Chapter 65

Di suatu malam, tidak ada awan hujan yang menutupi sehingga bulan benar-benar bersinar terang malam ini. Suara burung hantu terdengar berkicau menambah suasana sepi dan hening di sekitaran wilayah akademi yang semua penghuninya sudah berada di asrama masing-masing. Meskipun beberapa Orly penjaga terlihat ke sana-kemari di sekitaran kastil utama Eidothea.

Terdengar suara langkah kaki yang cepat karena sedang berlari, tetapi bukan langkah kaki yang menginjak lantai dan menyusuri koridor Eidothea, melainkan langkah kaki yang berlari di rerumputan, menginjak ranting-ranting kayu, melewati semak belukar, diam-diam bersembunyi dibalik pohon kemudian mengatur napas sesaat. Ketika terdengar suara langkah kaki yang lain di belakangnya, maka lekas ia berlari lagi karena tak mau tertangkap.

Kini dia berada di bagian barat Akademi, sedikit lagi setelah melewati kastil dan bangunan yang menjadi tempat latihan maka ia bisa keluar dari akademi ini. Namun, sebelum itu ia harus bebas lebih dulu dari seseorang yang sejak tadi tidak berhenti-henti untuk mengejarnya, sangat gigih juga.

"Mari bunuh satu, tak masalah, tak masalah. Aku akan langsung disenangi para Apos'teleous, aku akan mendapatkan kebanggaan." Dia adalah seorang pria dengan wajah benar-benar jelek, pakaian yang ia kenakan sudah sobek-sobek, rambutnya gimbal karena tak dikeramas beberapa hari atau ia sama sekali tak pernah mandi?

Kini manik matanya bergerak ke sana kemari karena mendengar langkah seseorang mendekatinya. Lekas pria bernama Vevede itu menarik pedangnya, meski bukan pedang magis miliknya dulu, tetapi tuan agungnya memberikan pedang baru ini. Ya, Vevede adalah seorang Phantomius yang menjalani salah satu perintah dari organisasi untuk membunuh seseorang di akademi ini. Kini setelah perintahnya terlaksana, dia secepatnya kabur, tetapi sayang sekali ada satu orang yang berhasil menyadari kehadiran. Maka orang itulah yang kini mengejar Vevede sejak tadi, serta begitu gigih. Namun, tak masalah, satu nyawa lagi lenyap di tangannya malah sangat bagus karena dia bisa menambah tumbal untuk batu Zephyr yang termasyhur itu.

Vevede menyelimuti seluruh tubuhnya dengan neith, ia takkan terdeteksi barrier di sini karena sudah dinonaktifkan berkat salah satu orang dalam yang berada di akademi. Diberkatilah para pengkhianat bangsa manusia yang melakukan semua ini demi Sang Raja Iblis, diberkatilah!

"Kau bodoh, manusia bodoh," ujar Vevede ketika terlihat sudah sosok yang mengejarnya meski tak jelas wajahnya. "Harusnya kau tak mengejarku jika tidak mau menemui kematian, tetapi kau malah menantang kematian. Khi hi hi, dasar bodoh, kini kau akan menjadi tumbal bagi bangsa Iblis!"

Vevede menatap pada sosok yang malah melangkah tanpa rasa gentar. Awalnya sosok yang mengejar Vevede tak terasa sedikit pun neith terpancar darinya, seolah begitu lemah, seolah seperti binatang yang takkan mampu melawan para pemburu. Namun, kini semakin sosok itu mendekati Vevede, mulai terasa neith yang begitu besar, aura yang menyeramkan, kekuatan yang seolah menekan musuh-musuhnya dengan begitu mudah, ibarat seekor harimau yang siap menerkam mangsanya. Hal itu pula yang membuat seluruh tubuh Vevede gemetar hebat, giginya yang gemeretak itu terdengar, ia sama sekali tidak bisa memegang dengan benar pedangnya. Ketika ia menatap sosok itu, kini terlihat jelas manik mata biru tanzanit yang menjadi pertanda bahwa Vevede telah menemui malaikat kematian. Vevede telah salah menantang seseorang.

"Tidak, tidak mungkin. Mengapa, mengapa harus kau ... mengapa!"

Sosok itu kini benar-benar terlihat jelas, memperlihatkan seorang lelaki dibalut kaos hitam dengan jaket biru tua, celana hitam kotak-kotak, sandal berwarna hitam pula. Wajahnya yang tampan bak diukir oleh pemahat terhebat di Athinelon ini terpampang jelas ketika cahaya bulan menyinarinya. Senyumannya terukir, memperlihatkan gigi putihnya, serta semakin indah manik biru matanya—sebiru batu tanzanit, sebiru laut ciptaan para Dewa. Perlahan selubung neith bersinar di tangan kanannya yang terciptalah sebuah pedang panjang nan sangat tajam.

Vevede semakin ketakutan, ia menggigit kuku jarinya. Suatu kesalahan ia berada di sini. Suatu kesalahan ia menantang sosok yang ada di hadapannya itu! "Kenapa kau, tidak, jangan kau, Hamba mohon, jangan, jangan bunuh Hamba, berikan Hamba kesempatan hidup."

"Menjijikkan, ketika tahu akan menemui kematian, baru kau memohon ampun?" Suara lelaki bermata biru itu terdengar.

"Tolong, tolong, aku minta ampun. Aku tak bermaksud mengusikmu Tuan Kieran Zalana, kumohon biarkan aku—arghhhhhhhkkk."

Vevede berteriak lalu menjerit-jerit kesakitan, darah menyembur ketika satu tebasan pedang mengenai bahunya yang tak lama kemudian, lengan kiri Vevede putus lalu jatuh ke tanah, darah merah segar menggenang di rerumputan. Wajah Vevede sedikit terkena muncratan darahnya. Ia langsung ambruk ke tanah, tangan kanannya menahan darah yang terus-menerus keluar dari bahu akibat lengannya yang putus. Suaranya terus menjerit, ia hendak menyeret kedua kakinya pergi dari sana. Namun, rantai besi keluar dari tanah, seketika menjerat kedua kaki Vevede hingga tak mampu bergerak.

Athreus menatap Phantomius menyedihkan ini. Lalu diangkat pedangnya kemudian ditusuk ke kaki Vevede hingga jeritan kencang terdengar kembali. Darah memuncrat pula dari mulutnya bersamaan rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Haruskah kupotong juga kakimu ini karena berani sekali kauberniat kabur dariku?" ucap Athreus yang tersenyum dengan manik matanya nampak biru sekali.

"Tidak ... jangan, ampuni aku, ampuni aku ...." Vevede bersujud, dahinya benar-benar menyentuh tanah, ia terus memohon sambil kesakitan karena bahunya mengeluarkan banyak darah.

Suara langkah kaki terdengar di belakang Athreus. Lalu datanglah lelaki bermanik mata ungu serta gadis bermata amber dengan wajah cantiknya. Lekas keduanya mendekati Athreus.

"Gila kau ya, apa kau berniat membunuhnya!" teriak Eloise, "dia harus diinterogasi dulu, jangan kau bunuh."

"Aku tak membunuhnya!" sahut Athreus langsung mencabut pedangnya dengan sangat cepat hingga suara jeritan Vevede terdengar lagi.

"Kau memotong bahunya bodoh! Dia akan mati nanti," balas Eloise, "Nicaise, hentikan pendarahannya!"

"Kenapa tidak kau saja?" sahut Nicaise.

"Nicaise!" Suara Eloise meninggi.

"Iya, iya bawel." Nicaise sempat mengejek Eloise sebelum mendekati Vevede yang masih dalam posisi sujudnya sambil menahan rasa sakit. Menyedihkan sekali pria ini. Jika manusia lain pasti sudah mati sejak tadi, tetapi Vevede masih bertahan, jelas karena dia adalah Phantomius. Namun, entah Phantomius atau bukan, semua tetap sama jika di hadapan Majestic Families, ya mereka semua hanyalah makhluk rendahan.

"Athreus setelah kugunakan segelku, lepaskan mantramu," ujar Nicaise sambil mengarahkan tangannya ke hadapan Vevede.

"Ya," balas Athreus, terlihat pedang yang ia bawa perlahan-lahan menghilang.

"Healing technique, Von Havardur Family, Sana Vulnera Sangui."

Maka dengan mantra yang Nicaise ucapkan, perlahan sihir penyembuh membuat seluruh tubuh Vevede diselimuti neith ungu yang kini bahu yang habis ditebas Athreus dan terus mengucurkan darah, kini perlahan-lahan darah itu tak menetes lagi, lalu terlihat dari bahu yang kulitnya sobek, dagingnya terpampang jelas, tulang yang hancur, kini pelan-pelan serat-serat daging saling menyatu hingga menutupi bahu tersebut meski takkan bertahan lama, kini darah tak keluar lagi. Kemudian berkat sihir Nicaise jugalah luka di kaki akibat ditembus pedang Athreus perlahan sembuh juga.

"Quinque Punctum Sigillum." Setelah terlepas sihir Athreus, kini tergantikan dengan sihir jenis penyegelan yang berupa kawat besi dengan menjerat lima titik dari tubuh Vevede sehingga tak sedikit pun Phantomius itu mampu menggerakkan tubuhnya.

"Bagus," ujar Eloise, kini melangkah pelan menuju Vevede yang ternyata meneteskan air mata karena ketakutan. "Jadi mari mulai interogasinya." Maka tersenyumlah Eloise, senyuman yang sangat menawan dan cantik serta penuh racun membunuh.

****

Di akademi Eidothea, sebelah utara akademi ada istal yang dulunya berupa kandang para kuda, tetapi sudah tak digunakan karena kuda-kuda sudah dipindahkan ke istal yang lebih bagus. Rumornya istal lama ini hendak dibangun ulang menjadi kandang binatang magis lain, tetapi karena binatangnya belum ada jadi tak kunjung juga dibangun ulang.

Suara pintu istal terdengar, cahaya merah menyelubungi bagian dalam istal tersebut. Lalu lentera-lentera di dinding kayu istal yang agak reyot langsung bercahaya semua, menerangi dalam ruangan tersebut.

Maka terlihat pemandangan yang cukup menyeramkan hampir terkesan seperti kurang memanusiakan manusia atau memang pantasnya tidak dimanusiakan? Ya, pemandangan itu setara dengan penggambaran seorang psikopat atau pembunuh berantai barangkali ilmuwan gila yang berada di salah satu laboratorium percobaan atau ruangan penyiksaan yang penuh dengan alat-alat penyiksa tak manusiawi dan salah satu bahan percobaannya yang sayangnya bukan binatang melainkan manusia hidup.

Tidak, jangan berpikir jika manusia itu hendak diubah menjadi anjing laut atau kelabang, tetapi manusia itu dirantai tangan kanannya karena tangan kirinya sudah putus, kedua kakinya juga di rantai bahkan leher. Rantai-rantai itu berasal dari sebuah pentagram sihir berwarna merah sedangkan seluruh tubuh manusia yang dijadikan percobaan itu terjerat kawat besi di lima titik tubuhnya.

"Terlalu berlebihan," ujar Athreus menatap pada Eloise yang merantai Phantomius di depan mereka ini.

"Suka-suka akulah," jawab Eloise, "kan aku yang menginterogasinya."

"Ya, iya sih, tapi apa kau bisa lebih normal? Kau mirip pembunuh berantai dalam novel-novel yang kubaca bahkan pembunuh berantai asli pun akan takut padamu." Nicaise menimpali.

"Tidakkah kau butuh kaca Nicaise, kau pun sama, Athreus juga sama," balas Eloise.

"Hei, kenapa malah bawa-bawa namaku?" Athreus tidak terima perkataan Eloise itu.

"Kenapa malah kau sangkal, kau yang pertama kali memotong lengannya dasar gila!" Eloise tidak habis pikir. Bagaimana bisa Kieran Zalana itu berpikir dirinya bukanlah pembunuh berantai padahal dia menebas lengan seseorang beberapa menit lalu.

"Aku melakukannya agar dia tak kabur dan menyerangku," sahut Athreus asal saja. Masih bisa mereka bertiga bertengkar dan saling sahut-sahutan padahal di dekat mereka, lebih tepatnya, sandera mereka yang akan segera diinterogasi mulai kesakitan lagi karena lengannya yang putus kembali berdarah. Sepertinya Nicaise sengaja tidak menyembuhkan total agar Phantomius itu merasakan sakit pelan-pelan.

"Baiklah, bisa kita sudahi semua ini dan lekas interogasi Phantomius itu sebelum malaikat kematian mencabut nyawanya!" ucap Nicaise.

"Ya, aku setuju," sahut Eloise lalu beralih pada Phantomius itu. "Lekaslah bangun, aku tahu kau sadar dan mendengar suara kami."

Sayangnya Vevede tidak juga menuruti perkataan Eloise. Phantomius yang menyedihkan itu masih dengan kepala tertunduk lemas dan mata tertutup rapat. Athreus yang tahu jika Vevede hanya berpura-pura, jadi lelaki itu memberi peringatan. "Sudahi aktingmu, sebelum kau menderita karena gadis Clemence ini."

Tidak juga Vevede mendengarkan dan memahami maksud dari perkataan Athreus jika ia tak segera mendongak dan menatap Eloise, niscaya dia akan sangat menderita karena amarah Eloise.

"Dasar tikus got menjijikkan," ujar Eloise lalu menjentikkan jarinya.

Seketika pentagram sihir milik gadis itu bercahaya lalu rantai dan kawat besi mengelilingi tubuh Vevede memerah dan memanas. Ya, kini panas itu menjalar ke tubuh Vevede yang terasa seperti diceburkan ke lahar panas, maka jeritan terdengar melengking, Vevede meronta-ronta kesakitan, sayang sekali ia tak bisa lepas dari jeratan rantai dan kawat besi. Ia mengejat-ngejat seolah seseorang yang menghadapi sakaratul maut, matanya melotot, mulutnya mengeluarkan busa, seluruh tubuhnya banjir keringat. Harusnya ia mati saja, lebih baik seperti itu, tetapi Eloise tak mengizinkan jadi dihentikan sihirnya. Maka kini Phantomius itu sudah sadar, tidak berakting berpura-pura pingsan seperti tadi lagi.

"Kan sudah kukatakan," ujar Athreus.

Eloise menggunakan sihir sehingga tercipta kursi di belakangnya kemudian ia duduk di kursi tersebut sambil menatap pada Vevede yang meskipun sadar, ia tak berani menatap manik mata Eloise.

"Kau pasti tahu aku siapa 'kan? Eloise Byatka Clemence, aku bisa membuat kerongkonganmu terasa sangat menyakitkan seolah dilumuri air raksa atau kucongkel kedua matamu dan kuganti dengan bara api."

Vevede merasakan tubuhnya gemetar hebat, giginya jadi gemeretak karena rasa takut atas setiap perkataan dari Eloise Clemence. Ia sangat paham konsekuensi jika bertemu dengan keturunan Majestic Families yang dikenal sekejam para Kepala Keluarganya. Vevede nekat ke akademi Eidothea karena ia tak berpikir jika akan dipertemukan dengan para Majestic Families ini.

"Sepertinya kau paham maksudku, bagus sekali tikus got menjijikkan. Jadi bagaimana jika kita mulai saja dengan menjawab secara jujur setiap pertanyaanku." Eloise mengangkat tangannya dengan jari yang siap ia jentikan. "Setiap kebohongan yang kau katakan, maka akan kubuat besi-besi ini memanas hingga membuat seluruh dagingmu matang, karenanya jawablah dengan jujur. Mengerti."

Maka Vevede mengangguk dua kali. Eloise melirik pada Athreus dan Nicaise yang memberi isyarat untuk mempersilakan Eloise bertanya lebih dulu. "Bisa katakan secara jujur siapa namamu? Dan apa yang kau lakukan kemari?"

"Namaku Vevede Gorman. Aku kemari karena mendapat perintah dari organisasi untuk membunuh seseorang di sini, serta jika bisa aku harus membunuh manusia-manusia lain."

"Apa kau berhasil membunuh targetmu? Dia perempuan atau laki-laki atau keduanya? Kau berhasil membunuh lebih dari satu?" tanya Eloise.

"Ya, aku berhasil membunuhnya. Dia seorang perempuan, aku hanya berhasil membunuhnya saja."

Mendengar perkataan Vevede, Eloise segera melirik pada salah satu Majestic Families di belakangnya. "Nicaise."

"Aku paham," ujar Nicaise berbalik kemudian berujar, "Xerafhim, aku memanggilmu."

Muncullah di hadapan Nicaise, sosok Orly dengan pakaian hitam serta mengenakan topeng berwarna putih. Orly bernama Xerafhim itu perlahan membungkuk sebagai pertanda penghormatan pada Tuan Agungnya yaitu Nicaise. "Apa perintahmu, Master-ku."

"Temukan manusia yang dibunuh oleh Phantomius itu, cek juga seluruh kastil akademi, jangan sampai ketahuan para pengajar terutama Profesor Eugenius. Lalu laporkan keadaan ini padaku lagi, laksanakan segera."

"Hamba laksanakan," sahut Xerafhim kemudian menghilang begitu saja.

Merasa Nicaise sudah memerintahkan Orly-nya, Eloise kembali menatap Vevede. "Aku lanjutkan, apa kau tahu penyerangan pasukan minotaur terhadap akademi ini? Siapa dalang dibalik penyerangan itu dan apa tujuannya?"

Sesaat Vevede diam, lalu ia berujar, "ya, aku tahu mengenai penyerangan Itu. Salah satu Tuan Agung Phantome Vendettasius adalah dalang dari penyerangan tersebut, dia menggunakan pasukan minotaur untuk membunuh para murid di sini. Tujuan dari semua itu demi memenuhi perintah Raja Iblis. Kami harus mencari tumbal sebanyak mungkin dari bangsa manusia demi kebangkitan bangsa iblis."

"Tumbal," sahut Eloise agak terkejut.

"Jangan bilang," imbuh Athreus, "hei keparat. Apa penyerang dan pembantaian terhadap desa-desa kecil yang akhir-akhir ini terjadi, juga untuk mencari tumbal?"

Cukup lama Vevede diam. Membuat Eloise dan lainnya jadi jengkel, maka Eloise berujar, "jawab! Kenapa kau diam!" Lekas Eloise menggunakan sihirnya hingga Vevede merasakan sakit, ia menjerit-jerit, tetapi kali ini ia tak berniat memohon ampun karena disela-sela tubuhnya yang terasa panas itu, Vevede tertawa kencang.

"Hahahahahaha. Benar, benar sekali! Kami para pengikut Raja Iblis membantai manusia-manusia itu demi kebangkitan bangsa Iblis yang sebentar lagi akan meruntuhkan seluruh kerajaan ras makhluk hidup di muka Athinelon ini, terutama kerajaan bangsa manusia. Kalian akan binasa segera di tangan kami!"

"Apa yang akan kalian lakukan dengan semua tumbal itu," ucap Nicaise, matanya bersinar ungu yang seketika kawat besi di sekujur tubuh Vevede menjadi erat, semakin kencang dan kapan saja siap mencincang tubuh itu menjadi bagian-bagian yang kecil.

Darah keluar dari mulut Vevede, tetapi Phantomius itu masih bisa tersenyum lebar dan tertawa. "Apa kalian tahu Zephyr Stone? Batu kekuatan yang pernah meruntuhkan kerajaan manusia di zaman kuno, kini akan meruntuhkan kerajaan manusia untuk kedua kalinya lagi!"

Sekonyong-konyong rantai yang menjerat tangan kanan dan kedua kaki Vevede seketika ditarik sehingga membuatnya menjerit kesakitan, ia merasa seolah-olah kedua kaki dan tangannya itu hendak ditarik sampai daging-dagingnya robek dan putus serta terlepas dari tubuhnya.

Meski Vevede tersiksa, Eloise, Athreus dan Nicaise masih bersikap tenang bahkan ketika mereka mendengar nama batu kekuatan itu, mereka masih cukup tenang. "Bukankah batu itu sudah dihancurkan menjadi enam bagian dan disebar? Lalu bagaimana kalian bisa memilikinya?"

"Kau mempertanyakannya 'kan, kau mau jawabannya 'kan? Lihatlah kalian ini, kekaisaran dan kerajaan di sini yang meremehkan bangsa iblis. Sampai kalian tak sadar jika keruntuhan kalian sebentar lagi akan datang—ARRRGGGHH."

Sukses rantai Eloise merobek paha kanan Vevede dan putus dari tubuhnya. Darah menyembur dari paha yang terpisah dari betisnya. Genangan darah terbentuk di lantai kayu. Jeritan yang melalang buana ibarat genderang ditabuhkan itu terdengar, sayangnya takkan terdengar keluar istal ini karena Nicaise sudah memasang selubuh neith yang kedap suara. Setelah puas melihat Vevede menjerit kesakitan, tangan Eloise bergerak ke betis Vevede yang terpisah dengan tubuhnya itu, satu telunjuk di dekatkan, kemudian percikan api tercipta hingga membakar betis tersebut yang perlahan hangus hingga menjadi abu. Eloise lalu mengendurkan rantainya.

Nicaise maju selangkah kemudian mengarahkan tangannya ke hadapan Vevede. "Sana Vulnera Sangui." Maka ia kembali mengobati kaki kanan Vevede yang sudah putus, dihentikan pendarahan, dibuatnya kulit-kulit paha itu saling menyatu agar tak ada darah yang keluar lagi. Mereka akan terus melakukan ini agar Vevede tidak menemui kematiannya sebelum menjawab seluruh pertanyaan mereka.

"Terima kasih Nicaise. Vevede, jawab aku. Dari mana kalian temukan Zephyr itu?" ujar Eloise dan suaranya semakin rendah.

"Kami hanya mengikuti perintah dari atasan kami, salah satu Apos'teleous yang memberitahu lokasi dari keenam Zephyr, kepingan Zephyr pertama ditemukan lebih dulu dibandingkan Zephyr lainnya. Kepingan itu ditemukan di luar kerajaan Kheochiniel, kepingan pertama ini yang berhasil kami gunakan untuk menggagalkan ekspedisi militer zero domain dari pihak manusia yang berniat mengambil alih wilayah kekuasaan bangsa iblis. Setelahnya kami mulai mencari kepingan kedua dan sisanya dimulai dari tiga bulan lalu."

"Apa kepingan itu berada di wilayah Kheochiniel?" Athreus akhirnya berucap.

"Ya, kalian tahu sejak Zephyr berhasil diambil alih Majestic Families kemudian mereka bagi Zephyr menjadi enam keping karena Zephyr sejatinya tak bisa dimusnahkan. Namun, karena mereka tak mau menyimpan Zephyr jadi kekaisaran Ekreadel menyebarkan Zephyr ke desa-desa, seiring waktu, Zephyr selalu berpindah tangan untuk mencegah digunakan oleh manusia tamak. Hingga beberapa kepingan Zephyr berada di sekitaran wilayah Kheochiniel. Berada di beberapa desa yang kami bantai."

"Sudah berapa banyak kepingan yang kalian temukan?" ujar Eloise, "jika kau berbohong, kutarik lagi paha kirimu."

"Empat, kami sudah temukan empat kepingan Zephyr. Kini sudah berada ditangan pemimpin yang menjalankan misi ini," ujar Vevede yang matanya sudah mulai redup, ia mulai hilang kesadarannya.

"Artinya tersisa dua lagi," imbuh Nicaise, "kita lumayan terlambat."

"Di mana dua Zephyr yang tersisa?" ucap Eloise.

"Aku hanya tahu satu karena para Phantomius dibagi menjadi beberapa kelompok untuk membantai manusia-manusia dan mencari Zephyr. Yang aku tahu, Zephyr dengan kepingan paling kuat ada di Desa Shakaleta. Pembantaian terhadap desa itu takkan lama lagi." Sudah hampir diambang batas, kesadaran itu akan hilang, napasnya saja tidak beraturan.

"Pertanyaan terakhir," ujar Nicaise, "siapa Apos'teleous dan pemimpin yang memerintahkan kalian untuk misi Zephyr ini?"

Sayangnya, Vevede tidak berucap lagi. Kepalanya tertunduk dengan mata terbuka, begitu pula mulutnya yang menganga lebar. Namun, jantungnya berhenti berdetak.

"Sial, Eloise buat dia bangun!" ucap Athreus.

"Hei! Bajingan, jangan berpura-pura mati!" Eloise menjentikkan jarinya membuat besi-besi yang merantai tubuh Vevede memanas. Namun, Vevede tidak menunjukkan reaksi apa pun.

"Keparat dia mati!! Ini semua karenamu sialan Eloise, makanya jangan kau siksa dia!" teriak Athreus sambil mengacak-ngacak rambutnya.

"Diamlah! Dia menyebalkan, apalagi tawanya, makanya aku kesal!" balas Eloise berdiri dari kursinya.

Athreus menatap nyalang pada Eloise. "Alasan! Kau itu memang psikopat gila, dasar Clemence! Kau dulu juga pernah melakukan kesalahan seperti ini!"

"Sudahlah! Dia juga sudah mati, percuma kau berteriak padaku!" Eloise berbalik menatap pada Nicaise. "Nicaise, gunakan kemampuan mistismu, arwahnya pasti masih di sini, jadi bicaralah padanya selagi masih bisa sebelum benar-benar ditarik ke Gehenna."

Nicaise bersedekap sambil menatap sinis pada Eloise. "Kau yang salah, malah menyuruhku berbicara pada arwahnya untuk memperbaiki kesalahanmu?"

"Tidak usah banyak bicara! Lakukan saja, atau kita akan semalaman di gubuk ini! Tidakkah kau tahu jika aku sudah lelah!" Suara Eloise meninggi, ia bisa-bisa membakar gubuk ini saking lelah dan kesalnya.

"Dasar perempuan egois dan tidak stabil, gila," balas Nicaise, berangsur-angsur mendekati tubuh Vevede.

"Permisi Tuan Von Havardur, barusan kau bilang apa?" sahut Eloise

"Tutup mulutmu sebelum kuurungkan niat berbicara dengan arwah manusia ini!" Nicaise menatap nyalang pada Eloise dengan manik matanya bersinar ungu.

"Ya, ya baiklah maaf, jadi lakukan dengan cepat."

Nicaise hanya bisa menghela napas dengan tingkah Eloise ini. Kini tangan Nicaise diletakkan di atas kepala Vevede. Perlahan tubuh Vevede bersinar ungu karena diselimuti neith milik Nicaise. Salah satu kemampuan mistis keluarga Von Havardur selain dihormati para Orly dan bisa meminjam kekuatan mereka. Keluarga ini juga bisa berbicara pada arwah manusia entah yang baru mati atau sudah mati cukup lama. Namun, syarat untuk berbicara dengan arwah ini, mereka harus menyentuh bagian tubuh atau mayat dari targetnya. Jika tak ada, maka syarat menggunakan kemampuan ini takkan berhasil.

Athreus bersedekap memperhatikan Nicaise. Ia merasa ada yang aneh, lalu tercium bau gosong. Maka disadarinya jika bau gosong itu berasal dari tubuh Vevede. "SIALAN, MENJAUH DARINYA!"

Eloise dan Nicaise yang menyadari hal ini juga, lekas mereka melompat menjauh dari tubuh Vevede yang perlahan-lahan bersinar kemerahan karena ada semacam sihir ditanam di dalam tubuh tersebut. Maka tak butuh waktu, tubuh Vevede langsung meledak, ibarat bom yang dilemparkan. Beruntungnya Athreus berhasil menciptakan selubung pelindung sehingga mereka tidak terkena ledakan, tetapi asap-asap hitam memenuhi istal ini. Tidak bisa dibiarkan keluar istal karena pasti akan ketahuan Orly penjaga. Maka terpaksa Eloise menggunakan kemampuan mistisnya yang berhasil menghilangkan asap hitam tanpa perlu dikeluarkan keluar istal.

"Bajingan!" sahut Nicaise jadi kesal. "Sejak awal dia menanamkan sihir itu dalam tubuhnya."

Tubuh Vevede yang meledak itu tidak menyemburkan organ dalamnya, tidak pula ada darah menggenangi istal ini karena ledakan tubuh Vevede berubah menjadi abu, tetapi dalam sekejap abu itu sudah tak ada di sana karena menghilang bersama dengan asap-sap hitam tadi. Kini menghilanglah Phantomius, sandera, sekaligus bukti mereka. Bahkan mereka tidak sempat mendapatkan jawaban dari pertanyaan terakhir tadi.

"Jadi kau tak bisa bicara pada arwahnya?" ujar Eloise.

"Tidak, kau tak lihat jika tubuhnya hilang karena ledakan itu! Aku harus menyentuh bagian tubuhnya agar bisa berbicara pada arwahnya." Nicaise menyahut, ia sudah kesal sekali.

"Baiklah, mari tenang." Athreus berujar, "tak masalah karena informasi yang kita perlukan sudah lebih dari cukup. Kini sebagian praduga dari kita benar jika para Phantomius yang membantai desa-desa itu karena ada tujuan tertentu. Lalu penyerangan minotaur ke akademi ini juga termasuk pembantaian. Sayangnya aku tak menyangka jika mereka hendak menggunakan Zephyr lagi."

Eloise setuju dengan pernyataan Athreus. "Kini semuanya perlahan-lahan menjawab semua praduga kita. Zephyr, salah satu batu kekuatan yang dibuat bangsa iblis dengan mengelabui bangsa manusia, elf, dan siren untuk menciptakan batu kekuatan yang dapat mempengaruhi setiap makhluk hidup. Cara aktif dan agar memperkuat Zephyr dengan tumbal dari salah satu bangsa itu atau keempat bangsa itu sekaligus. Tumbalnya juga harus baru dan tidak boleh terlalu lama."

Athreus menyambung perkataan Eloise. "Pantas saja mereka mengincar desa-desa yang jauh dari pengawasan kerajaan dan kekaisaran untuk mempermudah pembantaian. Lalu seperti yang kita diskusikan sebelumnya jika desa-desa dibantai itu, masyarakatnya dijadikan tumbal, lalu jarak antara pembantaian adalah tiga hari dengan populasi desa yang diincar sebagai penumbalan harus di atas 90 jiwa. Di bawah dari itu, maka desa itu akan selamat dari pembantaian."

"Berdasarkan perkataan Phantomius itu, tersisa dua Zephyr yang belum ditemukan. Salah satunya berada di desa Shakaleta. Bukankah itu desa yang pernah dipercaya kekaisaran untuk menjaga benda pusaka, jadi benda pusaka yang dimaksudkan itu adalah Zephyr? Makanya desa itu diam-diam dianggap tidak penting agar tak satu pun curiga jika Zephyr di sana," ujar Nicaise, "lalu Shakaleta lumayan jauh dari sini, perlu menaiki kuda atau menggunakan salah satu pintu teleportasi untuk ke sana."

"Ah, iya aku ingat. Pintu teleportasi yang bisa menuju ke desa itu ada di dekat patung kesatria yang di luar wilayah Elysian 'kan?" imbuh Athreus.

"Benar, kalau begitu ...." Nicaise menatap pada kedua kawannya ini.

"Sudah diputuskan," sahut Athreus, "mari temukan Zephyr dan bantai balik para Phantomius itu!"

"Aku setuju, tersisa dua dengan satu kepingan di desa Shakaleta. Karena desa itu belum dibantai maka kita bisa menyusul ke sana dan dapatkan Zephyr-nya," timpal Eloise.

"Sialan kalian, padahal sudah diperingatkan profesor Astrophel agar kita tidak berbuat ulah," ujar Nicaise, "Nathalia juga takkan setuju."

"Profesor Astrophel sedang tak ada di sini, jadi abaikan saja dia," sahut Eloise. Tanpa rasa bersalah hendak mengabaikan larangan gurunya. "Beberapa profesor sedang ada urusan juga di luar akademi. Profesor Xerxes ada urusan keluarga Nerezza, profesor Rosemary juga tak ada. Oh ayolah, kesempatan kita bermain keluar akademi ini. Untuk Nathalia, jangan beritahu dia, aku malas kalau dia berceloteh panjang pada kita. Ya 'kan, masalah usai, ayo pergi."

"Lagian kalau kita berhasil mendapatkan Zephyr-nya, kita akan diberi poin tambahan juga oleh pihak Akademi! Jadi ayo pergi." Athreus berujar sambil mengangkat tangannya maka lekas Eloise menyambut tos tangan Athreus itu.

"Oh Dewa, kalian memang sialan. Baiklah, baiklah aku setuju. Namun, sebelum itu ...." Nicaise memunculkan semacam tombak yang kemudian dilemparnya ke arah sampingnya, tepat ke dinding istal yang sukses lembing tersebut menembus dinding kayu tersebut. "Keluarlah kalian para penguping!"

"Apa, ada penguping?" sahut Eloise, "aku tak merasakan neith apa pun dari luar!"

"Hei aku juga, bagaimana bisa!" teriak Athreus.

"Tentu karena salahku memasang barrier menyelimuti istal ini yang menyembunyikan neith kita, sekaligus kita tak bisa merasakan neith dari luar." Nicaise menatap pada dinding istal tersebut, tetapi para penguping itu tidak kunjung menjawabnya. "Hei keluar kalian! Xerafhim, bawa mereka kemari!"

Maka Xerafhim menyeret para penguping tersebut menuju pintu istal, kemudian mereka masuk secara bersamaan. Sontak Eloise dan Athreus terkejut bukan main ketika mendapati para penguping yang dimaksudkan oleh Nicaise adalah ....

"SIALAN, KALIAN BERTIGA!" teriak Eloise. Tidak ia sangka jika para penguping adalah tiga adik tingkat mereka yang sering menghebohkan akademi, terutama gadis pendek yang kini menatapnya dengan tatapan sangat menyebalkan.

"Ha—halo," sapa Mylo sambil nyengir.

"Nggak usah sapa halo, bodoh!" balas Eloise.

Athreus hendak tertawa, ia rasa ini sangat lucu. Aneh sekali karena Athreus dan lainnya tak sadar jika tiga adik tingkat itu sedang menguping mereka. Lalu apa-apaan ini, mereka sama sekali tidak takut pada Majestic Families? Padahal murid-murid lain enggan ikut campur masalah jika seorang Majestic Families terlibat di dalamnya. Namun, lihatlah mereka bertiga, terutama si gadis kecil berbalut kaos ungu serta cardigan dengan rambutnya sebagian dikepang, paling tidak menunjukkan rasa takut.

"Sejak kapan kalian menguping kami?" tanya Athreus bukannya kesal atau marah seperti Eloise, tetapi menganggap semua ini adalah keseruan.

"Tidak usah ditanya, kita bakar saja mereka!" sahut Eloise.

"Oh ayolah Eloise tenangkan dirimu, dasar nenek sihir pemarah," balas Athreus.

"Kau bilang apa, hah!" Kini Eloise harus membakar Athreus dulu baru ketiga adik tingkat di depannya.

Nicaise geleng-geleng kepala. "Baiklah, aku saja yang bertanya. Mengapa kalian di sini?"

"Bukankah sudah kau tahu, kami menguping pembicaraan kalian," sahut Aalisha dengan wajah dibuat-buat, sengaja untuk mengejek ketiga Majestic Families.

"Jawablah dengan lebih sopan pada kami, dasar gadis kasta bawah!" sahut Eloise.

"Eloise," ucap Athreus menahan gadis Clemence itu yang hampir meledak-ledak.

"Sejak kapan? Apa saja yang kalian dengar, jangan katakan semua kalian dengar?" tanya Nicaise lagi.

Anila hendak menjawab karena dia yakin jika Aalisha membuka mulut, maka mereka bertiga bisa mati pada malam ini juga. "Mengenai itu—"

Aalisha malah menginterupsi. "Ya, kami dengar semuanya, dari kalian menyiksa Phantomius gila sampai si Clemence berbuat kecerobohan karena membunuh Phantomius itu dan semua tentang Zephyr. Harusnya si ceroboh Clemence tidak membunuh Phantomius jadi pertanyaan terakhir dapat diketahui jawabannya."

"Bajingan, kau bilang aku apa?!" teriak Eloise melangkah cepat, kini berada di hadapan Aalisha.

"Nona Clemence," ujar Anila, tetapi Eloise mendorong Anila hingga gadis itu tersungkur ke lantai.

"Uhm, jangan ganggu Aalisha." Mylo hendak menghentikan Eloise juga, tetapi diurungkan ketika Eloise menatap Mylo dengan nyalang.

"Kau mau apa?" balas Aalisha.

"Menghancurkanmu, dasar tikus kecil menyebalkan!" Maka Eloise menggenggam erat kerah cardigan milik Aalisha, kemudian berhasil diangkatnya tubuh gadis kecil itu.

"Woy, Eloise apa yang kau lakukan!" teriak Athreus terkejut bukan main karena Eloise berhasil mengangkat tubuh Aalisha, ah sebenarnya tidak perlu heran karena gadis kecil itu pasti ringan tubuhnya.

"Eloise turunkan dia!" teriak Nicaise.

Tidak mengindahkan perkataan Nicaise maupun Athreus. Eloise semakin mencengkeram kuat kerah cardigan Aalisha. "Tidak! Aku mau dia berhenti menatapku secara sombong, karenanya akan kubakar kau malam ini juga!"

Aalisha malah menyeringai. "Coba saja."

"Dasar gadis keparat—"

Suara gebrakan pintu istal terdengar membuat mereka semua yang berada di dalam sana langsung terkejut kemudian terdiam membisu. Kini semua mata itu tertuju pada sosok yang berdiam di daun pintu dengan wajah dipenuhi amarah. Sosok di pintu masuk istal adalah pria dengan pakaian rapi meski di malam hari, pemilik wajah paling tampan di akademi Eidothea, pemilik senyuman yang indah, dia dikenal sebagai pengajar yang tenang dan kalem, tetapi akan seribu kali sangat mengerikan ketika sudah dipenuhi amarah. Ya, dia dikenal dengan nama, Arthur Hugo Ellard.

"Apa yang kalian lakukan di dalam sini?! Kalian benar-benar harus dihukum malam ini juga, dasar para pembuat onar!"

Sialan, mereka berenam, benar-benar sial.

****

Mereka kini berada di ruangan atau kantor milik Arthur. Ruangan yang tertata rapi, banyak buku-buku, furniture yang antik dan unik, pasti dari berbagai belahan benua karena pria ini sering mendapat oleh-oleh dari kenalannya di berbagai benua Athinelon.

"Furniture Anda unik-unik ya Master," ujar Nicaise hendak mencairkan suasana menegangkan ini.

"Diamlah, Nicaise Von Havardur, aku tak memintamu membuka mulut," balas Arthur kemudian menarik kursinya dan duduk di hadapan keenam murid pembuat onarnya ini.

"Baik Master, maafkan aku," sahut Nicaise.

Arthur menghela napas panjang. Ia memegangi kepalanya yang terasa sakit dan pusing karena awalnya hanya mengira ada dua atau tiga pembuat onar pada malam ini, kenyataannya ada enam orang. Mana keenam orang ini adalah murid yang membuat heboh akademi padahal ini baru bulan-bulan awal tahun ajaran baru. Benar bukan perkataan Arthur? Lihat saja keenam muridnya ini. Tiga keturunan utama Majestic Families, dua Bangsawan, dan satu anak proletar, tetapi kehadirannya pertama kali ke Eidothea saja sudah sangat menghebohkan dengan segala tingkahnya itu. Kini mereka semua disatukan, sekali lagi—DISATUKAN, maka sudah dipastikan akan terjadi ledakan maha dahsyat yang gunung merapi saja akan kalah ledakannya dengan keenam murid ini.

Sungguh Arthur tidak membesar-besarkan perkataannya karena semua ini murni kenyataan jika mereka berenam—sebenarnya Anila dan Mylo masih baik, tapi terbawa keonaran Aalisha—akan menyandang gelar murid pembuat onar dan paling susah diatur meski profesi Eugenius turun tangan pun, badai yang mereka ciptakan, tidak mudah reda begitu saja.

Kalau tidak percaya, coba perhatikan detik ini saja; meski mereka berenam tertangkap basah melanggar aturan di Eidothea yaitu tidak boleh berkeliaran di akademi lewat jam sembilan—sekarang sudah jam sebelas malam lewat—tetapi mereka sama sekali tidak menunjukkan raut wajah bersalah atau merasa takut karena Arthur bisa saja mengeluarkan mereka dari akademi ini! Mereka berenam malah asyik sendiri dengan melirik ke kanan dan ke kiri karena merasa barang-barang di kantor ini sangatlah unik. Oh Dewa, mana norma kesopanan mereka? Lupa mereka ambilkah ketika Dewa lagi pembagian norma kesopanan?

"Master, aku tahu vas bunga di sana. Dari benua Timur 'kan?" ujar Athreus.

"Kurasa Anda punya banyak tunik, mengapa tak Anda gunakan ketika mengajar?" Eloise ikutan berujar.

"Master," ucap Aalisha, "kapan dimulai? Aku mau balik asrama, ngantuk."

"Gadis kecil ini benar, kapan kami boleh kembali ke asrama?" timpal Nicaise.

"Hei," sahut Athreus, "hanya aku yang boleh memanggilnya dengan nama 'gadis kecil' jangan panggil dia begitu lagi!"

"Ini mulutku, lagi pula apa ada larangan aku memanggilnya begitu?" balas Nicaise.

"Master mau tidur," ucap Eloise.

"Ah iya, Master," ujar Anila, "sudah jam sebelas, lewat jam tidurku ini."

"Aku sakit perut, sepertinya harus segera ke toilet," tambah Mylo.

"Tetap saja." Athreus masih menyahut perkataan Nicaise yang sebelumnya. "Aku duluan yang menjulukinya begitu!"

"Bacot kalian berdua!" teriak Aalisha, "aku tak mau dipanggil begitu!"

"Tuh kan, kau sih, jadi marah dia. Padahal panggilan itu cocok untuknya," sahut Athreus menatap sinis Nicaise.

"Bajingan, kau yang salah, gegara kau memulai debat hanya karena masalah nama panggilan," balas Nicaise.

"BISAKAH KALIAN BERENAM TENANG, AKU MASIH DI SINI!" teriak Arthur menggebrak meja yang sukses membuat keenam muridnya itu terdiam lalu menatap Arthur secara bersamaan.

"Jangan dipukul mejanya, nanti sakit Master," ucap Aalisha.

"Aalisha!" sahut Arthur dengan suara tingginya.

"Maafkan aku," balas Aalisha.

Arthur menghela napas lagi, sangat panjang dan terasa berat karena menghadapi mereka berenam. "Baiklah, aku langsung saja untuk mengefesiensi waktu, kuharap kalian tidak menyela atau memotong perkataan—" Arthur menatap pada Mylo yang mengangkat tangannya. "Ada apa Mylo Cressida?"

"Aku perlu ke toilet, boleh?" Mylo tersenyum kecil.

"Ya, sebelah kanan sana dekat lemari kaca, toiletnya," ujar Arthur menunjuk toilet yang ada di dalam kantornya ini.

"Terima kasih." Lekas Mylo pergi.

Setelah Mylo pergi. Arthur melanjutkan perkataannya kembali. "Aku lanjutkan. Sungguh, aku benar-benar tidak mengerti bagaimana jalan otak kalian ini. Memang ada banyak aturan di sekolah ini, tetapi ada aturan paling dasar dan mudah dipahami, salah satunya adalah jam malam bagi setiap murid. Profesor Eugenius sudah memperbaharui jam malam, yaitu pada jam sembilan karena ini masih minggu-minggu rawan setelah penyerangan minotaur. Namun, apa-apaan kalian malah berkeliaran hingga jam sebelas lewat, terlebih lagi kalian berada di istal! Kandang kuda!"

Arthur memperhatikan kelima muridnya yang tak lama Mylo selesai dari toilet kemudian berbaris di samping Aalisha. "Aku semakin tidak habis pikir, bisa-bisanya kalian berenam. Ber-e-nam! Jangan katakan jika ketiga Majestic Families yang mempengaruhi tiga adik tingkat ini jadi pembuat onar?!"

"Wah, wah Master, bukankah ini termasuk fitnah? Kami tidak mempengaruhi atau mengajari mereka berbuat onar. Semua itu murni perbuatan mereka sendiri. Sedangkan kami berbuat keonaran kami sendiri," balas Eloise tidak suka sekali jika harus dikait-kaitkan dengan adik tingkatnya, terutama Aalisha.

"Master, apa Anda tahu jika fitnah lebih kejam dari pembunuhan? Kami tak mau difitnah begitu," imbuh Athreus.

"Jujur Master, aku tak terima perkataan Anda," sahut Aalisha lalu menatap pada Eloise dan dua Majestic Families lainnya. "Kami berbuat atas kemauan kami sendiri, tak ada pengaruh dari ketiga manusia menyebalkan itu."

"Coba ulangi lagi? Apa kau bilang kami menyebalkan?!" balas Eloise yang sangat menantikan Aalisha menyahut perkataannya, tetapi Arthur lebih dulu menggebrak meja membuat mereka kembali memperhatikan Arthur.

"Sudah 'kan bertengkar yang tak ada gunanya itu?" Kini Arthur tersenyum simpul dan keenam muridnya mengangguk cepat. "Langsung saja, apa yang kalian berenam lakukan di istal itu? Aku juga mendapati Aalisha hendak dihajar Eloise, apa alasannya kalian bertengkar? Aku hanya ingin satu orang saja yang menjawab, jangan dijawab bersama-sama! Paham?"

"Paham," sahut mereka berenam.

Kini keenam murid itu terdiam. Masing-masing punya pikiran sendiri, tetapi memiliki satu topik yang sama. Dimulai dari Aalisha, Anila, dan Mylo, isi kepala mereka dipenuhi dari kejadian awal yang membawa mereka sampai ke istal. Ya, mereka awalnya berniat menyelinap ke perpustakaan untuk mencari informasi mengenai Zephyr lagi, tetapi mereka malah melihat Athreus, Eloise, dan Nicaise yang sedang membawa seseorang yang terjerat kawat besi menuju istal. Maka Aalisha dan lainnya mengubah alur tujuan mereka keluar di jam malam, kemudian mereka diam-diam mengikuti para Majestic Families hingga tiba di istal.

Awalnya mereka tak bisa mendengar apa pun, tetapi Anila menggunakan salah satu barang magis berupa alat penyadap suara, maka berhasil dimasukkan ke dalam istal dan mereka dapat mendengar melalui cyubes, sayangnya harus berada di jarak dekat agar alat penyadap suara tersambung dengan cyubes Anila. Mereka terpaksa berada di balik dinding kayu istal tersebut. Sungguh ketika mendengar percakapan di dalam sana, mereka terkejut karena sosok yang ditangkap ketiga Majestic Families adalah Phantomius dan segala hal tentang Zephyr juga mereka dengar dari Phantomius bernama Vevede itu. Mereka semakin terkejut karena praduga mereka benar seperti praduga ketiga Majestic Families.

Sayangnya, Vevede si Phantomius meledakkan dirinya sendiri. Selain itu, mereka kecewa karena tak ada informasi mengenai profesor Ambrosia yang apakah Phantomius juga atau bukan.

Kini mendengar pertanyaan Arthur, sudah tidak perlu ditanyakan lagi karena Aalisha, Anila, dan Mylo punya pemikiran yang sama yaitu takkan mengatakan kebenarannya pada Arthur.

Menuju isi pikiran Eloise, Athreus, dan Nicaise. Sudah sangat jelas jika mereka tak bisa jujur karena terlalu beresiko, lagi pula mereka tak punya bukti karena Vevede mati dengan tubuhnya yang tak tersisa sedikit pun. Jika mereka mengatakan tanpa bukti bisa saja Arthur mengira yang lain-lain, terlebih lagi yang disinggung adalah Phantomius. Selain itu, mereka bertiga sudah setuju untuk menyelesaikan masalah ini tanpa mengatakan pada siapa pun terutama pengajar di Eidothea. Jika saja mereka membahas Phantomius sudah dipastikan pihak Eidothea akan melarang mereka, parahnya mereka bisa dikekang dan dihubungi keluarga mereka karena berurusan dengan organisasi Phantome Vendettasius.

"Bagaimana jika aku tunjuk saja siapa yang akan menjelaskan seluruh kronologinya karena kalian pasti punya sudut pandang yang berbeda akan kejadian malam ini. Aku akan bertanya pada dua orang saja, dimulai pada kau, Mylo Cressida."

"Apa aku? Kenapa aku?" Mylo jadi kebingungan. Sial sekali, kenapa harus dirinya?

"Karena jika kupilih nona Aalisha. Dia terlalu pintar bersilat lidah," balas Arthur.

"Terima kasih," sahut Aalisha.

"Itu bukan pujian," ucap Arthur.

"Aku tahu kalau itu sindiran." Aalisha tersenyum tipis.

"Jadi Tuan Cressida, tolong jelaskan kronologi kenapa kalian bertiga tiba di istal itu dan bertemu tiga Majestic Families? Kira-kira juga, apa yang kalian bahas di dalam sana, kuharap kau menjawab dengan jujur." Arthur tersenyum yang semakin mengintimidasi Mylo. Sialan, harusnya Mylo ke toiletnya pada saat ini saja agar tidak diminta menjelaskan kronologisnya.

Sesaat Mylo melirik pada kedua temannya yang hanya diam, begitu juga ketiga Majestic Families. "Baiklah, jadi dimulai dari Aalisha yang suka menghilang tiba-tiba, ternyata dia sedang bermain-main dengan kelinci, kami menyusulnya dan hendak pergi sebelum malam jam sembilan."

Bajingan sekali Mylo karena menggunakan Aalisha sebagai dalih kebohongan lagi. Lalu apa-apaan itu, bermain dengan kelinci hingga malam?! Oh Dewa, tidak adakah alasan yang lebih masuk akal untuk berbohong!

"Namun, ketika kami hendak kembali ke asrama, kami malah melihat tiga Majestic Families. Akhirnya kami putuskan mengikuti mereka karena kami curiga mereka akan berbuat hal aneh, maka kami pun berniat melaporkan hal ini pada profesor Madeleine, setelah tahu apa yang hendak dilakukan ketiga Majestic Families. Jadi sampailah kami di istal itu, terus kami mendengar suara pedang saling bertarung, ya kami berpikir jika mereka sedang berlatih. Namun, tidak hanya itu, kami mendengar beberapa pembicaraan dari ketiganya."

"Pembicaraan apa?" sahut Arthur.

"Pembicaraan tentang ... tentang mereka menghina Aalisha!" Sukses perkataan Mylo membuat ketiga Majestic Families menoleh pada Mylo, begitu pula Aalisha dan Anila. "Mereka mengatakan jika Aalisha hanyalah gadis kasta bawah yang tidak pantas di Eidothea, gadis cacat yang sombong padahal tidak punya bakat dan cacat dalam mengendalikan neith. Mereka sangat meremehkan Aalisha bahkan berharap kalau dia segera keluar dari akademi ini, karena Aalisha tidak bersikap sopan pada mereka.

"Sungguh Master, mereka tidak sadar diri jika mereka bertiga yang sebenarnya mengusik Aalisha, padahal semua yang Aalisha lakukan hanyalah demi membela dirinya sendiri. Apa itu salah? Kenapa semua orang selalu meremehkan Aalisha hanya karena dia bukan bangsawan. Sering dia dirundung dan terluka, tidakkah Anda tahu jika Aalisha berkali-kali masuk rumah sakit, dia bahkan pernah dituduh membakar kuil Dewa dan membunuh Elijah si Orly!

"Atas semua penghinaan pada Aalisha, aku dan Anila marah, tetapi Aalisha lebih marah besar jadi dia mendobrak pintu istal kemudian berseteru dengan ketiga Majestic Families karena itu Anda melihat Eloise hendak menghajar Aalisha." Mylo terdiam dengan napas memburu karena menjelaskan panjang lebar yang terdengar seperti curhatan menyedihkan, sungguh Mylo benar-benar curhat atau bagaimana? Terlebih matanya jadi memerah seolah ia hendak menangis.

Arthur diam, ia tak menyangka jika Mylo akan mengatakan semua ini di dekat Majestic Families. Pasti keberaniannya semakin terbentuk berkat kehadiran sosok gadis kecil yang dibicarakannya panjang lebar. "Baiklah Mylo, aku percaya. Jadi beralih pada ketiga Majestic Families, sebelum Aalisha mendobrak pintu istal, mengapa kalian ke sana? Apa hanya berlatih? Kuminta Eloise Clemence menjawab."

"Ya, seperti biasa Master," sahut Eloise, "kami berlatih malam, meski tahu jika ada jam malam. Lagi pula tak perlu mengkhawatirkan kami karena kami bisa menjaga diri kami sendiri. Lalu sesuai yang dijelaskan Cressida itu, benar kami membicarakan Aalisha karena begitulah anak itu, 'kan?"

Eloise melirik pada Aalisha. "Gadis kasta bawah, tikus kecil yang sombong! Harusnya kau berterima kasih pada master Arthur karena berkat dirinya yang datang sebelum kubuat wajahmu babak belur."

"Wah, kau berpikir jika kau mampu melakukannya? Hanya karena kau Majestic Families, jangan seenaknya menilaiku ya!" balas Aalisha yang kini keduanya saling hadap-hadapan.

Master Arthur geleng-geleng kepala. Kini semua sangat logis, sudah dipastikan jika para Majestic Families sering keluyuran untuk berlatih sihir atau senjata karena sejak tahun pertama saja mereka sering melakukan hal ini. Lalu mengapa pihak akademi tidak menegur? Sudah dilakukan, sudah pula poin mereka dikurangi, tetapi masih saja mereka bebal dan mengulanginya lagi. Meskipun poin mereka terus dikurangi, tetapi dalam mata pelajaran, mereka selalu mendapatkan nilai tertinggi, lalu sering pula terlibat dalam suatu kejadian yang membuat mereka menerima poin tambahan jadi poin yang dikurangi karena berkeliaran di malam hari tidak berpengaruh apa-apa buat mereka. Kini pun sama, malah ditambah dengan ketiga adik tingkat yang belum setahun di sini sudah membuat satu akademi gempar.

"Baiklah hentikan pertengkaran kalian," sahut Arthur, "kini semua sudah jelas dari penjelasan kedua belah pihak." Arthur menghela napas panjang, ia sangat lelah.

"Jadi aku boleh pergi?" ucap Aalisha.

"Tentu, tetapi kalian berenam akan dikurangi poin kalian, 90 poin per individu dan 40 poin untuk asrama masing-masing! Aku takkan menghukum kalian karena pasti takkan berguna juga dengan menghukum kalian berenam," ujar master Arthur.

"Oh baguslah, kurangi terus poin kami, tapi esok Anda akan mendengar jika kami bertiga akan mendapatkan 1.000 poin," sahut Eloise.

Arthur tersenyum tipis. "Namun, jika aku berhasil memergoki kalian berbuat keonaran lagi, terutama ketika kalian berenam bersama-sama. Niscaya kalian akan menerima ganjaran dariku," ucap master Arthur final, "sekarang pergilah."

Kini Arthur menatap kepergian keenam muridnya itu dengan helaan napas panjang. Ia sakit kepala padahal setelah ini harus pergi ke sebuah kota yang jauh dari wilayah Elysian untuk menyusul profesor Eugenius.

"Semua barangku sudah kau persiapkan, Immanuel?" ujar Arthur.

"Ya Masterku, semua sudah siap, begitu pula kuda Anda." Immanuel menyahut sedikit membungkukkan badannya.

"Kalau begitu ayo kita pergi."

****

Suatu hal yang tidak bisa dibayangkan, tiga murid tahun pertama berjalan bersama-sama ketiga Majestic Families setelah mendapatkan ceramah panjang dari pengajar paling seram di akademi ini. Kalau ada media surat kabar di sini, sudah dipastikan jika mereka berenam akan menjadi headline utama dalam surat kabar. Dengan wajah mereka terpampang di halaman pertama.

Di depan sana ada persimpangan koridor. Aalisha, Anila, dan Mylo bermaksud untuk berbelok ke koridor yang berbeda dari tiga Majestic Families, biarlah mereka lebih memilih koridor yang panjang dan jauh serta harus memutar untuk ke asrama Arevalous dibandingkan berjalan bersama dengan tiga Majestic Families gila yang sekitar satu jam lalu habis menyiksa seorang Phantomius!

Eloise yang sadar jika tikus kecilnya dan dua bangsawan itu hendak pergi dari mereka. Lekas Eloise meraih kerah cardigan Aalisha hingga gadis kecil itu tercekik. "Jangan seenaknya kabur ya! Urusan kita belum selesai!"

"Lucu sekali," sahut Athreus, "setelah kalian menguping semua pembicaraan kami, kalian mau kabur diam-diam seolah tak ada yang terjadi malam ini?"

"Memang," sahut Aalisha, "bukankah kita sudah berbohong pada master Arthur. Jadi mari lupakan semua ini."

"Harusnya kau berterima kasih pada kami," ujar Athreus.

"Untuk apa?" balas Aalisha.

Athreus perlahan-lahan membungkuk agar bisa menyejajarkan wajahnya dengan gadis pendek Itu. "Karena kami harus menggunakan sihir pada kalian bertiga sepanjang interogasi tadi agar master Arthur tidak bisa membaca isi pikiran dan mendeteksi kebohongan kalian! Tidakkah kalian tahu jika master Arthur menggunakan sihir untuk mendeteksi kebohongan dan hendak membaca pikiran kalian?! Harusnya kalian berterima kasih bukan bersikap kurang ajar."

Nicaise menghela napas, ia menarik pundak Athreus karena lelaki itu terlalu menekan ketiga adik tingkat ini. "Sudah cukup, biar aku yang bicara. Namun, sebelumnya mari pergi ke luar dari koridor ini."

Maka berenam menuju luar koridor yang ternyata area taman. Aalisha agak familiar dengan taman ini. Kira-kira apa ya? Oh, taman yang pernah ia kunjungi ketika Jasmine mengajaknya mengobrol.

"Baiklah begini ...."

"Nicaise," balas Eloise, "mengapa tak buat mereka bertiga melupakan apa yang mereka dengar malam ini saja, bukankah lebih mudah?"

"Hei, kau---" Baru Aalisha hendak menyahut perkataan Eloise, Anila mencegatnya. Jadi diurungkan lah berseteru dengan Eloise.

"Eloise sudahlah, biar aku bicara dulu," ucap Nicaise, "sekarang kalian bertiga sudah tahu jika kita semua menyimpan rahasia yang sama. Aku tak perlu jelaskan lagi karena kalian telah mendengar semuanya dan pasti kalian paham. Jadi yang kita hadapi di sini bukanlah main-main, melainkan Zephyr dan juga para Phantomius. Sudah pasti kalian tahu betapa kejinya organisasi sekte iblis itu, mereka takkan mengampuni musuhnya. Lalu mengenai Zephyr, itu adalah—"

"Foederis Saxum, batu kekuatan perjanjian ras, benar bukan?" ucap Aalisha, "batu yang terdiri dari sembilan, tetapi dibuat oleh bangsa iblis batu kesepuluh untuk mereka gunakan sebagai salah satu cara menundukkan bangsa-bangsa lain."

"Bagaimana kalian bisa tahu?!" ucap Eloise.

"Apa kalian berpikir, hanya kalian saja yang memiliki pengetahuan? Kami juga, terutama Nona Andromeda," balas Aalisha sambil menggerakkan kepalanya menunjuk pada Anila.

"Sepertinya kita tidak bisa meremehkan mereka," bisik Athreus pada Nicaise.

"Apalagi yang kalian tahu?" Nicaise memperhatikan Aalisha yang berdiri sambil bersedekap dengan wajah mendongak sombong.

"Tentang Phantomius ada kaitannya dengan Zephyr serta alasan pembantaian desa-desa karena untuk mengaktifkan batu itu. Ah, tentu kami tahu juga kalau salah satu kepingan berada di desa Shakaleta dan kalian berniat mengambil batu itu sebelum para Phantomius," jelas Aalisha yang entah apa alasannya mengatakan semua itu, jujur Anila dan Mylo saja tidak bisa memahami isi kepalanya.

"Wow, menakjubkan kau tahu semuanya. Lalu perlukah aku beri pujian?" ujar Eloise, "sungguh aku sama sekali tak peduli! Jika pun kalian tahu, apa yang kalian akan lakukan? Ingin mengambil batu itu juga?"

"Kalau iya, bagaimana?" balas Aalisha yang seketika tawa Eloise terdengar melalang buana. Kemudian disusul tawa Nicaise dan Athreus. "Sialan kenapa kalian malah tertawa."

"Oh Jagad Dewa, aku lelah, ternyata tikus kecil ini pandai melawak juga, kau punya banyak talenta ya termasuk bermain opera komedi." Eloise memegangi perutnya yang agak sakit karena tertawa.

"Aku juga berpikiran yang sama, kau bilang apa tadi? Kalian, kalian mau mengambil Zephyr Stone's di Desa Shakaleta?" balas Athreus.

Nicaise kemudian berujar, "memang bagus kalian mendapatkan informasi mengenai Zephyr. Namun, kalian takkan bisa mendapatkan batu aslinya, sepertinya perkataanmu tadi itu hanyalah candaan semata, 'kan?"

Sejujurnya, Anila dan Mylo jadi sangat kesal karena para Majestic Families itu meremehkan mereka. Oke baiklah jika Majestic Families memang tiada tanding, tetapi sifat mereka yang sering merendahkan itu perlu untuk diperbaiki.

"Kami tidak bercanda! Karenanya kami mencari informasi mengenai Zephyr!" ucap Anila, "apa kalian berpikir kami tidak mampu hanya karena masih berada di angkatan tahun pertama!"

"Kalau begitu apa kalian mampu menghadapi minotaur atau monster?" Eloise berucap sambil melangkah pelan hingga tepat di hadapan Anila. "Bisakah kalian membunuh satu minotaur?"

Sukses perkataan Eloise itu membuat Anila terdiam, Mylo jadi terdiam juga karena memikirkan kejadian waktu itu. Akademi hampir porak-poranda karena penyerangan pasukan minotaur. Banyak pula yang terluka, meski tak ada korban jiwa.

"Kenapa diam? Ketika kalian memutuskan untuk mendapatkan Zephyr maka kalian akan bertemu lebih dari seekor minotaur melainkan monster dan para Phantomius. Jika kalian berisi keras melakukannya maka kalian harus berani membunuh para monster maupun manusia yang menjadi Phantomius itu." Eloise menyambung perkataannya, senyumannya terbentuk karena yakin jika adik tingkatnya ini akan berpikir ulang. Lagi pula begitulah yang harusnya terjadi. Sekuat apa pun mereka berusaha, mereka takkan bisa mendapatkan Zephyr terlebih lagi melawan para Phantomius dan monster.

"Lebih baik lupakan apa yang kalian dengar dari kami, biarkan kami yang menangani semua ini," imbuh Nicaise.

"Kalau begitu bolehkah aku meminta satu hal pada kalian?" Anila berujar.

"Apa?" Nicaise berbalik.

"Ini mengenai profesor Ambrosia. Kami bertiga yakin jika profesor tidak melakukan pembunuhan itu dalam keadaan sadar, ada kemungkinan dia dijebak. Kalian pasti sudah dengar kabarnya jika pihak kerajaan Kheochiniel menjatuhkan profesor Ambrosia hukuman mati. Aku meminta pada kalian karena kalian bertiga Majestic Families, kuyakin pihak kerajaan pasti mendengarkan kalian, kalau meminta profesor Ambrosia tidak langsung dihukum mati sampai terbukti jika dia bersalah atau tidak."

Anila tahu benar kalau pengaruh Majestic Families di Athinelon sangat besar, terutama keturunan utama. Meski mereka belum menjadi Kepala Keluarga, tetapi keinginan mereka ibarat titah raja. Mereka sering dipanggil Yang Mulia oleh masyarakat karena keagungan mereka. Jadi dipastikan jika ketiga Majestic Families berkata pada raja Kheochiniel kalau Ambrosia belum tentu bersalah, maka pihak kerajaan bisa saja mempertimbangkan ulang, mengusut ulang masalah ini pula dan tidak menjatuhkan hukuman mati atau membebaskan Ambrosia begitu saja.

"Singkatnya," ucap Eloise, "kalian ingin kami membantu menyelamatkan profesor Ambrosia yang kabur bersama Phantomius dengan kekuasaan yang kami miliki?"

"Iya," balas Anila.

"Ya, kami yakin profesor tidak bersalah," imbuh Mylo agar meyakinkan perkataan Anila.

"Apa ada bukti yang menunjukkan profesor Ambrosia bukanlah Phantomius?" balas Eloise.

Anila tertunduk sesaat, lalu berujar, "tidak, kami tidak punya karenanya kami meminta tolong pada kalian karena---"

"Apa kau bodoh, Nona Anila Andromeda?" Eloise berucap yang terasa pancaran aura kuat berasal darinya. "Meski benar seperti yang kau katakan jika pihak kerajaan akan menuruti kami yang notabenenya keturunan Keluarga Agung. Kami tak punya urusan apa pun dengan profesor Ambrosia, apakah dia bersalah atau hanya dijebak? Kami tidak peduli. Lagi pula, sepertinya kau tertular sifat sombong gadis kasta bawah di sana. Harusnya kau tahu ...."

Eloise membungkuk agar melihat jelas wajah gadis bangsawan Andromeda itu. "Bahwa kami tidak suka diperintah, terutama oleh makhluk yang jauh berada di bawah kami."

Maka tiba-tiba sihir tanpa rapalan mantra langsung menyerang Anila hingga gadis itu terpental dan tubuhnya menghantam pohon, dedaunan berjatuhan ke kepala dan rambut Anila. Ia kini merasakan sakit di seluruh tubuhnya, kemudian ambruk ke tanah.

Suara Mylo terdengar lalu ia lekas menuju Anila. Ia berjongkok untuk mengecek keadaan Anila, syukurnya gadis Andromeda itu tidak kenapa-kenapa, tidak terluka parah serta tak juga berdarah. Meskipun begitu, Anila merasakan kepalanya pusing tak karuan, pandangannya agak kabur karena kepala terbentur, kini ia setengah sadar, dan belum mampu berdiri hanya melihat samar-samar pada ketiga Majestic Families serta Aalisha yang masih di sana. Gawat, Anila merasakan firasat buruk.

"Kenapa tikus kecil? Pergilah sana bantu temanmu, lalu kembalilah ke asrama dan tidur nyenyak." Baru hendak tersenyum, Eloise terkejut ketika Aalisha tiba-tiba melayangkan tinju padanya. Sontak Nicaise dan Athreus melompat mundur, menjauh dari pertengkaran kedua perempuan itu. Sayang sekali, Aalisha tidak berhasil menghajar wajah Eloise karena dengan mudah dihindari oleh Eloise.

"Gila kau ya! Berani menyerangku! Baiklah jika ini yang kau mau!"

Eloise yang masih dipenuhi amarah sejak mereka di istal, tanpa berpikir ulang, ia langsung menyerang balik Aalisha. Berhasil tinjunya mengenai wajah Aalisha hingga gadis kecil itu tersungkur ke tanah. Tak mau kalah, Aalisha melancarkan serangannya yang ia pelajari dari master Arthur. Maka terjadilah perkelahian dengan menggunakan tangan kosong tanpa sihir. Betapa sengitnya mereka berdua karena sama-sama memiliki dendam satu sama lain, barangkali dendam mereka sudah terukir semenjak pertemuan pertama di sebuah toko buku. Seiring berjalannya waktu, dendam itu terus terpupuk hingga diizinkan para Dewa untuk melampiaskannya pada malam ini.

Hanya saja, terdapat perbedaan besar di antara keduanya. Perbedaan ini sudah disadari Athreus dan Nicaise sejak awal mereka saling melayangkan tinju, barangkali Mylo dan Anila juga tahu perbedaan besar tersebut. Aalisha benar-benar salah karena melawan Eloise Clemence. Meskipun gadis Clemence itu lebih ahli dalam bidang sihir, ketimbang pedang dan bela diri. Namun, Eloise tetaplah keturunan utama Majestic Families yang sejak kecil sudah diajarkan cara bertarung secara langsung entah dengan teknik bela diri maupun berpedang. Bagi Eloise, lawannya yang berada di bawahnya, entah bertarung dengan pedang, sihir, maupun tangan kosong sekali pun, Eloise sudah dipastikan akan menang.

Maka itulah yang dibuktikan Eloise pada malam ini.

Aalisha sudah kehabisan tenaga, sementara Eloise tidak sama sekali. Gadis kecil yang dipanggil tikus oleh Eloise, kini terlihat menyedihkan dengan wajahnya agak lebam, telapak tangan luka dan membiru, darah keluar dari hidungnya bahkan Aalisha memuntahkan darah tadinya. Ya, dia kalah telak dengan Eloise karena tak satu pun serangan Aalisha berhasil mengenai musuhnya itu.

"Menyedihkan, kau bermaksud membela temanmu, tapi malah babak belur." Eloise terkekeh, betapa puasnya dia karena melihat Aalisha yang penuh luka itu. "Bukankah sudah terlihat, siapa yang akan segera dilarikan ke rumah sakit?"

"Eloise cukup," balas Nicaise lalu beralih pada satu temannya lagi. "Athreus jangan jadikan ini tontonan."

"Oh ayolah, ini asyik," sahut Athreus yang sedari pertengkaran antara Aalisha dan Eloise. Athreus sudah duduk bersila di rerumputan sambil menikmati pertengkaran ini.

"Menyerahlah bodoh, selagi aku berbaik hati." Eloise sebenarnya tidak sedang berbaik hati. Dia bisa saja membunuh Aalisha pada detik ini juga, tetapi dia urungkan karena hendak melihat sejauh mana kegigihan, keras kepala, dan keberanian yang Aalisha milik atau dia sebenarnya ingin melihat Aalisha kesakitan saja?

"Kau pikir aku sudah selesai!" ucap Aalisha memunculkan pentagram sihir biru di atas kepala Eloise. "Frigus Aquemerium." Lalu Aalisha lekas mengarahkan tangannya kanannya ke depan sambil membuka jari-jarinya. "Diffunditur Elektra!"

"Sihir murahan," gumam Eloise kemudian menjentikkan jarinya yang seketika muncul pentagram sihir merah lalu menghilangkan seluruh pentagram sihir milik Aalisha. Maka gagal sudah serangan gadis kecil itu.

"Hei, kau bodoh atau apa?" ucap Athreus, "Eloise itu keturunan Clemence! Ahli dalam mengendalikan elemen alam. Sihirmu tadi tiada gunanya."

"Terima kasih atas informasinya," sahut Eloise tersenyum simpul.

"Eloise cukup, dia sudah babak belur!" ucap Nicaise karena Eloise terus melangkah mendekati Aalisha dengan telapak tangan Eloise bersinar kemerahan.

"Takkan, aku sudah putuskan untuk membakar anak ini!" Maka kini sebuah api membara tercipta di telapak tangan kanan Eloise, ia perlihatkan api membara itu di hadapan Aalisha, sangat terasa panas api tersebut yang kemungkinan akan membakar seseorang dalam sekejap saja.

"Mari coba bagaimana rasanya dibakar hidup-hidup seperti dalam kisah seorang kesatria perempuan yang dibakar masyarakat karena dikira penyembah iblis! Jadi tikus kecil, selamat tinggal!"

Tiba-tiba Eloise menghentikan sihirnya sebelum api itu menyentuh rambut Aalisha. Lalu ia menghela napas, menyudahi sihirnya, kemudian mengurungkan niat untuk membakar Aalisha ketika Anila dan Mylo kini berada di hadapan Eloise karena bermaksud untuk melindungi tikus kecil tersebut.

"Jika kau mau membakarnya, maka bakarlah aku dulu!" teriak Mylo tanpa rasa takut. "Aku dan Anila lah yang mulai duluan meminta padamu untuk menyelamatkan profesor Ambrosia! Jadi jika kau mau membakarnya, lakukanlah pada kami juga. Lakukan sekarang!"

"Aku tahu jika perbuatanku tadi tidak sopan, tapi apa yang Aalisha lakukan hanyalah untuk membelaku! Jadi kumohon jangan sakiti dia," ujar Anila.

"Eloise hentikan, cukup," ujar Nicaise lagi. Sungguh, ia sangat lelah untuk mengatakan kalimat yang sama berulang-ulang.

"Baiklah akan kulakukan karena dua temanmu ini memohon padaku," ujar Eloise, "sangat menjijikkan sekaligus menyedihkan, dua Bangsawan membela seorang rakyat jelata sepertimu. Bagaimana bisa mereka rela membuang harga diri mereka hanya untuk manusia yang takkan dihargai dunia meski kau berkorban sekali pun."

Maka Eloise melewati Anila dan Mylo, sekali lagi dia meraih kerah cardigan Aalisha, dicengkeram dengan sangat kuat. "Dengar, sekali lagi kuperingatkan untuk tidak ikut campur dalam masalah Zephyr ini karena kau takkan pernah mampu! Namun, jika kau dan kedua temanmu ini masih berisi keras untuk mendapatkan Zephyr juga, maka ketahuilah kalian akan menyesal! Jika kalian dalam masalah besar, kami takkan pernah menyelamatkan kalian dan akan membiarkan kalian mati dimakan minotaur atau dipenggal para Phantomius."

Dilepaskannya cengkeraman di kerah cardigan Aalisha dengan cara mendorong gadis kecil itu, untung saja ia mampu menyeimbangkan tubuhnya sehingga tidak jatuh ke tanah. Sesaat, Aalisha merapikan cardigannya, lalu berucap pada Eloise. "Kami akan tetap egois, sebagaimana kalian. Lalu ketahuilah juga, kalau kalian yang akan menyesal."

"Wah, aku suka sekali dengan sifat sombongnya itu," balas Athreus.

"Oh ayolah, cukup bertengkarnya! Kita pergi dari sini." Nicaise sungguh tak habis pikir karena kebanyakan di sini kepala batu semua.

"Baiklah, kupegang kata-katamu dan mari lihat siapa yang akan menyesal." Maka Eloise melenggang pergi, lalu disusul Athreus dan Nicaise.

Sepeninggalan para Majestic Families. Anila marah besar pada Aalisha sambil menangis tentunya karena dia sangat khawatir pada Aalisha, lihatlah wajah gadis kecil ini yang babak belur. Mana ada yang berdarah juga, telapak tangannya terluka cukup parah. Mylo ternyata sama saja seperti Anila, lelaki itu mengoceh terus-menerus seolah jika ia tak mengoceh maka Aalisha akan hilang dari muka dunia ini. Mereka berdua benar-benar bawel dan Aalisha benci hal ini. Sangat ia benci terutama ketika ada sesuatu yang menyeruak ke dadanya, perasaan asing ini lagi.

Malam itu ditutup dengan Aalisha diobati Anila dahulu sebelum gadis kecil itu kembali ke kamarnya dan pergi tidur sedangkan Mylo membuatkan tiga cangkir cokelat hangat yang di atasnya ada marshmallow.

Berada di Asrama berbeda yaitu asrama Faelyn, kamar lantai lima. Nicaise habis mengganti bajunya. Ia juga membuat secangkir teh hangat yang sudah diminumnya setengah. Kemudian jendela kamarnya terbuka dengan sendirinya, kini Xerafhim masuk ke kamar tersebut. Memberi penghormatan lebih dahulu sebelum menatap pada tuannya.

"Aku hampir saja lupa, jadi katakanlah sekarang. Apa kau menemukan korban yang dibunuh oleh Vevede si Phantomius itu?"

Agak lama Xerafhim terdiam, kemudian ia menggeleng pelan yang membuat Nicaise terkejut, tetapi lekas ia tenang kembali ketika Xerafhim mulai menjelaskan. "Sayangnya Hamba tidak menemukan korban atau siapa pun di akademi ini yang mati, seperti perkataan Phantomius itu."

"Bagaimana mungkin? Jadi dia berbohong, tapi Eloise tidak mendeteksi kebohongan padanya."

"Hanya kemungkinan saja Master-ku, bisa saja dia menggunakan kekuatan agar tidak terdeteksi kebohongan serta dia rela disiksa dari pada mengatakan kebenarannya," jawab Xerafhim.

"Tapi kenapa dia berbohong mengenai korbannya saja sedangkan mengenai Zephyr tidak? Sebenarnya apa yang direncanakan organisasi sialan itu." Nicaise menggenggam erat cangkirnya. Malam itu, ternyata ada banyak rahasia yang masih disembunyikan bahkan takkan terungkap meski disiksa seribu kali pun.

****

Aalisha sudah sangat sibuk di pagi ini, ia memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam invinirium, serta beberapa barang yang dirasa penting. Hari ini, pagi ini sudah diputuskan oleh Aalisha, Anila, dan Mylo untuk pergi ke desa Shakaleta. Tidak peduli dengan ancaman dan perkataan tiga Majestic Families semalam karena sebelum mereka memergoki ketiga Majestic Families menangkap seorang Phantomius, mereka sudah berencana untuk pergi ke desa Shakaleta.

Terutama dengan memanfaatkan situasi bahwa profesor Eugenius serta beberapa pengajar sedang keluar akademi karena ada urusan atau perintah dari pihak kekaisaran Ekreadel. Beberapa pengajar yang dimaksudkan di sini seperti profesor Aragon, profesor di angkatan atas, termasuk juga master Arthur yang baru berangkat pada malam setelah ia memergoki Aalisha dan lainnya. Ada pula beberapa profesor yang memang tak berada di akademi karena urusan yang berbeda. Intinya kepergian para pengajar inilah kesempatan emas bagi Aalisha, Anila, dan Mylo.

Mereka harus lekas ke desa Shakaleta untuk memperingatkan desa itu akan kedatangan Phantomius serta mengamankan kepingan Zephyr terakhir, terlebih baru pagi ini terdengar kabar gosip beredar di kalangan masyarakat bangsawan bahwa di Eidothea ada satu pengajar yang ternyata Phantomius dan kini keberadaannya dicap sebagai buronan serta sedang dicari Vigilum Eques. Hanya saja identitas buronan tersebut tidak disebutkan siapa.

Meskipun begitu, banyak yang mulai mencari tahu akan gosip tersebut demi memastikan kebenaran dan kebohongannya, hal ini karena dari media surat kabar belum ada kabar apa pun. Sebenarnya inilah yang ditakutkan, jika surat kabar mulai mengkonfirmasi gosip ini sebagai kebenaran terutama oleh Lè Ephraim maka sudah dipastikan bahwa gosip seorang pengajar adalah Phantomius sangatlah valid, sehingga hal ini akan jadi malapetaka bagi Ambrosia karena identitasnya benar-benar dicap sebagai Phantomius. Segala kehidupannya sudah dipastikan runtuh perlahan-lahan.

Suara gemuruh petir terdengar di luar sana, awan hitam berarak menutupi cahaya matahari. Terdengar pertengkaran antara tim Oulixeus asrama Gwenaelle dengan asrama Faelyn mengenai perebutan lapangan yang hendak digunakan untuk latihan. Terlihat jika di antara tim yang sedang berseteru itu ada Athreus dan Nicaise maka mereka belum sadar jika Aalisha, Anila, dan Mylo berencana untuk pergi dari akademi dan menuju desa Shakaleta.

Rencana yang sudah mereka susun untuk pergi ke desa Shakaleta dengan menggunakan kuda yang ada di istal akademi. Karena pada murid fokus pada pertengkaran hebat antara dua tim tersebut, serta para pengajar kebanyakan tak ada di akademi maka rencana kabur ini cukup berjalan mudah. Asalkan tidak ada pengacau.

"Serius, kita tidak bilang pada Gilbert dan lainnya?" Mylo memastikan kembali selagi mereka menuju istal di bagian utara dari kastil akademi.

"Sudah kubilang tidak! Jika kita katakan maka semuanya akan berantakan, mereka tidak tahu kalau kita harus pergi ke desa itu, lagi pula ditakutkan jika mereka tahu maka mereka akan terancam juga," balas Aalisha yang jika sekali lagi Mylo mempertanyakan hal yang sama, maka Aalisha takkan segan menarik pedang Aeternitas yang disampirkan di pinggang kirinya.

"Mylo, sudahlah, aku setuju dengan Aalisha. Cukup kita yang terlibat, jika mereka juga maka jadi masalah besar apalagi kita akan berseteru dengan tiga Majestic Families itu," balas Anila.

"Baiklah, jika itu yang kalian katakan. Kuharap semuanya akan baik-baik saja." Mylo memelankan suaranya di akhir karena mereka melihat seorang penjaga akademi yang habis dari arah istal.

"Ingat, kita harus lekas mengambil kuda-kudanya, sebaiknya masing-masing menggunakan kuda," ujar Anila sambil memantau penjaga tersebut yang sudah pergi jauh dari istal, lalu mereka mulai mengendap-endap hingga berada di pintu belakang istal.

"Baiklah, Anila buka pintunya," ujar Aalisha karena pintu kandang tersebut digembok.

"Tunggu!" Mylo hentikan, "sungguh aku bertanya-tanya sejak tadi. Jika kita ketahuan apa kita akan dikeluarkan dari akademi ini? Aku bisa dibunuh ibuku karena dikeluarkan dari akademi di tahun pertama."

Ania menoleh pada Mylo. "Kau pikir aku tidak? Bisa-bisa aku dipenggal ayahku karena melanggar banyak aturan dalam setengah tahun ini."

"Bisakah jangan bahas hal tak berguna," balas Aalisha sudah gregetan karena merasakan ada firasat buruk hendak menghampiri. "Sudah kita putuskan melakukan hal ini, maka ada konsekuensinya."

"Baiklah aku salah, aku hanya gugup karena semua ini melebihi kenakalan yang kedua kakakku perbuat," ucap Mylo cepat.

"Anila, buka pintunya." Aalisha abaikan perkataan Mylo sedangkan Anila segera merapalkan mantra, membuat gemboknya terbuka kuncinya, sehingga terbukalah pintu istal tersebut.

Mereka melongok ke dalam, memastikan jika tak ada penjaga yang disembunyikan di dalam istal ini. Dikarenakan tak ada siapa pun, maka Aalisha memerintahkan Mylo di luar untuk berjaga siapa tahu ada yang datang kemari tiba-tiba, maka Mylo harus memberikan kode agar mereka bertiga tidak tertangkap.

Aalisha dan Anila melangkah ke dalam istal, tercium aroma rerumputan kering, agak basah juga tanah yang mereka injak karena bak minum para kuda yang tertumpah, lalu bau khas kuda(?) Aalisha bingung hendak menggambarnya dengan kalimat apa. Keduanya kemudian melirik ke kanan-kiri hingga mendapati dua kuda yang berada di kandang ujung, kuda-kuda itu sedang menikmati makanan mereka. Sempat Aalisha dan Anila terdiam memandangi kedua kuda tersebut.

"Baiklah hanya ada dua," ujar Aalisha, "kalau begitu kau dan Mylo akan berdua—"

"Aku dan kau berdua, Mylo sendiri," sahut Anila bersamaan dengan Aalisha.

Lekas Aalisha menoleh pada Anila. "Tidak, kau dan Mylo, aku sendiri. Karena Mylo lebih ahli membawa kuda dibandingkan kau, sedangkan aku ingin bawa kuda sendiri."

"Kenapa aku tak bersama denganmu?" sahut Anila.

"Sudah kubilangkan, karena aku mau sendiri," balas Aalisha.

"Tapi—"

"Bacot Anila, turuti saja apa yang kukatakan. Kita harus segera membawa kedua kuda ini keluar sebelum ada yang kemari." Aalisha tidak peduli dengan wajah murung Anila karena gadis kecil itu barusan membentak Anila dengan cukup kasar. Entah mengapa suasana hati Aalisha sedang buruk saat ini.

Beruntungnya kedua kuda seolah menurut saja karenanya mereka tidak memberontak ketika Aalisha dan Anila menarik tali pelana mereka, kemudian membawa keduanya menuju pintu istal. Namun, seperti yang Aalisha pikirkan sebelumnya jika ada firasat buruk ia rasakan, maka terjadilah hal itu.

Mylo harusnya berjaga di luar, tetapi ia malah melangkah masuk, bukan karena sengaja hendak mengacau, tetapi seseorang di belakang Mylo adalah pengacau sebenarnya. Terlebih lagi pengacau itu dan kedua temannya mengacungkan pedang tepat ke leher Mylo yang sangat rawan untuk ditebas kapan pun mereka siap.

"Sudah kuduga jika kalian pasti merencanakan sesuatu," ujar lelaki rambut krem gradasi perak dengan manik mata yang seolah menganggap Aalisha dan Anila sebagai penjahat.

"Killian Cornelius," ucap Aalisha.

"Maafkan aku." Mylo berucap.

"Tak masalah Mylo," sahut Anila.

"Aku sudah tahu. Aku tahu ketika kalian mulai sering keluar asrama setiap malam, melakukan hal aneh diam-diam, selalu membuat alasan agar bergantian keluar dari kelas ketika pelajaran berlangsung." Killian berujar yang membuat Anila dan Mylo terkejut karena Killian sadar akan semua tindak-tanduk mereka, sedangkan Aalisha tidak sama sekali terkejut. Meski Killian sangat menyebalkan dan terkesan sebagai anak manja, dia tetaplah cerdas dibandingkan murid lainnya dan karena dia putra tunggal Marquess maka dia punya kepekaan terhadap sekitar terutama pada hal-hal mencurigakan.

"Apa maumu?" ujar Aalisha, sedangkan Killian seolah hendak tersenyum, tetapi senyumannya penuh rasa takut.

"Aku semakin sadar jika ada sesuatu yang kalian rencanakan, terutama malam kemarin. Aku melihat kalian keluar asrama lagi, lalu aku juga melihat orang asing seperti pembunuh. Pasti kalian hendak menemui orang itu 'kan?! Sebenarnya apa yang kalian rencanakan! Bisa saja kejadian minotaur ada hubungan dengan kalian begitu pula profesor Ambrosia! Kini kalian hendak mencuri kuda."

"Katakan apa maumu bodoh," ucap Aalisha lagi.

"Mauku? Aku hanya ingin kalian menghentikan rencana kalian yang entah apa itu! Tapi kuyakin rencana kalian jugalah yang membawa melapetaka bagi akademi ini! Dan aku akan menghentikannya, takkan kubiarkan Eidothea hancur karena kalian." Killian semakin mendekatkan pedangnya ke leher Mylo lalu ia memperlihatkan semacam alat yang digunakan sebagai penanda, ternyata flare signal yang bila ditarik pemicunya maka akan tertembak semacam kembang api berwarna merah menyala.

"Saat ini, di sisi lain ada latihan Oulixeus, jika kutarik pemicunya, maka mereka semua akan kemari dan akan kukatakan pada seluruh murid akademi mengenai rencana kalian!" Sama sekali ia tidak main-main dengan perkataannya. "Jika kalian berniat menyerangku, maka Mylo yang lebih dulu masuk rumah sakit, lalu kutarik pemicu flare signal ini, dan kalian benar-benar akan dikeluarkan dari akademi!"

"Sialan kau." Tangan Anila mengepal sangat kuat, tetapi ia tak boleh gegabah. Namun, mereka tidak bisa gagal, ada banyak hal dipertaruhkan di sini. Mereka harus kabur dari Killian bagaimana pun caranya.

"Jika kalian tidak ingin dikeluarkan, maka turuti perkataanku, dimulai dengan lepaskan kedua kuda itu, keluar dari kandang ini, lalu ikuti aku tanpa memberontak." Killian menurunkan pedangnya sedangkan tangannya bersiaga menarik pemicu flare signal. Sementara kedua temannya tetap mengacungkan pedang mereka ke leher Mylo.

"Baiklah jika itu yang kau mau," sahut Aalisha lalu meraih tangan Anila yang terkepal kuat. "Kami akan menuruti perkataanmu."

"Bagus," ucap Killian lalu memberi isyarat pada kedua temannya agar tidak melepaskan pandangan dari Mylo kemudian mereka melangkah mundur ketika Aalisha dan Anila melangkah maju agar keluar dari kandang itu.

Berada di luar, awan hitam semakin menutupi langit seolah hujan akan segara turun. Aalisha dan Anila sudah berada di luar, cukup jauh dari istal di belakang mereka. Di hadapan keduanya, Killian berdiri sementara Mylo masih ditahan oleh kedua teman Killian.

"Kami sudah di luar, jadi lepaskan Mylo," ucap Anila.

"Kau pikir aku bodoh Andromeda! Takkan kulakukan, karena bisa saja kalian menyerang kami setelah kulepaskan dia!"

Aalisha menatap tanpa berkedip, parameter kesabarannya sudah diambang batas. Andai hanya dirinya sendiri di sini, maka sudah sejak tadi ia habisi lelaki Cornelius sialan itu! "Kalau begitu, apa yang kau mau? Tetap melaporkan kami, padahal kau sudah merusak semua rencana kami."

"Memang itu yang mau kulakukan, kalian telah berbuat hal gila yang bisa saja menghancurkan akademi ini, itulah mengapa kalian memulai rencana kalian ketika profesor Eugenius dan beberapa pengajar tak ada di sini! Aku akan mencegahnya, kalian akan mendapat hukuman atas perbuatan kalian itu!" Killian benar-benar siap menarik pemicu flare signal tersebut. "Kalian akan hancur terutama kau, gadis kasta bawah!"

"KILLIAN!" teria Anila.

"Abiecisse." Maka sukses sihir tersebut membuat Killian terempas ke tanah dan flare signal-nya terlepas dari tangannya.

Lekas teman Killian hendak mengayunkan pedangnya ke leher Mylo. Namun, digagalkan karena Gilbert tiba-tiba menangkis pedang tersebut kemudian Frisca berteriak merapalkan mantra. "Percusserom Impetum!" Sukses kedua teman Killian terlempar hingga tubuh mereka membentur pepohonan.

"Bajingan!" teriak Killian menarik pedangnya lagi, ia dengan cepat merapalkan mantra yang berbalik menyerang Frisca hingga gadis itu tersungkur ke tanah.

Melihat Frisca tersungkur, Kennedy lekas menyerang Killian dengan pedangnya juga, tetapi berhasil ditangkis. Lalu teman Killian menyerang Kennedy, hanya saja Mylo menahan serangan tersebut. Satu teman Killian hendak menyerang lagi, tetapi Anila dengan cepat menggunakan sihir, menyebabkan teman Killian sekali lagi terempas ke belakang. Aalisha menuju Frisca hendak membantu gadis tersebut. Amarah Killian yang memuncak, ia seketika menggunakan teknik sihir yang cukup mengempaskan semua yang ada di sekelilingnya hingga menghantam tanah bahkan Killian tidak peduli jika temannya sendiri terluka karena sihirnya.

Mereka semua menatap pada Killian yang menggenggam erat pedangnya. Namun, teralihkan ketika Mylo berucap, "sudah cukup Killian. Kau kalah, kalah jumlah dari kami. Kau takkan bisa menghentikan kami, jadi sudahi semua ini."

"Kalian pikir begitu?" Killian tersenyum lalu menatap pada Gilbert yang memegangi flare signal-nya. "Gilbert apa yang kau tunggu, cepat tarik pemicunya?!"

"Tunggu Gilbert! Jangan lakukan!" teriak Kennedy.

"Kenapa kau mau mendengarkan mereka!" Killian berucap kembali. "Padahal mereka menyembunyikan banyak hal darimu, dari kalian! Mereka adalah teman yang tak menganggap kalian. Buktinya, mereka tidak menceritakan apa pun pada kalian bukan? Saat ini ada sesuatu yang mereka rencanakan, apakah kalian tahu? Tidak! Karena mereka tidak menganggap kalian teman, kalian hanya dimanfaatkan mereka saja!"

Mylo langsung berteriak, "tutup mulutmu Killian!!"

"Aku benar 'kan? Kalau mereka menganggap kalian sebagai teman, maka katakanlah rencana kalian pada mereka? Katakanlah, Andromeda, Cressida, katakan pada mereka, Aalisha!" Killian menatap pada mereka satu per satu, lalu berhenti di Gilbert yang menggenggam erat flare signal tersebut.

"Menyedihkan. Kalian bertiga sama sekali tak tahu rencana mereka padahal kalian sering bersama-sama atau kalian bersama-sama ketika mereka ada maunya saja?" Kini Killian menjulurkan tangannya pada Gilbert agar lelaki itu menyerahkan flare signal padanya.

"Gilbert!" ucap Anila, kini Gilbert menatap padanya. "Jangan, jangan dengarkan dia. Kami melakukan semua ini demi Eidothea."

"Gilbert, jangan dengarkan dia!" teriak Killian, "serahkan flare itu padaku, mereka harus dihentikan! Kau pasti sudah sadarkan kalau mereka menyembunyikan sesuatu darimu, sesuatu yang mungkin bisa membawa akademi ini ke dalam kehancuran. Misalnya saja penyerangan minotaur, mereka pasti tahu sesuatu, tapi tidak mengatakan apa pun padamu. Kini mereka merencanakan hal lain ketika profesor Eugenius tak ada di sini. Aku harus menghentikan mereka, sebelum bencana terjadi di sini. Jadi serahkan flare itu padaku, jika kau tak mau, maka kau saja yang menarik pemicunya agar semua tahu perbuatan dan rencana busuk mereka. Kalau kau lakukan itu, niscaya kau akan jadi pahlawan akademi ini."

"Gilbert." Kali ini Mylo berujar, ia sempat menatap pada Kennedy dan Frisca yang terlihat goyah seperti Gilbert juga. "Kami memang menyembunyikan hal ini pada kalian, tapi bukan karena kami tidak menganggap kalian teman. Kami melakukannya agar kalian tidak dalam bahaya. Kumohon, percayalah pada kami."

Gilbert sangat bingung, tangannya gemetar menggenggam flare signal tersebut. Dia sangat ingin percaya pada Aalisha dan lainnya, tetapi mengetahui jika mereka ternyata merencanakan sesuatu tanpa mengatakan pada Gilbert, Frisca, dan Kennedy jadi membuatnya goyah untuk percaya. Terutama pengaruh perkataan Killian yang membuat Gilbert takut jika semua itu benar, jika mereka hanya memanfaatkan Gilbert dan lainnya demi rencana mereka, jika semua pertemanan mereka hanyalah kepalsuan semata. Lalu bagaimana kalau perkataan Killian benar adanya bahwa apa yang Aalisha, Anila, dan Mylo lakukan hanya akan membawa malapetaka bagi Eidothea?

"Gilbert apa yang kau tunggu?! Jangan terpengaruh pada mereka! Mereka hanya memanfaatkanmu saja!" Killian sudah diambang batas kesabaran.

"Gilbert kumohon percayalah pada kami," pinta Anila.

Tangan Gilbert sudah di dekat pemicu, ia menangis pula, lalu hanya tinggal ia tarik maka pemicu itu akan meluncurkan kembang api maka gagal total sudah rencana Aalisha dan lainnya untuk pergi dan menyelamatkan desa Shakaleta.

Aalisha menatap Gilbert yang tangannya gemetar itu. Maka ia menghela napas, kemudian berdiri, dan berujar, "tarik saja pemicunya, Gilbert."

Sukses perkataan Aalisha itu membuat semua yang ada di sana terkejut bukan main, begitu pula Killian. Sungguh tak dapat disangka akan tindak-tanduk gadis kecil itu yang kini berujar kembali.

"Semua yang terjadi adalah hakmu untuk percaya pada kami atau tidak. Aku tak begitu paham pertemanan karena ini pertama kalinya dalam hidupku. Hanya saja, hal yang kupahami ... kurasa teman itu akan sering mengejek, bertengkar untuk hal-hal bodoh dan sepele, bermain sampai membuang waktu. Namun, akan kembali berbaikan. Jujur kami memang menyembunyikan sesuatu, tapi bukan tanpa alasan, bukankah sudah kukatakan pada kalian? Kini kembali pada pilihan kalian untuk percaya pada kami atau tidak. Meskipun begitu, apa pun pilihan kalian, entah percaya pada kami atau tidak, bukankah kita sudah saling berjanji. Maka kami akan berusaha menepati janji kami. Kuharap juga kalian menepati janji kalian Itu." Aalisha lalu terdiam karena sadar jika ia seperti ngomong ngelantur. "Ah, sial. Aku bingung dengan perkataanku sendiri."

Gilbert tertawa sambil menangis, ia benar tak bisa menghentikan tangisannya. Kini tangannya menjauh dari flare signal tersebut. "Kau memang gadis pendek menyebalkan."

Gigi Killian gemeretak saking ia kesalnya. "Gilbert!! Jika kau tak lakukan, maka akan kupinta ayahku untuk memutuskan hubungan kerja dengan ayahmu itu!! Keluargaku akan hancur olehku!"

"Killian berhenti untuk mengancamnya!" teriak Anila.

Killian malah tertawa. "Mengancam?! Aku berkata sungguhan, hei Gilbert, jika kau masih ingin keluargamu hidup tenang maka turuti perkataanku! Bukankah kau sangat menyayangi keluargamu itu! Hah!"

"Killian," ucap Gilbert menatap Killian, terlihat mata Gilbert memerah akibat tangis. "Urusan bisnis itu adalah masalah ayahku. Jangan seenaknya kau mengaturku, BAJINGAN! Frigus Aquemerium."

Sukses air bah dingin meski tak begitu deras dan kuat menerjang Killian yang membuat lelaki itu terempas ke belakang, punggungnya menghantam pohon dengan kuat, dan seluruh tubuhnya basah kuyup.

"Sialan! Aku berhasil!" teriak Gilbert karena tidak gagal menggunakan teknik sihir itu. "Lihat aku bisa—"

"Fortis Foras!" Maka Gilbert terpelanting karena terkena hantaman kuat dari teman Killian di wajahnya.

"Gilbert!" teriak Fricsa.

"Hei, rebut flare-nya!" Anila mengomando.

"Terlambat!" Lekas teman Killian itu mengambil flare signal tersebut lalu diarahkan ke langit dan siap ia tarik pemicunya. "Rencana kalian gagal—"

"ROAAARRRRRKKKKKKHHHHH."

Suara teriakan itu mengalihkannya yang hendak menarik pemicu flare signal, lalu tergantikan dengan tubuhnya terempas ke belakang, berdarah serta tak sadarkan ia ketika ambruk ke tanah karena terkena serangan cakar dari seekor Monster yang meraung untuk kedua kalinya lagi sehingga mereka yang berada di sana harus menutupi telinga mereka.

Kini tampaklah seekor monster sangat besar, bukan minotaur! Namun, monster yang tubuhnya hampir sebesar minotaur. Tubuhnya seperti beruang dengan kulit cokelat, kaki dan tangan besar, monster berbentuk beruang itu dibalut zirah perang yang sangat tebal, kuat, dan kokoh. Lalu yang menjadikan beruang itu sebagai monster adalah kepalanya yang tidak hanya banyak luka serta memiliki tanduk menjulang seperti seekor rusa, gigi taring tajam dan panjang keluar dari mulutnya, serta mata merah darah. Melainkan karena di samping kepala beruang itu, tubuh kepala baru yang berupa kepala seekor serigala abu-abu yang punya taring juga serta bulu berwarna perak. Monster berupa hybrida beruang dan serigala itu memiliki ekor sangat panjang yang sampai terseret-seret di tanah setiap ia berjalan. Lalu tangan kanannya membawa kapak, sedangkan tangan kiri membawa gada dengan dibalut besi-besi tajam.

"A—apa itu Anila?" tanya Mylo dengan jantung yang sudah berdegup tak karuan.

"Aku tidak tahu," sahut Anila, "aku tidak tahu monster apa itu, tapi gabungan antara beruang dan serigala—"

"Beer Misvormwolfir," ujar Aalisha, "kurasa itu jenis monster yang bisa melakukan hybrida, tetapi bukan beruang itu tubuh utamanya melainkan serigala karenanya di tengah dahi serigala itu ada semacam permata hijau menyala. Dia bisa berganti tubuh ke binatang yang mati atau yang menjadi mangsanya. Hampir mirip Mirzurich Zalmos. Lalu monster itu mampu menggunakan sihir. Ada kemungkinan dia berada di tataran tingkatan C atau B."

"Itu artinya!" teriak Mylo, sungguh ia terkejut bukan main karena Aalisha tahu akan monster tersebut, begitu pula yang lain bahkan Killian sama terkejutnya karena dia saja tidak pernah diajarkan tipe monster secara detail oleh keluarganya.

"Artinya—" Suara raungan monster itu terdengar kembali. "Cara mengalahkan monster itu, hancurkan permata di dahi serigalanya!"

Mereka semua terempas ke belakang ketika satu gada diayunkan sehingga menghasilkan angin besar. Mylo terempas hingga menabrak pintu istal, Anila merasakan sakit di punggungnya karena terkena semak-semak. Aalisha dan Frisca menghantam tanah cukup keras, teman Killian yang lain terempas jauh hingga kepalanya membentur batu dan pingsan, sedangkan Killian terempas jauh pula, meski ia masih sadarkan diri.

Merasa ia jauh dari posisi sang monster, Killian meraih pedangnya dan hendak kabur. Aalisha sadar lelaki itu akan kabur, sialan! Itu adalah kesalahan fatal. "Killian, jangan lari, dia akan mengincarmu!"

Maka benar seperti yang Aalisha katakan, monster tersebut langsung menerjang ke arah Killian dengan kedua senjatanya yang terangkat ke atas. Sadar hampir di ambang kematian, Killian menggunakan sihir, entah sihir apa, tetapi ia harus selamat dari kematian maka sihir tersebut memang berhasil mencegahnya dari kematian. Namun, Killian berdarah karena kapak itu berhasil menggores lengannya kemudian dia terlempar jauh, menghantam pohon hingga roboh satu, ambruk dan tidak sadarkan diri.

Maka berbalik monster tersebut pada Aalisha dan lainnya. Baru Aalisha dan Anila hendak meraih pedang mereka. Frisca menghentikan Aalisha, begitu pula Kennedy yang menahan Anila untuk menarik pedangnya.

"Tidak, pergilah kalian. Kami akan tangani hal ini," ucap Frisca.

"Tunggu apa?! Tidak, kami tidak bisa meninggalkan kalian!" teriak Anila menatap pada Kennedy.

"Kalian harus pergi selagi ada kesempatan," sahut Kennedy melangkah melewati Anila, melewati Aalisha lalu berada di depan mereka semua dengan pedang teracung ke arah monster tersebut. "Kuyakin para murid akan kemari, lalu mereka akan terfokus pada monster ini, jadi kalian harus memanfaatkan situasi."

"Dia benar," balas Gilbert, "Mylo lekas ambil kudanya. Lekaslah! Bukankah misi kalian penting demi melindungi akademi ini!"

"Tidak, jika begini kalian, kalian akan mati!" Mylo mulai meneteskan air mata.

"Cengeng!" balas Frisca, "kami takkan mati. Berhentilah meremehkan kami, bukankah kalian akan melakukan hal yang sama untuk kami? Maka segeralah pergi, karena kami akan baik-baik saja."

"Tapi—"

"Mylo ambil kudanya," ujar Aalisha, "lekas ambil kudanya!"

Maka Mylo langsung masuk ke dalam istal setelah mendengar Aalisha berteriak. Anila masih tak setuju, dia sangat takut. Harusnya mereka tidak terlibat rencana Anila dan lainnya. Namun, pada akhirnya mereka tetaplah terlibat pula bahkan nyawa mereka bisa saja berada di jurang kematian. "Biarkan aku kumohon, kita bisa mengalahkan monster itu bersama-sama lalu kami akan pergi setelahnya."

"Anila, pergi. Percayalah pada kami," balas Kennedy tersenyum tipis, kini terdengar lagi raungan monster tersebut.

Mylo mendekati mereka dengan dua kuda, ia lekas naik ke satu kuda berwarna cokelat. Sementara itu, Aalisha meraih tangan Anila. "Kita harus pergi, kita harus hentikan Zephyr." Kemudian menarik Anila ke kuda cokelat agar ia naik ke kuda itu bersama dengan Mylo. Lekas pula Mylo peka dan membantu Anila naik.

Kini Aalisha meraih pelana kuda lainnya, ia naik ke atas, lalu menatap Gilbert lagi. "Bertahanlah sampai orang-orang datang."

"ROOOARRRKKKKHH." Sang monster sadar jika ada yang hendak kabur darinya.

"Ingat untuk incar permatanya jika kalian bisa," sahut Aalisha, "Mylo pergi duluan. Cepat!" Mylo langsung memacu kuda tersebut yang semakin terdengar raungan sang monster.

"Pergilah, kami akan menahannya," sahut Frisca.

"Aalisha," ucap Gilbert, "ternyata kau menyembunyikan banyak hal dari kami. Terutama identitasmu ya, siapa sebenarnya kau? Meskipun begitu, aku akan terus menunggu sampai kau mengatakan pada kami semua."

"Ya, tunggulah."

Suara dentingan pedang terdengar ketika Kennedy menahan serangan monster tersebut sementara Frisca merapalkan mantra.

"Jangan lupa janjimu," sahut Gilbert, mempererat genggaman pada pedangnya. "Berjanjilah kalian akan kembali dengan selamat, tak kurang satu pun."

Aalisha terdiam, menatap Gilbert yang tersenyum tulus padanya. Ah, bahkan perkataan Gilbert juga sangat tulus. Kapan lagi Dewa, Aalisha yang tidak percaya manusia kini mendapatkan ketulusan yang begitu besar? Kini perlahan Aalisha tersenyum tipis. Entah senyumannya ini tulus atau tidak, tetapi ia ingin membalas senyuman Gilbert. "Kau juga, berjanjilah untuk bertahan di sini. Karena para Dewa sudah pasti melindungi kalian yang berhati baik. Sampai jumpa." Aalisha memacu kudanya, meninggalkan mereka, meninggalkan gerbang akademi Eidothea. Namun, ia takkan lama karena sudah berjanji akan kembali. Maka janji itu akan ditepatinya, ya pasti akan dia tepati karena seorang Aalisha takkan pernah ingkar pada janjinya.

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

Katakan sesuatu untuk chapter ini?

Vevede yang malang karena bertemu Majestic Families.

Sepertinya tiga Majestic Families akan terlibat juga dalam misi merebut kembali Zephyr dan mengalahkan para Phantomius.

Gue suka nulis interaksi antara Eloise dan Aalisha kwkw, ibarat kucing dan tikus^^

Bagaimana ya kelanjutan dari Aalisha dan kawan-kawan menjalankan misi mereka. Akankah mereka berhasil? Ataukah ada korban jiwa?

Prins Llumière

Sabtu, 11 Februari 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top