Extra Chapter (1)

Chapter ini berupa chapter tambahan yang menceritakan secara singkat keseharian Aalisha setelah terungkap jati dirinya sebagai seorang Majestic Families, De Lune. Jadi mari lihat bagaimana interaksi Aalisha dengan orang-orang di akademi.

1. Laki-laki Juga Boleh Nangis

HARI INI pembelajaran berlangsung seperti biasa. Meskipun banyak yang terjadi belakangan hari ini, tetapi para murid harus menjalani kehidupan mereka senormal mungkin, salah satunya adalah Ujian Tengah Semester yang sebentar lagi akan mereka hadapi. Kini di salah satu lokasi taman dalam kastil, ketika ada jeda sebelum mata pelajaran Biologi---yang akan diajar oleh profesor Solana di salah satu rumah kaca milik Eidothea---Aalisha sengaja memanggil Gilbert karena ada hal penting yang harus dia omongkan dengan lelaki itu yang tengah kebingungan pasalnya jarang Aalisha mau mengobrol empat mata begini tanpa mengajak yang lain.

"Jadi kenapa kau memanggilku saja sedangkan yang lain tidak?" ujar Gilbert mengikuti langkah Aalisha, ia lalu mengedarkan pandangannya yang ternyata dia melihat seekor burung hinggap di pohon yang ada di taman ini. Kemudian Gilbert beralih pada Aalisha lagi yang mengeluarkan semacam gulungan kertas berwarna cokelat.

"Perlu kau tanyakan hal itu? Aku memanggilmu ya karena aku hanya punya urusan padamu," balas Aalisha dengan ekspresi khasnya yakni wajah datar yang seolah tak peduli pada sekelilingnya. Perlahan Aalisha menyodorkan gulungan kertas cokelat tersebut pada Gilbert. "Ambil ini. Lalu bukalah."

Gilbert perlahan mengambil gulungan kertas tersebut, ia diam karena sangat bingung. Sungguh, ia tidak berpikir jika kertas cokelat ini adalah surat cinta atau semacamnya, tetapi ketika ia membuka gulungan tersebut kemudian membaca nama-nama yang ada di gulungan itu, maka itulah alasannya terdiam membisu kemudian menatap Aalisha kembali. "Apa ini? Kenapa ada nama-nama bangsawan kelas atas di sini?"

"Sebelum kau pertanyakan, pertama-tama kau berutang maaf padaku," balas Aalisha.

"Ke---kenapa?" Gilbert jadi keringat dingin.

Aalisha menghela napas. "Kenapa kau tanya, kau bodoh atau apa ya?! Kennedy dan Frisca cerita padaku jika setelah kau membantuku kabur dari Killian kemudian kau menyerang dia, hari itu juga, Killian langsung mengirim surat pada ayahnya untuk memutuskan hubungan kerja sama dengan keluargamu. Jadi sekarang tuan Baron Ronald sudah tak ada relasi lagi dengan Marquess Cornelius sialan itu!"

"Aalisha ...." Gilbert jadi panik karena kini Aalisha sudah marah. Padahal dia hendak menyembunyikan masalah ini dari Aalisha, Anila, dan Mylo karena tidak mau mereka khawatir. "Maaf, maafkan aku. Aku hanya tak mau kau khawatir."

Terlihat gadis kecil itu menghela napas panjang sambil memegangi kepalanya. "Sudahlah, Cornelius itu memang bajingan. Andai mereka bukan keluarga dari silsilah panjang, kuyakin sudah habis keluarga itu."

"Jadi kertas berisi nama bangsawan ini untuk apa?" tanya Gilbert agak tergagap, ia merasa degup jantungnya berpacu dengan cepat, entah mengapa ia merasa jika air matanya hendak jatuh pula.

"Itu nama-nama bangsawan yang punya relasi dengan Keluarga De Lune, meski bukan relasi utama," balas Aalisha, "kebanyakan dari mereka bangsawan kelas atas dan berperan dalam ekspedisi militer Zero Domain jadi mereka perlu kerjasama dengan pemasok makanan. Kutahu jika keluargamu menjadi pemasok dalam bidang makanan untuk ekspedisi militer, jadi serahkan daftar nama itu pada ayahmu, Gilbert. Lalu kirim kerjasama dengan keluarga-keluarga itu, kuyakin ada lima keluarga yang akan langsung menerima ayahmu sebagai untuk bekerjasama. Jadi dengan ini bisnis ayahmu tetap berjalan, terus bekerjasama dengan mereka jauh lebih waras dibandingkan dengan Cornelius."

Mendengar perkataan Aalisha, Gilbert tanpa sadar meneteskan air matanya. Ia masih terdiam sambil menggenggam kuat kertas cokelat tersebut. Dadanya terasa hangat dan tentram seolah Aalisha hadir untuk membantunya keluar dari badai yang selama beberapa hari ini menakutinya. Jujur, Gilbert sangat takut jika keluarganya hancur karena ayahnya kehilangan bisnisnya. Namun, kini dia rasa badainya sudah berlalu.

"Ah semisal keluarga bangsawan itu ternyata kurang ajar juga pada keluargamu, kau laporkan saja padaku, nanti aku akan bertindak. Habisnya ngebunuh satu relasi tak masalah untuk mengurangi hama De Lune." Aalisha masih saja mengoceh tanpa tahu jika Gilbert semakin menangis. "Terus kalau kinerja keluargamu bagus, bisa saja De Lune akan bekerjasama denganmu juga---"

Maka suara tangis Gilbert semakin besar, dia bahkan terisak dengan air mata tak berhenti jatuh, matanya memerah. Lekas ia menutupi wajahnya dengan lengan bajunya, tetapi dia masih tak bisa berhenti.

"Gilbert, kenapa kau malah menangis! Hei!! Oh astaga!" balas Aalisha jadi bingung setengah mati karena Gilbert yang kini berjongkok dan terus-menerus menyembunyikan wajahnya. Namun, isakan tetaplah lepas.

"Aku tak tahu kenapa menangis, tapi jujur aku sangat takut jika keluargaku kenapa-kenapa. Terus setelah mendengarmu mau membantuku, aku, aku ... aku bahagia bisa berteman denganmu." Gilbert berucap terbata-bata karena diselingi tangis yang seolah memenuhi taman ini. "Maaf aku nangis, padahal aku cowok."

Sesaat Aalisha menatap Gilbert, helaan napasnya terdengar lagi, lalu dia melangkah menuju Gilbert yang masih berjongkok di rerumputan dengan wajah yang ia tenggelamkan di antara lipatan lutut dan lengannya, sementara itu tangannya yang lain menggenggam erat kertas cokelat yang diberikan Aalisha. Kini Aalisha tepat berada di samping Gilbert kemudian suara gadis itu terdengar.

"Ya sudah, nangis saja dulu, jangan ditahan. Laki-laki juga berhak menangis, kan sama-sama manusia. Lagi pula kita ini cuma anak-anak jadi jangan terlalu memaksakan diri." Maka Aalisha perlahan duduk di samping Gilbert, ia mengambil novelnya dari dalam invinirium kemudian dibacanya sambil menunggu Gilbert selesai melampiaskan tangisnya.

2. Jubah Kesayangan

FRISCA perhatikan jika banyak perubahan terjadi di Eidothea ataukah perubahan terjadi karena gadis kecil nan pendek di depannya ini? Padahal tak ada perubahan sedikit pun pada sikap Aalisha, sungguh karena gadis itu tetap menyebalkan bahkan semakin menyebalkan lagi karena kini dia terang-terangan tidak menyembunyikan keangkuhannya. Untung saja Frisca termasuk jajaran manusia yang tercipta untuk tahan menghadapi tindak-tanduk Aalisha.

"Kenapa kau tak suka dipanggil Yang Mulia atau nama Keluargamu?" tanya Frisca berjalan bersampingan dengan Aalisha, mereka berdua menuju asrama Arevalous karena sudah selesai kelas mata pelajaran latih tanding.

"Karena tidak terbiasa lagian aku tak suka nama De Lune terlalu disebut, bising," balas Aalisha apa adanya karena agak malas menanggapi pertanyaan itu.

"Baiklah," balas Frisca kemudian tersenyum sumringah, sepanjang keduanya menyusuri koridor, melewati para murid lain yang tak melepaskan pandangan dari Aalisha, tetapi bedanya mereka tak berani membicarakan gadis kecil itu terang-terangan.

"Kenapa kau tersenyum terus sejak tadi, apa yang lucu?" balas Aalisha karena agak risi. Pasalnya Frisca tersenyum lebar, lalu menatap dan memperhatikan Aalisha.

"Tak ada yang lucu kok, aku hanya mau tersenyum saja." Bahkan membalas pertanyaan Aalisha saja, Frisca tersenyum lalu terkekeh kecil ketika menatap Aalisha jadi semakin membuat gadis kecil itu kesal. Sungguh, Frisca tidak gila 'kan?

"Terserah deh, tapi kalau kau tersenyum dan tertawa tanpa sebab, kau akan dicap orang gila dan aku tak mau bersisian dengan orang gila," balas Aalisha. Memang terdengar menusuk, tetapi Frisca sama sekali tak sakit hati.

"Oh aku baru teringat sesuatu!" ucap Frisca kemudian memunculkan invinirium-nya, lalu mengambil semacam baju yang terlipat rapi. "Aku mau kembalikan jubah ini padamu."

Aalisha menoleh sebentar sambil menghentikan langkahnya. Jubah? Sesaat ia berpikir karena awalnya tak paham. "Jubahku waktu itu?" Jadi jubah yang dimaksudkan adalah jubah yang Aalisha selimutkan ke tubuh Frisca ketika gadis itu dirundung Gezmez dan Devury. Ah, gimana kabar kedua kakak tingkat itu ya, perlukah Aalisha kunjungi mereka atas nama De Lune? Aalisha yakin kedua kakak tingkat itu akan semakin menangis dan memohon ampun.

"Iya ini jubahmu, sudah kucuci dan dilipat rapi.Mau kukembalikan, tapi lupa. Jadi sekarang saja kukembalikan selagi aku ingat."

"Tidak perlu," balas Aalisha, "buang saja, aku tak perlu jubah itu, lagi pula aku punya banyak di lemari."

Frisca diam sambil memegangi jubah yang terlipat itu. "Kau serius, kau tak mau jubahmu? Padahal masih bisa dipakai loh."

"Tidak perlu, aku bahkan lupa pada jubah itu." Aalisha balas tanpa kebohongan sedikit pun. Lagi pula di lemarinya ada 10 jubah karena dia borong pada lady Michroft.

"Jahatkau, padahal sudah kucuci dan kulipat rapi," balas Frisca dengan wajah memelas.

"Kau pikir aku tak tahu, tuh jubah kan dicucikan oleh pengurus asrama!!"

Frisca terkekeh karena memang benar begitu. "Yah kupikir kau tak tahu, tapi serius deh Aalisha, kau benar tak mau jubahmu kembali?"

"Ya, aku tak mau jadi buang saja ...." Aalisha menghela napas. "Atau kausimpan untukmu, terserah padamu."

"SERIUS AKU BOLEH MENYIMPANNYA?!" teriak Frisca langsung senang.

"Ya terserah," balas Aalisha agak heran. Kenapa malah senang padahal jubah bekas begitu? Manusia memang aneh.

"Okeee, makasih ya! Meski agak pendek jubah ini, tapi akan kupakai sesekali dan kujaga," balas Frisca dengan berjanji karena dia memang hendak jubah Aalisha ini.

"Kau aneh, masa jubah buangan disimpan."

Frisca tahu benar jika Aalisha berpikiran seperti itu, tetapi itulah ciri khas dari Aalisha. Meskipun begitu, Frisca tetap menyayangi sahabatnya ini. "Kau tahu, kadang aku bisa bermimpi buruk setelah kejadian kedua kakak tingkat itu. Aku masih takut."

Aalisha diam mendengarkan, tak disangka jika kejadian hari itu menjadi trauma bagi Frisca. Kini Frisca melanjutkan perkataannya. "Namun, ketika aku teringat akan jubahmu, aku jadi tidak begitu takut lagi karena aku yakin kau akan selalu melindungiku saat aku tak bisa melakukannya sendiri. Aalisha, makasih sudah menyelamatkanku waktu itu, makasih sudah melindungi Eidothea. Aku bersyukur bisa menjadi sahabatmu."

Sesaat ada sesak aneh yang menyeruak, tetapi sekali lagi berusaha disangkal oleh Aalisha. "Ya terserah."

"Ah kau gengsian sekali," balas Frisca mempercepat langkahnya karena Aalisha berjalan dengan cepat pula. "Hei Aalisha, jika kau laki-laki, sudah pasti aku akan suka padamu! Ya, meski gengsimu setinggi langit!"

"Tidak peduli! Banyak omong, persetan!" balas Aalisha.

"Aku penasaran!" teriak Frisca, "kira-kira kau bisa suka sama orang nggak ya?!"

Di luar dugaan, Aalisha hentikan langkahnya sambil berbalik menatap Frisca. "Tidak akan. Karena De Lune punya umur pendek."

Mendengar hal itu, Frisca terkejut bukan main. "AALISHA!! JANGAN BILANG GITU!! HEI AALISHA!!"

3. Tangis Haru Dua Bersaudara Cressida

Sungguh demi Para Dewa yang berkuasa atas langit dan Athinelon ini Aalisha sangat pusing menghadapi tingkah dari orang-orang di Akademi termasuk para penghuni asrama Arevalous; bukan, bukan karena mereka hendak menjadi penjilat karena Aalisha adalah Bangsawan Tertinggi. Namun, banyak sekali manusia yang semakin tidak jelas berada di sekitarnya, termasuk pada detik ini!

"Aku tahu jika laki-laki punya hak untuk menangis, tapi kenapa kalian berdua berlebihan banget sih! Oh Dewa, kalian membuatku malu!" teriak Aalisha yang berada di ruangan utama asrama Arevalous sementara di hadapannya adalah kedua kakak Mylo yakni Easton dan Noah Cressida yang wajah keduanya sangat kacau, hidung memerah, serta tangis tak kunjung berhenti.

"Kubilang sudah menangisnya!" teriak Aalisha lagi pasalnya ia dan kedua kakak Mylo ini jadi pusat perhatian anak-anak penghuni asrama. Anak-anak yang hendak keluar dan masuk ke asrama jadi memperhatikan ketiga pusat perhatian itu, ada juga yang jadi terkekeh karena melihat tingkah laku Easton dan Noah. Aalisha semakin kesal pasalnya dia jadi terlihat seperti seorang bangsawan jahat yang habis merundung atau mengancam kedua kakak tingkat. "Bisakah sudahi kelakuan kalian, aku jadi kesal!"

"Kenapa kau malah begitu!" ujar Noah, "kami begini karena terharu sekali. Akhirnya doa ibu kami terkabulkan, ibu kami ingin sekali kami dekat dan berteman dengan keturunan Keluarga De Lune. Akhirnya terkabulkan juga, terus tak kusanka bakal sedekat ini dengan adik kami!" Maka Noah menangis kembali.

"Benar, benar sekali! Ibu kamu pasti sangat bangga dan senang karena anak-anaknya akhirnya punya teman seorang De Lune. Aku sama sekali tak bisa menahan tangisku saking aku senang dan bahagia. Kuyakin ibu akan bahagia juga kalau mendengar kabar ini. Mungkin ibu akan langsung mengundangmu ke rumah kami agar bisa bertemu dengan mengobrol bersama!" Kini Easton berujar lalu diselingi tangisnya yang semakin kencang.

Sementara itu Aalisha hanya bisa memegangi kepalanya yang pusing sekali. Ia lalu melirik pada Anila dan Mylo yang memang ada di dekatnya, meski berjarak agak jauh agar tidak jadi pusat perhatian juga. "Mylo, bisa kau tenangkan kedua kakakmu ini?"

Bukannya menuruti perkataan Aalisha, Mylo malah ikutan menangis juga. "KENAPA KAU MALAH IKUTAN MENANGIS SIH!"

4. Kecanggungan Dua Bangsawan

Kelas ramuan pada hari ini membentuk kelompok untuk mengerjakan praktikum, satu kelompok terdiri dari dua murid yang kelompoknya dipilihkan oleh profesor Xerxes, kebetulan Aalisha satu kelompok dengan Kennedy. Jadi kini mereka di meja yang sama kemudian memantau kuali di hadapan mereka yang cairan ramuannya sedikit tertumpah.

"Jadi apa kau pernah ke pesta bangsawan?" tanya Kennedy karena bingung hendak bertanya apa.

"Tidak dengan nama De Lune," balas Aalisha, "kalau menyamar pernah."

Kennedy mengangguk. "Kau tahu keluarga Bangsawan Lysander Edevane?"

"Ya, keluarga yang punya hotel."

"Iya." Kennedy mengambil salah satu bahan ramuan kemudian perlahan dia masukkan ke dalam kuali.

"Ayahku pernah hadir ke acara keluarga cabang De Lune, keluarga Theirenmana."

"Ah ya, aku tak terlalu hapal cabang keluargaku," balas Aalisha.

"Begitu."

"Ya."

"Makasih sudah menjadi teman yang baik."

"Ya sama-sama."

5. Llama Pengecut dan Kelinci Buas

Selain sudah tidak bersandiwara dan menampakkan jati dirinya sebagai keturunan De Lune, sepertinya Aalisha takkan main-main lagi di dalam pelajaran. Sungguh tidak hanya para murid yang terkejut melainkan para pengajar juga yang terdiam membisu saking Aalisha berani memperlihatkan kecerdasannya di bidang akademis. Awalnya gadis itu hanya diam saja di kelas, seolah tak ada kehidupan dan minat dalam pelajaran, tetapi kini jauh sebelum murid lain bertanya, gadis kecil itu sudah punya beragam pertanyaan bahkan ia mudah sekali menjawab pertanyaan dari para pengajar. Hal ini membuatnya jadi mendominasi kelas semudah membalik telapak tangan.

Hari ini adalah kelas sejarah, tetapi digabung karena beberapa pertemuan profesor Reagan tidak dapat mengajar. Maka riuhlah kelas tersebut dengan segala tingkah para muridnya, seperti asyik membuat pesawat hingga burung kertas kemudian di terbangkan mengelilingi kelas ini. Ada pula yang clay atau tanah liat yang kemudian dibentuk jadi boneka orang-orangan kemudian diberi sihir sehingga boneka itu melangkah meski hanya sebentar saja. Serta aktivitas lainnya sembari menunggu profesor mereka.

Terlihat seorang lelaki berbalut jubah asrama Drystan yang membawa buku tebal. Dia terlihat kesal karena ada anak di asramanya yang memecahkan kaca jendelanya, sudah dilaporkan pada Wakil Kepala Asramanya hanya tinggal menunggu hukuman pada anak nakal itu. Amarahnya semakin besar ketia berada di kelas ini, kursi atau tempat yang biasa ia duduki jika kelas gabungan malah ditempati oleh seorang laki-laki yang berasal dari asrama Faelyn dan bukan bangsawan.

"Menyingkir dari tempatku!" teriak Killian sambil memukul kepala lelaki Faelyn itu dengan buku tebalnya.

Tentu saja murid yang kena pukul tersebut tidak terima. Ia pun berdiri dari tempatnya kemudian menatap sinis pada Killian. "Takkan, aku lebih dulu di sini! Apa ada aturan di akademi yang menjadikan kursi ini khusus untukmu?!"

"Sialan, aku sejak dulu duduk di sini!" balas Killian, "jadi menyingkirkan dasar rakyat JELATA!"

"Gila ya, hanya karena kau bangsawan, jangan seenaknya menghina kami terus! Kau itu hanya besar kepala karena ayahmu adalah Marquess," balas lelaki Faelyn itu.

"Tutup mulutmu dasar sampah masyarakat!" Maka Killian menggunakan sihirnya yang sukses membuat lelaki Faelyn itu terjatuh dari tangga, mengakibatkan lengannya jadi terluka serta wajahnya tergores anak tangga terbuat dari kayu itu.

Kelas itu hening seketika, tetapi bukan karena perlakuan kurang ajar Killian, melainkan karena lelaki Faelyn yang Killian serang terjatuh di hadapan seorang gadis berjubah Arevalous yang berniat menaiki tangga dan mencari kursi untuknya duduk. Sesaat gadis itu menatap pada seorang murid yang terkapar di dekat kakinya kemudian lekas berdiri dengan terburu-buru dan ketakutan.

"Maafkan aku, maaf sudah mengganggu jalanmu," ujar lelaki Faelyn itu sedikit membungkukkan badan kemudian segera menuruni tangga. Sudah tak ia pedulikan akan Killian karena lebih baik nyawanya selamat dibandingkan berurusan dengan gadis rambut hitam itu.

"Aalisha," panggil Anila, lalu menatap pada Killian yang terdiam membisu karena kini gadis kecil bernama Aalisha itu mulai melangkah menaiki anak tangga satu per satu. Hal ini membuat seluruh murid tertuju pada Aalisha dan Killian.

"Menyingkirlah," ucap Aalisha tak terlalu keras, tetapi begitu jelas di gendang telinga Killian dan beberapa murid di dekatnya.

Hanya saja, Killian masih diam dengan keringat dingin mulai terasa di belakang lehernya, ia menunduk, dan napasnya jadi tak karuan. Rasa takut sukses menyelubunginya padahal di hadapannya adalah gadis kecil pendek ibarat seekor kelinci. Ya, kelinci dengan gigi taring panjang yang siap untuk mengoyak tubuh seekor llama hingga mati.

"Apa kau tak dengar kata-kataku?" Aalisha kembali berujar. Kini perhatian para murid terpecah belah ketika beberapa ekor burung berjenis Amadeo masuk melalui jendela kelas ini yang terbuka, kini lima ekor burung itu bertengger di dekat papan tulis. "Kau tuli ya? Padahal barusan berteriak pada orang lain hanya karena dia berasal dari kaum proletar."

Maka bertambahlah para burung yang bertengger di papan tulis kelas. Hal ini membuat murid-murid di kelas itu jadi ketakutan karena tahu benar mereka jika para burung tidak datang begitu saja, tetapi dipanggil oleh Aalisha yang notabenenya keturunan De Lune.

"Killian Cornelius, kau pikir hanya kau saja yang bisa menggunakan nama bangsawan? Aku juga bahkan jauh di atasmu yang tidak lebih sebagai makhluk rendahan! Jadi ...." Maka para burung Amadeo yang berjumlah 20 ekor itu seketika merentangkan sayap-sayapnya. "Menyingkirlah sebelum kau menangis!"

Sukses Killian tidak hanya menyingkir dari sana, tetapi berlari tunggang langgang, ia terjatuh pula dari tangga tribune hingga ditertawakan satu kelas. Kemudian lekas berdiri kembali dan berlari sekencang mungkin keluar dari kelas ini karena 20 ekor burung mengejarnya dengan kepakan sayap yang begitu kencang sehingga lari Killian dikalahkan para burung yang mulai mematuk seragamnya hingga Killian menjerit-jerit kesakitan sepanjang berlari di koridor.

Aalisha pun duduk di kursi tersebut sambil menyandarkan punggungnya kemudian membuka buku. Sementara itu Anila dan lainnya hanya bisa menatap Aalisha dengan mata membulat. Barusan gadis kecil itu menggunakan kemampuan mistisnya?

"Aalisha! Oh Dewa, kau gunakan kekuatanmu!" teriak Anila jadi frustrasi.

"Sialan, kau hebat banget!" puji Gilbert malah mendukung tindakan Aalisha.

"Burung-burung tadi keren, mereka langsung menurutimu dengan mudahnya," timpal Kennedy.

"Ya! Kau benar-benar hebat! Lihat si sombong itu akhirnya kaubungkam!" Frisca tak kalah senang.

"Kau benar sahabatku yang keren," imbuh Mylo kemudian duduk di samping Aalisha.

"Sudahlah terserah kalian, aku lelah," balas Anila ikutan duduk di samping Aalisha yang bergeser ke tengah. "Tapi dia takkan mati 'kan?"

"Aku tidak sejahat itu Anila," sahut Aalisha begitu tenang kemudian tak lama terdengar langkah kaki profesor Reagan memasuki kelas dengan tergesa-gesa.

"Aalisha De Lune, apa perbuatanmu sampai para burung di akademi mengejar Killian Cornelius!" teriak profesor Reagan yang sukses membuat satu kelas terkejut. Sementara itu, Aalisha menanggapi dengan santai.

"Benar sekali Profesor, hebat 'kan aku? Apakah aku berlebihan, kurasa tidak."

"Hentikan sihirmu sekarang!"

"Baiklah, baiklah akan kuhentikan lagi pula aku kasihan pada para burung itu jadi bagaimana jika kuganti dengan naga agar mengejar Killian?"

"Aalisha De Lune!" Sungguh profesor Reagan bisa sakit kepala terlebih yang dihadapinya adalah keturunan De Lune.

"Aku hanya bercanda, maafkan aku." Maka Aalisha terkekeh dan menyudahi sihirnya sehingga berhentilah para burung mengejar Killian.

Sayang sekali ya, tidak ada naga di akademi ini. Padahal jika ada pasti sangat seru.

Ah, bagaimana jika suatu hari Para Dewa merealisasikan hal itu? Naga di akademi Eidothea, sangat keren! Jadi mari berdoa agar hal ini terjadi.

6. Latih Tanding yang Gagal

Sialan sekali, kelas Binatang Magis ditiadakan dan akan diganti ke hari Sabtu karena tuan Howard sedang ada urusan penting menyangkut seekor Poinoid yang sakit. Kini akhirnya Aalisha, Anila, dan Mylo berniat ke suatu tempat entah apa itu sambil menunggu kelas lainnya yang akan dilaksanakan sekitar tiga jam lagi. Jadi mereka mencari kegiatan lain untuk mengusir kebosanan. Kini ketiganya berada di lapangan hijau sebelah selatan akademi yang ternyata ada kelas latih tanding dari angkatakan atas. Ada profesor yang mengajar di kelas ini, entah siapa itu yang jelas bukan master Aragon. Saat ini adalah sesi bertarung dengan teman, tetapi diperbolehkan jika ada yang hendak mencoba melawan anak-anak kelas yang sedang dalam pelajaran ini.

Anila sepertinya sadar apa yang akan terjadi jadi dia hendak menjauh dari sini. Sambil menarik jubah Mylo dan hendak ia tarik pula jubah Aalisha. "Ayo pergi, mending kita ke asrama saja dari pada di sini."

Mylo merespons kegundahan Anila. "Ah ya, ayo pergi."

"Tidak," balas Aalisha melepaskan jubahnya yang digenggam Anila kemudian nyelonong gadis kecil itu pergi menuju para kakak tingkat yang sedang latih tanding dan menawarkan pada adik tingkat yang menonton mereka untuk bertarung dengan mereka.

"Aalisha," teriak Anila, tetapi sudah pergi gadis kecil tersebut.

Sementara itu, di antara gerombolan yang sedang menonton latih tanding antara Tiona Delilah melawan salah satu adik tingkat yang berada di angkatan tahun ketiga, tetapi dengan mudahnya dia kalahkan bahkan berkali-kali berhasil dia banting hingga suara remuk terdengar dan tanah sedikit retak. Alhasil, lawannya itu kalah telak dan terpaksa dipapah oleh temannya karena pergelangan kakinya keseleo.

"Sial, masa tidak ada yang berhasil mengalahkan Tiona, kalian semua payah!" ujar Reiner, teman baik Tiona sambil mengedarkan pandangannya pada para penonton yang terlihat mereka tak berani menantang Tiona.

"Sudahlah Reiner, kelas selesai, aku hendak kembali," balas Tiona sambil mengelap keringatnya dengan handuk berwarna putih.

"Jangan dululah!" balas Reiner, "bermainlah sedikit lagi. Aku seriusan, masa tidak ada yang mau mengajukan diri untuk melawanku atau Tiona. Ayo, ayo, ajukan diri kalian untuk melawan kami! Ada?"

"AKU!! Aku, aku, aku mau, aku mau," teriak seorang gadis dengan tangannya terangkat ke atas, ia berada di antara gerombolan pada penonton. Saking pendeknya sampai tidak terlihat kepalanya.

Keheningan menyeruak di gerombolan para penonton begitu juga Reiner dan Tiona yang diam membisu ketika para murid membuka jalan untuk gadis pendek dari angkatan tahun pertama yang perlahan melangkah hingga ke hadapan kedua kakak tingkatnya itu. "Aku mau bertarung melawan Tiona Delilah."

"Kau," balas Reiner merasa keringat dingin menetes dari pelipisnya. Ia memperhatikan adik tingkatnya yang telah menjadi pembicaraan paling utama di akademi ini. Seorang yang menyembunyikan jati dirinya sebagai keturunan utama De Lune. "Ah, itu, itu, soal pertarungannya ...."

"Kenapa malah takut, aku bahkan belum mulai apa-apa?" Aalisha lalu beralih pada Tiona yang tengah memalingkan wajahnya. Sudah ditebak jika Tiona Delilah sedang ketakutan jadi Aalisha tersenyum puas karenanya. "Bagaimana Nona Delilah, mau bertarung denganku, tanpa neith pun akan kuladeni."

Sesaat Tiona menatap pada Aalisha kemudian gadis itu membungkukan badannya perlahan. "Maafkan aku, tapi aku sudah tidak berniat untuk bertarung lagi karena kelas sudah usai. Jadi sampai jumpa." Maka Tiona berbalik dan melenggang pergi sementara itu Aalisha jadi kecewa berat.

"Yah sayang sekali, bagaimana denganmu, kau mau bertarung denganku?" Aalisha berucap pada Reiner yang terkejut bukan main.

"MAAF, TAPI AKU TAHU BATASANKU JADI AKU TAK BISA BERTARUNG MELAWAN ANDA!" Maka tanpa aba-aba, Reiner nyelonong pergi begitu saja. Sukses hal ini membuat Aalisha maupun para murid di sekelilingnya jadi bingung akibat tingkah kedua kakak tingkat itu.

"Tidak asyik," ucap Aalisha, "kalian semua gimana, serius tak ada yang mau bertarung denganku? Ayolah sebentar saja, aku bosaaaannn." Sayangnya tak satu pun dari para murid mau, mereka langsung membungkuk sesaat kemudian pergi dari sana meninggalkan Aalisha sendirian.

"Sudah kubilangkan untuk tak usah kemari," balas Anila karena menatap Aalisha teridam di sana sendirian.

"Kenapa? Aku takkan memakan mereka semua, kenapa malah takut?!" sahut Aalisha.

"Masih kaupertanyakan!!" balas Mylo.

7. Ancaman dan Senyum Mengerikan

SUASANA kantin rumah pohon di akademi Eidothea sedang sangat ramai, sehingga para Orly yang bekerja harus menyiapkan terpal atau tikar untuk digelar di rerumputan sebagai tempat para pengunjung yang datang. Terlihat para murid bersama dengan teman-temannya membeli makanan dan minuman yang cukup banyak kemudian mereka berceloteh panjang lebar, ada juga yang sambil bermain monopoli sihir dan catur sihir, tidak lupa permainan kartu yang terdengar suara teriakan setiap ada yang kalah.

Aalisha, Mylo, Anila, Kennedy, Gilbert, dan Frisca berada di rumah pohon karena habis memesan minuman di sana yakni Caelum Milk dan il tè Priel. Berada di bawah Easton dan Noah sedang ribut bersama dengan Damien dan juga Evanora karena mereka habis kelas Sastra jadi mereka menceritakan mengenai kisah-kisah yang dibawakan oleh para penyair bahkan saking berkebihannya mereka Easton dan Noah naik ke meja kemudian berakting seperti penyair andal.

Gelengan kepala terlihat pada Aalisha saking dia menganggap tingkah kakak tingkatnya ini sangat berlebihan dan tidak waras, oh ayolah kapan ada manusia waras di sekolah ini? Hingga manik mata Aalisha menangkap pada seorang perempuan berbalut jubah asrama Drystan. Senyuman kecil Aalisha terukir, maka tanpa sopannya dia menyerahkan gelas minumannya pada Mylo, lalu gadis kecil itu melompat melewati pagar di rumah pohon tersebut kemudian mendarat di rerumputan. Sontak hal ini membuat Anila, Mylo, dan lainnya serta Easton, Noah, Damien, dan Evanora terkejut bukan main terlebih lagi Aalisha berlari menuju seorang perempuan yang diketahui sebagai adik sepupu dari Tiona Delilah, ya Jasmine Delilah bersama dengan temannya bernama Bethany.

"Jasmine Delilah!" ucap Aalisha seketika berada di hadapan Jasmine yang hendak pergi dari kantin ini bersama dengan Bethany. "Apa kabar?"

Satu kantin pun langsung diam membisu dan suasana jadi mengerikan, tidak ada yang beraktivitas untuk membeli makanan atau minuman, bahkan para Orly terdiam dan tak jadi mengambil piring dan gelas kotor di atas meja. Ketakutan begitu menyelubungi satu kantin tersebut, jika mereka saja takut, bagaimana keadaan putri bangsawan Delilah itu yang baru saja disapa dan didatangi oleh keturunan utama Majestic Family De Lune itu?

"Ha---halo, kabarku baik." Jasmine menjawab dengan terbata-bata, begitu kentara rasa takutnya padahal Aalisha tersenyum sumringah. Aneh sekali ya dia? Bahkan Bethany saja seperti berusaha melindungi Jasmine dari Aalisha. Meski di mata Aalisha, tingkah Bethany tidak lebih dari seekor semut yang akan mudahnya diinjak hingga mati.

"Syukurlah kau baik-baik saja," balas Aalisha, "kupikir kau akan merengek-rengek padaku lagi dan menyalahkan segala yang terjadi padaku kemudian menghinaku sebagai keturunan rakyat jelata, ah sungguh tak baik jika menghina sesama manusia, bukankah pada akhirnya akan sama-sama mati dan dikubur ke tanah juga."

Sementara itu, Anila dan lainnya lekas bersama-sama menuju Aalisha. Mereka takut jika gadis kecil itu semakin membuat gempar satu sekolah dan merusak mental seorang bangsawan. Sungguh kini yang mereka khawatirkan bukanlah Aalisha karena gadis kecil itu takkan ada yang berani menindasnya lagi.

"Kau benar, aku minta maaf," balas Jasmine.

"Aku bertanya-tanya loh kenapa akhir-akhir ini kau malah menghindariku padahal biasanya kau akan menyulut gosip tentangku agar orang-orang membenciku. Kenapa tak kau lakukan lagi, jawab aku, Jasmine Delilah."

Maka tanpa aba-aba Jasmine langsung membungkukkan badannya, tangisnya sudah menetes akibat rasa takut yang tidak bisa dibendungnya. Kini terdengarlah suaranya yang serak dan penuh isakan. "Aku minta maaf, aku benar-benar minta maaf atas segala perbuatan kurang ajarku padamu, aku tahu perbuatanku di masa lalu sangatlah melampaui batas. Namun, aku sangat menyesal. Aku juga memohon untuk mengampuni segala kesalahanku ini."

Sangat-tidak-asyik! Sungguh kenapa orang-orang di akademi ini jadi lebih sensitif dan takut pada Aalisha? Padahal lebih baiknya mereka bersikap semena-mena seperti biasa agar ada hal yang menantang.

"Aalisha!" teriak Anila hendak menyelesaikan permainan Aalisha. Sungguh Anila sedikit iba pada Jasmine yang hidupnya seperti di ambamg kematian padahal di hadapan Jasmine hanyalah manusia yang diibaratkan seekor kelinci. Ya, kelinci tipe predator yang seekor paus orca saja akan dibasmi.

"Jadi kau menyesal?" ucap Aalisha sambil mengabaikan Anila.

"Aku menyesal jadi mohon maafkan aku."

"Baiklah, aku memaafkanmu," balas Aalisha hendak menyelesaikan percakapan ini sebelum Anila marah besar padanya. Perlahan Aalisha melangkah hingga tepat di samping Jasmine yang masih dalam posisi membungkuk itu, kini Aalisha dekatkan wajahnya agar tepat di samping telinga Jasmine, ia ingin gadis Delilah itu yang satu-satunya mendengar perkataan Aalisha.

"Meski kumaafkan kau karena telah merundungku, tapi ada satu hal yang tak bisa kumaafkan yakni berani sekali manusia sepertimu bermimpi bersanding dengan kakakku, Aldrich."

Sukses perkataan Aalisha membuat bulu roma Jasmine berdiri, ia ketakutan hingga tubuhnya gemetar dan keringat semakin banyak mengucur.

"Pada hari itu, ketika kau menyebut nama Aldrich De Lune, harusnya kupotong lidahmu. Namun, karena aku ini baik jadi kuberi kaukesempatan kedua."

Aalisha berdiri, kemudian berucap dengan lantang "Nah sudahi penghormatanmu karena aku bukanlah bangsawan tamak yang gila hormat."

Jasmine pun perlahan berdiri kemudian menatap Aalisha dengan takut-takut. Sesaat detik hidup Jasmine seolah terhenti ketika ia sekilas melihat manik mata Aalisha berubah warna jadi emas lalu kembali hitam, kini Sang keturunan De Lune itu melambaikan tangannya pada Jasmine sebelum benar-benar meninggalkan kantin ini. "Dadah Jasmine Delilah, sampai bertemu lagi."

8. Nama Rahasia Pemilik Sapu Tangan

Ingatkah kalian dengan chapter 38? Ketika pertemuan Aalisha dan profesor Eugenius di kastil Asrama Gwenaelle dan Aalisha diberikan sapu tangan, profesor Eugenius menyebut nama yang merajut sapu tangan tersebut. Mari telusuri kembali ....

"Sebenarnya ada ekstrakulikuler merajut, lalu waktu itu, mereka ada acara mengajari murid lain yang hendak merajut maka dia ikut juga."

"Boleh aku tahu siapa yang merajutnya?"

Profesor Eugenius tersenyum simpul. "Akan kuberitahu asal kau janji menjaga sapu tangan itu, kan sayang, capek-capek dirajut malah kau buang atau kau bakar."

Sudah cukup, apakah profesornya ini mampu membaca pikiran? Sejak tadi perkataannya selalu berhasil membuat Aalisha terdiam seketika. "Akan kupikirkan setelah mendengar namanya."

"Tak masalah."

Maka perlahan profesor Eugenius membungkuk dan mendekat wajahnya ke samping telinga Aalisha lalu berbisik pelan, mengatakan nama pemilik yang merajut sapu tangan tersebut. "Kakakmu, Aldrich De Lune."

9. Keingintahuan Keturunan Utama

Pernahkah kalian bertanya-tanya dari mana Aalisha tahu akan senjata milik Keluarga Achelois padahal gadis itu berasal dari Keluarga De Lune?

Sejak kecil Aalisha punya rasa penasaran yang sangat besar, hari itu ketika masih berumur delapan tahun. Dia pergi mengunjungi sebuah kastil milik keluarga De Lune yang di sana terdapat perpustakaan penuh dengan buku-buku kuno. Maka sambil tengkurap di lantai, dia berfokus pada buku besar dengan sampul merah. "Oh wow, Keluarga Achelois punya senjata magis tipe Piano."

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

Prins Llumière

Kamis, 23 Februari 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top