Chapter 67

Kenyataan bahwa Lugaldaba adalah investor dari panti asuhan ini cukuplah mengejutkan. Mendengar semua cerita dari tuan Alfonso maka sudah bisa ditarik benang merahnya jika sejak awal Lugaldaba sudah mengincar kepingan Zephyr yang ada di sini, entah dari mana pria itu tahu akan keberadaan Zephyr di sini. Bisa jadi karena kedekatannya dengan masyarakat, maka ada yang tak sengaja membocorkan jika kepingan Zephyr disembunyikan di desa ini, kemudian Lugaldaba melaporkannya pada petinggi Phantome Vendettasius. Maka terjadilah serangkai penyerangan dan juga menargetkan Shakaleta. Namun, yang menjadi pertanyaan baru adalah mengapa Lugaldaba tidak mengambil Zephyr itu dengan tangannya sendiri? Mengapa harus menunggu pasukan Phantomius untuk menyerang desa ini sekaligus mendapatkan Zephyr-nya?

Memikirkan semua ini sungguh membuat kepala Aalisha sakit. Semakin bertambah sakitnya karena teringat jika semua rencananya dengan Anila dan Mylo kacau-balau. Mereka hanya ingin mendapatkan Zephyr sebelum bangsa iblis menyerang, tetapi nyatanya Zephyr itu malah menghilang yang kini entah di mana batu itu! Kini bertambah pula masalah karena harus mencari anak yang hilang pula. Belum lagi mereka akan menghadapi pasukan Phantomius yang entah monster seperti minotaur atau beruang berkepala serigala.

Sungguh, semua yang terjadi di sini sangat lah complicated, sangat rumit!

Kini Aalisha menghentikan langkahnya karena melihat anak-anak desa berlarian menuju gerbang desa, tidak hanya anak-anak, melainkan para orang dewasa serta orang tua. Bahkan nenek-nenek berumur 80 tahun juga tak mau kalah jadi ia segera menuju gerombolan warga yang berada di dekat gerbang desa. Adakah festival di sana atau kedatangan orang kaya yang membagi-bagikan sembako dan uang secara cuma-cuma?

Aalisha sesaat melihat Anila dan Mylo yang ternyata menuju gerombolan itu juga. Mengapa pula mereka ada di sana, bukannya beristirahat atau membahas rencana apa yang harus mereka lakukan untuk esoknya menghadapi semua kerumitan diakibatkan Zephyr!

Kini perasaan tak enak nan buruk menyeruak ke dadanya. Ya, ia merasakan firasat buruk yang kemungkinan akan datang menghampirinya hanya dalam hitungan detik mulai dari sekarang. Maka Aalisha segera menuju gerombolan yang terdengar suara riuh dari mereka, disusul jeritan penuh kebahagiaan, beberapa anak kecil melompat-lompat kegirangan. Sialan jangan bilang benar adanya kalau orang kaya berkunjung kemari kemudian membagikan koin emas secara gratis ataukah lebih dari sekadar orang kaya yang dermawan?

Aalisha masih berusaha melewati gerombolan itu, ia lihat Anila sudah ada di barisan depan dengan jubah Arevalous yang terlihat jelas. Sulit bagi Aalisha menembus gerombolan ini yang berbadan lebih besar dibandingkan dirinya. Hingga perjuangannya itu membuahkan hasil, Aalisha selamat sampai di barisan paling depan dari gerombolan ini yang semakin berteriak kegirangan seolah tamu spesial yang berkunjung kemari sedang membagikan koin emas.

Ya, tamu itu benar-benar spesial sampai masyarakat sini perlu membungkukkan badan mereka demi memberikan penghormatan yang paling mulai. Sampai masyarakat di sini harus memanjatkan doa dan berterima kasih kepada para Dewa, mereka bahkan berniat memberikan persembahan sebagai tanda syukur dan terima kasih itu.

"Ada apa sih di sini? Kenapa pula kalian ada di sini bukannya membahas rencana untuk besok," ucap Aalisha menatap Mylo dan Anila.

"Lari Aalisha, kita harus lari dan pergi dari sini," sahut Mylo, panik sekali dia.

"Kita harus kabur sesegera mungkin, terutama kau Aalisha!" sambung Anila yang ternyata panik juga.

"Kabur, kenapa harus kabur?" balas Aalisha, bingung setengah mati. "Apakah bangsa iblis sudah menyerang?"

Mylo berteriak, "lebih para lagi!"

"Coba kau perhatikan ke sana, siapa yang dikelilingi gerombolan itu, perhatikan siapa mereka!" Anila sudah sangat lelah sampai-sampai tak bisa menahan emosinya.

Maka sesuai instruksi dari Anila, gadis kecil itu menatap ke arah gerombolan yang terpancar aura kebahagiaan di diri mereka karena kedatangan tamu spesial. Di antara gerombolan itu, Aalisha mendapati seseorang mengenakan seragam Eidothea juga, dua jubah yang menunjukkan warna asrama Faelyn, lalu satu jubah menunjukkan warna dari asrama Gwenaelle. Kemudian terlihat pula dua lelaki yang tinggi semampai kini berhasil membuat perempuan di desa ini jatuh hati kemudian satu gadis cantik dengan rambut diurai kemudian terpampang jelas manik matanya yang indah berwarna amber, kini manik mata itu menatap pada Aalisha. Benar-benar pada Aalisha yang membuat gadis kecil itu dapat mengetahui secara jelas wajah dari gadis cantik tersebut.

"Ohhh, suatu berkah para Dewa yang tiada duanya karena mengirim tiga Majestic Families ke tanah ini." Terdengar suara dari salah satu warga yang tidak berhenti terharu.

"Sungguh aku bahagia karena bisa hidup hingga kini dan melihat para Majestic Families datang ke sini langsung untuk menolong desa kita."

"Kurasa kini desa kita akan selamat karena berkah mereka menyertai kita semua."

"Hidup Majestic Families, cahaya kebanggaan Athinelon! Mereka akan menyelamatkan kita semua dari tangan bangsa iblis!"

Perlahan Mylo berucap, "keselamatan bagi desa ini, kematian bagi kita."

Aalisha, Anila, dan Mylo tidak masalah jika setiap masyarakat di desa ini begitu mengagungkan para Majestic Families yang memang kehadiran mereka dapat mengubah banyak hal serta diberkahi para Dewa. Namun, kenyataannya kehadiran mereka bertiga adalah bencana bagi Aalisha, Anila, dan juga Mylo. Terutama bagi Aalisha.

"Sialan salah satunya kemari!" teriak Mylo lekas meraih tangan Anila dan juga Aalisha kemudian menarik mereka dari gerombolan yang seketika membukakan mereka jalan begitu saja. "Lari, kita harus lari!"

Eloise Clemence yang sadar jika ketiga adik tingkatnya itu berlari darinya, ia jadi berteriak dan semakin mempercepat larinya. "Sialan, mau lari ke mana kalian! Terutama kau, AALISHA!"

Mylo melepaskan lengan Anila, kemudian menarik Aalisha agar gadis itu mempercepat larinya karena jika tertangkap Eloise Clemence maka habislah sudah hidup gadis kecil itu. "Cepat pergi!"

"Lari Aalisha, lari!" teriak Anila.

Sungguh Aalisha tidak peduli jika kini menjadi sorotan dan pusat perhatian dari masyarakat di desa ini. Ia tak peduli jubahnya jadi beterbangan karena angin bertiup dan ia semakin mempercepat larinya karena kini ia hanya ingin kabur dari Eloise yang sudah menarik pedangnya, serta siap menebas kepala Aalisha jika gadis kecil itu berhasil tertangkap.

"Ke mana kau mau kabur, dasar tikus kecil menyebalkan!" teriak Eloise. Sama sekali tak peduli pada dua teman gadis kecil itu karena Eloise hanya ingin menangkap tikus kecilnya dan segera ia jadikan tikus bakar atau tikus rebus.

"Menjauhlah dari Aalisha." Anila hendak menghalangi Eloise dengan sihir, tetapi digagalkan oleh Nicaise Von Havardur yang tiba-tiba sudah berada di belakangnya.

"Jangan gegabah, Nona Andromeda." Nicaise tersenyum simpul. "Berani ya kalian mempermainkan kami. Berani juga kalian, lebih dulu ke desa ini."

"Hei, jangan ganggu Aalisha!" Kini giliran Mylo yang mempertaruhkan diri demi melindungi Aalisha, tetapi berakhir sial karena tubuhnya tiba-tiba terempas ke tanah hingga wajahnya menghantam tanah, kemudian seseorang berada di belakangnya, memelintir tangan Mylo dan berhasil mengunci lelaki itu sampai tidak bisa bergerak. Sungguh sakit, sangat sakit!

"Mylo Cressida, kau mau apa? Biarkan Eloise menangkap adik tingkat kesayangannya itu." Athreus Kieran Zalana semakin menekan tubuh Mylo sehingga ia menjerit sakit. "Lalu nekat juga ya kalian, kabur dari Eidothea kemudian pergi ke desa ini. Padahal sudah kami peringatkan loh, kalian benar-benar cari mati ya."

"Tolong jangan patahkan tanganku, aku hanya punya dua saja!" ujar Mylo kemudian menatap pada Aalisha yang sudah hampir terkejar Eloise.

"Kau lihat, sahabatmu itu akan habis di tangan Eloise," ucap Athreus.

Kini mereka melihat Eloise yang menggunakan sihirnya, sementara itu Aalisha masih terus berlari meski tahu pasti akan gagal karena lawannya seorang Majestic Families. Maka atas sihir Eloise yang berhasil itu, Aalisha merasakan ada sesuatu yang menjerat kedua kakinya, sukses membuat gadis kecil itu terjatuh, kepalanya menghantam tanah, tubuhnya ambruk seketika. Kemudian tak berselang sedetik pun, sebuah pedang tajam tiba-tiba tepat berada di sampingnya. Hanya berjarak satu kepalan tangan saja saja dari posisi wajah Aalisha sehingga gadis itu bisa melihat bilah pedang Eloise yang begitu bersih dan mengkilap, sehingga memantulkan bagian manik mata Aalisha pula.

"Kini kau tertangkap tikus kecil," ucap Eloise dengan suara begitu dingin dan bernada rendah, ya dia seperti algojo yang siap mengangkat kapaknya untuk memenggal kepala manusia yang hendak dieksekusi.

Aalisha meneguk salivanya, perlahan ia menatap pada Eloise yang terlihat jelas sekali di mata gadis itu menggambarkan amarah yang tak bisa dianggap main-main. Kini nyawa Aalisha tidak hilang setengah, tetapi akan hilang seluruhnya karena dicabut oleh Eloise. Maka demi keselamatan dan umur panjangnya, Aalisha tersenyum, memperlihatkan gigi-giginya yang putih kemudian berujar dengan penuh penyesalan.

"Aku akui kalau aku salah, aku benar-benar minta maaf jadi kumohon biarkan aku hidup."

"Hidup kau bilang." Eloise menggenggam gagang pedangnya dengan sangat kuat, ia hanya perlu mengayunkan pedangnya maka sudah dipastikan gadis kecil yang terbaring di tanah ini akan dikenal sebagai gadis kecil tanpa kepala. "Aku bukan manusia baik hati yang akan memberi maaf padamu begitu saja! Dasar kau tikus kecil, sini kupenggal kepalamu lalu kumasak jadi sup daging!"

"Kumohon jangan!" teriak Aalisha.

"Apa yang terjadi di sini?!" Suara itu berasal dari seorang pria yang ternyata tuan Alfonso. Dia datang terburu-buru setelah Imron memberitahukan bahwa desa mereka kedatangan tamu sangat spesial.

Eloise tidak jadi menebas kepala Aalisha karena pria di hadapannya ini. Lalu tiba-tiba Aalisha berdiri kemudian segera menuju tuan Alfonso, bersembunyi di belakang pria tersebut sambil berujar, "Tuan, bisakah Anda menolongku?"

Kecerdasan yang dimiliki Eloise sontak membuat gadis itu langsung paham siapa pria yang ada di hadapannya ini, maka lekas Eloise memperkenalkan diri. "Eloise Clemence, putri dari Archduke Clemence."

Tanpa basa-basi, tuan Alfonso dan juga Imron segera membungkukkan tubuh mereka sebagai penghormatan. "Ternyata benar jika Keturunan Agung berkunjung ke desa ini. Aku menghormati kehadiranmu di sini. Perkenalkan aku adalah kepala desa Shakaleta, namaku Alfonso. Sekali lagi suatu kehormatan bisa dipertemukan denganmu."

"Benar sekali Tuan Alfonso, terima kasih atas sanjunganmu. Sebenarnya tidak hanya aku, tapi ada dua Majestic Families yang lain," ujar Eloise tersenyum tipis lalu melotot tajam pada tikus kecilnya yang berada di samping tuan Alfonso.

Paham sekali Aalisha akan maksud dari tatapan Eloise itu. Lagi pula ia sangat, sangat kecewa pada tuan Alfonso yang mengabaikannya dan memilih untuk berbicara pada Eloise padahal jelas sekali tadi jika Aalisha hampir mati ditangan Majestic Families itu!

"Benarkah?" sahut tuan Alfonso begitu bahagia. "Benar-benar kehormatan bagiku karena bisa bertemu dengan tiga Majestic Families sekaligus. Dewa sangat berbaik hati pada hari ini!"

Kini Athreus dan Nicaise datang sambil membawa Anila serta Mylo yang terpaksa menurut karena mereka tak bisa melawan keduanya.

"Inikah dua Majestic Families lainnya? Suatu kehormatan bagiku, perkenalkan aku adalah Alfonso, kepala desa di sini," ujar Alfonso tak bisa menahan air matanya yang hendak jatuh saking ia terharu.

"Aku Athreus Kieran Zalana," ujar Athreus.

"Senang bertemu denganmu tuan Alfonso, aku Nicaise Von Havardur," ucap Nicaise.

Semakin saja Alfonso terharu. Hal ini membuat Aalisha menghela napas panjang. Ketika dia dan Anila serta Mylo datang kemari, tidak ada sedikit pun rasa terharu dalam diri tuan Alfonso. Sungguh sangat tidak adil!

"Jagad Dewa, aku tidak bisa menahan kebahagiaanku karena kalian ada di sini." Alfonso meraih sapu tangan yang diberikan Imron, kemudian menghapus sedikit air matanya. Kemudian ia menatap Aalisha yang ada di sampingnya. "Oh, apakah Nona Aalisha yang meminta bantuan kalian untuk menyelamatkan desa kami dari serangan bangsa Iblis yang mengincar Zephyr?"

"Ya, itu benar!" Lekas Eloise menarik kerah seragam Aalisha kemudian membawa gadis itu tepat berada di sampingnya kemudian dirangkulnya Aalisha seperti mereka adalah dua kawan atau kakak-beradik yang sangat akrab. "Anak ini yang menghubungi kami, dia meminta tolong dan memohon pada kami agar menyelesaikan masalah yang ada di sini. Karena itu lekas kami datang."

Eloise menatap Aalisha dengan senyuman simpul. Gadis kecil itu sadar akan Eloise dan senyumannya maka kini dia hanya bisa diam sambil meneguk salivanya karena ia merasa takut pada Eloise. "Tuan Alfonso, kau harus berterima kasih pada anak ini karena cepat meminta bantuan pada kami. Jika tidak, kami takkan tahu apa yang terjadi di sini.

"Ya, Eloise benar," sahut Athreus sambil bersedekap.

"Jasa anak itu cukup besar," imbuh Nicaise.

"Oh Dewa, Nona Aalisha terima kasih banyak." Tuan Alfonso berujar lagi. "Terima kasih juga pada kalian bertiga, Majestic Families yang terhormat karena hendak membantu desa ini keluar dari masalah yang tak bisa kami selesaikan. Kami benar-benar berutang budi yang sangat besar pada kalian semua."

"Sudah kewajiban kami sebagai murid Eidothea untuk menolong sesama makhluk hidup." Eloise masih saja merangkul Aalisha dan tak mau melepaskan gadis kecil itu. Sayangnya ini bukanlah rangkulan seorang Kakak yang menyayangi adiknya, melainkan seorang kakak yang siap membunuh adiknya.

"Jadi apa yang perlu kami siapkan untuk kalian bertiga sebagai salah satu bentuk rasa terima kasih kami?" ujar tuan Alfonso.

"Kami membutuhkan kamar tidur untuk beristirahat," sahut Athreus.

Tuan Alfonso mengangguk. "Kami dengan senang hati menyiapkan semua itu termasuk makan malam yang sangat lezat untuk kalian semua."

"Terima kasih atas kemurahan hatinya." Kini giliran Nicaise berucap. "Namun, sebelum itu, bisakah Anda meluangkan waktu untuk menceritakan segala permasalahan di desa ini serta Zephyr, karena selain mendengar dari tiga adik tingkat kami yang tersayang ini. Kami ingin mendengar penjelasan langsung dari Tuan Alfonso."

"Dengan senang hati aku akan menjelaskan segalanya," sahut tuan Alfonso, "mari, mari ikuti aku agar kujelaskan dengan sangat rinci."

"Baiklah, terima kasih Tuan," sahut Eloise yang masih merangkul Aalisha.

"Ayo kita pergi ke sana," ucap Athreus kemudian menatap pada dua adik tingkatnya. "Kalian berdua juga harus ikut, jangan mencoba kabur."

"Ba—baiklah!" teriak Mylo sedangkan Anila hanya mengangguk mantap.

"Kau juga harus ikut," ujar Eloise, "tikus kecil yang akan kubakar tidak lama lagi."

Maka terpaksalah, Aalisha, Anila, dan Mylo mengikuti para Majestic Families menuju kantor tuan Alfonso, lagi. Entah bagaimana hari-hari yang mereka jalani ini akan semakin buruk, ya, benar-benar buruk. Oh Dewa, sebelum melindungi Aalisha, Anila, dan Mylo dari para Phantomius, tolong lindungi mereka lebih dulu dari tiga Majestic Families.

****

Malam ini, desa Shakaleta seperti mengadakan festival dadakan, banyak sekali lentera yang telah dipasang di luar-luar rumah para warga sebagai penerangan padahal biasanya takkan begini. Tidak hanya lentera, tetapi lampu gantung yang akan memancarkan cahaya kelap-kelip juga dipasang dengan cepat sebelum malam tiba, kini seluruh jalan, halaman rumah penuh dengan cahaya. Sebagian warga bergotong royong di bagian memasak karena mereka harus menghidangkan makanan yang paling layak dan enak serta lezat untuk dimakan oleh murid-murid Eidothea terutama tiga Majestic Families yang akan menjadi penyelamat bagi desa ini.

Kemudian untuk menambah nuansa indah, maka didirikanlah sebuah tenda di halaman depan rumah Kepala Desa, tenda putih panjang, diberi karpet di dalamnya, ditata dengan rapi sebuah meja panjang dan kursi yang berjumlah tujuh kursi. Setelahnya ditaruh sebuah lilin sekitar dua buah lilin aroma terapi. Ketika jarum jam hampir menunjukkan pukul tujuh malam. Maka lekas seorang Kepala Koki di bagian dapur memerintahkan para anak buahnya, maksudnya para warga yang membantunya memasak untuk segera menaruh semua makanan yang telah mereka buat di atas meja panjang tersebut. Dimulai dari nasi pulen yang masih hangat, disusul ayam bakar dengan bumbu, lobster rebus yang terlihat kemerahan, beberapa olahan dari daging sapi, kemudian berbagai macam makanan berkuah yang sangat menggugah selera, minuman yang berupa minuman hangat seperti teh dengan wangi melati, ada pula minuman yang terasa seperti obat karena dibuat dari jahe. Kemungkinan pula ada hidangan penutup yang akan terakhir disuguhkan.

Benar-benar kehebatan Majestic Families yang membuat seluruh warga bekerjasama demi memberi kesan terbaik akan desa mereka pada para keturunan Agung.

Andai tiga Majestic Families itu tidak ke desa ini, sudah dipastikan bahwa Aalisha dan lainnya hanya akan makan makanan biasa tidak mungkin semewah ini.

"Awalnya desa ini biasa saja, kini sudah seperti perayaan tahun baru atau panen besar," ujar Mylo baru selesai membersihkan diri. Kini ia mengenakan pakaian berupa kaos panjang, hendak dipakaikan jaket merah kalau keluar nanti, serta celana kain kotak-kotak.

"Ya kita datang ke sini hanya terlihat seperti desa biasa, kini berubah sekali, cahaya di mana-mana, makanan lezat, bahkan para warganya mengenakan pakaian bagus," imbuh Anila yang duduk di kursi sambil mengenakan sepatu. Mereka akan segera turun ke bawah karena sudah dipanggil untuk makan malam.

Aalisha mengangguk sambil mengedarkan pandangannya pada seluruh desa. Mereka berada di salah satu rumah, di lantai dua yang disediakan sebagai tempat tinggal mereka selama berada di sini. Gadis kecil itu mengenakan pakaian panjang, celana panjang pula bahkan lebih dari kakinya jadi harus dia gulung sebagian, kemudian ia mengikat rambutnya. "Apa boleh begini?" tanya Aalisha, "makan mewah padahal di luar sana para iblis mengincar kita semua."

"Ah kau benar juga, tikus kecil," sahut Eloise yang mendadak sudah berada di belakang Aalisha, kini gadis kecil itu merinding ketakutan, terlebih ketika Eloise sambil mengelus pipi kiri Aalisha dengan pelan kemudian tangannya beralih menelusuri pundak dan leher Aalisha seperti hendak dirangkul lagi, tetapi tidak jadi karena kini Eloise menatap Aalisha kemudian berujar, "jika para iblis datang menyerang, maka kau akan kujadikan tumbal untuk makanan mereka."

"Eloise Clemence, berhentilah mengganggunya." Nicaise berucap, kini ia berada di samping Eloise. Menopang kedua tangannya di pembatas balkon ini.

"Dasar tidak asyik," balas Eloise langsung menendang kaki Nicaise, tapi lelaki itu tidak merasakan sakit sedikit pun.

"Ya Eloise jangan ganggu dia, nanti dia nangis," timpal Athreus yang ternyata duduk di atap rumah ini sambil menjuntaikan kedua kakinya lalu ia ayun-ayunkan.

"Kenapa kau di atas sana sih, bagaimana jika atapnya runtuh?!" teriak Nicaise.

Kini Eloise beralih pada Aalisha, kemudian menatap Anila dan Mylo secara bergantian. "Harusnya kalian bertiga berterima kasih karena berkat kami, kalian makan enak di sini. Jika tidak ada kami, mereka pasti sudah memberi kalian makan bangkai. Benar 'kan?"

"Aku tidak makan bangkai," sahut Aalisha, "itu haram."

Sungguh perkataan Aalisha itu, tidak hanya membuat manik mata Anila dan Mylo membulat. Namun, Nicaise dan juga Athreus yang hendak menahan tawanya. Bisa-bisanya gadis kecil itu menyahut Eloise terus, mana perkataannya kadang membuat kesal, kadang membuat hendak tertawa lebar. Kini saja dia menyahut begitu padahal jelas-jelas perkataan Eloise tadi penuh dengan rasa kesal dan ancaman.

"Kau bilang apa?!" Eloise mengeratkan genggamannya pada kayu pembatas balkon kemudian menatap nyalang pada Aalisha yang tidak sedikit pun gadis kecil itu takut padanya.

"Apa kau tak tahu, bangkai itu termasuk makanan haram, tak layak dimakan," jelas Aalisha.

Eloise mengangguk seperti senang sekali dia diajarkan oleh tikus kecil ini. "Kau tahu apa yang haram lagi? Menjadikan orang tumbal, tapi terkhusus kau, kurasa akan sah-sah saja!" Lekas Eloise mencengkeram kaos yang Aalisha gunakan kemudian hendak dijatuhkannya gadis kecil itu dari balkon ini.

"Akh, tolong jangan-jangan, Eloise!" teriak Aalisha.

"Aalisha!" Anila berdiri dari kursinya.

"Hei jangan lakukan itu!" Mylo berucap, "kasihan dia, tangannya sudah kurus, kalau patah, tidak ada penggantinya lagi."

"Mylo goblok!" umpat Anila.

Beruntungnya Eloise tidak jadi membunuh Aalisha karena terlihat di bawah, Kepala Koki bagian dapur mendentingkan gelas kaca untuk memberitahu jika makan malam telah siap dan akan dimulai jika para murid Eidothea sudah mengambil tempat mereka.

"Ayo ke bawah! Lepaskan anak itu Eloise." Athreus langsung melompat ke bawah dari atas atap.

"Bangsat Athreus, kau mau meruntuhkan rumah ini?!" sahut Nicaise segera menyusul.

"Sialan." Lekas Eloise melepaskan cengkeramannya di kaos Aalisha, kini gadis kecil Itu terduduk di lantai dengan napas memburu dan degup jantung tak karuan.

"Aku selamat," ujar Aalisha.

"Kau tak selamat bodoh," balas Eloise, "sini kau ikut aku!" Tangan Eloise menarik kaos Aalisha lagi di bagian bahunya agar gadis itu cepat berdiri dan mengikuti langkah Eloise yang menuruni tangga kemudian menuju tenda yang tertata rapi makanan serta minuman di atas meja.

"Haruskah kita menolong Aalisha?" tanya Mylo.

"Tidak perlu, aku lelah menghadapinya. Aalisha pasti akan baik-baik saja," balas Anila. Ya memang pilihan yang tepat untuk tidak menyelamatkan Aalisha yang memang lebih suka menantang maut.

****

Makan malam dan hidangan penutup tadi, bukanlah akhir dari malam ini karena kini Aalisha dan lainnya beserta Majestic Families berada di ruang tamu di rumah yang disediakan untuk mereka. Kini mereka akan membahas lebih lanjut mengenai Zephyr dan segala masalah rumit yang terjadi di desa ini karena sore tadi sebelum makan malam, kepala desa alias tuan Alfonso sudah menceritakan garis besarnya.

"Jujur ya, aku berniat menyiksa pria bernama Boro itu, sayangnya dia sudah mati," ucap Athreus, "bajingan! Andai dia tak mencuri Zephyr-nya semua akan mudah!"

"Aku juga kesal padanya," imbuh Mylo lalu nyengir, tapi karena tak ada yang mengindahkannya, jadi ia diam lagi.

"Baiklah ini jadi semakin rumit," ucap Nicaise, "terlebih lagi berita terbaru dari Lè Ephraim."

"Berita apa?" tanya Anila.

"Salah satu desa berhasil dibantai lagi, dikatakan dua hari lalu desa ini dibantai para Phantomius. Kini pasukan kerajaan sudah mulai bergerak, tapi mereka tertahan oleh pasukan Phantomius yang lain. Termasuk minotaur-minotaur tingkat tinggi," jelas Nicaise, "pasti membutuhkan dua hari untuk sampai sini."

"Itu tidak bisa!" teriak Anila, "kalau satu desa sudah terbantai dua hari lalu, maka besok hari ketiga, itu artinya ...."

"Kami tahu," balas Eloise, "desa ini selanjutnya terutama karena ada Zephyr terakhir di sini. Kita simpulkan saja kalau lima Zephyr sudah di tangan para Phantomius itu, sehingga ada kemungkinan mereka membawa pasukan besar-besaran untuk menghancurkan desa ini. Terutama bisa saja mereka tahu jika kita berenam berada di desa ini. Lalu para Phantomius tidak tahu jika Zephyr menghilang di sini, jadi ya mereka akan tetap menyerang kemari."

"Itu buruk! Sangat buruk!" Mylo memikirkannya saja sudah membuatnya merinding.

"Lebih buruk lagi karena Zephyr dibawa kabur seekor anjing yang entah ada di mana anjing itu berada," imbuh Athreus.

"Ya tidak masalah anjing itu membawa pergi Zephyr-nya dibanding Boro yang membawanya maka semakin rumit." Eloise duduk di sofa kemudian menyilang kakinya sambil bersedekap. "Anjing itu takkan pergi jauh, apalagi ada monster yang dilepas para Phantomius jadi kemungkinan hidupnya sangat tipis."

Aalisha menatap Eloise. "Jadi apa rencana kalian?"

"Tentu saja menemukan Zephyr." Eloise berucap sambil memperhatikan kuku-kuku tangannya.

"Baiklah, kuyakin kalian mampu melakukannya. Namun, bagaimana dengan desa ini dan juga anak dari kepala desa, maksudnya anak dari kakak kepala desa? Bukankah keduanya sama-sama dalam bahaya, tuan Alfonso meminta pada kita untuk menyelamatkan anak itu," ujar Anila.

Perkataan Anila itu membuat ketiga Majestic Families menatap padanya dengan tatapan yang sulit digambarkan apa maksudnya, lalu tak lama kemudian terdengar tawa dari ketiganya, terutama Eloise yang paling tertawa kencang bahkan sampai air matanya menetes jadi harus ia sapu air mata tersebut dengan punggung tangan.

"Apa kau bilang, menyelamatkan anak itu?" sahut Eloise masih sambil tertawa.

"Lucu sekali perkataanmu, Nona Anila Andromeda," timpal Athreus tidak jadi minum secangkir tehnya karena tawanya tak kunjung berhenti.

"Jujur ya, perkataanmu cukup menghibur kami bertiga," balas Nicaise, ia yang sudah berhenti tertawa meski masih terlihat jelas jika ia menganggap perkataan Anila sebuah lelucon.

Perasaan tak nyaman menyeruak ke dada ketiga adik tingkat yang berada di hadapan para Majestic Families itu. Meski ada takut, Anila tetap memberanikan untuk bertanya lagi. "Apa, apa maksud kalian? Kenapa kalian malah tertawa?"

Eloise merasa kasihan pada Anila, bagaimana pun juga, Anila tetaplah bangsawan sama seperti dirinya jadi Eloise akan sedikit menghargai gadis itu. Maka ia sudahi tawanya kemudian berujar dengan lembut. "Karena kau sudah menghibur kami, maka kami akan menjawab dengan baik juga. Namun, sebelum itu aku punya pertanyaan lebih dulu untukmu Nona Andromeda. Apa kau tak terlalu mengenal kami ini sebagai keturunan Majestic Families?"

Tidak kunjung ada jawaban karena Anila merasa hidupnya berada di ujung jurang kematian. Pertanyaan Eloise membuat tubuhnya meremang, sebenarnya mudah untuk menjawab pertanyaan itu, tetapi Anila hendak menyangkalnya. Menyangkal jika sebenarnya Majestic Families tidak ....

"Kurasa kau tak berani mengatakannya, sayang sekali, tapi tidak masalah karena aku akan membantu." Eloise tersenyum tipis.

"Sebelumnya, apakah kalian bertiga berpikir jika kami turun tangan masalah ini karena rasa kemanusiaan dan hendak menyelamatkan manusia lalu menjadi pahlawan? Tidak, sumpah tidak demi Dewa. Kami para Majestic Families tidak akan pernah turun tangan pada masalah sepele dan remeh-temeh di desa ini, begitu juga yang terjadi di desa-desa lain. Kami sama sekali tidak peduli apakah desa-desa itu hancur lebur, apakah masyarakatnya menjerit kesakitan kemudian dibantai habis-habisan oleh bangsa iblis. Kami sama sekali tidak peduli."

"Apa kau bilang?!" Aalisha menggebrak meja, suaranya meninggi. Sedangkan Anila dan Mylo hanya terdiam, mereka syok, sampai tak bisa menyahut sedikit pun.

"Tenanglah Aalisha," sahut Athreus, "Eloise belum menyelesaikan perkataannya."

Lihatlah, lihatlah tikus kecil ini yang begitu emosi, inilah yang sejak tadi Eloise tunggu. Bagaimana ekspresi penuh amarah tercetak di wajah gadis kecil tersebut. Sangat tak sabar Eloise menunggu wajah itu berubah menjadi penuh rasa takut dan memohon ampun.

"Mungkin kalian bertanya-tanya, lalu mengapa kami mau turun tangan untuk masalah sepele ini? Hanya satu jawaban simpel, Zephyr. Seperti yang kalian tahu, batu kekuatan itu penting dan berbahaya jika jatuh ke tangan yang salah terutama bangsa iblis, jadi setelah kami tahu jika Zephyr adalah penyebab dari semua ini serta alasan kenapa bangsa iblis membantai desa-desa. Maka kami berniat mengambil Zephyr itu dan menyerahkan pada pihak salah satu Majestic Families."

Perlahan Eloise meraih secangkir teh, kemudian ia minum lalu melanjutkan perkataannya. "Dengan ini kalian paham 'kan? Kami mustahil turun tangan pada masalah sepele seperti desa rakyat jelata yang hendak dibantai iblis, itu bukan urusan bagi keluarga agung seperti kami. Maka dari itu, kami akan mendapatkan Zephyr, tidak peduli dan bukan urusan kami jika desa Shakaleta ini akan hancur lebur esoknya dan anak bernama Hozier itu mati membusuk di luar sana."

Suara keras terdengar, cangkir-cangkir di atas meja berjatuhan ke lantai, ketika Aalisha mengeluarkan tongkat besi dari dalam invinirium-nya kemudian naik ke atas meja dan lekas mengayunkan tongkat besi tersebut tepat ke leher Eloise. Namun, gadis kecil itu gagal karena tubuhnya tertahan sebuah tali tak terlihat yang tercipta dari sihir milik Eloise. Kini Aalisha paksakan pun, ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya sama sekali.

Anila bangkit dari posisi duduknya, begitu pula Mylo yang keduanya sama-sama terkejut karena Aalisha hendak menyerang Eloise, tetapi kini gadis itu malah terjerat sihir milik Eloise. Perlahan-lahan Aalisha merasakan tubuhnya sakit karena tali tak terlihat milik Eloise semakin menjerat tubuhnya seolah hendak mencincang tubuh Aalisha menjadi potongan kecil. Ketika ia kesakitan, Eloise tersenyum, ia berdiri perlahan kemudian menyentuh pipi Aalisha lalu dielusnya pelan.

"Sungguh menyedihkan untuk manusia rendahan sepertimu berniat menyerangku yang keturunan Agung ini, perbedaan kita terlalu jauh, ibarat surga dan neraka." Sekonyong-konyong tubuh Aalisha langsung tertarik ke belakang, tongkatnya terlepas, lalu punggung Aalisha menghantam dinding di belakang, sekali lagi suara keras terdengar bersamaan vas bunga jatuh serta beberapa pajangan foto terjatuh pula ke lantai.

"Aalisha! Eloise Clemence, apa yang kau lakukan!" teriak Anila hendak menyelamatkan Aalisha.

"Diam di sana Andromeda," ucap Eloise, "jika kau berniat menyelamatkannya maka aku akan semakin membuatnya menderita. Kubakar detik ini saja bisa."

"Anila jangan dulu," ujar Mylo menahan tangan Anila.

"Harusnya kau tahu diri, sebagai rakyat jelata beraninya kau menyerangku," ucap Eloise kini sudah berada di hadapan Aalisha yang masih terjerat sihir sehingga tak bisa bergerak sedikit pun bahkan menggerakkan jari-jarinya saja tidak bisa. Perlahan tangan kanan Eloise bergerak ke leher Aalisha, seperti hendak mencekik gadis kecil itu, tetapi Eloise tidak benar-benar melakukannya.

"Apaaa ya ... ng kau mau ...." Aalisha berujar dengan terbata-bata.

"Membunuhmu sebenarnya yang kumau," sahut Eloise, "tapi kuurungkan karena aku memikirkan hal lain yang lebih bagus lagi. Kalian semua dengarkan aku, terutama kalian berdua yang menjadi teman tikus kecil ini!"

"Apa?" Aalisha masih bisa menyahut Eloise bahkan ia tak menundukkan pandangannya sedikit pun.

"Kami para Majestic Families akan mencari Zephyr mulai esok, kami juga akan mengambil lima Zephyr yang ada di tangan bangsa iblis. Dikarenakan kalian ada di sini, maka tugas kalian adalah mencari anak kepala desa itu, kurasa hal itu tidaklah mudah karena pasti para monster juga berkeliaran. Namun, itulah bagian serunya, aku ingin melihat kalian berjuang di luar sana dan kemudian mati perlahan-lahan, bagaimana yang lain setuju?" Eloise berujar penuh kesenangan.

"Wah, aku setuju, bukankah bagus dibagi dua tim, mencari Zephyr dan mencari anak itu meski kemungkinannya anak itu sudah mati," balas Athreus.

"Ya aku juga setuju," sahut Nicaise, "lagi pula mencari Zephyr akan lebih sulit karena para Phantomius mengincar Zephyr jadi resiko bertemu musuh jauh lebih besar di kami, meski ada kemungkinan kalian juga bertemu para monster."

"Baiklah sudah diputuskan---"

"Tunggu! Kami bahkan belum berpendapat," teriak Anila.

"Ya, kami tidak setuju begitu saja!" sambung Mylo.

"Sesungguhnya aku tak perlu pendapat kalian," balas Eloise, "lagian kenapa tidak setuju, bukankah kalian hanya perlu mencari anak itu yang entah mati atau masih hidup. Apa kalian ingin mendapatkan Zephyr juga agar dianggap sebagai pahlawan? Tidak bakal karena kamilah yang akan mendapatkan keenam Zephyr dan diberi penghargaan oleh Eidothea."

"Bukan itu maksudku!" teriak Anila, "aku mau bilang kalau harusnya kita cari anak itu bersama, memikirkan cara melindungi desa, dan mencari Zephyr bersama!"

"Kau tuli ya Andromeda," balas Athreus jadi kesal. "Kami tidak peduli pada desa ini dan anak ingusan tak berguna itu! Jadi kalian saja yang urus sedangkan kami mengurus Zephyr dan pasukan Phantomius."

"Tapi ...." Anila mengepalkan kedua tangannya.

"Aalisha katakan sesuatu," balas Mylo menatap pada Aalisha.

"Wah, aku sampai lupa padamu, kupikir kau pingsan ternyata masih sadar. Bagaimana menurutmu, apa kau mau mencari Zephyr atau si anak hilang, jika kau mau mencari Zephyr juga maka bersiaplah kujadikan tumbal bangsa iblis." Eloise tersenyum simpul sambil melepaskan cengkeramannya di leher Aalisha.

"Kami akan cari anak itu," sahut Aalisha, terbatuk sesaat karena lehernya sakit.

"Bagus, cerdas juga kau bisa menggunakan otakmu dengan benar," ujar Eloise perlahan-lahan melepaskan sihirnya sehingga Aalisha terjatuh ke lantai. "Sudah diputuskan, kami mencari Zephyr, kalian mencari si anak hilang. Lalu jangan pernah berani untuk melampaui batasan dengan mencoba mendapatkan Zephyr jika kalian tidak mau mati."

"Kalau begitu, aku mau kalian berjanji padaku, pada kami." Aalisha sudah berdiri sambil menatap Eloise. "Berjanjilah kalian bisa mendapatkan Zephyr tersebut."

"Tentu saja, sialan kau, tidakkah kau tahu pada siapa kau berucap," balas Eloise, "Athreus, Nicaise, ayo pergi. Sampai jumpa esok tikus kecil dan jangan cepat-cepat mati."

Anila lekas mendatangi Aalisha, dia segera mengecek keadaan gadis kecil tersebut. Syukurnya tidak ada luka serius. Sungguh Anila sangat khawatir tadi. Sementara itu, Mylo sedikit kesal karena tidak bisa membantu mendapatkan Zephyr, tetapi menyelamatkan anak bernama Hozier juga tak kalah penting.

"Kurasa kita harus beristirahat untuk hari esok," ujar Mylo.

"Ya, kita harus beristirahat." Anila melirik pada Aalisha. "Kau yakin tak apa?"

"Iya, Anila aku tak apa. Jangan khawatir," balas Aalisha tersenyum tipis. Lalu mereka bertiga pun menuju kamar masing-masing yang telah disediakan kepala desa di sini.

Malam ini adalah penutup hari yang penuh ketenangan karena pada hari esok badai besar akan segera menerjang dan membawa sakit barangkali kematian. Namun, bagi para Majestic Families, mereka sudah terbiasa menghadapi ribuan badai selama mereka hidup di tanah Athinelon ini.

Hanya saja, para Dewa adalah yang sebaik-baiknya perencana takdir bagi setiap makhluk hidup di dunia. Maka hari esok, Para Dewa akan memberikan skenario terbaik dari takdir yang telah mereka tulis.

Takdir yang takkan terduga.

Takdir yang takkan pernah disangka-sangka bahkan untuk seorang Majestic Families sekali pun.

Takdir yang akan menjadi awal untuk mengubah dunia ini.

****

Malam ini sungguh belum berakhir, kini waktu menunjuk pukul satu malam. Sepi adalah teman bagi yang mereka yang terjaga sepanjang malam ini, mungkin ditemani kicau burung hantu. Namun, meski sepi menjadi teman. Cobalah untuk menelusuri hutan-hutan yang tak hanya terdengar suara burung hantu saja melainkan suara serigala-serigala kelaparan yang melolong, mereka berjalan ke sana-kemari tidak hanya mengincar mangsa berupa binatang yang lebih lemah, tetapi diperintahkan salah satu Phantomius untuk memantau keadaan di seluruh hutan.

Barangkali ada manusia bodoh yang tertangkap indra penciuman mereka lalu segera dibunuh atau manusia yang berniat pergi ke desa lain demi menyelamatkan diri jadi juga dibunuh sesegera mungkin. Serta bisa saja manusia nekat yang menantang maut yang dengan senang hati para serigala akan menghabisi mereka.

Kini telusuri lah lebih jauh hutan itu, menuju desa-desa kosong akibat dibantai para Phantomius, di sana terlihat bayang-bayang dari sosok para monster yang berjalan ke sana kemari dengan gada dan kapak dibawa oleh mereka. Jangan pernah usik monster-monster tersebut jika ingin hidup panjang! Apalagi melewati daerah yang mereka jaga, niscaya akan menjadi incaran mereka yang jika berusaha lari sejauh mungkin akan tetap dikejar monster-monster itu sampai mereka berhasil mengeluarkan isi perut dari mangsanya.

Di sisi lain hutan, suara lolongan serigala terdengar kemudian disusul suara raungan dari para beruang. Ya, jenis Monster hybrida itu tidak kalah untuk melangkah bahkan mengelilingi hutan demi melaksanakan perintah dari atasan mereka. Dikatakan jika mereka bisa membawa banyak manusia untuk dijadikan tumbal, maka mereka akan naik ke puncak kehormatan hingga bisa bertemu dengan tuan Agung Apos'teleous bahkan Raja Iblis, maka mereka akan terus berjuang demi mendapatkan semua kehormatan tersebut. Tidak sedikit pun mereka menutup mata demi mencari-cari mangsa yang berusaha mengacaukan semua misi demi kebangkitan bangsa iblis.

Berada di daerah lain hutan yang sudah banyak dikuasai para monster. Sebuah mansion megah yang satu-satunya mansion berada di tengah hutan tersebut, para serigala sedang berjaga di sana. Mengapa tak ditempatkan para monster saja?

Apakah ada yang berpikir jika masuk ke dalam mansion adalah hal yang sangat mudah?

Sungguh sombong jika berpikiran seperti itu! Karena mansion itu ibarat sarang pembunuh berantai, coba saja masuk sudah dipastikan takkan keluar hidup-hidup. Sehingga cukup menempatkan penjaga berupa para serigala saja karena di dalam mansion ada beberapa Phantomius atau prajurit manusia yang sedang berjaga pula. Maka takkan ada satu makhluk hidup pun dari luar yang berani memasuki mansion itu.

Benarkah? Yakinkan jika tak ada satu pun makhluk bodoh atau cerdas yang berani menerobos masuk ke dalam mansion tersebut?

Benarkah pula, tak ada yang selamat ketika sudah berada di dalam mansion itu?

Mengapa makhluk di Athinelon ini begitu yakin dengan perkataannya sendiri? Sangat sombong! Karena sesungguhnya jika para Dewa berkata lain, maka takdir akan terukir.

Dari jarak yang cukup dekat dengan gerbang mansion tersebut. Di balik semak-semak, ternyata terbaring lah enam ekor serigala penjaga yang berhasil dibuat lumpuh sehingga takkan bangun selama beberapa jam. Lalu semak-semak bergoyang karena ada dua penyelundup, eh maksudnya pencuri, eh tidak tidak, maksudnya dua penyusup yang segera bersembunyi di balik pohon besar. Kedua penyusup tersebut sedang memantau satu serigala penjaga yang berada di dekat gerbang masuk mansion. Sepertinya harus mereka pancing serigala penjaga tersebut agar menjauh dari gerbang supaya keduanya bisa masuk ke dalam.

"Apa kau punya cara?" ucap salah satu penyusup.

"Ya, aku tahu. Akan kuahlikan perhatiannya dengan sihir agar serigala itu menjauh dari sana, lekas kita masuk ke dalam," sahut satu penyusup lainnya.

"Baiklah, mari lakukan," sahut satu penyusup sebelumnya. Eh, kenapa ya penyusup ini suaranya seperti anak kecil?

"Ya." Satu penyusup lagi menyahut sambil memfokuskan diri untuk menggunakan mantra. Entah mengapa penyusup yang ini tidak seperti manusia, pasalnya ia bertubuh sangat kecil dan terbang melayang-layang bukan berpijak di tanah.

Maka terdengarlah suara dari seberang mereka, cukup jauh pula dari mereka, tetapi suara itu berhasil terdengar hingga telinga sang serigala penjaga. Membuat serigala di dekat gerbang tersebut melolong kemudian segera pergi untuk mengecek sumber suara. Kepergian serigala itu, membuat kedua penyusup lekas menuju gerbang, digunakan mantra pembuka kunci karena gerbang tersebut digembok dari dalam, mala terbukalah gerbang tersebut. Mereka berdua masuk kemudian memasang kembali gembok tersebut agar tidak meninggalkan jejak.

Setelahnya mereka lekas menuju sebuah patung besar untuk bersembunyi lagi, ditakutkan ada penjaga lain di halaman mansion ini. Ya, kini mereka berhasil masuk ke halaman mansion. Tak mau membuang waktu, mereka segera menuju mansion, sayangnya di pintu masuk ada sosok serigala berjaga jadi mereka mencari celah lain yang kemudian ditemukan sebuah jendela. Mereka berhasil membuka jendela kaca tersebut maka segeralah keduanya masuk. Bisa, mereka benar-benar bisa masuk, karena kedua penyusup tersebut sama-sama bertubuh kecil.

Berada di dalam mansion, mereka ternyata membuka jendela sebuah ruangan berupa tempat penyimpanan alat-alat kebersihan. Tidak masalah karena yang terpenting adalah mereka akhirnya masuk ke dalam mansion tersebut. Maka digunakanlah sihir pencahayaan yang sangat kecil agar tidak ketahuan keberadaan mereka berdua. Kini kedua penyusup tersebut terlihat begitu jelas wajah keduanya.

"Kita berhasil masuk ke mansion ini, Nona Lilura," ujar penyusup tersebut dengan berbisik. "Kita akan selamatkan nona Ambrosia." Maka lekas ia mendekap tubuh Lilura dengan kuat.

Lilura membalas pelukan tersebut. "Ya Hozier, kita berhasil, kita akan segera membawa Ambrosia pulang."

Ternyata penyusup yang bersama Lilura adalah Hozier, anak berumur enam tahun. "Kalau begitu ayo, kita harus cepat selamatkan nona Ambrosia. Terus cari bantuan untuk selamatkan desaku."

"Baiklah, kita akan selamatkan dia. Hozier siap?" tanya Lilura sambil menggenggam erat tangan anak kecil ini yang meski pakaiannya sudah compang-camping, agak kurus, wajah kusam dan sedikit luka, tetapi ia sangat berani bahkan mau membantu Lilura untuk menyelamatkan Ambrosia.

"Aku siap." Sungguh tidak terbesit takut sedikit pun di wajah anak kecil itu yang membuat Lilura yakin jika para Dewa berpihak padanya.

"Ayo!"

Lilura pun menuju pintu ruangan ini. Merapalkan mantra, terbuka kuncinya. Lalu perlahan dia tarik pintu tersebut, Lilura pertama-tama melongok ke luar, jika dipastikan sudah tak ada seorang pun yang berjaga di lorong mansion ini. Maka keduanya segera keluar dan mulai menelusuri lorong ini serta sesekali bersembunyi karena terlihat beberapa sosok prajurit manusia yang lewat ke sana kemari.

Mansion ini sangat besar, tetapi tidak membuat tekad keduanya luntur. Hozier terus melangkah melewati lorong demi lorong yang ditemani oleh Lilura. Berkat kemampuan Lilura yang dapat merasakan neith dengan sangat tajam, ia mampu mendeteksi jika ada prajurit yang menuju arah mereka maka lekas mereka bersembunyi, jika tak ada pilihan bersembunyi, sebelum ketahuan, mereka melumpuhkan prajurit tersebut kemudian bersama-sama menyeretnya menuju kamar yang terbuka kemudian diberi mantra pengikat berupa tali, lalu dimasukkan ke dalam lemari sehingga tidak bisa kabur, ah mereka juga menyumpal mulut prajurit tersebut dengan kain.

Waktu bergulir seiring langkah mereka untuk mencapai lantai dan ruangan tempat Ambrosia ditahan. Tidak peduli jika mereka harus mengambil jalan memutar melewati lorong sangat panjang demi menghindari para prajurit yang sedang berjaga. Mereka bahkan melewati celah-celah yang dirasa muat dilewati oleh Hozier. Lalu mereka berjuang ketika ada prajurit berhasil memergoki mereka, bahkan Hozier sempat terluka dan berdarah, tetapi dia sama sekali tak menyerah hingga mereka berhasil melumpuhkan prajurit yang cukup kuat tersebut. Kini Lilura sedang mengobati Hozier yang perutnya tersayat pedang, cukup dalam pula, tetapi anak ini sama sekali tidak menunjukkan rasa sakit dan kesedihan seolah dia benar-benar anak yang terlahir untuk terus kuat.

"Apa Hozier tidak takut? Bisa saja kita mati di sini," tanya Lilura. Sihir penyembuhannya sangat lambat karena tenaganya sudah terkuras cukup banyak.

"Tidak takut," jawab Hozier, suaranya pelan. "Lagi pula, ayah dan ibu sudah mati, jadi aku nggak takut kalau mati juga. Jadi kalau pun aku mati, kan bisa ketemu ayah dan ibu di surga nanti."

"Tapi bukankah ayah dan ibu Hozier, pengennya Hozier terus hidup dan bahagia di sini dulu?" tanya Lilura.

"Iya," sahut Hozier, "karenanya aku mau selamatkan nona Ambrosia terus pulang ke desa, terus main sama teman-teman. Nona Ambrosia sama Nona Lilura kan juga harus hidup biar kita semua bahagia. Biar kita bisa main sama anak-anak panti juga."

Perkataan Hozier sukses membawa Lilura ke masa lalu. Ya, ia sangat ingat semua itu. Ambrosia yang sejak dulu sangat menyukai anak kecil karena dia satu-satunya putri di bangsawan Ambrosia, tidak memiliki saudara membuatnya tak memiliki teman bermain hingga Lilura datang dalam hidup Ambrosia. Mereka seolah menjadi saudara sekaligus sahabat. Meskipun begitu, Ambrosia tetap membutuhkan teman manusia. Hal inilah yang membuat Ambrosia begitu menyukai anak kecil. Atas alasan ini juga yang membuat Ambrosia bertekad menjadi pengajar di Eidothea, meskipun dia cukup ditakuti karena sifatnya yang keras dan Lilura si boneka menyeramkan, tetapi berada di Eidothea dan menghadapi berbagai macam sifat dari murid-muridnya membuat Ambrosia merasakan kebahagiaan yang tiada duanya. Terlebih ia bisa bercengkerama dengan pengajar lain, lalu mengadakan pesta teh dengan para muridnya, mendengar banyak cerita hingga keonaran di akademi tersebut. Ya, Eidothea adalah rumah keduanya yang sangat ia sayangi.

Selain itu, Ambrosia juga sering mengunjungi desa-desa yang jarang diperhatikan oleh kerajaan maupun kekaisaran. Ia hendak memberikan harapan pada anak-anak di sana jika mereka juga mampu menjadi seseorang yang berguna di kehidupan. Maka Ambrosia menjadi investor, terkadang membantu dibangunnya sekolah di desa-desa tersebut. Ia sangat senang bisa bermain dengan anak-anak di desa. Suatu hari dia berkunjung ke desa Shakaleta, kemudian menjadi investor di panti asuhan desa tersebut yang terhitung hingga tahun ini, Ambrosia menjadi investor selama delapan tahun lamanya.

Bagi Ambrosia hidupnya sudah lebih dari yang ia doakan. Dia puas menjalani hidupnya sebagai pengajar di Eidothea kemudian bermain dengan anak-anak. Hingga pada suatu, di sebuah kota yang ia kunjungi, pertemuan itu terjadi. Ya, pertemuan yang tak Ambrosia sangka membuatnya pertama kali jatuh cinta pada sosok pria yang sangat baik. Cinta pertama yang membuat Ambrosia tidak bisa tidur semalaman dan tidak berhenti mengoceh pada Lilura hanya karena membicarakan sosok pria itu.

Ambrosia yakin jika hidupnya akan semakin sempurna jika bersama dengan pria yang ia cinta, tetapi sayangnya, pria itu mencampakkan Ambrosia. Benar-benar mencampakkannya. Awalnya semua kenangan mereka seolah mimpi yang paling indah, hingga setelah keduanya meninggalkan kota yang menjadi tempat mereka bertemu, mereka tak kunjung ada komunikasi lagi. Membuat Ambrosia patah hati karena ternyata hanya dirinya yang jatuh cinta sedangkan pria itu tidak! Maka saat itu, pertama kalinya Ambrosia marah besar karena cinta. Sungguh Lilura adalah saksi bisu yang menyaksikan patah hatinya Ambrosia. Namun, Ambrosia tidak terlarut lama dalam patah hatinya. Setelah kembali mengajar, dia seolah melupakan semua itu dan berniat untuk tak jatuh cinta lagi.

Hingga malapetaka menemui Ambrosia, sekitar delapan bulan lalu sebelum penerimaan murid baru di Eidothea. Seorang investor baru datang ke desa Shakaleta—pria yang mengenakan jas hitam, kaya, dan juga pandai berbicara bahkan memikat banyak hati. Selain itu seorang bangsawan dengan gelar Viscount. Awalnya Ambrosia dan Lilura tidak mempedulikan kehadiran pria tersebut. Meskipun agak aneh karena tiba-tiba ada yang tertarik menjadi investor di panti asuhan desa yang notebenenya jarang diperhatikan pihak kerajaan. Padahal biasanya seorang pria lajang dan sedang naik reputasinya akan memilih menjadi investor di sebuah kota besar agar namanya semakin naik. Namun, pria tersebut malah memilih menyumbangkan uang di panti asuhan ini.

Anda saja, saat itu Lilura menyadari akan niat buruk Viscount tersebut, maka segalanya takkan serumit ini.

"Perkenalkan namaku Zen Robinett Lugaldaba, orang-orang sering memanggilku dengan nama Viscount Lugaldaba. Salam kenal, Nona." Ya, Lilura ingat sekali pertemuan pertama antara Ambrosia dengan pria bernama Lugaldaba tersebut. Serta terukir jelas di mata Lugaldaba jika ia perlahan jatuh cinta pada pesona Ambrosia.

"Namaku Agrafina Briella Ambrosia, salam kenal Tuan." Hanya saja, Ambrosia yang sudah memutuskan untuk tidak jatuh cinta lagi atau barangkali ia masih menyimpan perasaan pada cinta pertamanya? Apa pun itu, Ambrosia tidak pernah jatuh cinta pada Lugaldaba dan hanya menganggap pria itu sebagai investor lain di panti asuhan ini.

Andai saja pada saat itu Lilura mencegah perkenalan tersebut, maka Lugaldaba takkan jatuh cinta pada Ambrosia.

Andai saja Lilura menyadari kejahatan yang dibawa Lugaldaba, maka sudah ia bawa Ambrosia sejauh mungkin dari pria tersebut bahkan Lilura sanggup meminta dan memohon pertolongan pada cinta pertama Ambrosia untuk melindungi Ambrosia. Dibandingkan Ambrosia bersama dengan Lugaldaba.

Sayangnya semuanya sudah terlambat. Lugaldaba perlahan menghancurkan hidup Ambrosia, bahkan berani menyentuh Ambrosia. Sungguh perbuatan sangat bajingan! Lalu tak pernah Lilura sangka jika selain Lugaldaba. Ada pengkhianat lain yang berperan akan kehancuran hidup Ambrosia, pengkhianat yang harusnya disiksa berkali-kali sebelum menemui ajal mereka. Karena kedua pengkhianat ini tidak hanya mengkhianati Ambrosia melainkan Eidothea juga.

Kini di mansion ini, Lilura berjanji atas hidup dan matinya, jika ia akan menyelamatkan Ambrosia, tidak peduli meski dunia membenci Ambrosia. Lilura akan terus ada di sampingnya karena Lilura tahu betapa Ambrosia berjuang melewati semua takdir keparat ini.

Lilura berjanji akan membawa Ambrosia pulang bahkan jika ia harus membuat perjanjian dengan malaikat kematian atau iblis sekali pun.

"Kurasa Ambrosia ditahan di ruangan tersebut. Kita beruntung Lugaldaba tak ada di mansion ini," bisik Lilura.

"Berarti kita harus masuk ke pintu itu," ucap Hozier.

"Ya, sepertinya ada segel yang terpasang. Aku akan menggunakan sihirku lalu ...." Mereka terus mengobrol satu sama lain hingga tak sadar jika dari arah belakang mereka, datanglah sosok monster yang mengerikan. Monster tersebut bertubuh gempal, tidak jelas wajahnya karena rusak, kemudian banyak keluar nanah dan darah dari setiap lipatan kulitnya. Suara monster itu juga tidak begitu jelas, hampir-hampir tidak bisa berbicara.

"Kraaakhhhh krakhhhh."

"Nona Lilura, apakah kau mendengar —akhhh!" teriak Hozier ketika tangan panjang menarik kakinya kemudian melempar Hozier hingga menghantam pintu sebuah ruangan.

"Hozier!"

"Grakhhh." Lilura baru hendak menyelamatkan anak itu, seketika monster lain dengan tubuh agak kurus, berjalan menggunakan keempat kakinya, punggungnya penuh besi-besi tajam, serta nanah dan darah keluar di setiap luka-lukanya seketika langsung menerjang Lilura, menggigit boneka tersebut kemudian membawanya pergi jauh dari sana, sehingga Hozier dan Lilura terpisah jauh.

Jam menunjukkan pukul tiga malam, berada di sebuah ruangan asing, Hozier lekas terbangun karena langkah kaki monster buruk rupa yang terus mengeluarkan nanah dan darah dari setiap lipatan tubuhnya sedang berjalan ke arahnya. Maka Hozier berdiri meski tangan kirinya terluka parah, barangkali tulangnya patah, begitu pula kaki kanannya yang mengeluarkan darah. Anak itu berlari dengan menahan rasa sakitnya, ia tidak bisa melewati pintu, maka ia mencari celah di jendela, berhasil ia keluar dari ruangan tersebut.

Sayangnya, suara keras terdengar ketika monster gempal mengejar Hozier meski harus menjebol dinding ruangan, sungguh monster itu menjebol dinding dengan cara menabrakkan tubuhnya, gila, sangat gila! Hozier pun terus berlari, tertatih-tatih karena kakinya semakin sakit, sementara sang monster buruk rupa terus mengejarnya. Tidak peduli berapa kali pun Hozier menggocek monster tersebut dengan cara masuk ke ruangan lain, tetap saja sang monster berhasil menemukan Hozier dengan cara menjebol setiap dinding menggunakan tubuhnya yang gempal dan sangat besar itu.

"Sial, sial, aku harus bagaimana!" Hozier sudah sangat panik hingga ia tak sadar jika ia berlari ke lorong buntu. Kini ia menuju pintu di sampingnya, terus-menerus ia mencoba membuka pintu tersebut, tetapi tak kunjung bisa. Pintu di sebelah juga sama, Hozier tak bisa membukanya hingga akhirnya dia pasrah. Sedangkan dari arah depan, terlihat monster buruk rupa yang berjalan perlahan, membawa tubuh gempalnya menuju Hozier yang tertunduk lemas, kedua kakinya gemetar hebat saking ia ketakutan. Kini Hozier hanya bisa memeluk kedua lututnya ketika ia merasakan hawa di sekitarnya menjadi menyeramkan, lalu lentera-lentera di lorong ini perlahan-lahan mati sehingga menyisakan kegelapan antara Hozier dan juga sang monster yang siap untuk membunuh Hozier.

"Kumohon tolong aku. Dewa, bantulah aku. Tolong selamatkan aku!"

"KRAAAKAKHHHHH."

Maka tepat di hadapan Hozier, melalui manik matanya yang tak bisa melihat dengan jelas karena seluruh lorong ini sangat gelap. Samar-samar sosok makhluk asing muncul di hadapan Hozier, sosok yang tingginya hampir setara seorang pria, kemudian mengenakan pakaian bangsawan, topeng menutupi bagian matanya saja, ia membawa sebuah pedang panjang. Samar-samar terlihat warna perak yang kemungkinan adalah rambut makhluk asing tersebut. Kini makhluk asing itu mengangkat pedangnya kemudian diayunkan begitu cantik nan indahnya, serta tanpa suara sedikit pun, sangat hening. Sang Monster buruk rupa berhasil ditebas dengan pedang panjang tersebut. Tubuh monster itu meledak terhambur ke mana-mana, tetapi tidak mengenai Hozier karena ada selubung neith yang melindunginya.

"Hebat, kau hebat," ujar Hozier begitu polos padahal bisa saja makhluk asing di hadapannya menjadi musuhnya.

Kini sang makhluk asing bertopeng perlahan berjongkok, ia mendekatkan tangannya ke kaki Hozier yang terluka. Neith berwarna jingga bersinar di luka-luka Hozier, hingga perlahan-lahan menyembuhkan luka tersebut, benar-benar sembuh sampai Hozier tidak merasakan sakit sedikit pun.

"Terima kasih, terima kasih karena sudah menolongku." Hozier sangat yakin jika sosok bertopeng tersebut bukanlah musuh, terasa dari neith-nya yang cukup menenangkan. Maka atas perkataan Hozier, sosok bertopeng mengangguk kemudian berdiri kembali hendak pergi dari sana. Namun, lekas ditahan oleh Hozier dengan menggenggam ujung bajunya.

"Apa kau akan pergi begitu saja? Siapa kau sebenarnya? Apakah kau adalah utusan Dewa atau malaikat pelindung?"

Sayangnya tidak ada jawaban malah sosok asing tersebut dengan lembutnya melepaskan genggaman tangan Hozier pada ujung bajunya. Ia harus segera pergi.

"Jika aku tak boleh tahu siapa kau, bisakah beritahu namamu agar aku bisa mengingat kebaikanmu itu?"

Sosok bertopeng itu pun menoleh sesaat pada Hozier, kemudian berucap pelan. "Odiseus." Maka ia menghilang dari sana begitu saja yang digantikan dengan lentera mulai bersinar kembali. Semetara Hozier masih terduduk di sana, menatap kelap-kelip cahaya dari kepergian Odiseus sang penyelamatnya.

"Terima kasih tuan Odiseus," ujar Hozier, tersenyum simpul.

"Hozier!" Suara itu berasal dari Lilura yang melayang cepat ke arah Hozier, boneka itu cukup kacau, rambutnya sedikit berantakan, gaunnya sudah compang-camping, tetapi ia tak peduli pada penampilan lagi karena yang terpenting adalah keselamatan anak ini dan juga Ambrosia.

"Aku baik-baik saja, tadi ada yang---"

"Nanti saja, kita harus segera menyelamatkan Ambrosia selagi para penjaga belum kemari. Cepatlah!" Lekas Lilura menggenggam kuat jemari Hozier kemudian mereka berdua bersama-sama menuju pintu yang di baliknya adalah ruangan tempat Ambrosia disekap.

Kini mereka sampai di depan pintu tersebut yang cukup besar. Lilura menyentuh pintu itu, tetapi cahaya hijau menghalanginya, sudah dipastikan jika ada segel yang dipasang pada pintu ini sehingga tak seorang pun bisa masuk dengan mudah terkecuali yang memasang segelnya.

"Apa bisa?" tanya Hozier.

"Akan kucoba," sahut Lilura meski tenaganya sudah benar-benar habis. Perlahan ia turun, menjejakkan kakinya di lantai dengan dua tangan terarah ke pintu. Lilura berfokus untuk membuka pintu tersebut, tetapi tak kunjung juga ia berhasil melakukannya. Malahan Lilura semakin kelelahan dan kehabisan tenaga.

"Aku tidak bisa." Lilura mengepalkan kedua tangannya dengan kuat. "Sial, padahal sedikit lagi, harusnya aku bisa. Sial, sial, sial."

Hozier diam menatap Lilura yang sudah pasrah itu. Sesaat lelaki kecil itu teringat sesuatu, perkataan dari ayahnya jika Hozier punya kemampuan dalam sihir, dia juga sudah belajar dari sang ayah. "Kurasa aku bisa."

"Tidak, kau jangan memaksakan, jika tidak, kau akan terluka," sahut Lilura.

"Kata ayah, aku ini pintar dalam sihir. Aku bisa melakukannya, kalau gagal akan terus kucoba karena nona Ambrosia harus selamat," ucap Hozier sangat mantap. Maka tak bisa Lilura melarangnya, lagi puka tak ada pilihan lain karena Lilura tidak bisa membuka segel pintu tersebut.

Anak itu, Hozier perlahan menyentuh pintu yang terdapat segel hijau bersinar. Ia menutup matanya, berfokus untuk mengalirkan neith dalam dirinya ke pintu tersebut untuk bisa mematahkan segelnya. Melalui manik mata Lilura, ia melihat bagaimana neith dari tubuh Hozier menjalar hingga ke tangan anak itu kemudian ke pintu yang berangsur-angsur membuat segel hijau tersebut memudar hingga akhirnya menghilang. Ya, Hozier berhasil mematahkan segelnya yang kini terbukalah pintu tersebut. Sementara Hozier tersenyum lebar sambil menatap Lilura.

"Aku berhasil, aku berhasil!"

"Ya, ya kau berhasil. Kau benar-benar anak ajaib," sahut Lilura yang tak bisa menahan rasa terharunya, saking ia senang sekali. "Sekarang ayo selamatkan Ambrosia."

Mala keduanya masuk ke dalam ruangan tersebut yang didominasi warna merah, lalu cukup mengerikan karena banyak sekali rantai yang digantung di langit-langit kamar, di sisi lain, ada meja yang berisi banyak peralatan medis yang sepertinya bukan untuk pengobatan, melainkan hal lain. Sungguh Lilura terkejut bukan main melihat pemandangan gila ini. Ia sangat takut jika sesuatu yang sangat buruk menimpa Ambrosia apalagi sampai mengarah ke 'hal lain' yang jauh lebih buruk lagi!

"Nona Lilura, ini ruangan apa kok merah-merah gitu terus mana nona Ambrosia," tanya Hozier.

"Ruangan yang sangat tidak baik. Kita cepat temukan Ambrosia karena sepertinya dia berada di balik pintu di sana!"

Lilura tidak mau Hozier semakin mempertanyakan jenis ruangan apa ini, jadi lekas ia menarik anak kecil itu menuju sebuah pintu di ruangan ini. Dibukalah pintu tersebut yang ternyata gelap gulita, Lilura pun menggunakan sihirnya yang kini ada pencahayaan di sekitar mereka.

Kini keduanya sama-sama terdiam membisu, mereka jauh lebih terkejut dibandingkan melihat ruangan di belakang mereka yang bernuansa merah. Meskipun Hozier masih polos, tetapi ia sangat tahu jika apa yang dia lihat ini sungguh sangat menyakitkan dan tidak pantas. Sungguh anak itu merasa sakit dan sesak karena Ambrosia yang terlihat begitu menderita. Sementara Lilura, dia lebih memperlihatkan rasa amarah, benci, dan juga dendam.

Dalam hidup Lilura, ia menghabiskan hampir seluruh hidupnya bersama Ambrosia sehingga apa pun yang terjadi pada Ambrosia maka terjadi juga padanya. Pada umur Ambrosia yang masih muda ketika ia menjalani kehidupan di akademi, cukup banyak hal tak terduga yang terjadi pada Ambrosia, bahkan hal buruk yang hampir meregang nyawa pun menghampirinya. Namun, selama melewati semua itu. Ambrosia selalu dibantu oleh teman-temannya. Sehingga ia tak sendiri, jika pun sakit dan menderita, maka yang lain juga merasakan hal yang sama.

Hanya saja pada detik ini, Ambrosia harus melewati semua itu sendirian. Maka itulah yang menyayat hati Lilura. Ya benar jika Lilura hanyalah boneka, tetapi kebersamaannya dengan Ambrosia membuat Lilura seolah memiliki hati, emosi, dan perasaan layaknya para manusia terutama pada pemiliknya.

"Nona Ambrosia," ucap Hozier, lalu menatap pada Lilura yang perlahan berjalan menuju Ambrosia yang keadaannya cukup mengenaskan.

Separuh hidup dari Lilura itu diperlakukan sangat berengsek oleh Lugaldaba. Kedua tangannya dirantai besi, begitu pula kedua kakinya. Kemudian Ambrosia dibiarkan mengenakan pakaian yang sangat tipis sehingga memperlihatkan lekuk tubuhnya dan juga pasti dia kedinginan karena cuaca malam ini sangatlah dingin.

"Ambrosia," panggil Lilura yang kini berada tepat di hadapan Ambrosia yang kepalanya tertunduk dengan mata tertutup rapat. Semakin hancur diri Lilura ketika melihat wajah pucat Ambrosia.

"Ambrosia, kau bisa mendengarku," ucap Lilura kembali yang pada detik itu ia bersumpah akan menghancurkan Lugaldaba, kemudian menyeretnya ke neraka jika Ambrosia tak kunjung bangun juga. "Ambrosia!"

Hanya saja, para Dewa masih berbaik hati dan menyayangi Ambrosia. Kini jemari tangan Ambrosia bergerak, begitu pula kelopak matanya yang perlahan-lahan membuka. Meskipun agak samar, tetapi Ambrosia tahu jika di hadapannya bukanlah Lugaldaba. Kini ia jadi bertanya-tanya, apakah semua ini mimpi?

"Lilura." Suara Ambrosia terdengar serak. "Apa itu kau? Atau ini hanya mimpi."

"Tidak, ini bukan mimpi. Ini benar aku, Ambrosia, ini benar-benar aku!" Maka Lilura perlahan melayang kemudian mendekap erat Ambrosia yang akhirnya perlahan sadar jika ia bukan di alam mimpi melainkan kenyataan.

"Lilura."

"Iya ini aku, ini aku. Aku datang untuk menyelamatkanmu. Syukurlah kau baik-baik saja, syukurlah aku bisa bertemu denganmu lagi." Makin menjadi karena kini Ambrosia menangis di pelukan Lilura. Sungguh jika Ambrosia sudah menyerah, tetapi tak ia sangka jika para Dewa membantunya dan mempertemukan Ambrosia dengan Lilura kembali.

"Bagaimana bisa kau tahu akan di sini?" ucap Ambrosia kemudian melirik pada sosok anak kecil di dekat pintu. "Hozier, kau di sini? Apa kalian berdua bersama-sama kemari untuk menyelamatkanku?"

"Iya!" sahut Hozier, "aku datang untuk bawa pulang nona Ambrosia!" Maka lekas Hozier berlari menuju Ambrosia. "Kini pun akan kubebaskan nona Ambrosia."

"Tunggu bagaimana caranya?" sahut Ambrosia kebingungan.

Lekas dengan cara yang sama seperti yang Hozier lakukan untuk mematahkan segel di pintu, ia menyalurkan neith dalam dirinya ke rantai-rantai yang mengekang tubuh Ambrosia. Maka terpatahkan segel tersebut sehingga mampu membebaskan Ambrosia. Ya, dia benar-benar bebas akhirnya. Menyadari dirinya sudah terbebas dari kekangan rantai, maka Ambrosia menarik kedua penyelamatnya kemudian mendekap mereka dengan sangat erat.

"Akhirnya Nona Ambrosia bebas, kita bisa pulang," ucap Hozier.

"Terima kasih, terima kasih karena telah menyelamatkanku." Tidak bisa berhenti menangis, Ambrosia sangat bersyukur pada para Dewa yang memberikannya kesempatan untuk hidup.

Lilura mengangguk kemudian berucap, "aku akan selalu ada untukmu Ambrosia, itulah janjiku padamu sejak kita pertama kali bertemu." Lilura berucap.

"Ayo!" sahut Hozier melepaskan pelukannya. "Kita harus pergi dari sini."

"Dia benar." Lilura perlahan membantu Ambrosia untuk berdiri. "Kita pergi dari sini."

"Ya, ayo pergi," sahut Ambrosia.

"Kau masih bisa bertarung sebentar?" tanya Lilura karena mereka mau tidak mau harus bertarung karena pasti mereka akan bertemu dengan para penjaga.

"Kurasa aku bisa, jadi mari lakukan. Dan keluar dari mansion bajingan ini!"

Akhirnya mereka bertiga, bersama-sama keluar dari ruangan tersebut. Kemudian bersiap untuk melawan para penjaga yang kemari. Namun, berada di lorong, tak satu pun mereka lihat ada penjaga yang berkeliaran padahal Lilura sangat yakin jika sebelumnya ada penjaga di sekitar sini. Tidak mau mempertanyakan hal ini, Lilura lekas menuntun keduanya untuk melewati lorong lain kemudian menuju lantai bawah. Kali ini juga sama, lorong yang sepi sekali karena tak seorang pun ada di sini. Di mana para penjaga tersebut? Lilura sekali lagi tidak mau mempertanyakan hal itu dan terus membawa keduanya ke lantai bawah, melewati lorong-lorong hingga akhirnya mereka bertiga berhasil melewati seluruh lorong mansion dan berhasil menuju pintu keluar. Kini mereka keluar dari sana dan menatap pada halaman luas mansion ini. Berada di luar sini juga, tidak mereka lihat satu pun penjaga atau para serigala yang harusnya ada di sekitaran halaman mansion.

"Ini aneh, kenapa semuanya hilang?" ucap Lilura.

"Apa maksudnya?" tanya Ambrosia jadi bingung.

"Ah sudahlah, tak masalah, ayo lekas kita pergi!" sahut Lilura lekas meriah lengan Ambrosia dan juga Hozier kemudian mereka bersama-sama berlari menuju ke dalam hutan belantara.

Di tengah kebingungan Lilura, Hozier malah tersenyum kecil karena dia sudah menebak siapa yang telah membantu mereka untuk kabur. "Pasti tuan Odiseus yang melakukannya, ya dia malaikat penyelamat. Terima kasih tuan Odiseus, terima kasih."

****

Amarah sangat besar memenuhi mansion ini. Lugaldaba tidak menyangka jika para penjaga tidak bisa menahan Ambrosia sehingga berhasil wanitanya melarikan diri. Kini atas ketidakbecusan tersebut, maka Lugaldaba membunuh seluruh penjaga, serigala, serta para monster dalam sekejap saja. Kemudian dia mengganti setiap yang mati dengan budak barunya. Kini para budak-budak itu yang terdiri dari prajurit manusia baru, serigala yang lebih ganas, monster seperti minotaur serta monster hybrida yang kemudian dikumpulkan di halaman depan mansion milik Lugaldaba.

"Hamba yakin Master, mereka masih di sekitar hutan ini karena baru satu jam setelah pelarian mereka dan mereka takkan bertahan di luar sana, terlebih lagi ada banyak monster yang dilepaskan, lalu Ambrosia takkan kuat bertarung karena racun yang ada di dalam tubuhnya." Orly Lugaldaba berujar, ia adalah Merluna.

Lugaldaba tidak langsung menjawab karena memikirkan sesuatu. Tidak ia sangka jika Lilura dan anak kecil dari desa Shakaleta berhasil menyelamatkan Ambrosia. "Kau yakin jika anak bernama Hozier itu yang bersama Lilura untuk menyelamatkan Ambrosia?"

"Ya Masterku, begitulah yang dikatakan para penjaga yang melihat mereka menyelamatkan Ambrosia sebelum Anda membunuh mereka."

Maka terdengarlah tawa Lugaldaba yang menggelegar ke seluruh halaman, membuat pasukannya jadi takut dan terdiam membisu. "Hebat, benar-benar hebat! Tak kusangka takdir berpihak padaku!

"Merluna, segera hubungi Zahava dan Hesperia untuk membawa Zephyr yang ada di tangan mereka. Kemudian perintahkan seluruh pasukanku dan gunakan lima Zephyr untuk menghancurkan desa Shakaleta hari ini juga! Hancurkan, sehancur-hancurnya sampai tak tersisa sedikit pun dari desa tersebut. Lalu kirimkan pasukan khusus, minta Zahava untuk memimpin pasukan tersebut kemudian bawa kembali Ambrosia serta membawa anak bernama Hozier dan Lilura ke hadapanku!"

Terdengar suara sahut-sahutan dari para pasukan yang ada di hadapan Lugaldaba saat ini. Mereka semua sudah tidak sabar untuk membantai sebuah desa lagi dan memakan daging-daging manusia!

"Hari ini adalah hari kebangkitan Zephyr, kebangkitan bangsa iblis, dan menjadi kehancuran dunia!"

◇─◇

Arc 5
[Zephyr Stone's]
- Tamat -

Selanjutnya

Arc 6
[Deus Sword of Chaos]

- Dimulai -

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

Dah gue bilang interaksi Eloise dan Aalisha itu lucu, kayak kakak beradik:) Katakan sesuatu untuk para Majestic Families?

Loh Hozier, kamu kenal Ambrosia dan Lilura? Bagaimana ya kelanjutan kisah mereka. Akankah mereka selamat atau malah bertemu dengan malaikat kematian?

Lalu mari mulai Arc ke-6! Dan saksikanlah bagaimana sandiwaranya mulai terungkap~

Prins Llumière

Senin, 13 Februari 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top