Chapter 72

|| Chapter favorit kalian, chapter berapa?

Keadaan Hutan Kimari arah Barat sangatlah kacau, pepohonan tumbang dan rata dengan tanah, lalu tanah di sekitaran daerah itu juga hancur, terangkat hingga dapat dilihat akar-akar pohon yang tumbang, kemudian membentuk cekung yang tajam. Suara ledakan terdengar sangat keras, lalu efek serangan dari pedang besar berlapis neith hitam berhasil merobohkan puluhan pohon, membuat tanah terbelah dua, hanya demi membinasakan seorang murid akademi Eidothea yang kemudian menggunakan sihir, menyerang balik berupa serangan ratusan pedang yang melesat cepat pada pemilik pedang dilapisi neith hitam yang ternyata adalah iblis bertubuh sangat besar.

Di sisi lain, seorang gadis bermata amber, menyerang iblis lain dengan serangan berupa bola api sangat panas. Namun, iblis itu berhasil menangkis setiap serangan gadis tersebut hanya dengan tangan kosong. Seolah menyentil seekor semut, maka begitulah sang iblis yang begitu mudahnya menyentil serangan bola api tersebut yang akhirnya mengenai pepohonan, semak belukar, hingga rerumputan, akibatnya api serangan gadis tersebut malah membakar hutan itu. Berkobarlah api, para binatang seperti kancil, rusa, kelinci, landak, para tupai, hingga burung-burung lari terbirit-birit karena tidak mau mati terbakar.

"Eloise Clemence, apa kau berniat membakar hutan ini, hah!!" Athreus berteriak sambil terus menghindari serangan dari iblis yang ia hadapi. "Padamkan apimu bodoh!"

"Diamlah sialan, tidak kau lihat, jika monster monyet itulah yang membuat apiku tersebar!" teriak Eloise jadi kesal karena serangannya malah hendak membakar hutan ini. Kini ia menatap sekitarnya yang penuh api berkobar-kobar sementara itu sang Iblis malah berteriak kencang.

"Monyet kau bilang?!" Sang iblis berucap, "aku adalah Impolompo, Sang Corniger Ape Simis, iblis yang akan membunuh kalian, dasar para Majestic Families sombong!! Huargghhhhhh."

Maka sang iblis, mengangkat kedua tangannya, kemudian ia tepuk sangat keras, melalui tepukan tangan itu tercipta badai angin yang dahsyat sehingga api yang menjalar di hutan semakin berkobar dan mengarah pada Eloise sehingga ia terkena panas apinya sendiri. Semakin gadis itu kesal, lekas ia mengarah kedua tangannya yang diselimuti neith bercahaya merah pudar, ia gunakan sihir yang perlahan-lahan memadamkan api tersebut.

"Bajingan, tak kusangka Phantome Vendettasius itu menurunkan iblis, alih-alih Phantomius dan monster. Mereka pasti sudah memprediksi adanya kami." Baru selesai memadamkan apinya, sang iblis ape kembali menepuk tangan sekali, Eloise termundur akibat serangan anginnya, aneh sekali iblis itu terus menyerang dengan cara yang sama padahal sama sekali tidak ada kerusakan dan melukai Eloise.

"Apa yang dia lakukan. Sial, andai para iblis ini tidak muncul, kami tinggal temukan tiga Zephyr lagi."

Di hadapan Eloise ini adalah iblis yang menjadi bagian dari Phantome Vendettasius, iblis dengan jenis Corniger Ape Simis. Iblis tingkat menengah, tataran tingkatannya berada di tingkatan C. Iblis itu seperti raksasa yang menyerupai Ape atau Orang Utan, tingginya mencapai dua meter, tubuhnya besar dan bongsor, penuh otot, kaki dan tangan besar serta cakar tajam nan hitam dan panjang, kemudian wajahnya paling mirip ape yang membedakannya dengan ape jenis binatang biasa adalah empat taring panjang yang dimiliki iblis tersebut, serta mulutnya yang monyong itu berwarna merah gradasi biru, saking panjang taringnya sampai keluar dari mulutnya. Kemudian Iblis tersebut berbulu hitam corak putih tak beraturan. Paling pentingnya adalah sang Iblis memahami bahasa dan berakal.

"Kau pikir hanya manusia yang punya senjata?" Impolompo, nama sang iblis itu. Kemudian ia menginjak tanah, perlahan muncul pentagram sihir hitam di tanah yang ia pijak, lalu dari pentagram itulah dua kotak hitam, seperti kotak harta karun yang ada banyak ukiran menghiasnya. "Kuhancurkan kalian, maka Raja Ezequiel akan memujiku."

Lekas Impolompo memasukkan kedua tangannya ke dalam kotak hitam tersebut yang ternyata berubah menjadi semacam sarung tangan bulat, tidak menyerupai tangannya, benar-benar bulat seperti bola, tetapi sangatlah berat, tebal, dan kuat. Maka ibarat sarung tinju, seperti itulah senjata yang Impolompo gunakan. Ia kemudian membenturkan kedua sarung tinjunya, suara dentingan antar baja terdengar, ia melakukannya karena sudah siap untuk adu tinju dengan seorang gadis keturunan Clemence.

"Clemence, kuingat ketika salah satu dari keturunan utama Kepala Keluarga Clemence menghabisi kawanku, kini aku akan balas dendam, akan kuhabisi kau."

Eloise menatap sinis pada Impolompo yang ternyata memukul mundur Eloise tadi agar sang iblis bisa mengenakan kedua sarung tinjunya. "Apa kau membicarakan kakakku? Jika dia di sini, sudah habis kau, makhluk jelek."

Lekas Eloise menjulurkan tangannya sambil berujar, "venire." Artinya adalah memanggil maka Eloise memanggil pedang magisnya yang perlahan muncul di tangannya yang terjulur, ia genggam erat gagang pedang tersebut yang ternyata bilah pedangnya berwarna merah pekat. "Namun, tidak perlu kakakku, aku saja sudah cukup untuk menghanguskanmu menjadi abu."

"Mari lihat, Clemence!" teriak Impolompo mulai menyerang maka berhasil tanah terbelah lagi yang kini efek serangan tersebut berhasil menghancurkan 50 pohon dalam sekejap.

Kini beralih pada keturunan Kieran Zalana, yaitu Athreus yang harus membawa iblis di hadapannya ini menjauh dari Eloise karena jika bertarung di lokasi yang sama akan sulit, apalagi barusan Athreus melihat serangan dahsyat dari arah pertarungan Eloise dengan iblis bernama Impolompo. Entah apa yang terjadi di sana.

"Kemana kau hendak kabur dasar Manusia!" teriak iblis bernama Kodoro yang mengangkat pedangnya lagi kemudian melancarkan serangan, Athreus balik menyerang, tetapi Kodoro berhasil menangkisnya dengan tameng besar yang ia bawa.

"Sial, apa itu harta pusaka? Melawan mereka sangat membuang-buang waktu, kuharap Nicaise dapat menemukan Zephyr-nya." Perlahan Athreus berpijak di tanah kembali, setelah berhasil menghindari setiap serangan dari Kodoro.

Sebenarnya mereka sudah hampir mendapatkan Zephyr yang lain, tetapi ketika disentuh Zephyr itu malah menghilang, kemungkinan diberi sihir kuno sehingga kembali ke pemiliknya yang memberikan sihir kuno tersebut. Lalu keadaan hening sesaat, tidak ada pasukan minotaur dan Beer Misvormwolfir atau pasukan serigala, tetapi sebagai gantinya tanah bergetar lebih mengerikan dibanding kedatangan para monster, pepohonan roboh hanya dengan sentuhan kecil, ternyata para iblis tingkat menengah datang, maka mereka terpaksa menghadapi iblis-iblis itu. Dikarenakan hanya ada dua Iblis, Eloise dan Athreus setuju akan menghadapi mereka sementara itu Nicaise mengejar Zephyr karena Nicaise cukup ahli melacak jejak jika meminta bantuan Orly penghuni hutan ini.

"Jangan terus kabur kau wahai keturunan Kieran Zalana!"

"Banyak bacot Iblis itu!" Athreus mulai lelah karena terus begini, ia hendak semua ini selesai lebih cepat. Maka cahaya biru menyinari tubuhnya, perlahan-lahan menyinari tangannya. Ia memunculkan salah satu pedang magis dengan tipe claymore sehingga pedang itu sangat besar.

"Akhirnya kau serius, kemarilah, biar kutebas perutmu itu!"

Kodoro adalah iblis jenis Magalbum Muta. Iblis yang berada di tingkatan yang sama dengan iblis yang dilawan Eloise, tubuhnya besar dan tinggi 2,5 meter, kulitnya putih, sedikit ada bercak-bercak atau totol-totol hitam di sekitar tangannya, perut, dan kaki. Punggungnya hitam seperti kerak. Kedua kakinya dililit kain cokelat buluk hingga menutup seluruh pinggangnya, mulut Iblis tersebut terkoyak seolah tak punya bibir sehingga langsung memperlihatkan gigi-giginya, serta penuh darah yang takkan bisa hilang dari sana, kemudian dagunya ternyata ada tonjolan yang tajam menyerupai duri, di punggung sang iblis terdapat besi-besi tajam yang mencuat keluar, iblis itu botak lalu kedua tangan dan kakinya tak ada cakar sebagai gantinya ia membawa pedang besar serta tameng yang sebesar tubuhnya.

Athreus bergumam, "jika pun kami berhasil mengalahkan para iblis ini, pasti ada pasukan monster yang akan dikirimkan lagi, memang harus segera mendapatkan Zephyr, sial, andai saja ada keturunan De Lune di sini. Pasti akan mudah karena dia pelacak paling andal di antara delapan Majestic Families."

"Kalian takkan bisa mendapatkan Zephyr, takkan bisa!" teriak Kodoro, "pimpinan kami ada di sini, dia akan turun tangan dan menghancurkan kalian."

"Pimpinan? Apa maksudnya ketua yang memiliki rencana mengambil Zephyr."

"Dia berada di sebelah Timur hutan, dia akan membinasakan kalian, binasa, binasa!" Maka tawa Kodoro terdengar menggelegar sedangkan Athreus terdiam, ia teringat sesuatu.

"Aalisha, sial kami tidak tahu bagaimana keadaan anak-anak itu. Apa mereka mati? Mustahil kan, hei Aalisha, aku sudah berdoa pada Dewa loh agar kau berumur panjang, jangan sia-siakan doaku."

"Kau, bersiaplah mati DITANGANKU. Tuan Kieran Zalana."

"Mari kita lihat, siapa yang kehilangan kepalanya terlebih dahulu." Maka Athreus berlari sambil membawa senjata magisnya, ia sangat cepat, menghilang, kemudian muncul di hadapan Kodoro lalu suara dentingan keras serta angin dahsyat tercipta akibat benturan antara senjata milik Athreus dengan tameng besar Kodoro.

Kini langkah kaki berlari menuju sebelah hutan timur. Nicaise tidak punya waktu banyak jadi dia membunuh cepat para monster; minotaur dan Beer Misvormwolfir yang menuju arahnya, ia bunuh dengan pedangnya atau ia gunakan sihir. Ternyata keadaan cukup kacau karena kedatangan dua iblis tingkat menengah, selain itu mereka yang harusnya mendapatkan dua Zephry tadi malah kedua Zephyr itu menghilang karena dipasang sihir kuno.

Sebenarnya Nicaise tidak perlu terlalu mengkhawatirkan desa Shakaleta karena Nathalia mengabarkan jika ia ada di desa tersebut. Awalnya Nathalia hendak mengungsikan para penduduk desa, tetapi keadaan tidak memungkinkan karena para monster masih berkeliaran di hutan. Akibatnya mereka terkurung di desa tersebut. Kabar terakhir dari Nathalia jika beberapa monster sudah menyerang di luar barrier yang mengelilingi desa, ia sudah membunuh para monster tersebut, tetapi jumlah yang menyerang baru sedikit sehingga masih bisa Nathalia tangani. Namun, jika jumlahnya sudah puluhan bahkan ratusan maka ia takkan sanggup, maka pilihan terakhir adalah membuat barrier berlapis-lapis lagi.

"Sial, aku tak bisa menghubungi Nathalia." Nicaise menghilangkan cyubes-nya kemudian berlari kembali. "Aku juga tidak tahu kabar ketiga anak itu."

Perlahan langkahnya melambat, ia merasakan kekuatan gelap yang sangat besar, para pasukan monster sudah tak berdatangan lagi, tetapi di dekat bebatuan besar. Dia melihat seseorang berdiri di sana. Maka Nicaise dekati sambil menggenggam erat pedangnya dan bersiap dalam posisi bertarung.

"Siapa kau?" Nicaise berujar, ia melihat seseorang itu mengenakan jubah panjang, wajahnya ditutupi tudung sehingga tak terlihat, tetapi dia mengangkat tangannya yang ternyata menggenggam satu keping Zephyr, terus-menerus ditatapnya batu kekuatan tersebut. Kemudian ia kalungkan di lehernya.

"Bukankah cantik sekali batu kekuatan ini? Kita bisa mengendalikan apa pun dengan benda ini." Maka seseorang itu berbalik, melepaskan tudungnya, ternyata dia adalah pria yang kini tersenyum sangat lebar.

"Tidak sepantasnya batu kekuatan itu ditangan iblis sepertimu!" Nicaise berucap.

"Ah, apakah kau salah satu keturunan utama Majestic Families. Tidak kusangka jika aku akhirnya bisa bertemu dengan salah satu dari kalian, suatu kehormatan besar bagiku. Jadi aku akan memperkenalkan diriku ini padamu putra Von Havardur, namaku adalah Casimir, aku pemimpin pasukan yang diperintahkan untuk mengambil Zephyr."

"Bagus sekali, kau menampakkan dirimu, kupikir kau hanya makhluk yang akan bersembunyi di balik pasukanmu. Karena kau sudah di sini, mudah bagiku untuk membunuhmu!" Nicaise menodongkan pedangnya ke hadapan Casimir.

"Jangan secepat itu kau berbangga diri, Nicaise Von Havardur. Lagi pula, kau harus bermain-main denganku selagi Zahava akan melaksanakan perintah agung Raja Iblis dan membunuh anak-anak Eidothea itu."

"Zahava." Jadi benar jika ada pengkhianat dari Akademi Eidothea dan pengkhianat itu adalah profesor Dommi Erick Zahava, si mantan anggota Alastair menjadi bagian dari Phantomius. Sial, ternyata bukan profesor Ambrosia, kini Nicaise teringat perkataan tiga adik tingkatnya untuk membebaskan Ambrosia. "Harusnya kupercaya anak-anak itu."

"Melihat reaksimu, kau tidak tahu ternyata kalau ada Phantomius di Eidothea. Kasihan sekali, mereka sangat pandai berakting bukan? Bertahun-tahun mereka membohongi kalian. Kini Zahava pasti akan membunuh teman kalian yang tersisa." Casimir kemudian mengeluarkan seekor ulat besar berwarna hitam dan cairan hijau menetes dari ulat tersebut. Tanpa merasa jijik, dia menelan ulat tersebut hidup-hidup.

"Sial, apa yang kau makan itu, gila!" teriak Nicaise, tak lama terpancar neith yang sangat gelap dan menyeramkan dari arah Casimir.

Betapa Nicaise terkejut karena Casimir kini sangat kesakitan, menjerit-jerit, lalu perutnya seketika membesar hingga meledak, menyemburkan darah, kini keluarlah makhluk mengerikan yang tingginya lebih dari satu meter. Makhluk tersebut adalah perubahan Casimir yang seorang manusia menjadi iblis. Casimir kini wajahnya sudah tak seperti manusia, matanya merah menyala seperti api, memiliki tanduk yang menjulang tinggi, ia cukup kurus, tidak gemuk dengan kulitnya yang seperti lava panas. Tangan kirinya berubah menjadi tameng yang menyatu dengan kulitnya sementara itu tangan kanannya menggenggam kuat pedang panjang melebihi tinggi tubuhnya dengan warna merah maroon. Kemungkinan Casimir yang menjadi iblis kini berada di tingkat C+. Sementara itu, Zephyr yang dikalungkannya, berada di dadanya, terselimuti kulit berupa lava panas.

"Mari temui kematianmu, wahai keturunan agung!" Suara Casimir bergema dan sangat rendah serta mengerikan.

"Kalian memang makhluk hina." Nicaise, sedikit menunjukkan kekhawatiran, jika menghadapi iblis, pasti butuh waktu sedangkan mereka tidak punya banyak waktu. "Jika benar prediksiku akan ucapan Orly itu, jika nyanyian penyambutan diperuntukkan pada Aalisha, maka anak itu takkan mati dengan mudah. Aku memang tak mau mengakuinya, tapi kini semua tergantung pada anak itu. Sialan."

****

Berapa kali pun digunakan sihir untuk menghentikan pergerakan Hozier, minimal agar anak itu terjerat rantai yang mengekangnya, tetapi ia selalu berhasil untuk kabur. Kini Phantomius yang ditugaskan Zahava untuk mengejar Hozier sangat marah besar, andai ia bisa, sudah ia tebas kepala anak itu. Namun, sama saja dengan kegagalan karena jika Hozier mati, maka cawan yang mereka incar juga akan ikut mati di dalam tubuh anak itu, alhasil Hozier menjadi target yang tidak bisa dibunuh sampai berhasil berada di tangan organisasi mereka.

"Sialan, pasti karena anak itu spesial jadi dia bisa dengan mudah mematahkan sihir untuk menyegelnya. Sangat menyusahkan!" ujar Xorvo si Phantomius dibalut pakaian biru. Ia membawa pula pedang berbilah panjang dan cukup tipis, tapi tajam serta berwarna hitam.

"Ketemu kau, anak sialan!" Maka sihirnya berhasil memotong separuh pohon yang di baliknya Hozier sedang bersembunyi. Anak itu sangat ketakutan, tetapi ia masih kuat untuk berlari, lebih memaksakan diri untuk berlari karena dia tidak mau mati, dia ingin hidup!

Suara ngos-ngosan, peluh keringat Hozier bercampur darah menetes ke rerumputan, tangannya kini terluka, terdapat sayatan besar akibat serangan pedang, perih sekali rasanya. Bagi Hozier, ini menjadi kesempatannya karena dia tidak akan dibunuh, jadi dia harus kabur sejauh mungkin, mencari bantuan juga barangkali atau mencari profesor Ambrosia dan Lilura.

"Tidak, mereka takkan mati." Kini Hozier menangis tersedu, matanya merah begitu pula hidungnya, ia menyeka air matanya dengan lengan baju yang sudah kotor dan bercampur sedikit darah. "Aku yakin mereka takkan mati, aku yakin malaikat baik akan datang dan menyelamatkan mereka. Ayah, kumohon ayah kumohon, suruh malaikat dari surga untuk menyelamatkan mereka."

Tiba-tiba saja Hozier terjatuh, ia menjerit-jerit karena sebuah akar hitam menjijikan kini menjerat kaki kanannya. Ternyata Xorvo menggunakan sihirnya lagi, kini mengeratkan jeratan tersebut di kaki Hozier seolah hendak meremukkan tulangnya. "Kurasa takkan masalah mematahkan kakimu ini, agar kau berhenti kabur, dasar anak biadab."

Hozier tidak berhenti menangis, ia terus berusaha melepaskan jeratan tersebut, tetapi tak bisa malah pergelangan kakinya terasa sangat sakit. Teriakan Hozier terdengar ketika ia dibawa akar hitam tersebut melayang ke udara, kini ia berada dalam posisi terbalik, darahnya menetes ke tanah, maka perlahan-lahan hendak dibawa ke genggaman Xorvo yang tersenyum bahagia karena berhasil juga dia dapatkan anak sialan itu.

"Tidak, jangan, jangan, aku tidak mau, kumohon lepaskan aku!"

"Kau akan lepas Nak, setelah memberikan cawan itu pada kami, kau akan dilepaskan ke kandang monster---" Manik mata Xorvo membulat ketika ia melihat sesuatu bergerak dengan sangat cepat, menebas akar hitamnya kemudian berhasil mengambil Hozier dari genggamannya, kemudian detik selanjutnya seseorang mendarat ke tanah dengan gemulai yang di mana Hozier berada di pelukan orang itu.

"Bajingan siapa kau?!" teriak Xorvo, setengah tak percaya karena yang menggendong Hozier kini adalah seorang anak kecil juga—lebih tepatnya gadis kecil dengan rambut hitam yang kemungkinan berumur sekitar 10 tahun(?)

Aalisha berbalik menatap Xorvo. "Percusserom Impetum." Rapalan mantra terdengar yang sukses sihir digunakannya itu mengenai Xorvo hingga pria itu terempas jauh ke belakang dan tubuhnya menghantam pepohonan hingga tumbang.

"Siapa kau?" tanya Hozier, menatap pada Aalisha.

"Oh, maaf aku menggendongmu, kenalkan namaku Aalisha---"

"GROAKHH!" teriakan Beer Misvormwolfir terdengar sangat kencang yang tiba-tiba monster tersebut melesat cepat hingga tepat berada di belakang Aalisha.

"Awas di belakangmu!" Hozier berteriak karena monster tersebut telah mengangkat gadanya sangat tinggi.

"Tidak masalah," sahut Aalisha, mereka tidak terkena serangan Beer Misvormwolfir karena selubung neith tercipta begitu cepat melindungi keduanya. "Nah, mau kutunjukkan sesuatu yang bagus?"

Hozier tidak menyahut, masih bingung ia. Jadi Aalisha berbalik kemudian melangkah hampir sedekat Beer Misvormwolfir kemudian gadis kecil itu merapalkan mantra dengan mahirnya. "Haereret Teerum." Seketika sang monster langsung tertanam ke dalam tanah, gadanya terjatuh tepat di sampingnya, kini Beer Misvormwolfir itu hanya terlihat kepalanya saja, meraung-raung karena tidak bisa keluar.

"Bagaimana kau melakukannya, dia jadi tertanam ke tanah, kayak ubi!" teriak Hozier, padahal bukan waktunya untuk memuji. "Sihir yang kau lakukan lucu. Apa dia akan di sana terus?"

"Ya, dia akan di sana dan tak bisa bergerak." Terdengarlah suara raungan monster-monster yang lain. "Mari pergi dulu."

Aalisha sengaja tidak menggunakan sihir yang kejam karena di hadapan anak kecil. Benarkah tidak kejam? Karena sungguh tak Hozier tahu, jika Beer Misvormwolfir yang tertanam di tanah tadi sudah tak bergerak, permatanya hancur, ia mati dan hanya kepalanya saja yang tersisa sedangkan seluruh tubuhnya hingga organ dalamnya bolong-bolong dan perlahan akan habis akibat dimakan cacing-cacing di tanah.

Kini Aalisha berlari sedikit menjauh dari sana, berbelok ke kanan, dirasa daerah situ sedikit aman. Maka perlahan dia letakan Hozier di rerumputan. Ia kemudian berjongkok, menyentuh kaki Hozier yang terluka kemudian perlahan ia sembuhkan, sedikit menjerit sakit anak itu.

"Apa kau teman nona Ambrosia?" tanya Hozier, Aalisha mengangguk.

"Kalau begitu, apa kau bertemu dengannya? Apa dia baik-baik saja?"

Perlahan Aalisha mengelus puncak kepala Hozier, senyuman kecilnya terukir untuk menenangkan anak itu. "Dia selamat, saat ini kuyakin profesor Ambrosia dan nona Lilura baik-baik saja dan sudah berada di desa Shakaleta."

Mendengar perkataan Aalisha, Hozier terdiam sesaat, air matanya menetes kembali. "Kau serius? Nona Ambrosia selamat! Kau menyelamatkan?"

"Ya, sekarang aku juga akan menyelamatkanmu, kau akan pulang ke desa Shakaleta, jadi jangan kabur-kaburan lagi."

Tanpa izin, Hozier seketika memeluk tubuh Aalisha. Sempat terdiam Aalisha, lalu lekas ia menjauhkan Hozier dari dirinya karena tetap memegang prinsip tidak suka dipeluk. "Baiklah sekarang tenangkan dirimu, kau akan kukirim---maksudnya pergi ke desa Shakaleta sebelum para iblis datang mengincar lagi."

Anak itu tidak berhenti bahagia, ia sangat takut jika mendengar kabar kematian Ambrosia dan Lilura, tetapi ternyata mereka berhasil selamat. "Terima kasih, makasih sudah selamatkan mereka. Aku takut kalau mereka pergi selamanya, makasih, makasih banyak."

Aalisha hanya diam menatap Hozier. Tidak lama kemudian sekitar lima ekor serigala berbulu abu-abu datang, salah satunya bertubuh besar dibandingkan serigala lainnya. Hozier dalam tangisnya itu perlahan menatap para serigala, sebelum ia menjerit takut, Aalisha sudah berujar, "tenang mereka di pihak kita. Kau harus kembali ke desa Shakaleta, aku akan tetap di sini untuk menahan para monster, pergilah dengan menaiki serigala ini."

Maka Aalisha mengangkat tubuh Hozier naik ke salah satu serigala paling besar tubuhnya. Ketika Hozier menyentuh bulu-bulu serigala itu terasa tebal nan lembut. "Kau akan tetap di sini?"

"Ya, jangan khawatirkan aku, pulanglah dan temui profesor Ambrosia."

"Baiklah, tunggu!" Hozier meraih jemari Aalisha. "Boleh aku bertanya?"

"Tanyakan."

"Nona Aalisha, apa—apakah kau adalah titisan Dewi Aarthemisia?"

Aalisha menatap sekilas Hozier yang kembali berujar, "ayah dulu bilang, kalau Dewi Aarthemisia selalu datang disaat-saat kita sangat membutuhkan pertolongan. Kau datang saat aku butuh pertolongan, begitu juga untuk nona Ambrosia dan Lilura."

Terdengar suara raungan para monster serta Phantomius yang mengejar Hozier. Aalisha kemudian berjongkok kemudian memberikan senyuman kecil. "Maaf ya, tapi aku bukan titisan-Nya. Maaf jika kau kecewa."

Bisa Hozier dengar perkataan yang terdengar tulus itu. "Aku tidak kecewa, meski Nona Aalisha bukan titisan Dewi, tapi kau tetap hebat. Malaikat penyelamatku. Terima kasih, tolong jaga dirimu dan berjanjilah akan kembali ke desa Shakaleta!"

"Ya, aku bersumpah." Sebelum Aalisha berdiri, ia mendekatkan wajahnya ke telinga serigala yang membawa Hozier. "Dengarkan Wolfie, kau harus membawa anak ini sampai ke desa, jika Hozier terluka sedikit saja, niscaya kau akan kubunuh lalu kujadikan serigala goreng."

Lekaslah kelima serigala melolong kemudian mereka beranjak dari sana, secepat mungkin dengan seluruh tenaga mereka karena tidak mau dibunuh oleh keturunan Agung itu.

Aalisha menatap kepergian para serigala, lalu tak lama seekor burung kolibri hinggap di bahunya. "Ikutlah kalian, lindungi anak itu." Hampir sekitar 30 burung kolibri lekas terbang mengikuti para serigala yang membawa Hozier.

"Akhirnya, beban terakhir pergi juga." Aalisha berdiri, berbalik karena tepat di belakangnya, ia bisa melihat gerombolan minotaur serta tiga Phantomius termasuk Xorvo si Phantomius yang ia lawan tadi.

"Sekarang tinggal membantai mereka semua." Darah menetes dari hidungnya, Aalisha seka dengan lengan baju. "Karena hanya tinggal membunuh mereka, kurasa dibuka sedikit tidak masalah."

Memasang segel pada diri sendiri sering dikatakan sebagai kegilaan karena resiko dan efeknya mengerikan bahkan tidak tanggung-tanggung. Bayangkan siapa yang mau tubuhnya kejang terus muntah darah hanya karena menggunakan kekuatan melewati batas segel? Namun, bagi mereka yang lahir dari 8 Majestic Families, memasang segel pada keturunan mereka menjadi salah satu solusi untuk mencegah ketidakstabilan kekuatan terutama mereka yang lahir dengan kapasitas neith di luar batas kewajaran.

De Lune adalah keluarga yang paling sering memasang segel pada keturunan mereka, berasal dari keluarga ini pula teknik segel pada diri sendiri semakin banyak digunakan. Meski efeknya bisa mencapai kematian, pemasangan segel pada diri sendiri sudah menjadi hal yang lumrah terutama De Lune sering dikabarkan jika keturunan mereka diberkahi neith sehingga kebanyakan kapasitasnya di luar batas atau bahkan ada yang tidak terbatas.

Maka tidak mengherankan jika segel terpasang di dalam tubuh Aalisha, bukan sembarang segel yang bisa dipatahkan dengan teknik sihir lain. Namun, segel yang akan terus mengekangnya selama bertahun-tahun.

Jenis segel sebenarnya ada banyak, serta punya tingkatannya masing-masing. Ada segel kuno, segel yang dipasang oleh orang lain, segel yang bisa dipasang secara individu, serta segel yang dipasang lebih dari satu orang entah lima orang pada target yang hendak diberikan segel. Bentuk segel pun bermacam-macam hingga efek yang dirasakan ketika pengguna segel, kekuatannya melebihi batasan segel

Lalu bagaimana dengan Aalisha?

Sebenarnya ada dua tipe segel yang ditanam atau dipasang dalam dirinya, pertama, segel yang sudah tertanam dalam dirinya sejak ia lahir ke dunia. Segel ini ditanam oleh pihak Keluarga De Lune.

Kedua, segel yang Aalisha pasang sendiri agar neith-nya tidak terlalu terasa, ia harus memperbaharui segel ini setiap harinya karena hanya bertahan selama 6 jam, jadi di saat-saat segelnya hampir habis, ia harus memasang ulang. Alasan inilah dia kadang suka menghilang atau izin ke toilet sendirian. Segel ini berbentuk sebuah ukiran sihir atau rune yang akan terlihat di kulit tubuh yang ia pilih; tangan, betis, hingga sekitar perutnya. Harus ia pasang di bagian tubuh yang tak mudah terlihat.

"Sigillum Aperire." Maka segel yang Aalisha pasang di perut kanan bawahnya menghilang.

Jika ia melepaskan segelnya, apakah kekuatan Aalisha sudah bisa ia gunakan sepenuhnya? Tentu saja tidak!! Karena segel yang ia lepas adalah segel yang ia pasang sendiri—hanya berfungsi agar neith-nya tidak terdeteksi, serta ia bisa sedikit lebih kuat menggunakan kekuatannya sehingga orang-orang tidak tahu jika Aalisha punya kapasitas keturunan Majestic Families.

Sementara itu, segel yang paling sebenar-benarnya ada mengekang hidup Aalisha adalah segel yang ditanamkan pihak keluarganya, ditanamkan sejak ia lahir, terus-terusan bertambah kuat segel tersebut seiring Aalisha bertambah umur. Segel yang membuatnya memang cacat, jadi bukanlah kebohongan jika ia cacat karena setiap menggunakan kekuatan atau sihir atau kemampuan mistis secara berlebihan, ia sudah pasti akan muntah darah hingga parahnya tak sadarkan diri dan kejang. Segel yang memberikan batasan sekitar 20% jadi ketika lebih dari angka tersebut maka segelnya akan aktif, mulai memaksa Aalisha untuk menghentikan penggunaan kekuatannya.

Lalu bagaimana rasa sakit ketika Aalisha memaksakan diri untuk terus menggunakan kekuatannya padahal segel sudah aktif? Gadis itu deskripsikan ibarat, rantai panas yang menyelimuti seluruh tubuhnya lalu membakar hingga ke tulang-tulangnya sehingga memaksanya untuk tunduk dan menyudahi penggunaan kekuatannya.

"Mari selesaikan dengan cepat."

Seekor minotaur menerjang cepat, belum sempat mengayunkan gada besarnya, Aalisha sudah lebih dulu menebas kepala minotaur tersebut hingga putus kemudian menendang tubuhnya sejauh mungkin supaya tidak menghalangi pertarungan dengan musuhnya yang lain.

"Bisa-bisanya anak ini yang datang, apa dia dikirim pihak Eidothea?! Apa sekolah itu tahu rencana kita?" teriak Bennett, membawa pedang.

"Mana aku tahu!" teriak Xorvo, "jelasnya dia sudah membawa Hozier, hei sialan, ke mana kau sembunyikan anak itu!"

"Mana kutahu," balas Aalisha.

"Bajingan, masih berani kau bersikap sombong padahal sebentar lagi akan mati!" Herwin menimpali, ia menggunakan senjata berupa palu besar berlapis baja, beratnya hampir 50 kg, tapi dengan mudah ia bawa ke mana-mana.

"Bukankah kalian yang sombong?" Aalisha menelengkan kepalanya, menatap sinis pada mereka bertiga. "Tiga lawan satu, mana yang pengecut?"

"Wah mulut anak itu benar pembual seperti yang tuan Zahava katakan," sahut Xorvo, "lekaslah kita habisi anak ini, Zahava bilang dia hanya anak cacat!"

"Inilah yang kutunggu!" Maka Herwin mengangkat palunya yang bercahaya merah, langsung ia ayunkan ke tanah, seketika tanah di sekitar mereka retak, hancur, bahkan runtuh.

Aalisha melompat akibat tanah sekelilingnya sudah tidak bisa dijadikan pijakan lagi, maka inilah kesempatan Bennett melesat cepat, mengayunkan pedangnya, tetapi lekas tertahan pedang Aeternitas Aalisha. Suara dentingan pedang terdengar kembali karena kedua senjata itu saling terus menyerang, lalu Aalisha sadari jika serangan sihir dengan tenaga besar dilancarkan oleh Xorvo, berhasil mengenai Aalisha hingga darah keluar dari bahunya. Kini Aalisha menginjak tanah kembali, sembari menatap musuhnya, lalu neith berwarna biru menyembuhkan luka di bahunya dengan cepat.

"Apa yang kalian tunggu, ayo hancurkan anak itu!" teriak Xorvo, ia berada di posisi belakang sebagai penyerang menggunakan sihir, sementara itu Bennett dan Herwin menerjang ke depan. Suatu kombinasi bertarung yang sangat bagus karena penyihir yang terdiri dari tim selalu melakukannya hal yang sama.

Maka berlangsunglah pertarungan, Herwin menyerang begitu kuat, tanah-tanah retak akibat serangannya. Ia juga sesekali mengerahkan sihir, tetapi selalu Aalisha hindari. Selanjutnya serangan Bennett berupa pedang yang begitu tangkas ia ayunkan, selalu penuh tenaga, membuat serangannya dapat merobohkan pepohonan. Ia juga takkan segan untuk menebas kepala seorang perempuan karena tidak pandang bulu. Aalisha sesat terlihat susah payah karena serangan sihir dari Xorvo berkali-kali dilancarkan sehingga memukul mundur gadis tersebut terus-menerus, mereka seolah unggul karena serangan mereka menjadi satu irama yang akan segera memotong-motong tubuh Aalisha. Namun, tak mereka sadari jika sejak tadi, satu pun serangan mereka tak kunjung melukai Aalisha, bahkan seujung rambut pun. Gadis itu terlalu lincah melompat ke sana kemari, mengayunkan pedangnya seolah paham sekali pola serangan ketiga musuhnya, bahkan ia berhasil membuat serangan sihir Xorvo malah mengenai Bennett atau Herwin.

"Sialan, jangan kau serang kami!" teriak Bennett, punggungnya sakit dan terluka akibat sihir digunakan Xorvo.

"Kalian lah yang tidak bisa mengenai gadis itu! Sejak tadi tidak satu pun serangan kalian melukainya!" teriak Xorvo mulai khawatir. "Habisi gadis itu sekarang!"

Herwin berdecak kesal, sangat kesal ketika melihat senyuman Aalisha terukir saat gadis itu berhasil menghentikan serangan palu Herwin dengan pedangnya, tidak sedikit pun tubuh gadis itu gentar, tidak gemetar pula padahal berat badannya kalah jauh dengan palu Herwin ini. "Bagaimana bisa?!"

Tidak Aalisha jawab, malah ia mengentakkan kakinya sekali, maka muncul pentagram biru dari bawah kaki mereka. Herwin dan Bennett terkejut akibat besarnya pentagram sihir ini. Kemudian terdengar Aalisha merapalkan mantra. Lalu detik selanjutnya tanah bergetar kemudian besi-besi tajam menerjang keluar hingga sukses menusuk dan menyayat beberapa bagian tubuh kedua Phantomius itu yang lekas melompat menjauhi Aalisha.

"Bajingan! Sihir itu dia gunakan!" teriak Bennett kesakitan karena besi tersebut berhasil menggores pahanya.

Suara jeritan terdengar dari Herwin bersamaan ia menaruh palunya karena kini telapak kakinya berdarah akibat tertusuk besi tersebut. "Xorvo! Serang anak itu!"

Xorvo yang tidak punya waktu untuk terkejut, ia memusatkan kekuatannya pada pentagram sihir hitam. Percikan api keluar dari sana, perlahan-lahan serangan berupa api yang menyerupai monster seketika menerjang cepat ke arah Aalisha. "Mati kau anak gila!"

Aalisha menatap tenang pada serangan tersebut, ia arahkan tangan kirinya. "Frigus Aquemerium." Maka berkat sihir tersebut, air bah dingin yang keluar dari pentagram sihir berhasil memadamkan api tersebut, berubah menjadi uap kini menutupi pandangan mereka semua. Lalu Aalisha merapalkan mantra lagi, kini uap itu menjadi kabut sangat tebal, maka inilah kesempatan baginya.

Dikarenakan pandangan mereka semua jadi terhalang kabut, serangan dilancarkan Aaliha begitu mudahnya mengenai Bennett yang kini menjerit kesakitan, ia sadar jika Aalisha menyerangnya dengan memanfaatkan kabut ini, maka terjadilah pertarungan di dalam kabut tersebut. Suara kedua pedang bersinggungan saling terdengar, bersamaan darah menetes hingga memuncrat setiap Aalisha berhasil menyayat tubuh Bennett. Sementara itu, Herwin yang kebingungan serta kakinya terasa sakit, ia terus mengedarkan pandangan, takut-takut jika gadis itu menyerangnya kembali. Maka tidak mau diserang juga, ia ambil palunya, dilapisi neith sangat kuat kemudian ia hantamkan palu tersebut ke tanah yang kini tanah di sekitar mereka retak semua. Lekaslah mereka kabur dari daerah yang tanahnya retak parah tersebut.

Xorvo melihat Aalisha keluar dari kabut, ia lancarkan serangan berupa ribuan panah beracun yang ibarat hujan, kini menyerang Aalisha. Kini Aalisha meningkatkan serangan dan kecepatannya untuk menebas semua panah beracun tersebut. Namun, panah beracun itu terus-menerus bertambah banyak, tidak ada pilihan baginya, ia gunakan sihir yang berupa api kemudian menghanguskan setiap anak panah. Sayangnya ini menjadi kesempatan Bennett untuk menyerang, maka berhasil ia menyayat perut kanan Aalisha kemudian Herwin muncul, menghantamkan palunya hingga Aalisha terempas kemudian membentur tanah. Tidak selesai begitu saja, Xorvo menggunakan teknik sihir hitam yang menciptakan asap hitam berubah menjadi keunguan menyerupai tengkorak menjadi kuda hitam mengerikan kemudian berhasil menerjang ke arah Aalisha, melahap habis, memerangkap gadis tersebut ke dalam asap yang ternyata penuh dengan racun mematikan.

"Sial, memalukan, tiga orang harus membunuh satu murid cacat, padahal aku saja sudah cukup," ujar Herwin.

"Benarkah?" balas Bennett.

"Ya, aku saja sudah cukup mengalahkan anak itu." Herwin meletakkan palunya yang terasa berat, ia lalu merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku.

"Kalau begitu kau yang lawan nanti." Bennett memasukkan pedangnya ke dalam sarung pedang.

"Dia sudah mati, apa pula dilawan?" balas Herwin.

"Majestic Families?" timpal Xorvo hendak menghubungi Zahava dan memberitahu jika anak cacat itu berhasil dibasmi.

"Kalau itu, bukan tugas kita!" Terlihat jelas di wajah Herwin jika dia tidak berani melawan para Majestic Families, yah, dia tidak salah karena Bennett maupun Xorvo juga sebenarnya takut. Atas alasan inilah mereka setuju saja melawan gadis cacat itu.

"Xorvo, kau sudahi sihirmu itu," ucap Bennett karena sedari tadi asap hitam itu masih membumbung di sana.

"Akan selesai jika anak itu mati." Xorvo membalas.

"Kau serius? Sudah lebih dari lima menit, anak itu masih bertahan?" Bennett jadi terkaget.

"Alah baru lima menit," sahut Herwin, "diakan anak Eidothea, pasti lumayan ... eh, bukankah harusnya sudah mati ya?"

"Sialan! Masa anak itu belum mati!" teriak Xorvo, panik.

Bennett lekas menyahut, ia ikutan panik juga. "Bodoh, kau yang punya sihir itu---"

Mata Bennett dan Herwin membulat sempurna ketika satu buah serangan sihir berupa tombak hitam berlapis neith emas berhasil menembus perut Xorvo hingga tanah di belakang mereka hancur seketika. Tiba-tiba pula, asap hitam penuh racun itu berembus ke arah mereka, hingga perlahan lenyap. Maka ketiga Phantomius yang terkejut bukan main, beralih menatap pada seorang gadis yang masih berdiri tegap, ya dia masih hidup meski terkena asap beracun ataukah anak itu berhasil membuat pelindung sebelum asap racun terhirup? Tidak peduli jawaban benarnya, tetapi kini gadis kecil itu tengah menggenggam tombak kemudian dilesatkan sangat cepat hingga berhasil menghancurkan tanah lagi.

"Xorvo!" Bennett lekas membopong Xorvo yang darah terus-menerus keluar dari perutnya. Sementara itu Herwin hendak meraih palunya, tapi satu tombak hitam berlapis neith emas melesat ke arahnya sehingga membuat Herwin tidak bisa mengambil palunya tersebut. Mereka bertiga terus bergerak mundur karena Aalisha melancarkan serangan tombak tanpa ampun.

"Sial, kenapa bisa dia tidak mati!" teriak Bennett, ia menatap Xorvo yang tengah menyembuhkan dirinya hingga ketika mereka berpijak di tanah lagi, luka di perut Xorvo sudah sembuh.

"Kalian awas! Anak itu menerjang kemari!" teriak Herwin. Dari manik matanya, ia melihat Aalisha melesat sangat cepat, mengayunkan pedang Aeternitas sehingga dentingan terdengar kencang karena berbenturan dengan pedang Bennett.

Xorvo menciptakan sebuah pisau tajam. Ia langsung menyerang karena sepertinya Aalisha tidak sadar jika Xorvo sudah menyembuhkan diri. Namun, Aalisha membuat pedang Bennett berubah arah serangannya, Aalisha melompat untuk menghindari serangan Xorvo, lalu dengan kuat ia tendang pria itu hingga terempas ke belakang. Lalu Herwin muncul di belakang Aalisha menyerang dengan sihir berupa ledakan, tetapi gagal lagi mengenai Aalisha yang malah berhasil menebas punggung Herwin hingga jeritan terdengar. Bennett kembali menyerang, kali ia ia gunakan sihir hitam yang ia pelajari, tetapi tidak berhasil juga serangannya, malah ia semakin terdesak. Serangan Aalisha seolah bukan teknik dasar, melainkan sudah begitu ahli, apalagi tak satu pun dari mereka bisa membaca serangan gadis kecil itu.

"Igniesco." Mata ketiga Phantomius itu membulat ketika Aalisha merapalkan mantra tersebut yang seketika ledakan dahsyat tercipta hingga ketiganya terpelanting.

"Aku muak dengan anak itu, serang dia dengan seluruh tenaga!" teriak Xorvo, maka Bennett dan Herwin menggunakan sihir. Hanya saja, seolah Dewa tak membiarkan gadis itu terluka, maka begitulah kenyataannya. Tak satu pun serangan mereka berhasil, meski menyerang menggunakan pedang pun, gadis itu lebih ahli mengayunkan pedang sehingga luka-luka yang tercipta malah pada diri ketiga Phantomius.

Kini keraguan itu muncul, keanehan itu menyeruak ke pikiran mereka. Bukankah sangat aneh, jika seorang anak yang dikatakan cacat malah begitu mahir dalam pertarungan pedang? Bukankah aneh gadis yang dikatakan tak bisa mengendalikan neith-nya, tapi mampu menggunakan sihir yang seharusnya di usianya belum ia kuasai? Bukankah aneh karena harusnya gadis itu mati ketika terkena asap hitam beracun, tetapi efek terkena racun saja tidak terlihat padanya?

Maka ketakutan ketiga Phantomius tercipta kuat, ketika Herwin hendak menyerang Aalisha yang terlihat kelelahan itu. Harusnya tidak sadar gadis itu jika Herwin menyerang dengan sihirnya. Namun, alih-alih Aalisha terluka, Herwin terkejut karena serangan berupa cahaya biru tua yang menyimpan listrik bertenaga tinggi, tiba-tiba menyerang Herwin hingga lelaki itu menjerit-jerit, teriakannya melalang buana, kemudian dia ambruk ke tanah dengan seluruh pakaian hangus, tercium bau gosong seperti daging dibakar.

"Bajingan!" teriak Bennett terjatuh karena kini sangat ketakutan. "Anak itu bisa menggunakan sihir tanpa merapalkan mantra!!"

Maka Aalisha tersenyum tipis, lekas ia lakukan hal yang sama, tanpa rapalan mantra, Aalisha menggunakan sihir yang berhasil memunculkan besi-besi panas hingga menembus kedua paha Bennett maka pria itu kesakitan, sakit tak tertahankan. Suara jeritannya bergema seolah seluruh penghuni hutan tahu hingga akhirnya burung-burung berterbangan dari pepohonan.

"Ini tidak sesuai perkataan Zahava!" teriak Herwin, perlahan berdiri, kakinya gemetar hebat. "Zahava mengatakan anak ini cacat! Dia berbohong pada kita! Anak ini terlalu kuat, kita seperti melawan .... Majestic Families." Melangkahlah Herwin tertatih-tatih menuju Xorvo yang berusaha menyelamatkan Bennett, tetapi besi panas itu tidak bisa dihancurkan, menggunakan sihir juga tidak mempan.

"Ah kasihan sekali kalian, mau kuperlihatkan separah apa Zahava berbohong pada kalian?" Maka sebelum Herwin mencapai Xorvo dan Bennett, kakinya seketika ditarik rantai besi, terseret ia menuju Aalisha hingga persis di bawah kaki gadis itu.

"Tidak, jangan!" Herwin menjerit-jerit ketika Aalisha menjerat tubuhnya dengan kuat. Ia tidak bisa lepas dari rantai tersebut.

"Kau takkan melakukannya!! Kau itu manusia!" teriak Xorvo, ia tidak bisa melepaskan besi panas dari kedua paha Bennett jadi hanya dapat menggunakan sihir penyembuh agar Bennett tidak menemui ajalnya. "Meski kau membunuh monster, tapi kau takkan berani membunuh manusia! Kau, kau hanya anak kecil, takkan berani melakukannya!"

Aalisha menatap tajam, menelengkan kepalanya. "Kau bilang apa? Aku tidak berani. Mari kita buktikan." Suara jentikan jari terdengar, bersamaan darah memuncrat hebat.

Ya, Aalisha menggunakan sihir yang membuat besi-besi panas dari dalam tanah seketika menebus kedua bola Herwin, begitu pula mulutnya, serta dahinya sehingga bolong lah otak Herwin tersebut. Kini ia sudah mati. Lekas Aalisha gunaka rantai yang menjerat Herwin lalu mengangkatnya, kemudian ayunan pedang Aeternitas berhasil memotong leher pria itu, tubuhnya ambruk ke tanah terpisah dari kepalanya yang rambut Herwin dicengkeram kuat oleh Aalisha, lalu ia perlihatkan pada kedua Phantomius yang hanya diam membisu, ketakutan amat sangat menyelubungi mereka.

"Lihatlah, satu kepala medusa telah siap!" Aalisha tersenyum lebar sambil memegangi kepala Herwin yang melalui lehernya darah segar terus-menerus menetes, benar persis seperti legenda akan pahlawan yang memenggal salah satu kepala gorgon kemudian membawa kepala itu ke mana-mana.

"Akhhhhh, jangan, jangan dekati aku!" Xorvo menjerit ketakutan, ia kabur meninggalkan Bennett, tetapi malah terjatuh karena kini akar-akar tanaman malah menjerat kakinya. Ia tak menyerah, Xorvo merangkak menjauh dari Aalisha.

Bennett tak menyangka Xorvo malah meninggalkannya. "Xorvo kau sialan!" Namun, ia tahu bukan mengamuk pada Xorvo yang penting kini ia menatap pada gadis kecil yang melangkah pelan ke arahnya. "Kau iblis, dasar iblis! Arghhhhrrrr."

Bennett berteriak karena Aalisha dengan mudah memenggal kaki Bennett sehingga terpisah dengan pahanya yang tertancap oleh besi panas. Kini ia bisa bergerak, ya bergerak! Namun, ia harus menyeret tubuhnya yang sudah tak punya kaki, darah terus keluar sepanjang ia menyeret tubuhnya sedangkan Aalisha melangkah tepat di atas darah Bennett, tanpa rasa jijik sedikit pun.

"Siapa nama rekanmu lagi? Haduh aku lupa, tapi akulah yang membunuhnya. Dia juga mengatakan aku iblis, kalau tidak salah? Bukankah kalian lupa bercermin?" Maka Aalisha mendekatkan pedang Aeternitas yang bilah pedangnya memantulkan wajah Bennett yang penuh rasa takut.

"Ketahuilah siapa yang iblis di sini. Kalian, bukan aku." Maka tanpa aba-aba, Aalisha menusukkan pedangnya ke dalam mulut Bennett hingga tembus, darah memuncrat, lekas Aalisha ayunkan pedangnya ke atas hingga berhasil membelah kepala Bennett menjadi dua beserta otaknya ikut terbelah, setelahnya ia ayunkan pedangnya lagi hingga memenggal leher Bennett yang kini mati sudah.

Selanjutnya Aalisha melangkahlah lagi dengan pelan menuju Xorvo yang masih merangkak di tanah karena ia tidak bisa berlari akibat kedua kakinya dijerat akar-akar tanaman. "Siapa kau sebenarnya?! Zahava berkata kau hanyalah anak cacat, kami bisa menghadapimu! Namun, mengapa?"

"Itu artinya Zahava berbohong pada kalian. Kasihan sekali, dia memanfaatkan kalian karena sebenarnya dia takut padaku." Perkataan Aalisha itu membuat Xorvo terdiam. Tidak ia sangka jika sosok yang ia hormati malah sengaja membuangnya. "Bukankah ini resiko menjadi Phantomius? Sungguh bodoh kau wahai manusia."

Xorvo meneteskan air matanya, ia menatap Aalisha yang sudah siap mengayunkan pedangnya. "Bagaimana denganmu, siapa kau? KENAPA KAU BERANI MEMBUNUH SESAMA KAUMMU!"

"Sesama, apa maksudmu? Kau pikir aku manusia sepertimu juga?" balas Aalisha, "aku bukan sekadar manusia biasa! Aku adalah ...."

Ayunan pedang Aeternitas berhasil memotong-motong tubuh Xorvo hingga menjadi lima bagian kemudian Aalisha tebas leher pria itu, rambutnya dicengkeram, lalu ia lempar kepala Xorvo ke langit, kepala itu melayang sesaat, berputar, kemudian Aeternitas Aalisha menusuk leher Xorvo bagian bawah hingga tembus ke ubun-ubun, maka darah memuncrat, tetapi tidak mengenai Aalisha karena ia gunakan selubung neith untuk melindungi seragam dan wajahnya.

".... De Lune, Aalisha Galad De Lune, jadi ketahuilah di mana posisimu berada, dasar makhluk rendahan." Ia ayunkan pedangnya agar kepala itu terlepas kemudian darah di Aeternitas perlahan lenyap, kini mengkilap lagi pedang tersebut.

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

Jadi Aalisha itu punya dua tipe segel:
1. Segel yang ditanam sejak dia kecil, terus segel ini nggak bisa Aalisha hancurkan dan bakal selamanya mengekang hidupnya.

2. Segel yang dipasang Aalisha sendiri, gunanya untuk menyembunyikan aura neith-nya---biar nggak terdeteksi orang-orang. Segel ini bisa dia lepas dan pasang ulang.

Mudahnya gini, Aalisha itu murni cacat ya---banyak alasan dia cacat---salah satunya ya karena segel tipe pertama yang buat dia cacat selamanya. Jadi kalau dia gunakan kekuatan secara berlebihan, dia bakal berdarah, parahnya sampai pingsan atau mati, nah ini bukan akibat segel tipe 2, melainkan karena segel tipe 1.

Hozier berhasil diselamatkan lalu bagaimana kelanjutannya?

Prins Llumière

Jum'at, 17 Februari 2023


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top