayang sekali trik ini tidak berlaku pada dua manusia yang tak punya hati.
Maka Elijah mendongak sambil tersenyum sangat lebar, kemudian berujar dengan lantang. "Terlambat! Sudah kuberi marajha pada dahu kalian!" Lekas ia memunculkan cermin yang benar-benar terlihat jelas di dahi Aalisha dan Athreus marajha merahnya.
"ELIJAH SIALAN KAU, KEMARI!" Amarah Aalisha memuncak maka tanpa pikir panjang, ia mengejar Elijah yang sudah berlari lebih dulu. Kini keduanya bermain kejar-kejaran di taman dalam kastil di dekat kuil ini.
Sementara itu, Athreus hanya memperhatikan tingkah keduanya yang sama sekali tak mengusiknya, tetapi malah membuatnya tersenyum kecil. "Semoga Para Dewa mengabulkan doa kami berdua. Aamiin."
14. Pesta Minum Teh
Aalisha pada detik ini sangat terkejut, bingung, ditambah rasa takut meski hanya sedikit. Sungguh apa yang bisa membuat keturunan De Lune itu merasa takut?
Kini hari Minggu, Aalisha berada di salah satu taman dalam kastil, ia duduk di kursi putih---ada tiga buah kursi di sana dan terisi semua. Kemudian di hadapannya ada meja bundar dengan warna putih pula yang kemudian diselimuti taplak meja begitu cantik dengan penuh ukiran bunga. Di atas meja, ada teko terisi penuh teh yang baru diseduh dengan aroma yang wangi sekali, tiga cangkir bergagang di atas piring dengan ukiran bunga berwarna merah muda, kemudian beberapa camilan dimulai dari kue bolu, kue kering, hingga beberapa permen dan cokelat yang sangat enak pastinya. Ya, semua ini adalah ciri dari dilaksanakannya pesta teh kecil-kecilan atau salon palsu, bisa jadi.
Meskipun begitu, Aalisha cukup tak bisa mengontrol rasa terkejutnya. Bukan karena dia diundang ke pesta teh atau pesta ini menyerupai salon. Namun, hal yang membuatnya terkejut adalah sosok wanita yang mengundangnya kemari, bisa dikatakan mengundang dengan cara yang terkesan dadakan dan memaksa! Lalu apa-apaan tatapan dan lirikan tajam wanita dengan gaun indah berwarna biru muda, mengenakan anting, riasan wajahnya semakin menambah kesan cantiknya, serta ia mengepang waterfall rambutnya yang kemudian diberi pita.
Sejujurnya, Aalisha kagum akan kecantikan wanita itu. Terutama manik matanya---berwarna pink rouge yang jarang sekali Aalisha temukan di dunia ini.
"Profesor Ambrosia," ujar Aalisha sedikit nyengir. "Kenapa Anda mengundangku minum teh secara dadakan? Kupikir akan ada pesta tehnya akan bersama Hozier."
"Ah, pesta teh itu bisa kulakukan di lain hari, tetapi terkhusus pesta teh ini. Aku hanya ingin berdua denganmu." Ambrosia sedikit meminum tehnya, lalu tersenyum yang melalui mata Aalisha senyuman Ambrosia itu terlihat mengerikan!
Degup jantung Aalisha berpacu, sedikit keringat dingin, kakinya agak kesemutan, lidahnya kelu, ia merasa takut padahal tidak tahu alasan apa yang membuatnya takut. Namun, Ambrosia memancarkan aura mengerikan. Perlahan tatapan mata Aalisha beralih pada nona Lilura yang mengenakan pakaian dengan warna senada dengan Ambrosia. Boneka itu dengan tenang duduk di kursi satu lagi, tidak berniat ikut campur obrolan Aalisha dan Ambrosia.
"Begitu ...." Aalisha berujar yang tanpa Ambrosia sadar, gadis kecil itu mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Apa ada yang hendak Anda bicarakan."
Ambrosia menatap Aalisha begitu intens, manik mata pink rouge-nya benar-benar terpampang jelas dilihat dari jarak sedekat ini, tetapi sesaat terbesit ketajaman yang mampu membelah gunung hanya dengan ditatap saja, artinya ada dendam di mata itu, tetapi dipendam begitu lamanya!
"Aku tahu kau tak suka membuang waktu. Aku akan langsung mengatakannya." Ambrosia memperbaiki posisi duduknya, sesaat wanita itu terlihat seperti tuan putri kerajaan yang siap marah dan mengintimidasi lawannya.
"Iya, apa itu?"
"Aalisha." Suara Ambrosia terdengar sangat dingin. "Kau keturunan utama De Lune 'kan? Kuyakin kau tahu garis keturunan cabang dari keluargamu, jadi langsung saja kutanya, apa kau kenal Duke of Cendrillon."
"Hah?" Aalisha terkejut, begitu tergambar jelas wajahnya yang diliputi kebingungan juga. "Maaf Profesor, aku ...."
"Kau pasti kebingungan, aku minta maaf," ujar Ambrosia, tetapi wanita itu tetap memperlihatkan ekspresi yang dipenuhi amarah dan dendam, hanya saja berusaha untuk tersenyum yang jatuhnya ia terlihat menyeramkan. "Mungkin kau tak tahu nama tengahnya, jadi kuberitahu saja nama lengkapnya. Jadi pria yang kubicarakan adalah Owen Cendrillon De Lune di dari keturunan cabang De Lune, apa kau mengenalnya?"
Detik itu, hidup Aalisha seolah berhenti sesaat. Ia merasakan degup jantungnya berpacu dengan cepat seolah habis dikejar monster atau berhadapan dengan marabahaya. Sungguh bagaimana bisa profesor Ambrosia tahu nama Owen?! Akibat keterkejutan itu, Aalisha tak kunjung menjawab pertanyaan Ambrosia yang membuat wanita itu akhirnya berucap lagi.
"Aku dengan tuan Duke Owen Cendrillon pernah bertemu di suatu kota, kemudian kami makan siang bersama, dia juga mengajakku berkeliling kota itu. Kenangan yang indah, tapi sayang sekali setelah berpisah dari kota itu, kami tak pernah saling memberi kabar bahkan satu surat pun tak kunjung datang padaku. Dia benar-benar menghilang begitu saja. Kini aku penasaran bagaimana keadaannya. Dikarenakan kau adalah keturunan De Lune, mungkin kau mengenalnya dan tahu kabar tentangnya? Jika kau dapat kabar tentangnya, tolong beritahu aku."
Aalisha berpikir jika hidupnya lebih baik runtuh saja karena dia bingung menghadapi situasi ini! Sungguh tak ada pelajaran atau kelas private yang mengajari untuk menghadapi situasi dan kondisi seperti ini! Lalu apa-apaan wajah seram Ambrosia itu yang meskipun wanita itu tersenyum, tetapi dia lebih mengerikan dibanding minotaur yang Aalisha hadapi di hutan Kimari!
"Maafkan aku profesor, aku tak terlalu mengenalnya." Terpaksa Aalisha berbohong. "Namun, sebisa mungkin aku akan mencari tahu informasi tentangnya, karena aku keturunan utama jadi mudah kudapatkan informasi itu."
"Sungguh mulia sekali hatimu Aalisha, pantas aku menyayangimu." Ambrosia berujar, "silakan nikmati tehnya sampai habis."
"Terima kasih, Profesor."
Hari itu, Aalisha benar-benar dilanda syok berat yang membuatnya sulit untuk berpikir. Kini ia tahu kejadian-kejadian aneh yang akan menimpa para manusia yang bersekolah di Eidothea karena beginilah Eidothea, banyak hal tak terduga yang bisa menghampiri.
Sama halnya pada detik ini, Ambrosia mengenal Owen?!
Maka tak mau menunda-nunda, setelah pesta teh dadakan Ambrosia. Lekas Aalisha melenggang pergi menuju kuil di belakang asrama Arevalous karena hanya daerah situ saja hang sepi sementara di lain sangat penuh aktivitas para murid. Kini terdengarlah suara dari cyubes karena Aalisha menghubungi Owen yang tak disangka-sangka dijawab pria itu dengan cepat.
"Wah, wah, apa-apaan ini? Tumben sekali kau menghubungiku duluan. Apa kini kauhendak meminta pertolonganku untuk menghentikan tersebarnya identitasmu keluar akademi?"
"Diamlah berengsek," ucap Aalisha dengan tangan terkepal. "Aku menghubungimu bukan untuk membicarakan diriku."
Owen yang di seberang saja jadi kebingungan. Kalau bukan masalahnya lalu masalah apa lagi? "Jadi apa?"
"Aku langsung kukatakan. Apa kau mengenal salah satu profesorku di akademi ini?"
"Apa yang kaumaksudkan Arthur? Tentu aku mengenalnya."
"Bukan master Arthur, bodoh!!!!" Suara Aalisha meninggi saking aku kesalnya. "Tapi profesorku yang lain, dia seorang perempuan! Kau sebenarnya paham maksudku 'kan, tapi berpura-pura bodoh saja!"
"Coba katakan langsung tanpa berbelit-belit."
Wajah Aalisha sudah sangat memerah, ia menatap cyubes-nya dengan perasaan kesal memuncak, andai bisa ia sudah menemui Owen kemudian memukul kepala pria itu. "Dia putri dari Marquess Ambrosia. Namanya Agrafina Briella Ambrosia, apa sekarang kau ingat, Tuan Duke Cendrillon?"
"Oh, wanita itu. Seingatku, kami pernah berada di kota yang sama karena aku ada urusan. Lalu kami berdua bertemu, makan siang bersama, aku juga mengajaknya jalan berkeliling kota. Kami mengobrol banyak, hampir setiap hari ketika di kota itu, kami sering bersama, kadang makan siang dan makan malam. Lalu kenapa memangnya?"
Kini parameter kesabaran Aalisha sudah benar-benar melewati batasannya, barangkali hancur. "Kenapa kau tanya?! Owen bajingan gila! Kau itu mengencani profesorku!"
"Benarkah, itu namanya kencan? Kupikir hanya jalan-jalan biasa," sahut Owen tak berperasaan sama sekali.
"Goblok, kau bilang hampir setiap hari bertemu dengannya, kau seolah beri dia harapan kemudian kau tinggalkan begitu saja! Kau mencampakkannya! Kau tak berbagi kontak atau mengiriminya surat sedikit pun, terus kau masih bisa santai seolah tak ada yang terjadi?!
Bisa-bisanya ya kau manusia sialan! Andai aku bisa ke tempatmu sekarang, niscaya sudah kupenggal kepalamu dengan pedangku!!!" Aalisha langsung menutupi wajahnya dengan kedua tangan saking dia frustrasi sekali. Dewa mengapa bisa dia punya paman seperti Owen ini? Ambil saja nyawa pria itu, Aalisha sangat ikhlas.
"Jadi ini salahku, baiklah, aku minta maaf," balas Owen dengan suara yang datar dan terkesan dingin. Seolah-olah ia tak peduli meskipun sudah dimaki-maki Aalisha panjang lebar.
"Sialan." Semakin Aalisha frustrasi. "Aku jadi menyesal punya nama keluarga yang sama denganmu." Maka Aalisha menenangkan dirinya karena tahu betul jika Owen jugalah De Lune meski keturunan cabang jadi sifatnya memanglah bajingan, berengsek, dan kurang ajar.
"Jadi apa ada lagi yang hendak kau katakan?" Owen sedikit terkekeh karena sudah ia tebak jika keponakannya itu di ambang amarah dan frustrasi. Perlahan Owen menyandarkan punggungnya di kursi sambil bersilang kaki. Oh ya, dia kini berada di ruang kerjanya
"Ada." Aalisha mendongak menatap cyubes-nya. "Ada seseorang lagi yang hendak kutanyakan padamu. Namanya adalah Lugaldaba, kau kenal dia? Jawab dengan jujur."
Hening sesaat terdengar, hingga Owen akhirnya berujar, "Viscount Lugaldaba itu yang berdasarkan berita ditemukan mati dengan tubuh terpotong-potong, benar bukan? Sejujurnya aku tak kenal dia."
"Kau berbohong," sahut Aalisha.
"Aalisha ...."
"Kau pikir aku bodoh? Kau pikir aku tak tahu kalau sungai Karlberg, tempat ditemukannya Lugaldaba mati dengan tubuhnya yang terpotong-potong---sungai itu dekat dengan desa yang berada dibawah kekuasaan duchy Cendrillon, dibawah kekuasaanmu!!! Owen jangan-jangan kaulah yang ...."
"Ya," sahut Owen dengan suaranya yang datar. "Akulah yang membunuh Lugaldaba. Terus kenapa?"
Detik itu, hidup Aalisha berhenti sesaat lalu amarahnya meledak kembali. "Owen gila!!! Berani sekali kau ikut campur dalam urusanku! Kau mengusik sebagian dari rencana yang sudah kususun, pantas saja ketika Oberon pergi ke mansion Lugaldaba, ternyata sudah menjadi lautan darah dan dia dikabarkan mati, kau pelakunya! Sialan kau, bajingan, berengsek, hanya karena kau juga De Lune jangan seenaknya mencampuri urusanku!"
Owen mendengarkan semua umpatan dan makian Aalisha sambil menyeruput teh yang baru disuguhkan oleh Orly-nya yang paling setia. "Ah, terima kasih Odiseus."
Merasa sudah tak terdengar lagi makian dari Aalisha, maka Owen berucap, "sudah selesai? Apakah masih ada yang hendak kau teriakan karena aku ada urusan penting setelah ini."
"Satu pertanyaan terakhir, kenapa kau melakukan semua itu?" ucap Aalisha.
Sungguh tak akan Aalisha sadari jika Owen tersenyum tipis. "Kenapa ya? Entahlah."
"Susah kuduga kau sinting dan hanya bermain-main dengan urusanku. Lihat saja Owen, suatu hari kau akan babak belur di tanganku. Kalau begitu kita sudahi saja, aku lelah mengobrol denganmu---"
"Ah sepertinya aku tahu alasannya." Owen menginterupsi.
"Apa?" Aalisha tak jadi memutuskan sambungan cyubes mereka.
"Kurasa karena wanita itu punya manik mata yang indah dan aku juga menyukai senyumannya yang cantik itu."
Lihatlah ekspresi Aalisha yang terkejut bukan main akibat mendengar perkataan Owen, bahkan Aalisha terdiam membisu bagaikan patung saking dia tak bisa berkata-kata lagi.
"OWEN DE LUNE. BARUSAN KAU BILANG APA?!" suara Aalisha menggelegar. Sayangnya sambungan cyubes mereka sudah diputuskan Owen sedangkan Aalisha tak bisa menghubunginya lagi. "SIALAN KAU!" Maka kini Aalisha tertunduk pasrah.
Sementara itu, berada di sebuah mansion milik Owen di duchy Cendrillon. Pria itu duduk begitu santai dan tenang padahal barusan habis dimaki-maki oleh keturunan utama De Lune. Kini Owen menatap keluar jendela yang memperlihatkan hamparan langit yang begitu indah. "Setelah masuk Eidothea, anak itu jadi lebih ekspresif. Ya, pilihan yang tepat memasukkannya ke sekolah."
"Hamba pun terkejut dengan perubahan kecil pada diri nona Aalisha," ujar Odiseus.
"Ya kau benar. Lalu aku masih berterima kasih padamu, Odiseus karena kau berhasil membawa Ambrosia keluar dari mansion Lugaldaba."
"Tentu saja Hamba melaksanakan perintah Anda dengan semestinya," balas Odiseus, "kemudian Hamba masih lucu mendengar reaksi nona Aalisha tadi, dia sangat kesal karena Anda ikut campur meski hanya sedikit."
Owen mengangguk kecil. "Yah, begitulah ketika keturunan De Lune ikut campur dengan suatu permasalahan. Atas alasan ini juga, jarang sekali Majestic Families turun tangan pada masalah sepele karena banyak hal tak terduga akan terjadi."
"Anda memang hebat Tuanku," ujar Odiseus. "Anda menyiksa Lugaldaba tanpa ampun menggunakan teknik terlarang kemudian membunuhnya begitu sadis. Anda bahkan memerintahkan Oberon, Orly milik nona Aalisha untuk memberi hukuman yang tak tertahankan pada Hesperia bahkan mempertemukannya dengan Mirzurich Zalmos."
"Odiseus." Kini Owen berada di balkon ruangan kerjanya, ia memandang ke seluruh halaman mansionnya yang begitu luas, megah, dan indah. "Bukankah kau tahu akan sifat seorang De Lune?"
Maka Odiseus mengangguk. "Tentu saja. Seorang De Lune memang jarang menunjukkan simpati dan empati mereka bahkan lebih banyak tak peduli pada manusia. Namun, jika ada yang berani mengusik sosok berharga dan disayang oleh De Lune, maka orang itu takkan pernah diampuni."
|| Kemungkinan akan diceritakan lebih dalam mengenai hubungan Owen dan Ambrosia seiring berjalannya cerita ini.
15. Kasih Sayang?
Hari ini adalah hari terakhir ujian tengah semester dilaksanakan, beruntungnya ujian terakhir adalah mata pelajaran Sejarah jadi pasti mudah. Kini berada di salah satu koridor, Aalisha, Anila, dan Mylo berjalan bersama hendak menuju asrama Arevalous.
"Aalisha boleh kutanya sesuatu?" ujar Anila, "tapi ini agak sensitif. Tidak masalah?"
Mylo sesaat melirik Anila seolah lelaki itu paham apa yang hendak ditanyakan oleh Anila.
"Tanyakan saja," balas Aalisha.
"Kaukan keturunan De Lune, dulu kau berkata jika tidak punya ibu dan ayah. Aki tahu kalau istri Kepala Keluarga De Lune telah meninggal sebelas tahun lalu, tapi bukankah masih ada Kepala Keluarga, kenapa kau berkata jika ayahmu juga mati?" Anila sudah memilih kata-kata sebaik mungkin agar Aalisha tidak sakit hati. Namun, sepertinya gadis kecil itu memang tercipta untuk tak menggunakan hatinya.
"Memang benar, Kepala Keluarga De Lune masih hidup, tapi ayahku sudah mati sejak aku dilahirkan juga." Senyuman Aalisha terukir. "Aku tak pernah menganggapnya sebagai ayah karena dia juga tidak pernah menganggapku sebagai putrinya, dia tidak menyayangiku."
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Prins Llumière
Sabtu, 25 Februari 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top