Chapter 66

|| Jangan lupa untuk vote dan komen dan ucapkan anjir

Hujan turun dengan sangat deras, suara petir bergemuruh saling sahut-sahutan. Tidak banyak masyarakat menjalani aktivitas di hari ini karena cuaca yang cukup buruk di beberapa wilayah, sedangkan ada wilayah yang hanya hujan kecil saja.

Wilayah tak berpenghuni, ya benar sekali ataukah sebuah desa mati untuk menggambar desa yang habis dibantai oleh bangsa iblis? Desa itu benar-benar tak berpenghuni. Rumah-rumah rusak dan roboh, jalan yang penuh dengan tanah becek, tak ada jejak kaki karena tak satu pun manusia melewati desa tersebut. Hanya hening nan menyeramkan dan membuat bulu roma berdiri jika memikirkan akan desa mati tersebut. Bangsa iblis, para Phantomius, memanglah tak memiliki perasaan, kini pun jika mereka mau, meski hujan turun bagaikan air terjun, mereka pasti akan membantai desa yang tersisa demi mencapai tujuan Raja mereka.

Tak ada yang tahu, ketika desa-desa itu terbantai, masyarakat dijadikan tumbal bagi bangsa iblis. Ada satu manusia yang berhasil melarikan diri ke dalam hutan, penuh luka, sebagian tubuhnya hancur, sudah tak ada harapan untuknya hidup. Kini ia menyeret tubuhnya di tengah hujan deras, membuatnya sangat kotor bagaikan manusia yang habis dibakar hidup-hidup lalu memaksa kabur dengan tubuhnya yang sudah hangus sebagian. Ya, benar, ibarat manusia yang menyeret tubuhnya dari neraka panas. Kini manusia satu-satunya yang selamat dari pembantaian tersebut, terdiam di tengah hujan yang terus membasahinya.

Ia telah kehilangan banyak hal, keluarga, teman, bahkan orang terkasih. Hendak marah dan membalas dendam, ia takkan pernah mampu, kini ia hanya bisa merintih dan menangis hingga tak tahu apakah yang menetes dari pipinya ini adalah air mata atau air hujan. Namun, dalam tangisnya, ia memanjat doa, doa yang ketika hujan turun dikatakan doa itu akan langsung didengar para Dewa. Maka doa yang terdengar sebelum ajalnya menjemput adalah hukuman yang sangat mengenaskan pada para pengkhianat manusia.

Akankah para Dewa mengabulkan doa tersebut?

Cara apa yang akan para Dewa lakukan untuk menghukum para pengkhianat itu?

Lalu di manakah keberadaan pengkhianat yang dimaksudkan itu?

Berada di wilayah tak diketahui, dikelilingi hutan, penuh dengan binatang buas serta monster yang sengaja dilepaskan demi menjaga sebuah mansion besar dengan gerbang yang cukup indah, tetapi menyeramkan disaat bersamaan.

Mansion itu sangat megah, tipikal rumah impian bagi para bangsawan yang dalamnya tak kalah megah dengan luar mansion tersebut. Lebih didominasi dengan warna cokelat kayu dan juga merah, seluruh lantai diberi karpet berwarna merah pula, begitu juga dengan tangga-tangga yang mengarahkan ke lantai dua dan tiga. Lebih dari 30 kamar yang ada di mansion tersebut yang setiap kamar juga tak kalah indah dengan adanya rak buku, lemari, meja, sofa, dan ranjang mewah yang bisa menampung dua orang dewasa. Dapurnya sangat lengkap, tidak hanya alat memasak, tetapi bahan-bahan untuk membuat makanan lezat setara kelas restoran juga ada. Kemudian di ruang makan, terdapat meja panjang dengan lilin di tengahnya, tetapi hanya ada dua kursi saja di meja yang sebenarnya bisa menampung lebih dari 15 kursi. Aneh sekali bukan?

Sungguh mansion yang sangat mewah, terlebih lagi jika ditinggali oleh keluarga yang bahagia, sudah dipastikan menjadi kisah dongeng yang disukai banyak anak-anak. Namun, sayangnya tidak ada kisah bahagia di mansion itu.

Setiap lantai memiliki daya tarik tersendiri, begitu pula ruang baca, ruang alat musik, hingga ruang keluarga. Sayangnya, Sang pemilik mansion hanya menyukai satu ruangan 'khusus' yang berada di lantai tiga.

Sayangnya bukan pula ruangan tempat Sang pemilik mansion mengistirahatkan tubuhnya dari rasa penat, melepaskan segala lelahnya atau ruangannya untuk bekerja. Melainkan sebuah ruangan yang memiliki ukiran emas di badan pintu, ketika pintu tersebut dibuka, maka tercium semerbak bau bunga mawar dan melati yang menjadi satu, ruangan itu didominasi warna merah, ranjangnya begitu besar yang atasnya berupa bunga-bunga mawar yang dibentuk menyerupai gambar love atau cinta, layaknya kamar pengantin baru di malam pertamanya.

Jangan pernah sekali pun untuk terharu atau melihat pemandangan romantis tergambarkan di ruangan tersebut! Jangan, jangan pernah! Karena sungguh tak ada kata romantis di dalam mansion yang penuh kekejian itu. Karena yang paling terpampang jelas ketika memasuki ruangan itu bukanlah ranjang di atasnya bunga mawar, melainkan di langit-langit ruangan itu penuh dengan rantai bergelantungan, di sisi kamar terdapat banyak alat yang digunakan untuk menyiksa manusia. Bahkan ada kursi penyiksaan yang bisa menjerat siapa pun, sehingga tidak bisa bergerak dan akan segera melenyapkan nyawa karena tegangan listrik sangat kuat mengalir di tubuh. Di sisi lainnya lagi, ada lemari yang seharusnya berisi buku-buku, tetapi malah penuh gunting, jarum suntik, benang jahit, tang, berbagai macam obat terlarang. Lemari lainnya penuh dengan foto-foto yang tidak jelas menampakkan wajah siapa, tetapi foto paling banyak adalah wanita bergaun dengan wajah cantik, dan memiliki manik mata pink rouge.

Gila, sangat gila, sebenarnya ruangan apa itu? Lalu mengapa terdengar suara rintihan di ruangan tersebut, oh tidak, bukan ruangan itu, melainkan di balik pintu lain yang ada di dalam ruangan. Ada sebuah ruangan rahasia di dalam ruangan penuh kekejian!

Kini terdengar langkah kaki dari sepatu pantofel hitam, pakaian bangsawan yang mewah dan elegan melekat pada tubuh seorang pria yang melepaskan topeng putihnya lalu diletakkan di salah satu lemari. Wajah lelaki itu cukup tampan, ia habis menghadiri sebuah pesta topeng yang diadakan seorang bangsawan bergelar Count; berada di pesta ia memasang senyum di hadapan semua orang, menerima ajakan berdansa dari para wanita, bahkan ia diundang ke sebuah pertemuan keluarga. Mungkin salah satu wanita yang berdansa dengannya hendak melamarnya? Pria itu benar menjadi idaman banyak wanita, terutama gelar Viscount yang ia bawa.

Selain karena cukup tampan dan punya senyum yang bisa memikat siapa pun, ia cukup berpengaruh pula di kalangan masyarakat sosial dan diketahui memiliki hati yang baik. Bayangkan seorang bangsawan dengan gelar Viscount ternyata memberi donasi besar di sebuah panti asuhan di desa yang jauh dari kekaisaran dan kerajaan, selain itu ia tak hanya memberi donasi, melainkan berkunjung langsung ke sana. Menyentuh para anak-anak panti dengan lembut, bercerita seperti pendongeng andal, bahkan memberi beberapa makanan atau sebuah buku bacaan. Sungguh segala perbuatannya adalah kebaikan yang disenangi para masyarakat terutama mereka yang berasal dari kasta bawah.

Siapakah dia? Siapa namanya? Beberapa masyarakat bertanya jika tak pernah melihatnya secara langsung. Maka masyarakat lain menjawab, Viscount Zen Robinett Lugaldaba, satu-satunya penerus dari bangsawan Lugaldaba.

Meskipun menjadi idaman banyak wanita, hingga kini tak satu pun wanita berhasil memikat hatinya sampai sang Viscount rela berlutut dan memberikan sebuah cincin lamaran. Lalu ke mana hati Viscount itu akan berlabuh? Akankah ada seorang wanita memikat hatinya hingga Lugaldaba akan mengejar-ngejar wanita tersebut bahkan ke neraka pula?

Maka semua itu terjawab di mansion milik Lugaldaba sendiri. Saat dia masuk ke ruangan yang paling ia sukai, lalu menuju pintu lagi di dalam ruangan tersebut. Terdengarlah derit pintu, lalu lampu tak terlalu terang menyala perlahan. Kini Lugaldaba yang lelah karena hiruk-pikuk pesta bangsawan, ia sangat membutuhkan cinta dari wanita yang berhasil memikat hatinya.

Seorang wanita yang mengenakan gaun, wajahnya sangat cantik seperti boneka, rambutnya panjang dan wangi, manik mata indah, bibir tebal dan seksi. Betapa sempurnanya hidup Lugaldaba karena memiliki wanita idaman yang selama ini ia cari-cari. Ia sampai tidak tahu dengan cara apa mengungkap kebahagiaan ketika berhasil menyentuh kulit wanita itu dan merasakan bibirnya yang manis.

Hidupnya sangat sempurna, benar-benar sempurna; harta, tahta, kekuatan, posisi tinggi di Phantome Vendettasius, memiliki bawahan yang setia, serta wanita yang tak lama lagi akan ia setubuhi dan nikahi. Dia yakin jika Dewa pun akan iri pada kesempurnaan yang ia miliki ini. Namun, dibalik semua kesempurnaan itu, hanya ada satu kekurangan dalam hidupnya yang jika ia pikirkan, maka ia merasa seluruh tubuhnya terkoyak-koyak dan hatinya hancur berkeping-keping.

Ya, kekurangan itu adalah wanita yang Lugaldaba cintai, ternyata tidak mencintainya, sedikit pun!

Benar sekali! AGRAFINA BRIELLA AMBROSIA TIDAK MENCINTAI LUGALDABA.

Maka kenyataan itu adalah kutukan bagi hidupnya.

"Aku kembali, Ambrosia, kekasihku," ujar Lugaldaba kini perlahan menyentuh pipi wanita itu yang terasa dingin, tetapi lekas Ambrosia membuang wajahnya agar pria itu tidak lama-lama menyentuhnya.

"Jangan memanggilku kekasihmu! Aku tidak pernah menjadi kekasihmu!" Suara Ambrosia terdengar cukup tinggi. Kini ia menatap sinis pada Lugaldaba.

Sungguh menyedihkan, tubuh Ambrosia terpaku di tembok ruangan tersebut, kedua tangannya dirantai besi yang kedua rantai itu tertancap di langit-langit, begitu pula kedua kakinya yang juga dirantai besi. Ia sama sekali tidak bisa bergerak atau membebaskan diri. Alih-alih menggunakan sihir, ia tak mampu melakukannya karena di rantai besi ini terdapat sihir kuno sehingga membuat Ambrosia tidak bisa menggunakan sihir sama sekali.

"Mengapa kau berkata begitu, sayangku?" Lugaldaba sedikit membungkuk agar ia bisa melihat dengan jelas wajah cantik wanitanya itu. "Tidak kah kau ingat jika semalam kita menghabiskan malam yang indah, aku bahkan masih ingat bagaimana manisnya bibirmu. Kau tahukan kalau itu baru awalnya, tak lama lagi aku akan merasakan seluruh tubuhmu yang indah itu."

"LUGALDABA!" Suara teriakan Ambrosia terdengar bersamaan dengan angin kencang bertiup membuat jubah Lugaldaba sedikit beterbangan.

Merasa Ambrosia cukup melampaui batas, maka Lugaldaba mencengkeram rambut Ambrosia kemudian dibenturkan kepala wanita itu ke tembok. Lekas Lugaldaba berjongkok, lalu menatap nyalang pada wanita yang merasakan kepalanya hampir saja pecah. "Harusnya kau menuruti apa yang kuhendaki, jangan membangkang. Bukankah kini kau dan seluruh tubuhmu adalah milikku. Aku berbaik hati melepaskanmu dari jerat Zephyr agar kau bisa mencintaiku dengan tulus bukan karena pengaruh batu kekuatan itu. Namun, apa ini? Kau malah terus membangkang."

Zephyr, salah satu dari batu kekuatan yang dapat mempengaruhi dan mengendalikan makhluk hidup. Dan salah satu korban dari kekuatan Zephyr adalah Ambrosia. Segala yang terjadi di akademi maupun pembantai yang ia lakukan, pergi ke perkumpulan para Phantomius, serta ia hampir membunuh tiga murid akademi adalah karena ia dikendalikan menggunakan Zephyr.

Lalu dalang atau manipulatornya adalah sosok yang tak pernah Ambrosia tebak, sosok yang Ambrosia anggap sebagai sahabat, tetapi berkhianat padanya dan menjadikan Ambrosia sebagai bonekanya. Ya dalangnya adalah Minna Hesperia. Ia memegangi satu keping Zephyr untuk mengendalikan Ambrosia, meski hanya Ambrosia saja yang ia kendalikan, tetapi sudah cukup untuk menggerakkan segala misinya serta melindungi dirinya sendiri agar tidak ketahuan sebagai Phantomius dan melemparkan segala kesalahannya pada Ambrosia.

"Sayangku," ucap Lugaldaba, "bukankah kau kini menjadi buronan, kini kau dianggap pembunuh dan dibenci oleh murid-muridmu. Jadi hanya akulah yang mencintaimu."

Kini Ambrosia tertunduk, matanya tercetak kesedihan yang begitu besar, dadanya sesak sekaligus sakit. Tubuhnya gemetar ketakutan ketika ia mengingat segala yang ia lakukan dalam keadaan tak sadarkan diri. Ketika ia menyaksikan para warga tak bersalah terbunuh di hadapannya, ia hancur pula saat melihat salah satu muridnya bernama Aalisha yang terkapar karena terkena racun yang digunakan Jasmine Delilah, lalu ia semakin hancur saat melihat darah tergenang di rerumputan dan menyaksikan tiga muridnya hampir meregang nyawa di tangannya. Ia ingin sekali menghentikan semua itu, tetapi kesadarannya saat itu bukanlah miliknya.

"Kau tak punya rumah lagi, dunia membencimu, jika kau pergi keluar sana, kau akan dibunuh pihak kerajaan. Ambrosia kekasihku, kau tak punya pilihan lain maka di sinilah rumahmu satu-satunya. Bersama denganku, menjadi milikku selamanya."

Ambrosia teringat ketika Vigilum Eques membawanya pergi dari Akademi Eidothea. Ia merasa sangat tenang karena setelah kepergiannya, murid-muridnya takkan terluka lagi. Ambrosia semakin bersyukur jika ia mendapat hukuman mati. Lebih baik dia mati dari pada hidup sebagai boneka dan terus-menerus dikendalikan oleh Hesperia, Zahava, maupun Lugaldaba. Lebih baik ia mati dibandingkan melihat orang-orang yang ia sayangi terbunuh dengan tangannya lagi. Namun, takdir berlaku kejam padanya. Ia hancur ketika para pasukan Vigilum Eques diserang pasukan Phantomius yang dipimpin oleh Lugaldaba. Ketika Ambrosia hendak menyerang pria itu,hendak menghentikan para Phantomius membantai kesatria Vigilum Eques, hanya saja gagal usahanya karena Lugaldaba menggunakan Zephyr dan mengendalikan Ambrosia sehingga ia tak bisa melawan dan berakhir dibawa ke mansion ini.

Detik ini, hidupnya sudah benar-benar hancur, runtuh dan tak bersisa. Mengapa, mengapa Dewa tak izinkan Ambrosia mati saja?

"Kau harus belajar jatuh cinta padaku karena sebentar lagi kau akan menjadi istriku. Kau dan aku akan menjadi satu dan saling merasakan tubuh satu sama lain," ujar Lugaldaba dengan senyuman yang mengerikan.

"Lebih baik aku mati dari pada berhubungan denganmu!" balas Ambrosia maka terdengarlah tawa Lugaldaba.

"Kau takkan bisa menolak Ambrosia. Lagi pula, pada siapa kau mau meminta pertolongan? Para Dewa, mereka takkan membantumu? Jika Para Dewa memang sayang padamu maka kau takkan menderita!! Apa kau mau meminta pertolongan pada manusia? Siapa yang akan menyelamatkan pembunuh sepertimu atau kau masih berharap pada pria yang kau cintai itu? Tidak, tidak mungkin ia akan datang karena dia telah mencampakkanmu, Ambrosia! Kau tak punya siapa-siapa lagi, terkecuali aku!"

Ambrosia mengepalkan kedua tangannya sangat kuat ketika mendengar Lugaldaba menyinggung sosok pria yang pernah membuatnya jatuh cinta atau mungkin hingga kini pun Ambrosia masih menyimpan perasaan itu? Namun, benar seperti yang Lugaldaba katakan jika pria yang Ambrosia cintai itu telah mencampakkannya. Hingga detik ini saja Ambrosia tidak tahu kabar akan pria itu. Di mana dia sekarang? Apa yang dia lakukan? Apakah dia sudah memiliki kekasih atau barangkali sudah menikah?

"Bukankah dibandingkan menunggu pria yang mencampakkanmu itu, kau lebih baik memilihku yang akan memberikan segalanya untukmu, sayangku."

Kini Ambrosia tersenyum, ia mendongak meski kepalanya terasa sakit dan berat. "Lugaldaba, kau tahu, lebih baik aku dicampakkan pria itu dibandingkan hidup denganmu. Kau itu tidak lebih dari seorang penyembah iblis! Kaulah dan para pengkhianat yang telah menghancurkan hidupku! Maka aku lebih baik mati dibandingkan menjadi milikmu! Aku bukanlah objek untuk kepuasan nafsumu, Lugaldaba!!"

Andai saja Ambrosia tidak bertemu Lugaldaba ketika mengunjungi panti asuhan di desa Shakaleta. Mungkin Lugaldaba tidak jatuh cinta padanya dan Ambrosia tidak harus menghadapi semua rasa sakit ini.

"Kurasa sifatmu yang keras kepala inilah yang membuatku jatuh cinta, aku jadi tidak sabar untuk merasakan seluruh tubuhmu itu!"

Perlahan Lugaldaba mengelus rambut Ambrosia hingga turun sampai ke pipinya. "Aku tahu kalau kau takkan mudah goyah, tetapi setelah apa yang akan terjadi, kau pasti akan segera menurutiku."

Perlahan senyuman Lugaldaba terbentuk. Kemudian dia memunculkan cyubes, meraih satu foto yang kemudian diperlihatkannya foto tersebut pada Ambrosia yang sukses membuat kedua mata Ambrosia membulat.

"Sudah ada empat Zephyr ditangan kami. Hanya tersisa dua lagi. Ketika keenam Zephyr bersatu, maka yang pertama kali akan kami hancurkan adalah Eidothea. Namun, sebelum kehancuran itu. Tiga muridmu yang ada di dalam foto itu akan lebih dulu kami buat menderita—"

"TIDAK! TIDAK LUGALDABA! JANGAN! JANGAN SENTUH MEREKA!" teriak Ambrosia yang kini tangisnya benar-benar pecah. Maka Lugaldaba semakin senang melihat ekspresi itu. KUMOHON JANGAN SENTUH MEREKA!"

"Mereka pengacau yang berusaha menyelamatkanmu, kurasa mereka akan pergi ke salah satu desa demi mendapatkan Zephyr. Namun, bukan Zephyr yang akan mereka temui, melainkan kematian mereka. Ah, kurasa satu anak, ya anak cacat dari kasta bawah ini takkan kubunuh cepat. Mungkin aku bisa menyiksanya lebih dulu, sampai dia menjerit memohon ampun."

"Tidak Lugaldaba, jangan sakiti murid-muridku, jangan sakiti anak itu! Kau boleh menyakitiku, kau boleh melakukan apa pun padaku. Namun, Demi Dewa jangan sentuh mereka, aku mohon, aku mohon!" Tidak berhenti Ambrosia menangis, ia meronta-ronta, rantai besi yang menahan kedua tangan dan kakinya berdencing-dencing. Namun, Lugaldaba tak peduli.

"Tenanglah di sini sayangku, karena esok, kau akan melihat murid yang kau sayangi itu, perlahan-lahan mati membusuk di hadapanmu." Maka Lugaldaba berbalik, menyibak jubahnya, kemudian melenggang pergi meninggalkan Ambrosia yang terus-menerus menangis dan memohon agar Lugaldaba tidak menyentuh ketiga muridnya.

Kini Ambrosia berhenti meronta-ronta, ia terdiam dengan tangis tak kunjung berhenti, kepalanya tertunduk ke bawah. "Kumohon, siapa pun tolong aku. Aku harus menyelamatkan mereka."

"Kumohon para Dewa, selamat aku, aku tak mau mati. Aku harus menyelamatkan muridku dan Eidothea."

"Kumohon, siapa pun itu, tolonglah aku ... aku mohon ...."

Pada siapa Ambrosia harus meminta tolong agar ia tak kehilangan orang-orang yang ia sayangi lagi? Karena sungguh jika murid-muridnya mati, Ambrosia lebih baik menyusul juga, meski ia harus membunuh dirinya sendiri dan diseret malaikat ke Gehenna.

****

Hujan yang turun pada hari ini cukup merata di beberapa desa, begitu pula menutupi desa yang dibantai habis-habisan oleh bangsa iblis. Dikarenakan masih rawan atas serangan, maka desa-desa dengan penduduk dibawah 90 jiwa, tidak menjalankan aktivitas seperti biasa dan memilih berada di rumah masing-masing, ada pula yang tak berada di rumah melainkan pergi dari desa tersebut menuju ke kota demi mencari keamanan meskipun entah yang pergi ke kota ini akan selamat atau mati juga pada akhirnya.

Berada di jalan besar yang menghubungkan antara desa Jorga dengan salah satu desa yang dibantai Phantomius, sangatlah sepi, tidak terlihat jejak kereta kuda atau jejak kaki sepatu boots melewati jalan ini. Sehingga tanah beceknya masih rata. Ya, tak lama lagi tanah becek itu akan ada jejak kaki kuda dari dua ekor kuda yang satu-satunya melintasi jalan besar tersebut.

"Sungguh, hanya kita saja yang melewati jalan ini," ujar Mylo sambil menyeka air yang ada di wajahnya. Meskipun sudah mengenakan mantel hujan, tetap saja ada air hujan yang terkena wajahnya. "Bukankah menjadi rekor untuk kita. Tiga anak Akademi angkatan tahun pertama melintasi jalan besar dikala hujan dan menuju desa sepi."

"Tidak juga," balas Aalisha, "kuyakin ada anak berumur lebih muda dari kita yang sudah dibawa ke Zero Domain."

"Mana ada bodoh! Cari mati namanya," balas Mylo membawa kudanya melangkah pelan karena ada genangan berlumpur cukup dalam di tengah jalan mereka. Harus ia hindari jika tak mau pakaiannya kotor dan memuncrat ke samping, kasihan Aalisha nanti ataukah sengaja saja Mylo mengerjai gadis itu?

"Kan memang tujuannya jadi tumbal," balas Aalisha.

"Gila kau ya!" Mylo agak meninggikan suaranya.

"Bisakah kalian berdua diam?" sahut Anila sedang berfokus pada petanya. "Aku bingung nih di mana letak gerbang teleportasinya."

"Mungkin kau salah membacanya, agak seram juga kalau kita harus menuju desa itu karena gerbangnya di sekitar sana," imbuh Mylo.

"Karena itu, aku baru memperhatikan peta ini yang ternyata ada dua gerbang teleportasi, entah berhasil dua-duanya atau tidak, aku tak tahu," balas Anila.

"Dua gerbang?" tanya Mylo, "bukankah hanya satu ya seperti yang dikatakan Majestic Families, gerbang dekat patung kesatria itu loh!"

"Iya, memang ada gerbang yang dekat patung itu, tapi pas kucek lagi, ternyata ada gerbang kedua di dekat desa sini. Dekat patung kura-kura." Anila sudah kesal setengah mati, apalagi cuaca yang cukup buruk ini. "Kalau gerbang patung kesatria cukup jauh dari sini, kemungkinan tiga jam lagi baru kita sampai sedangkan patung kura-kura berada di desa yang dibantai itu, dekat dengan posisi kita."

"Baiklah." Mylo masih tak yakin, jadi ia berucap lagi. "Tapi kau nggak salah baca petanya 'kan? Aku takut membuang waktu kalau ke desa itu, apalagi jika bertemu hal-hal mengerikan di sana."

Seketika Mylo merasakan punggungnya dipukul dengan keras hingga lelaki itu menjerit sakit. Anila barusan memukulnya. "Kalau begitu baca sendiri saja bodoh! Kau pikir mudah membaca peta dikala panik gini, mana hujannya nggak berhenti-henti."

"Ya, iya maaf, aku hanya memastikan lagi," jawab Mylo memasang wajah muram.

"Sini biar kucek lagi," ujar Aalisha mendekatkan kudanya pada kuda Mylo lalu meraih peta yang diberikan Anila.

"Aalisha, aku ikut kamu saja. Gila aku ikut dia ini," pinta Anila.

"Tidak, aku susah mengontrol kudanya kalau ada penumpang di belakangku," balas Aalisha jelas, padat, dan menyakitkan.

"Kau jahat banget ya," sahut Anila kembali memukul bahu Mylo karena lelaki itu sempat menertawakannya.

Aalisha masih mengecek peta, lalu benar seperti yang dikatakan Anila, ada gerbang teleportasi di dekat patung kura-kura. Setelah yakin, segera ia kembalikan peta tersebut pada Anila. "Anila benar, ada gerbang teleportasi di desa itu dekat patung kura-kura, kurasa Majestic Families tidak sadar, malah bagus, ini kesempatan kita untuk lebih dulu sampai ke desa Shakaleta."

"Ya, kuyakin mereka sadar kalau kita menghilang dari Eidothea, jadi sebelum mereka kita harus sampai di sana lebih dulu," sambung Anila meski ia kesal pada Aalisha.

"Kalau begitu ayo," sahut gadis kecil itu, kembali memacu kudanya.

"Mylo cepat," ucap Anila.

"Hei, bisa dengarkan aku dulu," bisik Mylo memacu kudanya, tetapi pelan saja.

"Apa?" balas Anila.

"Apa kau tak sadar, Aalisha itu aneh. Dia bisa bawa kuda sangat mahir, apalagi di jalan berlumpur. Aku saja agak kesusahan, tapi dia mudah saja." Mylo perlu mengarahkan kuda ini untuk berjalan di pinggir karena kubangan lumpur di tengah cukup besar.

"Ya, aku sadar sejak awal. Dia seperti biasa membawa kuda di jalan seperti ini dengan cuaca yang sama buruknya." Sesaat Anila mencengkeram kuat mantel hujan yang ia kenakan sambil menatap Aalisha serta kudanya yang perlahan menjauh. "Terkadang dia terasa berada di tempat yang berbeda dengan kita meski masih berada di satu dunia."

"Aku juga berpikiran hal yang sama," sambung Mylo kemudian sadar ketika gadis kecil Itu menghentikan kudanya sambil menoleh ke belakang seolah menunggu mereka.

"Tak masalah Mylo, kita akan menunggu, sampai waktunya tiba. Sampai dia mau jujur, siapa sebenarnya dia," ucap Anila.

"Ya, kuharap segala tentangnya melebihi ekspektasiku." Lekas Mylo memacu kudanya hingga di belakang Aalisha, baru gadis kecil itu kembali membawa kudanya menuju desa mati.

Sungguh suatu harapan besar bagi ketiganya jika tujuan mereka ini benar adanya gerbang teleportasi jadi mereka tak perlu susah payah memacu kuda sampai tiga jam lamanya ke gerbang teleportasi yang dimaksudkan tiga Majestic Families.

Kini hawa mengerikan memenuhi ketiganya ketika memasuki desa yang dibantai ini, benar-benar hancur dan porak-porandakan, tidak ada tanda-tanda penghuni, bahkan seekor anjing atau kucing saja tidak terlihat di sini. Kanan dan kirinya hanyalah bangunan yang sudah tak layak ditempati, kemudian diperhatikan secara jelas mereka bisa melihat banyak pakaian terhambur, menyangkut di kayu-kayu rumah yang hancur, di jalan-jalannya juga banyak benda-benda berserakan, mereka juga menemukan boneka yang sudah kotor sekali karena hampir tenggelam di lumpur.

Anila mengencangkan pelukannya pada Mylo yang mengendarai kuda ini sambil mengedarkan pandangannya, menyaksikan hal yang sama jika bangsa iblis benar-benar kejam. Ini baru permulaan, lalu bagaimana dengan kekejaman bangsa iblis di masa lalu? Bagaimana kekejaman para iblis di Zero Domain yang membantai banyak pasukan manusia?

"Jangan menangis Anila," ujar Mylo begitu karena bisa mendengar tangis gadis di belakangnya ini, terutama hujan sudah berhenti turun, jadi makin terdengar saja isak tangisnya. "Tenang ya, aku tahu ini mengerikan, tapi kau harus tenang."

Aalisha kembali menghentikan kudanya karena menengok ke belakang, mendapati jika kuda Mylo malah berhenti. Sekali lagi gadis kecil itu menghela napas panjang. Mengapa lagi dengan mereka? Tidakkah mereka bisa lebih cepat untuk mempersingkat waktu? Aalisha semakin memperhatikan mereka yang ia sadari jika Anila sedang menangis. Maka agak kesal gadis itu karena sempat-sempatnya Anila menangis atas semua yang terjadi di sini. Sungguh untuk apa menangis? Tidak ada gunanya sama sekali!

Lekas Aalisha memacu kudanya menuju Mylo dan Anila. Hampir mendekat kuda Mylo, Aalisha berujar, "kenapa lagi berhenti? Kalian terlalu banyak membuang waktu. Untuk apa menangis, tidak ada yang perlu disedihkan, jadi berhentilah menangis."

Mendengar perkataan Aalisha, sontak Mylo menoleh pada gadis kecil itu dengan kesal. "Bisa-bisanya kau bilang begitu? Apa kau tidak sedih, bisakah kau sedikit lebih lembut?"

Sungguh, Mylo tidak habis pikir. Ia saja menahan tangisnya mati-matian karena merasakan sesak dan sakit yang sama seperti Anila. Namun, gadis kecil di hadapannya dengan mudah berkata untuk tidak menangis? Tidakkah gadis itu merasa sedih melihat keadaan desa ini yang hancur dan porak-poranda? Mana empati gadis itu!

"Aku hanya mengatakan apa yang perlu kukatakan, lalu aku tak sedih sedikit pun. Lagi pula bersedih tidak akan mengembalikan mereka yang sudah mati, jadi berhentilah menangis dan lekas kita pergi," balas Aalisha yang benar-benar tidak memikirkan perasaan Anila maupun Mylo. Sukses hal ini membuat Mylo jadi semakin jengkel.

"Ya, memang benar mereka takkan hidup lagi, tapi bisakah kau sedikit menghargai perasaan kami? Tidak semua orang punya perasaan seperti kau, sekuat kau yang bahkan jika kami mati pun, kau takkan menangisi kami! Karena kau tak punya hati!"

Anila langsung menyahut, "bisakah kalian berhenti bertengkar! Tidak perlu bertengkar karena semua ini!"

"Karena dia yang mulai duluan!" balas Mylo, "dia yang tidak bisa paham dengan perasaan kita. Dia tidak bisa mengontrol kata-katanya yang menyakitkan itu. Semua orang tidak sama Aalisha, semua punya hati yang berbeda-beda, kau tidak bisa menyamaratakan emosi orang lain dengan emosi yang kau miliki!"

Aalisha terdiam setelah kata-kata terakhir Mylo. Ia yang tadinya menatap Mylo, kini perlahan mengalihkan pandangannya, menundukkan kepala lalu menatap pada kedua tangan kecilnya yang menggenggam tali pelana kuda.

Sungguh, Aalisha sangat bingung harus mengeluarkan emosi seperti apa? Ia tidak tahu harus bagaimana untuk menanggapi perasaan orang lain. Dia hanya menanggapi seperti apa yang diajarkan pada dirinya dulu. Bagi Aalisha melihat pemandangan seperti ini adalah hal biasa baginya bahkan sudah menjadi keseharian; desa-desa yang dibantai bahkan desa dihanguskan menjadi abu padahal masyarakatnya masih berada di desa tersebut, kemudian sudah terbiasa bagi Aalisha melihat banyak manusia mati, bersimbah darah, tubuh mereka terkoyak hingga isi perutnya keluar, tubuh yang termutilasi, segala macam jeritan memohon ampun dan meminta tolong, hingga melihat puluhan mayat yang perlahan-lahan membusuk.

Menangis? Tidakkah ia menangis melihat semua itu? Untuk apa ia menangis karena setiap tetes air mata yang berhasil jatuh dari matanya, maka akan ada seseorang yang berteriak padanya.

Memarahinya karena menunjukkan simpati dan empati pada makhluk hidup lain terutama yang sudah mati.

Memakinya hanya karena Aalisha memperlihatkan kesedihan dan meminta kasih sayang.

Bahkan tak segan untuk menghukum gadis itu jika ia berperilaku tidak sesuai dengan ketetapannya. Jika ia tidak bisa menjalankan perintah yang diturunkan padanya. Jika ia sedikit saja memperlihatkan kelemahannya.

"Jadi aku tidak boleh bersimpati pada mereka," tanya seorang gadis kecil, bernama Aalisha pada sosok bayangan tak jelas wajah dan siapa dia.

"Ya."

"Aku tidak boleh menangis?" tanya Aalisha lagi.

"Ya."

"Aku tidak boleh kalah dan memperlihatkan kelemahanku?"

"Ya, jika kau lakukan, aku akan mencambukmu lagi atau kulempar kau ke hutan dan diburu para monster lagi."

"Baiklah, aku berjanji takkan kalah dari siapa pun. Namun, bolehkah aku mendapatkan kasih sayang darimu?"

"Tidak."

"Meski sedikit saja?"

"Ya."

"Bahkan jika aku minta kau mengajariku apa itu kasih sayang, apakah juga tidak boleh?"

"Ya. Sekarang pergilah, kau menggangguku."

Aalisha terdiam, tak ia sangka perkataan Mylo tadi membawa memori masa lalunya yang sangat menyakitkan naik ke permukaan lagi padahal sudah lama ia kubur. Kini ia tatap Mylo yang berusaha menenangkan Anila. Masih dilanda rasa bingung hendak berbuat apa, maka Aalisha memacu kudanya agak ke depan, turun dari sana kemudian mengambil boneka yang ada di lumpur, perlahan digunakan sihir, boneka itu bercahaya kebiruan lalu perlahan-lahan lumpur di boneka itu hilang meski masih agak kotor, kusam, dan sedikit basah.

Kini ia menuju kuda Mylo, lelaki itu mendongak dan baru sadar jika Aalisha sudah turun dari kudanya. Saat ini gadis kecil itu menyodorkan boneka yang ia pungut tadi kepada Anila yang perlahan menatap Aalisha.

"Maafkan aku, aku bersalah. Mungkin boneka ini akan membuatmu lebih baik," ujar Aalisha meski tidak ada ekspresi yang kentara di wajah gadis itu. Ya, dia tetap sulit mengekspresikan sesuatu.

"Aalisha, maafkan aku juga," sahut Anila lalu meraih boneka itu.

"Aku minta maaf juga padamu, Mylo." Setelah mengatakan itu. Lekas Aalisha menuju kudanya, hendak ia naiki, tetapi sebelum itu, Mylo berujar juga.

"Aku juga bersalah karena terbawa emosi, maafkan aku."

Aalisha yang sudah berada di atas kuda hanya menoleh sesaat, baru berucap sebelum memacu kuda tersebut. "Ya." Maka mereka pun beriringan lagi memacu kuda menuju desa yang jadi tujuan mereka, sementara itu Anila memeluk boneka yang Aalisha berikan, sepanjang perjalanan.

Membutuhkan waktu hampir 15 menit karena ada tanah longsor di desa tersebut sehingga perlu jalan memutar bagi mereka bertiga jika hendak menuju patung kura-kura. Akhirnya mereka tiba juga. Dari kejauhan mereka melihat sebuah gapura tinggi yang puncaknya berupa patung berbentuk kura-kura atau malah penyu? Bodo amat yang terpenting mereka sudah berada di sini.

Kini ketiganya turun dari kuda masing-masing, sambil memegangi tali pelana kuda, mereka maju menuju patung tersebut hendak melihat secara jelas. Anila mengatakan jika gerbang teleportasi, biasanya dengan menyentuh gerbang tersebut yang bisa berupa sebuah benda, gapura, patung, atau segala hal yang dijadikan kunci untuk melakukan teleportasi kemudian menyebutkan nama tempat tujuan mereka. Nama lain dari gerbang teleportasi adalah Ianuae Portae.

"Jadi kita harus menyentuh patungnya, lalu mengatakan desa Shakaleta, baru kita akan berteleportasi ke sana?" ucap Mylo.

"Ya, umumnya gitu sih, aku pernah beberapa kali teleportasi dengan ayahku, tapi itu lagi di pusat kota. Aku kurang yakin kalau di sini," ujar Anila.

"Coba saja kalau begitu." Aalisha sudah tak mau menunggu lagi, mereka harus segera ke desa Shakaleta sebelum ada hal buruk terjadi atau para Majestic Families lebih dulu mengejar mereka.

"Aalisha jangan dulu, gimana kalau ini jebakan atau teleportasinya malah tidak sesuai tujuan kita?" ucap Anila.

Aalisha tak peduli. "Sudahlah, tak ada waktu untuk berprasangka baik atau buruk."

Baru hendak Aalisha sentuh gapura kura-kura tersebut, suara asing terdengar di dekat mereka yang sontak membuat Aalisha menarik lengannya kemudian beralih pada pedangnya. Hal ini juga dilakukan Anila dan Mylo yang memasang posisi waspada karena suara asing nan serak terdengar dari balik pepohonan.

"Tak kusangka ada pengunjung kemari. Tiga anak dari Akademi termasyhur, Eidothea."

"Siapa kau?" ucap Aalisha.

"Perlihatkan dirimu," sambung Anila.

"Jangan takut, aku takkan menyakiti kalian." Kini sosok di balik pepohonan itu menampakkan dirinya. Ia mengenakan jubah dan tudung yang menutupi seluruh wajahnya, membawa tongkat panjang, lalu tubuhnya agak bongkok seperti sosok kakek-kakek yang sudah kesulitan berjalan. "Aku hanya Orly penghuni hutan ini serta penjaga gerbang teleportasi ini."

"Kau penjaganya?" tanya Mylo.

"Ya. Namaku Clorovix, aku bertugas untuk memandu orang-orang yang hendak menggunakan gerbang teleportasi ini," ujarnya lalu terbatuk sedikit.

"Anila, benarkah ada Orly penjaga Ianuae Portae, gerbang teleportasi ini?" tanya Mylo, "sungguh aku tak bisa percaya kau karena kau terlalu mencurigakan."

"Sebenarnya ada, beberapa Ianuae Portae dijaga oleh Orly yang sekaligus menuntun para pengguna gerbang teleportasi ini agar tidak salah tujuan." Anila baru ingat akan hal ini.

"Lihat, tidak ada yang perlu dicurigai, aku takkan menyakiti kalian karena tugasku adalah melayani kalian serta menuntun kalian menggunakan gerbang teleportasi ini," jelas Clorovix, "jadi ke mana kah, kalian hendak pergi?"

Mylo lekas menarik Aalisha dan Anila. Kemudian berbisik, "kita tak bisa percaya padanya, bagaimana jika dia bekerja untuk para Phantomius. Bisa mati kita akan dituntun ke desa para iblis."

"Aku juga tidak percaya padanya. Habis, setahuku gerbang seperti ini kalau dijaga Orly, biasanya gerbang teleportasi di kota-kota besar." Anila berucap juga dengan berbisik.

"Jadi kita harus bagaimana?" tanya Mylo lalu beralih pada Aalisha. "Menurutmu bagaimana?"

"Ya, kalau pendapatmu bagaimana, jujur aku tidak bisa percaya pada Orly itu begitu saja," imbuh Anila.

"Kita coba saja," balas Aalisha.

"Apa kau yakin? Bagaimana jika dia salah satu antek-antek iblis," sahut Mylo.

"Tak ada waktu untuk itu, kita akan lebih melelahkan kalau harus ke gerbang teleportasi yang lain. Bisa saja di tengah perjalanan kita malah bertemu iblis, dua-duanya sama beresiko." Aalisha menyudahi diskusi mereka kemudian beralih pada Orly yang sejak tadi dengan sabar menunggu ketiga anak itu meski dirinya sedang dibicarakan.

"Baiklah jika kau berkata begitu," balas Mylo, "mari coba peruntungan kita."

"Hei, kami mau ke sebuah desa bernama Shakaleta, bawa kami ke sana," ucap Aalisha.

"Shakaleta, desa yang bagus untuk jadi tujuan. Dengan senang hati aku akan membawa kalian ke sana." Maka Clorovix melangkah pelan kemudian menyentuh gapura tersebut yang kini bersinar putih. "Mari, sentuh juga, oh jangan lupa pegang kuat-kuat tali kuda kalian agar mereka tak tertinggal. Setelahnya, kubawa kalian ke sana."

Aalisha melirik sesaat, lalu segera menyentuh gapura kura-kura tersebut, kemudian diikuti oleh Mylo. Kini tersisa Anila yang masih kurang mempercayai Orly tersebut, tetapi ia tidak bisa meninggalkan Aalisha dan Mylo, jadi mau tidak mau, percaya tidak percaya, ia ikut menyentuh gapura tersebut kemudian berujar pada Clorovix.

"Dengarkan aku, jika kau ternyata berbohong dan berkhianat pada kami. Maka aku pasti akan kembali dan mengejarmu hingga berhasil kubunuh kau," ancam Anila.

Semakin terang gapura tersebut bersinar, lalu di tengah terangnya cahaya putih, Clorovix tersenyum tipis. "Hamba takkan berkhianat, percayalah."

Setelah cahaya putih bersinar hingga menutupi seluruh tubuh ketiga murid tersebut, kedua kuda, beserta Clorovix, perlahan-lahan cahayanya meredup, kini hanya menyisakan sang Orly karena berhasil mengirim ketiga anak itu menuju desa yang menjadi tujuan mereka. "Bersenang-senanglah kalian."

****

Anila membuka matanya, ia berada di dekat papan nama bertuliskan Desa Shakaleta, melihat hal itu membuat Anila merasa bersalah karena telah menuduh yang tidak baik pada seorang Orly tua yang ternyata telah membantu mereka.

"Berutang budi kau padanya, mana sudah kau ancam," ejek Mylo.

"Kau juga ya, bukankah kau duluan yang berprasangka buruk padanya," balas Anila jadi kesal.

"Sudahi pertengkaran kalian, kalian berdua sama saja." Kini Aalisha berada di atas kuda, kemudian memacu kuda tersebut perlahan menuju desa Shakaleta yang terlihat beberapa orang sedang beraktivitas di sana.

"Hei, tunggu kami!" Mylo menaiki kudanya, "ayo, kau mau kutinggal?"

"Iya, iya," balas Anila lekas naik ke kuda tersebut kemudian Mylo segera memacunya agar seimbang dengan langkah kuda milik Aalisha.

Berada di sini, mereka sadar jika beberapa warga sedang menatap mereka ketika mereka bertiga mulai memasuki desa tersebut. Ada beberapa anak kecil sedang bermain kejar-kejaran kemudian sengaja berhenti untuk melihat dua kuda melintas, mereka menganga dengan mata membulat saking takjubnya, selain karena dua kuda ditunggangi orang asing dari luar desa ini, masih termasuk anak-anak pula, mereka takjub karena pakaian yang digunakan ketiga anak itu begitu mewah serta warnanya cantik. Ya, pakaian seragam Eidothea memikat para anak-anak itu.

Dikarenakan kedatangan Aalisha, Anila, beserta Mylo menarik perhatian para masyarakatnya. Sudah ada yang berlari menuju balai desa, tempat tinggal kepala desa Shakaleta kemudian segera membawa kepala desa tersebut menuju Aalisha dan lainnya yang sedang mengikat kuda mereka di sebuah tiang kayu yang memang khusus untuk mengikat tali kuda dan tempatnya para kuda beristirahat.

Para orang dewasa serta anak-anak yang sedari tadi bergerombol di sekeliling mereka, kini perlahan-lahan membukakan jalan untuk kepala desa mereka, maka lekas Anila, Mylo membungkuk untuk memberi salam, hanya Aalisha yang tak melakukannya. Lalu Sang Kepala Desa juga memberi salam yang sama.

"Suatu kehormatan kami mendapatkan kunjungan, terutama dari para murid Akademi Eidothea yang begitu termasyhur. Perkenalkan, namaku Tuan Alfonso, kepala desa di desa Shakaleta ini." Pria yang menjadi kepala desa itu ternyata cukup tinggi, badannya tidak gemuk dan tidak terlalu kurus rambutnya hitam sedikit putih, ia mengenakan pakaian sederhana, tetapi sangat rapi.

"Senang bertemu dengan Anda Tuan Alfonso, namaku Anila Andromeda, dia Mylo Cressida, dan Aalisha."

"Oh Dewa, suatu berkah bisa bertemu dengan dua bangsawan terhormat. Maafkan kami karena kami tidak bisa menyambut kalian sebagaimana layaknya. Karena tidak ada surat dari Eidothea yang datang dan mengabarkan kalau murid-muridnya akan berkunjung kemari," jelas tuan Alfonso yang begitu jelas wajahnya menunjukkan ketulusan.

Anila jadi merasa tak enak. Mereka kemari memang tidak menggunakan surat karena pihak Eidothea saja tidak tahu kalau mereka berkunjung ke desa ini. Kini apa yang harus mereka katakan pada tuan Alfonso? Terlebih lagi bagaimana cara mereka membahas akan Zephyr dan penyerangan bangsa iblis ke desa ini?

"Mengenai hal itu ...." Anila terdiam ketika Aalisha menepuk pundaknya kemudian gadis kecil Itu melangkah maju lalu menatap Alfonso yang ternyata cukup tinggi itu sehingga Aalisha harus mendongak untuk bisa melihat wajah dan manik mata pria tersebut.

"Kami meminta maaf juga karena telah mengejutkan Anda serta masyarakat di sini atas kedatangan mendadak kami." Aalisha berujar yang entah mengapa ia terlihat sudah terbiasa menangani masalah ini. Bahkan cara bicaranya seperti seorang bangsawan yang sering bernegosiasi dengan para pedagang dan masyarakat.

"Alasan pihak Eidothea tidak mengirim surat karena keadaan di sana cukup kacau," sambung Aalisha.

"Oh Dewa, apa yang terjadi di sana?" sahut seorang wanita yang ternyata salah satu masyarakat yang bertugas mengurus administrasi di desa ini. "Ah, maafkan atas ketidaksopananku menyela percakapan kalian. Perkenalkan namaku Salma."

"Ya tak masalah," sahut Aalisha tidak mau terlalu menanggapi wanita itu. "Akademi kami sempat diserang pasukan organisasi kriminal." Maka terdengarlah suara penuh rasa terkejut dari masyarakat yang mengelilingi mereka.

"Mengenaskan, lalu bagaimana keadaan di sana? Apakah baik-baik saja terutama murid-muridnya?" Alfonso berujar.

"Syukurnya keadaan kami baik-baik saja. Namun, bukan masalah yang terjadi di Eidothea sebagai poin pentingnya sehingga membawa kami ke desa ini. Ada hal genting yang harus kami bicarakan dengan Anda, kurasa Anda sudah bisa menebaknya terutama kabar yang akhir-akhir ini sering dibicarakan Lè Ephraim." Aalisha tersenyum tipis yang di mana perkataan gadis itu langsung dipahami tuan Alfonso.

"Aku mengerti." Alfonso menatap Salma dan memberi perintah pada wanita itu. "Salma, segera suruh Imron untuk menyediakan kamar tamu untuk anak-anak ini."

"Baik Pak," sahut Salma segera pergi.

"Kita akan membahas masalah genting yang kau maksudkan di kantorku langsung, mari ikuti aku," ujar Alfonso beranjak dari sana kemudian diikuti Aalisha dan lainnya.

****

Desa Shakaleta adalah salah satu desa yang berada di timur kerajaan Kheochiniel, jarak antara desa dan pusat ibu kota kerajaan sangat jauh yang memakan waktu hingga seminggu lebih lamanya untuk sampai kemari. Akses yang digunakan juga cukup sulit karena desa ini haruslah melewati bukit dan juga hutan belantara, kebanyakan penghuni desa harus menggunakan kuda untuk menuju ke desa-desa lainnya. Atas lokasi inilah, desa Shakaleta masih dikelilingi hutan, serta sungai yang terjaga keasriannya.

Kebanyakan masyarakatnya bermata pencaharian sebagai pemburu, mengurus perkebunan sehingga mereka bercocok tanam seperti buah-buahan, sayuran, serta jamur dan kacang, kemudian mereka juga berdagang karena semua hasil bercocok tanam itu haruslah dijual demi menghidupi keluarga. Selain itu, jumlah penduduknya tidak banyak, tidak pernah juga ada pendatang baru karenanya paling banyak jumlah jiwa di desa ini hanya mencapai 250, pernah dalam beberapa tahun hampir 280 jiwa lebih. Penduduk ini pun dihitung dari setiap Kepala Keluarga yang terkadang memiliki delapan anak.

Kebanyakan bangunan di desa ini terbuat dari kayu yang sangat kuat, seperti mahoni atau pohon gigas cedar, terkadang pohon ulin. Meskipun akses ke luar desa cukup sulit dan jarak ke desa atau kota juga jauh, tetapi pendidikan tetap berjalan di sini karena ada sekolah kecil yang sejak dulu murid-muridnya adalah anak-anak di desa ini pula, terkadang ada yang berasal dari desa sebelah, tetapi tidak banyak karena jarak ke desa paling dekat kurang lebih tiga jam.

Selain itu di desa ini ada pula panti asuhan karena puluhan tahun lalu banyak anak-anak yang kehilangan orang tua mereka, sehingga dibangun panti asuhan untuk mereka. Seiring waktu, panti asuhan ini tetap dipertahankan sebab dianggap berjasa dan menjadi peninggalan leluhur yang perlu mereka jaga. Kini pun, banyak anak-anak yang hidup sebagai yatim-piatu karena orang tua mereka mati entah karena penyakit.

Mirisnya dikarenakan desa ini dikelilingi di hutan belantara, terkadang ada masyarakatnya yang berada di perjalanan menuju desa lain untuk menjual hasil panen mereka, ternyata mereka menemukan bayi-bayi manusia yang dibuang oleh orang tua mereka. Para oknum ini pasti berasal dari luar desa, barangkali kota karena tak mau aib mereka diketahui orang-orang kota jadi jauh-jauh kemari hanya untuk membuang bayi mereka. Dikarenakan rasa kemanusiaan masyarakat di desa ini cukup tinggi, mereka pun membawa bayi yang ditelantarkan oleh orang tua tak bertanggung jawab itu kemudian diserahkan ke panti asuhan untuk dibesarkan dengan penuh kasih sayang dan ketulusan tanpa pandang bulu. Sungguh benar-benar miris karena tidak hanya sekali dua kali mereka menemukan bayi yang dibuang ke hutan dekat sini, terkadang dalam satu tahun, bisa total 10 bayi mereka temukan telah dibuang ke hutan di desa Shakaleta.

Para warga sudah membahas hal ini dengan kepala desa, lalu kepala desa menuju kota untuk membicarakan dengan petinggi di sana, sayangnya tidak benar-benar membuahkan hasil. Masih banyak bayi yang dibuang ke hutan padahal sungguh perbuatan ini sangat melanggar hukum dan tak berperikemanusiaan. Pernah suatu hari mereka menemukan bayi yang dibuang, lalu mereka hendak serahkan ke kota karena barangkali orang-orang kota mau mengadopsi anak tersebut. Namun, mereka malah mendapat penghinaan dan tak satu pun dari masyarakat kota hendak menerima bayi buangan tersebut, akhirnya mereka pulang sambil membawa bayi tak berdosa itu.

Sejak hari itu pula, kepala Desa mengatakan jika setiap bayi yang dibuang di dekat desa mereka, maka mereka akan terima bayi tersebut menjadi masyarakat mereka dan dibesarkan layaknya membesarkan anak-anak kandung sendiri. Kini panti asuhan di desa Shakaleta akan terus ada karena mengetahui jika banyak sekali anak-anak yang dibuang ke hutan dekat desa ini. Beruntungnya ada beberapa investor baik hati yang membantu untuk menyumbang di panti asuhan sehingga kebutuhan makan, minum, pakaian bagi anak-anak panti itu selalu tercukupi.

Lalu mengapa desa ini menjadi tempat disembunyikannya Zephyr?

Dijelaskan sejak awal, kalau kebanyakan penduduk di desa ini adalah penduduk asli, jika pun anak-anak panti adalah bayi yang dibuang, mereka sejak kecil sudah diajarkan cara hidup dan berperilaku layaknya masyarakat di desa ini. Berdasarkan pada cerita tentang kebaikan hati masyarakat ini, maka itulah yang menjadi alasan Zephyr disembunyikan di sini karena masyarakatnya tidak setamak masyarakat kota atau kaum bangsawan.

Selain itu, alasan desa ini tidak terlalu diperhatikan, sebenarnya bukan tak diperhatikan oleh pihak kerajaan, tetapi hanya diawasi diam-diam agar mencegah diketahuinya Zephyr berada di desa ini. Umumnya pasti berpikir jika sebuah desa dilindungi mati-matian karena ada sesuatu yang dijaga di desa tersebut. Sehingga jika desa seperti ini berjalan normal layaknya desa-desa yang lain, maka tak mungkin ada sesuatu atau benda penting yang disembunyikan di sini. Jelas inilah alasan Desa Shakaleta dipilih menjadi tempat disembunyikannya Zephyr.

Orang luar takkan mengetahui jika Zephyr disembunyikan di sini, sehingga dapat disimpulkan bahwa alasan Zephyr diketahui oleh organisasi Phantome Vendettasius karena ....

"Ada pengkhianat di dalam desa yang memberitahukan Zephyr pada organisasi kriminal itu, apa aku benar, Tuan Alfonso?" ujar Aalisha. Kini ia dan Anila serta Mylo berada di sebuah ruangan yang menjadi kantor kepala desa.

Sudah hampir satu jam mereka mengobrol dengan Aalisha, Anila, dan Mylo yang mengungkapkan tujuan mereka kemari serta pasukan Phantomius akan menyerang desa ini demi mendapatkan Zephyr.

"Ya, ada pengkhianat yang memberitahu pada organisasi kriminal itu jika salah satu kepingan Zephyr disembunyikan di sini," jelas tuan Alfonso yang cukup membuat ketiga murid Eidothea itu jadi terkejut.

"Itu artinya Anda sudah tahu kalau desa ini diincar para pasukan iblis," ucap Mylo yang lekas mendapat anggukan dari tuan Alfonso.

"Tentu saja aku tahu," sahut pria itu, "jauh sebelum media massa terutama Lè Ephraim mengangkat berita tentang pembantaian desa-desa, kami jauh lebih dulu tahu terutama karena masyarakatku yang melihat sendirinya pasukan Phantomius berdatangan. Karena ini, aku sebenarnya sudah mengirim perwakilan desaku menuju kota terdekat untuk meminta bantuan, tetapi orang yang kukirim mati di perjalanan."

Anila kemudian berujar, "Tuan Alfonso, bisakah Anda menerangkan secara singkat alasan lain mengapa Zephyr di desa ini?"

"Ya dengan senang hati kujelaskan secara detail mengenai Zephyr juga. Sebenarnya sejak pertama kali Zephyr disembunyikan di desa ini, leluhur keluargaku lah yang terpilih untuk melindungi Zephyr, terus-menerus layaknya warisan diserahkan pada setiap generasinya hingga padaku, sebenarnya pelindung utama adalah kakakku, tapi dia mati karena penyakit mematikan ...." Ada jeda cukup lama di perkataan tuan Alfonso.

"Lalu, meski masyarakatku tahu jika Zephyr disembunyikan di desa ini, tetapi hanya akulah yang tahu, tempat di mana Zephyr benar-benar disembunyikan serta mantra pelindungnya."

Mendengar perkataan tuan Alfonso membuat ketiga murid Eidothea itu menjadi lega karena Zephyr terlindungi dan sudah dipastikan bahwa mereka bisa mendapatkan Zephyr itu. Kemudian kalau kepingan Zephyr berada di tangan mereka maka Phantomius takkan bisa mengaktifkan kekuatan Zephyr secara sempurna karena satu kepingnya tidak ada.

"Syukurlah kalau begitu, kami hanya perlu mengambil Zephyr itu kemudian menyerahkannya pada profesor Eugenius agar dia segera bertindak," ujar Anila.

"Ya, jadi bisakah Anda memberitahu di mana Zephyr-nya berada? Kami janji akan melindungi batu itu sampai benar-benar di Eidothea," imbuh Mylo, "ya 'kan?" Ia lalu menyenggol siku Anila dan Aalisha secara bergantian.

Hanya saja, tuan Alfonso tidak kunjung menjawab, ia diam seribu bahasa dengan tangannya yang terlihat gemetar. Wajahnya menunjukkan ketakutan yang sangat kentara. Sungguh ketakutan itu kini tersalur ke Aalisha, Anila, dan Mylo, jadi ikut takut pula mereka. Sialan, kini mereka merasakan firasat sangat, sangat, sangat buruk!

"Ada apa Tuan Alfonso, kenapa Anda hanya diam?" ujar Aalisha. Dikarenakan tak ada jawaban juga, ia berujar lagi. "Apa Zephyr itu masih ada di desa ini?"

"Itu masalahnya." Alfonso berujar, "kepingan Zephyr itu menghilang."

"HAH!" Mylo membuat wajah yang benar-benar jelek saking ia terkejutnya dan tak habis pikir. "Hilang, bagaimana bisa hilang benda sepenting itu?! Oh tidak, mati kita."

"Tunggu, tunggu, bagaimana bisa hilang? Apa benda itu dicuri, dicuri oleh pengkhianat di desa ini? Namun, kalau benar dicuri kenapa Phantomius masih menargetkan desa ini!" ucap Anila sekali tarikan napas.

"Masalahnya Zephyr tidak dicuri oleh Phantomius atau pengkhianat desa, tetapi salah satu warga di sini yang paham akan sihir," jelas Alfonso, "dia ketahuan oleh kami, lalu kami sempat mengejarnya. Hanya saja kami gagal mendapatkan Zephyr kembali dan akhirnya hilang."

"Kok bisa?" sahut Mylo lagi yang semakin panik.

"Bisakah kau diam dulu, Mylo!" teriak Aalisha sangat kesal. "Bisakah tenang dulu, jangan panik."

Kini Aalisha memegangi kepalanya yang jadi pusing, kini dia berujar pada tuan Alfonso lagi. "Maaf Tuan Alfonso, tapi bisakah Anda menjelaskan secara rinci bagaimana bisa Zephyr dicuri dan menghilang?"

"Akan kujelaskan. Jadi di panti asuhan ada pria yang kupercaya untuk mengurus panti tersebut, dia bernama Boro. Pria itu kuanggap sebagai tangan kananku jika berkaitan dengan masalah di panti asuhan, ia juga sangat menyayangi anak-anak panti. Hingga suatu hari, dia curi-curi dengar di rapatku yang membahas kalau kemungkinan Zephyr di desa ini akan diincar bangsa iblis, maka semua masyarakat pasti dalam bahaya. Setelah mendengar hal itu, Boro mengatakan kegelisahannya jika Zephyr tidak harus di sini demi melindungi desa serta anak-anak panti. Namun, aku mengatakan jika semua akan baik-baik saja. Dia tak bisa percaya hingga akhirnya dia mulai mengorek-ngorek informasi mengenai Zephyr, lebih tepatnya mencari tahu di mana batu itu disembunyikan. Hingga pada suatu malam, dia berhasil mengetahuinya, Boro juga ahli dalam sihir, maka berhasil pula dia melenyapkan sihir yang kugunakan untuk melindungi Zephyr. Dan dia mendapatkan Zephyr, lalu ada kemungkinan karena telah menyentuh batu kekuatan itu, dia terpengaruh hasutan Zephyr dan berniat menggunakan Zephyr untuk dirinya sendiri.

"Namun, ia malah ketahuan oleh putraku, maksudku, putra dari kakakku yang kini berumur enam tahun, namanya Hozier. Putra kakakku berhasil merebut Zephyr kembali, hendak ia serahkan padaku, tetapi Boro menghentikannya. Lalu karena aku memasang pendeteksi jika Zephyr terlepas dari sihir pelindungnya, maka aku tahu jika batu itu telah dicuri, kukumpulkan warga untuk mencari pencurinya. Maka Boro yang ketakutan itu, pergi membawa Zephyr serta menculik Hozier. Aku dan beberapa warga lekas mencari keberadaan Boro serta harus mendapatkan Zephyr kembali dan juga putra kakakku. Kami memakan waktu satu hari lebih hingga mencari jauh dari luar desa untuk menemukan mereka."

"Apa Anda berhasil?" ucap Anila.

Tangis perlahan jatuh, tangan tuan Alfonso semakin gemetar. "Kami berhasil menemukan Boro dalam keadaan penuh luka dan bersimbah darah, masih sadarkan diri meski hampir diambang kematian. Lalu Boro mengatakan jika ia diincar oleh monster, sedangkan Hozier berhasil selamat, sementara itu Zephyr dibawa pergi oleh salah satu anjing peliharaan Hozier karena sejak awal anjing itu selalu mengikutinya. Mungkin Hozier ingin anjingnya membawa pulang Zephyr kembali ke desa. Setelah kematian Boro, kami terus-menerus mencari keberadaan Hozier dan anjingnya, barangkali juga anjing itu akan pulang ke desa sambil membawa Zephyr. Namun, sudah dua hari, tidak kunjung juga anjing itu pulang dan Hozier masih menghilang di luar sana. Begitu juga kepingan Zephyr-nya."

Kini Aalisha, Anila, dan Mylo benar terdiam membisu, tidak tahu harus menanggapi dengan kalimat apa. Separuh nyawa mereka barangkali sudah ditarik keluar. Mereka semakin tak mampu berkata-kata ketika tuan Alfonso menaruh ke dua tangan di atas meja, kemudian perlahan ia membungkuk di hadapan ketiga murid Eidothea itu. Tangisnya jatuh karena terlihat ada tetesan air di atas meja itu. Lalu suara serak terdengar begitu jelas. Ia memohon, sangat memohon pada mereka bertiga.

"Aku tahu aku sudah melakukan kesalahan besar karena lalai dan gagal menjaga Zephyr yang kini entah berada di mana. Para Phantomius mungkin akan tetap menyerang desa ini karena berpikir jika Zephyr masih ada di sini, kami tidak bisa meninggalkan desa ini pula yang menjadi satu-satunya rumah kami. Lalu kami berpikir jika lebih baik kami di sini untuk mengelabui para Phantomius sehingga mereka akan mencari Zephyr di sini.

"Aku tahu atas segala kesalahan yang kuperbuat, aku tidak pantas meminta hal ini pada kalian. Namun, aku menyerahkan harga diriku dan memohon pada kalian. Kumohon temukan kepingan Zephyr itu agar bangsa iblis tidak membawa kehancuran pada dunia ini lagi, aku mohon pula untuk menemukan putra kakakku. Dia sangat berharga bagiku, dia kuanggap sebagai putra kandungku sendiri. Aku sudah berjanji pada kakakku untuk melindungi putranya, jadi kumohon, bawa Hozier kembali dengan selamat. Aku yakin dia masih hidup di luar sana karena dia anak yang cerdas dan pandai menggunakan sihir, jadi sekali lagi kumohon bawa dia kembali."

Detik itu, mereka hanya bisa terdiam mendengar seorang pria tua menundukkan kepalanya dan memohon di hadapan mereka. Segalanya memang kacau terutama hilangnya Zephyr dan bangsa iblis akan tetap mengincar desa ini karena berpikir jika Zephyr masih berada di sini. Lalu hilangnya anak bernama Hozier menjadikan masalah ini semakin rumit. Meskipun begitu, seorang ayah memohon demi keselamatan putranya adalah hal yang menyentuh sekaligus menyayat hati.

Jika bangsa iblis baru bergerak seperti ini saja sudah membuat seorang ayah memohon demi keselamatan anaknya, lalu bagaimana jika bangsa iblis kembali menjajah dunia ini. Bayangkan berapa banyak manusia yang memohon agar anak-anak mereka tidak disiksa para iblis itu.

"Tuan, mengenai hal itu—"

"Baiklah," sahut Aalisha sebelum Anila berucap. "Kami akan berusaha, kami akan melakukannya."

"Aalisha!" Mylo lekas menoleh pada gadis kecil itu. Sungguh semua ini di luar rencana mereka! Tujuan mereka di sini adalah mendapatkan Zephyr agar tidak diambil bangsa iblis, tetapi Zephyr itu malah menghilang yang entah berada di mana sekarang ini! Lalu bagaimana mereka bisa menemukan Zephyr tersebut, apalagi menemukan anak bernama Hozier itu?!

"Bisa jadi dengan menemukan Hozier maka Zephyr bersamanya, ada kemungkinan anjing yang membawa Zephyr malah kembali pada Hozier." Aalisha berucap sambil menatap kedua manusia di sampingnya—Anila dan Mylo yang kini diam membisu.

"Terima kasih, oh Dewa, terima kasih atas kebaikan hati kalian mau membantuku, terima kasih! Aku benar-benar berutang besar pada kalian!" Tuan Alfonso berujar dengan tangis yang tak kunjung berhenti.

Anila menghela napas. Mereka sudah berada di sini, mana mungkin kembali dengan tangan kosong. "Ya, kami akan berdiskusi mengenai hal ini lagi, jadi izinkan kami untuk menggunakan kamar tamu yang telah Anda siapkan dan kami juga akan beristirahat."

"Baiklah, kami akan menyediakan makanan untuk kalian juga, sekali lagi terima kasih, terima kasih. Semoga Dewa selalu memberkahi kalian."

Kini mereka bertiga berdiri. Lalu memberi salam sebelum meninggal ruangan tersebut. Berada di luar, Aalisha baru teringat sesuatu jadi dia meminta Anila dan Mylo lebih dulu ke ruangan mereka beristirahat, sedangkan Aalisha harus menyelesaikan pembicaraan lain dengan tuan Alfonso, beruntungnya, Anila dan Mylo izinkan hal tersebut jadi mereka segera pergi sedangkan Aalisha kembali ke ruangan kepala desa itu kembali.

"Ah, Nona Aalisha, apa ada yang hendak kau bicarakan lagi?" ujar tuan Alfonso kini berdiri setelah merapikan beberapa dokumen.

"Ada yang hendak kubicarakan dengan Anda, tapi aku melupakannya." Aalisha sengaja hanya di depan pintu, tidak masuk ke dalam. "Aku langsung saja, Anda berkata sebelumnya jika ada pengkhianat di desa ini yang memberitahu pada Phantome Vendettasius jika Zephyr berada di sini. Apakah pengkhianat itu benar orang dalam yang tinggal di sini ataukah orang luar yang dekat dengan masyarakat di desa ini?"

"Pengkhianat itu, bukan berasal dari masyarakat desa, tetapi orang luar yang dekat dan sangat baik dengan kami."

"Bisakah Anda beritahu secara lebih jelas?"

"Ya, dia salah satu investor panti asuhan di sini, sudah setahun memberikan sumbangan pada kami. Terkadang dia berkunjung kemari juga, bermain dengan anak-anak panti, membantu dan bercengkerama dengan masyarakat sini. Dia seorang bangsawan yang sangat baik, tidak tercela. Namun, kenyataannya semua itu adalah kebohongan saja."

"Boleh aku tahu namanya?" ucap Aalisha.

"Dia seorang bangsawan dengan gelar Viscount, namanya Zen Robinett Lugaldaba."

Mendengar nama itu, Aalisha terkejut bukan main, tetapi ia mudah sekali mengontrol ekspresinya kemudian dia tersenyum tipis. "Terima kasih atas informasinya, Tuan Alfonso." Maka Aalisha lekas melenggang pergi dari sana.

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

Berikan satu kalimat untuk chapter ini? Ha ha ha anjir.

Apakah gue agak keterlaluan dengan profesor Ambrosia?

Akhirnya tiba juga Aalisha, Anila, dan Mylo di desa Shakaleta yang semakin saja misi mereka rumit^^ Tiada hari tanpa kesialan~

Prins Llumière

Minggu, 12 Februari 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top