Chapter 68 - Arc 6: Deus Sword of Chaos
Terdengar suara langkah kaki kuda menelusuri hutan rindang yang tak satu pun cahaya matahari menembus ke hutan ini, tentu saja bukan karena banyaknya pepohonan dengan dedaunan yang lebat, melainkan sejak pagi tadi matahari tertutupi awan. Namun, tak kunjung menurunkan hujan jikalau awan-awan itu adalah awan pembawa hujan.
Langkah kaki dari dua kuda mulai menuruni tanjakan yang ada di hutan ini, sungguh tak ada jalan setapak yang bisa dilewati, semua jalan di hutan ini benar-benar curam, penuh bebatuan, dedaunan kering, ranting-ranting pohon, semak belukar, serangga hingga semut merah yang menggigit, tak lepas juga terdengar suara kicauan burung yang cocok sekali menjadi teman perjalanan. Hanya saja, siapa pun yang menelusuri hutan ini yang bernama Hutan Kimari ini, sama sekali tidak memiliki tujuan untuk bertamasya atau liburan bernuansa alam. Sungguh bodoh jika hendak berlibur di hutan ini yang tengah menjadi medan peperangan, ah, terlalu luar biasa menggunakan kata peperangan. Lebih tepatnya menjadi medan saling bunuh-membunuh karena terdengar di beberapa daerah hutan ini, raungan para monster yang dilepas organisasi Phantome Vendettasius demi memangsa setiap manusia yang melewati hutan ini. Kini pun para monster itu berniat menghancurkan sebuah desa yang menjadi desa terakhir yang akan dibantai oleh organisasi gila itu.
Akankah pembantaian itu terjadi? Seberapa banyak nyawa yang akan ditumbalkan lagi atau ada sosok pelindung yang para Dewa kirimkan untuk melindungi desa tersebut?
Kilatan cahaya berupa serangan sihir yang berhasil mengempaskan seekor minotaur ke belakang hingga menghantam pohon, hampir tumbang pohon tersebut akibat tubuh besar sang minotaur. Baru hendak monster tersebut bangkit, serangan lain datang berupa api yang membakarnya hingga ke tulang-tulang kemudian disusul empat tongkat besi berhasil menembus tubuh minotaur tersebut hingga ia terjengkang dan mati.
"Aku selalu penasaran kenapa kau punya banyak tongkat besi," ujar Mylo setelah berhasil melempar keempat tongkat besi milik Aalisha yang kemudian membunuh seekor minotaur.
Aalisha melirik Mylo sesaat sebelum meraih pedangnya. "Jaga-jaga saja, aku tidak bisa menggunakan sihir sebaik kalian jadi kugunakan cara lain sebagai perantara sihir."
"Cerdas juga, berarti seperti kau gunakan air dulu sebelum menggunakan sihir petir agar petirnya mengalir di air?" sahut Mylo mendekati Anila, gadis Andromeda itu sedang menatap cyubes yang menampilkan peta dari Hutan Kimari ini.
"Ya, kulakukan segala cara untuk menghemat neith-ku," sahut Aalisha berjalan menuju Anila juga.
"Menghemat atau biar tak ada yang boleh tahu kapasitas neith-mu itu?" balas Mylo sengaja mengatakan hal ini.
"Kau mau merasakan tongkat besiku menembus tulangmu itu, Mylo?" Aalisha menatap tajam. Ia tak suka perkataan Mylo itu.
"Bisakah kalian diam?" balas Anila kemudian memperbesar peta yang menunjukkan salah satu lokasi di hutan ini. "Aku tidak tahu kalau hutan ini sangatlah luas, kemungkinan sulit mencari Hozier apalagi banyak monster berkeliaran, tapi berdasarkan perkataan mereka, Hozier kemungkinan mengarah ke timur."
"Apa Majestic Families itu bisa dipercaya?" sahut Aalisha. Alasan ia berkata seperti ini karena sebelum berada di sini. Subuh tadi mereka bertiga beserta tiga Majestic Families berdiskusi terlebih dahulu.
Berdasarkan persetujuan semalam kalau tim Aalisha akan mencari Hozier sedangkan tiga Majestic Families akan mencari kepingan terakhir Zephyr, merebut lima Zephyr, serta melawan para musuh karena diyakini jika mereka berhasil menemukan kepingan terakhir Zephyr maka para Phantomius akan berusaha merebut kepingan terakhir tersebut. Mau tidak mau para Phantomius haruslah menghadapi Majestic Families. Atas inilah, Majestic Families yang terdiri dari tiga orang, mereka akan berpencar menuju tiga arah yang berbeda; Athreus di Selatan, Nicaise di Barat, dan Eloise di Utara.
"Tunggu, kenapa kalian berpencar sedangkan kami tetap bertiga ke arah Timur?" Pertanyaan itu berasal dari Mylo.
"Masih kau pertanyakan?" balas Eloise.
"Dengarkan aku," sahut Nicaise, "alasan kami berpencar karena bagi kami bertiga mudah saja ketika menghadapi musuh atau monster, kami melakukannya untuk mengefisiensi waktu juga."
Athreus ikutan berujar, "makanya, kalau mau seperti kita jadilah Majestic Families. Lalu kenapa kalian harus tetap bersama-sama karena jika kalian terpisah, niscaya salah satu dari kalian akan mati atau malah kalian bertiga mati sekaligus."
"Mudah dipahaminya begini, kalian lemah sedangkan kami kuat. Kalau kalian berpencar juga, adanya malaikat kematian mudah mencabut nyawa kalian, terutama kau, gadis rendahan." Eloise memang tidak mau meninggalkan kesempatan untuk menghina Aalisha. Entah mengapa senang saja mengganggu gadis kecil Itu.
Maka berdasarkan diskusi tersebut, tim Aalisha akan mencari Hozier si anak yang sebenarnya tak terlalu berguna—menurut para Majestic Families—yang dari prediksi Nicaise Von Havardur jika kemungkinan Hozier pergi ke arah Timur, pasalnya ketika diculik oleh Boro, mereka menuju Timur, selain itu jika terus menelusuri arah Timur akan ada perbatasan ke wilayah lain yang terdapat desa yang tidak menjadi incaran para Phantomius. Bisa jadi Hozier pergi ke sana.
Lalu Majestic Families juga mengatakan jika para warga Shakaleta harus berakting seolah-olah Kepingan Zephyr masih berada di desa Shakaleta untuk mengelabui para Phantomius sehingga mereka tetap mengincar desa Shakaleta, hal ini dilakukan supaya Majestic Families mudah menghabisi pasukan tersebut. Andai kata pasukan Phantomius sadar jika Zephyr tidak ada di desa Shakaleta maka mereka akan mengubah misi mereka sehingga bisa jadi tidak membantai desa tersebut, sehingga para tiga Majestic Families akan sulit menghabisi para Phantomius itu.
"Bukankah itu artinya kalian menjadikan desa ini sebagai umpan? Tidak hanya umpan, melainkan tumbal agar rencana kalian berhasil!" ucap Aalisha.
"Terus kenapa?" Eloise menatap Aalisha. "Kutanya, memangnya kenapa kalau kami menjadikan desa ini sebagai umpan?"
"Kalian gila," sahut Aalisha.
"Bukankah sudah kami katakan sejak awal, jika kami tidak peduli pada desa ini maupun warganya." Eloise tersenyum tipis.
"Meski kalian tidak peduli, apa harus menjadikan desa ini sebagai tumbal."
"Ya karena dengan cara inilah pasukan Phantomius tidak mengubah haluan mereka. Selain itu, harusnya kau paham. Menumbalkan desa ini akan menyelamatkan dunia. Bukankah lebih baik menumbalkan satu desa tak berguna dari pada Zephyr bangkit kemudian lebih banyak nyawa yang akan mati?"
"Eloise!" teriak Aalisha.
"Apa kau paham, jika Zephyr bangkit maka yang pertama kali akan binasa adalah Eidothea. Jadi diamlah, karena biarkan kami menyelesaikan semua ini." Maka lekas Eloise Clemence melenggang pergi dari ruangan yang mereka jadikan tempat berdiskusi. Pembicaraan mereka berakhir di sana.
Kini beradalah tim Aalisha di Timur Hutan Kimari. Ternyata cukup banyak monster yang sudah berkeliaran, ada kemungkinan juga dalam beberapa waktu ke depan pasukan yang lebih besar akan datang ke desa Shakaleta. Ya, kemudian membantai desa tersebut sesuai dengan yang direncanakan tiga Majestic Families.
"Apa kita tidak bisa melakukan sesuatu untuk menyelamatkan satu desa itu?" Anila berucap, kini mereka menaiki kuda mereka kembali dan bergerak menelusuri hutan.
"Apa yang harus kita lakukan, bertarung melawan pasukan-pasukan monster yang menuju desa itu? Kau pikir kita akan mampu melawan? Memang sudah baiknya jika para Majestic Families berkekuatan monster jugalah yang melawan sesama monster." Mylo berucap sambil menatap Anila yang berada di kuda bersama dengan Aalisha. Ya, Andromeda itu memaksa untuk ikut kuda Aalisha.
"Terus kau tidak peduli jika masyarakat itu dijadikan tumbal?" sahut Anila.
Aalisha hanya diam, lebih baik menyimak saja perdebatan keduanya.
Mylo geram sekali, bukan itu yang ia maksudkan. "Aku tidak setuju Majestic Families menjadikan mereka tumbal, tapi mau bagaimana lagi?! Bahkan melawan satu minotaur saja kita harus bekerjasama. Apa kau pikir salah satu dari kita bisa membunuh seratus minotaur sendirian? Hah!"
Aalisha masih diam, tidak berniat menimbrung sedikit pun.
"Aku tahu Mylo, aku tahu! Aku hanya tidak bisa menerima kenyataan jika mereka benar-benar tidak peduli pada nyawa manusia di luar nyawa sesama Majestic Families." Anila menyahut langsung dari lubuk hatinya.
Sungguh Anila adalah sosok bangsawan yang punya empati tinggi terhadap manusia bahkan pada manusia berkasta rendah. Dia sangat baik, terlalu baik, begitu pula Mylo yang sama baiknya. Jadi di sini hanya Aalisha yang jahat?
"Kenapa berhenti?" tanya Mylo ketika Aalisha menghentikan kudanya.
"Aalisha ada apa?" Anila berucap.
"Anila turun dari kuda, segera," sahut Aalisha yang mau tidak mau Anila menuruti perkataan Aalisha. Setelah turun dari kuda mereka, lekas Aalisha pergi menuju sesuatu kemudian disusul Anila.
"Hei, kau mau ke mana?" ucap Anila.
"Ada apa sih, kenapa turun dari kuda?!" tanya Mylo, ia pun menyusul kedua temannya, ketika hampir dekat Aalisha, Mylo langsung kicep ketika gadis kecil itu mengangkat tangannya yang terkepal seolah hendak menonjok mulut Mylo jika dia berbicara keras lagi.
"Kurasa ada mayat manusia di sana," ujar Aalisha menunjuk pada sesuatu yang tergeletak di tanah dekat pohon besar.
"Mayat," ucap Mylo, merinding. "Jangan-jangan itu mayat Hozier, si anak yang kita cari."
"Diamlah Mylo, jangan sembarangan berucap, belum pasti!" balas Anila, "Aalisha jangan ke sana langsung."
"Sialan, kenapa anak itu nekat sih!" Semakin saja Mylo jadi pusing memikirkan tingkah Aalisha yang suka seenaknya tanpa pikir panjang.
Tanpa memedulikan kedua manusia di belakangnya. Aalisha melangkah untuk memastikan mayat yang tergeletak tersebut. Ternyata ada dua mayat, kemudian bertubuh besar, barangkali orang dewasa maka sudah dipastikan kalau bukan Hozier yang notabennya anak lelaki berumur enam tahun. "Bukan Hozier," ujar Aalisha semakin melangkah mendekati kedua mayat tersebut.
Sungguh naas dan mengenaskan. Kedua mayat ini adalah pria yang kisaran umur mereka sekitar 30—35 tahun. Tidak tua, tetapi kematian merenggut mereka begitu kejam. Tubuh kedua mayat itu pucat pasi, sangat kurus, hingga tercetak tulang-tulang wajah mereka, baju yang dikenakan sudah tak berbentuk. Kedua bola mata tidak ada pada tempatnya, mulut sobek tanpa adanya lidah di sana, di dekat kepala kedua mayat banyak sekali gigi-gigi yang copot, kemungkinan adalah gigi dari kedua mayat itu yang dicopot dengan sengaja. Kemudian tangan dan kaki kedua mayat sebagian hilang, putus, atau jari-jarinya tidak lengkap. Lebih parahnya lagi, kedua mayat tersebut, perutnya sobek sehingga usus terburai keluar, begitu pula organ dalam tubuh lainnya, darah tergenang di tanah hampir menyatu pula dengan tanah di sekitar mereka. Sangat menjijikan karena usus-usus mereka atau seluruh isi perut kedua mayat sudah digerogoti ribuan ulat putih. Maka telah dipastikan jika kedua mayat itu mati sekitar dua hari lalu.
"Akh! Sialan, sangat menjijikan!" teriak Mylo yang baru melihat sekilas mayat tersebut langsung menjauh, kemudian ia muntah, benar-benar memuntahkan isi perutnya.
"Aalisha menjauh dari mayat-mayat itu! Oh Dewa perutku mual." Begitu pula Anila yang tubuhnya meremang, perutnya bergejolak saking ia takut dan merinding melihat mayat kedua manusia itu.
Ketika Mylo dan Anila tidak tahan melihat kedua mayat yang digerogoti ulat-ulat putih, Aalisha sama sekali tidak menunjukkan reaksi apa pun; tidak mual, pusing, bahkan merinding.
"Kalian aneh," ujar Aalisha, "padahal beberapa menit lalu kita berhasil membunuh minotaur, kalian biasa saja, tapi sekarang malah muntah-muntah?"
"Ini berbeda Aalisha! Ini mayat manusia, manusia!" teriak Anila sambil menghabiskan air di dalam botolnya.
"Kau lah yang aneh Aalisha! Bisa-bisanya memasang wajah datar padahal kau melihat dua mayat membusuk! Tidakkah kau merasa mual atau ngeri, apalagi bau busuknya!" Sungguh Mylo tidak habis pikir karena gadis kecil itu sama sekali tidak bereaksi apa pun ketika melihat mayat membusuk. Kini semakin menambah keyakinan Mylo kalau Aalisha bukan sekadar anak kelahiran kasta proletar!
"Bukankah kita semua pada akhirnya akan jadi mayat juga? Bisa saja hari ini."
"DIAMLAH!" teriak Anila dan Mylo secara bersamaan.
"Oke, oke," balas Aalisha yang kemudian memasang sinyal waspada. Ia merasakan sesuatu mendekat ke arah mereka. "Cepat berdiri kalian!"
"Apa?" sahut Mylo.
"Kubilang lekas berdiri, ada yang datang!" teriak Aalisha, maka Anila berangsur ke samping Aalisha sambil memasang kuda-kuda bertarung dan menarik pedangnya, sementara Mylo segera berdiri sambil meraih pedangnya juga.
Suara raungan begitu terdengar menggelegar membuat pepohonan bergetar, dedaunan langsung berjatuhan ke bawah, bebatuan terlihat bergetar pula karena langkah kaki yang seperti menciptakan gempa kecil. Muncullah dua ekor minotaur yang lengkap dengan baju zirahnya, satu minotaur membawa kapak, satunya membawa gada, kemudian datang pula dua monster hybrida yaitu Beer Misvormwolfir, kedua monster itu membawa dua pedang bertipe claymore.
"Sialan, sekali datang langsung banyak," ucap Mylo.
"Berhenti mengoceh---"
Satu pohon hancur karena serangan salah satu minotaur, hal ini membuat kuda-kuda mereka meringkik kencang sebelum mencongklang. Anila hendak mencegah kedua kuda itu pergi, tetapi terlambat karena satu minotaur menerjang dan hampir merobek isi perutnya jika tak ia tangkis dengan pedang. Di sisi lain, dua Beer Misvormwolfir meraung sambil berlari kencang ke arah Mylo dan Aalisha, lalu disusul satu minotaur yang berlari ke arah Aalisha.
"Mylo!" teriak Aalisha.
"Aku paham!" Maka Mylo menyerang salah satu Beer Misvormwolfir, suara dentingan pedang terdengar keras ketika saling membentur, kini neith terpancar dari tubuh Mylo kemudian berhasil membuat monster tersebut terempas ke belakang. Hanya saja kembali bangkit dan malah mengejar Aalisha. "Sialan, dia ke arahmu!"
Aalisha sadar jika ketiga monster berniat membunuhnya entah alasan apa itu, jadi ia berlari lagi dari kejaran ketiga monster tersebut. Sementara itu, Anila berteriak agar Mylo membantu Mylo, maka lekaslah Mylo mengejar Aalisha. Sedangkan Anila harus menghindari serangan minotaur yang bertubi-tubi terus menghancurkan sekeliling hingga pepohonan hendak tumbang. Berhasil Anila memberikan goresan dalam hingga darah minotaur memuncrat, lalu ia gabungkan dengan serangan sihir yang membuat sang minotaur meraung kesakitan.
Kini Aalisha berpijak ke tanah karena harus melompati serangan minotaur yang ayunan pedangnya menghasilkan angin yang mampu menumbangkan pohon, suara dentingan pedang terdengar ketika Aalisha menahan serangan dari Beer Misvormwolfir yang bisa terlihat kepala serigalanya, seolah memandang Aalisha sebagai makanan lezat. Berada di belakang, satu Beer Misvormwolfir muncul hendak mengayunkan pedangnya yang begitu besar, tetapi Aalisha gunakan sihir petir sehingga keduanya tersengat, raungan melengking membuat telinga Aalisha maupun Mylo kesakitan. Namun, keduanya tak punya waktu untuk menerima sakit itu, jadi Aalisha berteriak memerintahkan Mylo, maka keduanya berhasil menusuk permata di dahi kedua Beer Misvormwolfir tersebut.
Mereka tersenyum karena berhasil mengalahkan kedua monster, ya harusnya berhasil, sayangnya tidak karena kedua monster itu meraih kaki mereka kemudian dengan sekuat tenaga, mereka berdua dilempar sangat jauh dan kencang. Sontak mereka harus melindungi kepala karena tepat di belakang mereka adalah pohon besar. Tanpa disadari Mylo, Aalisha mengucapkan mantra untuk melindungi lelaki tersebut yang ketika keduanya menghantam pepohonan, hanya Aalisha saja yang berdarah sedangkan Mylo tidak.
"Aalisha!" Mylo terkejut bukan main karena kepala Aalisha mengeluarkan darah, meski tidak banyak.
"Jangan pedulikan aku," sahut Aalisha sama sekali tak merasakan sakit. Ia lekas meraih pedang Aeternitas-nya kembali. "Lekas bunuh mereka karena aku sudah muak."
"Baiklah." Mylo meyakinkan dirinya jika ia harus terbiasa, ia juga harus percaya pada Aalisha jika gadis itu berkata dirinya baik-baik saja, maka itu adalah kebenarannya. "Bukankah harusnya mereka mati, kenapa masih hidup setelah permata mereka kita hancurkan."
"Jawabannya mudah, permata di dahi itu palsu."
"Jadi harus apa?" ucap Mylo.
"Bunuh saja mereka dengan kekuatan yang bisa menghancurkan di mana pun letak permata yang asli," ucap Aalisha melangkah maju melewati Mylo.
"Caranya?"
"Kau bisa gunakan petir? Seperti yang sering kulakukan. Apa kau bawa panahmu juga?" Aalisha mengomando.
"Aku paham."
"Aku di garis depan."
"Kenapa?"
Aalisha tersenyum tipis. "Karena terkadang aku terlahir untuk itu."
"Kau berhutang cerita padaku dan Anila," sahut Mylo.
"Sayangnya aku tak pandai cerita."
"Akan tetap kami dengarkan, seburuk apa pun ceritamu."
Ibarat keduanya saling terkoneksi. Maka Mylo menancapkan pedangnya, memunculkan invinirium khusus penyimpanan senjata, mengambil busur serta anak panahnya. Kemudian memasang kuda-kuda seolah ia pemanah yang termasyhur. Sedangkan Aalisha mengeratkan genggamannya pada Aeternitas, membuat pedang itu bersinar kebiruan.
Raungan ketiga monster terdengar membahana, ketika para monster berlari, menerjang, maka Aalisha juga mulai menerjang. Ia melewati satu serangan dari minotaur sambil mengayunkan pedangnya hingga menggores tubuh monster tersebut, ia juga menangkis serangan Beer Misvormwolfir kemudian melompat karena serangan lain hampir memenggal lehernya. Lekas Aalisha melancarkan serangan yang mengenai salah satu Beer Misvormwolfir. Sesuai dugaan Aalisha, para monster tidak mengincar Mylo dan berfokus pada Aalisha, ini kesempatan yang bagus. Maka semakin Aalisha membawa para monster menuju jarak yang sudah ia prediksi. Ketika sudah merasa waktunya tepat, Aalisha lekas melompat, mengarahkan satu tangannya pada ketiga Monster merapalkan mantra, Frigus Aquemerium. Kini air bah dingin berhasil membasahi seluruh tubuh mereka kemudian Mylo menyadari kode dari Aalisha, lekas ia merapalkan mantra, melapisi anak panahnya dengan petir kemudian dilepaskan anak panah tersebut yang melesat cepat menuju para monster, satu anak panah dilapisi petir bersinggungan dengan air membasahi tubuh para monster maka semakin meningkatkan daya sengatan petir tersebut yang cahaya biru dari petir melapisi seluruh tubuh para monster yang tidak ada henti-hentinya meraung kesakitan. Apakah sudah berakhir?
Dewa tidak ingin semua ini berakhir mudah begitu saja. Baru menginjak tanah kembali, Aalisha mendengar teriakan Mylo yang menggaungkan nama Aalisha. Maka detik itu, Aalisha sadar jika dua Beer Misvormwolfir masih mampu bergerak dan kini menerjang ke arahnya, sudah dituliskan dalam takdir jika gadis itu akan terluka parah, tetapi Aalisha tidak peduli akan takdir maka lekas ia mengarah satu tangannya. Muncullah pentagram sihir biru yang perlahan semakin bersinar.
"Igniesco!!" teriak Aalisha maka ledakan dahsyat terjadi yang membuat asap hitam membumbung ke langit sedangkan Aalisha terbaring di rerumputan dengan napas tak beraturan. Berangsur-angsur asap hitam itu menghilang, Aalisha bisa melihat penampakan kedua Beer Misvormwolfir yang gosong menghitam kemudian salah satu monster tersebut tumbang tepat di samping Aalisha sehingga semakin jelas gadis kecil itu melihat wajah gosong monster berkepala beruang dan serigala. Ya, dia selamat dari maut.
"Aalisha!" teriak Mylo masih membawa busurnya kemudian mengulurkan tangannya hendak membantu Aalisha berdiri. Sesaat Aalisha perhatikan Mylo yang terukir wajah khawatir kini perlahan-lahan lega karena Aalisha baik-baik saja.
Maka perasaan yang asing kembali menyeruak ke dada Aalisha. Sejak dulu, tidak pernah ia mendapatkan uluran tangan dari orang lain atau ada seseorang yang membantunya menghadapi puluhan atau ratusan monster yang hendak memburunya. Ia selalu berjuang sendiri jadi sangat aneh ketika berjuang bersama orang lain yang menganggap Aalisha tidak hanya rekan bertarung, tetapi teman. Ya, teman, kata yang tidak pernah ada dalam kamus hidupnya selama ia menjalani hidup sebelum memasuki Eidothea. Hanya saja, ia tidak mau lama-lama merasakan perasaan asing ini maupun teman dalam berjuang, ia lebih suka melakukannya sendirian saja karena dengan adanya semua ini membuat hidupnya jadi berantakan.
"Aalisha, lekas, kenapa malah melamun?" Maka tanpa persetujuan Aalisha, langsung meraih lengan gadis kecil itu kemudian membantunya bangun. "Kau tak apa 'kan?"
"Ya." Aalisha harus tetap mengingatnya. Apa yang diajarkan padanya bahwa ia tidak boleh terlena dalam perasaan ini.
"Baguslah, oh Dewa, kita harus menyusul Anila!" ucap Mylo, panik lagi.
Aalisha memegang dahinya dengan tangan kiri karena terasa sakit. "Dia baik-baik saja."
Benar seperti yang Aalisha katakan, Anila baik-baik saja, kini gadis itu sedang berlari ke arah mereka setelah mengalahkan satu minotaur seorang diri. Memang tak perlu diragukan kekuatan dan kecerdasan seorang Andromeda.
"Aalisha!" Hendak sekali Anila memeluk Aalisha, tetapi ia terhenti ketika gadis kecil itu mengarahkan pedang padanya.
"Jangan peluk aku, sudah berapa kali kubilang!" sahut Aalisha yang semakin merasa kepalanya sakit.
"Baiklah, tapi kau tak apa? Wajahmu pucat, kau gunakan teknik sihir apa tadi?!" oceh Anila ketika sadar Aalisha berdarah meski tak banyak. "Mylo, harusnya kau lindungi dia!"
"Hei! Kami sudah berusaha sekuat tenaga, tidakkah kau tahu jika tiga monster kami hadapi!" balas Mylo.
"Sudah kubilang aku baik-baik sa—"
Tidak Aalisha lanjutkan perkataannya karena dia ambruk, lalu memuntahkan darah yang cukup banyak ke tanah. Anila terkejut, begitu pula Mylo. Kini Anila mendekati Aalisha, berjongkok, menatap gadis kecil itu yang baru selesai memuntahkan darah yang sejak tadi membuat perutnya bergejolak.
"Serius kau tak apa?" ucap Anila mengelus pelan punggung Aalisha.
"Ya, ini karena reaksi aku terlalu banyak menggunakan sihir," sahut Aalisha menyeka pinggiran bibirnya yang masih ada noda darah dengan lengan baju.
"Biar kuobati sedikit." Anila berucap yang kini neith-nya membantu menyembuhkan luka di kepala Aalisha.
"Kurasa kita harus cepat pergi dari sini," ujar Mylo, "karena aku merasakan hal buruk ...." Suara Mylo menjadi pelan, lekas ia mengedarkan pandangan karena mendengar sesuatu.
Tidak hanya Mylo, tetapi Aalisha dan Anila juga mendengar hal yang sama. Di seluruh hutan ini terdengar sebuah nyanyian, bersenandung begitu indah dan juga merdu, lalu lebih dari satu yang sedang bernyanyi karena nyanyian ini seolah saling bersahutan.
"Kalian dengar? Ada yang sedang bernyanyi di hutan Kimari ini!" ucap Mylo, menatap pada Anila yang membantu Aalisha untuk berdiri.
"Ya aku dengar, tapi aku tak mengerti bahasanya, bukan bahasa yang kita gunakan," sahut Anila.
"Tidak usah pedulikan bahasanya!" Mylo agak kesal dengan jawaban Anila. Bisa-bisanya malah memikirkan bahasa bukan memikirkan hal yang lebih dasar. "Harusnya tanyakan, mengapa ada yang bernyanyi di tengah hutan ini?!"
Nyanyian itu semakin terdengar keras, saling sahut-sahutan, begitu indah dan merdu seolah penyanyi paling andal tengah memamerkan suaranya yang cemerlang dan termasyhur di pertunjukan opera, suara yang akan memikat siapa pun yang mendengarnya. Begitulah di hutan ini, suaranya nyanyian indah itu tidak menyakitkan melainkan sangat menenangkan. Kini tidak hanya nyanyian indah yang asing di hutan ini, tetapi burung-burung bertengger di pepohonan kemudian berkicau seakan-akan ikut pula mereka bernyanyi.
"Kurasa ini bahasa kuno," ujar Anila, "aku tidak bisa menerjemahkannya."
Mylo berucap, "kenapa ada nyanyian? Apa Orly penghuni hutan ini yang bernyanyi?"
"Itu kemungkinan paling benar. Pernah kubaca di buku, para Orly terkadang bernyanyi untuk menyambut seseorang karena mereka sedang bahagia bertemu seseorang itu atau iseng saja mereka bernyanyi." Anila jujur jika ia senang mendengar nyanyian merdu ini, tetapi merinding pula karena jika benar para Orly di sini bernyanyi untuk menyambut seseorang, maka siapa yang mereka sambut itu?
"Tapi kenapa kita tidak bisa melihat para Orly itu?" sahut Mylo.
"Bukankah sudah jelas karena mereka hanya akan menampakkan diri mereka pada seseorang yang mereka sambut." Lekas Anila berujar.
"Bisakah berhenti membicarakan nyanyian," sahut Aalisha, "kurasa kita kedatangan musuh lagi."
Di hadapan mereka, datanglah seorang pria yang tingginya hampir melebihi 190 cm. Dia salah satu penyembah raja Iblis, Phantomius dengan mengenakan ketopong yang menutupi seluruh wajahnya, mengenakan zirah yang sangat lengkap terbuat dari lempengan besi berlapis-lapis, di sisi kanannya terdapat dua pedang panjang. Phantomius itu seperti sosok kesatria perang kuno yang ahli dalam menunggangi kuda. Kini ia melepaskan ketopongnya sehingga memperlihatkan wajahnya, ternyata ia berambut biru panjang, wajah yang tidak terlalu tua, kemudian ada tato merah menghiasi wajahnya juga. Kemungkinan tato itu adalah bukti jika ia menjadi bagian dari Phantomius atau pengikut raja Iblis. Lihatlah betapa ia sangat bangga memperlihatkan dirinya sebagai pengkhianat dunia.
"Dia manusia," ucap Anila, "dia pasti Phantomius."
"Lawan kita kali ini manusia," imbuh Mylo segera mengganti busurnya dengan pedang.
Aalisha masih diam bahkan ketika sosok Phantomius memperlihatkan dirinya yang membuat kedua manusia di samping Aalisha ini jadi merinding ketakutan. Sungguh menghadapi Phantomius jauh lebih mengerikan dibanding menghadapi monster karena melawan Phantomius sama saja dengan melawan sesama manusia.
"Apa nyanyian ini diperuntukan padanya?" Mylo bertanya dengan tubuhnya sedikit gemetar.
"Jika iya," sahut Anila, "maka para Orly sedang berpihak padanya."
Sang Phantomius berdiri dengan tangan direntangkan seolah ia siap memberikan pidato yang sangat panjang. Pertama-tama senyuman terukir di wajahnya, kedua suaranya terdengar cukup lantang. "Salam para pengacau. Tak pernah kusangka, jika kalian memiliki keberanian sehingga berada di sini tanpa memikirkan resiko-resiko yang akan terjadi. Sungguh bodoh, tolol, dan tak berotak. Berani sekali kalian yang tidak lebih dari seekor babi hendak menghentikan rencana agung Phantome Vendettasius dengan dalih kemanusiaan dan menyelamatkan nyawa-nyawa tak bersalah. Pantas saja, pada zaman kuno, kaum kalian tertindas oleh bangsa iblis!"
Kini Phantomius tersebut melangkah, terlihat jelas di mata Aalisha, Anila, dan juga Mylo bahwa setiap langkah Phantomius itu membuat rerumputan langsung kering menghitam, bunga-bunga layu kemudian mati. Langkah para Phantomius membawa bencana adalah sebuah kebenaran, kini ia akan segera membawa kematian lalu menjadikannya sebagai tumbal untuk membangkitkan kekuatan para iblis lagi. "Sudah sejak lama kami mengetahui jika anak-anak dari Eidothea selalu berbuat keonaran. Bukankah kalian terlalu menganggap diri kalian sebagai pahlawan? Untuk apa semua itu? Bukankah tidak lebih dari cara pengajar di akademi untuk mencuci otak kalian kemudian menjadi budak dengan dalih kalian sebagai generasi penerus yang menjaga dunia dari kehancuran! Bodoh!"
Dari belakang sang Phantomius berdatangan serigala-serigala berbulu hitam, cakar tajam nan panjang dengan warna ungu, air liur yang terus menetes serta berwarna merah kemungkinan karena serigala-serigala itu sudah banyak memakan organ tubuh manusia.
"Kalian bukanlah pahlawan, bukan pula sosok yang akan menjaga dunia ini karena setiap nyawa akan segera kami renggut! Ketika Zephyr diaktifkan maka Eidothea yang menjadi akademi didirikan Majestic Families akan hancur lebur, tak bersisa. MAKA SAKSIKANLAH!" teriak sang Phantomius yang hawa sekitar berubah menjadi dingin dan kelam. Lolongan para serigala terdengar memenuhi hutan ini.
Sebuah mantra dilantunkan dengan sangat cepat sehingga mulut Phantomius itu terlihat berkomat-kamit. Maka terlihat bayang-bayang hitam membawa sabit beterbangan siap mengambil kehidupan dari tiga murid Eidothea. Lekas pula para serigala menerjang dengan sangat cepat. Aalisha dan lainnya langsung berpencar. Mereka harus menangkis setiap serangan cakar tajam para serigala maupun sosok bayangan hitam yang berasal dari sihir milik Phantomius berambut biru tersebut.
Anila menggunakan sihirnya, berhasil menyerang para serigala, tetapi sosok bayangan hitam tidak mempan diserang menggunakan sihir. Alhasil satu ayunan sabit tajam berhasil menggores punggung Anila. Mylo berteriak ketika tahu darah keluar dari punggung Anila meski tak banyak, kini gilirannya yang mendapatkan serangan bertubi-tubi dari para serigala. Tidak ada waktu menjerit lagi ketika cakaran para serigala mengoyak baju yang ia kenakan karena Mylo harus bertahan.
Sihir bertipe ledakan api digunakan Anila, ia menyerang setiap serigala dengan sihir tersebut, berhasil membuat mereka meraung sakit hingga terpental jauh. Anila tidak mau jeda sedikit pun dan terus menyerang dengan sihir sehingga membebaskan Aalisha dari para serigala yang terus memojokkan gadis kecil itu. Kini cahaya jingga memenuhi pedang Anila kemudian ia gunakan untuk menyerang, berhasil membasmi seluruh pasukan serigala hingga tubuh mereka terkoyak dan terbelah dua. Darah memuncrat di mana-mana, mengenai pepohonan, rerumputan, hingga terkena baju Anila, Mylo juga. Kini Anila tertunduk saking lelahnya dia. Lekaslah Mylo mendekati dan membantunya berdiri kembali, sungguh Anila penuh dengan peluh keringat, sedikit wajahnya pucat.
Sementara itu, Aalisha menatap tiga bayangan hitam pembawa sabit yang terus-menerus berputar mengelilinginya. Mereka tertawa-tawa seolah senang sekali mempermainkan gadis cacat dan berkasta bawah tersebut. Suara dentingan pedang terdengar tanpa henti ketika pedang Aalisha bersinggungan dengan sabit yang berhasil beberapa kali menyayat tubuh gadis kecil tersebut hingga luka tercipta. Ketika ketiga bayangan hitam hendak menyerang secara bersamaan, di saat itu pedang Aeternitas bersinar biru meski pudar, lalu Aalisha merapalkan mantra yang diayunkan pedang tersebut sehingga cahaya biru bersinar dan melenyapkan para bayangan hitam, benar-benar sirna. Darah keluar dari hidung Aalisha, ia cepat menyekanya dengan lengan bajunya sehingga bajunya jadi semakin memerah.
Kemudian dari arah sang Phantomius berada suara tepuk tangan terdengar, ia sangat puas melihat pertunjukan pembuka dari para murid Eidothea. Ya, pertunjukan pembuka.
"Bertepuk tangan lah, berikan tepuk tangan meriah untuk pertunjukan pembuka dari tiga murid Eidothea ini, sungguh menakjubkan, sayangnya aku belum cukup terkesan." Sang Phantomius tersenyum kecil sembari memperhatikan tiga murid yang sudah mulai kewalahan itu.
"Tidakkah kalian sadar jika menghadapi kami sama saja dengan menyerahkan diri pada kematian? Sangat disayangkan hidup kalian yang singkat itu. Jadi bagaimana jika aku memberikan penawaran?"
"Penawaran?" ucap Anila.
"Ya! Tawaran yang akan menyelamatkan nyawa kalian, yaitu bergabunglah dengan kami dan menjadi Phantomius! Niscaya hidup kalian akan lebih panjang, kuyakin Raja Iblis akan mengampuni setiap dosa-dosa kalian itu. Jadi mari sudahi ini dan bersujudlah sekarang juga!"
Detik itu, ketiganya terdiam membisu mendengar perkataan berupa penawaran untuk menjadi Phantomius? Sungguh gila! Bagaimana mungkin mereka akan menerima penawaran penuh dosa itu! Kini mereka akhirnya tahu jika salah satu cara digunakan Phantome Vendettasius untuk mendapatkan anggotanya adalah dengan membuat seseorang terpuruk dan berada di jurang kematian, kemudian mereka hadir sebagai penyelamat dan Raja Iblis akan mengampuni mereka.
"Mengapa hanya diam? Dibandingkan mati sia-sia bukankah lebih terhormat untuk menjadi bagian dari kami yang suatu hari nanti Sang Raja Iblis akan kembali menguasai dunia ini!"
"Tutup mulutmu dasar iblis hina!" teriak Mylo meski ia kini ketakutan. Namun, ia harus membuang takutnya karena ia tidak boleh kalah pada pengkhianat dunia. "Lebih baik kami mati dari pada menjadi penyembah Rajamu itu!"
"Kau bilang apa, anak tolol?" Manik mata Phantomius itu berubah kelam.
Kini Aalisha melangkah pula. "Bersujud katamu." Sangat berani Aalisha menatap langsung manik mata Phantomius itu yang sudah dipenuhi amarah. "Bagaimana mungkin kami bersujud pada Raja bodohmu itu yang sama-sama diciptakan Dewa? Sungguh, kau dan kaummu memang lah penuh lelucon, terutama Rajamu itu!"
Sang Phantomius perlahan menutup matanya. Amarahnya memuncak, tetapi bukan caranya berteriak melampiaskan amarah dengan penuh luapan. "Begitu. Dasar manusia bodoh. Baiklah jika pilihan kalian adalah kematian, maka akan kubawakan, tetapi agar lebih menyenangkan. Biar kupisahkan kalian dulu."
Terkejut bukan main—Aalisha, Anila, bahkan Mylo lekas melompat mundur karena muncul bola hitam legam di tengah-tengah mereka yang terdapat retakan di bola tersebut, lalu neith berkekuatan tinggi terasa sangat jelas. Kini retakan di bola hitam semakin besar, semakin besar. Hingga mereka sadar jika bola hitam tersebut adalah sebuah distorsi yang dapat menciptakan teleportasi ruang sehingga akan segera memindahkan mereka bertiga ke tempat yang berbeda-beda.
Detik selanjutnya, ledakan terjadi, bola hitam tersebut menghasilkan kabut hitam sangat tebal.
"Aalisha! Anila!" teriak Mylo yang menghilang entah ke mana dibawa kabut hitam tersebut.
Kini giliran Anila yang tak bisa melihat siapa pun lagi. "Aalisha! Myloo!" Namun, kini dia juga menghilang dari sana dibawa pergi sang kabut hitam.
Sang Phantomius tertawa lebar sambil bertepuk tangan sangat meriah karena melihat anak-anak Eidothea yang saling terpisah itu dan akan segera menemui kematian mereka masing-masing. Kini Sang Phantomius menatap pada satu anak yang dari kejauhan akan segera ditutupi kabut hitam dan menghilang dari sana juga. Entah hanya perasaannya saja, tetapi anak itu tidak berteriak ketakutan bahkan tak terbesit rasa takut di wajahnya. Malahan anak itu menatap Sang Phantomius tanpa kedipan mata.
"Hei, Tuan Phantomius," ujar Aalisha, "apa kau mendengar nyanyiannya, begitu merdu bukan?"
"Apa maksudmu?"
Mengetahui jawaban dari Sang Phantomius, perlahan Aalisha tersenyum sangat lebar. Ia begitu senang bahwa dugaannya benar. "Jadi kau tidak mendengarnya? Para Orly penghuni hutan ini sedang bernyanyi loh."
Hari itu, Sang Phantomius dengan rambut biru, bernama Amaguza yang sangat membanggakan dirinya karena menjadi salah satu dari pengikut Raja Iblis, kini terdiam membisu, seluruh tubuhnya terpaku, tak ia sangka degup jantungnya berdetak tak karuan karena rasa takut.
"Kini apa kau mau melihat mereka serta mendengar nyanyian mereka?" ujar Aalisha, membuat langkah Amaguza perlahan mundur. "Mari kuperlihatkan."
Ketika Amaguza mencoba membuka matanya lebih lebar lagi, maka mulailah terdengar nyanyian yang begitu merdu, tetapi menusuk-nusuk gendang telinganya. Lalu melalui manik matanya itu, ia menyaksikan dengan sendirinya bahwa ada puluhan Orly berbalut pakaian putih bersih tanpa noda sekalipun, kebanyakan dari mereka memiliki rambut emas atau blonde serta kulit seputih susu. Wajah para Orly itu tampan dan juga cantik. Sebagian dari mereka duduk di dahan-dahan pohon sambil memainkan lira maupun biola. Ada pula yang duduk di rerumputan dengan memainkan suling, sisanya bersenandung begitu indahnya.
Ya, benar, benar sekali! Jika para Orly itu sedang mengelilingi gadis kecil berambut hitam legam yang masih senantiasa menatap Amaguza dan tersenyum tanpa rasa takut meski kabut hitam perlahan-lahan hendak memakannya.
"Akhirnya kau sadar bahwa para Orly di sini bernyanyi untuk menyambutku. Maka apakah kau tahu artinya?"
Untuk kedua kalinya, Amaguza terkejut bukan main dan degup jantungnya semakin cepat berpacu ketika ia melihat anak bernama Aalisha itu yang hampir ditelan kabut hitam. Namun, tepat di belakang Aalisha, terlihat bayangan bersinar emas yang membentuk sosok wanita bertubuh sangat besar dan tinggi, mengenakan baju perang, kedua matanya ditutup sehelai kain menjuntai panjang ke bawah, terdapat mahkota emas di kepalanya, kemudian membawa pedang tajam di tangan kiri dan sebuah timbangan di tangan kanan.
"Jadi mari mulai penghakimannya, dasar makhluk rendahan!" Maka hilanglah Aalisha ditelan kabut hitam beserta para Orly yang sedang bermain alat musik dan bernyanyi yang tiba-tiba menghilang pula karena sosok yang mereka sambut dan hormati sudah tak ada di sana.
Sementara itu, Amaguza tertunduk, ia ambruk dengan bertumpu pada kedua lututnya karena kakinya gemetar ketakutan. "Bajingan, siapa, siapa anak itu? Apakah mataku salah melihatnya—apakah sosok bayangan itu adalah Dewi? Dewi Perang."
****
Suara ledakan terdengar kencang sehingga tercipta angin bertiup membuat semak-semak belukar jadi bergoyang, begitu pula dahan-dahan pohon, sebagian berguguran pula dedaunan dan rantingnya. Sayang sekali serangan yang Anila lancarkan tidak membuahkan hasil karena para serigala masih berlari kencang mengejarnya, disusul pula para minotaur yang selalu menghancurkan pepohonan yang dilewati oleh mereka karena sangat tidak sabar memenggal tubuh Anila.
"Sialan, bisa-bisanya Phantomius itu memisahkan kami bertiga," gumam Anila lekas berbelok melewati pohon beringin besar kemudian ia gunakan sihir yang berupa bola api, mengenai para serigala hingga mereka terlempar kemudian melolong sakit. Namun, cepat tiga ekor minotaur menerjang dengan mengayunkan kapak mereka sehingga tanah seketika terbelah, hampir saja serangan tersebut mengenai Anila, begitu ahli dia menghindar sehingga serangan tadi malah menumbangkan pohon di belakang Anila.
Itulah masalahnya, akibat pohon tumbang tersebut, Anila harus memutar atau mencari arah lain. Kini hal itu dijadikan kesempatan para minotaur mempercepat lari mereka, muncul di hadapan Anila yang lekas menarik pedangnya kemudian kapak dan pedang saling beradu. Belum selesai serangan minotaur tersebut, satu minotaur muncul, hampir memenggal kepala Anila jika gadis itu tidak menyerang dengan sihir yang membuat para minotaur terpental meski tak jauh. Namun, berhasil menyelamatkan Anila dari maut. Kini ia mengarahkan kedua tangannya kemudian menggunakan sihir yang sukses mengenai para minotaur hingga meraung sakit, menahan mereka sementara, selagi Anila menjaga jarak.
Dada Anila sudah sesak, napasnya memburu, ia merasakan jika keringat terus membasahi pelipisnya. Tangannya sedikit gemetar. Tidak pernah ia berada di situasi seperti ini, situasi antara hidup dan mati pula. Meskipun ia putri dari Count Andromeda, ayahnya ahli dalam sihir dan pertarungan jarak jauh serta Anila diajarkan juga dalam pertarungan di umur belia. Namun, tetap saja, ia diajarkan seperti itu untuk melindungi dirinya terutama dari bangsawan jahat yang tamak atau para penjahat seperti penculik. Bukan menghadapi monster yang menjadi penyembah sekte Iblis, meski suatu hari nanti ia akan menghadapi monster, tetapi tidak secepat ini. Bahkan ia belum menghadapi ujian tengah semester di Eidothea.
"Ayo Anila, pikirkan cara mengalahkan mereka. Aku harus mencari Aalisha, aku harus mencarinya sebelum sesuatu terjadi padanya." Anila mencengkeram kuat pedangnya. Tidak lama lagi para minotaur akan kembali bergerak mengejarnya. Anila tidak bisa diam saja karena jika terlalu lama mengulur waktu begini maka sesuatu yang buruk akan menimpa Aalisha atau Mylo. Parahnya bisa saja pasukan Phantomius dan monster sudah memporak-porandakan desa Shakaleta sedangkan mereka belum juga menemukan Hozier.
"ROAAARKKKHHHHH." Suara raungan itu sangat membahana bersamaan dengan langkah kaki tiga minotaur yang membuat sekitar Anila bergetar.
"Mari kita coba," ujar Anila, "tidak ada salahnya mencoba, paling-paling dibunuh master Aragon."
Anila memasang kuda-kuda yang cukup kuat dan kokoh. Ia takkan bermain kejar-kejaran lagi dengan ketiga minotaur, harus ia selesaikan semua ini karena secepatnya ia harus menemui Aalisha dan Mylo. Maka sudah Anila tentukan titik targetnya ketika para minotaur berada di jangkauan titik tersebut maka Anila akan mengeluarkan kekuatannya. Kini terus berlari para minotaur, perlahan Anila mengarahkan tangan kirinya sedangkan tangan kanan menggenggam pedangnya begitu kuat, kokoh, mustahil akan terlepas dari tangannya.
Detik ketika para minotaur masuk jangkauan serangannya, Anila merapalkan mantra, "Plumbum Pressura." Salah satu sihir yang dikuasainya karena diajarkan oleh keluarga Andromeda, sihir yang cocok bagi keluarga bangsawan yang lebih ahli dalam pertarungan jarak jauh. Maka berkat sihir tersebut, muncullah pentagram sihir di bawah kaki-kaki para minotaur yang kini mereka meraung kencang karena tidak bisa melangkah keluar dari pentagram sihir tersebut. Ya, sihir itu menciptakan tekanan gravitasi pemberat sehingga objek atau makhluk apa pun yang berada di atas pentagram sihir takkan bisa bergerak karena tekanan gravitasi yang seolah menarik dan mengekang mereka.
Sungguh Anila hanya perlu waktu sedikit saja untuk menghabisi mereka dengan satu kali serangan maha dahsyat, maka lekas diangkat pedangnya yang dinamakan Aretha Cynthia, salah satu pedang yang berasal dari leluhur keluarga Andromeda. Pedang yang terbuat dari baja putih serta kulit dan tulang salah satu binatang magis legendaris di benua barat. Kemudian dileburkan juga dengan batu gravios yang berasal dari kawah gunung merapi yang dijaga oleh naga berkulit batu dan menyemburkan lahar dari dalam mulutnya.
"Ignitio!" Ketika pedang Aretha Cynthia diaktifkan maka neith berwarna jingga memenuhi bilah pedang tersebut, hawa panas terasa memenuhi kekuatan sang pedang. Sebelum para minotaur lepas dari sihir Anila. Gadis itu lekas mengayunkan pedangnya yang terdengar dengungan lalu cahaya jingga dengan hawa panas melesat sangat cepat, tak bisa terbaca oleh tatapan mata, lalu mengenai para minotaur yang langsung berteriak kesakitan, kini tubuh para minotaur perlahan-lahan memerah seolah terbakar, hingga para mereka semakin bersinar merah, tubuh mereka membesar kemudian meledak berkeping-keping. Tidak banyak terhambur isi perut mereka karena lebih dulu lenyap menjadi abu yang langsung beterbangan karena tertiup semilir angin.
Anila berhasil melewati masa kritisnya. Ia berhasil pula mengaktifkan pedangnya meski harus melanggar aturan dari master Aragon jika tidak boleh mengaktifkan pedang magis sebelum setahun di akademi Eidothea demi mencegah terjadinya hal buruk. Namun, Anila berhasil, ia selamat dan hal ini membuatnya menangis saking ia takutnya jika gagal kemudian meregang nyawa di sini.
Melangkah dengan tertatih, ia menuju pohon besar dan rindang, kemudian duduk di sana karena tenaganya sudah terkuras habis. Tangisnya jatuh karena yang ia takutkan kini bukanlah dirinya lagi, tetapi kedua sahabatnya. "Kumohon lindungi mereka, lindungi Aalisha dan juga Mylo. Kumohon Mylo, kau harus berjuang, buktikan pada Majestic Families jika kita bisa hidup meski terpisah."
Ibarat doa tersebut terdengar langsung hingga ke singgasana para Dewa dan Dewi. Maka itulah menjadi salah satu alasan Mylo untuk terus bertahan. Berada di sisi lain hutan yang jaraknya jauh dari Anila, langkah kaki lelaki itu tak terdengar beraturan, napasnya juga sama, darah mengalir di kedua lengannya, begitu pula perut kanannya yang terluka cukup besar akibat ayunan pedang salah satu Beer Misvormwolfir. Sudah ia coba menggunakan sihir penyembuh, tetapi ia tidak seahli Anila sehingga hanya bisa mengurangi darah yang keluar dan menutup sedikit saja lukanya.
Manik mata Mylo membulat ketika ia mendapati serangan para monster yang mengejarnya berhasil membuat tanah menjadi cekung dan pepohonan tumbang begitu mudahnya. Burung-burung pergi berterbangan akibat serangan tersebut. Kini Mylo melancarkan serangan-serangan sihir, hanya saja akibat panik dan terluka cukup parah, tidak satu pun serangannya berhasil mengenai para monster yang semakin mengganas tersebut.
Lolongan serigala terdengar di mana-mana. Bisa Mylo perhatikan jika para serigala yang sudah bukan serigala jenis biasa lagi mulai berdatangan kemudian mengeluarkan cakar-cakar mereka dan lekas mengejar Mylo. Akhirnya terjadilah pertarungan lagi, Mylo harus menangkis dan menyerang balik jika ia ingin terus hidup. Namun, jumlah para serigala terlalu banyak, ia sulit menggunakan sihir secara bersamaan ketika fokus mengayunkan pedangnya, alhasil tubuhnya terluka semakin banyak akibat serangan para serigala itu. Pakaian yang ia kenakan sudah sobek, darah semakin keluar membuat pakaiannya jadi memerah, wajahnya tak lepas terkena cakaran. Di tengah-tengah rasa sakitnya, Mylo merapalkan mantra, berhasil para serigala terpental. Hanya saja takdirnya cukup buruk karena para Beer Misvormwolfir muncul di hadapannya dan ayunan gada berhasil membuat Mylo terpental sangat jauh kemudian menghantam pohon, maka pohon tersebut patah dan tumbang.
"Sial, kenapa aku selemah ini," ucapnya setelah memuntahkan darah. Kini ia terkapar di tanah, maka semua ini membawa banyak memori menyakitkan dalam diri Mylo.
Ia geram pada dirinya sendiri. Ia benci ketika teringat bahwa di antara saudara-saudaranya, Mylo yang paling sering terkena amarah ibunya, paling sering dibanding karena Mylo tak begitu ahli dalam sihir, ia kesal karena selalu mendapat pekerjaan lebih banyak padahal saudara lainnya juga berada di rumah. Ia sakit ketika kakak-kakaknya selalu pamer kehebatan yang mereka miliki. Berada di rumah itu memang adalah tempatnya untuk pulang, tetapi terkadang menjadi luka paling dalamnya.
Kini Mylo menatap kosong pada pedangnya yang tepat berada di sampingnya. "Padahal Aalisha tak punya ayah dan ibu, kenapa dia masih kuat berdiri, begitu kokoh. Kenapa dia begitu mudah mengabaikan hinaan orang-orang? Kenapa dia tidak pernah sekali pun menangis? Apa yang tak punya orang tua sejak kecil, selalu sekuat itu?"
"GROAARKKKHHHHH." Raungan tujuh Beer Misvormwolfir terdengar bersamaan lolongan lima serigala atau malah lebih? Namun, suara yang terdengar itu menjadi pertanda bahwa para monster sudah dekat dari tempat Mylo berada. Namun, ia tak kunjung bangkit.
"Jika aku mati, apa ayah dan ibu akan menangis?" Kini Mylo menutup matanya, sepertinya ia akan menyerahkan kehidupannya, bukankah masih ada kakak-kakaknya yang berbakat serta adiknya yang paling disayang? Tidak ada gunanya ia hidup. Namun, detik selanjutnya ia teringat sesuatu yang tanpa basa-basi membuatnya perlahan bangkit dari keterpurukannya itu.
"Aku tidak boleh mati, ada hal yang harus kudengar dari Aalisha, dia berutang cerita padaku dan aku harus tahu identitas aslinya."
Mylo hendak bangkit, tetapi baru ia berdiri, pusing menyeruak, ia kemudian muntah darah saking terluka parahnya. Ditatapnya ke depan, para monster semakin banyak menuju ke arahnya, mustahil jika ia mengalahkan para monster itu satu per satu karena tenaganya sudah tak cukup lagi, ia juga terluka parah. Hendak menggunakan busur dan panah, tetapi sudah hancur karena awalnya ketika menghadapi para minotaur, ia sudah menggunakan panahnya. Mylo tidak yakin mengaktifkan pedangnya karena tidak efektif jika ia mengaktifkan pedang magis dalam kondisi terluka.
Satu serangan dahsyat dari para Beer Misvormwolfir berhasil menghancurkan pepohonan di belakang Mylo. Mereka sudah dipastikan akan membantai dan mengoyak tubuh Mylo. Kini yang sangat ia butuhkan adalah keajaiban, bukankah para Dewa akan membantu makhluk-Nya yang terpuruk, tetapi masih hendak berjuang?
"Bodoh, mana mungkin ada yang seperti itu." Mylo meraih pedangnya, kemudian digenggamnya kuat. Ia harus bersiap menghadapi serangan karena kabur pun ia akan tetap berada di jurang kematian.
Para monster semakin dekat, ketika hidup Mylo sudah dituliskan sebagai kematian. Mungkin berkat keinginan dan harapan serta doa dari seseorang, membuat keajaiban itu benar adanya. Dari arah jam dua, melesak begitu cepat, tiga lembing yang mendarat tepat di samping Mylo. Lembing itu berwarna hitam dengan ukiran putih di sekelilingnya. Lekas Mylo mengedarkan pandangannya, tetapi tidak ditemukan siapa pengirim lembing ini. Mungkinkah para Orly di hutan ini yang diam-diam membantunya? Ya sudah dipastikan karena hal itulah yang paling logis.
"Baiklah Mylo, kau harus berjuang." Ia meyakinkan dirinya sendiri.
Meraih satu lembing, memasang kuda-kuda bak seorang ahli melempar lembing yang takkan sedikit pun ia akan meleset. Neith dari dalam dirinya perlahan melapisi satu lembing yang ia genggam dengan sangat kuat nan kokoh. Kini diarahkan mata lembing tersebut tepat ke para monster yang berlari menuju padanya. Meski degup jantungnya berdetak sangat cepat, darahnya berdesir, ia tidak akan kalah dengan rasa takutnya. Maka dengan sekuat tenaga, layaknya prajurit perang yang sudah tak peduli pada kehidupannya entah mati atau hidup, Mylo melempar lembing tersebut, melesak sangat cepat. Layaknya suara gemuruh badai, maka berhasil lah lembing tersebut menusuk dada dari tiga Beer Misvormwolfir sekaligus kemudian Mylo menggunakan sihir petir yang berhasil mengenai para monster lainnya sehingga langkah mereka terhenti, suara raungan penuh rasa sakit menggelegar!
Tak mau jeda ada, maka lekas Mylo meraih lembing kedua kemudian melemparkannya yang kali ini lebih cepat dari lembing pertama. Maka berhasil pula lembing kedua ia menembus tubuh empat ekor serigala sekaligus hingga ketika lembing tersebut mendarat di tanah maka tanah tersebut hancur lebur, menjadi cekung akibat dahsyatnya serangan tersebut. Kini lembing terakhir tidak hanya terselimuti petir, tetapi api yang perlahan menjadi biru. Mylo terlihat sangat lelah, sudah tak ia pedulikan pakaiannya basah akibat peluh keringat, ia mengembuskan napas cukup panjang, kemudian menarik lengannya ke belakang yang menggenggam kuat lembing tersebut lalu ia lempar dengan seluruh tenaganya yang tersisa hingga lembing tersebut terbang begitu cepatnya, membelah jarak ibarat petir bergemuruh, maka ketika mengenai salah satu monster. Suara keras terdengar, tanah-tanah hancur, bersamaan api biru mulai menghanguskan segalanya di sekitar lembing tersebut, perlahan-lahan sang api biru kian membesar serta asap hitam membumbung ke langit. Hingga melenyapkan para monster hingga tak bersisa.
"Sialan, aku berhasil." Lengan kanan Mylo terluka parah, seperti terbakar sehingga kulit-kulitnya terkelupas sedikit. Pasti karena lembing terakhir yang ia gunakan. Meskipun terluka, ia sangat puas dengan apa yang ia lakukan. Maka detik selanjutnya, ia ambruk ke tanah.
Api biru yang berasal dari lembing Mylo memanglah semakin besar, tetapi api itu tidak merambat ke mana-mana, hanya berada di radius jangkauan lembing saja. Mungkin kah ini berkat karunia para Dewa sehingga hutan itu tak terbakar? Ya, maka Mylo tak berhenti berterima kasih pada para Dewa yang telah menyelamatkannya.
Berada di sisi lain hutan, seorang gadis bermata amber sontak menatap ke sebelah Timur karena mendengar suara ledakan serta sekilas terlihat api biru menyala.
"Apa-apaan itu itu?" Eloise merasa bingung. Gadis itu terlihat baik-baik saja, ada sedikit darah di pipi kanannya, tetapi tenang saja karena bukan darahnya melainkan darah dari salah satu minotaur yang ia bantai dengan sangat mudah. Entah berapa jumlah monster yang telah ia bunuh, 30 barangkali, ia tak ingat.
Suara raungan minotaur terdengar kencang, ternyata masih ada yang selamat, maka minotaur tersebut menerjang ke arah Eloise yang masih berfokus pada api biru, entah benar atau penglihatannya malah salah? Kini sang minotaur sudah berada tepat di belakang Eloise dengan gada diangkat kemudian diayunkan hendak menghancurkan kepala gadis tersebut. Namun, belum sempat gada itu mengenai Eloise, tangan sang minotaur sudah lenyap menjadi abu, membuat gadanya terjatuh, kemudian dari kaki minotaur tersebut menjalar api merah yang kemudian membakarnya hingga ke tulang-tulangnya dan tak bersisa sedikit pun. Lenyaplah monster tersebut.
"Monster sialan, berani dia hendak membunuhku dengan cara itu," ucap Eloise sudah tidak mempedulikan suara ledakan dan api biru di sebelah Timur. Ia menatap cyubes-nya, memperlihatkan peta dari hutan Kimari, meski sudah membunuh banyak monster, tak kunjung juga ia temukan yang membawa Zephyr.
"Kurasa Athreus dan Nicaise yang mendapatkan Zephyr-nya."
Di sisi selatan hutan Kimari, daerah itu menjadi lautan darah, pepohonan juga terkena darah, dedaunannya, semak-semak belukar juga. Kemudian ditelusuri cukup banyak potongan tubuh manusia, dimulai dari tangan yang terpenggal menjadi dua, kaki yang tercincang, lalu banyak tubuh yang tertusuk pedang maupun tombak, bahkan ada tubuh manusia tertancap di pepohonan dengan pedang tajam menusuk kedua tangannya. Semua mayat di sana adalah mayat dari para Phantomius, sebagian juga ada monster seperti minotaur dan Beer Misvormwolfir, ada pula para serigala yang terkapar tak berdaya di tanah dan darah mereka membuat genangan di sana.
Suara manusia yang berkelejat terdengar, mulutnya mengeluarkan banyak darah dengan bola mata yang perlahan memutih karena dadanya ditusuk pedang, kini pedang tersebut dicabut oleh seseorang yang segera menghapus darah di pipinya menggunakan sapu tangan biru. Ya, dia adalah dalang dari terbunuhnya banyak Phantomius di sini, bahkan sempat terjadi pertarungan besar karena salah satu Phantomius membawa Zephyr. Namun, Phantomius itu bukanlah tandingannya karena kini Athreus Kieran Zalana berhasil mendapatkan satu Kepingan Zephyr.
"Mudah sekali," ujar Athreus menatap pada lautan darah di belakangnya. "Kuharap gadis kecil itu baik-baik saja, tidak kuampuni dia jika mati ditangan orang lain selain tanganku." Kini ia teralihkan pada sosok monster yang datang lagi, tetapi kali ini lebih besar berkali-kali lipat dari monster yang sebelumnya ia lawan.
"Berani kau menghabisi pasukanku! Hanya karena kau keturunan Majestic Families jangan pernah remehkan aku!" Monster tersebut adalah Beer Misvormwolfir yang mendapat tambahan kekuatan, kemungkinan ada parasit berupa kekuatan iblis di dalam monster tersebut.
"Remeh? Bahkan untuk meremehkanmu saja aku enggan melakukannya karena kau tidak lebih dari makhluk kecil yang lebih pantas berada di neraka." Athreus menggenggam erat pedangnya ketika sang Beer Misvormwolfir mulai berteriak dan menerjang dengan sangat cepat. Saat itu, sang monster tidak sadar jika ia menghadapi kematian paling menyakitkan.
Barat Hutan Kimari, lelaki dengan mata ungu sangat cantik menatap pada para monster dan Phantomius yang terjerat kekuatannya sehingga mereka semua terdiam dengan tubuh terantai, tidak mampu bergerak sedikit pun, bahkan membuka mulut saja tidak bisa. Sementara itu sang lelaki bermata ungu menatap pada batu kekuatan yang ternyata memiliki warna merah, ya itu adalah Zephyr yang berhasil direbutnya dari genggaman pasukan iblis.
"Tuan Agung Nicaise, kurasa itu batu dari zaman kuno." Suara itu berasal dari seorang Orly penghuni hutan Kimari, sosok Orly tersebut seperti anak kecil, tetapi umurnya sudah 300 tahun.
"Ya, tak kusangka para iblis membawa senjata mematikan itu, tapi kini sudah berada di tangan Tuan Agung," timpal Orly lainnya yang seorang wanita.
"Baru satu, masih tersisa kepingan lainnya lagi di tangan para Phantomius dan aku harus mendapatkannya," ujar Nicaise.
"Kalau begitu, Anda pasti bisa mendapatkannya Tuan Agung." Orly berambut merah yang membawa lira berucap kemudian, ia tengah bersantai di dahan pohon sesekali memetik lira tersebut.
Nicaise menatap pada Orly berambut merah tersebut. "Mengapa kau membawa alat musik?"
Sontak sang Orly bangkit dari posisinya kemudian menatap Nicaise. "Ini bukan punyaku, Tuan Nicaise, melainkan punya temanku. Aku hanya meminjamnya setelah dia memainkan lira ini dan bernyanyi. Katanya dia dan beberapa Orly bernyanyi untuk seseorang yang berkunjung kemari."
Nicaise menyimpan Zephyr yang ia dapatkan ke dalam invinirium-nya. "Apa? Bernyanyi pada siapa? Siapa Tuan Agung selain diriku sampai para Orly bernyanyi untuknya?"
"Maafkan aku, Tuan Nicaise, aku tak tahu. Hanya temanku saja yang tahu karena dia di sana untuk bermain lira dan bernyanyi."
"Panggil temanmu itu sekarang juga!"
Maka tak perlu waktu hingga teman yang dimaksudkan itu datang. Dia adalah Orly seperti anak laki-laki, rambut keriting berwarna blonde serta pakaian putih. "Jadi kau pemilik lira?"
"Ya Tuanku, bukankah liranya bagus? Apakah Tuan hendak mendengar liraku yang indah itu?"
"Katakan padaku, siapa yang kau nyanyikan?" ucap Nicaise.
Maka sang Orly malah tersenyum simpul. "Rahasia, wahai Tuanku Yang Agung. Aku tak bisa memberitahukanmu. Namun, jika Tuan Agung benar-benar hendak tahu, bagaimana jika kujelaskan dia melalui sebuah syair?"
Maka lekas sang Orly rambut blonde mengambil balik liranya dari temannya berambut merah, kemudian dipetik lira tersebut sehingga terdengar alunan musik yang indah. Kini Sang Orly mulai bernyanyi dengan suara begitu merdu. "Tolong perlihatkan dirimu, kami tahu kau memperhatikan kami semua, jadi tolong perlihatkan dirimu karena kami akan menyambut keagunganmu itu.
"Tidak!! katanya. Dia harus menyembunyikan dirinya dari dunia ini." Sang Orly berambut blonde itu seolah-olah melakukan monolog.
"Baiklah, kami takkan memaksa, tapi bolehkah kami bernyanyi untukmu? Kami bernyanyi karena kami begitu menghormatimu. Ternyata dia setuju! Kami pun mulai bernyanyi untuknya yang sangat kami hormati!
"Maka perkenalkanlah." Suara Orly itu semakin keras. "Dia adalah sosok manusia sederhana, badas di arena, cerdas, tak tertandingi, dan Ratu strategi terbaik yang pernah kami lihat. Mungkin hari esok, dia akan menjadi kesatria terbaik, bahkan mengubah dunia ini, dan membawa perang terhebat sepanjang masa, ya perang terhebat sepanjang masa! Maka saksikanlah!" teriak sang Orly begitu bahagia.
Maka segera Nicaise menggunakan sihirnya kemudian membunuh para monster yang terjerat hingga tak bersisa. Amarah terukir jelas di wajahnya, kemudian lelaki itu meraih pedangnya dan melangkah pergi meninggalkan para Orly tersebut terutama Orly yang melantunkan syair, sebelum Nicaise benar-benar pergi, ia berujar dahulu. "Aku tak percaya padamu, lalu syairmu jelek sekali!"
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Semisal ada yang tanya, "kok Orly penghuni hutan nggak nolong atau melindungi hutan mereka dari Phantomius?" Ya, karena bukan urusan mereka, lagi pula Orly takkan mematuhi perintah seseorang kecuali master atau tuannya yang sudah buat kontrak sama dia---kecuali lagi, mereka berbaik hati, baru mau nolongin. Jadi nda usah heran kalau Orly sengaja jadi penonton^^
JADI AALISHA INI SIAPA?
❝Perlu kalian ketahui jika seharusnya Aalisha tidak bisa masuk Eidothea karena belum mencapai usia persyaratan. Sehingga dia paling muda di antara anak-anak di angkatannya.
❝Mylo lebih pandai memasak dibandingkan Anila.
❝Profesor Rosemary adalah keturunan dari Pahlawan Perang Wanita yang pernah mengenakan gaun di medan perang.
❝Aalisha sering menggunakan istilah "Dewa menciptakannya dengan tangan kiri" untuk menggambarkan dirinya yang cacat.
Prins Llumière
Selasa, 14 Februari 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top