Chapter 76 - End

|| Tolong berikan vote dan komentar sebanyak mungkin sebagai apresiasi chapter terakhir~

◇─◇

Akademi Eidothea, sekolah yang didirikan oleh para leluhur 8 Majestic Families serta menjadi akademi terbaik yang ada di tanah Athinelon ini. Pada hari ini hingga beberapa hari ke depan, barangkali satu bulan lamanya atau lebih, akademi Eidothea akan heboh dengan terungkapnya seorang putri dan keturunan utama Keluarga De Lune. Karena selama 11 tahun dunia mengetahui jika Keluarga De Lune hanya memiliki satu keturunan, yakni Aldrich De Lune. Namun, pada malam penghargaan, seorang gadis kecil melangkah melewati aula kemudian mengatakan dengan lantang bahwa namanya membawa Keluarga Agung, De Lune. Maka semenjak malam itu, semenjak para murid kembali ke asrama mereka tidak bisa tidur nyenyak dan terus-menerus membicarakan masalah keturunan utama tersebut.

Kebanyakan dari mereka awalnya beranggapan jika semua ini tak masuk akal, tetapi melihat keanehan sering terjadi di Keluarga Agung atau para Majestic Families jadi mereka mampu menerima semua yang terjadi semalam dengan logis dan masuk akal bahwa bisa saja seorang Kepala Keluarga menyembunyikan anak-anak mereka dengan berbagai macam alasan yang ada.

Hanya saja jika dipikir-pikir kembali, bukankah sangat rugi dengan menyembunyikan jati diri sebagai Majestic Families? Lagi pula bukanlah hal mudah melakukan semua itu terutama biasanya keturunan utama Majestic Families selalu punya bakat spesial dan terkadang kapasitas neith mereka berbeda dari yang lain jadi mudah bagi beberapa manusia tertentu untuk mendeteksi mereka.

"Namun, Keluarga De Lune berhasil melakukannya! Dia berhasil menyembunyikan anak itu selama 11 tahun lamanya bahkan Aldrich De Lune tidak sedikit pun pernah menyinggung jika ia punya saudari!" Percakapan itu berasal dari murid-murid angkatan keenam atau angkatan terakhir, mereka berada di ruang berkumpul bersama.

"Kau benar, aku pernah mendengar jika Majestic Families Adrastus pernah menyembunyikan identitas keturunan mereka, tapi malah ketahuan pas masuk sekolah dasar. Harusnya hal yang sama bisa terjadi pada anak itu, masa tak ada yang sadar jika dia Majestic Families."

"Kudengar dari angkatan bawah, katanya anak itu tidak menempuh pendidikan seperti kita, dia tak bersekolah dasar."

"Logis. Pasti dia bersekolah di rumah, memanggil guru private atau pengajar khusus adalah hal biasa bagi Majestic Families untuk keturunan mereka. Bukankah mereka dididik sepuluh kali lipat lebih keras dibandingkan manusia biasa seperti kita!"

"Apalagi dia keturunan De Lune, Majestic Families peringkat pertama, serta paling ahli dalam teknik penyegelan."

Pembicaraan mengenai Aalisha juga terdengar dari para murid yang berkumpul di salah satu taman dalam kastil akademi, kebanyakan dari mereka berasal dari angkatan tahun pertama, kedua, bahkan ketiga.

"Sial, jangan bilang dia menyegel kekuatannya jadi karena itu tak ada yang sadar akan kekuatan asli anak itu. Gila, jadi sebesar apa kekuatan aslinya dia?"

"Pantas dia berani melawan kaum bangsawan dan Majestic Families. Ya karena dia juga Majestic Families, dukungan dia besar, karena itu juga dia tidak takut yang namanya mati dan nekat di segala kondisi."

"Jangan katakan dia pahlawan misterius yang menyingkirkan Gezmez dan Devury, terus dia pula yang membunuh minotaur tingkat tinggi makanya dia selamat pas penyerang minotaur saat Chrùin Games."

"Oh Dewa, dia benar-benar pandai bersandiwara, membohongi satu akademi, sampai kita yakin jika dia cuma anak dari rakyat jelata, tapi angkuhnya kayak bangsawan. Padahal kenyataannya ...."

"Bukankah artinya dia banyak berjasa ya sejak awal, bisa jadi dia diam-diam melindungi akademi ini karena sering dia terlibat masalah aneh di sini."

"Aku jadi takut, kalau kekuatannya disembunyikan hanya karena dia bersandiwara, berarti dia bisa saja kan membunuh kita semua, jika dia mau?"

"Gawat! Gawat, gawat. Bukankah anak itu dirundung dan dibicarakan satu sekolah karena awalnya banyak yang berpikir jika dia berasal dari rakyat jelata!"

"Mati kita, dia bisa saja menghukum penggal kita semua atau setiap murid yang membicarakannya. Bukankah menyebarkan rumor tak baik akan Majestic Families punya konsekuensi yang besar? Melebihi konsekuensi menghina anggota keluarga Kerajaan!"

"Tidak!!! Aku mau hidup!"

"Kita harus meminta maaf padanya! Berharap lah dia bermurah hati untuk memaafkan kita semua."

"Bodoh, dia saja saat identitasnya masih disembunyikan, sifatnya sangat mengerikan, apalagi sudah ketahuan sebagai De Lune. Bisa-bisa kita dibinasakan sebelum meminta maaf."

Maka semenjak hari itu banyak murid yang introspeksi diri untuk tidak sembarang merundung atau membicarakan orang lain yang tidak jelas asal-usulnya karena tidak mau berakhir dengan hukuman penggal kepala atau digantung serta hukuman lainnya.

Hari ini, profesor Eugenius masih memberikan libur bagi murid-muridnya jadi mereka kebanyakan berkumpul bersama dengan teman mereka, tentu sja topik yang dibahas tidak jauh-jauh dari Aalisha sebagai keturunan De Lune. Beberapa murid ada yang nekat bertanya pada Anila, Mylo, Frisca, Gilbert, maupun Kennedy karena mereka berlima paling dekat dengan Aalisha. Sayangnya Anila dan lainnya sama sekali tidak mau menjawab rasa penasaran para murid itu, terutama Anila dan Mylo yang paling marah besar karena mereka tak suka jika sahabat mereka terus-menerus dijadikan topik pembicaraan. Murid-murid di akademi ini seolah tidak bisa hidup tanpa ghibah atau membicarakan orang lain!

Sementara para murid di akademi sedang heboh membicarakan Aalisha. Pemeran Utama yang menjadi pusat perhatian selama beberapa hari ke depan atau bahkan selama ia menginjakkan kaki di Eidothea, kini berada di salah satu kastil menara akademi, di ruangan pengajar paling menyebalkan, tetapi selalu saja terlibat banyak hal bahkan menjadi manusia kedua di Eidothea yang tahu akan Aalisha sebagai keturunan De Lune, ya benar sekali! Aalisha berada di ruangan master Arthur.

Kini guru dan murid tersebut sedang duduk di kursi putih, di hadapan mereka ada cangkir berisi teh yang baru diseduh, teko, kue bolu keju, kue cokelat, ada pula permen yang rasanya manis dan asam.

Hari ini Aalisha dipanggil atau diundang oleh master Arthur ke ruangannya dan menikmati salah satu koleksi teh milik Arthur serta ada banyak hal yang hendak dibahas dengan gadis kecil keturunan utama De Lune tersebut. Sebenarnya di luar dugaan jika Aalisha terima undangannya, padahal bisa saja anak itu memilih berdiam diri di kamar. Ya, sebenarnya ada alasan khusus dari Aalisha. Ia malas mendengar banyak pertanyaan dari murid-murid di asramanya jadi dia gunakan undangan minum teh dari Arthur untuk terbebas dari para murid menyebalkan itu.

"Kau terlihat tenang padahal satu akademi membicarakanmu atau jangan katakan jika kau malah tak tahu kalau kaumenjadi topik utama di sini?" Arthur berujar. Ia memperhatikan muridnya yang duduk seperti bangsawan yang sudah dijejali etika sejak kecil, gerak-geriknya benar-benar menunjukkan jika ia lahir dari Keturunan Agung De Lune, padahal biasanya dia akan seenaknya saja bersikap di hadapan Arthur. Mungkinkah karena dia sendiri telah membocorkan identitasnya jadi takkan ia bersandiwara lagi.

"Mustahil aku tak tahu," sahut Aalisha sambil meletakkan cangkirnya. "Bahkan ya Master. Aku tahu detail dari obrolan para murid, mereka juga ada yang berniat meminta maaf padaku karena takut aku penggal kepala mereka."

"Bagaimana caramu mengetahuinya?" Arthur berucap setelah menuangkan teh lagi ke cangkirnya sendiri.

"Hanya dengan trik kecil." Aalisha tersenyum. "Para kupu-kupu biru di akademi ini bisa jadi pemberi informasi yang bagus dan akurat."

"Sepertinya kau sudah sering mengorek informasi menggunakan para binatang dan serangga ya, Aalisha De Lune."

Maka terkekeh Aalisha, ia lalu menaruh jari telunjuk di dekat pelipis. "Karena aku selalu menggunakan otak dan kekuatan secara seimbang. Bukankah itu yang Anda ajarkan padaku, Master Arthur."

"Ya, sepertinya aku bisa memintamu mengajariku cara berkomunikasi dengan para binatang."

"Anda tak perlu belajar, terkadang berkomunikasi dengan manusia, seperti berkomunikasi dengan binatang."

"Apa kau sering menyamakan manusia dengan para binatang?"

"Tentu saja tidak, aku menyamakan manusia dengan para iblis lebih tepatnya. Bukankah binatang terkadang lebih baik dan punya adab dibandingkan manusia yang sifat mereka seperti iblis."

Kini Arthur paham jika Aalisha tak bermaksud menyembunyikan jati dirinya lagi dan memperlihatkan eksistensinya sebagai seorang De Lune yang sangat angkuh dan memandang manusia lain begitu rendah. "Baiklah, akhirnya kupahami bagaimana jalan pikiranmu."

"Tidak Master, Anda takkan bisa memahamiku bahkan seribu tahun lamanya karena sungguh Masterku, andai akademi ini terbakar, aku lebih memilih menyelamatkan para kelinci dibandingkan manusia. Apalagi menyelamatkan makhluk seperti Anda."

Baiklah bagaimana jika sampai di sini saja debatnya karena berdebat dengan Aalisha takkan ada akhirnya. Masih ada hal penting yang hendak dibahas oleh Arthur dan pasti akan memakan waktu sangat lama, jadi ia akan memulainya.

"Ada hal penting yang ingin kubahas dan kurasa ini akan menjadi pembicaraan yang sangat panjang. Namun, sebelumnya aku berharap kau menjawab dengan jujur, tanpa ada kebohongan sedikit pun, apalagi sandiwara serta permainan kata-katamu itu." Suara Arthur terdengar dingin menunjukkan jika pria itu sudah serius, maka Aalisha pun akan menanggapinya dengan serius pula, ia harus menghargai lawan bicaranya.

"Kira-kira apa yang hendak Anda bahas? Bukankah sandiwaraku selama ini sebenarnya demi melindungi---"

"Kau berpikir aku tak tahu seberapa manipulatifnya dirimu, Aalisha," potong Arthur yang membuat Aalisha jadi menatap tajam padanya.

"Oke aku terima hal itu. Karenanya aku akan bersumpah untuk menjawab atau menjelaskan segalanya dengan jujur tanpa ada kebohongan sedikit pun. Kulakukan hal ini juga sebagai hadiah untuk Anda karena mengetahui identitasku yang entah dari mana itu tanpa bertanya pada profesor Eugenius." Aalisha meminum air biasa karena dia rasa akan terjadi ledakan gunung Merapi di sini. "Jadi mulailah, apa yang hendak Anda ketahui?"

"Aku mulai dari pertanyaan mudah, ketika hari pertama kelas dilaksanakan, tepatnya kelas yang diajar oleh profesor Ambrosia. Hari itu terjadi kepanikan para binatang, hal yang ingin kupertanyakan. Benarkah ledakan orxium sebagai pemicunya atau kaulah yang membuat para binatang panik?"

"Aku yang melakukannya," sahut Aalisha tanpa ragu. "Aku menggunakan kemampuan mistisku untuk membuat para binatang itu panik."

Arthur sudah menduga hal ini, tetapi tetap saja ia terkejut dan perlu mengendalikan ekspresinya. "Kenapa kau melakukannya?"

"Karena di hari pertama, identitasku hampir dibongkar oleh nona Lilura. Sebenarnya apa yang terjadi hari itu di luar rencanaku. Aku hanya memasang segel tingkat rendah agar neith-ku tak terdeteksi oleh para murid. Hingga aku lupa akan bagian kecil lainnya dan ya ketika kelas dimulai, tak kusangka jika profesor Ambrosia memiliki Lilura. Seorang Boneka Belphoebe yang salah satu kekuatan spesialnya adalah mendeteksi neith dengan sempurna. Aku sudah terlanjur berada di situasi itu, serta Lilura sadar jika aku tengah berbohong. Dia kemudian memaksaku menggunakan orxium untuk mengendalikan neith, dia ingin mengungkapkan kebohonganku. Lalu karena satu-satunya caraku mengelak adalah menjadikan diriku cacat atau niteleum. Karenanya kugunakan kemampuan mistis untuk mengendalikan para binatang dan membuat mereka panik.

"Anda tahu bukan jika salah satu ciri seseorang mencapai batas segel adalah muntah darah dan kejang. Ini ciri yang sama dengan para niteleum yang cacat dalam mengendalikan neith. Selain itu, sejak kecil aku punya batasan jika menggunakan kemampuan mistis selalu berakhir berdarah. Maka kumanfaatkan hal itu untuk membuat identitasku sesuai dengan dokumenku jika aku ini cacat bukan karena aku sembunyikan kekuatanku. Lagi pula, aku sudah meminta bantuan pada profesor Eugenius untuk membuat kebohongan akan identitasku, salah satunya menambahkan diriku sebagai anak niteleum. Maka percayalah Lilura dan profesor Ambrosia jika aku ini cacat serta terjadilah kepanikan binatang pada hari itu."

Arthur berujar kembali, ia tak ada waktu berkomentar karena banyak yang hendak ditanyakannya. "Bagaimana dengan kejadian kedua, ketika para binatang magis mengamuk termasuk naga yang dititipkan di Eidothea?"

"Itu bukan aku, malah aku juga terkejut hal itu terjadi, apalagi naga yang dititipkan hampir membunuh para murid. Namun, aku tahu jika para binatang itu besar kemungkinan dikendalikan." Aalisha menyandarkan punggungnya. "Jadi dikarenakan aku tahu para binatang dikendalikan untuk mengacau, maka aku mencoba mencari manipulatornya. Alasan inilah yang membuatku tidak bersembunyi dari serangan para binatang. Maka takdir berpihak padaku, kutemukan manipulatornya, sosok berjubah hitam, sayangnya dia kabur."

"Kau mengejarnya?" sahut Arthur.

"Tentu, aku mengejar sosok berjubah hitam itu dan aku ketahui jika sebenarnya dia bukanlah manusia, melainkan Orly yang dimiliki seseorang di akademi ini, sayangnya pada saat itu aku belum tahu siapa pemiliknya. Hingga Orly itu membuat kesalahan fatal, dia kabur menuju koridor yang di sana ada profesor lain, mereka adalah Minna Hesperia dan profesor Ambrosia. Maka sejak detik itu aku menaruh kecurigaan pada mereka berdua, lalu aku juga sengaja mengatakan jika aku melihat sosok aneh berjubah, hal ini didukung pula oleh Easton dan Noah. Kulakukan hal ini agar membuat Hesperia atau pun profesor Ambrosia menaruh kecurigaan padaku."

"Kau menaruh kecurigaan begitu saja hanya karena Orly yang kau kejar melewati koridor itu? Bagaimana jika kecurigaanmu ternyata salah besar?"

"Tidak mungkin Master," sahut Aalisha menuangkan teh ke dalam cangkirnya. "Aku menaruh kecurigaan bukan tanpa sebab, saat itu aku merasakan jika neith Orly yang kukejar samar-samar terhubung pada Hesperia, maka itulah yang membuatku menaruh kecurigaan. Lagi pula Master, aku De Lune, aku takkan melakukan kebodohan dengan melakukan fitnah pada seseorang tanpa dalih. Apa jawabanku memuaskan?"

"Lanjutkan. Lalu bagaimana dengan Zahava? Mengapa kau mencurigainya? Kapan kau bertemu dengannya?" ucap Arthur.

Aalisha melanjutkan setelah ia minum setengah cangkir tehnya. "Kurasa para Dewa berpihak padaku sejak awal. Apa Anda ingat malam pertunjukan opera?"

"Ya, opera tragedi itu, Perelesnytsia" sahut Arthur.

"Malam itu, aku tersesat karena infrastruktur kastil akademi yang menyebalkan. Lalu aku melewati koridor sepi yang sama sekali tidak aku ketahui daerah koridor mana itu. Namun, berkat hal tersebut, saat itulah aku tak sengaja melihat salah seorang pengajar akademi yaitu Zahava yang sedang berbicara dengan orang lain, oh ataukah Orly? Maka saat itu kugunakan kemampuan mistisku, kuperintahkan para kunang-kunang yang ada di dekatku untuk mencuri dengar pembicaraan mereka serta kuketahui bahwa sosok yang berbicara dengan Zahava adalah Orly yang sama dengan yang kukejar ketika amukan binatang magis."

"Sialan, jadi kau sudah tahu siapa dalangnya?!" Arthur hendak marah, tapi ia tahan dan berniat mendengar cerita Aalisha hingga akhir. "Lalu apa yang kau lakukan setelahnya?"

Aalisha tersenyum simpul. "Aku harus mengetahui siapa dalang atau identitas dari pria yang berbicara dengan Orly tersebut. Maka untuk melakukannya, aku berakting menjadi murid yang ceroboh, jadi kudorong tiang lentera di dekatku hingga lenteranya pecah, kemudian aku terjatuh, aku seolah-olah tak sengaja menabrak tiang tersebut karena koridor di sana sangat gelap. Akibatnya Zahava sadar akan keberadaanku dan segera mengecek. Zahava menemukanku tersungkur di lantai, untuk semakin memastikan. Dia pun mengarahkan pencahayaan padaku, bertanya namaku juga, tentu saja kujawab dengan sangat lengkap.

"Apa Anda tahu mengapa kulakukan semua itu padahal aku bisa saja berbohong? Aku lakukan agar Zahava menandaiku, mewaspadaiku, serta menganggapku sebagai ancaman, pasalnya dia takut jika aku mendengar semua pembicaraannya. Maka kutebak, semenjak hari itu, Zahava dan Hesperia mulai mewaspadaiku yang bisa saja membongkar semua rencana busuk mereka."

Perlahan Aalisha menyilang kakinya yang terasa pegal. Arthur terlihat berpikir, kemudian kembali berujar, "aku mengerti mengapa kau mencurigai Zahava. Bagaimana dengan Hesperia, alasan lain apa yang membuatmu menaruh kecurigaan besar padanya?"

Detik itu bisa Arthur lihat senyuman Aalisha yang bukan menunjukkan senyum malaikat baik hati. Namun, senyuman malaikat yang dijatuhkan dari surga kemudian siap membawa kematian ke tanah surga.

"Tinnezs yang menyeretku berkilo-kilo jauhnya karena perbuatan Finnicus, Orly milik Eloise Clemence. Anda tahu kabar itu 'kan?" Entah mengapa Aalisha jadi kesal, dia berkeinginan membunuh Finnicus.

"Ya aku tahu." Arthur merasa semakin tak nyaman dengan Aalisha. Biasanya gadis itu mati-matian menutupi energi neith-nya, tetapi kini dia tak melakukannya dan terang-terangan menunjukkan betapa ia lahir dari darah Majestic Families.

"Setelah kejadian itu, aku dilarikan ke rumah sakit, seharusnya beristirahat di sana, tapi aku memilih untuk pergi ke asrama saja. Ketika perjalanan menuju asrama tercinta, di pertigaan salah satu koridor, aku melihat Orly kuno berdiri di sana, sungguh gila. Siapa yang hendak menaruh Orly mengerikan di akademi ini, apalagi kutahu jika Orly itu adalah tingkat tinggi.

"Maka ketika aku berbelok, aku mendapati profesor Ambrosia tanpa membawa Lilura, dia sedang bersama dengan Hesperia. Terjadilah obrolan kecil antara aku dan profesor Ambrosia, serta Hesperia. Aku bahkan diundang ke pesta minum teh oleh profesor Ambrosia. Sedikit juga ada obrolanku dengan Hesperia. Hingga akhirnya mereka berdua pamit pergi.

"Seperti yang kubilang sebelumnya Master, jika awalnya Hesperia mencurigaiku, lalu ada kemungkinan jika Zahava pasti melaporkan masalah dirinya dipergoki oleh aku si murid cacat kaum rakyat jelata. Maka demi kelancaran misi, Hesperia semakin menaruh kewaspadaan padaku. Bisa jadi adanya Orly gila yang kutemui adalah bagian dari rencana Hesperia untuk menutupi dirinya sebagai Phantomius serta dalang yang sebenarnya.

"Jadi Hesperia sengaja menaruh Orly tingkat tinggi itu agar bisa dilihat olehku, kemudian dia jadikan profesor Ambrosia sebagai kambing hitamnya dengan cara mengendalikan profesor Ambrosia sehingga aku menaruh kecurigaan pada profesor Ambrosia bukan Hesperia. Ini sejalan dengan hari itu, ketika mereka pergi, Hesperia mengendalikan profesor Ambrosia yang sudah dibuat kontrak dengan Orly tersebut. Maka profesor Ambrosia memperlihatkan gerak-gerik memerintahkan sang Orly agar aku bisa melihatnya dengan kedua mataku sendiri dan aku berpikir jika yang jahat di sini adalah profesor Ambrosia."

"Maka kau menaruh kecurigaan pada Ambrosia?" ucap Arthur, "seperti yang Hesperia rencanakan?"

Aalisha tersenyum. "Maaf Master, tapi tebakan Anda salah. Tentu saja, aku tidak menaruh kecurigaan pada profesor Ambrosia. Sedikit pun, tidak."

"Apa?" Arthur terkejut bukan main, ia merasakan hal buruk. "Apa maksudmu?!"

"Aku De Lune," tekan Aalisha. "Hesperia mengendalikan profesor Ambrosia agar aku tak mencurigai Hesperia sebagai dalangnya. Namun, sayang sekali Master, Hesperia telah membuat kesalahan yang sangat fatal dengan menjadikanku sebagai musuh mereka. Dia telah membuat kesalahan karena tidak mengetahui siapa lawannya."

"Aalisha, jangan bilang ...." Sial, Arthur tidak siap mendengar perkataan selanjutnya dari gadis itu.

"Benar Masterku. Aku adalah De Lune, keluarga dengan Kemampuan Mistis yang dapat mengendalikan banyak makhluk hidup. Aku dilahirkan untuk mengendalikan bukan dikendalikan. Maka semenjak pertemuan keduaku dengan Minna Hesperia dan juga profesor Ambrosia. Aku ketahui jika Hesperia telah mengendalikan profesor Ambrosia serta menjadikannya sebagai bonekanya. Aku tahu kebenaran itu karena anugerahku sebagai keturunan De Lune."

Arthur terdiam, seolah suara di sekitarnya redup tergantikan oleh suara Aalisha. Barusan apa yang gadis itu katakan? Sejak awal, Aalisha tahu jika Hesperia mengendalikan Ambrosia? Dia tahu jika Hesperia adalah penjahat dan pengkhianat akademi ini? Namun, Aalisha hanya diam saja! Dia menyembunyikan segala kebenarannya!

Maka suara gebrakan meja terdengar sangat keras bersamaan suara Arthur yang meninggi dan menggelegar ke seluruh ruangan. "AALISHA GALAD DE LUNE!"

Sementara itu, Aalisha malah tersenyum lebar, ia sangat bahagia bisa melihat ekspresi Arthur pada saat ini. Kapan lagi dia bisa melihat sosok pria yang masuk daftar hitamnya serta ia benci dan selalu menang dari debatnya kini akhirnya pria itu menunjukkan amarah karena ia telah kalah? Namun, Aalisha kesal pula karena meskipun dipenuhi amarah, Arthur tetap tampan rupawan. "Kenapa Master, apakah Anda marah padaku? Sungguh ini bukanlah kesalahanku. Jadi tenanglah."

"Bukan kesalahanmu kaubilang? Kau mengetahui Ambrosia dikendalikan Hesperia, tapi kau diam saja! Apakah kau tak tahu jika hal itulah yang membahayakan hidup Ambrosia dan akademi ini! Jika kau tak mau membicarakan hal ini karena menutupi identitasmu setidaknya beritahukan diam-diam pada profesor Eugenius yang tahu akan dirimu! Maka beliau akan lekas bertindak dan takkan banyak korban jiwa!"

"Untuk apa?" sahut Aalisha, "apa untungnya aku melakukan semua itu?"

"Aalisha---"

"Master Arthur, apa untungnya bagiku yang seorang Majestic Families ini turun tangan menyelesaikan masalah sepele?" sahut Aalisha begitu angkuh. Sungguh, perkataan Aalisha ini, malah membuat amarah Arthur mereda karena tergantikan dengan pemikiran jika yang sedang berbicara di hadapan Arthur kini bukanlah manusia. Ya, tentu saja bukan manusia, melainkan monster yang tak punya empati dan simpati.

"Aku tak pernah berniat untuk membongkar Hesperia, lagi pula jika kulakukan maka aku tak tahu kira-kira apa alasannya melakukan semua itu hingga mengendalikan profesor Ambrosia. Lagi pula, sejak awal aku malas terlibat dengan semua ini. Semua masalah sepele ini." Aalisha berujar, ia sedikit menguap karena kantuk di siang hari. "Maukah Anda duduk dan tenang agar bisa kuceritakan hingga akhir, sungguh aku lelah sudah."

Arthur pun duduk meski ia masih memberikan tatapan tajam pada muridnya itu. "Lanjutkan ceritamu hingga akhir, biar aku bisa menilai apakah kau pantas disebut manusia atau bukan."

Aalisha malah terkekeh. "Manusia? Masterku, aku bukan Manusia, aku keturunan utama De Lune dan seorang De Lune dianggap Dewa. Oh maaf, maaf aku bercanda, tolong jangan dianggap serius, nanti para Dewa beneran marah padaku."

"Apa yang kau lakukan setelah tahu jika Hesperia mengendalikan Ambrosia?" Arthur tak menggubris candaan Aalisha.

"Pertama-tama Anda harus tahu dulu bahwa aku sebenarnya tak tertarik untuk terlibat, aku ingin hidup normal layaknya murid biasa, aku juga berpikir jika pihak sekolah akan mengatasi semua ini apalagi ada Majestic Families yang lain. Hanya saja aku memerlukan yang namanya antisipasi, jadi setelah kuketahui jika Hesperia mengendalikan profesor Ambrosia, maka aku memanggil Orly-ku yaitu Oberon untuk menyelidiki mengenai latar belakang Hesperia.

"Sayangnya membutuhkan waktu untuk melakukan semua itu jadi selama proses penyelidikan. Akhirnya aku memutuskan untuk berakting sesuai permainan mereka, aku berpura-pura menaruh curiga pada profesor Ambrosia, padahal nyatanya kecurigaanku berlabuh pada Zahava dan Hesperia. Lalu aku pun sengaja memperlihatkan bahwa aku masih mencurigai mereka berdua agar mereka berdua selalu mewaspadaiku."

"Kenapa kau ingin mereka berdua mewaspadaimu? Bukankah kau tak ingin terlibat masalah sepele?" sahut Arthur meraih cangkirnya karena ia sangat haus, meskipun begitu tetap tidak bisa meredakan amarahnya.

"Benar sekali, aku yakin jika masalah ini akan diselesaikan oleh Majestic Families atau pihak akademi, entah cepat atau lambat atau ada yang mati dulu," sahut Aalisha, "Namun, aku ingin melihat juga, sejauh mana kedua Phantomius itu menganggapku sebagai ancaman yang bisa menghancurkan semua rencana mereka. Padahal seharusnya aku ini dianggap manusia tak penting terlebih identitasku saat itu dikenal sebagai rakyat jelata dan gadis cacat yang angkuh. Sayangnya, karena kehati-hatian mereka, maka mereka tetap menganggapku sebagai ancaman alih-alih tiga Majestic Families yang sebenarnya bisa juga menghancurkan mereka. Atas inilah aku terus berakting curiga pada tiga orang itu; Zahava, Hesperia, dan juga profesor Ambrosia.

"Oh ya Master, perlu kuberitahu rahasia pada Anda kalau setiap mengendalikan Ambrosia, nona Lilura selalu tidak ada karena jika ada Lilura maka Hesperia sulit mengendalikan Ambrosia. Apa informasi ini penting?"

"Kau sangat bajingan Aalisha," balas Arthur.

"Jawaban Anda tidak jelas, tapi terima kasih." Perlahan Aalisha berdiri, ia merasa pegal jadi kembali bercerita sambil berjalan ke sana-kemari. "Anda tak mau berdiri juga, capek loh duduk terus."

"Tidak."

Sialan, Aalisha jadi kesal karena kini Arthur sedang sangat serius padahal harusnya dia santai saja apalagi sekarang Aalisha dengan senang hati, tulus, dan ikhlas bercerita panjang lebar padanya padahal Aalisha enggan jadi pendongeng.

"Dikarenakan aku menjadi ancaman, Hesperia maupun Zahava melakukan beberapa cara untuk menyingkirkanku, meski tidak begitu berbahaya, salah satunya, haduh, aku lupa." Aalisha menggaruk kepalanya. "Oh, pernah ada pertengkaran antara Orly di akademi Drystan. Anda ingat? Kurasa saat itu Zahava dan Hesperia menjalankan rencana mereka untuk mencari di mana Zephyr disembunyikan. Inilah alasan kenapa kedua Orly yang bertengkar tidak menyakiti satu sama lain, tetapi membuat kekacauan di sekitar asrama dan membuat para murid terlibat agar fokus orang-orang adalah pada kegaduhan di Asrama tersebut. Sejujurnya, aku memuji kecerdasan Zahava yang menggunakan kesempatan menggunakan Orly karena umumnya para Orly di Eidothea memang suka bertengkar."

"Wah, wah, hebat sekali kau karena tahu hal itu," sahut Arthur, tapi tidak bermaksud memuji.

"Kurasa jadi introver yang suka mengamati keadaan sekitar lebih baik dibandingkan menjadi manusia yang pembual dan pencicilan, lalu bukankah sudah kukatakan sebelumnya kalau para kupu-kupu pandai mencari informasi? Mereka mengatakan padaku kalau terkadang Orly penghuni akademi ini suka bertengkar."

Aalisha memang suka berakting bodo amat dengan keadaan sekitar padahal kenyataannya dia suka mengamati setiap lingkungannya terutama penghuninya.

"Mari kulanjutkan, karena kebetulan aku ada di dekat asrama Drystan, kemudian terseret arus pertengkarannya. Maka Zahava menggunakan kesempatan tersebut untuk membunuhku atau minimal membawaku ke rumah sakit, jadi salah satu Orly yang dikendalikan. Sengaja mengarahkan serangannya padaku, sayangnya sejak awal aku tahu jika ada hal aneh dari pertengkaran para Orly itu jadi ya aku sama sekali tak takut."

"Akhirnya," sambung Arthur, "kau sengaja membiarkan dirimu terkena serangan karena jika kau menghindar serta sadar akan serangan Orly itu. Maka ditakutkan, Zahava sadar kalau kaubukan anak biasa."

"Hampir tepat, karena jawaban lebih tepatnya lagi adalah karena aku tahu jika Nicaise Von Havardur akan menyelamatkanku." Sesaat manik mata ungu yang sangat cantik terlintas dipikiran Aalisha, ya mau disembunyikan juga, ia memang suka manik mata lelaki itu.

"Ternyata alasan sesimpel itu. Kau sangat gila," balas Arthur, "berbicara mengenai tiga Majestic Families. Apa sebenarnya kau tahu jika mereka adalah para Majestic Families, tapi kau pura-pura tak tahu?"

"Soal itu aku murni tak tahu. Sejak kecil aku diajarkan untuk fokus pada diriku, belajar politik, strategi perang, serta ratusan kelas privat lainnya. Ya, tentu saja aku mempelajari para Majestic Families; sejarah, kemampuan mereka, militer mereka, tapi sayangnya aku sengaja tidak diberitahu siapa keturunan utama. Entahlah, aneh juga pihak keluargaku. Namun, aku enggan juga mencari tahu tentang para keturunan utama itu." Aalisha menguap kembali.

"Kenapa?" Arthur menatap pada Aalisha yang duduk di kursinya kembali.

"Kurasa karena aku ini hanya boneka para Dewa yang suatu hari akan dibuang ke tempat rongsokan, toh takkan ada yang mengenangku juga."

"Aalisha."

"Bercanda, bercanda. Lagian jikalau aku boneka harusnya ada tali di tanganku untuk mengendalikanku 'kan, seperti marionette."

Arthur diam, ia tahu jika setiap kalimat yang terucap dari Aalisha bukan sekadar kalimat omong kosong tak bermakna karena gadis itu De Lune pasti ada makna konotatif dalam kalimatnya, hanya saja Arthur bingung hendak menafsirkannya bagaimana.

"Berhenti berbicara keluar dari topik." Hanya inilah yang Arthur katakan karena cerita dari topik utama lebih penting dibanding permainan kata milik Aalisha.

"Tidak asyik, aku harus cerita apalagi, banyak yang terjadi di semester ini, jadi bingung ...."

"Lugaldaba," sahut Arthur, "bagaimana dengannya, kau tahu jika dia adalah Phantomius juga?"

"Ah, benar juga, mari bicarakan tentang dia. Jawabannya adalah ya, aku tak tahu, oh atau aku tahu ya."

"Aalisha, seriuslah dengan jawabanmu," balas Arthur jadi kesal.

"Bentar kuingat dulu, kapan ya Lugaldaba berkunjung, hmm, oh ya! Aku ingat! Baiklah aku akan serius bercerita. Omong-omong, apa aku dapat tambahan nilai setelah ini?"

"Jawablah dengan serius!"

"Sialan, karena tak ada tambahan nilai, besok-besok aku akan serius di kelas. Bakal kurebut peringkat sepuluh teratas, bagaimana?" tawar Aalisha.

"Aalisha De Lune."

"Oke akan kujawab." Terkekeh Aalisha karena berhasil membuat Arthur kesal lagi. "Jawabannya aku tak tahu mengenai Lugaldaba, tetapi aku punya firasat buruk akan pria itu. Terlebih aku tak sengaja bertemu Lilura yang mengatakan padaku, "bisakah kamu menggantikanku minum teh bersama Ambrosia" seingatku dia bilang gitu. Kurasa Lilura mulai sadar jika profesor Ambrosia jadi aneh, tetapi aku sengaja tidak memberitahukan kebenarannya bahwa profesor Ambrosia dikendalikan."

"Apa mungkin alasanmu menolak permintaan nona Lilura karena tahu jika Ambrosia bukanlah penjahatnya?"

"Aku memang malas, Master Arthur," sahut Aalisha, "lagian meski aku bangsawan dan diajarkan etiket, aku dilarang pergi ke pesta salon demi menyembunyikan diriku! Menyedihkan ya, tapi aku sebenarnya pernah hadir di pesta salon palsu yang diadakan Aldrich untuk menghiburku."

"Aldrich memang baik, dia anak teladan dan murah hati di akademi ini," ucap Arthur.

"Anda benar, harusnya kuhancurkan Eidothea hingga menjadi puing-puing karena memberi izin padanya untuk ikut ekspedisi militer dari Kekaisaran," balas Aalisha lalu tersenyum tipis. "Aku bercanda lagi."

Meskipun Aalisha berkata demikian, Arthur paham sekali bahwa terlintas sekilas amarah dan dendam pada diri gadis kecil ini yang bisa saja tidak segan untuk mengayunkan pedang magisnya dan meratakan Eidothea. Arthur rasa, ia takkan menyinggung masalah Aldrich lagi karena luka besar jika membawa nama itu di hadapan Aalisha. "Lalu rencana apa yang kauambil untuk menghadapi Lugaldaba?"

"Menyulut apinya. Kurasa ada hubungan antara Lugaldaba dengan Ambrosia, inilah yang dikatakan para kupu-kupu serta serangga lain karena mereka melihat Lugaldaba langsung pergi menemui Ambrosia, meski aku tak tahu apa yang dibicarakan keduanya karena jika para kupu-kupu mencoba mencari tahu, mereka bisa saja ketahuan jika diperintah olehku apalagi Lugaldaba tidak bisa diremehkan. Akhirnya kudapatkan asumsi bahwa Lugaldaba kemungkinan penjahat, jadi pada hari kunjungan itu, aku sengaja mengatur rencana agar bertemu dengan Lugaldaba dan profesor Ambrosia, kemudian kuberikan gelang merah yang sudah kudoakan dari kuil untuk profesor Ambrosia tepat di hadapan Lugaldaba."

"Kau beri mantra pada gelang itu?" tanya Arthur.

"Tidak, itu hanya gelang merah biasa. Aku melakukan semua itu untuk menunjukkan eksistensiku secara langsung pada Lugaldaba yang kemungkinan Zahava sudah memberitahu jika aku adalah ancaman yang bisa mengungkapkan rencana busuk mereka, lalu puncaknya adalah setelah aku dihukum profesor Rosemary. Aku bertemu dengan Lugaldaba dan Zahava, sejujurnya itu semua adalah ketidaksengajaan. Malam itu, aku sangat lelah dan hanya ingin kembali ke asrama, tapi malah terjebak di situasi yang membuatku harus bersembunyi dari Orly penjaga hingga akhirnya memergoki mereka dan mendengar percakapan Lugaldaba dan Zahava."

"Tentang apa?"

"Lugaldaba akan menikah dengan profesor Ambrosia, dia juga berkata bahwa misi dari Tuan Agung berjalan cukup lancar, jadi aku yakin jika dia adalah Phantomius. Hanya itu yang kudengar hingga kesialan menimpaku karena tiba-tiba Orly penjaga bodoh memergokiku, ada kemungkinan jika Zahava atau Lugaldaba tahu akan keberadaanku yang sempat curi-curi dengar akan pembicaraan mereka."

Sekali lagi Arthur tak habis pikir karena Aalisha tahu benar jika ada tiga Phantomius berkeliaran di akademi Eidothea, tetapi dia sama sekali tak mau melaporkan masalah ini bahkan pada profesor Eugenius. Mengapa? Mustahil andai alasannya dia takut tak dipercayai karena tak ada bukti yang benar-benar valid. Padahal jika Aalisha yang diketahui profesor Eugenius sebagai keturunan De Lune, mengatakan semua itu tanpa bukti sekali pun, perkataannya bisa jadi pertimbangan yang valid. Sehingga masalah ini akan selesai lebih cepat tanpa banyaknya korban terutama desa-desa yang dibantai. Jadi sudah sangat dipastikan bahwa alasan Aalisha tak mau melaporkan masalah ini adalah dia enggan ikut campur pada masalah yang dianggapnya sepele.

Ya, Majestic Families selalu begitu, enggan turun tangan pada masalah yang dipikir bisa diselesaikan pihak lain. Maka tak heran jika mendengar kalimat bahwa seorang Majestic Families akan turun tangan jika dunia mau kiamat sana.

"Baiklah sekarang jelas jika kau sudah tahu jika mereka bertiga adalah Phantomius. Dari semua ceritamu, kau sepertinya tidak berniat ikut campur bahkan jika masalah ini hampir membunuh Ambrosia dan mencelakakan banyak nyawa. Namun, pada akhirnya kau malah turun tangan langsung juga, kau bahkan pergi ke desa Shakaleta. Apa alasan yang membuat Keturunan Keluarga Agung, De Lune sepertimu memutuskan turun tangan?"

"Karena para Phantomius itu mengusikku lebih jauh lagi dan melewati batasan," sahut Aalisha.

"Apa maksudmu?" balas Arthur.

"Awalnya mereka hanya berniat mengawasiku, tanpa bermaksud benar-benar membunuhku, tapi karena aku semakin dianggap ancaman terutama setelah Lugaldaba bertemu denganku. Maka mereka bermaksud benar-benar membunuhku dengan berbagai cara yang sudah melewati batas."

"Jadi kau tahu apa saja yang mereka lakukan untuk membunuhmu?" imbuh Arthur

"Ya, tentu saja." Maka Aalisha mengangkat tangannya sambil memperlihatkan jari telunjuknya bermaksud memperlihatkan angka satu. "Percobaan pembunuhan yang pertama terjadi ketika praktikum sihir dan mantra yang Anda laksakanakan."

"Apa, jadi ada percobaan pembunuhan padamu hari itu?"

"Ya, mereka menjebakku dengan bola kristal, lalu serangkaian serangan terjadi, aku melawan. Kemudian Anila dan lainnya datang, lalu menolongku, maka percobaan pembunuhan itu gagal. Dikarenakan gagal, maka diatur rencana untuk mengkambing hitamkan seseorang dan yang terpilih adalah Killian Cornelius."

Atas inilah ketika terjadi serangan yang hendak membunuh Aalisha, Killian muncul setelah serangkaian serangan itu. Sebenarnya bukanlah Killian yang melakukannya, dia hanya kebetulan ada di sana karena dituntun dan dijadikan kambing hitam terlebih lagi bukan rahasia jika Killian memang ada niat membunuh Aalisha meski niat itu takkan berani ia lakukan, Killian takkan berani membunuh manusia.

"Anila dan lainnya marah besar pada Killian, lagian kebodohan Killian yang seolah-olah dialah yang melakukan serangkaian serangan itu padahal nyatanya bukan. Dikarenakan aku tahu jika bukan Killian lah pelakunya, maka kuhentikan Anila yang hendak membunuh Killian, lalu aku berbisik pada keturunan Cornelius itu." Aalisha berujar.

"Apa yang kau bisikkan?"

Maka Aalisha mengatakan ulang apa yang dia bisikkan pada Killian hari itu. "Kubilang padanya, "Killian bodoh, kau pikir aku tak tahu bahwa kau bukanlah pelakunya." Maka detik itu, dia terdiam membisu. Setelahnya aku pergi dan mengampuninya dan segala percobaan pembunuhan padamu. Aku juga memaksa Anila dan lainnya tidak melapor karena aku tak mau masalah ini terdengar hingga ke para pengajar akademi, dan hari itu usai. Begitulah yang kumau, tetapi sayangnya, semua yang terjadi di hari itu masih berlanjut."

Arthur berucap, "maka dilakukan serangan yang kedua?"

"Ya, percobaan pembunuhan yang kedua terjadi tidak lama dari itu, tepatnya pada hari ketika diadakan pertandingan Oulixeus. Sama seperti serangan sebelumnya, demi tak langsung mengotori tangan mereka, maka Hesperia mengendalikan murid di Eidothea untuk membunuhku."

"Siapa? Mungkinkah gadis itu."

"Tebakan Anda benar," sahut Aalisha, "percobaan pembunuhan yang kedua dilakukan Hesperia dengan cara mengendalikan Jasmine Delilah."

Aalisha tahu benar jika setelah pergi dari kantin ketika pertandingan Oulixeus antara asrama Arevalous melawan Sylvester sedang berlangsung, ada sosok misterius sedang mengikutinya hingga ke rumah kaca saat Aalisha menaruh Ingger Morium. Detik itu, ketika Jasmine menampakkan dirinya, Aalisha sudah sadar jika ada hal aneh pada keturunan Delilah tersebut yang ternyata dia berada di bawah pengaruh sesuatu terlebih lagi teknik serangan Jasmine terasa sangat kuat dan melebihi kemampuan gadis itu.

"Namun, berdasarkan penyelidikan, Jasmine menggunakan ramuan yang membuatnya jadi tak bisa mengontrol dirinya sehingga dia tak bisa mengendalikan hasrat membunuhnya dan menjadikanmu target karena kau telah membuatnya dipanggil kedua orang tuanya ke akademi."

"Itu hanya kedok saja," balas Aalisha, "bukankah hasil penyelidikan tersebut Anda simpulkan bahwa seseorang menyuntikkan ramuan itu jadi bukan Jasmine yang melakukannya sendirian?"

"Dari mana kautahu? Aku hanya mengatakan hal ini pada nona Andromeda."

"Abaikan dari mana aku tahu, tapi kenyataannya ramuan yang disuntikkan ke tubuh Jasmine hanyalah kedok untuk menutupi bahwa sebenarnya Jasmine dikendalikan dengan Zephyr. Hesperia mengatur rencana ini, dia pula yang mencuri ramuan tersebut, menculik Jasmine, dia suntikan ramuan itu, hanya saja dalam dosis yang rendah. Bahkan dia sengaja melakukan semua ini agar ketika diselidiki maka asumsinya jatuh pada Jasmine hilang kontrol karena ramuan tersebut padahal---"

"Padahal kenyataannya karena Jasmine Delilah dikendalikan menggunakan Zephyr," potong Arthur.

"Tepat sekali! Lihat! Kita semua ditipu oleh para Phantomius itu! Terutama Anda, Masterku," balas Aalisha penuh semangat sementara Arthur diam membisu.

"Serangan kedua dilakukan Jasmine Delilah karena dikendalikan Hesperia, lalu bagaimana dengan serangan lainnya?"

"Anda sialan, padahal ceritaku belum selesai loh, jadi kuselesaikan dulu." Aalisha menghela napas sesaat. "Setelah Jasmine menusukku dengan pisau yang diberi racun, aku pingsan, kemudian profesor Ambrosia menampakkan dirinya di hadapanku, Anda tahu alasannya?"

"Karena Hesperia ingin menunjukkan padamu bahwa pelaku yang sebenarnya adalah Ambrosia, dia ingin kau hanya curiga padanya, tetapi tidak berhasil karena kau tahu bahwa Ambrosia dikendalikan juga," sahut Arthur.

"Benar sekali! Oh Anda sangat cerdas!" Aalisha melebih-lebihkan seolah Arthur baru saja memenangkan pelelangan yang bernilai triliunan. "Perlukah diberikan tepuk tangan yang meriah?" Maka lekas Aalisha menjentikkan jarinya, muncul dua pasang sarung tangan putih yang kemudian bertepuk tangan maka terdengarlah tepuk tangan yang memenuhi seisi ruangan tersebut.

"Sebentar," ucap Aalisha lagi, "Harusnya aku yang diberikan tepuk tangan, bukankah aku tokoh utamanya? Lagi pula, aku hidup untuk pujian dan tepuk tangan. Benar bukan?" Maka dua pasang sarung tangan tersebut menghadap Aalisha dan memberikan tepuk tangan yang meriah padanya.

"Cukup," balas Arthur menggunakan sihir dan menghilangkan dua pasang sarung tangan tersebut.

"Anda tidak asyik," sahut Aalisha.

"Tolong lanjutkan," sambung Arthur.

Sesaat Aalisha memberikan wajah masam dengan bibir manyun, kemudian ia serius kembali. "Pada percobaan ketiga, aku mulai marah, karena kali ini mereka tak berniat membunuhku, tetapi memfitnahku. Selain itu, mereka mengambil apa yang menjadi salah satu favoritku di akademi ini, Kuil Dewa. Mereka membakar Kuil Dewa yang paling sering kukunjungi serta membunuh Elijah, kemudian membuatku terfitnah bahwa aku adalah pelakunya. Hanya saja rencana mereka gagal total karena Tamerlaine menyelamatkanku."

"Maka sejak kau difitnah, kau pun marah?"

"Aku marah bukan karena mereka membuatku difitnah satu akademi, tapi karena mereka membakar kuil Dewa. Apa Anda tahu Master, ketika aku melihat api membakar kuil tersebut maka aku bermaksud membawa neraka ke atas dunia ini. Sayangnya saat itu aku belum benar-benar memutuskan turun tangan dan hendak melihat sejauh mana mereka berusaha menghancurkanku."

"Lalu serangan keempat terjadi?" sahut Arthur.

"Chrùin Games dan penyerangan pasukan Minotaur," balas Aalisha, "semua penyerangan itu juga dilakukan untuk mendapatkan Zephyr karena mereka sudah tahu lokasi Zephyr disembunyikan. Selain itu, mereka juga berniat membunuhku, atas itulah mereka mengirim minotaur tingkat tinggi padaku yang masih berada di arena Chrùin Games, aku tahu juga jika Zahava sengaja mematikan kamera pengawas di lokasiku agar tak satu pun bantuan datang."

"Jadi kaulah yang membunuh Minotaur itu, bukan Tamerlaine seperti rumornya?"

"Aku yang membunuhnya karena hanya aku yang tersisa di sana maka aku bisa menggunakan kekuatanku sedikit lebih bebas. Maka setelah kubunuh minotaur itu yang bernama Canbal. Tak lama kemudian, Tamerlaine datang. Aku tak bersandiwara di hadapannya karena Tamerlaine mengetahui bahwa aku adalah keturunan De Lune. Maka kubuatlah rencana bersamanya, dia bersandiwara jika dialah yang membunuh Minotaur tingkat tinggi, bukan aku dan semua berjalan sesuai rencanaku, identitasku masih tersembunyi. Lalu semenjak percobaan pembunuhan terakhir itu, maka aku berniat turun tangan langsung dan membunuh Zahava, Hesperia, serta Lugaldaba."

Kini sudah jelas alasan mengapa Aalisha yang notabenenya sebagai Majestic Family, De Lune akhirnya turun tangan. "Lalu apa yang kau lakukan untuk menjalankan rencanamu itu?"

"Ah sebelum itu, apakah Anda ingat jika aku mengirim Orly-ku yang bernama Oberon untuk menyelidiki tentang Hesperia?"

"Ya."

"Oberon melaporkan padaku bahwa Hesperia telah membunuh satu keluarganya, tanpa ada masyarakat yang tahu. Lalu dia mengendalikan keluarganya seolah-olah bangsawan Hesperia baik-baik saja, betapa mengerikannya ya wanita itu? Bagaimana bisa Eidothea menjadikannya pengajar di sini?"

"Kaulah yang mengerikan Aalisha, kau tahu akan semua kebenaran ini, tapi diam saja dan membuat banyak nyawa dalam bahaya!" Suara Arthur meninggi lagi.

"Padahal aku sudah jadi pahlawan, tapi Anda malah mengatakan hal itu padaku."

"Aku tak mau mendengar kesombonganmu itu." Arthur merasa degup jantungnya berdetak tak karuan, ia takut dan khawatir dengan jawaban Aalisha. Ia takut jika gadis ini menggunakan rencana yang sangat gila bahkan mengancam nyawa orang lain hanya demi mencapai tujuannya. Bukankah Aalisha adalah Majestic Families yang segala cara bahkan cara kotor pun akan dilakukan demi mencapai tujuannya? "Jadi katakan padaku, rencana apa, kegilaan apa yang kau lakukan untuk mencapai tujuanmu membunuh ketiga Phantomius itu, Aalisha De Lune?"

Ekspresi Aalisha seperti manusia tanpa dosa dan juga tanpa perasaan, begitu pula suaranya yang tak terdengar gemetar atau merasa bersalah sedikit pun. "Rencana yang pertama kulakukan adalah memerintahkan Oberon untuk menculik Anila Keara Andromeda sehingga menjadikannya bidak caturku."

Hening terdengar memenuhi ruangan tersebut, tak satu pun di antara keduanya saling menyahut. Hanya suara sepoi angin yang melewati jendela terbuka di ruangan tersebut. Arthur masih membisu, ia tatap gadis kecil di hadapannya ini yang berucap tanpa beban sedikit pun. Percuma jika hendak mengoreksi perkataan Aalisha, barangkali Aalisha salah sebut, barangkali gadis ini akan bercanda lagi, tetapi ditunggu pun dia tak bermaksud mengoreksi kalimatnya karena sungguh Aalisha tak berbohong sama sekali. Demi Dewa di Athinelon ini bahwa semua yang terucap dari mulutnya adalah kebenaran.

Aalisha menculik Anila! Aalisha menculik sosok sahabat yang sangat peduli padanya demi kelancaran rencana gilanya.

"Kau tak berbohong?" Arthur bertanya untuk memastikan.

"Untuk apa aku melakukannya? Demi para Dewa, aku bersumpah jika aku tak berbohong. Aku benar menculik Anila untuk mencapai tujuanku."

"Bagaimana bisa kau---kenapa kau melakukannya?" Suara Arthur semakin dingin, begitu pula ruangan ini yang hawanya juga dingin. Sudah Aalisha tebak jika masternya ini pasti marah besar, tetapi berusaha ia tahan, hebat juga Arthur padahal Aalisha pikir akan terjadi pertarungan kecil antara guru dan murid.

"Kulakukan segala cara untuk mencapai segalanya bahkan dengan memanfaatkan orang-orang di sekitarku," balas Aalisha.

"Kenapa harus dia? Aalisha De Lune! Kenapa bisa kautega memanfaatkan temanmu sendiri?"

"Mengapa dia? Karena Anila cerdas, dia bidak yang bagus untuk kumanfaatkan. Dia bisa bergerak dengan pikiran yang jernih meski dihadapkan pada situasi berbahaya, itulah yang kuperlukan."

Arthur memijat dahinya karena terasa pusing. "Jadi kau gunakan dia untuk mencari tahu rencana Zahava?"

"Sebenarnya aku sudah punya tebakan apa yang diincar Zahava dan Hesperia, ya tebakan itu adalah Zephyr. Apalagi aku mendengar kabar jika ada sebuah pasukan ekspedisi yang gagal karena pasukan mereka dibantai menggunakan salah satu Kepingan Zephyr. Bukankah Anda juga tahu, Master."

"Ya, aku tahu," balas Arthur. Ia memang tahu jika satu keping Zephyr telah di tangan Phantome Vendettasius, tetapi kabar ini disembunyikan. Sebenarnya juga kabar ini dia ketahui sejak lima bulan lalu, tepatnya ketika salah satu kenalan Arthur menemuinya, malam setelah mengantarkan Aalisha ke penginapan di kota Twesserniont.

"Intinya aku hanya menebak-nebak saja apa yang diincar mereka, maka untuk semakin menyakinkan tebakanku ini. Aku susun sebuah rencana yang takkan disadari siapa pun bahwa aku pelakunya. Maka kuperintahkan Oberon menyamar menjadi salah satu Orly milik Zahava yang berambut merah. Ketika hari penculikan itu, aku berada di kamar, Mylo dan lainnya di kantin rumah pohon lalu Anila pergi ke perpustakaan bersama Frisca, kemudian kuperintahkan segera agar Oberon yang menyamar sebagai Orly milik Zahava untuk menculik Anila.

"Awalnya kuminta agar Anila tak terluka, tapi karena dia melawan, maka tak ada pilihan selain menggunakan cara sedikit kasar. Setelah berhasil menculik Anila. Frisca yang sengaja dibiarkan lolos berlari ke kantin rumah pohon dan aku sudah berada di sana."

Arthur menyahut, "untuk bersandiwara seolah-olah kau panik, khawatir, dan marah. Padahal nyatanya kaulah pelaku yang sebenarnya."

"Ya, aku bahkan berpura-pura menangis, padahal Anda harus tahu jika seorang Aalisha De Lune takkan menangis meski ada ribuan nyawa mati di depan matanya, tetapi kulakukan tangis palsu itu demi kelancaran rencanaku."

"Aku hendak bertanya."

"Silakan."

Arthur memperhatikan gelagat Aalisha karena sungguh gadis kecil itu tidak menunjukkan sedikit pun penyesalan. "Apa kau memanfaatkan Anila hanya agar meyakinkan tebakanmu benar akan Zephyr yang diincar para Phantomius atau ada alasan lain?"

"Ada alasan lain. Aku tak mau terlibat sendirian," balas Aalisha, "jika segalanya sendirian kulakukan, maka itu takkan natural, banyak yang akan mencurigaiku dan besar kemungkinan identitasku akan terbongkar. Terlebih lagi, Mylo dan Anila tak mau melepaskanku, mereka seperti perangko yang selalu menempel. Jadi kubuat semua senatural mungkin agar Anila dan Mylo terlibat dengan rencanaku serta aku bisa bergerak dengan bebas tanpa ada hambatan dari keduanya, karena kuyakin jika mereka berdua akan mengikutiku. Bayangkan saja Master, kalau aku terlibat sendiri, terus Mylo dan Anila tak mau, mereka hanya akan mengusikku jadi kubuat saja mereka sekalian terlibat di dalamnya."

"Bahkan Cressida juga, kau benar-benar membawa nyawa manusia tak bersalah menuju kematian," sahut Arthur.

Aalisha abaikan perkataan Arthur itu dan kembali menceritakan apa yang terjadi pada Anila. "Setelah Oberon berhasil menculik Anila. Oberon membawanya ke ruangan yang akan dilewati oleh Zahava dan Hesperia. Kuminta dia juga mengikat kedua tangan Anila agar semua itu terlihat seperti penculikan asli, kuyakin hal ini mampu mengelabui Anila. Alasan ini pula yang membuat kedua tangan Anila hanya diikat tali, alih-alih menggunakan sihir karena aku sengaja agar Anila bisa melepaskan diri dengan mudah. Maka rencana dimulai, ketika Anila menyadari ada tiga sosok berjubah yang melewati koridor, ia pun pasti berpikir jika ketiga sosok itu adalah penculiknya. Anila mengikuti mereka hingga ke ruangan misterius kemudian mendengar percakapan mereka. Mengenai Zephyr dan pembantaian desa-desa, serta desa Shakaleta yang menjadi target pembantaian terakhir."

"Apa semuanya berjalan sesuai dengan kehendakmu?"

"Sayangnya tidak," sahut Aalisha, "nyatanya Anila ketahuan oleh mereka, semua itu di luar rencanaku, tetapi beruntungnya Anila berhasil kabur dan para Phantomius itu tak berniat mengincar Anila pada hari itu. Kuyakin karena mereka cerdas jadi memikirkan berbagai macam kemungkinan, salah satunya mereka pasti tahu jika Anila adalah putri tunggal Count Andromeda. Selain itu, ketiga Phantomius juga pasti berpikir jika Anila takkan melaporkan penculikannya begitu saja tanpa adanya bukti.

"Akhirnya pada malam penculikan Anila, sekitar jam sepuluh. Memulai rencanaku lagi, maka aku dan Mylo pergi ke luar asrama untuk mencari Anila setelah meyakinkan ke Gilbert, Frisca, dan Kennedy untuk tutup mulut dari pada semakin membahayakan Anila. Rencana ini agar memperlihatkan peranku senatural mungkin, seorang teman yang khawatir pada temannya yang diculik, bukankah aktingku hebat? Lalu kami berhasil menemukan Anila salah satu koridor, sayangnya aku tak memprediksi jika akan kepergok profesor Madeleine, dan kami pun diberi pengurangan poin. Namun, aku bersyukur profesor Madeleine tidak bertanya lebih jauh lagi mengenai alasan kami berkeliaran di malam hari."

Arthur diam, mencerna baik-baik setiap frasa, kata, dan kalimat yang disampaikan Aalisha itu. Semua benar-benar gila karena gadis itu menyusun rencananya begitu rapi, jika pun ada hal tak terduga dan di luar rencananya, tetapi gadis itu masih bisa menyelesaikannya. "Kau mengkambinghitamkan ketiga Phantomius sebagai dalang penculikan Anila. Benar-benar gila."

"Sejak awal, tidak ada rencana dari mereka untuk menculik Anila karena mereka sejatinya tidak mau mengusik putri seorang Count. Andai Anila sadar poin ini, kemungkinan dia akan tahu jika Zahava dan Hesperia bukan penculiknya." Aalisha tersenyum tipis, betapa ia bangga pada dirinya karena secerdas ini.

"Aku baru teringat sesuatu," ujar Arthur, "adakah seseorang di Eidothea, selain Lilura yang hampir menyadari siapa dirimu?"

"Kurasa hanya Lilura ...." Aalisha teringat sesuatu jadi dia mengoreksi perkataannya sendiri. "Oh, ada satu orang lagi, dia profesor yang mengajar di angkatan atas."

"Siapa?" Arthur terkejut.

"Aku lupa, dia cukup tua, tapi tidak setua profesor Madeleine. Kalau tidak salah dia mengajar di bidang mata pelajaran ramalan, rambutnya jingga atau cokelat---"

"Profesor Magdalena Godiva, sudah pasti dia," sambung Arthur karena hanya wanita itu yang memegang kelas ramalan dan memiliki rambut jingga.

"Ya, kemungkinan dia."

"Bagaimana bisa dia hampir mengetahui kau adalah keturunan De Lune?"

"Aku tak sengaja bertemu dengannya, kemudian menabraknya sehingga cairan hitam aneh menempel di tanganku. Jadi dia lekas menarik tanganku dan mengetahui keanehan."

Arthur berucap, "apa yang dia ketahui? Dia meramalmu?"

"Meskipun dia tak termasyhur seperti Majestic Family Drazhan Veles, tapi dia pasti merasakan kejanggalan antara seseorang yang bisa diramal dan tidak. Maka dia merasakan kejanggalan karena sesungguhnya dia bukan melihat ramalan buruk padaku, tetapi dia tak bisa meramalku. Ya, seperti yang Anda tahu Master bahwa aku adalah keturunan De Lune yang terkadang tak bisa diramal. Maka profesor itu hendak memastikan apakah dia salah atau tidak, apakah benar aku tak bisa diramal. Dan aku sadar akan hal itu, jadi sebelum identitasku terbongkar, lekas aku harus menutupinya terlebih Anila ada di dekatku pada saat itu. Dia tak boleh tahu."

"Apa yang kau lakukan?"

"Kupegang tangan profesor itu, kemudian kuhipnotis karena aku tidak pernah mengendalikan manusia jadi kugunakan cara dasar yang diajarkan Keluarga De Lune yaitu hipnotis. Profesor Godiva sebenarnya hendak berkata bahwa aku aneh karena tak bisa diramal, maka kugunakan kemampuanku sehingga kubuat perkataan sebenarnya yang hendak terucap dari mulut wanita itu menjadi kebohongan bahwa aku sedang diincar malaikat kematian. Setelahnya aku lekas membawa pergi Anila dari sana, kemudian pada malam harinya kuperintahkan Oberon untuk menghapus ingatan profesor Godiva jika pernah bertemu denganku. Maka sekali lagi aku berhasil mencegah identitasku terbongkar."

"Benar-benar gila, kau melakukannya segala cara untuk menutupi identitasmu," ucap Arthur, pantas saja beberapa kali ada laporan mengenai Orly misterius yang terkadang tertangkap radar di menara pengawas Eidothea, ternyata Orly itu adalah milik Aalisha.

"Aku masih dibilang normal, karena jika pihak keluargaku yang turun tangan, mereka takkan segan memenggal kepala targetnya hingga seluruh keturunannya." Aalisha berucap tanpa ada rasa kebanggaan sekali pun karena memang begitulah cara Majestic Families turun tangan.

"Baiklah, mari kembali ke cerita utama. Lalu bagaimana setelah Anila berhasil bertemu kalian?"

"Malamnya Anila menceritakan semua yang ia dengar padaku dan juga Mylo, maka kami memutuskan untuk tidak melibatkan Frisca dan lainnya serta mencari informasi lebih lanjut mengenai Zephyr."

Arthur berujar cepat. "Kenapa kau memutuskan untuk tidak melibatkan nona Frisca dan lainnya?"

"Jawaban simpel, mereka beban, lemah, dan tidak berguna jadi aku tak mau mereka terlibat, maka kulakukan segala cara bahkan berpura-pura menjadi teman yang penuh kekhawatiran demi memastikan mereka tak terlibat rencanaku. Lagi pula, sejak awal, aku berniat membuang Mylo dan Anila serta tak peduli jika mereka berdua mati."

"Aalisha De Lune!!" teriak Arthur. Namun, tidak sedikit pun, gadis kecil itu mengubah ekspresinya.

"Rencanaku berlanjut. Aku, Anila, dan Mylo mulai dengan mencari di perpustakaan biasa, tetapi tidak ditemukan hingga ada yang memberitahuku bahwa ada satu perpustakaan tua di akademi ini yang berada di sanalah banyak buku kuno dengan informasi yang kami inginkan, tetapi sayangnya perpustakaan itu dijaga oleh Orly dan izin harus didapatkan jika hendak berkunjung ke sana, izin tersebut ternyata dipegang oleh Profesor Zahava.

"Dikarenakan inilah kami berniat menyelinap secara diam-diam, kemudian aku punya rencana untuk menggunakan ramuan khusus untuk membuat Orly penjaga di sana pingsan. Maka Anila meracik ramuan tersebut."

"Aku menginterupsi," sahut Arthur, "meskipun menggunakan ramuan khusus yang kalian buat, tetapi perpustakaan tersebut dipasang segel, jadi tetap sulit untuk dipaksa masuk terutama oleh anak-anak tahun pertama seperti kalian."

"Benar sekali, tetapi perkataan Anda itu hanya berlaku pada Anila dan Mylo, tidak padaku. Jadi setengah jam sebelum Anila menyelesaikan ramuannya, aku pergi ke perpustakaan itu sendirian. Kemudian kubuat Orly penjaganya tunduk dengan kemampuanku, kemudian kubuka segelnya. Jujur, melakukan itu memakan banyak energi. Lalu setelah itu aku hipnotis Orly tersebut, jadi jika dia mencium bau aneh dari ramuan yang Anila buat, maka dia akan pingsan selama beberapa jam. Kulakukan sebagai antisipasi, takut ramuannya gagal. Maka ketika malamnya, rencana menyusup ke perpustakaan tersebut dilakukan, semuanya berjalan sangat lancar. Berada di dalam kami pun mendapat informasi yang lengkap akan Zephyr, sejak malam itu, kami membuat rencana selanjutnya untuk pergi ke desa Shakaleta. Hanya saja setelah kami mendapatkan informasi akan Zephyr, kejadian tak terduga dan di luar dari kendaliku terjadi lagi. Profesor Ambrosia hampir membunuh tiga murid Eidothea."

Hening sesaat terdengar, Aalisha menunggu Arthur mengatakan sesuatu, tetapi tak ada karenanya Aalisha langsung berujar kembali. "Sejak awal aku tahu jika profesor Ambrosia tidak pernah melakukan semua itu, aku juga tahu sudah dipastikan kalau ini adalah rencana Hesperia dan Zahava untuk mengelabuiku, Anila, dan Mylo. Mereka hendak membuat persepsi pada kami bahwa Ambrosia adalah penjahat juga. Sayangnya, kami bertiga tidak terpengaruh karena Anila dan Mylo sudah tahu bahwa Zephyr adalah dalang dibalik semua ini termasuk mengendalikan Ambrosia. Jadi kami bertiga tetap pada keteguhan kamu untuk mendapatkan Zephyr, mencegah desa Shakaleta dibantai habis, dan membuktikan jika profesor Ambrosia tidak bersalah."

Perlahan Aalisha menggeser kursinya, lalu berdiri lagi, ia mondar-mandir karena merasa lelah untuk terus duduk. Akhirnya Arthur berucap, "jika kau berencana untuk pergi ke desa Shakaleta tanpa melibatkan yang lain, lalu bagaimana tiga Majestic Families bisa ikut campur? Apa keterlibatan mereka bertiga di luar dari rencanamu?"

Tak disangka-sangka Aalisha malah tertawa sangat lebar, tawanya memenuhi ruangan tersebut membuat Arthur sadar jika perkataannya telah salah. Benar-benar salah besar! "Tidak! Keterlibatan ketiga Majestic Families adalah bagian dari rencanaku!"

"Bagaimana bisa?" Sialan, Arthur benar-benar tak bisa menebak apa yang dilakukan Aalisha dengan semua cara kotornya demi memainkan sandiwara paling hebat di dunia ini.

"Aku sudah memikirkan kemungkinan jika tiga Majestic Families itu akan tahu masalah Zephyr dan pada akhirnya akan ke desa itu juga, entah cepat atau lambat. Namun, karena tak punya banyak waktu, jadi aku mempercepat para Majestic Families mengetahui akan Zephyr. Lagi pula, aku tahu jika hanya aku, Anila, dan Mylo yang terlibat maka kami akan kewalahan."

"Rencana apa yang kaugunakan?" sahut Arthur.

"Menggunakan manusia rendahan yang akan menemui kematiannya segera." Aalisha tersenyum simpul. "Aku perlu seseorang yang akan ditangkap para Majestic Families kemudian dia akan membocorkan mengenai rencana para Phantomius, Zephyr, dan desa Shakaleta ketika diinterogasi oleh ketiga Majestic Families.

"Jadi sehari sebelum rencana ini kujalankan, aku meminta salah satu bawahanku untuk mencari tahanan di salah satu penjara di bawah naungan Kerajaan Kheochiniel, tahanan yang akan dihukum mati pada hari rencanaku dijalankan, maka kubeli tahanan tersebut atas nama Keluarga De Lune, siapa ya namanya? Oh aku ingat, namanya Vevede Gorman! Kemudian Vevede dihipnotis. Membuatnya seolah-olah menjadi seorang Phantomius, lalu kutanamkan ingatan mengenai rencana organisasi Phantome Vendettasius yang mengincar Zephyr dan membantai banyak desa untuk mendapatkan tumbal serta desa terakhir yang diincar adalah Shakaleta. Lalu kubawa Vevede ke Eidothea, kuberi dia misi untuk membunuh seorang target karena dengan ini semuanya terlihat sangat natural."

"Siapa yang target yang dibunuh olehnya?" Arthur berujar.

"Hanya ilusi," sahut Aalisha sedikit bangga. "Kubuat Vevede seolah-olah berhasil membunuh targetnya, padahal itu hanya kebohongan karena ingatannya sudah kacau balau habis kuotak-atik, jadi setelah dia menjalankan rencananya, maka dia kabur yang pada malam itu Majestic Families sedang berkeliaran. Mama berhasilah Vevede ditangkap mereka kemudian diinterogasi. Vevede menjawab jika ia ke Eidothea untuk membunuh seseorang, tapi ia tahu siapa namanya. Maka Nicaise Von Havardur segera mengirim Orly-nya untuk mengecek target atau korban yang dibunuh Vevede, sayangnya ...."

"Korban tersebut tidak pernah ditemukan karena korban itu hanyalah ilusi dan kebohongan yang kau kendalikan." Arthur langsung menyahut.

"Benar sekali! Wow, hebat bukan?" Sayangnya Arthur tidak menanggapi Aalisha jadi gadis kecil itu melanjutkan ceritanya. "Dasar tidak asyik. Baiklah kulanjutkan lagi, jadi setelah tertangkapnya Vevede, segera interogasi dilakukan Eloise dan lainnya, mereka bertiga pun tahu akan Zephyr serta lain-lainnya. Anda tahu, jika Eloise dan lainnya menggunakan sihir pendeteksi kebohongan pada Vevede, tetapi Vevede tidak berbohong sama sekali karena di dalam ingatannya adalah ingatan yang kutanamkan jadi ketika membocorkan Zephyr dia tidak terdeteksi kebohongan.

"Selain itu, kususun rencana pula pada malam itu, sebelum Vevede tertangkap Majestic Families yakni aku sengaja keluar asrama hendak ke perpustakaan begitu juga Anila dan Mylo, lalu kami melihat Majestic Families kemudian mengikuti mereka hingga ke istal kuda, serta menguping pembicaraan mereka. Aku menyusun rencana ini untuk membuat seolah-olah aku, Anila, dan Mylo tahu akan Zephyr dari ketiga Majestic Families sehingga menurunkan kecurigaan mereka bahwa sebenarnya kami sudah tahu mengenai Zephyr jauh sebelum mereka. Rencanaku pula membuat kami bertiga kepergok para Majestic Families. Ya mudahnya seperti cerita dalam novel, tokoh utama tidak mau kalah dengan para tokoh lainnya untuk menjadi pahlawan. Sayangnya di sini, aku tak berniat bermain jadi pahlawan."

Hening terdengar kembali, Aalisha sengaja tak melanjutkan perkataannya agar Arthur menanyakan sesuatu, tetapi tidak ada, entah apa yang ada di pikiran Arthur setelah mendengar semua cerita Aalisha. "Masih hendak kulanjutkan atau sampai sini saja?"

"Bukankah kuminta kau menceritakannya hingga akhir agar aku tahu harus menilaimu sebagai manusia atau iblis!" sahut Arthur.

"Kami pun berencana tetap mendapatkan Zephyr meski tiga Majestic Families berkata agar kami tak terlibat. Maka rencanaku, Anila, dan Mylo berjalan. Mula-mula kami mencuri kuda milik akademi ini bertepatan ketika Anda, profesor Eugenius, dan pengajar lainnya pergi ke luar Eidothea. Akses tercepat ke desa Shakaleta adalah menggunakan gerbang teleportasi, tetapi karena aku tahu kami akan dikejar para Majestic Families maka kubuat gerbang teleportasi lain yang lebih dekat dengan bantuan salah satu Orly-ku. Jadi kumanipulasi peta yang digunakan Anila, sehingga terdapat dua gerbang teleportasi padahal kenyataannya hanya ada satu saja yang asli. Kami ke sana, bertemu dengan Orly penjaga gerbang yang di mana dia adalah bawahanku, maka kami pun dibawa cepat ke desa Shakaleta."

"Gila, kau gila, Aalisha De Lune, bahkan sampai memalsukan gerbang teleportasi!" ucap Arthur.

"Akhirnya berada di sana, kami menemui tuan Alfonso yang menceritakan Zephyr serta dia memohon agar kami menyelamatkan keponakannya yaitu Hozier. Sayangnya, ternyata tiga Majestic Families tetap mampu menyusul kami dengan cepat, ya kuakui mereka adalah lawan yang sepadan denganku karena kami sama-sama Keturunan Keluarga Agung.

"Lalu pada malamnya, telah diputuskan oleh kami berenam, jika para Majestic Families akan mengalahkan bangsa iblis dan mengambil alih Zephyr sedangkan aku, Anila, dan Mylo yang harus menemukan Hozier. Maka aku pun setuju meskipun Anila dan Mylo sedikit tak setuju."

"Apa alasanmu setuju?" sahut Arthur, "bukankah kau adalah Majestic Families, mustahil kau mau terima keputusan itu saja dan menyelamatkan Hozier yang hanya anak biasa ... atau kah ada alasan khusus yang membuatmu terima menyelamatkannya dan melindungi desa Shakaleta?!"

Perlahan Aalisha tersenyum simpul.

"Aalisha De Lune, kau sialan, mungkinkah kau?!" Maka Arthur pun berdiri dari kursinya.

"Langsung saja kukatakan segalanya. Orly-ku, Oberon. Selain kuminta dja menyelidiki Hesperia, aku juga menyelidiki banyak hal. Termasuk kuselidiki mengenai profesor Ambrosia yang menjadi investor di panti asuhan desa Shakaleta, aku juga tahu jika Lugaldaba menjadi investor di desa tersebut karena punya tujuan untuk mendapatkan Zephyr.

"Ah, tidak, tidak, bukan sebatas Zephyr, tapi sesuatu yang melebihi Zephyr itu sendiri karena yang diincar oleh organisasi Phantome Vendettasius adalah Hozier---seorang anak spesial karena dia Armorum Clavis Copia yang menyimpan Sanctus Graviel di dalam dirinya. Bukankah anak itu sangat berharga. Maka sudah menjadi alasan kecil untuk Manusia Termasyhur sepertiku, turun tangan."

"Aalisha De Lune jadi kau melindungi desa Shakaleta dan menyelamatkan anak itu karena kau tahu jika dia menyimpan Sanctus Graviel!!" Maka suara Arthur meninggi, kini dia berada di hadapan Aalisha. Keduanya sama-sama berdiri, saling melayangkan tatapan sinis.

"Memang begitulah tujuanku! Sejak awal aku tahu akan Sanctus Graviel, inilah alasan kenapa aku setuju untuk menyelamatkan Hozier ketimbang mendapatkan Zephyr. Memangnya Anda ingin aku bagaimana? Menolong orang lain dengan alasan kemanusiaan. Tidak Master! Aku adalah Keturunan De Lune, aku diajarkan untuk takkan turun tangan hanya untuk masalah sepele dan remeh-temeh, aku tak mau mengotori tanganku demi manusia yang posisinya lebih rendah dariku!

"Anda mau tahu kebenarannya lagi, hari ketika Hozier diculik oleh Boro, Orly-ku yang lain berada di sana sudah. Kemudian memantaunya, membiarkan Hozier berjuang di Hutan Kimari sendiri. Mau tahu kenapa? Karena aku harus mendapatkan Sanctus Graviel, aku harus membuat Hozier percaya padaku agar dia dengan mudahnya menyerahkan Cawan itu. Maka kubuat dia takut kemudian aku hadir sebagai sosok pahlawan yang menyelamatkan hidupnya! Sungguh Masterku, andai bukan karena Sanctus Gavriel maka aku tak peduli pada nyawa anak itu apalagi desa Shakaleta yang akan hancur lebur."

"Aalisha De Lune, kau benar-benar bukan manusia!"

"Memang benar! Karena aku adalah De Lune. Maka engkau ketahui kebenarannya Master, bahwa aku tidak bermain sebagai boneka dalam rencana Zahava dan Hesperia, tetapi merekalah yang bermain di atas panggungku! Tidak hanya mereka, tetapi juga tiga Majestic Families, dan juga seluruh Eidothea, bahkan Anda! Semuanya bermain dalam sandiwara yang kubuat."

Kini Aalisha menatap manik mata Arthur yang dipenuhi amarah tersebut, ia juga tahu jika tangan Arthur gemetar seolah pria itu siap untuk menamparnya. "Kenapa? Apa Anda hendak menamparku? Maka lakukanlah segera, aku takkan melawan karena aku sudah terbiasa ditampar oleh Kepala Keluarga De Lune yang marah jika aku gagal menjalankan ujian yang diberikannya. Jadi Master, tamparlah aku jika itu yang Anda inginkan!"

Bukannya menampar Aalisha, Arthur malah berbalik kemudian duduk di kursinya kembali, hal ini membuat Aalisha jadi jengkel. Ia kemudian mendekati Arthur. "Kenapa Anda tak melakukannya, bukankah Anda sangat marah padaku?! Bukankah Anda membentuk dan menganggapku sebagai iblis! Kenapa tak Anda lakukan, apakah Anda kasihan padaku?! Bukankah sudah kukatakan, jika aku tak mau dikasihani oleh manusia!"

"Bukan karena itu." Arthur berujar, "aku tak melakukannya karena percuma saja, kau takkan mengubah tabiatmu lagian aku harus menyayangi tanganku ini dengan cara tidak menyakitinya hanya untuk menamparmu." Sungguh hebat karena Arthur mudah mengontrol dirinya.

"Aku benar-benar membencimu. Aku sangat benci kau." Nada perkataan Aalisha berubah, bahkan ia sengaja tidak menggunakan kata 'Anda' untuk memanggil Arthur. Kini Aalisha pun duduk kembali di kursinya.

"Jadi sudah usai 'kan? Sudah kuceritakan segalanya, selebihnya setelah pertarungan di Hutan Kimari, Shakaleta dan Hozier selamat. Aku kembali bersama yang lainnya, tanpa kurang seorang pun!" Aalisha menekan kalian di akhir, kemudian berujar lagi. "Begitu juga profesor Ambrosia dan nona Lilura yang berhasil kuselamatkan, kemudian kuminta pada profesor Eugenius untuk mengatakan tentang diriku sebagai De Lune di malam acara penghargaan."

"Kenapa pada akhirnya kau membocorkan identitasmu itu?"

"Karena sudah diketahui oleh Anda, Anila, dan Mylo, jadi biar kuumukan sekalian saja ke seluruh penghuni Eidothea bahwa aku adalah De Lune. Lagi pula aku ingin lihat bagaimana ekspresi ketakutan dari manusia-manusia rendahan yang sebelumnya menindasku."

Arthur berujar, "kau tak takut jika luar akademi mengetahui identitasmu juga?"

"Semua itu akan diatur profesor Eugenius dan pihak keluarga De Lune." Aalisha berujar sombong sambil menyilang kedua kakinya.

Maka Arthur mengangguk sekali. "Setelah mendengar cerita dan kejujuranmu, aku berpikir jika kaumemang tak pantas disebut sebagai manusia baik hati atau malaikat atau pahlawan."

"Aku setuju karena aku bukanlah pahlawan, aku lebih cocok dianggap malaikat kematian dari De Lune. Benar bukan?"

"Kau tahu Aalisha." Sengaja Arthur abaikan perkataan Aalisha tadi karena hari hampir menunjukkan pukul tiga sore. "Semua perbuatan yang telah kaulakukan bisa membuatmu mendapatkan hukuman yang berat dan kau sudah dipastikan keluar dari Eidothea ini. Sayangnya takkan terjadi karena aku tak punya bukti untuk melaporkanmu, jadi kau bebas."

Aalisha malah tersenyum. "Aku bisa saja dikeluarkan dari sini, tapi itu takkan berguna. Kau tahu Master, meskipun aku membunuh separuh murid di Eidothea ini, aku takkan dihukum pihak Kekaisaran, tahu alasannya apa? Karena aku adalah keturunan utama dan yang terakhir dari Majestic Family De Lune, nyawaku setara dengan nyawa 100.000 makhluk hidup di muka Athinelon ini. Jadi ancaman dam hukuman apa pun tidak berlaku untukku."

"Memang benar itu kenyataannya, tetapi kau lupa bahwa kau akan kehilangan hal yang paling berharga dalam hidupmu," sahut Arthur.

"Apa?"

"Keluarga, teman, kepercayaan, cinta, dan kasih sayang."

Mendengar perkataan itu, sesaat Aalisha terdiam membisu karena tak pernah menebak jika kalimat itulah yang akan diucapkan Arthur. Ya, perkataan itu ibarat ribuan pisau yang menusuk dada Aalisha, tepat menembus dadanya dan meninggalkan luka yang sangat dalam. Namun, semua rasa sakit itu dengan mudahnya dibuang oleh Aalisha.

"Hebat juga jawaban Anda Masterku, pasti Anda tahu jika aku tak memiliki semua itu. Namun, apakah Anda berpikir jika aku peduli? Tidak, sama sekali aku tak membutuhkan semua itu."

Entah mengapa, Arthur melihat sedikit kesedihan di wajah gadis kecil itu meski dengan cepat diusir olehnya. "Apa alasannya?"

"Karena Aalisha De Lune, memang tidak memerlukannya."

Hening menyeruak, matahari di luar sana semakin tenggelam karena sore hari mulai menampakkan dirinya. "Sebelum pembicaraan hari ini usai, kurasa aku akan membahas mengenai taruhan kita bahwa akulah yang memenangkan taruhannya Master. Anda tak berhasil membuatku berubah pikiran dan aku tetap menganggap mereka bukanlah temanku karena aku tak peduli akan mereka bahkan aku membuat hidup mereka di ambang kematian."

"Kau benar." Arthur menghela napas sesaat. "Kau menenangkan taruhannya, aku gagal mengubah sudut pandangmu akan pertemanan, tapi apakah kau lupa jika ada dua taruhan yang kita lakukan?"

Aalisha tak menyahut, dia benar-benar lupa kalau ada dua taruhan. Maka berujarlah Arthur kembali. "Taruhan pertama, benar kau menang karena kau tidak mengubah persepsimu. Namun, taruhan kedua kumenangkan karena kau lihat dengan matamu sendiri jika Anila, Mylo, Frisca, Gilbert, dan Kennedy tulus berteman denganmu dan juga mereka tak membuangmu. Jadi kita seimbang."

"Apa yang Anda mau?" sahut Aalisha.

"Apakah kau lupa juga, kubilang jika aku atau kau menang, aku tetap akan memberimu hadiah. Jadi kaulah yang harusnya meminta padaku? Adakah yang kau inginkan?"

Sekali lagi, hening menyeruak. Aalisha diam sejenak, seolah-olah berpikir keras, setelahnya dia pun berujar, "aku takkan memintanya sekarang. Jadi kapan-kapan saja, boleh?"

"Baiklah tak masalah," balas Arthur.

"Baguslah."

"Jadi pembicaraan kita usai. Kau boleh pergi Aalisha," ucap Arthur.

"Aku akan pergi. Namun, sebelum itu." Maka Aalisha pun berdiri sambil mengeluarkan semacam benda berbentuk persegi panjang, berwarna hitam, kemudian ditaruhnya di atas meja. "Kuserahkan benda ini pada Anda, Master."

"Apa ini?" Arthur bingung.

"Perekam suara," balas Aalisha, tersenyum tipis. "Anda bilang awalnya jika tak punya bukti untuk melaporkanku bukan? Maka inilah buktinya. Aku merekam semua pembicaraan kita dari awal hingga akhir. Jadi bisa Anda gunakan bukti ini untuk melaporkan pada profesor Eugenius dan mengeluarkanku dari Eidothea, jika pun tidak bisa, maka gunakanlah untuk membongkar setiap kejahatanku ke seluruh penghuni akademi ini terutama Anila dan Mylo. Semuanya kini ada di tangan Anda."

Perlahan Aalisha menjauhkan tangannya dari meja tersebut, melangkah mundur, kemudian membungkukkan tubuhnya sedikit sebagai tanda penghormatan. "Pembicaraan kita usai di sini, aku pamit undur diri, salam Master Arthur." Maka Aalisha melenggang pergi dari ruangan tersebut dengan langkah yang tak limbung, begitu kokoh, tanpa rasa takut dan bersalah.

Arthur menopangnya dagu, lalu menatap alat perekam di atas mejanya. Kemudian mendongak kembali dan suaranya terdengar. "Anda mendengar semua ceritanya, Profesor Eugenius."

Dari sisi lain ruangan yang tertutupi tirai, profesor Eugenius yang dibalut pakaian begitu panjang dan cukup mewah berwarna biru gradasi hitam, serta mengenakan kacamata bulat. Dia perlahan-lahan muncul, menyudahi sihirnya sehingga tak terdeteksi oleh siapa pun terkecuali Arthur yang sejak awal memang tahu jika pria tua itu ada di ruangan ini juga. Kini profesor Eugenius melangkah hingga ke dekat Arthur. Ya, sejak awal percakapan antara Arthur dan Aalisha. Profesor Eugenius mendengar segalanya, tetapi hebat sekali dia sehingga Aalisha tidak menyadarinya sedikit pun.

Ekspresi pria tua itu terlihat begitu kentara bahwa dia memang mendengar semua cerita Aalisha, tanpa terlewati satu kalimat pun. Meskipun begitu, dia tetaplah tenang, bagaikan air yang tak terusik, padahal Arthur menunjukkan ekspresi begitu lelah.

"Ya Arthur, aku mendengar segalanya. Sungguh, aku terkejut karena anak itu ternyata menjadi dalang yang sebenarnya." Maka berhentilah profesor Eugenius di hadapan Arthur dengan senyuman tipisnya.

"Lihat! Anda pasti berpikiran yang sama denganku! Anak itu benar-benar ...." Suara Arthur menjadi pelan, tiga detik dia berpikir. "Aku tahu dia lahir dari garis keturunan Majestic Families, tapi aku tak pernah menyangka jika dia akan terlibat sejauh ini."

Kembali hening Arthur, betapa ia sangat dipenuhi beban, dahinya bahkan mengkerut saking ia sakit kepala memikirkan semua ini. Atas inilah, profesor Eugenius berujar dengan tenang, ya bagaimana bisa pria tua ini tenang setelah mendengar semua cerita Aalisha?

"Apa kini kau marah padanya?" ujar profesor Eugenius.

"Marah, Anda berkata? Aku balik bertanya, apakah Anda tidak marah mendengar segalanya. Sejak awal anak itu tahu jika Hesperia mengendalikan Ambrosia, dia tahu jika ada Phantomius berkeliaran di akademi ini! Namun, dia diam seolah-olah semua yang dia lihat hanyalah pertunjukan boneka dan dia penontonnya?" Arthur persis menatap profesor Eugenius. Kemudian berujarlah Arthur kembali. "Mungkin bisa kuterima kegilaan dia sehingga membiarkan Ambrosia dalam bahaya, tapi ... dia memanfaatkan temannya yang sangat peduli padanya. Membahayakan kedua temannya yang bisa saja tidak perlu terlibat. Namun, anak itu malah melibatkan mereka demi kelancaran rencananya! Andai sejak awal anak itu mengatakan segalanya mengenai Zephyr dan Ambrosia lebih awal, maka bisa saja desa-desa itu tidak dibantai dan takkan banyak korban."

Profesor Eugenius mengangguk pelan, setuju akan pernyataan Arthur, tetapi ia tak begitu saja berpihak pada Arthur atau menyudutkan Aalisha. "Seberapa kau yakin jika anak itu jujur akan Zephyr maka desa-desa itu akan selamat?"

Arthur diam, tak ia jawab pertanyaan profesor Eugenius, maka pria tua itu kembali berujar, "apa kau begitu menaruh harapan bahwa anak itu benar-benar mengendalikan takdir? Bagaimana jika pada akhirnya desa-desa itu akan tetap binasa?"

"Tidak, aku tak berpikir jika anak itu ... aku hanya berpikir, mungkin dia memang tak peduli pada desa-desa itu. Namun, orang-orang di akademi dan temannya, mengapa harus sampai memanfaatkan mereka yang tak bersalah?"

Profesor Eugenius mengangguk, lalu melangkah pelan ke depan meja, ia sesekali mengedarkan pandangannya di ruangan ini. "Menurutmu apakah anak itu punya sifat yang mirip dengan kakaknya, Aldrich De Lune?"

"Tidak Profesor, sifatnya jauh berbeda dari Aldrich," sahut Arthur.

"Aku pun setuju. Anak itu jauh berbeda dengan Aldrich; tingkah lakunya, sifatnya, bahkan caranya menggunakan empati dan simpati. Aldrich lebih manusia dibanding Aalisha. Meskipun Aldrich lahir sebagai Majestic Families, tetapi ketika menjejakkan kaki ke Eidothea, dia begitu senang, dia mudah mencari teman, anak yang periang dan ekspresif, bahkan tutur katanya lemah lembut, dia disenangi banyak orang, sifatnya yang baik, begitu tulus, dan peduli juga membuatnya menerima banyak cinta. Di sisi lain, dia punya sifat yang mengerikan ketika marah karena seseorang mengusik orang terdekatnya.

"Bukankah sangat berbanding terbalik dengan nona Aalisha, apa kau pernah melihat anak itu tersenyum tulus? Sulit sekali, tetapi bukan berarti dia tak bisa."

"Sebenarnya poin apa yang hendak Anda tekankan?" balas Arthur.

"Memang benar jika segala yang nona Aalisha lakukan bukanlah perbuatan terpuji, bahkan kau berhak mencapnya sebagai manusia tak berempati. Namun, Arthur, harus kau pahami bahwa kita tak tahu bagaimana kehidupan anak itu jauh sebelum masuk ke Eidothea. Apa alasan keluarganya menyembunyikannya? Apakah dia jauh dididik lebih kejam dibanding Aldrich? Atau alasan apa yang membuat anak itu itu sulit menjadi manusia dan berempati."

"Baiklah aku paham! Meskipun begitu bukankah dia keterlaluan, perbuatannya tak bisa dibenarkan! Lalu mengapa sedikit saja dia tak menggunakan hati, setidaknya untuk teman-temannya, bukankah mereka sangat tulus padanya?"

"Aku setuju jika perbuatannya memang tak bisa dibenarkan. Namun, Arthur, bukankah terlalu jahat untuk memaksanya berubah begitu cepat? Arthur, anak itu baru memulai kehidupannya di Eidothea. Dia baru belajar akan hal-hal yang tak dia dapatkan sebelumnya."

Kini profesor Eugenius berbalik kemudian memperhatikan Arthur yang perlahan-lahan pria itu sedikit lebih tenang. "Kau tahukan jika tugas kita sebagai pengajar Eidothea agar mendidik anak-anak itu, mengajari mereka apa yang tak bisa mereka dapatkan di lingkungan keluarga mereka. Begitu pula dengan nona Aalisha. Memang benar dia belum paham bagaimana manusia, memang dia sulit bersimpati pada manusia lain bahkan menganggap mereka tak penting, tapi berada di Eidothea, perlahan-lahan akan ada perubahan pada dirinya.

"Mungkin dia berkata jika tak peduli pada nyawa teman-temannya. Namun, kudengar dari Orly penghuni hutan bahwa ketika Mylo Cressida hampir di ambang kematian, nona Aalisha memerintahkan Oberon melemparkan lembing pada Mylo. Dengan ini, selain Mylo Cressida tak hanya selamat dari maut, tetapi dia juga mampu bertarung dengan kemampuannya sendiri bukan sekadar menunggu pertolongan. Nona Aalisha menolong seseorang dengan caranya sendiri.

"Begitu pula yang terjadi pada Anila Andromeda, bukankah nona Aalisha rela menggantikan nona Andromeda tertusuk pedang minotaur? Nona Aalisha melakukan semua itu berdasarkan kesadarannya, meskipun tak ia akui karena sedari kecil dia dididik untuk tak sering menggunakan perasaan layaknya keturunan Majestic Families lain. Meskipun begitu Arthur, kita tahu bahwa dia masih bisa memiliki perasaan karena begitulah yang manusia yang diciptakan para Dewa. Atas inilah, kita sebagai pengajar Eidothea, harus pelan-pelan mengajarinya, jika kita tak bisa, maka orang-orang di sekitarnya yang akan mengajarinya ...."

Sore hari semakin tampak. Di daerah lain kastil akademi, Aalisha mulai menyusuri koridor setelah keluar dari ruangan profesor Eugenius. Diabaikannya setiap tatapan orang-orang yang kemungkinan masih membicarakannya. Sebenarnya yang Aalisha inginkan hanyalah segera ke asramanya kemudian melepaskan segala penatnya sebelum hari esok tiba. Namun, langkahnya menjadi pelan ketika tepat di hadapannya, ia mendapati seorang perempuan yang tengah berdebat dengan lelaki, kemudian disusul ejekan dari lelaki lain keturunan Baron lalu ocehan perempuan lain yang di sampingnya ada putra keturunan Marquess, ia paling tenang padahal orang-orang di dekatnya sedang mengoceh panjang.

"Aalisha!" Terlihat Anila melambaikan tangannya dengan begitu semangat dan senyuman terukir indah di wajahnya. "Benar 'kan kalau dia dipanggil master Arthur."

"Iya, iya," balas Mylo yang awalnya berpikir Aalisha berada di kuil, jadi mereka berlima pergi mengecek kuil tersebut, ternyata Aalisha tidak ada di sana. "Lain kali aktifkan cyubes-mu agar kami mudah menghubungimu!"

"Sudahlah kebiasaan dia begitu," timpal Gilbert kemudian menatap Aalisha sambil ia sapa dengan satu tangan. "Halo! Tuan Putri kita, akhirnya tiba!"

"Gilbert alay, kenapa kau dipanggil master Arthur? Dia suka banget ya mengganggu ketentraman hidup orang, pria menyebalkan," balas Frisca yang malah mendapat sentilan di dahi oleh Gilbert. "Kau kenapa?!"

"Kau bilang menyebalkan, tapi hampir setiap kelas, muji ketampanan dia!" sahut Gilbert.

Sementara itu, Kennedy tersenyum tipis ketika menatap Aalisha. "Kau tak dimarahi Master 'kan?"

"Sudah pasti kena marah lah! Dia kan paling pembuat onar di antara kita!" balas Mylo.

"Diamlah Mylo!" teriak Aalisha. Sejenak ia berpikir. Menatap pada lima manusia yang ada di hadapannya ini. Apa pula mereka ini! Mengapa berada di sini padahal sore sudah tiba, harusnya bersiap dan bersih-bersih diri untuk makan malam nanti. "Apa yang kalian lakukan di sini?"

"Ya menunggumu!" ucap kelima manusia itu bersamaan, suara mereka seolah mampu terdengar satu akademi ini.

"Kami menunggumu Aalisha," sambung Anila, "biar kita bisa barengan kembali ke asrama terus sama-sama ke ruang makan."

Frisca mengangguk. "Iya, nanti kalau sendirian, kamu bakal tersesat."

"Membuang waktu kalian," balas Aalisha, mulai melangkah melewati kelima teman---maksudnya manusia menyebalkan yang selalu mengusik hidupnya. Sungguh Dewa kapan mereka akan berhenti mengganggu ketenangan Aalisha?

"Selalu bilang begitu," sahut Mylo, mulai mengikuti langkah Aalisha dan disusul Anila serta lainnya yang perlahan mereka berjalan di samping gadis kecil itu. "Jangan gengsian, kami sayang kamu loh."

"Menjijikkan." Perlukah Aalisha muntah karena perkataan Mylo?

"Lucu deh kalau Aalisha malu-malu," timpal Anila, tak mau kalah gombal dari Mylo. Kini keturunan Andromeda itu meraih jemari Aalisha kemudian digenggamnya dengan erat. Awalnya hendak Aalisha lepaskan, tetapi Anila tak mau jadi makin digenggam kuat jemari kecil gadis itu. "Gak bisa, gak bisa!"

"Woi, kita yakin nih ke ruang makan bersama!" teriak Gilbert, "kata Kennedy di kantin rumah pohon ada menu baru yang enak!"

"Iya," sahut Kennedy, "teman asramaku sudah kemarin ke sana, katanya enak banget."

"Serius?!" teriak Frisca, "kita ke sana saja!"

"Ayo!" teriak Mylo tak kalah antusias. "Kalau gitu lekas, mandi biar dapat tempat yang bagus!"

"Sudah diputuskan, malam ini, ayo makan di sana saja!" timpal Anila.

"Hei aku belum bilang mau---"

"Sudahlah! Ikut saja!" Maka Anila menarik tangan Aalisha dan ia mulai berlari. Lalu teman-temannya yang lain mulai berlari juga. Sementara itu, si keturunan De Lune hanya bisa pasrah.

"Sudahlah terserah kalian, aku ngalah," balas Aalisha sambil menghela napas panjang.

Sementara itu, kembali ke ruangan master Arthur. Profesor Eugenius menatap ke luar jendela, melihat matahari yang perlahan-lahan hendak tenggelam dan mengganti langit menjadi malam yang ia yakini akan penuh dengan ribuan bintang. Sementara itu, Arthur menggenggam perekam suara milik Aalisha yang kini perlahan-lahan terbakar hingga menjadi abu. Maka terdengarlah suara profesor Eugenius lagi.

"Jalan yang ditempuh nona Aalisha masih panjang, hidupnya pula masih panjang, ada banyak hal yang belum dia pelajari dan ketahui, masih banyak takdir tak terduga yang akan menghampirinya. Atas inilah, itu kau harus percaya, jika seiring berjalannya waktu, anak itu akan berubah, percayalah. Karena sungguh sebagai keturunan Majestic Families, anak itu harus kuat, dia memikul banyak takdir yang mungkin akan menyakitinya, tetapi di sisi lain, akan selalu ada rumah yang akan membuatnya tertawa, bahagia, serta melepas segala sakit dan sedihnya."

Hari itu, sore hari yang sangat indah dan penuh kebahagian karena menampakkan pemandangan berupa langit senja dengan warna jingga yang akan membuat siapa pun terpana. Ketika malam tiba, langit malam ternyata tak kalah cantik karena ribuan bintang memperlihatkan kecantikannya. Sementara itu, para murid berada di kantin rumah pohon, beberapa merebahkan tubuh di rerumputan dan menatap langit pada malam itu.

"Langitnya indah," ujar Mylo, "apa kalian mau berjanji untuk lulus sama-sama dari Eidothea?"

Sesaat Anila melirik Mylo, kemudian kembali menatap langit dipenuhi bintang. "Ya aku berjanji, terus kita teman sampai tua! Aalisha berjanji juga 'kan?"

Cukup lama agar Aalisha menjawab, tetapi akhirnya ia jawab juga dengan suaranya cukup pelan. Serta senyuman tipis terukir meski tak disadari yang lain. "Jika Para Dewa mengizinkan."

◇ The Arcanum of Aalisha: Book I ◇

─ TAMAT ─


Bagaimana dengan chapter terakhir^^

Prins Llumière

Rabu, 22 Februari 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top