Chapter 74
|| Apakah kalian siap? Cek komentar ini untuk rekomendasi musik yang cocok didengarkan di chapter ini.
|| Beri 250 Komentar!
Sekitar setengah jam sebelum bertemu dengan Aalisha yang mengungkapkan dirinya sebagai garis keturunan utama De Lune yang disembunyikan. Anila berlari menyusuri hutan dan dikejar oleh sekawanan minotaur, ia terus-menerus mencoba menghubungi Mylo maupun Aalisha, tapi tidak dapat menyambungkan cyubes mereka. Kini Anila semakin dipenuhi kekhawatiran, ia bahkan lebih mengkhawatirkan kedua sahabatnya itu dibandingkan dirinya yang bisa saja jadi santapan para minotaur.
Ayunan pedang dari minotaur yang membawa gada berhasil menumbangkan tiga pohon besar, alhasil Anila mencari jalan yang lain, lalu ia malah menemui jalan buntu karena kini di hadapannya adalah tebing batu yang menjulang tinggi. Sangat mustahil ia panjat, ia tak bisa juga pergi ke arah lain karena para minotaur akhirnya berhasil mengejarnya. Maka ia kembali menarik pedang magisnya kemudian Anila aktifkan, sambil menggunakan sihir yang berhasil mengenai para minotaur itu lekas Anila ayunkan pedangnya yang berhasil menebas para minotaur kemudian bebatuan runtuh hingga akhirnya menimbun para minotaur yang tersisa. Sudahkah ia selamat? Tiba-tiba tanah bergetar, muncul seekor Beer Misvormwolfir yang seketika berada di depan Anila dan menggunakan kedua pedangnya, akibatnya Anila terkena serangan monster tersebut, tak mau berakhir dengan kematian Anila melancarkan serangan demi serangan yang kini terjadi pertarungan sengit antara keduanya.
"Sial, aku sudah benar-benar lelah. Mylo, Aalisha di mana kalian?!" teriak Anila di sela-sela pertarungannya hingga monster itu meraung kencang. Seketika satu ayunan pedang begitu kuat tenaganya berhasil mengempaskan Anila ke belakang, tubuhnya tersungkur ke tanah, pedangnya terlepas, dan cukup jauh jaraknya dari Anila.
"Graooarkkkkk." Raungan tersebut terdengar kembali karena kini senyuman kedua kepala Beer Misvormwolfir tercetak, ia ada di hadapan Anila, ia siap mencincang tubuh manusia di hadapannya ini, atas inilah kedua pedangnya ia angkat sangat tinggi. Dalam hitungan detik, maka kematian sudah terukir.
Anila membulatkan matanya, ia berusaha memasang selubung neith untuk melindunginya. Namun, gerakan sang Beer Misvormwolfir terlalu cepat. Apakah Anila akan meregang nyawa?
Tidak! Karena sebuah tombak hitam berhasil menembus tubuh sang monster hingga bolong dan menghancurkan kristal yang disembunyikan di dadanya, monster tersebut menjerit kesakitan, kemudian sesosok laki-laki berlari cepat, melompat lalu menebas kedua kepala monster tersebut hingga darah memuncrat, serta ambruk ke tanah monster itu. Kini Anila menilik ke punggung laki-laki yang menyelamatkan nyawanya, kemudian Anila berujar, "Mylo! Kau Mylo, oh Dewa syukurlah kau selamat."
Senyum Mylo terukir meski ia sangat berantakan terlebih pakaiannya kotor dan sobek, serta dia penuh luka. Mylo mengulurkan tangannya, lekas Anila raih. "Kau tak apa?"
"Aku tak masalah, kau?"
"Ya aku baik ... semoga," ujar Mylo sebenarnya tidak merasa baik karena tubuhnya terasa sakit sekali.
"Apa kau bersama dengan Aalisha, kau bertemu dengan?! Aku tak bisa menggunakan cyubes seolah transmisinya ada gangguan."
Sayangnya, Mylo menggeleng. "Aku tak tahu. Aku sebenarnya mencarimu dan Aalisha, lalu berhasil menemukanmu, tidak dengan Aalisha."
Anila diam, ia mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat, rasa takut menyeruak jika terjadi hal sangat buruk pada gadis kecil itu, terlebih jika ia ternyata sudah ....
"Itu takkan terjadi," ujar Mylo begitu lembut. "Dia akan baik-baik saja, dia kuat, kita tahu itu."
"Ya, kau benar. Kita harus mencarinya. Oh ya, bagaimana caramu menemukanku?" Anila saja bingung membaca peta hutan ini, apalagi mereka tidak bisa menggunakan sihir pendeteksi, mengapa bisa Mylo menemukannya?
"Karena bantuan dia." Mylo menunjuk pada seekor serigala yang tadinya berada di balik semak-semak, kini menampakkan dirinya. "Dia membawaku kemari."
"Kau serius! Bukankah serigala-serigala ini berusaha membunuh kita sebelumnya? Mengapa bisa membantumu?!" Anila tak percaya jadi lekas ia menarik pedangnya kemudian diarahkan pada serigala tersebut yang malah menunduk karena sedih tidak dipercaya oleh Anila.
"Tenanglah," sahut Mylo, "awalnya aku berpikir begitu juga, tapi kulihat banyak kawanan serigala yang seolah-olah mencari kita, mereka tidak agresif seperti sebelumnya, malah mereka membantuku kabur dari kejaran minotaur. Terus kuikuti salah satu dari mereka dan berhasil membawaku ke sini. Ternyata menemuimu!"
"Bagaimana bisa?!" Anila menatap tajam serigala tersebut. "Bukankah kau jahat, mengapa tiba-tiba membantu kami?! Apa kau punya rencana lain!"
Di luar dugaan yang membuat Anila dan Mylo terkejut adalah serigala tersebut merespons perkataan Anila dengan gelengan. Seolah berarti serigala itu tidak punya rencana buruk pada mereka.
"Kurasa dia paham perkataanmu," bisik Mylo, "bagaimana kalau kita suruh dia menemukan Aalisha juga?"
Anila masih tak percaya begitu saja, semua ini terlalu aneh. Namun, ia tak punya pilihan karena otaknya sudah buntu untuk mencari cara menemukan Aalisha. "Kami punya teman, dia bernama Aalisha. Bisa kau cari dia, bawa kami menemuinya karena kami mengkhawatirkannya."
Sekali lagi membuat Anila dan Mylo terkejut bukan main karena serigala itu melolong seolah paham maksud perkataan Anila, kemudian serigala itu mulai berlari.
"Ikuti dia!" teriak Mylo segera mengikuti serigala tersebut.
"Jika dia bawa kita ke hadapan iblis, kau akan kupukul Mylo!" teriak Anila.
"Tidak akan!!" teriak Mylo, "semoga."
Awalnya mereka tidak yakin, terlebih serigala ini semakin membawa mereka masuk ke dalam hutan Kimari, kemudian daerah hutan yang mereka lewati sangat sepi, tidak ada satu pun monster dan juga Phantomius. Hingga mereka terdiam, menghentikan langkah begitu pula serigala yang bersama mereka. Samar-samar mereka lihat seekor minotaur yang berlari kencang seolah menuju suatu tempat hendak menuju barisan para pasukan monster tang lain. Awalnya Anila dan Mylo curiga jika serigala di dekat mereka ini akan menuntun mereka menuju para monster tersebut, ternyata tidak! Karena Sang serigala mencari jalan lain, lalu mereka pun ikut serigala itu kembali hingga keduanya terdiam membisu karena melihat cahaya keemasan seketika menjulang ke langit, cahaya itu jugalah yang mengusir awan-awan hitam menutupi hutan Kimari. Maka Mylo dan Anila saling bertatapan, mereka juga menatap serigala yang kemudian bersama-sama mempercepat lari ke arah cahaya tersebut.
"Sialan itu cahaya apa? Mungkinkah dari musuh?" ucap Mylo.
"Entahlah, tapi aku punya prediksi yang berbeda," sahut Anila.
Hampir dekat dengan cahaya tersebut, mereka terkejut bukan main karena cahaya emas itu bersinar sangat terang. Saat mereka sampai bersama dengan si serigala. Anila dan Mylo hanya diam sambil melangkah pelan karena mendapati seorang gadis berambut hitam yang diselubungi neith emas, perlahan-lahan pudar neith tersebut, begitu pula manik matanya yang kembali menjadi hitam seperti semula. Gadis itu juga menggenggam pedang yang di bilah pedangnya bertuliskan aksara kuno; Ego Sum Deus. Ciri khas yang satu-satunya dimiliki oleh pedang legendaris yang disebut pula sebagai pedang ciptaan para Dewa, ya Orfhlaith Leucothea.
Hari itu, kebenaran terungkap di hadapan Anila dan Mylo. Hari itu semua pertanyaan mereka terjawab, semua kegundahan mereka sirna, kini akhirnya mereka tahu jika seorang gadis yang begitu nekat dan keras kepala ternyata adalah sosok yang begitu kuat dan pemilik pedang Dewa.
Hari itu pula, sang gadis pemilik pedang Dewa memperkenalkan dirinya sebagai keturunan Majestic Families De Lune, ia bernama Aalisha Galad De Lune.
Gadis kecil yang akan mengubah banyak takdir pada hari ini.
****
Ada suatu hari yang sangat ia ingat. Sebuah kenangan yang takkan pernah ia lupakan. Berada di lapangan rerumputan yang terhampar luas, serta bunga-bunga dandelion yang begitu indah. Aalisha duduk di sana bersama dengan sosok laki-laki yang tersenyum lembut padanya.
"Kenapa harus punya teman? Aku tak butuh," ujar Aalisha.
"Karena kau akan bahagia jika punya teman, percayalah padaku," sahut lelaki itu yang tak lain adalah Aldrich De Lune.
"Bagaimana jika dia mengkhianatiku, seperti banyak orang yang suka nusuk Kakak diam-diam dari belakang."
"Itu orang jahat, Aalisha. Kalau teman yang benar-benar sayang pada kita, takkan melakukannya." Perlahan Aldrich mengelus puncak kepala adiknya itu dengan lembut.
"Tetap saja, aku tak percaya, gak mau percaya. Aku lebih baik sendiri. Maaf Kak, kalau Kakak kecewa."
"Tidak apa, Kakak nggak akan memaksakan, tapi Aalisha, harus kamu tahu, kalau Kakak akan terus berdoa agar suatu hari Para Dewa memberimu teman yang akan menyayangimu, teman yang akan melindungimu dan takkan pernah meninggalkanmu."
Maka perlahan memori yang Aalisha lihat itu pudar seiring dengan kesadarannya yang kembali. Aalisha merasa aneh, kepalanya masih agak pusing, tubuhnya sakit meski tidak separah sebelumnya. Kini ia seolah mendengar suara langkah kaki, tubuhnya juga seperti bergerak karena pandangannya menatap pada rerumputan yang seperti berjalan atau Aalisha yang sedang berlari? Namun, ia tidak merasa sedang berlari. Hingga akhirnya Aalisha sadar jika dia sedang digendong oleh Mylo. Ya, digendong oleh Mylo!
"MYLO! TURUNKAN AKU!" teriak Aalisha yang sukses membuat Mylo terkejut hingga lelaki itu tersandung batu kemudian keduanya sama-sama terjatuh.
"Kenapa kau tiba-tiba berteriak hah?!" Mylo mengelus lututnya yang terasa sakit, lalu menatap Aalisha yang lekas berdiri dengan wajah memerah akibat amarah.
"Kenapa pula kau menggendongku?!" teriak Aalisha.
"Kenapa kau tanya? Ya karena kau pingsan! Kami tidak punya pilihan selain menggendongmu, memangnya kau mau kami tinggalkan?!" Kini Mylo jadi kesal. Ia menatap tajam pada Aalisha.
"Dia benar Aalisha, kau pingsan tadi," timpal Anila, "aku sudah berikan kau obat, tapi belum kunjung sadar, kita tidak bisa berlama-lama di sana sampai menunggumu sadar apalagi pasukan monster sepertinya berkumpul untuk menyerang desa. Jadi kusuruh Mylo menggendongmu."
Aalisha diam membisu sesaat, ia sedang berseteru dengan pikirannya sendiri. Bisa-bisanya dia digendong? Sangat memalukan! Benar-benar memalukan bagi seorang Majestic Families sepertinya malah digendong! Ini tak pernah terjadi padanya, ini harusnya tak terjadi, harusnya Anila dan Mylo membiarkan saja Aalisha yang pingsan itu karena dia sudah terbiasa menyeret tubuhnya penuh luka sendirian tanpa pertolongan orang lain.
"Tuh dengerin, kita menolongmu loh, mana tega kami tinggalkan kau pingsan," sahut Mylo berniat menyindir.
"Coba katakan lagi!" Seketika aura mengerikan dari diri Aalisha terpancar, lekas Mylo bersembunyi di belakang Anila. "Berani kau berkata begitu padaku!"
Anila tanpa belas kasihan tiba-tiba memukul kepala Aalisha, meski tak separah tinjunya pada Mylo beberapa saat lalu, tetapi membuat Aalisha mengaduh sakit. "Hanya karena kami sudah tahu identitasmu, jangan seenaknya kau gunakan otoritas keluargamu itu pada kamu! Jangan sombong."
Aalisha hanya menatap Anila sambil mengelus kepalanya. "Iya, iya, meskipun gitu, aku tetap lebih tinggi dari kalian. Jadi bersikaplah lebih sopan."
"Tinggi posisi oke aku setuju, kau lebih tinggi dari kami, tapi masalah tinggi badan tetap saja kami yang menang, kau pendek, pendek," balas Mylo sambil memeletkan lidahnya karena memang sengaja mengejek Aalisha. Oh sialan, tak ia sangka jika ia bisa mengejek terang-terangan pada Majestic Families tanpa dibunuh.
Aalisha menyeringai, ia tarik sedikit pedang Orfhlaith Leucothea, kemudian berujar, "meski kau menganggapku teman, aku tetap bisa memenggal kepalamu."
"Woylah maaf, aku minta maaf." Sekali lagi Mylo bersemangat di belakang Anila. "Maaf ampun, nggak lagi deh aku ngejek."
"Bisakah kalian tenang! Berhentilah bercanda!" Anila sudah sangat kesal, banyak hal yang terjadi dalam hari ini. "Sekarang kita harus apa?! Aku tak bisa menghubungi Majestic Families lainnya, serangan monster akan menuju desa Shakaleta, kita harus hentikan mereka!"
"Bagaimana mau dihentikan? Kita bahkan tak tahu pasukan itu datang dari arah mana!" Mylo menyahut tak santai.
"Makanya aku minta tenang, kalian malah bertengkar tidak jelas, terutama kau Mylo! Kalau masih bercanda, kupenggal kepalamu sebelum Aalisha lakukan!" Kini Anila menunjuk pada Mylo.
"Iya aku salah, aku selalu salah!" balas Mylo, "jadi apa, kita harus apa untuk menyelamatkan desa itu?!"
"Mencari tahu dari mana para pasukan monster itu berkumpul," ujar Anila memunculkan cyubes kemudian peta hutan Kimari.
"Mana kutahu di mana mereka berkumpul! Kau pikir aku bisa mendeteksi atau ahli mencari jejak, aku bukan penghuni hutan ini, lagian ...."
Kini Mylo menatap pada Aalisha, begitu pula Anila yang baru sadar. Sungguh saking kepalanya terlalu banyak isinya akan kejadian di hari ini membuat Anila jadi melupakan potongan paling penting untuk menyelesaikan permasalahan mereka.
Aalisha yang sadar ditatap oleh keduanya, jadi dia menghela napas karena paham apa yang harus dilakukan olehnya. "Ya, akan kubantu."
Maka Aalisha menengadah tangan kanannya, lalu seekor kepik merah hinggap di tangannya tersebut. "Utara, mereka berkumpul di Utara hutan ini. Kita ke sana."
Lekas Aalisha berlari kemudian disusul Mylo dan juga Anila. Tak mereka sangka kehebatan Majestic Families De Lune dapat mereka lihat tepat di hadapan mereka. Mungkinkah ini salah satu alasan Aalisha mudah disukai binatang seperti para kelinci dan juga kuda-kuda di akademi? Apa selama ini Aalisha diam-diam menggunakan kemampuan mistisnya?
"Kau yakin sudah kuat berlari?" Bukannya Mylo bertanya akan kegundahannya mengenai rahasia Aalisha, ia lebih mengkhawatirkan gadis kecil itu.
"Ya, ini tidak seberapa, aku sudah pernah melewati yang lebih parah dibandingkan saat ini, sendirian." Aalisha menyahut, tanpa kebohongan sedikit pun, ia tak terlihat kesusahan berlari meski wajahnya masih sedikit pucat.
"Begitu, pasti berat ya," balas Mylo.
"Tak masalah," sahut Anila cepat, ia kini berlari di samping Aalisha. "Kali ini kau takkan melewatinya sendirian karena ada kami di sini. Mari lewati semua ini bersama-sama."
"Ya! Meski tak seberat yang pernah kau lalui, tapi kini kau tak sendiri karena kami ada di sini bersamamu! Jadi ayo, aku mau cepat pulang!" timpal Mylo yang malah bersemangat karena kini ia berjuang dengan salah satu Majestic Families, Keluarga De Lune, keturunan yang disembunyikan pula, sungguh jika semua ini tersebar keluar akademi, bisa-bisa satu dunia akan gempar. Sangat gempar!
"Terserah kalian," balas Aalisha seadanya, ia tak tahu harus membalas dengan rangkaian kalimat yang seperti apa, seindah apa. Ia tidak punya waktu memikirkan perasaan asing di dalam benaknya ini karena lebih penting menghentikan para pasukan monster dan menyelamatkan desa Shakaleta.
Hingga akhirnya mereka mulai merasakan pancaran kekuatan yang mengerikan dari para monster, ya kini mereka hampir dekat dengan pasukan monster yang berkumpul ibarat prajurit yang siap untuk berperang.
"Mylo berhenti!" Aalisha menarik kerah baju Mylo, menghentikan lelaki itu yang hampir saja terjatuh dari tebing. Lebih tepatnya mereka berada di atas tebing batu yang dari atas sinilah mereka bisa melihat pepohonan hutan Kimari.
"Sial, kita di atas tebing ternyata!" ucap Mylo sedikit membenarkan bajunya yang jadi berantakan.
"Di sana," ucap Anila menunjuk pada gerombolan monster yang seolah-olah berbaris dengan senjata-senjata mereka yang teracung ke langit-langit. "Apa mereka benar-benar hendak berperang sampai membawa bendera juga?"
Aalisha menatap juga pada pasukan monster yang membawa panji-panji berwarna hitam dengan simbol bangsa iblis di tengahnya. Jumlah mereka sangat banyak bisa mencapai seratus monster lebih yang terdiri dari pada minotaur dan Beer Misvormwolfir yang lengkap dengan zirah melekat pada tubuh mereka, masing-masing membawa senjata, terlihat ada beberapa minotaur berbulu hitam menunggangi kuda hitam yang besar pula, kemungkinan minotaur itu adalah minotaur tingkat tinggi. Kemudian di antara barisan para pasukan tersebut, tepat di tengah-tengahnya ada sosok monster yang mencapai transformasi menjadi iblis, sosok monster itu seperti minotaur berbulu hitam, tetapi memiliki empat tangan dengan dua kepala; kepalanya menghadap depan belakang, tanduk menjulang tinggi pula. Ya, monster Itu adalah minotaur yang menjadi pemimpinnya.
"Aalisha," ucap Anila lekas memperlihatkan peta hutan Kimari. "Jika melihat dari peta, maka kita ada di sini sedangkan desa Shakaleta ada sebelah sini. Para pasukan berkumpul di utara, maka mereka akan menyerang dari arah belakang desa Shakaleta. Butuh sekitar setengah jam untuk sampai ke desa tanpa ada hambatan. Apa yang harus kita lakukan?"
Aalisha diam, ia berpikir keras. Satu-satunya cara menyelamatkan desa Shakaleta serta melindungi Hozier adalah membinasakan pasukan tersebut dalam satu kali serangan sebelum para pasukan itu mencapai desa Shakaleta. Karena jika dihadapi dengan pertarungan biasa, maka sudah dipastikan mereka bertiga akan mati, apalagi jumlah pasukan itu sangat banyak. Seharusnya para Majestic Families ada di sini, mereka sudah dipastikan mampu membinasakan pasukan monster, karena Eloise Clemence saja pasti dapat melakukannya sendirian apalagi kalau ketiga kekuatan mereka digabungkan. Namun, berdasarkan informasi dari para kepik merah jika tiga Majestic Families sedang berhadapan dengan para iblis yang terus-menerus dipanggil oleh Phantomius bernama Casimir, mereka juga harus mencegah para iblis ikut serta dalam penyerangan desa Shakaleta.
"Empat Zephyr sudah di tangan Athreus dan lainnya, dua sisanya ada pada Phantomius bernama Casimir, lalu satu lagi ada pada pemimpin pasukan monster yang hendak menyerbu desa Shakaleta, kurasa Zephyr itu yang berhasil di dapatkan Zahava." Aalisha berucap.
"Apa kau bertemu dengan Zahava, kau melawannya?! Bagaimana dengan Hesperia?" Anila sungguh harus bertanya lebih detail pada anak ini karena selama berjam-jam mereka terpisah, ada banyak hal yang terjadi terutama pada anak ini yang sebagai keturunan De Lune.
"Ceritanya panjang, aku juga berhasil menyelamatkan profesor Ambrosia dan sudah membawa Hozier pulang ke desa Shakaleta." Aalisha berujar lagi yang sukses membuat nyawa Anila hilang setengah.
Anila berucap cukup keras. "Oh Jagad Dewa, Aalisha! Sebenarnya apa yang terjadi selama kita terpisah! Harusnya kau jelaskan keadaannya selama kita di perjalanan tadi, jangan kau simpan!"
"Bisakah dibahas nanti karena---"
"Hei!" teriak Mylo menginterupsi perkataan Aalisha. "Apa itu bendungan? Aku baru tahu ada bendungan di sana!"
"Ya, ada bendungan memang, itu jadi sumber pengairan desa Shakaleta dan desa-desa lain di sekitar sini kalau masuk musim kemarau." Anila menjelaskan, detik selanjutnya ia terkejut bukan main karena suara Aalisha.
"Itu dia!!" teriak Aalisha, "kita bisa menghentikan para pasukan monster itu." Maka lekas Aalisha memperbesar peta di cyubes Anila.
"Maksudmu?" tanya Mylo.
"Kita mustahil mengalahkan mereka jika bertarung seperti biasa jadi kita harus melenyapkan para monster dalam satu kali serangan dahsyat. Berdasarkan rute, mereka harus berjalan hampir sedekat bendungan untuk menuju desa Shakaleta, artinya kita bisa gunakan bendungan itu sebagai serangan besar kita untuk membunuh pasukan itu sebelum mendekati desa."
Anila dan Mylo sepertinya bisa memahami apa maksud dari perkataan Aalisha yaitu sebuah rencana pembunuhan massal yang sangat gila. Kini Anila melirik gadis kecil itu. "Itu artinya kau mau---"
Aalisha menyahut cepat. "Kita hancurkan bendungannya, tepat ketika pasukan monster mulai bergerak, mereka takkan sadar akan serangan ini. Saat ombak air bendungan turun, gunakan sihir listrik dan petir untuk menjadikan air dari bendungan itu membawa listrik bertegangan tinggi kemudian mampu membinasakan para monster."
"Kau gila!!" balas Mylo, "hancurkan bendungan, kita akan terkena tindak pidana. Rencana ini benar-benar gila! Tidak adakah cara lain untuk membunuh mereka?"
Amarah Aalisha memuncak. "Gila kau bilang? Mylo, aku sudah pernah menghadapi hal yang lebih gila dari semua ini. Jika kau tak setuju, maka pikirkan rencana lain sekarang juga, apa kau tahu caranya?! Atau kaumau menghadapi para monster satu per satu, adanya kau jadi santapan mereka dan desa itu akan binasa!"
"Aku setuju dengan Aalisha, ini mungkin di luar dari pengalaman kita, aku tahu Mylo, kau takut begitu juga aku karena ini pertama kalinya untuk kita berdua. Namun, tidak ada cara lain, kita harus melakukannya." Anila mencoba menenangkan Mylo.
"Iya, iya baiklah, hancurkan bendungannya." Sungguh Mylo sama sekali tidak bisa mengendalikan degup jantungnya yang seolah-olah hendak meledak ini. "Tapi bagaimana jika pendudukan desa minta ganti rugi? Siapa yang akan mengganti rugi bendungan itu?!"
Pertanyaan bodoh, sangat bodoh, tetapi Aalisha tanggapi dengan santai. "Eidothea, toh sekolah itu kaya. Kalau Eidothea ternyata tidak mampu, biar pihak keluargaku yang ganti, lagian bendungan itu hanya seharga permen saja bagi De Lune."
Maka Aalisha ditatap oleh Anila dan Mylo dengan tatapan yang tak bisa didefinisikan. "Sombong ya!!!" teriak Anila.
"Oh oke, baiklah," balas Mylo tak mau ikut campur karena kekayaan keluarganya takkan sebanding dengan Majestic Families, kini ia jadi menyesal bertanya akan siapa yang ganti rugi. "Kembali ke rencana, siapa yang hancurkan bendungannya, siapa juga yang gunakan sihir listrik, lalu gimana cara menghancurkan bendungan itu?!"
"Kau yang hancurkan," ujar Aalisha tanpa ragu, sementara itu Mylo terkejut bukan main, ia menengok menatap Aalisha.
"Kau bilang apa barusan, aku yang hancurkan bendungannya? Oh demi Dewa, Aalisha, kenapa harus aku?!!" Suara Mylo sudah gemetar, ia hendak menangis karena tiba-tiba diberikan beban berat.
"Karena di antara kita bertiga, aku dan Aalisha paling ahli dalam bidang sihir. Jadi kauharus hancurkan bendungannya," jelas Anila ikutan setuju jika Mylo yang berperan menghancurkan bendungan.
Mylo tidak salah dengarkan? Ahli sihir, oke ia baru teringat jika Aalisha adalah De Lune jadi selama ini semua tentangnya yang tak bisa menggunakan sihir hanyalah kebohongan belaka. "Oke, tapi bukankah Aalisha juga bisa menghancurkan bendungannya? Kau ahli dalam senjata 'kan, kau bahkan menggunakan pedang legendaris itu! Kumohon jangan aku karena aku takkan bisa, aku takut."
"Ya jika aku yang lakukan, setelah kuhancurkan bendungannya, maka aku akan mati," balas Aalisha, "Mylo satu-satunya cara menghancurkan bendungan itu dengan menggunakan senjata magis, jika kuaktifkan senjataku lagi, aku takkan sanggup. Aku punya batasan Mylo."
Degup jantung Mylo semakin berpacu, ia tegang dan sangat ketakutan, andai ia bisa mencabut jantungnya kemudian dibuang, maka akan lebih baik, setidaknya ia tidak mendengar suara jantungnya karena rasa takut pada detik ini. "Baiklah! Akan kulakukan!! Tapi apa bisa menggunakan pedangku ini?"
"Kau takkan menggunakan pedang, kau tak punya waktu untuk ke bendungan itu jadi kau harus menghancurkan bendungannya dari jarak jauh. Di sini, kau akan hancurkan bendungan itu dari sini," jelas Aalisha, perlahan ia berjongkok.
"Bagaimana caranya?!" sahut Mylo.
"Tombak, ya itu paling efektif 'kan?" timpal Anila, kemudian Aalisha tersenyum atas tebakan cerdas gadis Andromeda itu.
"Ya, kau akan gunakan tombak Mylo." Maka muncul pentagram sihir biru di tanah, cukup besar pentagram tersebut yang kemudian memanggil sebuah tombak yang kini melayang di atas pentagram milik Aalisha.
"Gawat kau berdarah!" ucap Anila lekas berjongkok, memberikan kain putih pada Aalisha. "Kau tak apa?"
"Tak masalah, ini kebiasaanku kalau kekuatanku mencapai batas," sahut Aalisha kemudian menatap Mylo. "Mylo tombak itu yang akan kaugunakan."
"Apa? Tombak ini, bukankah senjata magis, apa bisa kugunakan. Lagi pula tombak siapa ini?"
Aalisha perlahan berdiri dibantu oleh Anila. Kemudian meraih tombak tersebut, lalu berdiri di hadapan Mylo. "Ini salah satu harta pusaka dari keluarga De Lune, siapa pun yang berasal dari De Lune bisa menggunakannya, sehingga tak punya pemilik tetap. Senjata ini bisa dipinjamkan dengan syarat diizinkan keturunan De Lune itu untuk digunakan orang lain."
Maka Aalisha menyodorkan tombak tersebut pada Mylo. "Dengan ini, aku Aalisha Galad De Lune meminjamkan senjata magis ini yang bernama Vashacandradimuka atau Tombak Bulan Biru pada Mylo Cressida."
Perlahan tangan Mylo menyentuh tombak tersebut yang kini sinar biru terpancar mengelilingi keduanya hingga mengelilingi Mylo saja. "Bagaimana jika aku gagal? Bagaimana jika aku tak bisa menghancurkan bendungannya?"
"Kau takkan gagal, kau berbakat Mylo itulah mengapa sejak awal kuminta kau menggunakan tombak atau panah, lagi pula tombak ini takkan pernah meleset, satu sentimeter pun, terutama jika berada di tanganmu," balas Aalisha, "kau ... jujur ini pertama kalinya aku meminjamkan harta De Lune pada manusia lain. Kau lah orangnya."
Mendengar perkataan Aalisha, degup jantung Mylo jadi tak begitu kencang lagi, ia bisa membuang takutnya meski tak semua. Kini ia genggam erat-erat tombak tersebut. "Ya, serahkan padaku, aku takkan mengecewakanmu, sahabatku."
Sesaat Aalisha terdiam, tak ia menyahut hingga ia serahkan tombak tersebut yang kini berada di genggaman Mylo. Sekali lagi perasaan asing memenuhi diri Aalisha. Kemudian ia tersadar, ketika Anila menariknya untuk segera turun dari bukit sana dan menuju ke daerah di mana aliran air dari bendungan akan menerjang maka mereka berdua bisa menggunakan sihir listrik secara bersamaan.
Maka waktu bergulir, mereka pun bergegas menempati posisi masing-masing dan bersiap melakukan tugas mereka dengan kekuatan penuh. Mylo sudah berada di titik tempat dan jarak yang sudah ditentukan, kemudian cyubes mereka saling terhubung meski suara antara keduanya sedikit tak jelas. Sejujurnya, Mylo merasa tubuhnya sakit, pergelangan tangannya terasa sangat berat, ia bisa tahu jika tombak milik keluarga De Lune ini menyerap neith-nya begitu cepat, meskipun begitu bisa Mylo rasakan jika tombak ini begitu kuat. Maka tanpa ia pedulikan dirinya yang bisa saja mati setelah ini, ia takkan mundur, takkan gentar, ia sudah berjanji pada Aalisha untuk tak mengecewakan gadis kecil itu jadi akan ia kerahkan seluruh tenaganya.
Perlahan ia tarik satu kakinya ke belakang, memasang kuda-kuda bak seorang pelempar lembing paling mahir di kekaisaran Ekreadel. Baginya Mylo, semua ini adalah perang yang mempertaruhkan nyawa manusia karena jika Zephyr atau apa pun itu berhasil bangkit maka dunia bisa saja berada di ambang kehancuran. Ya, kini Mylo sudah sangat siap dengan tombak yang bersinar biru tanpa henti karena terus-menerus menyerap energi dari alam maupun energinya.
Berada di dekat bendungan, ternyata ada dua ekor berang-berang yang tengah menunggu di sana. Kedua berang-berang itu Aalisha perintahkan untuk memberitahukannya berapa derajat posisi yang harus Mylo ambil agar tombaknya tepat menghancurkan bendungan yang airnya akan mengarah pada pasukan iblis. Hal inilah yang membuat Aalisha terlihat serius, ia berada di posisinya sudah, seberangnya cukup jauh adalah Anila, sementara Aalisha menutup matanya dan berkomunikasi dengan kedua berang-berang tersebut.
Kini Mylo hanya perlu menunggu aba-aba dari Aalisha yang akan mengarahkan kapan ia harus melempar tombaknya karena beberapa ekor burung berterbangan memantau pasukan monster yang sudah mulai bergerak, maka tugas Aalisha juga harus menentukan jarak atau titik tertentu ketika pasukan tersebut sudah melewati titik tersebut, maka Mylo harus melempar tombaknya agar seluruh pasukan monster terkena air bah dari bendungan. Kini hanya tinggal menunggu waktu yang tepat, sedangkan Mylo dan Anila merasakan degup jantungnya tak karuan saking mereka takut dan tegang.
"Apa sudah?" ucap Mylo.
"Tunggulah sebentar, Aalisha Belum memberikan aba-aba," balas Anila di seberang sana sambil memperhatikan Aalisha yang masih senantiasa menutup matanya dan begitu fokus.
"Dia baik-baik sajakan, aku takutnya dia pingsan sambil berdiri," ujar Mylo sudah mulai merasa pusing akibat neith-nya diserap tombak ini.
"Diamlah, dia baik-baik saja, kau fokus untuk melempar jangan mikir aneh-aneh." Anila sesaat menatap ke arah datangnya pasukan monster yang mulai terlihat panji-panji mereka, artinya pasukan itu semakin dekat.
"Baiklah, baiklah. Dewa kumohon, bantu kami." Mylo mulai berdoa.
Begitu pula Anila yang perlahan menutup matanya dan berdoa pada para Dewa, tangannya gemetar hebat, tetapi ia tahu jika ia akan baik-baik saja karena ada Aalisha di sini. Ia sangat percaya jika rencana Aalisha akan berhasil. "Dewa, lindungilah kami."
"Sekarang." Suara Aalisha terdengar. Ia perlahan membuka matanya. "Sekarang lemparkan tombaknya!" teriak Aalisha.
"Baiklaaahhhh!" Maka Mylo menarik tombak tersebut, cahaya biru semakin bersinar, aura kekuatan besar terpancar. "Vashacandradimuka, hancurkan bendungan itu!"
Kini dilemparkan tombak tersebut begitu kuat, melesatlah sang tombak Vashacandradimuka begitu cepat, membelah jarak tanpa terbaca, ibarat mampu menghancurkan puluhan kapal perang, begitulah kuatnya sang tombak melesat, ibarat pula sinar bulan di malam hari, tombak tersebut bersinar cukup terang di tengah cahaya matahari hari ini. Hingga ledakan begitu dahsyat tercipta, tombak tersebut berhasil menghancurkan dinding bendungan yang kini air dari bendungan tersebut terjun dengan sangat cepat dan kencang. Bersamaan Mylo yang langsung ambruk ke tanah dan tangan kanannya gemetar hebat, sedikit terluka juga. "Kuserahkan pada kalian, kau pasti berhasil, Aalisha De Lune ...."
Air bah dari bendungan kini menerjang begitu cepat dan mengerikan, membuat pepohonan seketika tumbang, semak-semak tenggelam, tak terlihat juga rerumputan akibat diterpa air. Ketika air tersebut melewati Aalisha dan Anila. Maka Aalisha mengangguk kemudian berteriak, "Anila, sekarang!"
"Diffunditur Elektra!" teriak Anila menggunakan sihirnya, kini listrik tersebut mengalir di air yang terus-menerus menerjang bagaikan ombak tsunami. Para pasukan monster terkejut bukan main ketika ombak dahsyat itu tepat berada di hadapan mereka kemudian langsung menyapu mereka bersamaan tubuh mereka mengejang akibat listrik yang mengalir bersama ombak tersebut. Kini mereka tak mampu bergerak sedikit pun.
Giliran Aalisha, gadis itu mengarahkan tangannya ke langit, dua jari kanan lebih tepatnya, maka awan-awan hitam berkumpul menjadi satu di titik tertentu, gemuruh petir terdengar, bersamaan awan hitam memancarkan kilatan mengerikan. Melalui awan tersebut, terlihat petir-petir yang seolah menyerupai seekor kuda, tidak, maksudnya lima ekor kuda yang kemudian kelima ekor kuda yang terbentuk dari petir siap untuk menerjang bersamaan Aalisha mengayunkan tangannya maka mencongklang begitu cepat kelima ekor kuda masuk ke dalam air bendungan yang menggenangi hutan kimari. "Special technique, De Lune Family, Iluminación Azul."
Seketika jeritan melengking dari para pasukan monster terdengar, mereka tak bisa keluar dari air akibat tubuh mengejang karena sihir Anila yang mengalir dengan air bendungan ini, kemudian mereka semakin merasakan sakit, tubuh mereka diselimuti petir yang sangat dahsyat serta membuat tubuh mereka memerah hingga perlahan gosong akibat petir dari sihir milik Aalisha. Kini para Beer Misvormwolfir binasa karena permata kehidupan mereka hancur, lalu tubuh mereka hangus dan sebagian menjadi abu. Begitu pula para pasukan minotaur yang terus meraung kesakitan hingga organ dalam mereka seolah meledak, jantung mereka juga begitu, akhirnya mereka semua pun binasa dengan tubuh yang tak kalah gosong, lidah terjulur keluar, mereka pun mati, dan mayat-mayat para pasukan monster tersebut mengapung di air. Ya, seratus lebih para monster itu sudah mati, kedua murid Eidothea itu berhasil.
Perlahan-lahan, petir maupun listrik di air itu sudah menghilang karena memang takkan bertahan lama. Anila mengelus dadanya, ia bersyukur karena rencana mereka berhasil meskipun harus mengambil resiko menghancurkan bendungan dan membuat hutan Kimari digenangi air.
"Aalisha!" teriak Anila terkejut bukan main ketika di seberang sana, Aalisha ambruk, membuat sebagian baju gadis kecil itu terkena air dan jadi basah, maka lekas Anila berlari menuju Aalisha. "Hei, hei kau tak apa? Sial, kau berdarah lagi, tunggu aku---aku akan coba mengobatimu."
Anila berada di samping Aalisha, ia mengarahkan kedua tangannya pada gadis itu kemudian perlahan menggunakan sihir penyembuhan, tetapi neith yang dimiliki Anila sudah terkuras, sihirnya tidak begitu efektif menyembuhkan Aalisha. Air mata pun lepas dari mata gadis keturunan Andromeda itu, ia gemetar karena takut terjadi hal buruk pada Aalisha. "Sebentar, aku bisa, aku bisa mengobatimu, tapi tanganku gemetar, Aalisha bertahanlah."
Napas Aalisha sudah tak beraturan, pandangannya agak pudar itu menatap pada Anila yang menangis untuknya padahal Aalisha tidak menemui kematian, ia masih bisa menahan sakit ini, tapi kenapa Anila begitu mengkhawatirkannya? Namun, bukan masalah, toh para monster sudah kalah juga.
Benarkah, benarkah pasukan monster sudah mati? Atau semua ini baru permulaan.
Sekonyong-konyong Aalisha menggunakan sihir yang membuat air di sekitarnya berubah menjadi sebuah tameng pelindung, ia lekas mendorong Anila menjauh darinya karena seekor minotaur berbulu hitam dan bermata merah menerjang cepat dengan pedangnya, tapi berhasil dihentikan dengan tameng air tersebut. Aalisha menarik Orfhlaith Leucothea kemudian diayunkan, berhasil dia memenggal kepala minotaur tersebut. Namun, dari arah berbeda, minotaur lain menggunakan sihir yang sukses menciptakan pedang sangat besar berwarna ungu gelap kemudian mengempaskan tubuh Aalisha hingga ia menghantam tanah yang dipenuhi genangan air, kini nampak darah di genangan air tersebut karena tubuh Aalisha terluka.
"Aalisha!" teriak Anila, "monster bajingan!" Gemetar tangannya sambil menarik pedang magisnya, ia kemudian menahan serangan minotaur tersebut, tetapi terlalu kuat hingga ia terpukul mundur. Anila gunakan sihir yang berhasil membalikan keadaan, minotaur tersebut terlempar kemudian Anila gunakan pula sihir yang mengubah genangan air menjerat minotaur tersebut. Ketika sang monster terjerat, tiba-tiba saja Aalisha muncul dan menebas minotaur itu hingga menjadi dua bagian.
Suara air berkecipak terdengar seiring lari Anila menuju Aalisha yang terluka, darah keluar dari mulutnya. "Aalisha ...."
"Mereka masih berdatangan," ujar gadis kecil itu, kepalanya berdenyut tak karuan, ia sulit mendengar pula saking hendaknya ia pingsan.
"Kita harus pergi, kau sudah mencapai batas. Jika terus dipaksakan ...." Anila terdiam ketika Aalisha menggenggam tangannya.
"Tidak, mereka harus dihabisi sekarang. Sial, ada yang menyerang kemari!" Lekas Aalisha menarik Anila mundur karena tanah di bawah mereka bergetar hebat, maka keduanya melompat. Tak berselang dari itu, satu atau dua minotaur seketika menyerang mereka berdua, terdengarlah dentingan senjata yang menggelegar ke seluruh hutan.
Jumlah minotaur yang tak mati ada sekitar sepuluh, tetapi para minotaur itu adalah minotaur tingkat tinggi yang mampu menggunakan sihir. Kini tak ada pilihan kabur karena para minotaur terus menerjang, keduanya pun menghadapi minotaur-minotaur yang tersisa meski harus terluka dan berdarah-darah.
Aalisha jujur, tak begitu kuat menghadapi semua ini karena setelah menggunakan Orfhlaith Leucothea, tenaganya benar-benar terkuras. Jika ia paksakan untuk terus bertarung, ia mencapai batasannya, dan segelnya yang akan aktif kemudian menyiksa tubuhnya agar Aalisha berhenti untuk bertarung lagi. Namun, ia tak bisa berhenti, jika ia menyerah, maka bisa saja dirinya akan mati terbunuh para minotaur atau barangkali Anila yang akan mati.
Mengetahui kenyataan bahwa semua ini bukanlah mimpi bahwa Anila bertarung di samping Aalisha membuat Aalisha merasakan perasaan asing yang tak kunjung pudar. Sesaat ia kesal, bisa saja Anila menghambat dirinya karena ia sudah terbiasa bertarung sendirian, tanpa ada bantuan. Harusnya Anila dan Mylo sudah di Desa Shakaleta jadi Aalisha hanya sendirian saja di sini, menghadapinya semuanya.
Kini perasaan asing itu membuat Aalisha takut, sangat takut padahal ia tak tahu takut yang merasukinya adalah ketakutan akan apa. Mungkinkah takut dirinya tak bisa menyelamatkan desa Shakaleta, takut ia gagal, atau ketakutan jika terjadi sesuatu pada Anila maupun Mylo? Aneh, sangat aneh, ia hendak menyangkal jika ia memiliki kekhawatiran pada Anila dan Mylo. Meskipun begitu setiap ada minotaur hendak menebas kepala Anila kemudian membunuhnya, tanpa sadar Aalisha lekas menggunakan kemampuan mistisnya agar serangan minotaur tersebut meleset, sehingga Anila tetap selamat.
Sial, kini Aalisha sudah tak mengerti lagi akan dirinya. Benarkah ia takut akan kehilangan atau ini sekadar perasaan karena dia seorang Majestic Families yang tak mau kekalahan tercipta baginya?
Maka untuk menjawab semua itu, para Dewa akan turun tangan.
Kini tak jauh dari tempat Aalisha berada, sosok pemimpin dari para Monster yaitu minotaur yang tinggi hampir satu meter, memiliki lebih dari satu kepala, serta lebih dari dua tangan, dan membawa senjata melangkah menuju Anila dan Aalisha, air yang menggenangi hutan jadi bergetar akibat langkahnya yang begitu mengerikan, pemimpin monster tersebut bernama Xiomara. Suara raungan Xiomara terdengar sangat kencang, maka ia kumpulkan neith di seluruh alam, kemudian salah satu senjatanya dilapisi neith hitam, sehingga menambah kekuatannya. Berkat sihir, air-air di sekitaran Aalisha dan Anila bergerak ke arah Xiomara seolah sang Pemimpin Monster menyerap air tersebut.
"Pemimpinnya datang!" teriak Anila, ternyata sang Xiomara seketika muncul di hadapan Anila kemudian mengayunkan pedangnya, sukses puluhan pohon hancur seketika, tetapi Anila selamat karena ia berhasil menghindar.
Aalisha terkejut karena Xiomara menyerang Anila, ia hendak menolong, tetapi dua minotaur di depannya masih menyerang Aalisha sehingga ia harus susah payah untuk mengalahkan keduanya. "Anila menjauh dari sana!"
Serangan terjadi lagi yang dilancarkan Xiomara membuat tanah hancur begitu pula pepohonan. Hingga puncaknya ketika Anila terkena sihir Xiomara, gadis itu terjatuh ke tanah, tubuhnya tak mampu ia gerakkan, sedangkan Xiomara tepat di hadapannya dengan mengangkat kedua senjatanya. Sesaat, segala yang ada di sana seolah berjalan sangat lambat. Aalisha merasakan degup jantungnya berdetak tak karuan mengetahui jika kematian berada di depan Anila persis. Ia terus meneriaki nama Anila agar menjauh dari sana, tetapi Anila tak mampu bergerak. Aalisha marah, maka lekas Aalisha menebas dengan cepat satu kepala minotaur di depannya, tetapi minotaur lainnya berhasil menghindar. Sial, ia gagal, ia gagal. ANILA AKAN MATI!!
Kini hanya perlu hitungan detik untuk merenggut nyawa Anila. Namun, dari langit terdengar suara nyaring seekor burung yang membawa bara panas---ternyata burung itu adalah jenis burung Amadeo. Aalisha terkejut menatap burung Amadeo tersebut karena burung itu bukan Aalisha yang panggil. Maka sang Amadeo segera menjatuhkan satu bara panas tersebut ke tangan Xiomara, akibatnya monster itu menjerit kesakitan, maka terdistraksi dirinya, ia tak membunuh Anila dan hal ini menjadi kesempatan bagi Aalisha.
Lekas dia tebas minotaur terakhir di hadapannya. Kemudian dengan cepat, ia kerahkan segala tenaganya dan berlari menuju Anila. Namun, sayang sekali karena Xiomara sudah sadar kembali yang siap Sang monster mengayunkan pedangnya yang begitu tajam tepat hendak menusuk jantung Anila hingga membunuh gadis Andromeda itu.
Hanya saja, Aalisha sebagai keturunan De Lune yang katanya mampu mengubah takdir, maka ia ubah takdir yang telah dituliskan pada hari itu. Sebelum benar pedang Xiomara menusuk jantung Anila, lekas tangan Aalisha terjulur ke depan, ia gunakan neith-nya yang kemudian ia tarik bahu Anila begitu kuat hingga gadis Andromeda itu terlempar ke belakang. Dia berhasil menyelamatkan Anila. Namun, sebagai gantinya, pedang Xiomara berhasil menembus kulit, daging, hingga tubuh Aalisha, meski tak benar-benar mengenai jantungnya, tetapi darah memuncrat begitu hebat karena pedang itu benar-benar menembus tubuh Aalisha. Rasa sakit sangat tak tertahankan seketika menjalar cepat, darah tak hanya keluar dari tubuh Aalisha yang ditembus pedang Xiomara, melainkan keluar dari mulutnya juga.
"Aalisha! Tidak, tidak, Aalisha! Aalisha!" teriak Anila, ia hendak mendatangi Aalisha, tetapi dua ekor serigala yang diperintahkan Aalisha tiba-tiba muncul kemudian menahan Anila untuk mendatangi Aalisha. "Lepaskan aku, kumohon lepaskan aku! Aku harus menolongnya! Aku harus menolong Aalisha!" Tangisnya pecah, ia terisak, suaranya serak, tapi akibat tenaganya tak bersisa membuat Anila tidak bisa lepas dari kedua serigala ini.
Di sisi lain, Xiomara tertawa nyaringnya. Bisa ia rasakan neith yang terpancar dari manusia yang berhasil ditusuknya ini yang menunjukkan bahwa manusia ini adalah keturunan Majestic Families. "Hebat! Aku hebat, aku berhasil membunuh salah satu Keturunan Agung! Aku akan mendapatkan kedigdayaan dari Raja Iblis!"
Tidak ada sahutan dari Aalisha karena gadis kecil itu hanya diam sementara darah terus menetes dari tubuhnya yang tertembus pedang. Semakin menjadi tangis Anila karena gadis kecil itu tidak menunjukkan tanda-tanda pergerakan.
"Tidak, tidak!!" Anila kembali berteriak, "tidak Aalisha, kau tak boleh mati. Dewa dia tak boleh mati!"
"Hari ini Aku, Xiomara telah berhasil merenggut nyawa seorang Majestic Families! Raja Iblis akan sangat bangga padaku!" Maka suara monster itu terdengar menggelegar, begitu juga tawanya, hingga perlahan tawa itu pudar ketika terdengar suara yang begitu pelan di hadapannya.
"Kau bilang apa ...."
Anila yang tadinya sudah tertunduk pasrah, kini ia mendongak perlahan ketika mendengar suara Aalisha. Ya, ia menatap pada gadis kecil yang ternyata masih hidup. "Aalisha!"
"Hei monster bodoh!" ucap Aalisha, perlahan gadis kecil itu mendongak, menatap tajam pada Xiomara. Kini manik mata Aalisha terlihat berubah menjadi warna emas, kemudian satu air mata berhasil lolos dari gadis kecil itu. "Berani kau meremehkanku yang seorang Keturunan De Lune ini. Akan kubawa kau ke neraka! Mylo lemparkan tombaknya!"
Maka Mylo yang berada di jarak cukup jauh dari Aalisha dan Xiomara, lekas melesatkan tombak jenis biasa, kemudian berhasil menembus tubuh Xiomara, lalu serangan tombak lainnya menyusul yang kini menembus bagian tubuh Xiomara yang lain hingga monster tersebut meraung-raung kesakitan. Setelahnya Aalisha memunculkan pentagram emas di belakang Xiomara, seketika dari pentagram emas tersebut, puluhan rantai besi langsung menjerat tubuh Xiomara, kemudian menyeret monster tersebut ke belakang, berhasil melepaskan pedangnya yang menusuk tubuh Aalisha. Lalu Aalisha arahkan tangannya ke hadapan sang monster agar membawanya hingga sedekat pentagram sihir emas tersebut. Raungan Xiomara terdengar kencang ketika ia melihat pedang yang digenggam Aalisha kini bersinar terang seperti emas atau lebih tepatnya cahaya matahari.
"Tidak! Jangan, mohon ampunilah aku! Ampunilah aku wahai Keturunan De Lune yang Agung, ampunilah aku!" teriak Xiomara.
"Aku bukanlah Dewa yang Maha Pengampun, jadi aku takkan mengampunimu, bahkan ketika kelak kau disiksa di neraka! Orfhlaith Leucothea, bernyanyilah untukku!"
Maka Aalisha ayunkan pedangnya tersebut, serangan Orfhlaith Leucothea memang tidak sebesar serangan yang pertama kali, tetapi serangan itu menghasilkan cahaya emas yang berhasil membinasakan Xiomara, membuat tubuh monster tersebut terhambur, hancur berkeping-keping seperti kaca pecah kemudian lenyap bagaikan abu yang dibawa semilir angin hingga tak bersisa tubuh itu sama sekali.
Kini Aalisha menatap pada pedangnya, kemudian ia masukkan ke dalam sarungnya kembali. Setelahnya, ia munculkan invinirium, lekas mengambil sebuah elixir kemudian segera ia minum elixir tersebut yang terasa panas dan menyiksa di tenggorokannya, tetapi ampuh untuk mengobati lukanya sedikit demi sedikit meski tak benar-benar sembuh. Meskipun begitu, Aalisha akan selamat dari kematian. Namun, tetap saja, tubuhnya sudah sangat lelah, kedua kakinya tak bisa menopang lagi, ia merasa hendak ambruk ke tanah, maka ketika hal itu akan terjadi, suara langkah kaki terdengar berlari cepat ke arahnya.
Lekas tangan seseorang menahan tubuh Aalisha yang akan ambruk ke tanah, lalu tanpa izin, tangan itu menarik Aalisha kemudian tubuh gadis kecil itu dipeluk dengan sangat erat. Ya, Anila mendekap tubuh Aalisha ke dalam pelukannya. Aalisha yang tak jadi pingsan, ia sangat sadar jika dirinya kini tengah berada di dalam pelukan Anila, tetapi gadis kecil itu tak menunjukkan penolakan seperti biasanya. Maka ia biarkan Anila mendekap tubuhnya dengan erat, bersamaan tangis gadis Andromeda itu yang terdengar begitu jelas, bahkan air matanya jatuh ke pundak Aalisha. Lalu tidak hanya Anila yang mendekap tubuh Aalisha, melainkan Mylo yang menyusul keduanya kemudian memberikan pelukan juga.
Sungguh pada detik itu, Aalisha membiarkan Anila dan Mylo mendekap tubuhnya, tak ada penolakan, tak juga gadis kecil itu membalas pelukan mereka. Aalisha hanya diam, diam mendengarkan tangis keduanya, diam merasakan perasaan asing, tetapi perlahan ia pahami jika pelukan yang diberikan keduanya terasa begitu hangat dan sangat menenangkan.
Kini hendak Aalisha katakan secara jujur pada Para Dewa bahwa, "tidak buruk juga dipeluk erat seperti ini."
Cukup lama juga pelukan yang diberikan oleh Anila dan Mylo pada Aalisha. Hingga perlahan mereka lepaskan pelukan tersebut, meski tangis masih tercetak di wajah keduanya.
"Syukurlah kau baik-baik saja, aku takut sekali tadi." Anila berujar tanpa peduli seberapa dirinya kacau karena tangis yang tak kunjung berhenti. "Bagaimana lukamu, oh Dewa, apa sakit sekali, pedangnya menembus tubuhmu, Aalisha."
"Kita, kita harus segera cari bantuan, kita harus pergi ke desa. Kau, kau akan sembuh nanti di sana. Apa kau kini merasa sangat sakit?" Mylo berucap sekali tarikan napas karena saking dia paniknya. Ia begitu takut sebelumnya karena melihat monster tadi menembus tubuh Aalisha, ia juga takut jika tombaknya akan gagal, tetapi nyatanya ia berhasil. Ia berhasil menyelamatkan Aalisha.
"Aalisha!" ucap Anila lagi, tapi gadis kecil itu perlahan menggenggam jemari Anila.
"Aku baik-baik saja, aku sudah gunakan obat untuk menutupi lukaku, jadi aku tak apa." Meskipun berkata seperti itu, nyatanya wajah Aalisha pucat pasi.
"Baiklah, tapi kita harus tetap kembali ke desa Shakaleta ya, kau harus beristirahat dan diobati di sana," ujar Anila menatap penuh kekhawatiran, maka terpaksa Aalisha setuju saja dari pada masalah ini semakin diperpanjang.
"Ya, terserah kalian."
"Baiklah, Mylo ... kau sedang apa?" Anila menatap pada Mylo, lelaki itu menuju tempat Xiomara berpijak sebelum mati dilenyapkan Aalisha. "Apa itu?"
"Kurasa ini batunya?" ucap Mylo, lekas berlari kemudian menyerahkan batu tersebut pada Aalisha. "Benar 'kan?"
"Ya, ini Zephyr, kita mendapatkannya," sahut Aalisha.
"Oke, kita dapat Zephyr-nya, mungkin tiga Majestic Families juga dapat batunya," imbuh Ania, "jadi bagaimana jika kita segera pergi dari sini, ayolah Mylo pikirkan cara, sebelum Aalisha pingsan!"
"Baiklah, tapi aku bingung! Mustahil kita berjalan kaki sambil menggendong Aalisha!" teriak Mylo sambil menatap Aalisha memasukkan Zephyr ke dalam invinirium.
Lalu gadis kecil itu menunjuk ke depan dengan jemarinya. "Tinnezs datang."
Anila dan Mylo lekas menatap pada seekor kuda yang mencongklang dengan gagahnya yang didampingi dua ekor serigala seolah menjaga kuda tersebut agar tiba dengan selamat di tempat tujuan. Sungguh tak keduanya sangka Tinnezs kuda dari Eidothea datang kemari untuk menyelamatkan mereka. Kini keduanya menatap pada Aalisha yang hanya diam, lalu melirik balik keduanya.
"Kau benar-benar keajaiban," ujar Mylo, perkataannya disetujui Anila, sementara Aalisha hanya tersenyum tipis.
"Ayo kembali ke desa," ucap Anila meraih jemari Aalisha, menuntun pelan langkah gadis kecil itu menuju Tinnezs yang sudah siap memberikan mereka tumpangan. "Mylo kau yang di depan."
"Oke, oh Tinnezs, makasih kau sudah datang." Lekas Mylo naik ke atas Tinnezs. "Aalisha kemari." Kemudian mengulurkan tangannya pada Aalisha, kini perlahan ia naik ke atas juga. Selanjutnya adalah giliran Anila yang duduk di belakang Aalisha. Meskipun ada tiga orang di atas kuda tersebut, tetapi Tinnezs tak masalah karena dia sangat mampu membawa ketiga murid Eidothea yang tubuh mereka masih termasuk kecil.
"Baiklah Mylo, kami siap," ujar Anila.
"Ya, Tinnezs ayo, pergi ke desa Shakaleta!" teriak Mylo sambil menggenggam erat tali pelananya, kemudian Tinnezs mencongklang dan membawa mereka menuju desa Shakaleta sedangkan para serigala pergi seolah misi mereka telah usai.
Di dalam perjalanan, Tinnezs begitu tangkas membawa tiga murid Eidothea ini. Menyusuri hutan menuju desa Shakaleta. Banyak pohon tumbang, semak-semak hancur, rerumputan sebagian layu dan gosong, tetapi tidak terlihat bercak darah sedikit pun. Kini para binatang mulai menampakkan diri mereka kembali, bisa dilihat oleh ketiga anak di atas Tinnezs, para kancil bermunculan kemudian rusa-rusa bertanduk besar yang kini memakan rerumputan yang tak hangus, mereka juga melihat burung-burung terbang seolah mengikuti mereka lalu hinggap di pepohonan, kemudian kicauan mereka terdengar merdu.
Ada pula para tupai dengan keluarga kecil mereka sambil membawa kacang kenari, mereka terus melewati cabang-cabang pohon hanya untuk melihat Tinnezs yang sedang berlari itu, hingga akhirnya mereka berhenti kemudian menyantap kacang mereka. Begitu pula terlihat landak-landak di tanah yang tak bersembunyi melainkan menampakkan diri demi melihat ketiga murid Eidothea tersebut. Para keluarga kelinci dari ayah, ibu, hingga anak-anak mereka keluar dari persembunyian karena punya tujuan yang sama yaitu melihat tiga murid Eidothea yang salah satunya adalah keturunan De Lune.
Selain para binatang, ada juga yang memperhatikan mereka bertiga meski hanya Aalisha yang dapat melihatnya. Ya, para Orly berpakaian putih, rambut emas dan blonde, sebagian membawa alat musik yang tengah duduk di dahan-dahan pohon sambil memperhatikan Tinnezs. Kemudian terdengar senandung musik indah mereka, mengalun selama perjalanan ketiganya kembali ke desa Shakaleta, ya tiga pahlawan kecil itu.
"Sudah kubilang bukan," ujar Orly dengan rambut blonde membawa lira pada temannya yang berambut merah. "Yang Mulia De Lune akan membawa perang yang begitu hebatnya."
Si rambut merah lekas mengangguk. "Ya, ya, aku beruntung bisa di hutan ini jadi bisa melihat kehebatannya. Terpuji lah Keturunan Majestic Family De Lune itu."
Hari itu awan-awan hitam sudah tak menutupi langit Hutan Kimari maupun desa Shakaleta. Berada di sisi lain hutan Kimari yang benar-benar hancur, tetapi Athreus dan Eloise berhasil mengalahkan para iblis sampai tak bersisa, mereka juga berhasil mencegah pasukan monster yang berkumpul di sebelah selatan hendak menyerang desa Shakaleta, serta keduanya berhasil mendapatkan Zephyr.
"Kira-kira cahaya aneh apa tadi itu," ujar Athreus segera menemui Eloise yang tengah menghabiskan satu botol minuman.
"Entahlah, hanya salah satu keajaiban di Athinelon, aku tak peduli. Jadi ayo pergi, kurasa Nicaise berhasil dapatkan Zephyr-nya."
"Ya kau benar, oh barusan kudapatkan kabar dari Aalisha, mereka ternyata selamat. Hebat juga mereka ya," ucap Athreus sedangkan Eloise hanya menatap sesaat, tanpa mengatakan apa pun kemudian berbalik dan mulai melangkah pergi.
Sementara itu, Nicaise menatap langit-langit yang kini mulai nampak cahaya mataharinya, ia lalu menatap pada tubuh Casimir yang perlahan-lahan hancur lebur seperti kayu yang dimakan api. Lekas Nicaise meraih Zephyr yang dimiliki Casimir, ternyata cukup sulit juga menghadapi manusia yang bertransformasi menjadi iblis tingkat tinggi.
"Syukurlah, anak itu selamat. Lalu kami berhasil mendapatkan Zephyr-nya, kalau ditotalkan ada lima, tersisa satu, apa mungkin ada pada Aalisha? Sial, gadis itu memang mencurigakan."
Nicaise menatap cyubes-nya yang terdengar suara Eloise. "Kau berhasil 'kan? Segera kita kembali ke desa, ah lalu kau tahu apa yang dikatakannya Nathalia, profesor Ambrosia ada di desa itu. Begitu pula Hozier yang berhasil kembali dengan selamat."
"Baiklah, aku akan segera ke sana." Maka lekas Nicaise memasukkan pedangnya ke dalam sarung, kemudian bergegas pergi dari sana sedangkan para Orly terlihat membungkukkan badan mereka sebagai tanda penghormatan tulus pada Nicaise sebelum meninggalkan hutan ini.
****
Mereka berenam, para murid Eidothea tiba bersamaan di desa Shakaleta ketika sore hari tiba. Terdengar sorakan dan tepuk tangan dari para warga karena para murid itu berhasil menyelamatkan desa tersebut. Tangis haru terdengar karena kini para iblis takkan menyerang lagi dan Zephyr sudah berhasil mereka rebut, maka tidak ada kebangkitan bangsa Iblis menggunakan batu kekuatan tersebut.
Turun dari kuda, Aalisha dituntun perlahan oleh Anila dan Mylo menuju Nathalia yang akan segera mengobati Aalisha. Sedangkan Anila meminta Zephyr pada Aalisha yang akan ia serahkan pada tiga Majestic Families, tak begitu terkejut mereka karena Anila berhasil mendapatkan Zephyr-nya, maka lekas diambil Zephyr tersebut. Anila, Aalisha, maupun Mylo tak masalah karena sejak awal mereka tak berniat mendapatkan Zephyr, jadi biarkan saja sisanya diurus para Majestic Families itu.
Di ruang pengobatan, Aalisha berada di atas ranjang pesakitan. Gadis kecil itu tak disangka berhasil selamat dari kematian meski tubuhnya ditusuk, lalu beruntung pula ada Nathalia yang ahli dalam sihir pengobatan jadi lekas ia obati luka-luka Aalisha, meski tak sempurna, tapi cukup untuk bertahan sebelum mereka kembali ke Eidothea pada esok harinya. Di tengah-tengah proses pengobatan, seseorang mengunjungi ruangan Aalisha yang ternyata adalah profesor Ambrosia.
Aalisha menatap Ambrosia dengan senyuman kecilnya, tanpa tahu kenapa, Ambrosia malah menangis kemudian lekas mendekap erat tubuh gadis kecil tersebut begitu erat. Sementara Aalisha hanya diam, merasakan pelukan tersebut tanpa berani dia balas karena masih cukup asing baginya mendapatkan pelukan seperti ini terkecuali dari kakaknya.
"Terima kasih sudah menyelamatkanku, terima kasih sudah menyelamatkan Hozier juga. Syukurlah kau kembali dengan selamat, syukurlah, syukurlah Aalisha."
"Ya, terima kasih Profesor."
Hari itu diakhiri dengan kebahagiaan dan keharuan, tidak ada korban jiwa dari pihak Eidothea maupun desa Shakaleta, mereka semua selamat. Kini desa itu menjadikan para murid Eidothea itu sebagai pahlawan mereka, maka suka-cita memenuhi desa tersebut yang berterima kasih begitu tulus.
Pada hari esoknya, sebelum murid-murid Eidothea kembali, begitu pula Ambrosia dan Lilura. Mereka semua berpamitan dengan warga desa. Terutama Hozier yang sangat berterima kasih pada Aalisha. Maka anak kecil itu membawa Aalisha keluar dari gerombolan para warga yang masih senantiasa berterima kasih pada murid Eidothea yang lain.
"Terima kasih, Nona Aalisha, kau menyelamatkan semuanya." Maka Hozier peluk Aalisha yang dibalasnya dengan mengelus puncak rambut Hozier.
"Sama-sama, semua ini juga berkat keberanian dan juga kekuatan Hozier yang tidak menyerah pada bangsa Iblis."
Perlahan senyuman Hozier. "Tentu karena ayah mengajariku untuk jadi anak yang kuat, terus takkan mudah menyerah pada keadaan. Sekali lagi makasih sudah menyelamatkanku, nona Ambrosia dan Lilura, juga selamatkan desa ini."
"Ya, sama-sama."
"Nona Aalisha, adakah yang harus kulakukan selain ucapan terima kasih, katakanlah, akan kulakukan dengan tulus untukmu."
Mendengar perkataan Hozier, Aalisha tersenyum tipis kemudian berjongkok sambil menatap anak kecil itu, ia juga genggam tangan Hozier cukup kuat. "Kalau begitu ada, maukah kau membantuku Hozier?"
"Iya, aku akan membantumu!"
"Baiklah kalau begitu, jadi aku butuh bantuan untuk ...." Perlahan Aalisha berbisik di telinga Hozier yang lekas disahut anak itu dengan anggukan mantap.
"Siap akan kulakukan! Aku juga akan jadi anak yang baik dan kuat, terus belajar agar bisa melindungi desaku sendiri!" ujar Hozier.
"Terima kasih." Maka senyuman Aalisha terukir begitu indah.
Kini Aalisha, Anila, Mylo, Nathalia, dan tiga Majestic Families serta profesor Ambrosia serta Lilura sudah berada di kuda mereka masing-masing yang diberikan oleh desa Shakaleta dengan cuma-cuma, terkecuali Mylo dan Aalisha yang menunggangi Tinnezs, karena Anila tak mengizinkan Aalisha menunggangi kuda sendirian. Berbicara mengenai Tinnezs, untung saja Majestic Families tidak mempertanyakan Tinnezs jika tidak, Aalisha harus menjelaskan dengan kebohongan lagi. Mustahil ia jujur jika ia keturunan De Lune karena untuk sekarang yang tahu identitasnya hanyalah profesor Eugenius, Arthur, Anila dan juga Mylo. Aalisha masih harus menutupi identitasnya itu.
"Sampai jumpa!! Hati-hati, nanti kita akan bertemu lagi pas pesta minum teh!" teriak Hozier sambil melambaikan tangannya yang dibalas lambaian tangan oleh Anila, Mylo, Nathalia, dan juga Ambrosia. Sedangkan Aalisha serta tiga Majestic Families lainnya hanya menatap saja tanpa berniat memberikan salam perpisahan. Oh, lihatlah mereka berempat sangat cocok.
Kini berada di perjalanan santai mereka, tiga Majestic Families di paling depan. Anila, Mylo dan Aalisha di tengah sedangkan Nathalia bersisian dengan profesor Ambrosia serta Lilura.
"Oh ya Aalisha," ujar Anila, tenang suaranya takkan terdengar yang lain. "Jika kau yang membunuh profesor Zahava, lalu bagaimana dengan profesor Hesperia?"
"Ah iya, kau melawannya juga 'kan, Lilura bilang diam-diam pada kami kalau kau selamatkan dia dan profesor Ambrosia dari Hesperia itu." Suara Mylo menjadi pelan.
Mendengar perkataan keduanya, mata Aalisha jadi membulat, sial dia baru teringat akan Hesperia karena terakhir kali dia melawannya, masalah Hesperia dia serahkan pada Oberon. "Oh, ha ha, jangan khawatir, wanita jalang itu sudah kuserahkan pada seseorang yang akan menanganinya. Dia yang akan urus, intinya wanita itu anggap saja sudah tiada." Mungkin saja. Aalisha tak yakin, apakah Hesperia sudah mati atau masih proses penyiksaan ya?
"Oke kalau kau berkata begitu," jawab Anila entah mengapa merasakan sesuatu yang mengerikan akan menimpa profesor Hesperia. Jadi mari kutuk wanita jalang itu, tak usah didoakan baik-baik.
Maka sesuai dengan perkataan Aalisha yang menyerahkan Hesperia pada Oberon. Kini berada di sebuah tempat antah berantah milik kekuasaan keluarga De Lune, terlihat hamparan tanah merah, penuh dengan asap hitam yang menyesakkan pernapasan, tidak ada satu pun tumbuhan hijau, air yang tergenang di sana juga keruh sekali, serta tercium bau amis di mana-mana. Banyak pula tulang-belulang yang entah tulang binatang atau malah manusia?
Tak lama, terdengar lah langkah kaki seorang wanita tanpa mengenakan alas kaki, gaun yang ia kenakan sudah jelek sekali, sobek hingga mencapai atas lututnya, seluruh tubuhnya penuh dengan luka, kedua tangan dan kakinya dirantai besi yang setiap ia berlari, besi-besi tersebut berdencing-dencing. Sayangnya, ke mana pun ia melangkah, wanita itu takkan bisa keluar dari wilayah tersebut.
"Kumohon jangan! Kumohon biarkan aku hidup, aku mohon ampun karena telah menyekutukan Majestic Family De Lune, ampunilah aku, ampuni aku!" Hesperia bersembah sujud dengan tangis tak berhenti menetes, tetapi mana ada ampunan. Tiba-tiba saja rantainya ditarik yang membuat Hesperia terseret, punggungnya terluka parah, darah bercucuran, kini di hadapannya adalah sosok makhluk yang lengkap dengan zirah hitam, tak terlihat wajahnya karena ditutupi ketopong, makhluk itu membawa sabit serta lentera biru.
"Minna Hesperia, atas perintah dari Yang Mulia kami, kau akan disiksa di sini sepuluh kali lipat dari apa yang kau lakukan pada Agrafina Briella Ambrosia!" Suara makhluk itu terdengar dingin, berat, dan tak berperasaan.
"KUMOHON AMPUNI AKU. KUMOHON. KUMOHON AMPUNILAH AKU!" Kembali lagi Hesperia bersujud di hadapan makhluk berzirah hitam tersebut. "Aku akan lakukan perintah kalian, aku akan mengatakan apa pun yang kutahu mengenai Raja Iblis, tapi kumohon ampuni aku!"
"Kini siksaanmu dimulai. Kau akan bermain petak umpet dengan iblis peliharaan kami, yaitu Mirzurich Zalmos."
Maka tepat dari arah samping, Hesperia mendongak, menatap pada sosok iblis yang sangat mengerikan, dua senjata berbentuk setengah lingkaran di kedua ujung tangannya, aura gelap terpancar dari iblis tersebut yang kini sangat kelaparan dan siap untuk menyantap makanannya. "Berikan aku makan ... makan ... akhirnya ada makanan ...."
"Tidak, tidak!" Hesperia menangis kembali. "Kumohon ampunilah aku, jangan iblis itu, jangan biarkan aku mati! Kumohon ampunilah aku. KUMOHON AMPUNILAH AKU!!"
Berada di sebuah menara pengawas di wilayah antah berantah tersebut, ada ruangan kecil yang di dalamnya penuh dengan furniture yang bagus, meja bundar dengan dua kursi kemudian di atas meja tersebut penuh makanan serta teh yang baru diseduh. Perlahan Oberon meraih cangkirnya sambil menatap ke luar menara, setelah mendengar jeritan dari Hesperia. "Iblis itu akhirnya mendapatkan makan malam yang nikmat." Senyuman Oberon terukir sambil ia menyeruput tehnya.
"Yang Mulia De Lune, tugas yang Anda berikan sudah kulaksanakan. Semoga hari Anda, menyenangkan."
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Bagaimana dengan chapter ini? Siap untuk menuju kata tamat^^
Akhirnya ya, Anila dan Mylo berhasil juga meluk Aalisha meski tidak dibalas sama dia, tapi sudah lebih dari cukup bagi mereka~
Prins Llumière
Sabtu, 18 Februari 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top