Chapter 73
|| Apakah kalian siap?
Hozier terbangun, tanpa berucap apa pun, ia terkejut bukan main ketika seorang pria yaitu tuan Alfonso, alias pamannya mendekap tubuh Hozier dengan erat begitu saja. Tangis terdengar, isakan tak berhenti, pria yang menjadi kepala desa itu mengucapkan terima kasih dan rasa syukur berulang kali karena Hozier kembali dengan selamat, tanpa kurang satu pun.
"Aku baik-baik saja Paman," ujar Hozier untuk menenangkan tuan Alfonso, habisnya berkali-kali pula dia meminta maaf karena tak bisa menjaga Hozier hingga anak itu dalam bahaya.
"Sekali lagi, aku minta maaf karena tidak bisa menjagamu. Syukurlah kau selamat dan kembali, aku benar-benar berterima kasih pada anak-anak Eidothea itu, terima kasih, syukurlah kaukembali." Setelah itu, tuan Alfonso pergi karena dipanggil salah satu warga, lalu tak lama seorang perempuan berambut panjang, sangat cantik, menghampirinya.
"Halo, bagaimana dengan kabarmu? Apa sudah agak mendingan." Kini ia berjongkok sambil tersenyum lembut.
"Sudah, maaf kau siapa ya?" Hozier hanya menebak-nebak saja, tapi besar kemungkinan tebakannya benar.
"Namaku Nathalia, aku murid Eidothea juga, teman dari orang-orang yang menyelamatkanmu."
Hozier sedikit berkaca-kaca, ia ingat jika perempuan inilah yang membantunya ketika Hozier tiba di desa Shakaleta setelah menunggangi para serigala. Ternyata murid Eidothea, murid dari profesor Ambrosia sangatlah baik, mereka rela menolong desa yang terbilang dilupakan pihak kekaisaran ini. "Makasih, sudah membantu desa ini."
"Ini belum seberapa, mereka yang di luar sanalah yang paling berjasa, aku hanya membantu sebisaku saja," ujar Nathalia.
"Tak masalah, aku tetap berterima kasih padamu." Hozier sesaat mengedarkan pandangannya, mencari-cari seseorang. "Boleh aku tahu di mana nona Ambrosia?"
"Ah, kaukenal profesor kami? Ya, dia juga selamat bersama dengan nona Lilura, sekarang dia berada di ruangan lain."
"Apa aku boleh menemui?"
"Tentu saja." Maka Nathalia membantu Hozier turun dari ranjang pesakitan, menggenggam erat tangan anak itu, kemudian berjalan bersama menuju ruangan lain di rumah ini.
Dari daun pintu yang tak tertutup pintunya, Hozier meneteskan air mata ketika melihat Lilura tengah duduk di atas ranjang pesakitan, sementara itu seorang wanita terbaring di sana. Begitu damai dan tenang, napasnya beraturan, luka-lukanya sudah diberi obat dan diperban, ya, Ambrosia ibarat seorang putri yang tertidur.
"Nona Lilura!" Hozier berlari, ia hampir jatuh karena tersandung kakinya sendiri, Lilura yang tersadar akan kehadiran anak lelaki itu lekas menoleh. Kemudian terkejut karena Hozier menariknya kemudian mendekap Lilura kuat-kuat. "Kauselamat, kau benar-benar selamat. Dia tak berbohong, dia benar malaikat penyelamat kita!"
Lilura merasa agak tercekik, ia tidak bisa berdiri karena kedua kakinya hancur, tak kuat juga melayang karena sumber neith-nya sudah menipis akibat pemiliknya lagi tak sadarkan, jadi ia hanya bisa meminta pada Hozier saja. "Iya Nak, aku selamat, aku selamat jadi bisakah kau berhenti memelukku, aku terhimpit."
"Baiklah!" ucap Hozier perlahan meletakkan Lilura di atas ranjang pesakitan lagi. Kini bisa boneka itu lihat, tangis haru dan kebahagiaan karena tulusnya anak itu mengkhawatirkan Lilura dan juga Ambrosia.
"Sudah ya, jangan menangis lagi." Lilura berujar lembut sebisa mungkin, ia lalu menatap pada Nathalia, berjongkok di dekat Hozier sambil mengelus rambut anak itu dengan pelan.
"Aku takut, aku takut kalau nona Ambrosia tidak sadar, dia kena racun, dia banyak berdarah." Hozier berucap sekali tarikan napas.
"Hozier," ujar Nathalia, "profesor Ambrosia baik-baik saja, dia sudah sudah diobati, racunnya juga susah kakak buang. Sekarang profesor Ambrosia hanya kelelahan jadi tidur lagi. Dia akan segera sadar. Karenanya Hozier sudah nggak usah nangis lagi."
Anak itu mengangguk, ia menghapus air matanya menggunakan sapu tangan yang diberikan Nathalia. "Nanti kalau nona Ambrosia sudah sehat, aku mau minum teh sama-sama."
"Ya," sahut Lilura, "kita akan minum teh."
"Dengan nona Aalisha juga ya!" Hozier menatap Lilura dengan mata berkaca-kaca, ia sangat mengharapkan hal ini. Sementara itu, Nathalia sedikit terkejut karena tak habis pikir jika anak yang sering dibicarakan satu akademi itu, bisa berperan penting di sini. Takdir memang tak ada yang tahu ya.
Lilura mengangguk. "Tentu, nona Ambrosia sering mengajak murid-muridnya minum teh, jadi kita pasti akan mengajaknya, kita ajak juga tiga Majestic Families, kau juga Nona Clodovea."
Terdengar suara Hozier yang berteriak penuh kegirangan. Lalu Nathalia berujar sambil menatap Lilura. "Lebih bagus lagi, kalau kita minum tehnya di akademi Eidothea, bukan?"
"Benarkah? Minum teh di akademi itu?!" timpal Hozier.
Hendak sekali Lilura menyahut, ya! Namun, mengingat apa yang telah terjadi, Ambrosia hampir membunuh tiga murid meski karena dikendalikan Hesperia, serta Ambrosia dianggap buronan oleh pihak kerajaan Kheochiniel. Sudah dipastikan jika Eidothea takkan menerimanya lagi.
"Entahlah, aku tidak yakin untuk diterima di sana lagi bersama Ambrosia," sahut Lilura terdengar sendu, hal ini membuat Hozier sedih juga.
Hanya saja, Nathalia tak berpikir begitu. Ia menyentuh jemari Lilura kemudian dibawanya menuju tangan Ambrosia. "Eidothea akan menerima kalian lagi, aku yakin itu. Karena Eidothea adalah rumah, begitu pula rumah untuk Anda dan profesor Ambrosia."
Lilura tersenyum tipis. "Ya kau benar." Lalu Lilura mengelus puncak kepala Hozier yang jadi tersenyum sumringah kembali.
Pembicaraan mereka usai dadakan ketika dari luar rumah ini terdengar ledakan dahsyat hingga burung-burung berterbangan. Lekas mereka keluar dari rumah tersebut, Hozier mengikuti langkah Nathalia yang menggendong Lilura. Berada di luar, banyak warga berkumpul juga, mereka menatap ke arah barat hutan Kimari. Terlihat asap hitam membumbung.
"Arah barat, para Majestic Families di sana," jelas Nathalia.
Lilura menyahut, "apa yang mereka hadapi?"
"Terakhir kali ketika masih bisa bertukar kabar, Eloise bilang jika iblis tingkat menengah yang mereka hadapi."
"Oh Dewa, ini gawat, meski mereka Majestic Families, tapi melawan iblis tidaklah mudah," ujar Lilura. Organisasi Phantome Vendettasius memang tak main-main ketika hendak mengambil apa yang mereka mau. Lilura kembali bersyukur karena Aalisha berhasil menyelamatkan Hozier, tidak terbayangkan bagaimana cawan ini berada di tangan iblis.
Ledakan terdengar kembali bersamaan angin bertiup kencang berasal dari arah Timur hutan kimari. Hal ini sukses membuat rasa takut menyeruak ke diri Lilura.
"Maaf Nona Lilura, daerah hutan itu. Apa di sana keberadaan Aalisha dan dua temannya?" ucap Nathalia. Gawat sekali jika terjadi pertarungan serius, meski Aalisha berhasil menyelamatkan Ambrosia dan Lilura, tetap saja jika menghadapi para Phantomius terlebih-lebih seekor iblis, maka pasti akan sulit baginya.
"Aku tidak tahu kalau dua temannya, tetapi nona Aalisha benar ada di sana." Lilura semakin dipenuhi kekhawatiran. Sementara itu, Hozier sesaat menatap pada Boneka itu.
"Andai aku bisa membantu, tapi aku harus di sini jika pasukan monster berhasil menembus barrier." Natalia jadi berpikir keras. "Apa kusuruh salah satu Majestic Families menolongnya, harusnya Nicaise mau saja jika kupinta ...."
"Kalian jangan khawatir," ujar Hozier tiba-tiba, Lilura dan Nathalia menoleh pada Hozier yang memberikan senyuman lebar. "Nona Aalisha sangat-sangat kuat!"
"Kau bilang apa?" Nathalia kebingungan.
Sedangkan Lilura hanya diam, munafik jika dia tak paham maksud perkataan Hozier karena dengan matanya sendiri, ia melihat betapa kuatnya gadis kecil yang telah memasang topeng tebal yang berhasil membohongi satu Eidothea.
Tak lama Hozier terdengar berujar kembali dengan sangat bangga. "Meskipun dia bukan titisan Dewi Aarthemisia, tapi aku yakin dia sangat disayangi Dewi, karenanya dia begitu kuat. Dia adalah malaikat yang akan melindungi kita, melindungi Athinelon ini."
Bisakah perkataan polos dari seorang anak berumur enam tahun ini terkabulkan oleh Para Dewa atau takdir sudah dituliskan dengan sangat sempurna? Karena sungguh jika sang gadis yang berada di Timur hutan Kimari mendengar jika ia diibaratkan sebagai malaikat pelindung, maka ia akan tertawa sangat kencang. Ia tidak bisa dijadikan sebagai malaikat karena kebaikan akan sulit dikaitkan dengan dirinya yang lahir dari darah De Lune, keluarga kejam yang tak kenal ampun.
Maka bagaimanakah kekejaman yang ada di dalam diri sang putri De Lune yang disembunyikan?
Aalisha mencabut pedangnya setelah membunuh minotaur hanya dengan sekali tebasan, ia tersenyum tipis ketika melihat sosok berjubah hitam tengah melangkah mendekatinya. "Akhirnya, aku bisa bertemu lawan yang setara. Kuharap."
"Tak kusangka, anak cacat sepertimu benar-benar mengacaukan rencana kami. Harusnya kau adalah target yang Ambrosia bunuh, agar kau segera lenyap dari dunia ini." Perlahan seseorang itu membuka tudung wajahnya.
"Jangan sebut nama profesor Ambrosia, dia tak ada hubungannya dengan kalian lagi, dia terlalu baik dan suci untuk makhluk busuk seperti kalian. Terutama kau Zahava."
Zahava memperhatikan Aalisha, melirik ke sekitar gadis itu, para monster yang Zahava panggil ternyata mati dalam sekejap saja di tangan gadis itu. Lalu tiga Phantomius bawahannya juga mati dibunuh olehnya. Dipikir-pikir lagi, sejak awal gadis itu selalu berhasil menghindari kematian, dimulai dari rencana Zahava membunuhnya ketika praktik sihir mata pelajaran Arthur, disusul Jasmine Delilah dikendalikan Hesperia untuk membunuh anak itu, tapi gagal juga. Kemudian hendak memfitnahnya sebagai pembunuh Elijah dan oknum yang membakar kuil, gagal pula. Hingga mengirim minotaur tingkat tinggi ke Chrùin Games, ternyata sama gagalnya membunuh gadis itu.
"Awalnya kupikir, kau selamat berkali-kali melewati kematian, karena kau hanya beruntung. Aku sempat percaya, jika Tamerlaine berhasil menyelamatkanmu saat serangan minotaur di Chrùin Games, tapi melihat pemandangan di depan mataku ini. Kurasa kau bukan beruntung, tapi kau mampu melewatinya dengan tanganmu sendiri." Kini Zahava takkan menganggap gadis kecil ini sebagai manusia cacat, sungguh di luar dugaan karena ia cukup cerdas dan kekuatan yang ia miliki ternyata sebuah sandiwara belaka.
"Ah, akhirnya sadar juga kau. Butuh berapa lama? Lima bulan. Ternyata kau tak secerdas yang kupikirkan."
Zahava berusaha sebisa mungkin tidak terpengaruh perkataan Aalisha karena gadis itu nyatanya pandai bermain kata. "Melihatmu, kau cukup manipulatif, berapa banyak kebohongan yang kau lakukan? Lalu siapa kau sebenarnya?"
Aalisha sengaja menghela napas kuat-kuat, membuat wajahnya pura-pura sangat melelahkan. "Entah sudah berapa kali ada yang bertanya siapa aku." Ia geleng-geleng kepala. "Sudah kukatakan, aku hanya murid Eidothea biasa. Harus berapa kali kukatakan?"
Pentagram sihir hitam muncul, sebuah tongkat dimunculkannya. Kemudian tangan Zahava menjalar sebuah rune berwarna hitam di tangannya yang memegang tongkat. Lalu tongkat itu bersinar kehitaman, neith terpancar sangat kuat. "Kurasa aku akan membuat kau membuka mulut dengan cara yang kejam."
"Mari kita lihat." Aalisha malah bersedekap, harusnya ia bisa saja menyerang selagi Zahava mempersiapkan sihirnya yang entah apa itu. Namun, ia hendak melihat sihir jenis apa yang akan digunakan Zahava, jadi Aalisha membiarkan Zahava agar lancar sihir yang digunakannya. Hal ini sesaat membuat Zahava dongkol. Ternyata kesombongan yang dimiliki Aalisha bukan karena sekadar nekat, tetapi karena dia menyembunyikan kekuatannya, semuanya adalah sandiwara saja.
"Coniuro vos, inferni habitatores, desolationem, cruciatum, diabolum crudelem; Amarax en Arbatos."
Maka pentagram sihir hitam muncul di permukaan tanah yang kini keluarlah iblis yang dipanggil oleh Zahava. Iblis pertama bernama Amarax, sosok iblis tingginya mencapai setengah dari empat meter, seluruh tubuhnya abu-abu yang seperti dari tulang saja, tubuhnya kekar, sedikit berotot, tak mengenakan pakaian, kepalanya ada tiga dan bentuknya tengkorak manusia semua, kemudian ada tiga ekor panjang dengan ujung tajam dan mengeluarkan cairan hitam, tangan iblis tersebut ada empat, dua tangan membawa pedang bergerigi, menetes pula cairan merah dari pedang tersebut. Sementara itu, iblis kedua bernama Arbatos, sosok Iblis yang lebih tinggi beberapa sentimeter dari iblis sebelumnya, wajah iblis itu menyerupai banteng atau kambing, tubuhnya merah, cairan aneh menetes dari seluruh tubuhnya hampir seperti lilin yang dibakar api, ada dua tanduk menjulang tinggi, serta giginya sangat tajam dengan lidah panjang. Di punggung iblis tersebut ada papan terbuat dari besi yang ada ukiran dari aksara kuno, jika diartikan aksara kuno itu bertuliskan kematian. Tangannya cuma dua dan membawa pedang tipe katana.
Aalisha hanya diam saja meski yang akan ia hadapi adalah iblis, dua iblis malah yang kemungkinan berada di tingkat menengah atau malah tinggi. Ini juga pertama kalinya ia melihat dua jenis iblis tersebut. Apakah ia takut? Tentu saja tidak.
"Melihatmu masih tenang ...." Zahava berujar, kedua iblis melangkah pelan, setiap langkah mereka terdengar suara patah tulang. "Sepertinya ini bukan pertama kalinya kau bertemu dengan iblis 'kan?"
"Ya, aku sudah sering bertemu iblis dan monster." Aalisha menyahut tanpa ragu, Zahava diam, mengamat-amati, berpikir sebanyak mungkin asumsi untuk menjawab siapa gadis itu yang sebenarnya.
"Tak kusangka, aku jadi makin penasaran, siapa kau, mengapa bersandiwara di hadapan seluruh penghuni Eidothea?" Zahava mengentak-entakan tongkatnya.
"Sandiwara, aku bukan bersandiwara, kau sajalah yang terlalu bodoh," sahut Aalisha, memasang kuda-kuda bertarung.
"Beruntung kau takkan kubunuh sebelum kuketahui siapa kau yang sebenarnya, tapi menyiksamu adalah bagian dari kesenangan. Amarax!" Zahava berteriak.
Maka Amarax bergerak, ia benar-benar cepat, sampai Aalisha tidak bisa melihat gerakannya yang tiba-tiba saja iblis tersebut muncul di belakang Aalisha. Lekas gadis itu berbalik, mengayunkan pedangnya, tetapi Amarax menghilang tiba-tiba kemudian dari dalam tanah, puluhan tali penuh duri muncul dan langsung menerjang, berhasil tali-tali berduri itu menggores beberapa bagian tubuh Aalisha; paha kiri, perut, bahu, lengan, hingga lehernya. Kini Aalisha terdesak ketika suara teriakan terdengar nyaring dari kepala kiri Amarax kemudian membuat pandangannya buram, lalu detik selanjutnya satu tebasan berhasil mengenai dada Aalisha hingga gadis itu menghantam tanah begitu kuat. Tidak mau ambruk, lekas Aalisha bangkit kembali, suara dentingan pedang terdengar ketika pedangnya bersinggungan dengan pedang merah Amarax, lalu kepala Amarax sebelah kanan bergerak kemudian terbuka maka bau tak sedap tercium ke hidung Aalisha. Gadis itu sadar bau apa yang ia cium itu.
"Igniesco!" teriak Aalisha, ledakan dahsyat terjadi, ia terlempar jauh sementara Amarax tidak terluka sama sekali. Aalisha sengaja melakukan hal ini agar jarak terbuat antar keduanya, agar Aalisha tidak terlalu lama menghirup bau busuk yang dihasilkan kepala kanan Amarax. Kini Aalisha ambruk, memuntahkan darah yang bercampur cairan ungu, ya itu bukanlah darah karena kekuatannya mencapai batas, tetapi karena efek dari kepala kanan Amarax.
"Sepertinya kau sadar, jika tiga kepala Amarax memiliki tiga kekuatan yang berbeda-beda, lalu kini kau sudah terkena racunnya." Zahava mengentak-entakan tongkatnya lagi, kini Amarax diam, sementara itu Arbatos perlahan bergerak.
"Arbatos, hancurkan gadis itu, tapi jangan kau bunuh!" Suara teriakan terdengar, maka Arbatos menerjang.
Aalisha mengambil Aeternitas lagi, langsung ia ayunkan pedangnya itu karena Arbatos menyerang tanpa segan, tanah yang Aalisha pijak retak akibat serangan Arbatos yang kuat sekali, ia juga merasa kalau kedua tangannya tidak bisa menahan serangan Arbatos yang melebihi berat badannya. Aalisha kembali terdesak. "Diffunditur Elektra!"
Maka listrik mengalir mengenai Arbatos, menjeritlah iblis tersebut, tetapi tidak lama karena satu papan besi di punggung seketika memanjang kemudian sihir Aalisha lenyap seketika, kini Arbatos meraih kerah baju Aalisha lalu ia hantamkan gadis itu ke tanah hingga pedangnya terlepas. Lalu katana Arbatos diayunkan sangat cepat, hendak menebas kaki Aalisha, tetapi gadis itu lebih dulu menggunakan mantra yang membuat besi-besi panas muncul dari tanah kemudian menusuk kaki Arbatos, lekas sang iblis melompat. Aalisha merangkak, hendak meraih pedangnya, tetapi serangan listrik dilancarkan Arbatos hingga tubuh Aalisha terkena dan terselimuti listrik, sukses gadis kecil itu menjerit sakit akibat listrik tersebut seolah hendak membakar dirinya.
"Lumpuhkan dia, Amarax," perintah Zahava.
Tanpa ampun, Aalisha yang masih kejang akibat serangan listrik. Amarax lekas menerjang, persis di hadapan Aalisha, lalu pedangnya ia angkat, berniat menusuk titik vital gadis itu supaya dia tidak bisa bertarung lagi. Suara teriakan Amarax terdengar, tetapi sebelum berhasil menusuk Aalisha, gadis itu merapalkan mantra yang sukses tubuh Amarax tertahan rantai-rantai besi dari pentagram sihir Aalisha. Lalu rapalan mantra terdengar kembali. "Frigus Aquemerium!"
Air bah langsung menyapu Amarax, membawanya pergi dari Aalisha, begitu juga Arbatos yang tersapu ombak, sedangkan Zahava melompat menuju tanah yang takkan terkena serangan Aalisha. Senyuman terukir di wajah Zahava, sihir Aalisha tidak bertahan lama, lihatlah sang Arbatos yang menyerap sihir tersebut kemudian papan besi di punggungnya kembali memanjang satu.
Aalisha menyeka mulutnya karena ia muntah darah lagi. "Sudah kuduga, iblis Arbatos itu mampu menyerap sihir, lalu besi di punggungnya menjadi tanda jika sihirnya berhasil diserap, lalu dia bisa mengembalikan serangan sihir yang ia serap."
Langkahnya mulai sempoyongan, Zahava memperhatikan Aalisha, betapa ia senang sekali melihat gadis kecil itu berusaha susah payah demi bertahan hidup. Ya, ia paling senang melihat seseorang menderita. "Kau akan mati karena racun, aku bisa saja membantumu untuk menghilangkan racun itu, tapi dengan satu syarat jadilah budakku."
Aalisha tahu, mustahil dia menggunakan kemampuan mistis di saat seperti ini karena ia akan ambruk akibat mencapai batasannya. Semua ini karena segel sialan dalam tubuhnya! "Coba katakan satu kali lagi."
"Jadilah budakku, maka akan aku ampuni."
Maka Aalisha tersenyum, ia tancapkan Aeternitas-nya ke tanah, tepat di depannya. "Siapa kau berani menjadikan aku budak? Lagi pula racun ini tak seberapa."
Dia memunculkan invinirium, lekas diambilnya sebuah jarum suntik berisi cairan kuning. Kemudian tanpa ragu dia tusuk ke lehernya, cairan itu masuk ke dalam tubuhnya, bau obat tercium sangat kuat, kemudian dibuangnya jarum suntik tersebut.
"Percuma, kau akan tetap mati karena obat seperti itu takkan menyembuhkanmu," sahut Zahava.
"Memang benar jika obat murahan, tapi beda hal lagi jika obat ini diracik oleh Majestic Family, Nerezza yang ahli dalam bidang obat dan ramuan."
Mendengar perkataan Aalisha, Zahava langsung waspada penuh. "Arbatos, serang dia!"
Maka air bah yang Arbatos serap kini ia jadikan serangan besar pada Aalisha, tetapi gadis itu sudah tahu, maka Aeternitas-nya bersinar dan ketika air tersebut mengenai bilah pedangnya, terbelah air tersebut kemudian menjadi uap yang menutupi pandangan semua yang ada di sana. Setelah serangan Arbatos usai, lekas Aalisha menerjang, kemudian Amarax menahan serangan tersebut dengan pedangnya. Aalisha berpijak ke tanah, menggunakan sihir yang menghantam perut Amarax, kemudian ia ayunkan kembali pedangnya, bersamaan ia memunculkan tombak biru kemudian dilapisi sihir listrik, lalu ia lempar tepat ke dada Amarax hingga menembus iblis tersebut, membawanya melesat cepat, kemudian menghantam tanah.
Kini giliran Arbatos yang menyerang Aalisha dengan cara membabi buta, tetapi Aalisha takkan menggunakan sihir yang akan diserap oleh Arbatos lagi, jadi ia harus ladeni iblis tersebut dengan adu pedang. Keduanya sama-sama penuh luka karena saling mengayunkan pedang. Ketika sama-sama hendak menebas dengan kuat, Aalisha menciptakan selubung neith, lalu ada jeda serangan Arbatos pada Aalisha yang menjadi kesempatan Aalisha menebas perut Iblis tersebut hingga darah memuncrat, kemudian Aalisha kembali menggunakan sihir berupa besi-besi yang muncul dari tanah dan menusuk tubuh Arbatos. Jeritannya terdengar. Namun, dengan cepat Amarax muncul di hadapan Aalisha, menggunakan kepala kirinya untuk membuat Aalisha jadi kehilangan fokus, lalu hendak ia tebas dan penggal kaki gadis tersebut, sayangnya gagal karena Aalisha memunculkan rantai besi yang memaksa tubuh Amarax tertarik ke tanah.
Apakah sudah usai? Amarax marah kemudian kepala tengahnya mendongak, terbuka lebar mulutnya supaya asap hitam keluar lalu merasuki lawannya sebagai syarat agar sihirnya berhasil. Harusnya serangan sihirnya diperuntukkan pada Aalisha, tetapi bukannya asap hitam tersebut merasuki Aalisha, malah jadi tak terkendali kemudian merasuki tubuh Arbatos dengan cepat.
Kini ambruk Arbatos ke tanah, iblis tersebut meraung-raung kesakitan, menggelejat, darah keluar semakin banyak dari mulutnya, hidung, hingga kedua mata. Tubuhnya sangat kesakitan, organ dalamnya mati rasa. Zahava yang menyaksikan hal itu langsung berteriak, "Amarax bodoh, mengapa kau menyerangnya! Bukan gadis itu!!"
Aalisha tersenyum, maka sebelum Arbatos benar-benar mati. Ia merapalkan mantra yang sukses besi-besi panas dari dalam tanah menembus seluruh tubuh iblis tersebut hingga akhirnya ia mati. "Kutukan penyiksa benar?" Aalisha berucap sambil menatap Zahava, sedangkan tangan kanannya terarah pada Amarax yang masih dijerat rantai. "Kepala ketiga iblis ini menciptakan asap hitam yang merupakan kutukan penyiksa, tetapi ia salah target. Sungguh bodoh."
Kini Amarax menjerit-jerit kesakitan karena tubuhnya terasa panas akibat rantai-rantai yang melilitnya tubuhnya seperti api yang membakar, sihir ini semakin diperparah ketika Aalisha menggunakan sihir listrik yang membuatnya jadi kejang-kejang tak berhenti, lalu diakhiri dengan Aalisha menebas ketiga kepala Amarax yang kini sang iblis mati, lalu berubah jadi abu dan terbang tertiup sepoi angin.
Zahava diam, ia tak menyangka jika gadis kecil itu bisa mengalahkan dua iblis padahal sebelumnya terdesak. "Jangan pikir kau sudah menang, aku baru saja mulai." Seekor minotaur datang dari arah belakang Zahava, membawa pedang yang sangat tajam dan bergerigi. "Kini mari bermain lagi---arghhrrrrkk."
Darah memuncrat ketika pedang minotaur tersebut malah menusuk ke dada Zahava, sukses pria itu menatap pada minotaur di belakangnya. "Siaaaal, kenapa kau malah menusukku!" Zahava berujar dan darah memuncrat dari mulutnya, detik selanjutnya ia merasakan aura kuat terpencar yang ternyata Aalisha sudah mengaktifkan pedang Aeternitas-nya.
"Aeternitas, penuhi permintaanku!" Terdengarlah suara Aalisha.
Maka ayunan pedang Aeternitas itu menciptakan serangan yang sangat dahsyat, berhasil membunuh minotaur yang menusuk Zahava dalam sekali serang begitu juga berhasil memutus tangan Zahava hingga jeritan melalang buana dan darah tergenang di tanah. "Sialan kau biadab!"
Pria itu, hendak meraih tangannya kembali karena ia bisa menyambungkan tangannya, tetapi belum jemarinya menyentuh tangannya yang putus tersebut. Tiba-tiba seekor Beer Misvormwolfir muncul, mengambil tangan tersebut kemudian dia makan. Zahava terkejut bukan main. Monster gila, bagaimana bisa dia makan tangan Zahava!! Lalu tak lama sang Beer Misvormwolfir mengangkat tubuh Zahava kemudian dilemparnya cukup jauh hingga menghantam tanah dengan kuat, bertepatan itu juga, Sang monster tersebut mati tak bersisa di tangan Aalisha akibat serangan Aeternitas.
Kini gadis itu terus melangkah, ia gunakan sihir menciptakan air bah hingga tubuh Zahava terdorong dan basah kuyup, kemudian datang lagi minotaur yang dengan cepat menusuk perut Zahava menggunakan pedangnya, pria itu berteriak dan darah keluar banyak dari mulutnya, setelah dilepas pedang yang menusuk tersebut. Aalisha gunakan sihir listrik sehingga Zahava maupun Sang minotaur kejang, lalu Aalisha penggal kepala Sang minotaur dengan satu kali ayunan. Detak jantung Zahava sudah tak stabil, tubuhnya mati rasa, darah tak berhenti keluar dari lengannya yang putus serta perutnya yang bolong. Ia hendak menyeret tubuhnya, tetapi lekas Aalisha gunakan sihir yang membuat akar tanaman menyeret tubuh Zahava menjauh dari Aalisha. Kini Zahava menyadari sesuatu.
"Kau!" Darah memuncrat ketika ia membuka mulutnya. "Kau kendalikan para monsterku untuk menyerangku! Kau kendalikan mereka! Bagaimana bisa?!"
Aalisha tersenyum tipis, kini datanglah Beer Misvormwolfir yang awalnya hendak menyerang Aalisha, tiba-tiba saja monster tersebut malah mengangkat gadanya ke arah Zahava, kemudian diayunkan lalu menghantam kuat kedua kaki Zahava, dihantam terus-menerus sampai kedua kaki tersebut remuk, tulang-tulangnya patah dan hancur, darah keluar lagi dari kedua kakinya yang pecah pembuluh darahnya. Kemudian sebelum Sang monster beralih menatap Aalisha, sebelum monster itu sadarkan diri. Sudah mati monster tersebut akibat tertusuk besi-besi yang keluar dari dalam tanah.
"Lima detik," ujar Aalisha, "kukendalikan setiap Monster yang datang kemari selama lima detik lalu menghancurkanmu, kemudian kubunuh mereka sebelum mereka sadar. Nah Zahava, bagaimana rasanya dihancurkan berkeping-keping oleh para monstermu sendiri?"
"Gila, kau gila! Bagaimana bisa kaukendalikan mereka!" Zahava sudah tak bisa menyeret tubuhnya, kini ia hanya terkapar di tanah, tetapi berusaha menggunakan sihir penyembuhan yang sukses menghentikan pendarahannya. "Apa kau sembunyikan Zephyr! Kaugunakan benda itu 'kan?!"
"Bisa-bisanya kau pikir aku gunakan benda murahan itu?" Aalisha kini berjarak beberapa sentimeter saja dari posisi Zahava yang sudah diambang kematian. "Coba kaugunakan otakmu lebih cerdas lagi Zahava. Mustahil aku menggunakan benda murahan itu."
Mata Zahava membulat ketika para serigala datang, padahal ia tidak memanggil serigala-serigala itu. Kini sekitar sepuluh serigala mengelilinginya dan juga Aalisha, lalu satu serigala terlihat berada di dekat Aalisha kemudian memberikan penghormatan sesaat, sebelum duduk di rerumputan dan menatap tajam pada Zahava. "Kini kau mulai paham?" Aalisha berucap, "kau mau tahu alasan mengapa Hesperia gagal membunuhku?"
"Kau melawan Hesperia, apa dia mati? Kau membunuhnya?!"
"Ya, dia mati karena Zephyr yang digunakannya tidak bisa mengendalikanku atau mudahnya, posisi Zephyr sangatlah rendah di hadapanku." Senyuman Aalisha terukir. "Apa kau sudah bisa menebak siapa aku, Dommi Erick Zahava?"
Hendak Zahava menyangkal pemikirannya sendiri, tetapi melihat apa yang terjadi di sini dengan kedua matanya sendiri, ia tak bisa menyangkalnya. Tidak ada di dunia ini, kekuatan yang bisa mengendalikan makhluk hidup di luar kekuatan sihir terkecuali kemampuan spesial yang dimiliki keluarga agung yang menjadi salah satu stabilitas Athinelon. Ya, maka satu-satunya jawaban adalah--- "Mustahil, mustahil kau adalah Majestic Families! MUSTAHIL KAU KETURUNAN DE LUNE!"
"Ya Zahava! Kau benar, sangat benar! Itulah aku, Putri dari salah satu Keluarga Agung, putri dari Dewa berwujud manusia yang hidup di Athinelon ini. Putri dari Kepala Keluarga De Lune, Aalisha Galad De Lune."
"AKU TAK PERCAYA PADAMU! AKU TAK PERCAYA!" Suara Zahava menggelegar saking dia menyangkal akan keberadaan Aalisha. "KEPALA KELUARGA DE LUNE HANYA MEMILIKI SATU ANAK, MUSTAHIL KAU ADALAH ANAK KEDUANYA. MUSTAHIL."
Seluruh makhluk di Athinelon terutama bangsa manusia tahu, jika Teresa De Lune, istri dari Kepala Keluarga De Lune telah mati sekitar 11 tahun yang lalu. Kemudian dunia hanya mengetahui jika Keluarga De Lune hanya memiliki satu keturunan utama yaitu Aldrich De Lune. Tidak ada keturunan selanjutnya, tidak ada kabar pula jika Teresa hamil anak kedua, begitulah yang dunia ketahui. Namun, berbeda halnya jika ternyata ada rahasia yang disembunyikan Keluarga De Lune. Rahasia yang hanya diketahui segelintir manusia, barangkali hanya pihak keluarga De Lune saja yang tahu, barangkali Majestic Families lain pun tak tahu pula karena Keluarga De Lune sangat menyembunyikan kehamilan Terasa.
Hanya saja, entah bagaimana caranya sampai Raja Iblis Ezequiel mengetahui rahasia ini, begitu pula para Apos'teleous bahwa kenyataannya bahwa Teresa De Lune hamil anak kedua, lalu kehamilan ini dirahasiakan demi melindunginya serta anak keduanya.
Hingga pada suatu malam di bulan ketujuh, pada usia kehamilan tujuh bulan Teresa De Lune, takdir telah ditetapkan para Dewa. Takdir yang sangat mengenaskan.
"Apa yang membuatmu tak percaya jika aku adalah keturunan utama De Lune, apakah bukti kekuatanku tidak membuatmu yakin?" Aalisha tersenyum.
"Kau berpikir aku bodoh?! Kau pikir aku tak tahu kebenarannya!" teriak Zahava, ia merinding saking takutnya.
"Apa, apa yang membuatmu tak percaya?" balas Aalisha.
Kini Zahava memaksakan senyumannya meski tubuhnya meremang saking ia ketakutan. "Meski aku hanya Phantomius rendahan, tapi organisasi Phantome Vendettasius mengetahui jika De Lune menyembunyikan bahwa Teresa hamil anak keduanya! Namun, kau bukan keturunannya!
"Kau bukanlah keturunan Teresa! Karena pada bulan ketujuh, pada kehamilan Terasa yang ketujuh bulan, anak kedua di dalam kandungan Teresa mati bersama dengannya dibunuh oleh bangsa Iblis! Anak itu mati di tangan iblis sebelum ia dilahirkan ke dunia!!"
Kini Zahava tersenyum sangat lebar, ia bisa lihat ekspresi yang berbeda dari gadis di hadapannya ini, menunjukkan jika setiap perkataannya adalah kebenaran. "Jika benar kau adalah anak kedua De Lune, maka kau harusnya sudah mati! Karena kenyataannya, anak kedua itu mati di dalam kandungan, dia tidak sempat dilahirkan!"
Ya, itulah kebenarannya! Keluarga De Lune, terutama Kepala Keluarga De Lune menyembunyikan kehamilan Teresa, menyembunyikan keturunan kedua dari seluruh dunia bahkan para Majestic Families! Serta menyembunyikan pula kematian keturunan kedua itu jika telah dibunuh oleh bangsa iblis!
"Kini aku benar 'kan, kau terlihat sangat marah. Dasar anak palsu!" teriak Zahava dengan senyuman kecilnya.
Aalisha sudah menutupi wajahnya dengan telapak tangan, tetapi menyisakan mata kanannya yang menatap Zahava begitu tajam, perlahan manik mata Aalisha menjadi berwarna emas bersamaan air mata menetes. Benar sekali jika gadis kecil itu menangis!
"Sial," ujar Aalisha, "apa aku ketahuan? Sayangnya aku tak peduli. Karena kini aku sangat marah."
"A---apa?" Zahava ingin berteriak saking ia takut sekali karena merasakan pancaran aura yang mengerikan dari gadis itu.
"Aku tak masalah kau anggap aku siapa. Hanya saja, berani sekali kau." Aalisha menurunkan tangan kirinya, memperlihatkan wajahnya, kini semakin ia genggam erat pedang Aeternitas. Lalu sihirnya ia gunakan, sihir yang sukses menusuk seluruh tubuh Zahava, hanya tersisa kepala Zahava yang tak tertusuk besi. Kini Aalisha angkat pedangnya yang bersinar kebiruan.
"Tidak, tidak, jangan bunuh aku! Jangan! Tolong ampuni aku!" Zahava berucap, ia memohon ampun, tapi tak Aalisha pedulikan.
"Mengampunimu? Kau pikir akan kulakukan? Aku sangat marah karena berani sekali kaumenyebut nama ibuku dengan mulut busukmu itu! Dasar makhluk rendahan!"
Maka tebasan Aeternitas memenggal kepala Zahava hingga putus bersamaan dengan hancurnya pepohonan di belakang Zahava akibat serangan Aeternitas yang cukup dahsyat itu. Kini kepala Zahava terguling di tanah bersamaan darah yang menggenang di rerumputan.
Perlahan Aalisha menurunkan pedangnya, ia atur napasnya agar degup jantungnya stabil. Lalu ia tatap langit-langit sambil berujar, "apakah sudah selesai, aku mau pingsan."
Sekonyong-konyong ia terkejut bukan main ketika tubuh Zahava diselimuti neith hitam kemudian terjadi ledakan sangat dahsyat, maka Aalisha melompat mundur. Ia menatap pada cahaya merah di antara asap-asap hitam yang tiba-tiba bayangan hitam dengan mata merah menyala seketika terbang ke langit. Lalu di dalam bayangan tersebut, terdapat batu merah menyala. Sialan, itu Zephyr yang kemungkinan berasal dari desa Shakaleta. Maka terdengar pula suara dari bayangan hitam tersebut, suara yang sedikit mirip suara Zahava, tetapi bergetar dan sedikit bergema.
"Wahai manusia, apa kau pikir bangsa iblis telah kalah? Dasar bodoh! Bangsa kami belum kalah!" teriak bayangan hitam tersebut.
Aalisha menatap penuh kekesalan karena belum juga usai, padahal dirinya sudah di ambang batas akibat memaksakan diri sementara segelnya terus-menerus menekan tubuhnya untuk berhenti bertarung. "Kau sudah kalah, bukankah lebih baik berdiam diri sampai kereta kuda dari neraka menjemputmu!"
Aalisha tak menyangka jika perkataannya tidak digubris. Bayangan hitam tersebut malah terbang cepat, kemudian Zephyr bercahaya kemerahan sangat-sangat terang hingga bisa terlihat jelas di mata Aalisha. Kemudian suara raungan para monster terdengar memenuhi hutan, perlahan-lahan mendatangi sumber cahaya dari Zephyr.
"BANGSA IBLIS BELUM KALAH. WAHAI PASUKANKU, DATANGLAH!" Maka menggelegar lah suara bayangan hitam tersebut.
Bibir Aalisha mencebik, ia menatap ke sisi hutan lainnya, terlihat ada cahaya kemerahan juga di hutan sebelah barat, lalu cahaya merah terlihat pula di hutan selatan. Mungkinkah keenam Zephyr kini bersinar?
"Apa yang kau rencanakan!" teriak Aalisha, sialan tubuhnya sudah gemetar karena hampir kehabisan tenaga.
"Aku meminta bantuan pada iblis yang memimpin pasukan minotaur dan Beer Misvormwolfir, pasukan monster yang kau lawan baru 45% dari total yang bisa dipanggil olehnya." Iblis yang bayangan hitam itu maksudkan adalah iblis yang Zahava temui di sebuah gua kemudian dijanjikannya akan melihat matahari dan kebebasan, maka sang pemimpin pasukan iblis itu sudah bebas, kini menginjakkan kaki di tanah Athinelon, siap untuk membinasakan desa Shakaleta dan siap untuk membawa kebangkitan Raja Iblis.
"Saat ini dia akan membawa pasukannya ke desa Shakaleta! Kami tidak hanya merebut Zephyr kembali, tapi juga akan merebut Hozier! Kau takkan mampu menghalangi kami!" teriak bayangan hitam tersebut, "LALU KAU AKAN MENJADI TUMBAL PERTAMA KAMI!!"
Tanah pun bergetar karena berbondong-bondong, pasukan minotaur dan para Beer Misvormwolfir berdatangan. Jumlah mereka sangat banyak dengan tubuh mereka dilengkapi zirah berdencing-dencing serta senjata di kedua tangan mereka.
"Kau akan mati di tangan pasukanku! Andai benar kau adalah putri De Lune maka takdir berpihak pada bangsa iblis! BANGSA IBLIS AKAN MERAIH KEMENANGAN KARENA TELAH MEMBUNUH KETURUNAN TERAKHIR DARI KELUARGA AGUNG DE LUNE!"
Maka bayangan hitam tersebut memancarkan cahaya yang merah yang kemungkinan berasal dari Zephyr, lalu selubung neith berwarna hitam seolah-olah menyelimuti sang bayangan hitam yang kemudian dia menghilang dari sana begitu saja, bersama dengan Zephyr yang akan kembali ke tangan Sang iblis yang memimpin para minotaur dan Beer Misvormwolfir.
Aalisha memegangi kepalanya yang berdenyut sakit. Lalu dari jarak lima meter lebih, terlihat para pasukan monster, ibarat ombak besar ketika tsunami hendak menerjang. Sudah tak ada pilihan untuk kabur karena kedatangan pasukan monster itu bisa membinasakan hutan Kimari ini. Perlahan Aalisha memanggil serigala di dekatnya, kemudian berujar, "pergilah bersama dengan kawananmu, peringatkan desa Shakaleta bahwa pasukan iblis mulai menyerang. Beritahu juga Majestic Families lain kalau serangan akan terjadi, lalu ...." Aalisha diam sesaat, ada jeda karena sesuatu menyeruak ke dadanya.
Setelah dirasa dadanya terasa lebih nyaman, ia pun melanjutkan perkataannya. "Lekas cari Anila dan Mylo, bawa mereka ke tempat yang aman."
Sang serigala mengangguk, kemudian melolong sangat kencang, lalu terdengar balasan lolongan dari kawanannya yang tersebar di hutan Kimari. Maka puluhan serigala tersebut mulai menjalankan perintah Aalisha. Sesaat gadis itu menatap kepergian serigala-serigala tersebut. Sekilas Aalisha melihat seekor kelinci putih yang kemudian membuatnya tersenyum kecil, lalu kelinci itu melompat pergi dari sana.
"Baiklah, tak masalah. Aku bisa hadapi, aku sudah biasa melewati semua ini sendirian, kali ini pun juga. Kali ini pun aku harus tetap hidup. Jadi mari selesaikan dengan cepat." Perlahan Aeternitas di pinggang Aalisha menghilang. Ya, pedang tersebut benar-benar menghilang. Kemudian dia berjongkok, di dekatnya ada semak-semak, maka ia memasukkan tangan kirinya ke dalam semak tersebut. Lalu Aalisha berujar, "aku memanggilmu, datanglah."
****
Konon pada zaman kuno, saat generasi kedua dari Majestic Families serta Keturunan Utama De Lune, sebuah pedang Termasyhur dan Maha Dahsyat tercipta. Pada usianya remajanya, Sang keturunan De Lune berhasil menumbangkan pohon Cyrah Amathaunta yang katanya selama jutaan tahun tak pernah tumbang, ia ambil kulit pohon tersebut beserta baja Wootz yang sangat langka.
Keturunan ini pula dan pasukannya yang berhasil mengalahkan Naga Qavyrrien Irveirth---mengambil sisik dari sayapnya, begitu pula pohon Daidronth yang katanya tumbuh di sekitar wilayah kekuasaanya. Semua material itu, ia bawa ke pengrajin pedang paling terkenal pada masa itu, Itxaro Massacre. Dikarenakan salah satu material utama pedang tersebut adalah pohon Cyrah Amathaunta; pohon Dewa yang dapat memberikan Berkah serta Kutukan, maka begitu jugalah pedang tersebut.
Selain mendapat berkah, pedang itu juga mendapat kutukan di mana banyak yang berkata bahwa pedang tersebut lebih dominan menyebarkan kutukan. Hal ini didukung dengan banyaknya kematian yang direnggut oleh pedang tersebut.
Layaknya pedang magis yang tidak sembarang orang dapat menggunakannya. Maka pedang tersebut akan memilih siapa yang pantas menggunakannya. Bagi mereka yang tidak terpilih dan memaksakan hendak menggunakan pedang tersebut, konon akan terluka atau neith yang ada di dalam tubuh mereka akan diserap pedang tersebut hingga mencapai batas; kematian.
Dunia tahu bahwa pedang tersebut hanya memilih master yang benar-benar mampu menggunakannya karena pedang itu tercatat sebagai salah satu pedang yang dianggap sebagai pedang yang diciptakan oleh para Dewa langsung. Alasannya karena pedang tersebut berasal dari Cyrah Amathaunta yang merupakan pohon Dewa, serta salah satu pohon favorit dari Dewi Aarthemisia dan juga Dewa Kehancuran. Atas hal inilah di badan pedang tersebut terukir aksara kuno, Ego Sum Deus yang artinya Aku Adalah Dewa.
Maka pedang Dewa ini mendapat julukan Deus Sword of Chaos atau Pedang Dewa Kekacauan, ya pedang ini bernama Orfhlaith Leucothea.
Setelah kematian pemilik pertama pedang Orfhlaith Leucothea. Sangat banyak di antara keturunan di bawahnya yang berselisih akan kepemilikan pedang tersebut, tetapi sayang, mereka semua tidak terpilih. Akibat tidak ada yang mampu, maka dibuatlah sayembara untuk seluruh umat manusia dari kalangan mana pun entah Borjuis maupun Proletar agar mencoba pedang tersebut dan mereka yang terpilih boleh membawanya.
Sangat berbeda dengan pedang magis lainnya yang kebanyakan sudah pernah memiliki lebih dari 50 pemilik selama ribuan tahun. Namun, pedang Orfhlaith Leucothea diketahui hanya memiliki tujuh pemilik saja. Lalu siapa pemilik pedang Dewa ini sekarang?
"Aku memanggilmu, datanglah." Maka cahaya emas bersinar dari dalam semak tersebut, lekas Aalisha genggam benda yang ia panggil tersebut dengan kuat, lalu perlahan ia berdiri.
Ternyata yang Aalisha panggil adalah sebuah pedang bertipe longsword. Pedangnya berbilah besar, tipis, dan kedua sisinya yang sangat tajam. Bilah pedangnya berwarna putih, sedangkan gagangnya berwarna emas serta ada ukiran hitam sedikit. Begitu pula dengan sarung pedangnya yang berwarna hitam. Pedang yang tercipta dari pohon Cyrah Amathaunta, baja Wootz, sisik naga Qavyrrien Irveirth, dan juga pohon Daidronth.
"Kini aku tidak bisa menyangkalnya, pedang ini sudah di tanganku. Apa pun resikonya, aku adalah master resmi dari pedang ini." Aalisha genggam erat gagang dari pedang tersebut. Kemudian senyumannya terukir sangat lebar. Kini ia menatap pada pasukan monster yang berbondong-bondong menuju dirinya.
"Latreia." Perlahan Aalisha menutup matanya, ia menarik pedang tersebut, cahaya keemasan bersinar dari pedang itu. Maka tubuh Aalisha juga diselimuti cahaya keemasan. Ketika pedangnya keluar dari sarung, seolah menyerap energi alam, maka sekitar Aalisha, cahaya keemasan mulai terserap pedang tersebut. Kini pedangnya perlahan ia arahkan ke langit yang membuat cahaya emas menjulang ke langit yang dipenuhi awan-awan hitam. Akibat cahaya tersebut, awan hitam berangsur-angsur pergi, semakin terang cahaya emas dari pedang itu membuat siapa pun yang berada di sekitar hutan Kimari dipastikan dapat melihat cahaya emas itu.
Ya, itulah yang terjadi pada detik ini.
"Sial cahaya dari mana itu?" ucap Athreus menatap pada cahaya menjulang lurus menembus awas.
Sementara itu, di sisi lain hutan, Eloise berujar, "kekuatan macam apa itu?"
"Apa-apaan!" ujar Nicaise yang ternyata masih berhadapan dengan Casimir.
"Bukan Zahava, cahaya apa itu?!" Casimir pun kebingungan.
"Lihat!" teriak Hozier yang berada di desa Shakaleta. "Itu adalah kekuatan Dewa yang akan menyelamatkan kita semua!"
Perlahan Aalisha membuka matanya yang ternyata manik matanya terlihat bersinar emas pula. Tepat di hadapannya para pasukan minotaur dan Beer Misvormwolfir sudah siap menyerang, tetapi mereka terdiam ketika melihat pedang berkekuatan dahsyat kini bersinar terang, sangat terang, tetapi penuh dengan kehancuran. Maka berdasarkan naluri mereka, pasukan monster itu malah berbalik akibat ketakutan, sangat ketakutan karena mereka paham bahwa kematian telah tertuliskan untuk mereka.
Suara Aalisha pun terdengar menggelegar. "Orfhlaith Leucothea! Bernyanyilah untukku!"
Maka Aalisha ayunkan pedang Orfhlaith Leucothea, serangan maha dahsyat terjadi, cahaya emas seketika menerjang dengan cepat, cahaya itu pula seketika terhambur, menciptakan angin yang bertiup sangat kencang, hingga pepohonan tak mampu menahan kuatnya angin tersebut dan tumbang, kemudian menyapu seluruh pasukan monster bagaikan ombak tsunami yang menyapu rata daratan. Membinasakan seluruh monster tanpa bersisa sedikit pun, tak terdengar teriakan mereka karena serangan pedang tersebut ibarat alunan musik yang bersenandung dengan sangat indah, bahkan abu para monster tak nampak di mata Aalisha. Para monster benar-benar lenyap, sirna, dan hanya menyisakan tanah yang hancur lebur ibarat terbentang jurang yang sangat panjang bisa mencapai delapan meter, serta begitu dalam di depan Aalisha. Ya, itulah kemasyhuran dari pedang Orfhlaith Leucothea, pedang Dewa Kekacauan.
Kini Aalisha terdiam, tangan kanannya masih menggenggam pedang tersebut, kini ia tak sedikit pun berkedip, matanya hanya membulat, ia bagaikan patung, ia seperti orang tolol karena terkejut bukan main akan kehebatan dan dampak mengerikan dari pedang ini. "Sial, ternyata sekuat ini. Aku tak menyang---"
"HAAAHHH!" Suara seorang laki-laki terdengar tepat di samping kiri Aalisha, lekas gadis itu menoleh dengan perasaan terkejut bukan main lagi untuk kedua kalinya. "Pe---pedang, pedang, pedang itu, itu pedang Dewa! Na, namanya Orfhleth, Orteht, Orfhlai---"
"Orfhlaith Leucothea!" sahut gadis yang sama terkejutnya, ia berdiri di samping lelaki itu.
"Ya! Orfhlaith Leucothea, bagaimana bisa pedang itu ada padamu!" sambung si lelaki dengan suara cukup keras.
"Mylo, Anila," ucap Aalisha, dia hanya bisa mengucapkan dua nama dari sosok manusia di hadapannya ini karena Aalisha masih agak syok.
Bagaimana bisa? Mengapa Mylo dan Anila ada di sini?! Harusnya mereka tidak kemari, harusnya serigala yang Aalisha perintahkan membawa keduanya pergi dari Hutan Kimari, harusnya dibawa pergi menjauh dari cahaya kekuatan pedangnya!! Kemudian Aalisha tersadar ketika di dekat Anila ada seekor serigala.
"Bajingan," ucap Aalisha pada si serigala yang terlihat ketakutan padanya. "Kenapa kau malah bawa mereka kemari? Benar-benar akan kujadikan serigala goreng!"
"Aalisha, jadi kekuatan besar tadi berasal darimu? Bagaimana bisa ...." ucap Anila agak bingung pula karena Aalisha mengumpat pada serigala di samping Anila ini. "Aalisha—"
"Aaahhhhhhkkk!" Mylo berteriak kembali, ia sangat heboh sambil menunjuk pada jurang yang Aalisha ciptakan. "Mengapa bisa pedang itu ada padamu?! Cahaya tadi berasal darimu, lalu jurang ini juga kau yang ciptakan, artinya kau membinasakan pasukan monster yang tadi. Kenapa pula kau bicara pada serigala ini, dia bahkan takut padamu, dia jiga menuntun kami kemari, apa kau tuannya. Mengapa kau bisa jadi tuan dari serigala ini! Sesaat matamu tadi jadi bercahaya emas, kenapa bisa?! Aalisha sebenarnya kau siapa---"
"Bacot Mylo!" Maka tanpa aba-aba Anila meninju kuat pipi Mylo hingga lelaki itu tersungkur ke tanah dan akhirnya diam mulut lelaki itu yang banyak oceh.
"Kau meninjunya," sahut Aalisha.
"Dia banyak oceh! Aku lelah mendengarnya!" teriak Anila sambil menggaruk rambutnya meski tak gatal, lebih tepatnya karena kepala Anila pusing sekali.
"Sakit woy!" sahut Mylo. Namun, diam membisu kembali karena tatapan sinis Anila. "Baiklah, aku akan diam."
Anila lekas beralih pada Aalisha. "Aku ingin kebenaran, jelaskan secara singkat, padat, dan jelas saja, kita tak punya waktu karena pasukan iblis hendak menyerang desa dari arah Utara!" Sungguh dia ingin tahu segalanya, tapi mereka tak punya waktu banyak.
Perlahan Aalisha tersenyum tipis, ia sambil menyarungkan pedangnya. "Inilah yang kusuka darimu, kau sangat cerdas Andromeda.
"Baiklah kumulai dari perkenalan singkat saja. Nama asliku, Aalisha Galad De Lune, keturunan utama Kepala Keluarga De Lune, putri yang disembunyikan, adik kandung dari Aldrich De Lune jadi aku bukan anak haram atau anak hasil selingkuhan karena orang tua kami sama. Lalu alasan identitasku disembunyikan demi melindungiku dan aku adalah master Orfhlaith Leucothea, sekian, terima kasih."
Sukses perkenalan Aalisha membuat Anila dan Mylo benar-benar terdiam membisu. Ya, kini di hadapan mereka adalah Putri Keluarga De Lune, Majestic Families yang menempati posisi pertama.
"OH DEWA, INI SANGAT GILA, KAU DE LUNE!" teriak Mylo bukan main suaranya, barangkali terdengar ke seluruh penjuru hutan.
"Baiklah ternyata putri De Lune, makasih sudah jujur." Anila berujar dengan tergagap karena jujur jika ia tidak mungkin tidak terkejut. "Kurasa kita harus segera pergi, pasukan monster telah dikumpulkan untuk menyerang desa Shakaleta." Maka Anila mulai berlari, kemudian disusul Aalisha dan juga Mylo.
"Kau serius begitu saja setelah mendengar kenyataannya! Tidakkah kau terkejut atau menggila! Teman kita ini ternyata Majestic Families, terlebih lagi De Lune!" teriak Mylo sambil berlari hingga tepat di samping Anila. "Kau tahukan kalau dunia cuma kenalnya Aldrich sebagai keturunan utama, ternyata ada anak kedua yang disembunyikan! Oh hei Anila, kenapa kau bisa santai sih?!"
"Aku juga sama terkejutnya denganmu!" balas Anila tiba-tiba menghentikan langkahnya sambil menunjuk pada Mylo. "Aku juga terkejut, semua ini di luar nalar dan ekspektasiku! Tapi kita tak punya waktu Mylo, ada yang lebih penting lagi!"
"Ini juga sama di luar ekspektasiku! Argh, paling tidak kita tenang dulu, biarkan aku menstabilkan jantungku karena aku masih terkejut!" balas Mylo.
Aalisha hanya diam memperhatikan keduanya saling berdebat, ia diam karena kepalanya semakin terasa pusing, jantungnya berdebar kencang, napasnya tak beraturan, tangannya gemetar hebat, darah pun menetes dari hidungnya, tanpa berkata apa pun. Aalisha akhirnya ambruk ke tanah yang sukses membuat Mylo maupun Anila terkejut bukan main.
"Aalisha! Hei Aalisha, kau kenapa?!" teriak Mylo kini tepat berada di samping Aalisha dan terus-menerus memanggil nama gadis kecil itu.
"Aalisha, kau dengar aku, hei kau kenapa? Kau terluka, terkena racun, bertahanlah. Kami akan membantumu, bertahanlah, Aalisha, Aalisha ...." Anila menangis sambil terus memanggil nama Aalisha kemudian Andromeda itu lekas memunculkan invinirium-nya untuk mengambil botol obat dan juga jarum suntik.
Sayangnya, kini Aalisha tak bisa mendengar suara Anila dan Mylo sama sekali, pandangannya semakin buram. Pada detik itu, meski ia akan pingsan, tak mendengar suara Anila atau Mylo, napasnya tak beraturan serta seluruh tubuhnya sakit tak tertahankan. Dia bisa merasakan perasaan asing yang memenuhinya karena di saat seperti ini, ternyata ada dua orang yang begitu tulus mengkhawatirkannya bahkan terus-menerus memanggil namanya.
Sesaat Aalisha berharap jika semua ini bukanlah mimpi belaka karena untuk pertama kalinya, ketika ia ambruk, ketika ia pingsan setelah menghadapi marabahaya. Kenyataannya, ada sosok manusia lain yang berada di sisinya.
Ya, ada manusia lain yang ternyata mengkhawatirkannya.
Dewa sebenarnya takdir apa yang hendak Kalian tuliskan untuk Aalisha? Ia tak bisa memahaminya.
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Katakan sesuatu untuk Chapter ini?!!
Hmm, jadi apakah Aalisha masih bersandiwara? Adakah teori antara percakapan Aalisha dengan Zahava?
Wah, wah, tak disangka berkat serigala yang membawa Anila dan Mylo, akhirnya mereka tahu akan identitas Aalisha^^
Prins Llumière
Sabtu, 18 Februari 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top