Chapter 69
|| Kalian siap?
|| Berikan 70 vote dan 60 Komentar
Knee high boots berwarna hitam itu menginjak tanah, menginjak pula ranting-ranting kayu yang kering, ia menelusuri hutan belantara yang sepi bahkan kicauan burung tak terdengar, sejak tadi matahari tak kunjung juga menampakkan dirinya, sepertinya awan-awan hitam hendak menguasai dunia pada hari ini, tetapi tidak menurunkan hujannya.
Berhentilah langkah tersebut karena melihat beberapa binatang seperti seekor landak yang duri-durinya tersangkut dedaunan, kemudian ia lihat pula kancil yang melompat ke sana kemari sambil bermain dengan kupu-kupu berwarna biru cerah. Ia juga melihat tupai berlari dari satu dahan ke dahan lainnya sambil membawa kacang di tangannya, terkadang berhentilah tupai-tupai itu kemudian menikmati kacang yang menjadi makan siangnya.
Diliriknya ke sebelah lain, di rerumputan dengan bunga-bunga indah tumbuh, serta pohon rindang, berbatang sangat kuat dan kokoh, seekor kelinci tengah melompat ke sana-kemari, bulunya putih seperti salju. Tanpa pikir panjang, sepatu hitam tersebut melangkah menuju si kelinci yang tahu bahwa ada seseorang yang mendekatinya, bukannya takut, sang kelinci berhenti melompat kemudian berdiam diri karena sengaja hendak digendong oleh pemilik sepatu hitam yang berhenti di hadapannya. Maka diangkat kelinci tersebut, digendong, kemudian dielus-elus perlahan bulu putihnya yang kini si kelinci terlelap.
"Harusnya kau tak di sini, banyak pemangsa yang tak kenal ampun." Suara gadis terdengar dari sosok yang menggendong si kelinci.
Lalu tak lama, terdengar langkah kaki berbeda, tepat di belakang gadis tersebut yang kini mendongak kemudian berbalik untuk melihat siapa kira-kira yang berani mengganggu kesenangannya bermain dengan kelinci putih ini. Oh, ternyata seorang Phantomius berambut biru dengan mengenakan zirah perang. Melihat Phantomius itu yang datang kembali ke hadapannya pasti karena ada sesuatu yang mengganjal di hati penyembah Raja Iblis tersebut. Maka si gadis tersenyum simpul, kemudian berujar, "kau telah membuat kesalahan karena berani berada di hadapanku."
"Kalian lah yang terlalu berani terlibat dengan Phantome Vendettasius, padahal kalian hanya anak ingusan! Tidakkah kalian berpikir jika kematian akan datang karena berani mencegah rencana agung Raja kami!" Suara Amaguza meninggi, ia sudah terbawa amarah padahal gadis di hadapannya begitu tenang bagaikan danau tak berpenghuni.
"Kau mengatakan kami anak ingusan padahal di daerah hutan lain, ada para Majestic Families yang siap memenggal kepala kalian," balas Aalisha.
"Benar," sahut Amaguza, "tapi kami sudah menyusun rencana untuk menahan mereka dalam pertarungan, meski mereka dapatkan Zephyr-nya, tapi kami punya kartu yang lebih kuat dan kehancuran akan tetap terlaksana." Amaguza memperlihatkan kekuatannya yang kini selubung neith berwarna hitam mengelilingi dirinya.
"Ah begitu." Si gadis perlahan menaruh kelinci putih tersebut, berbisik pelan untuk menyuruh kelinci itu pergi. Maka menurutlah si kelinci dan mulai melompat pergi dari sana. "Kurasa kami akan mati karena 'kartu as' yang kalian sembunyikan."
"Itulah yang akan terjadi jika kalian berani mengusik kami." Amaguza memunculkan sebuah tongkat berwarna hitam dan ujungnya terdapat gantungan berupa tengkorak. "Sekarang jawab aku, siapa kau? Mengapa para Orly bernyanyi untukmu!"
"Aalisha," sahut gadis tersebut, "seorang murid Eidothea angkatan tahun pertama. Mengapa para Orly bernyanyi untukku? Coba tanyakan pada mereka langsung."
"Sayangnya aku tak punya waktu bertanya pada mereka. Jadi sudahlah. Aku tak peduli siapa kau karena tidak lama lagi para Orly itu akan bernyanyi lagu pemakaman untukmu!" Maka Amaguza mengetukkan tongkatnya ke tanah yang kini terdengar suara lolongan serigala, lalu disusul teriakan dan raungan para minotaur dan juga Beer Misvormwolfir yang para monster itu lengkap mengenakan zirah, beberapa ada yang menggunakan ketopong untuk melindungi kepalanya.
"Jumlah mereka ada sepuluh ditambah delapan serigala, jika kau masih ingin hidup, maka bersujudlah padaku serta memohon ampun!"
Aalisha menghela napas, ia menarik pedang Aeternitas-nya. Dikarenakan tidak ada yang melihatnya, hanya ada dirinya dengan Phantomius songong di sana jadi tidak masalah jika ia sedikit serius, anggap saja sebagai pemanasan sebelum menghadapi musuh yang sebenarnya. "Kau memerintahkanku untuk bersujud padahal kau tak tahu siapa aku? Ah susah juga ya karena aku tidak melakukan debutante jadi seluruh Kekaisaran tidak tahu aku. Begitu juga kalian."
"Mengoceh apa kau dasar gadis cacat," teriak Amaguza.
"Aku hanya mau bilang, coba cari lawan yang sepadan denganmu." Manik mata Aalisha membulat, menatap tajam pada Amaguza yang kini sang Phantomius terkejut bukan main.
Suara lolongan, teriakan, jeritan, raungan para monster di belakangnya melalang buana membuat puluhan burung beterbangan saking mereka takutnya. Perlahan Amaguza berbalik lalu menyaksikan pemandangan yang mengerikan itu ketika pentagram sihir biru yang tak ia sadari kini berada di bawah kaki para monsternya. Maka pentagram tersebut menghasilkan tekanan sihir yang sangat kuat, membuat para monster tidak bisa bergerak, hingga perlahan-lahan mereka semua meleleh! Ya mereka meleleh ibarat api yang melelehkan lilin kemudian para monster melebur hingga menyatu dengan tanah sedangkan genangan darah yang sangat cair mengalir ke mana-mana. Tidak butuh waktu lama agar sihir Aalisha itu membunuh seluruh monster yang Amaguza panggil.
"Mustahil, mungkinkah? Kau ...." Amaguza berbalik menatap Aalisha yang menancapkan pedangnya ke tanah, kini meraih sapu tangan putih dari dalam invinirium-nya karena gadis itu memuntahkan darah begitu banyak jadi ia harus menyeka darahnya di sekitar mulut dan hidung.
"Sialan, capek juga menggunakan sihir terus-terusan." Aalisha berucap, menatap pada sapu tangannya yang memerah.
"Bagaimana bisa!!" Amaguza tidak pernah menyangka akan kemampuan dari gadis kecil yang tidak stabil energi neith-nya. "Siapa kau sebenarnya?!"
"Sudah kukatakan tadi, aku murid akademi Eidothea, mengapa kau masih saja ngeyel."
"Bajingan, pembohong! Kubunuh kau anak keparat!" Maka Amaguza merapalkan mantra yang mendatangkan sosok makhluk berjubah hitam menyerupai bayangan yang dapat terbang ke sana-kemari begitu cepat, makhluk itu membawa sabit juga. "Wahai para pengikut setiaku, aku perintahkan kalian! Binasakan lah makhluk hina yang berani mengacaukan perintah Raja iblis, binasakan hingga jiwanya meronta-ronta."
Aalisha menatap pada makhluk bayangan yang semakin bertambah banyak dibandingkan yang sebelumnya ia lawan bersama Anila dan Mylo. Makhluk itu bisa mencapai sepuluh dengan masing-masing membawa sabit tajam. "Devorator Umbrarum," gumam Aalisha menyebut nama makhluk hitam tersebut. "Jadi begini bentuk makhluk itu kalau dilihat dari dekat. Mari kita lihat seberapa pantas makhluk ini mendapat pujianku."
Sekali lagi, melalui manik mata Amaguza, ia melihat senyuman lebar terpatri pada gadis kecil itu yang mulai menahan setiap serangan dari Devorator Umbrarum, begitu mudahnya, tanpa celah sedikit pun, tak berhasil meski satu goresan mengenai gadis kecil itu yang seolah mampu membaca setiap serangan musuhnya. Mustahil! Bagaimana bisa seorang anak angkatan tahun pertama bisa setenang itu menghadapi makhluk yang notabenenya ditakuti banyak prajurit bahkan penyihir dewasa.
"Serang dia! Hancurkan gadis itu tanpa ampun! Apa yang kalian tunggu, gunakan seluruh kekuatan kalian, lenyapkan ia sekarang juga!" Suara Amaguza semakin tinggi sambil dia mengentak-entakan tongkatnya ke tanah berulang kali.
Sementara itu, Aalisha berhasil menahan setiap serangan sabit yang mengarah padanya, meski jumlah para makhluk berwujud bayangan itu semakin banyak dan menyerang secara bersamaan. Aalisha tetap mampu menghindarkan setiap serangan tersebut. Ia lekas melompat ketika beberapa Devorator Umbrarum menyerang dengan sihir berupa bola hitam yang jika terkena tubuh akan berhasil menghilangkan sebagian anggota tubuh tersebut. Itulah yang terjadi pada pepohonan, semak-semak, hingga tanah yang Aalisha pijak seolah melebur setelah terkena serangan bola hitam. Maka kini Aalisha berusaha menghindari setiap serangan mereka serta sesekali menggunakan pedangnya agar sabit mereka tidak menggoresnya sedikit pun.
"Mengapa kau kabur, dasar gadis jalang! Kemari dan segeralah memohon padaku!"
Aalisha menatap Amaguza, ia kesal sekali mendengar suara pria itu yang selalu mengatakan agar Aalisha bersujud padanya seolah dia jauh lebih kuat. Maka Aalisha pun berujar, "kuberi kau lima menit untuk menghabisiku, jika kau tak mampu. Maka kau akan kubunuh lebih menyakitkan dan penuh penderitaan. Jadi lima menitnya dimulai dari ... sekarang."
"Berani sekali kau anak bodoh! Datanglah wahai pasukanku."
"Sial, ini lebih membosankan dari yang kuinginkan." Sekali lagi, Aalisha kecewa karena mendapati lawan yang lebih lemah darinya.
Kini tidak hanya para makhluk bayangan pembawa sabit, tetapi mulai berdatangan lagi monster-monster yang jauh lebih ganas karena kini mereka memiliki besar dua kali lipat dari monster sebelumnya. Maka semakin banyak pula serangan yang mengarah pada Aalisha, tetapi di luar dugaan, gadis kecil itu berhasil menangkis setiap serangan yang mengarah padanya begitu mudahnya, ia terlihat gemulai seolah sedang menari padahal kenyataannya setiap tebasan yang Aalisha lakukan berhasil menggores setiap zirah dari para monster, menghancurkan zirah tersebut, kini ia juga mulai memotong tangan-tangan para monster sebelum senjata mereka diayunkan.
Darah memuncrat ke mana-mana. Lalu para Devorator Umbrarum tidak sedikit pun dapat menggoreskan wajah Aalisha karena ada selubung neith yang melindungi gadis tersebut. Terus-menerus begitu, seolah para monster sedang mengikuti tarian gadis itu. Raungan para monster terdengar akibat mereka kesal karena Aalisha begitu ahli menghindari setiap serangan mereka, seolah semua yang akan dilakukan para monster dan Devorator Umbrarum terbaca oleh mata gadis itu. Ya, seorang gadis yang tak terlihat kewalahan sedikit pun meski harus menghadapi pasukan sebanyak ini.
"Mengapa, mengapa bisa?! Kau hanya murid Eidothea angkatan pertama, mengapa kau begitu tenang menghadapi semua ini!"
"Lima menitmu habis," ungkap Aalisha kemudian berputar dan berhasil menendang satu minotaur hingga terpental jauh kemudian mati tertusuk oleh puluhan besi yang muncul di pepohonan. "Dan kau mengecewakanku."
Maka sekeliling Aalisha terasa sangat lambat, gadis itu berjongkok, menyentuh tanah dengan dua jemarinya kemudian memunculkan pentagram sihir biru, ia merapalkan mantra yang langsung dari pentagram tersebut muncullah puluhan besi yang menusuk setiap monster di sekeliling Aalisha, membuat mereka tertahan karena besi-besi itu menembus sendi-sendi tubuh mereka. Raungan terdengar sangat menyakitkan, bahkan beberapa monster mengeluarkan air mata, saking mereka tak bisa menahan sakit akibat besi-besi yang menembus tulang-tulang mereka. Lalu teruntuk para Devorator Umbrarum, pentagram sihir biru bermunculan di langit bersamaan rantai-rantai besi berwarna emas langsung menjerat para makhluk bayangan tersebut, suara melengking terdengar kencang. "AAKKKKHHHHH", maka para makhluk bayangan itu ditarik paksa masuk ke dalam pentagram sihir Aalisha kemudian mereka semua lenyap dari langit.
Sementara itu Aalisha berdiri, kemudian merapalkan mantra lagi yang membuat zirah para monster melebur menjadi abu, sedangkan monster-monster itu semakin meraung-raung kesakitan hingga tubuh mereka membesar layaknya balon, lalu mereka meledak, daging dan seluruh organ dalam mereka tersembur keluar, begitu juga darah yang memuncrat ke mana-mana. Namun, tak sedikit pun mengenai Aalisha karena gadis tersebut melindungi dirinya dengan selubung neith. Setelahnya, ia menatap Amaguza sambil berujar, "harusnya seperti inilah lima menit yang kumaksudkan."
Sungguh, kini seluruh monster dan Devorator Umbrarum yang Amaguza panggil, tak satu pun bersisa dan benar-benar lenyap di tangan Aalisha.
"Sialan, kubunuh kau langsung!" Amaguza memang terkejut bukan main melihat pemandangan mengenaskan di hadapannya, tetapi amarahnya lebih besar yang membuatnya langsung menerjang ke arah Aalisha sambil merapalkan banyak mantra. "Tormtum Impetus."
Serangan berupa kilatan cahaya melesat sangat cepat melebihi anak panah atau lembing yang dilemparkan, tetapi hal itu tidak membuat Aalisha takut, karena dengan pedangnya yang ia ayunkan, berhasil menebas sihir tersebut kemudian melenyapkannya. Amaguza terkejut karena sihirnya begitu mudah dilenyapkan, ia juga terkejut karena melihat gadis itu kembali mengambil sapu tangan kemudian menutupi mulutnya karena Aalisha memuntahkan darah. Mungkinkah gadis itu niteleum? Mustahil, mana mungkin Amaguza kalah dari anak cacat yang tidak diketahui identitasnya! Maka amarah semakin terpompa hingga darahnya berdesir.
Aalisha langsung menahan serangan Amaguza yang menggunakan tongkatnya, kemudian pria itu merapalkan mantra sehingga membuat Aalisha terpelanting meski tak jauh. Gadis itu lekas berpijak kembali, sambil melepaskan sapu tangannya yang penuh darah. Kepalanya berdenyut sakit, sungguh kali ini yang membuatnya kesulitan bukan karena Amaguza menyerangnya, tetapi darah sialan yang selalu ia muntahkan setiap selesai menggunakan sihir.
"Apa kini kau sudah kewalahan? Biar kupercepat kematianmu itu!" teriak Amaguza terus-menerus menyerang dengan cara membabi-buta, meski ia berhasil membuat langkah Aalisha mundur, ia tidak tahu jika tak satu pun dari serangannya berhasil mengenai gadis kecil itu yang akibat serangan Amaguza, membuat rasa kesal Aalisha mulai memuncak.
"Sial, aku tak punya banyak waktu untuk bermain, harus kutemukan anak itu," ucap Aalisha.
"Berani sekali kau memikirkan hal lain ketika bertarung denganku-AKH!" Satu tendangan di perut Amaguza berhasil membuatnya terempas jauh, tetapi sebelum menyentuh tanah kembali, Amaguza menatap pada gadis kecil yang mengarahkan tangannya sehingga muncul rantai besi yang kemudian menjerat kedua kaki Amaguza. Lekas rantai tersebut menariknya kembali menuju Aalisha yang tengah mengayunkan pedangnya, lalu menebas tangan kanan Amaguza sehingga terlepaslah tongkatnya bersamaan darah memuncrat hebat akibat putusnya tangan Amaguza serta suara melengking penuh kesakitan terdengar sepersekian detik selanjutnya. Lekas Aalisha melempar pria itu hingga menghantam pepohonan.
"GADIS JALANG! SUDAH CUKUP, KUBUNUH KAU!" Maka Amaguza memunculkan puluhan pentagram sihir merah di sekeliling Aalisha dan ledakan dahsyat tercipta. Dari serangan itu angin kencang tercipta pula hingga pepohonan bergoyang, semak-semak belukar sebagian hancur, dedaunan di tanah beterbangan.
"Kuakui serangan ini cukup menyakitkan." Aalisha berucap dengan sebagian pakaiannya sobek dan agak hitam, tetapi ia tidak begitu terluka parah dan masih bisa melangkah dengan mantap menuju Amaguza yang tertunduk di tanah sambil menahan lengan kanannya yang terus mengeluarkan darah. "Namun, tidak berhasil membunuhku. Kasihan, menyedihkan. Jadi bagaimana jika kucoba satu sihir padamu."
Aalisha mengarahkan tangannya pada Amaguza. Seketika tubuh pria itu bersinar biru tua hampir menjadi warna ungu, kemudian sinar itu seolah menjeratnya hingga ia tak bisa bergerak. Perlahan-lahan muncul semacam ukiran di sekitar leher, wajah, hingga memasuki sela-sela mata Amaguza yang kini matanya melotot hampir keluar. "Cruciatu Igilium Maledictio." Aalisha merapalkan mantra.
"AAAARGGGHHHH. KUMOHON HENTIKAN, HENTIKAN."
Amaguza menjerit tanpa henti karena sihir itu seolah-olah menyiksa seluruh tubuhnya, ibarat ada bara api di dalam tubuhnya yang terus membakar seluruh organ dalamnya, tetapi tubuhnya tak kunjung meleleh karena bara api itu hanya membakar organ dalamnya saja, perlahan rasa sakit itu mencekik lehernya yang membuatnya tak bisa bernapas dengan lancar, mulutnya berbusa, kepalanya hendak pecah karena otaknya juga ikutan memanas, kedua bola matanya seolah akan meledak. Apakah akan terjadi? Sayangnya Aalisha takkan meledakkan kedua mata tersebut karena masih berguna. Maka ketika Aalisha menyudahi sihirnya, Amaguza ambruk sambil berteriak melengking, berguling-guling, dan memegangi kepalanya akibat rasa sakit tak tertahankan itu.
"Hentikan, tolong aku. Ampunilah aku!" Tangan Amaguza seolah hendak menggapai Aalisha saking ia sudah tak bisa menahan sakitnya lagi. Ia menatap buram pada gadis kecil yang tepat berada di belakangnya kepalanya. Ya, posisi Amaguza kini berbaring di rerumputan, agak mendongak ke belakang untuk melihat Aalisha yang tepat berada di belakang kepalanya. Sementara itu, Aalisha hanya bisa menatap pada pria yang kini terkapar dengan posisi seolah hendak meminta bantuan sebelum ajal menjemputnya.
"Mengapa kau menyembah bangsa Iblis?" ujar Aalisha.
"Aku tak punya pilihan, aku memiliki istri dan anak, aku memiliki keluarga yang harus kulindungi. Para iblis akan membunuh mereka jika aku tak menjadi bagian dari mereka!" Amaguza menangis, tangis yang keluar bukanlah air, melainkan darah. "Aku harus melindungi mereka, jadi aku tak punya pilihan! Jadi kumohon, tolong aku, ampuni, bawa aku pergi dari para Iblis."
"Jadi kau adalah manusia yang tak punya pilihan?"
"Ya, ya, aku tak punya pilihan selain menjadi penyembah Raja Iblis demi melindungi mereka. Demi melindungi keluargaku." Amaguza berguling, kini dalam posisi tiarap itu, dia perlahan menyeret tubuhnya hendak mendekati Aalisha kemudian menggenggam kaki gadis tersebut dengan tangan kirinya. Sangat menyedihkan Amaguza karena kini seolah bersujud memohon ampun pada Dewa, ia memohon ampun dan belas kasih Aalisha.
"Tolong ampuni aku agar aku bisa kembali pada anak dan istriku. Bukankah keluarga penting bagi kita? Bukankah kau juga memiliki keluarga, jika keluargamu terancam maka kau akan melakukan apa pun 'kan? Jadi tolonglah aku, tolonglah."
Aalisha diam menatap Amaguza. "Apa kau ingin akan menolongmu dan juga keluargamu itu?"
"Ya, kumohon, aku tak punya pilihan. Aku sangat menyayangi mereka jadi kulakukan segalanya demi mereka. Aku mohon, tolonglah aku dan berikan belas kasihmu. Aku berjanji akan melakukan apa pun yang kau perintahkan." Semakin menjadi Amaguza menangis di bawah kaki Aalisha.
Sesat gadis itu hening, seolah sedang berpikir. "Baiklah, aku akan mengampunimu."
Mendengar perkataan itu, perlahan Amaguza mendongak, menatap pada gadis kecil tersebut. Kemudian tangis Amaguza digantikan dengan senyuman lebar. "Gadis bodoh. DASAR BODOH."
Sontak muncul pentagram sihir merah di bawah kaki Aalisha dan juga tubuh Amaguza. Pentagram itu berhasil menahan kedua manusia tersebut sehingga tidak mampu bergerak sedikit pun. "Dasar gadis bodoh, bisa-bisanya termakan perkataanmu. Biar kubawa kau menuju kematian bersamaku!"
Amaguza berniat untuk melakukan bunuh diri dan membawa Aalisha ke kematian juga. Sungguh tak ia sangka jika gadis ini tetaplah gadis bodoh seperti manusia lainnya yang terlalu memiliki empati dan rasa iba, kini semua sifat manusianya itu akan membawanya ke dalam kehancuran pula!
"Manusia memang munafik," ujar Aalisha yang melalui manik mata Amaguza itu. Ia melihat Aalisha yang tak terbesit takut sedikit pun malah gadis kecil itu tersenyum tipis. "Biar kuberitahu satu hal padamu, Para Dewa memang Maha Pengampun. Namun, aku bukan Dewa, jadi aku takkan mengampunimu."
Maka tak Amaguza sangka jika pentagram biru milik gadis itu muncul kemudian melenyapkan seluruh pentagram merah miliknya. Kini hanya tubuh Amaguza saja yang tak bisa bergerak sedangkan Aalisha sudah melangkah mundur, menjauhi Amaguza yang ibarat binatang akan dikorbankan dalam upacara, maka sebentar lagi, pria itu akan binasa.
"Siapa kau?" ucap Amaguza menatap pada Aalisha. "Siapa kau yang sebenarnya?!" Ia berteriak hingga darah keluar dari mulutnya. Kini pentagram sihir biru itu semakin bersinar terang.
"Siapa aku? Sudah kukatakan sebelumnya, aku murid biasa dari Akademi Eidothea."
"Pembohong! Pembohong! Tidak mungkin anak sepertimu hanya anak biasa! Katakan padaku, siapa kau yang sebenarnya!! KATAKAN PADAKU!"
Kini Amaguza terdiam membisu, tubuhnya meremang ketakutan, sudah benar-benar gila dirinya ketika merasakan pancaran neith yang begitu kuat dari gadis kecil di hadapannya ini. "Kau ingin kebenaran? Baiklah, kalau begitu coba tebak, kira-kira dari mana aku berasal?"
Maka Amaguza berteriak seperti orang gila, suaranya benar-benar nyaring hingga burung-burung berterbangan ketakutan. Amaguza benar sudah kehilangan akal dan kewarasannya ketika melihat dengan jelas yang awalnya manik mata Aalisha berwarna hitam kini menjadi berwarna emas yang begitu indah, sangat-sangat indah, tetapi membawa dendam yang sangat besar serta kehancuran.
"BAJINGAN KAU, KAU KETURUNAN KELUARGA AGUNG---"
Belum selesai perkataannya itu, kepala Amaguza pecah hingga otaknya menyembur keluar, bola matanya menggelinding di tanah, kemudian disusul sisa tubuhnya yang lenyap bagaikan abu kemudian terbang dibawa sepoi angin. Ya kini Amaguza benar-benar sudah sirna tak bersisa akibat sihir Aalisha, begitu pula pasukan yang ia bawa.
Perlahan tangan kanan Aalisha menyentuh kepalanya yang berdenyut, ia menutup matanya karena terasa sakit kemudian memunculkan cyubes. Lalu menatap ke cyubes, bagaikan cermin sehingga memantulkan wajahnya. Kini Aalisha menatap dirinya sendiri yang kini manik matanya berwarna emas.
"Dia pasti melihat mataku, sialan, padahal aku penasaran apa yang akan dia katakan, tapi kalau tebakannya benar, bisa bahaya." Perlahan Aalisha tersenyum kemudian meraih pedangnya, dimasukkan ke dalam sarung pedang. Kini manik matanya kembali menjadi hitam seperti semula. Ia berbalik, mengedarkan pandangannya ke daerah hutan ini yang telah menjadi lautan darah.
"Apa aku terlalu berlebihan?" tanyanya pada diri sendiri, kemudian menggeleng lalu melangkah pergi dari sana.
****
Langkah Aalisha terus menyusuri hutan ini, ia tidak berniat mencari Anila dan Mylo karena baginya lebih baik terpisah seperti ini dan segera menemukan Hozier dibandingkan bersama-sama yang membuat Aalisha harus menyembunyikan neith-nya dengan cara memasang segel pada dirinya sendiri, sungguh sangat-sangat menyakitkan jika Aalisha menggunakan kekuatan melebihi batasan segel karena segel itu akan menekan kekuatannya dan seolah mengoyak seluruh tubuhnya. Kini saja berapa kali dia sudah muntah darah yang membuat kepalanya pusing.
"Ah, lihatlah apa yang kutemukan."
Setelah melewati pohon beringin besar dan semak-semak belukar, Aalisha mendapati tanah lapang yang luas, rerumputan terhampar, tidak ada semak belukar maupun pohon besar di tanah tersebut, tidak pula ada monster yang berjaga atau terlihat para Phantomius. Aalisha hanya menemukan sebuah rumah kecil, berbentuk persegi, dibangun dari papan kayu yang sudah rapuh dan reyot, berlantaikan dua. Rumah kecil itu seperti menara pengawas, tetapi tak ia dapati seorang prajurit atau pemanah sedang berjaga di rumah tersebut.
Semua yang Aalisha lihat sama sekali tak membuatnya terkejut dan curiga jadi ia melangkah menuju rumah tersebut, ternyata tak ada pintu yang menghalangi, jadi masuklah dia setelah mengucapkan permisi dengan pelan lalu suara derit kayu jabuk terdengar ketika ia mulai melangkah ke dalam.
Berada di lantai satu, tidak ada yang spesial, ruangan kecil tanpa ada meja dan kursi yang menghiasi, tak ada pula lemari atau figura yang terpajang di dinding-dinding kayu rumah ini. Hanya ada sarang laba-laba di langit-langit, debu yang cukup banyak, pasir-pasir di lantai kayu yang sebagian sudah jabuk dan patah. Karena tak ada apa pun, maka Aalisha melangkah menuju lantai dua yang kayu setiap anak tangganya akan berderit ketika Aalisha pijak.
"Kuyakin, kalau ada pencuri kemari sudah pasti ketahuan padahal baru menginjak satu anak tangga."
Dia terus menaiki satu per satu anak tangga yang setiap ditengok kanan-kiri dinding rumah ini sudah sangat rusak, sehingga benar-benar tak layak untuk dihuni, entah berapa puluh tahun rumah ini sudah ditinggalkan. Hingga akhirnya Aalisha sampai di lantai dua yang baru ia injak lantai ini, ia mendapati karpet merah di lantai, sudah sangat kusam, agak hitam, banyak pasir pula. Namun, berada di lantai dua ini, kayu-kayu yang ia pijak tidak serapuh kayu yang ada di lantai satu. Baiklah, Aalisha tak peduli jika ada keanehan di rumah ini jadi ia melangkah kembali yang sama halnya di lantai bawah, tidak Aalisha dapati hal spesial di lantai ini. Hanya saja, langkahnya terhenti ketika melihat ada pintu di lantai ini yang mengarah ke sebuah ruangan, pintu yang terbuat dari kayu mahoni dan berwarna cokelat.
Pada detik inilah, Aalisha terkejut sedikit karena dari balik pintu tersebut, ia bisa mencium aroma wangi berupa teh yang baru selesai diseduh. Aroma teh ini benar-benar nyata bukan karena Aalisha tengah merasa lapar dan haus. Maka lekas ia sentuh gagang pintu tersebut kemudian dibukanya secara perlahan maka aroma wangi teh itu semakin terasa, kini ia sadar bahwa pernah mencium aroma ini sebelumnya.
Masuk ke ruangan tersebut yang terlihat lebih bersih dibandingkan sebelumnya, karpet merahnya juga tak berdebu, ada banyak furniture di dalam ruangan ini. Ia juga mendapati sebuah meja bundar berwarna cokelat dan juga dua kursi, lalu di atas meja bundar itu ada teko yang penuh dengan teh, sementara itu ada pula dua cangkir putih, berukiran bunga tulip mengelilingi badan cangkirnya, berisi teh yang dari sanalah aroma wangi tersebar ke seluruh ruangan ini.
Aalisha awalnya terkejut saat tiba di dalam ruangan, tetapi ia cepat mengontrol ekspresinya. Kini manik mata hitamnya mendapati seseorang yang duduk di kursi tersebut, kaki bersilang, ia mengenakan pakaian bangsawan dengan warna biru tua gradasi putih, selain itu satu tangannya meraih salah satu cangkir berisi teh, kemudian tersenyum simpul pada Aalisha yang sejak tadi telah ia tunggu-tunggu kehadirannya.
"Akhirnya, kau datang juga." Itu adalah suara seorang pria yang sangat Aalisha kenal.
"Halo, Master Arthur," sapa Aalisha sambil membalas senyuman Arthur.
Ternyata sosok pria itu adalah Arthur Hugo Ellard yang begitu senang akhirnya bisa melihat salah satu murid pembuat onarnya ini. "Hebat kau tidak terkejut melihatku?"
Aalisha memutar bola matanya, apa Arthur pikir Aalisha sebodoh ini? "Anda memanglah salah satu manusia yang masuk ke daftar hitamku untuk selalu kuwaspadai, jadi aku takkan terkejut jika Anda melakukan hal-hal aneh." Ia melangkah hingga ke hadapan Arthur, tapi tidak berniat untuk duduk.
"Duduklah dan nikmati teh yang baru kuseduh, rasanya sangat enak."
"Aku tak berniat bersantai."
"Sayang sekali." Arthur tersenyum kemudian menyeruput tehnya, lalu ia taruh di atas meja lagi.
"Lagi pula, aku takkan bisa meminum teh itu karena ini tak nyata, benar 'kan?"
Arthur mengangguk. Bangga dia mendengar perkataan Aalisha. "Ya, meski kau mencium aromanya, tapi kau tak bisa merasakan tehnya, bukanka hebat? Lalu apa lagi yang kau tahu?"
"Ini salah satu kemampuan sihir Anda. Sihir yang dapat memproyeksikan diri Anda, padahal kenyataannya, diri Anda yang asli tidak ada di sini. Aku tak tahu alasan kenapa aroma tehnya tercium, tapi teh ini tak nyata. Mudahnya semacam hologram, lalu nama sihirnya, Vera Proiectura. Digunakan pertama kali oleh keturunan Achelois agar memudahkan rapat besar Majestic Families yang kebanyakan tidak suka datang langsung ke tempat rapat."
"Kau memang sangat cerdas, Aalisha." Arthur memuji langsung dari lubuk hatinya.
"Baiklah jika aku benar, lalu bagaimana Anda tahu aku berada di sini? Bagaimana cara Anda mendeteksiku?"
"Hmm, apa kau tak ingat, kurasa ada hadiah yang hingga kini masih kau simpan?"
Aalisha lekas memunculkan invinirium kemudian mencari-cari benda yang Arthur maksudkan. Maka ia temukanlah benda tersebut yang berupa sekeping cokelat yang dibalut plastik emas. "Cokelat, ini dari tuan Tamerlaine."
"Benar sekali, harusnya kau makan cokelat itu, tapi kau lupakan dan kau simpan di dalam invinirium. Lalu jadilah cokelat itu sebagai pendeteksi agar aku bisa menemukan keberadaanmu."
"Sialan, aku tak sadar." Aalisha jadi membuka plastik emas yang membalikkan kepingan cokelatnya lalu ia makan, ternyata rasanya enak juga. "Jadi di mana diri Anda yang asli sekarang berada?"
"Menurutmu aku berada di mana?" Melalui sudut pandang Arthur, ia tidak melihat seperti yang Aalisha lihat. Tidak ada ruangan dari kayu yang reyot dan jabuk, melainkan ruangan mewah bercat emas, karpet tebal berwarna merah dan bersih. Segalanya rapi layaknya ruangan beristirahat untuk para bangsawan. Ya, Arthur berada di sebuah mansion yang terletak di pusat kota.
"Aku sekarang berada di salah satu mansion yang terletak di ibukota Kerajaan Kheochiniel. Kau tahu kabarnya kan, jika aku, Profesor Eugenius dan beberapa pengajar dipanggil pihak Kekaisaran, kini kami berada di kerajaan Kheochiniel untuk mengurus hal yang sangat penting itu."
Aalisha membuat-buat wajah terkejut. "Wah, apa Anda sedang berlibur? Lalu mengapa Anda malah susah payah menggunakan sihir ini hanya untuk menemuiku?"
"Karena kau salah satu penyebab dari semua ini!" ucap Arthur, "bisa-bisanya kau terlibat masalah Zephyr, tanpa memberitahukan kami!"
"Jadi masalah penting yang membawa kalian ke kerajaan Kheochiniel karena Zephyr?" ucap Aalisha.
"Kau pikir apalagi? Ketika kami sadar Zephyr menghilang, kami bersamaan mendapatkan panggilan dari pihak Kheochiniel jika Phantomius berbuat ulah karenanya kami pergi sekaligus melaporkan jika Zephyr di akademi telah dicuri, tetapi kau dan para Majestic Families malah berbuat keonaran, ikut campur masalah ini tanpa meminta izin pada kami dahulu!"
Aalisha sama sekali tidak takut dengan amarah Arthur malah gadis itu hendak tertawa, tetapi ditahannya karena ia tak mau Arthur semakin marah dan berniat membunuhnya setelah pulang dari ibukota Kheochiniel. "Bukankah salah kalian karena telat sadar? Jadi jangan salahkan jika murid-muridmu lebih dulu turun tangan."
Arthur membalas dengan tajam "Bahkan ketika kalian sadar jika bisa saja menemui kematian karena terlibat semua ini?"
"Anda bukan Dewa, Master. Bukan pula yang menentukan hidup dan mati manusia. Jadi jangan pernah bicara kematian terutama di hadapanku." Aalisha menyahut.
"Saat ini hanya aku yang baru tahu kau ada di sana dan terlibat dengan semua ini, profesor Eugenius belum mengetahuinya sama sekali karena ada hal genting lainnya yang harus dia urus."
"Jadi, apa yang Anda mau?" balas Aalisha.
"Berhentilah sekarang juga, kemudian kembali ke Eidothea! Lalu serahkan semua masalah ini ke pihak Kerajaan."
Maka Aalisha tertawa, sangat lawak perkataan Arthur itu. "Berhenti Anda bilang, mana mungkin aku menyerahkan semua yang terjadi di sini pada pasukan kerajaan bodoh yang bahkan telat untuk bertindak! Tidakkah Anda tahu jika desa itu akan hancur lebur jauh sebelum pasukan kerajaan kemari?"
Cerdas sekali gadis itu, puji Arthur di dalam hati. Ia mendapatkan informasi jika ada pasukan Phantomius khusus yang mencegah para pasukan Kerajaan yang hendak ke desa Shakaleta maka tidak ada pilihan jika ingin desa itu selamat dengan artian tidak hancur lebur pada hari ini, maka anak-anak Eidothea di sana yang memang turun tangan. Namun, mustahil Arthur membiarkan para muridnya terluka hanya demi melindungi sebuah desa serta memenuhi keegoisan mereka yang hendak menjadi pahlawan.
"Kau benar, desa itu akan hancur. Namun, tetap saja, aku tak bisa membiarkan kalian ikut campur lebih jauh lagi, terlebih lagi masalah ini tidak hanya tentang Zephyr, melainkan ada kekuatan kejahatan lain yang diincar oleh organisasi itu."
"Apa?" sahut Aalisha cukup terkejut dengan perkataan Arthur itu. Ada kekuatan jahat lain yang diincar para Phantomius selain Zephyr?
"Karena itu berhenti terlibat lebih jauh, cari teman-temanmu itu kemudian pergilah dan kembali ke Eidothea sekarang juga! Aku akan mencari cara lain untuk menyeret tiga Majestic Families untuk pergi juga." Arthur memberi perintah.
"Setelah apa yang kami hadapi sejauh ini, betapa mudahnya Anda menyuruh kami kembali?! Tidak! Aku takkan kembali karena keputusanku dengan yang lain sudah bulat, kami akan menyelamatkan desa Shakaleta dan mendapatkan Zephyr kemudian membunuh para iblis itu. Anda takkan bisa menghalangi kami."
Arthur perlahan berdiri dari kursinya. "Apa yang membuatmu seegois ini dan percaya diri jika bisa menyelesaikan semua kekacauan yang mungkin akan merenggut nyawamu?"
"Entahlah, mungkin Anda harus belajar untuk berhenti meremehkanku," balas Aalisha tidak berniat melanjutkan percakapan sia-sia ini. Jadi ia berkehendak pergi dari sini.
"Kau benar." Arthur mengangguk pelan. Ia senak "Sejak awal aku tak pernah meremehkanmu, sama sekali tak pernah karena setiap kau melangkah banyak hal tak terduga terjadi di Eidothea."
Aalisha tak paham perkataan Arthur. "Kalau bicara melantur, simpan saja dulu, aku tak punya waktu mendengarnya. Pembicaraan sia-sia ini selesai. Lalu jangan pernah berpikir Anda bisa menghentikanku."
"Sungguh Aalisha, sebenarnya tak berniat menghentikan apa yang hendak kau lakukan. Aku juga tak akan mengatakan pada profesor Eugenius. Namun, akan kulakukan jika kau ikut campur atas semua ini tidak sebagai murid Eidothea."
"Apa maksudmu? Kau takkan menghentikanku," balas Aalisha sambil menghentikan langkahnya meski tidak berbalik menatap Arthur.
"Ya! Jika sebagai murid Eidothea, tentu saja aku akan menghentikanmu bagaimanapun caranya karena aku menyayangi para muridku, apalagi para muridku belum tentu bisa menghadapi kematian. Namun, berbeda halnya jika kau ikut campur tidak sebagai murid Eidothea. Jadi Aalisha, kapan sekiranya kau mau berhenti berbohong pada semua orang?"
Aalisha semakin enggan berada di sini karena Arthur mulai berbicara yang aneh-aneh. Sudah gila masternya itu. "Aku tak mengerti maksud Anda dan tak punya waktu menanggapi pertanyaan bodoh Anda itu."
"Kenapa kau masih saja berbohong, kenapa kau masih saja berpura-pura untuk mengelabui dunia dan seluruh alam semesta ini?" Arthur semakin memancing gadis kecil tersebut. Ia sengaja menggunakan kata-kata hiperbola.
"Aku tak mengerti apa yang Anda maksudkan," balas Aalisha, "jadi pembicaraan kita usai."
"Baiklah, kurasa harus kukatakan secara langsung dibandingkan menggunakan majas." Perlahan Arthur tersenyum simpul kemudian kali ini suaranya terdengar sangat dingin dan rendah.
"Mau sampai kapan kau terus bersandiwara---Yang Mulia, Aalisha Dhiaulhaq Galad De Lune."
Dalam gerakan yang sangat cepat dan tak terbaca mata, Aalisha menarik pedang Aeternitas-nya, mengaktifkan pedang tersebut sehingga cahaya biru terpancar begitu kuat, kemudian diayunkan tepat ke arah Arthur. Maka ledakan dahsyat terdengar bersamaan sebagian dinding di belakang Arthur hancur lebur, runtuhlah kayu-kayu reyot itu, begitu pula serangan pedang tersebut berhasil menumbangkan puluhan pohon, serta membuat tanah hancur hingga menjadi cekung, saking kuatnya serangan Aalisha itu. Sudah dipastikan jika seratus monster pun akan mati dalam sekejap saja jika terkena serangan tersebut.
"Akhirnya kau marah juga padaku. Lihatlah ekspresimu itu." Namun, Arthur tidak terluka sedikit pun karena yang ada di hadapan Aalisha hanyalah hologram.
"Tutup mulutmu, bajingan, lalu dari mana kau tahu tentangku?" Suara Aalisha sangat dingin dengan manik matanya yang menunjukkan amarah begitu besar.
Arthur membalas dengan senyuman kecil sambil mengayunkan tangannya ke samping. "Sepertinya kau tak berniat berbohong lagi. Jadi mari kita mengobrol sebentar lagi dengan santai, Yang Mulia De Lune."
"Aku tak perlu obrolan santai, aku hanya ingin jawaban, dari mana kau tahu tentangku?" Perlahan Aalisha menarik pedangnya tanpa ia sarungkan lagi. "Mungkinkah profesor Eugenius telah berkhianat padaku dan mengatakannya padamu?" Aalisha terkekeh kecil. "Sungguh aku sakit hati jika seorang cendekiawan seperti profesor Eugenius telah mengingkari janjinya dan berkhianat padaku!"
Kini Aalisha teringat pertemuannya dengan Profesor Eugenius jauh sebelum ia pergi ke Eidothea, lebih tepatnya jauh sebelum surat akademi Eidothea dikirimkan padanya. Hari itu, profesor Eugenius mengunjungi kediamannya ketika Owen tidak ada di rumah. Dia seorang pria berumur, mengenakan kacamata bulat, terpancar aura menenangkan darinya. Aalisha sudah tahu siapa dia jadi Aalisha persilakan masuk.
"Maaf karena pria tua ini mengganggu waktumu," ujar profesor Eugenius kemudian duduk di sofa, di hadapan Aalisha. "Namun, aku sangat senang bisa bertemu denganmu lagi, Yang Mulai De Lune."
Aalisha tidak menunjukkan reaksi yang berlebihan pada saat itu. Ia menilik Eugenius dari ujung kepala hingga pakaian yang dikenakannya, raut wajah yang menunjukkan jika pria itu kemungkinan berumur 70 tahun, tetapi masih mampu bertarung di peperangan. "Tidak perlu memanggilku dengan nama itu, tak ada yang tahu diriku sebagai keturunan De Lune, terutama manusia biasa. Lalu aku jadi penasaran, awalnya dari mana Anda tahu mengenai diriku?"
"Baiklah jika itu kehendakmu, bagaimana jika kupanggil Nona Aalisha. Kemudian kau bertanya bagaimana aku tahu?" Profesor Eugenius tersenyum simpul. "Mana mungkin aku tak tahu tentang adik yang paling disayangi oleh salah satu muridku, sampai dia rela berjam-jam hanya menceritakan tentang adiknya padaku, ya Aalisha, kakakmu-Aldrich sering sekali bercerita tentang dirimu padaku. Cerita tentangmu itu adalah rahasia antaraku dengannya. Ya, rahasia dan sumpah yang hanya diketahui kami berdua."
Manik mata profesor Eugenius menatap sendu pada gadis kecil yang mengalihkan pandangannya, tetapi dari manik mata Aalisha, bisa terlihat jika dia menahan tangis yang teramat hebatnya. "Kakak sudah diperintahkan pihak keluarga untuk tak bercerita ke mana-mana, tapi malah menceritakan semuanya pada Anda. Jika Kepala Keluarga dan para Tetua De Lune, mengetahui hal ini, dia akan mendapatkan masalah."
"Hanya aku, tak ada yang tahu selain aku. Lagi pula kau harus mengetahui betapa bahagianya dia ketika menyebut dirimu dalam setiap ceritanya, sampai-sampai aku merasa iri, andai saja aku memiliki kakak sebaik Aldrich."
Perlahan Aalisha menatap profesor Eugenius. "Jika Anda kemari untuk bertemu Aldrich, di tak ada di sini. Carilah dia tiga tahun yang lalu."
Profesor Eugenius menyahut, "Nona Aalisha, apa kau masih sakit dan berduka karena Aldrich-"
Lekas Aalisha menggebrak meja dengan sangat kuat, berdiri dari posisinya kemudian menatap sinis pada profesor Eugenius. "Anda bertanya apakah aku masih sakit? Bagaimana tidak! Kakak menghilang tiga tahun lalu, pihak Kekaisaran tidak bisa menemukannya, bahkan pihak keluargaku yang seorang De Lune, Majestic Families tertinggi juga tak bisa menemukannya. Lalu Anda bertanya apakah aku masih sakit?"
Baru kali ini profesor Eugenius melihat seorang keturunan Agung meneteskan air mata tepat di hadapannya. Namun, gadis kecil ini tidak lama memperlihatkan kelemahannya karena kini ia menyeka air matanya kemudian duduk kembali. "Maafkan atas ketidaksopananku, aku terbawa emosi." Benar-benar etika seorang bangsawan yang sudah tertanam pada diri anak ini sejak kecil. Betapa mudahnya dia mengontrol ekspresinya, kemudian mengucapkan maaf atas amarahnya sendiri.
"Sekali lagi, kukatakan bahwa Aldrich tak ada di sini, jadi Anda harus pergi jika hendak membahasnya, aku tak berniat membahas kakakku."
Profesor Eugenius mengangguk kecil. "Sayangnya, aku kemari bukan untuk membahas Aldrich, aku kemari untuk menemuimu."
"Aku. Jadi seorang cendekiawan cerdas, Kepala Sekolah dari Akademi Termasyhur seperti Anda malah kemari untuk menemuiku, kira-kira mengapa?"
"Eidothea hendak menyambutmu, Aalisha De lune."
"Untuk apa? Aku tak memerlukan semua itu. Hanya karena Anda tahu akan keberadaanku atas kedekatan Anda dengan Aldrich, bukan berarti pihak keluargaku tidak menaruh pengawasan pada Anda. Jika sedikit saja Anda memperlihatkan gelagat untuk membeberkan siapa aku, maka ketahuilah, hari esok Anda takkan melihat matahari lagi," balas Aalisha dengan ancaman yang tak main-main.
"Aku takkan melakukannya, aku hanya ingin kau bersekolah di Eidothea, hanya itu, kau bisa menyembunyikan siapa dirimu yang sebenarnya. Surat akademi akan datang mulai Minggu depan."
"Asal Anda tahu, umurku belum cukup setahun," sahut Aalisha.
"Tidak masalah, anggap saja hanya aku yang mengetahui identitas aslimu, ya memang begitulah kenyataanya." Profesor Eugenius sedikit terkekeh. "Mudahnya, anggap aku memberikan tiket VIP padamu untuk masuk Eidothea, karena kau adalah adik satu-satunya dan kesayangan Aldrich. Bagaimana?"
"Maka Anda harus siap jika Eidothea runtuh suatu hari nanti. Aku Aalisha, keturunan utama De Lune. Kutukan dan kehancuran takkan melepaskanku, aku bisa mengubah takdir sekaligus membawa takdir buruk bagi semua orang bahkan kematian juga. Jika Anda memaksaku berada di Eidothea, maka Anda harus siap dengan segala takdir yang kubawa."
"Aku terima segala kehancuran yang kaubawa, Nona Aalisha. Maka begitu pula kau yang juga harus menerimanya jika suatu hari nanti, Eidothea akan menjadi rumah yang akan melindungimu. Rumah yang akan memberimu kasih sayang, sama halnya dengan Aldrich yang menganggap Eidothea sebagai rumahnya untuk melepaskan setiap sakitnya, selain bersama denganmu."
Aalisha diam, ia menatap pria tua dengan manik mata yang benar-benar tulus itu. Sesaat Aalisha kembali menahan tangisnya karena setiap mendengar nama Aldrich diucapkan, ia merasa dadanya sangat sesak. "Akan kupikirkan ulang. Jadi jawabannya setelah kudapatkan suratnya."
"Tidak masalah," sahut profesor Eugenius jadi senang karena masih ada kemungkinan anak ini masuk Eidothea. "Kuberi kau banyak waktu, jika tidak tahun ini, mungkin tahun depan, aku akan kemari lagi untuk menemuimu dan menawarkan hal yang sama."
"Andai aku masuk Eidothea, maka Anda harus berjanji dan bersumpah padaku. Tutupi seluruh identitasku, jangan sebarkan siapa diriku bahkan pada orang terdekat Anda, jika ada masalah yang menimpaku maka perlakukan aku seperti murid-murid lainnya dan abaikan bahwa aku adalah keturunan De Lune."
"Aku bersumpah."
Itulah yang Aalisha dengar secara langsung dari mulut profesor Eugenius. Seorang pria yang menjadi kepala akademi Eidothea dan tahu akan keberadaan Aalisha karena Aldrich yang menceritakannya. Aalisha tak dapat marah pada profesor Eugenius yang mengetahui dirinya karena pria itu banyak berjasa untuk hidup Aldrich. Sehingga Aalisha memaafkan segalanya.
Maka untuk pertama kalinya, Aalisha menaruh kepercayaan yang teramat besar pada profesor Eugenius.
Atas kepercayaan itu, dia berani melangkah ke Eidothea karena tahu kalau profesor Eugenius takkan mengkhianatinya. Namun, apa-apaan pada detik ini? Bagaimana bisa Arthur tahu akan Aalisha sebagai keturunan De Lune, selain dari profesor Eugenius?
Maka hari ini pula, Aalisha patah hati sebesar-besarnya. Hingga Arthur akhirnya berujar yang membuat Aalisha bersyukur pada para Dewa jika ia masih diberikan kesempatan untuk percaya.
"Dia tidak berkhianat padamu," sahut Arthur, "bukan dia yang mengatakan siapa dirimu, aku mengetahuinya dengan caraku sendiri. Profesor Eugenius tetap memegang janjinya padamu."
Mendengar perkataan itu, Aalisha terdiam membisu. Manik matanya hampir kelepasan meneteskan air mata. Kini ia merasakan degup jantungnya yang berdetak sangat cepat tadi, perlahan-lahan kembali normal.
Melihat Aalisha yang seolah merasa lega, membuat Arthur tersenyum tipis. Ternyata ada banyak rahasia antara gadis kecil ini dan profesor Eugenius. Sungguh tak Arthur sangka jika gadis kecil ini menaruh kepercayaan yang sangat besar pada pria tua padahal seorang keturunan De Lune selalu dididik untuk tidak mudah mempercayai manusia.
"Sepertinya kau cukup lega, sungguh profesor Eugenius tidak ada kaitannya dengan semua ini," ujar Arthur untuk semakin meyakinkan Aalisha.
"Tutup mulutmu itu," sahut Aalisha, "jadi apa yang kau inginkan?"
"Apa kau tak mau bertanya dari mana aku tahu tentang dirimu?"
"Tidak," balas Aalisha cepat. "Aku tak mau mendengarkan cerita panjang, anggap saja kita setimpal. Kau dengan rahasiamu dan aku dengan segala rahasiaku."
"Ah sayang sekali, padahal aku sudah siap mendongeng." Arthur malah kecewa.
"Aku tak punya waktu jadi jawab aku. Sekarang apa yang kau inginkan Master Arthur? Kau tahu siapa aku, maka kau semakin tak bisa mencegah apa yang hendak kulakukan."
"Benar sekali. Aku tak bisa mencegahmu, aku juga takkan melaporkanmu pada profesor Eugenius."
"Kalau begitu pembicaraan kita usai di sini saja." Aalisha memasukkan Aeternitas ke dalam sarungnya.
"Namun, Nona Aalisha, aku punya satu pertanyaan." Perkataan Arthur kembali mencegah Aalisha untuk pergi. "Apakah kau mampu menyelamatkan desa itu dan membawa 'mereka' kembali ke Eidothea?"
Perlahan Aalisha menoleh pada Arthur, sekilas manik mata gadis itu nampak berwarna emas, serta senyumannya terukir lebar. "Master apakah kau sudah lupa, bahwa di hadapanmu ini adalah Keturunan Agung, De Lune."
Maka Arthur menatap gadis kecil itu yang melenggang pergi dari ruangan ini. Perlahan Arthur menuju kursinya lagi, meraih secangkir tehnya tadi yang sudah dingin. Lalu ia menyudahi sihirnya, kini menatap pada salah satu Orly-nya yaitu Ethan yang sedari tadi berada di ruangan yang sama dengan Arthur di mansion ini.
"Apa kau serius Master, menyerahkan segalanya pada gadis kecil itu?"
"Tentu saja. Karena dia adalah De Lune dan takdir selalu berjalan sesuai dengan kehendak De Lune." Ia menyeruput tehnya kembali, begitu tenang dan santai, serta tinggal menunggu bagaimana hasil dari takdir yang akan dibawa oleh Aalisha.
Ya, takdir dari Keturunan Utama salah satu Majestic Families yakni De Lune-Aalisha Dhiaulhaq Galad De Lune.
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
HAHAHAHAHAHA, KATAKAN SESUATU UNTUK CHAPTER INI?
Jadi guys, siapa nama asli Aalisha?
Btw ini baru 5% dari rahasia tentang Aalisha loh, ya kali diungkapkan semuanya di Book 1^^
Apakah Aalisha akan berhenti bermain-main dan mulai serius?
Prins Llumière
Kamis, 16 Februari 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top