Chapter 64

Suara dari halaman belakang asrama Arevalous membangunkan Aalisha pada pukul lima subuh. Biasanya tidur selama empat sampai lima jam sudah cukup mengisi seluruh tenaga Aalisha, tetapi hari ini merasa sangat lelah, ia malas sekali untuk menjalani aktivitas di hari ini. Haruskah ia izin saja dengan alasan sakit atau bolos tanpa memberitahu profesor yang mengajar hari ini?

Kini Aalisha menarik selimutnya, berbalik ke kanan, ia melamun. Harusnya di jam seperti ini, dia sudah mandi dan bersiap dengan seragam akademi. Juga membaca beberapa materi sebelumnya. Namun, perasaan malas itu ibarat magnet yang tak mengizinkannya untuk bangkit dari ranjang atau barangkali tidak diizinkan mengumpulkan niat untuk beraktivitas. Hanya saja, ketika dipikirkan lagi, bukan karena perasaan malas melainkan sesak karena harus menghadapi hari-hari yang mungkin akan semakin buruk.

"Sial, kuharap aku benar-benar sakit parah agar tidak perlu bersekolah dan memikirkan segala kekacauan di sini." Aalisha menarik selimutnya hingga menutupi seluruh tubuhnya serta wajahnya.

Perasaan yang dirasakan Aalisha, ternyata dirasakan oleh Anila pula. Gadis Andromeda yang biasanya sudah membaca buku sebelum memulai hari serta berpakaian lengkap dan akan mengetuk pintu kamar Aalisha agar berbarengan menuju lantai bawah, kini gadis itu duduk di lantai, di karpet tebal berbulunya. Anila menatap pada sebuah peta yang direntangkan, penuh coretan.

"Kenapa manusia harus menjadi Phantomius," gumam Anila, menekuk kakinya, dipeluk sambil menatap peta itu terus-menerus. "Padahal bangsa iblis membuat hidup semua makhluk menderita. Siapa sebenarnya yang iblis di sini? Ayah, aku takut ...."

Berada di lantai empat. Meski Mylo sudah berbalut seragam Eidothea, tangannya menggenggam cangkir yang berisi cokelat hangat. Dia hanya duduk di ranjangnya sambil menatap keluar jendela, barangkali melamun sehingga kesadaran lelaki itu tak ada di sana.

Gilbert selaku teman sekamarnya hanya bisa menatap Mylo. Ia merasa sedih juga. Entah apa yang mereka dapatkan semalam setelah mengobrol dengan kakak tingkat mengenai pembunuh di hari kemarin serta mereka kembali hampir pukul sepuluh malam. Gilbert yang saat itu sengaja menunggu temannya, langsung terbesit rasa sesak ketika Mylo tiba dengan wajah penuh kesedihan, mata memerah, bahkan Gilbert sadari jika lelaki itu habis menangis terisak-isak karena hidungnya juga merah. Maka Gilbert urungkan untuk bertanya pada Mylo karena ia takut semakin membuat Mylo sakit.

"Mylo, jika kau tak enak badan, lebih baik tidak usah turun sekolah," ujar Gilbert akhirnya memecah keheningan.

"Kini aku tahu." Mylo berucap.

"Apa?"

Mylo berujar, "alasan kenapa Easton dan Noah suka berbuat ulah dan konyol, kurasa untuk menutupi kesedihan mereka. Sebelum aku kemari, kedua kakakku itu pernah kehilangan teman kelas mereka. Tiada karena dibunuh manusia keji. Pada saat upacara pemakaman, mereka berdua tidak menangis sama sekali, esoknya mereka malah tertawa karena berbuat keonaran. Kupikir mereka sangat tolol karena tertawa ketika masih berduka. Padahal nyatanya mereka berdua paling hancur. Ternyata ini alasannya, kini pun kurasakan juga, sayangnya aku tidak sekuat mereka berdua."

Berada di luar kastil Asrama Arevalous ketika matahari sudah mulai bersinar terang. Terdengar banyak murid yang membicarakan profesor Ambrosia, banyak di antara mereka yang tidak menyangka akan kejadian kemarin yang hampir merenggut nyawa tiga murid. Atas kejadian itulah, topik utama yang dibicarakan para murid berubah drastis. Tidak ada yang membicarakan gadis kasta bawah, tetapi sombong serta tak ada pula yang membicarakan Majestic Families karena topik mereka dari mulut ke mulut adalah mengenai profesor Ambrosia.

Layaknya perdebatan yang ada pro dan kontra-nya. Begitulah pembicaraan-pembicaraan mengenai Ambrosia, ada yang masih tak percaya Ambrosia berniat membunuh tiga murid, berbagai macam praduga dan teori mereka tuturkan. Terlebih lagi, Ambrosia yang mereka kenal selama ini adalah wanita cantik dengan manik mata indah, serta sangat mengkhawatirkan murid-muridnya, meski Lilura bonekanya sangat menyeramkan. Lalu mengapa ia berubah drastis dan tak disangka-sangka hampir membawa nyawa tiga murid kepada malaikat kematian?

Sementara itu, pihak yang kontra terhadap Ambrosia tak kalah banyak, ibarat ombak kebencian yang menerjang pantai, maka kebencian inilah yang menyebar dengan cepat. Mereka tidak peduli dengan kebaikan Ambrosia karena jelas-jelas wanita itu hendak membunuh, apa perlu diperdebatkan salah dan benarnya? Pembunuhan adalah kejahatan tingkat atas dan sangatlah salah. Kini para murid pun memberikan banyak asumsi dan praduga seperti; tujuan Ambrosia melakukan pembunuhan. Mungkinkah empatinya sebagai manusia sudah hilang. Jangan katakan jika sejak awal kebaikan Ambrosia hanyalah topeng semata ataukah Ambrosia merupakan bagian dari kelompok yang memperjualbelikan manusia serta praduga lainnya yang masih banyak lagi. Hingga praduga yang paling melewati batas adalah Ambrosia yang seorang Phantomius.

"Tamerlaine!" teriak profesor Eugenius yang kini berada di kantornya dan menatap ke luar jendela. Memperhatikan murid-muridnya yang bergerombol dan saling bergosip.

"Ya Masterku," ujar Tamerlaine muncul di belakang profesor Eugenius.

"Pada murid mulai membicarakan Ambrosia. Padahal sudah diperingatkan ke masing-masing asrama untuk tidak membahas masalah ini secara besar-besaran. Saat ini Ambrosia dalam perjalanan menuju pengadilan. Pasukan khusus akan kemari menyelidiki kasus ini jadi masih belum terbukti jika Ambrosia melakukan pembunuhan itu. Sesuai undang-undang, Ambrosia akan di penjara dulu sampai penyelidikan lebih lanjut dilakukan dan segalanya terbukti. Namun, para murid malah membicarakannya."

"Adakah yang harus Hamba lakukan?" ujar Tamerlaine.

"Aku takut jika ini tersebar hingga keluar akademi, hal ini dapat membuat nama Ambrosia tercoreng. Terlebih jika sebenarnya ia tak bersalah. Hidupnya akan hancur, begitu pula keluarganya. Andaikata ia terbukti bersalah, lebih baik pengadilan atau media surat kabar yang mengatakannya dibandingkan terdengar melalui gosip dan rumor. Kau pasti paham jika para bangsawan, sangat kejam jika sudah termakan berita palsu dan gosip. Jadi aku perintahkan kau, jangan sampai semua ini tersebar keluar akademi sampai kasus Ambrosia benar-benar diputuskan oleh pengadilan Kheochiniel."

"Akan Hamba laksanakan, Master." Tamerlaine membungkuk sebagai tanda penghormatan, lalu menghilang dari sana.

"Ambrosia, kuharap kau tidak bersalah, kuharap ada keajaiban yang bisa mengubah segalanya." Profesor Eugenius melirik pada seseorang yang datang. Salah satu Orly-nya selain Tamerlaine.

"Hamba, Peleus menghadap pada Master." Orly itu mengenakan pakaian ala bangsawan serta jubah panjangnya.

"Apa yang kau bawa Peleus?" ujar profesor Eugenius.

"Surat dari Kekaisaran Ekreadel, Anda diperintahkan menuju kota Al-Gueztro bersama dengan beberapa nama yang ada di dalam surat, keberangkatan Anda dimulai pada esok pagi atau paling lambat lusa sore."

****

Di salah satu ruangan yang biasa digunakan untuk kelas gabungan satu angkatan, terdengarlah riuh serta keributan terutama setiap murid saling mengobrol. Mereka tidak tertarik untuk membuat pesawat terbang dari kertas kemudian diterbangkan ke seluruh kelas seperti biasa.

Hari ini, ada kelas yang ditunggu-tunggu oleh angkatan tahun pertama itu atau lebih tepatnya mereka penasaran karena kelas ini berkaitan dengan topik utama yang sedang hangat dibicarakan. Ya, tentu saja karena kelas hari adalah kelas neith dan nereum yang diajar oleh profesor Ambrosia. Namun, bukankah dia telah ditangkap dan dibawa ke pengadilan? Jadi siapa yang akan menggantikan wanita itu untuk mengajar di kelas ini?

"Ha ha ha." Tawa terdengar di bangku atas, ya sangat ribut sekali mereka seolah-olah berada di rumah nenek mereka sehingga bisa bercanda sepuasnya. "Ada kemungkinan kelas ini ditiadakan selamanya, jadi kita langsung diluluskan dan naik ke tingkat selanjutnya."

"Aku setuju, bukankah lebih baik langsung luluskan saja dari pada belajar kelas ini atau mencari guru pengganti."

"Uh, setelah dipikir-pikir, sungguh kasihan nasib kita ya karena harus menghadapi semua ini di tahun pertama."

"Aku merinding, kupikir hanya bonekanya saja yang seram, ternyata pemiliknya jauh lebih menyeramkan."

"Sialan, haruskah kuceritakan pada ayahku akan hal ini, mulutku sudah gatal hendak berbicara dengannya."

"Hei jangan kau lakukan, nanti ayahmu tiba-tiba bawa pasukannya kemari untuk melindungi kita semua."

"Ibuku pasti marah besar karena aku berada di satu lingkup dengan seorang pembunuh. Ya, beruntungnya dia sudah tertangkap."

"Gila, gila, bisa saja kau benar jika selama ini profesor hanya berakting di depan kita semua."

"Jangan katakan jika kemarin dia tak tertangkap, kita bisa jadi korban selanjutnya."

"Inilah pelajaran untuk kita agar tidak mudah percaya begitu saja hanya karena melihat wajahnya dan sifatnya yang sok perhatian itu."

"Aku berpikir jika dia wanita tua, menyamar jadi wanita muda kemudian mengajar di sini untuk memakan anak-anak seperti kita!"

"Hah, jangan bilang wajahnya yang asli sangat buruk rupa. Seperti di dongeng tuan putri yang di penjara dalam kastil."

"Aku juga berpikiran begitu, beruntung, si wanita jahat akan segera di penjara!"

"Aku sangat takut, bagaimana jika dia bagian dari organisasi kriminal, atau memperjual-belikan organ tubuh manusia?"

"Aku lebih percaya dengan rumor dari kakak tingkat yang kukenal."

"Apa, apa isi rumor itu?"

"Seorang Phantomius, penyembah Raja Iblis."

Berada di sisi lain dari deretan bagian atas. Victoria menghela napas setelah menatap anak-anak itu bergosip ria. "Kau tak mau menghentikan mereka?"

"Maaf. Kau sendiri kenapa tidak bergabung, bukankah kau senang bergosip?" balas Ixchel sambil berfokus pada bukunya.

"Aku tidak tolol, aku tak mungkin bergosip akan pembunuhan terlebih dilakukan pengajar di sini. Mereka juga salah karena menyinggung Phantomius dengan gamblangnya," jelas Victoria.

"Kalau begitu buat mereka diam," balas Ixchel, ia membalik halaman buku yang ia baca. "Aku malas melakukannya."

Victoria memutar bola matanya. "Aku juga, mereka takkan menutup mulut begitu saja meski sudah diperingatkan."

"Ya sudah, biarkan saja." Ixchel kemudian berfokus kembali membaca, meski jauh dalam lubuk hatinya ia merasa sesak. Ternyata inilah pengkhianatan yang sering dikatakan pihak keluarganya jika seorang Majestic Families, cepat atau lambat pasti akan merasakan pengkhianatan dari orang terdekat, ternyata begini ya, hanya saja dia tak menyangka jika yang mengkhianatinya adalah guru favoritnya.

"Sudahlah!! Kenapa kau masih membelanya sih," teriak seorang murid dari asrama Faelyn di bangku tengah. "Jelas-jelas dia hendak membunuh tiga kakak tingkat, mereka selamat karena lekas ditolong dokter jika tidak mereka pasti mati. Dan kau masih membela wanita itu!"

"Aku tak membela, aku hanya mau, kita tidak membicarakan yang bukan-bukan. Pengadilan belum memutuskan."

"Apa lagi yang harus diputuskan jika banyak saksi mata termasuk profesor Madeleine!"

"Ya, dia itu pembunuh, Phantomius, pengkhianat keparat—"

Suara buku dibanting kuat ke meja terdengar dari bagian bangku depan. Menggelegar, membuat murid di dekat meja bagian depan itu jadi terkejut bukan main, bahkan teman dari gadis yang membanting bukunya juga sama terkejutnya. Beberapa murid menatap pada gadis bangsawan yang kini berdiri dari bangkunya kemudian menengok ke belakang. Sayangnya, tak semua murid memperhatikan gadis itu.

"Bisakah kalian diam! Berhentilah bergosip!" teriak Anila menatap nyalang terutama di bagian bangku tengah.

"Hei, Andromeda. Apa hakmu melarang kita?" balas salah seorang murid.

"Ya dia benar," sahut lelaki yang sangat Anila benci. Putra dari Marquess Cornelius, si Killian. "Kenapa kau marah, santailah."

"Apa kau salah satu dari mereka yang masih membela pembunuh itu," sahut perempuan berambut pirang. "Dasar. Hanya karena kau Andromeda, jangan seenaknya memerintah kami."

Maka terdengarlah tawa para murid itu. Mereka kembali lagi bergosip, bahkan semakin besar dan nyaring karena sengaja sekali mereka memancing amarah orang-orang di sekitar. Perkataan mereka juga mulai tidak pantas seperti mengatakan agar profesor Ambrosia langsung dihukum penggal saja dan kepalanya dipajang di alun-alun kota kerajaan Kheochiniel.

"Anila sudah, kau tak bisa mengontrol mulut mereka," ujar Mylo menarik jubah gadis Andromeda itu.

"Sialan," balas Anila duduk.

"AHAHAHA. Mampus, sakitkan karena kebanyakan tak membelamu," ujar perempuan berambut pirang tadi diperuntukan pada Anila. "Menyedihkan, inilah balasannya jika kau membela si pembunuh itu."

Maka ditimpali oleh murid lain juga. "Makanya jangan sombong dan sok ngatur kami, hanya karena kau—"

Mereka langsung diam lalu menatap ke arah depan, murid-murid yang masih bergosip juga kini berhenti karena lekas menatap ke arah depan kelas. Begitu pula mereka yang hanya diam, atau memilih tidur di kelas kini mendongak. Setiap murid itu terkejut bukan main karena merasakan aura aneh di bangku bagian depan, serta muncul pentagram sihir berwarna biru terang yang mengarah pada semua murid di sana.

Pengguna dari pentagram sihir itu berdiri dengan masih memegang bukunya yang sejak tadi hendak ia selesaikan, tetapi terganggu karena suara-suara murid keparat di belakangnya.

"Aalisha," ucap Mylo menatap pada gadis kecil yang perlahan berdiri dari bangkunya. Begitu pula Anila yang tadinya menenggelamkan wajah di antara lipatan tangan kini mendongak, lalu menatap sahabatnya itu. Perlahan suara gadis kecil itu terdengar menggelegar ke seluruh ruangan kelas gabungan ini.

"Bisakah kalian semua tutup mulut busuk kalian itu! Aku di sini hendak fokus membaca, suara kalian benar-benar menggangguku. Jika masih saja mengoceh tak berguna. Akan kuhancurkan kelas ini dengan sihir itu dan membuat kita semua dilarikan ke rumah sakit!! JADI DIAMLAH!"

Sukses perkataan Aalisha membuat para murid yang bergerombol untuk bergosip langsung buru-buru menuju bangku mereka masing-masing dan meraih buku pelajaran lalu lekas mereka baca. Yang tadinya tiduran dengan kepala di atas lipatan tangan, kini menegakkan punggungnya, lekas ia raih bukunya pula. Murid yang bergosip lainnya juga lekas menutup mulut mereka dan menundukkan kepala karena merasa sangat takut. Ya, kelas yang mulanya riuh seperti pasar, akhirnya kelas itu jadi hening, tertib sekali, dan tak seorang pun berani membuka mulutnya lagi.

Mengetahui semua sudah tenang, Aalisha duduk di bangkunya bersamaan pentagram sihir biru di depan kelas dan sekeliling para murid perlahan menghilang. Kemudian ia membuka bukunya di halaman yang sudah ditandai sebelumnya dan dibaca kembali dari paragraf awal.

"Sialan, gadis itu benar-benar bisa mengontrol satu kelas ini," ujar teman Ixchel.

"Benar, bahkan kita saja tidak bisa," imbuh Victoria agak berbisik.

"Harus kuakui," ucap Ixchel, "meski dari kaum proletar, dia punya potensi menundukkan banyak orang."

Sementara itu, Mylo masih tercengang dengan mulut menganga dan mata melebar karena Aalisha mampu mengontrol satu kelas ini. "Kau gila. Sedikit ancaman darimu, kau mampu membuat mereka bungkam."

Sedangkan Anila tersenyum tipis kemudian berujar, "makasih Aalisha." Dia merebahkan kepalanya di pundak gadis kecil itu yang masih fokus membaca. Untungnya Aalisha biarkan saja Anila, meski dalam lubuk hatinya, dia sangat tidak suka dan risi.

Di bangku tak jauh dari posisi mereka bertiga. Gilbert terkekeh pelan, lalu berbisik pada Frisca dan Kennedy. "Mereka bilang tak ada yang bisa memerintah mereka, sekali Aalisha angkat bicara, semua langsung tunduk."

"Lagian mana ada yang tidak takut dengan ancamannya? Semua memang harus patuh pada si kecil itu," sahut Frisca.

"Ya, semua seolah tunduk padanya," imbuh Kennedy.

****

Setengah jam lebih berlalu, tetapi tidak kunjung juga kelas dimulai karena pengajarnya belum datang. Salah seorang murid turun pelan-pelan untuk bertanya pada pengajar lain di ruangan sebelah. Bagaimana dengan kelas mereka ini yang tak kunjung juga diberi kepastian, siapa pengajar penggantinya ataukah kelas hari ini ditiadakan saja? Namun, pengajar di kelas sebelah itu hanya menggeleng dengan artian tak tahu apa pun.

Jadi para murid pun kembali menunggu, saling diam sembari membaca buku, ada pula yang mencorat-coret kertas. Beberapa murid mulai mengobrol, tetapi suara mereka sangat pelan seolah berbisik, obrolan mereka juga tak mengarah sedikit pun pada profesor Ambrosia karena takut mengganggu dan membuat Aalisha marah. Sungguh, gadis kecil itu, kini benar-benar ditakuti murid angkatan tahun pertama.

"Capek. Mana belum ada kabar sama sekali mengenai kelas ini, bahkan dari profesor Eugenius ...."

"Hahh," sahut lelaki berambut hijau, saking kecil sekali suara temannya ini. Sampai tak terdengar olehnya. "Pegasus, kenapa tiba-tiba bahas pegasus?"

"Bukan pegasus goblok, Eugenius. Profesor."

"Genius, pegasus genius, kesosor. Apaan? ngomong yang jelas."

"Profesor Eugenius, bangsat!"

"Jangan nyaring bangsat, nanti ribut, kena marah kita sama dia."

"Makanya, tuh telinga benar-benar dengarnya. Aku bilang profesor Eugenius tidak ada memberi kabar mengenai masalah kelas ini."

"Oalah dari tadi ngomongnya."

"Sudah kubilang dari tadi!"

"Jangan teriak bodoh."

Sementara Itu, Aalisha menopang dagu sambil menatap tulisan di hadapannya. Ia jadi mulai kesal karena tak kunjung juga kelas dimulai, tidak, tidak, kelas tak perlu ada hari ini karena setidaknya mereka harus tahu siapa yang akan menggantikan profesor Ambrosia.

"Aku punya firasat buruk," ujar Aalisha menutup bukunya.

"Serius, jangan bikin takut," balas Mylo, "firasat apa?"

"Entahlah, aku hanya berpikir, lebih baik kelas ini ditiadakan saja." Aalisha menatap ke pintu masuk ruangan kelas ini.

"Apa karena pengajar pengganti?" ucap Anila, "tak ada kabar mengenai itu, kemungkinan juga profesor Eugenius yang akan menggantikan lebih dulu, semisal belum ada pengganti yang pasti."

"Kuharap juga begitu," sahut Aalisha.

Sayangnya takdir yang dituliskan berbeda dengan harapan mereka. Dari arah luar terdengar suara langkah kaki, bukan profesor Eugenius dengan jubahnya yang dominan warna putih gradasi biru, serta kacamata bulatnya yang kadang melorot. Melainkan suara sepatu hak tinggi berwarna perak mengkilap, gaun panjang nan cantik yang menyentuh mata kaki, penuh renda dengan beberapa perhiasan, kemudian sarung tangan yang menyelimuti tangan kurus nan gemulai. Selain itu rambut melebihi bahu yang terurai indah sekali. Ya, kini seorang wanita membuka pintu ruangan kelas gabungan tersebut, satu kelas pun diam sambil menatap pada wanita tersebut, perlahan dia menaruh buku-buku yang dibawanya di atas meja. Para murid memperhatikan, mereka sudah menebak jika wanita itu adalah salah satu profesor di angkatan atas yang akan menggantikan profesor Ambrosia mengajar di kelas ini.

Para murid yang ada di kelas itu, sebagian ada yang familiar dengan wanita pengganti profesor Ambrosia, ada juga yang tidak. Mereka terlihat senang karena akhirnya datang juga pengajar pengganti kelas ini, lalu melihat wajah wanita itu banyak yang memujinya cantik.

Senyuman para murid terbentuk. Kebahagiaan seolah memenuhi kelas ini. Benarkah? Benarkah kebahagiaan terukir di setiap wajah murid-murid di kelas itu karena sesungguhnya ada beberapa murid yang tak merasa begitu. Ya, bagi beberapa murid itu, kehadiran wanita tersebut adalah malapetaka.

"Perkenalkan." Suaranya terdengar ke seluruh ruangan. "Namaku Profesor Minna Hesperia, aku yang menjadi pengajar pengganti di kelas ini, mulai dari hari ini hingga semester berakhir. Salam kenal untuk kalian semua dan semoga kalian menyukaiku."

Para murid seolah terkena mantra yang membuat mereka semakin menyunggingkan senyum terutama ketika profesor Hesperia tersenyum pula.

"Sial, kenapa harus dia. Ini gawat," bisik Mylo.

"Oh tidak, kita lupa memikirkan kemungkinan ini." Anila ikutan berujar dan hanya bisa didengar Aalisha dan Mylo saja. "Kemungkinan jika dia akan mengajar di kelas kita."

"Sialan, harusnya bukan kelas ini yang ditiadakan, tapi guru pengganti itu saja yang tiada," bisik Aalisha juga. Langsung menegakkan punggungnya kemudian menyilang kedua kakinya, ia menatap nyalang pada Hesperia ketika wanita itu ternyata memperhatikan Aalisha dan memberikan senyuman yang seribu kali gadis kecil itu benci, sangat menjijikkan.

"Baiklah, semua tolong buka buku kalian di halaman 148, kita akan langsung menyambung materi dari pembelajaran Minggu lalu," ujar Hesperia membuat bukunya bersinar lalu munculah proyeksi tiga dimensi.

Maka dimulailah kelas bagaikan neraka untuk ketiga anak yang mengetahui kenyataan bahwa di hadapan mereka ini adalah seorang pembunuh keji. Mereka cukup merasa bersalah karena tidak bisa mengatakan pada murid-murid di kelas ini bahwa seorang pembunuh berada di ruangan yang sama dengan mereka.

Meskipun begitu, Anila, Aalisha, dan Mylo bisa melihat secara langsung bagaimana profesor Hesperia berlakon sangat sempurna dengan topeng yang menyembunyikan dirinya yang seorang pembunuh berantai dan penyembah Raja Iblis.

Pembelajaran pun berlangsung. Para murid mulai mencatat setiap materi yang disampaikan Hesperia. Mereka cukup memahami cara mengajar wanita itu, karena cara mengajarnya tidak jauh berbeda dengan Ambrosia. Selesai menjelaskan materi, Hesperia akan membuka beberapa pertanyaan yang lekas dijawabnya. Kemudian jarang sekali dia marah jika ada murid yang ribut dan mengoceh hal lain di luar pembelajaran. Berbeda dengan Ambrosia yang akan langsung marah. Selain itu, Hesperia lebih banyak memberikan pujian sehingga para murid jadi senang. Lalu para murid juga tak perlu takut akan boneka Belphoebe yang mengerikan sehingga jantung mereka bisa lebih aman. Terkadang Hesperia memberikan cerita seputar hal-hal yang dia ketahui sehingga para murid jadi tidak bosan.

Kini terdengar bisikan dari murid-murid jika mereka lebih senang Hesperia yang mengajar meskipun ada beberapa materi yang kadang tak mereka pahami. Namun, tidak masalah, mereka akan mengerti lagi jika membaca ulang catatan. Ya, mereka yakin dengan pemikiran mereka sendiri jika Hesperia jauh lebih baik dibandingkan Ambrosia yang seorang pembunuh keji itu. Maka terbesit di pemikiran mereka bahwa mereka berharap, Ambrosia segera dihukum mati.

"Kelas hari ini usai, tidak ada tugas untuk Minggu ini jadi silakan baca ulang materi dan beristirahatlah," ujar profesor Hesperia dan para murid mulai turun dari tribune secara bergiliran kemudian meninggalkan ruangan kelas.

Berada di dalam kelas itu, masih tersisa sekitar 30 murid karena masih ada yang mereka obrolkan termasuk Aalisha, Anila, dan Mylo. Oh, mereka sengaja menyuruh Gilbert dan lainnya pergi duluan. Kini mereka bertiga menatap pada Hesperia yang merapikan buku-bukunya, lalu dia menatap balik pada ketiga murid tercintanya itu, ya tercinta!

"Nona Aalisha," panggil Hesperia, "maukah kau membantuku? Buku-buku ini harus dikembalikan ke perpustakaan segera, sedangkan aku ada keperluan dengan profesor Madeleine."

Anila berdiri dari bangkunya. "Biar kami bantu juga, Profesor."

"Ya, aku akan bantu juga," ucap Mylo meski jauh di dalam lubuk hatinya, dia takut setengah mati. Hesperia takkan membunuh mereka secara terang-terang 'kan?

Mylo dan Anila lekas mengambil buku-buku di atas meja itu, masing-masing dari mereka membawa lima buku dari total sepuluh buku, jadi Aalisha tak perlu membawa apa-apa. Anila sangat yakin jika Hesperia tidak akan bertindak gegabah apalagi di kelas ini masih ada murid lain jadi mereka takkan dalam bahaya. Setelah Anila dan Mylo membawa buku tersebut, kini giliran Aalisha yang sambil membawa salah satu novel yang ia baca tadi.

Sungguh, sepanjang pelajaran tadi, Aalisha sama sekali tak mencatat dan memperhatikan penjelasan Hesperia karena dia enggan melakukannya jadi ia hanya membaca novelnya yang bagus sekali selesai dalam hari ini. Aalisha juga tahu jika Anila tidak seperti dirinya yang biasa ketika pelajaran berlangsung, gadis itu sama sekali tidak mencatat materi padahal biasanya dia bisa menghabiskan hingga belasan halaman dalam mencatat materi pelajaran. Begitu juga dengan Mylo, ia malah tak memperhatikan apa pun dan lebih banyak mengumpat dalam hati; umpatan karena benci dan takut yang bercampur menjadi satu.

Aalisha menatap Hesperia, dikarenakan tak membawa buku apa pun jadi gadis kecil itu hanya tersenyum kecil kemudian berujar, "aku akan tetap ikut mereka meski tak ada buku yang kubawa. Mungkin kita berdua bisa mengobrol untuk mengisi keheningan di jalan?"

Hesperia memperhatikan gadis kecil itu, entah apa yang diinginkannya. Namun, tentu saja akan Hesperia turuti permintaan Aalisha. "Baiklah, kita akan berpisah di salah satu koridor."

Maka mereka berempat berjalan melewati koridor yang sama, meski Anila dan Mylo berjalan di depan sedangkan Aalisha beriringan dengan Hesperia. Sesekali Mylo maupun Anila melirik ke belakang untuk memantau keadaan Aalisha, memastikan gadis itu baik-baik saja. Anila juga membuka cyubes-nya diam-diam kemudian mengirim pesan pada Frisca jika sesuatu terjadi pada mereka, maka Frisca harus lekas melapor pada profesor Eugenius atau Madeleine.

"Apa kau menyukai kelas hari ini? Ada keterlambatan sebelumnya karena aku harus berbicara pada pihak yang mengurus bagian akademik dan juga jadwal kelas," jelas Hesperia.

"Aku sedang tak enak badan," sahut Aalisha, "kuharap sekali kelas hari ini ditiadakan saja, nyatanya Anda malah datang untuk mengajar. Jadi ya, aku tak memperhatikan Anda mengajar tadi."

Hesperia tersenyum tipis. "Meskipun begitu, kelas akan tetap berjalan karena kalian tidak boleh tertinggal pelajaran satu hari pun. Lalu bersikaplah kau seperti seorang murid yang senang menuntut ilmu dibandingkan berbuat keonaran."

Gila, benar-benar gila. Haruskah Aalisha tertawa saat ini juga karena mendengar semua perkataan Hesperia? Tidak, jangan karena jika ia tertawa maka rumor mengenai Aalisha akan semakin memburuk. Namun, sungguh tak bisa dia menahannya jadi terpaksa tersenyum saja. "Begitu pula Anda 'kan? Jadilah pengajar yang setia pada Eidothea."

Tidak jauh lagi ada persimpangan koridor, Aalisha dan lainnya harus berbelok ke kanan karena menuju perpustakaan sedang Hesperia harus tetap lurus untuk mengurus keperluannya dengan profesor Madeleine. Maka tiba di persimpangan, Anila dan Mylo lebih dulu berbelok. Sementara itu, Hesperia menghentikan langkahnya, begitu pula Aalisha. Kini keduanya saling berhadapan.

"Aku tak memahami perkataanmu." Hesperia menatap nyalang. "Namun, kau harus bersyukur karena aku di sini untuk mengajarimu dan angkatan ini."

"Sejujurnya," balas Aalisha, "aku lebih senang jika profesor Ambrosia yang mengajar dibandingkan dengan Anda."

Tiba-tiba Hesperia melangkah hingga benar-benar di hadapan gadis kecil itu, ia lalu membungkuk sedikit sehingga Aalisha bisa lihat secara jelas manik mata itu. "Itu artinya, kau lebih senang jika diajari oleh seorang pembunuh. Menyedihkan."

"Bisa-bisanya Anda menyebutnya pembunuh padahal dia sahabat Anda." Maka Aalisha pun mengibaskan jubahnya, hendak pergi dari sana tanpa memberi hormat.

"Pembunuh tetaplah pembunuh, tidak peduli asal-usulnya. Lagi pula dia bukan sahabatku dan kita akan segera mengetahui kebenarannya, Nona Aalisha," ujar Hesperia, "bahwa pembunuh itu takkan pernah kembali lagi ke Eidothea."

Hesperia memberikan senyuman simpul pada Aalisha lalu wanita itu pergi, bisa Aalisha lihat senyum wanita itu karena dia melirik sebentar ketika Hesperia berujar tadi. Kini Aalisha lekas melangkahkan kakinya, dipercepatnya juga.

"Aalisha apa yang kau bicarakan dengannya?" tanya Mylo, "hei kenapa kau malah lari."

"Aalisha, ada apa? Aalisha!" teriak Anila harus mengejar langkah Aalisha begitu juga Mylo.

****

Seorang murid laki-laki berlari tergesa-gesa menuju salah satu ruangan yang sedang ada kelas, tetapi belum ada tanda-tanda profesor yang mengajar. Suara gebrakan pintu terdengar bersamaan murid itu masuk yang di tangannya membawa sebuah surat dari pasukan Vigilum Eques.

"Hei, kau mau menghancurkan pintunya?!"

"Sialan, kupikir profesor yang masuk. Kenapa kau dobrak pintunya bodoh!"

"Aku hampir saja jantungan!"

"Kau membangunkanku dari mimpi indahku, sialan!"

"DENGARKAN AKU, AKU BAWA SURAT PENTING!" teriaknya kemudian lekas ke tengah kelas, digunakan mantra yang kini isi surat tersebut terlihat di papan tulis.

Satu kelas yang terdiri dari 30 murid itu, cepat-cepat membaca tajuk dari surat beserta isinya yang ternyata pengirimnya adalah pasukan Vigilum Eques. Detik itu, setelah mereka membaca isi surat tersebut, para murid terkejut bukan main, sebagian terdiam membisu karena tidak percaya dengan apa yang mereka baca, ada yang merasa jantungnya berdegup kencang hingga sesak memenuhi dada. Ada yang hendak menyangkalnya, tetapi tak bisa karena ini adalah surat resmi yang dikirimkan Vigilum Eques.

Kini terdengarlah omongan dari mulut ke mulut, ada yang menangis dan enggan diajak bicara maka segera berlari keluar kelas karena tak mau tangisnya terdengar. Ada yang cepat-cepat memunculkan cyubes kemudian difoto isi surat tersebut lalu disebarkan ke teman-teman mereka, disebarkan pula ke kakak tingkat hingga adik tingkat mereka. Kini topik terbaru memenuhi seluruh akademi Eidothea bersamaan dengan badai hitam yang tak disangka-sangka masih bertahan menyakiti para murid maupun pengajar Eidothea.

Berada di salah satu sudut akademi Eidothea, lebih tepatnya di taman dalam kastil, dekat kuil. Aalisha berada di sana bersama dengan Anila dan Mylo. Mereka bertiga menatap cyubes masing-masing sambil membaca surat yang beredar di akademi ini.

"Oh Dewa, kenapa bisa, kenapa dia melakukan ini ...." Mylo merasakan sesak di dadanya menyeruak, lagi dan lagi.

Anila begitu juga, tetapi ia berusaha tegar. Kini lekas menatap pada Aalisha yang masih diam terpaku memandangi cyubes-nya. "Aalisha, kau tak apa?"

"Kami pasukan Vigilum Eques," ujar Aalisha membacakan isi surat yang dikirimkan Vigilum Eques.

"Hendak memberikan kabar buruk pada pihak akademi Eidothea bahwa tersangka pembunuhan terhadap tiga murid Eidothea, tersangka yang bernama Agrafina Briella Ambrosia. Kami mengabarkan bahwa tersangka kabur ketika dalam perjalanan menuju kerajaan Kheochiniel. Pasukan Vigilum Eques yang membawanya dibantai tak bersisa oleh komplotan dari tersangka pembunuhan. Ketika diselidiki, komplotan itu adalah para Phantomius. Kini atas kaburnya tersangka bersama dengan para Phantomius, maka pihak kerajaan langsung memutuskan bahwa tersangka dianggap buronan tingkat tinggi dan akan langsung dihukum MATI bila berhasil ditemukan, tanpa pengadilan sedikit pun. Atas surat ini jugalah, para murid Eidothea diperingatkan untuk berhati-hati bila tersangka kembali ke akademi."

Anila terdiam ketika Aalisha selesai membacakan isi surat tersebut yang menyatakan bahwa Ambrosia kabur ketika dalam perjalanan menuju kerajaan Kheochiniel dan dianggap buronan serta harus dihukum mati bila ditemukan.

"Dengan surat ini, berarti profesor benar terbukti sebagai pembunuh dan seorang Phantomius. Habisnya komplotan yang membantunya kabur adalah para Phantomius 'kan?" Mylo berujar, wajahnya tertunduk. Kini ia berusaha menahan tangisnya. "Apa kita sudah salah tentang profesor?"

"Tidak, tidak Mylo. Aku masih percaya padanya," balas Anila cepat. "Mungkin saja komplotan itu adalah suruhan dari Hesperia atau Zahava agar memperlancar rencana mereka, meyakinkan semua orang bahwa profesor Ambrosia bersalah. Mereka lah yang Phantomius, mereka lah yang harus dihukum!"

"Tapi bagaimana jika sebenarnya profesor Ambrosia maupun Hesperia dan Zahava bekerjasama? Bagaimana jika semua ini adalah rencana mereka bertiga, bisa saja bukan? Hesperia itu yang menghina profesor Ambrosia jugalah bagian dari rencananya untuk mengelabui kita bertiga, membuat kita memikirkan segala kemungkinan ini!" sahut Mylo, bibirnya gemetar begitu pula tangannya.

"Lalu bagaimana dengan perkataan Lilura pada malam itu, hah! Tidakkah kau pahami jika perkataan boneka itu sangat tulus, dia yakin jika Ambrosia bukanlah pelakunya, dia bilang pembunuhan yang terjadi itu seolah bukan profesor Ambrosia yang dia kenal. Bisa jadi kekuatan Zephyr adalah dalang dibalik semua ini!" Suara Anila meninggi bersamaan air matanya mulai jatuh. "Dan jika kita benar, jika Zephyr benar mengendalikan profesor, maka profesor hanya dijadikan kambing hitam saja, Mylo! Hidupnya akan hancur, dia dicaci-maki oleh murid-muridnya, dia dihina seluruh masyarakat kekaisaran Ekreadel, keluarganya juga akan hancur. Begitu dia ditemukan, profesor akan langsung dihukum mati, lalu ketika kebenaran terungkap padahal ia tak bersalah, maka semuanya sudah terlambat, sia-sia! Kau tahu betapa tak adil hidupnya itu."

"Anila ...."

"Aku juga akan hancur Mylo. Karena aku tahu kebenarannya, tapi aku tak bisa menolongnya, aku tak bisa berbuat apa-apa. Jadi setidaknya, meski kita tak bisa menyelamatkan profesor, kita harus percaya jika dia bukanlah Phantomius dan pembunuhan yang dilakukannya bukan karena keinginannya." Anila tertunduk dengan tangis yang semakin membasahi kedua pipinya. Mylo yang merasa sangat bodoh karena berpikir jika profesor Ambrosia adalah pembunuh seperti pemikiran murid-murid lain, maka ia mendekati Anila, perlahan dipeluknya tubuh gadis itu yang malah semakin terisak tangisnya. Mylo pun mulai menangis dan sama terisak seperti Anila.

Aalisha yang sejak tadi hanya diam, kini dia berbalik, menatap pada kedua manusia di depannya itu. "Anila, Mylo," panggilnya, perlahan Anila melepaskan pelukan Mylo kemudian beralih menatap Aalisha, Mylo juga begitu.

"Kita temui profesor Eugenius, kita minta padanya untuk menemukan profesor Ambrosia, meminta juga padanya untuk mengatakan pada pihak kerajaan agar tidak langsung menghukum mati profesor Ambrosia. Lalu kita temukan Zephyr di desa Shakaleta, jadikan bukti, dan hukum kedua pengkhianat bajingan itu!"

****

Ruangan profesor Eugenius berada di salah satu menara paling tinggi di kastil akademi ini. Diperlukan mantra untuk membuka akses menuju ruangan tersebut, setelah melewati koridor yang mengarah pada ruangan profesor Eugenius, maka akan ditemukan sebuah pintu berwarna cokelat yang cukup besar. Segera diketuk pintu tersebut, perlahan terbuka yang ternyata Orly milik profesor Eugenius lah yang membukakan pintu tersebut, yaitu Tamerlaine.

"Ah, salam Nona, Aalisha, Nona Andromeda, dan Tuan Cressida," sapa Tamerlaine.

"Terima kasih Tamerlaine, kami hendak menemui profesor Eugenius, apa beliau ada?" ujar Anila.

"Ternyata ada tamu di hari ini, maaf aku agak berantakan karena mengurus beberapa hal," ujar profesor Eugenius turun ke bawah melalui tangga melingkar yang ada di ruangan ini.

"Tidak masalah Profesor," sahut Mylo.

"Tuan Cressida, apa kau habis menangis? Matamu merah sekali. Perlu kuberi obat mata, kebetulan Tamerlaine punya merek yang bagus dan manjur." Profesor Eugenius berujar begitu membuat Mylo jadi malu. Sialan, apakah masih terlihat jelas jika ia habis menangis? Padahal sebelum kemari, Mylo sudah membasuh wajahnya.

"Tidak perlu Profesor," sahut Mylo.

"Jangan sungkan. Tamerlaine tolong ambilkan obat mata yang kau berikan padaku hari itu," ucap profesor Eugenius maka Tamerlaine lekas mencari obat mata di salah satu lemari penyimpanan.

"Nona Andromeda dan juga Aalisha, silakan gunakan obat matanya juga, meski mata kalian tidak semerah Tuan Cressida." Profesor Eugenius tersenyum simpul. Kemudian melangkah hingga di depan ketiga muridnya yang entah apa yang hendak mereka sampaikan.

"Terima kasih Profesor, meski aku tak memerlukannya," sahut Aalisha.

"Aalisha," sahut Anila menatap sinis karena gadis kecil ini cukup tidak sopan. "Terima kasih Profesor atas obat matanya."

Mylo benar-benar diberikan obat mata oleh Tamerlaine jadi karena tak enak menolak, mau tidak mau, Mylo gunakan. Ya, untung juga sih karena Mylo bisa menghilangkan kemerahan di matanya ini akibat menangis tadi. Setelah ia teteskan di matanya, ia serahkan obat mata tersebut pada Anila yang sama seperti Mylo, Anila harus menggunakan obat mata itu sebagai tanda terima kasih dan penghormatan pada profesor Eugenius. Terlebih matanya juga sedikit merah meski tak separah Mylo.

"Jadi apa gerangan yang membawa kalian kemari?" Profesor Eugenius tersenyum tipis.

"Aku akan langsung mengatakannya tanpa basa-basi. Kami kemari untuk membahas masalah profesor Ambrosia," ujar Aalisha yang tak ia sadari jika di belakangnya, Anila dan Mylo sedang rusuh masalah obat tetes mata. Sejak tadi Anila belum bisa meneteskan obatnya tepat ke matanya, selalu gagal. Hal ini membuat Mylo kesal dan geram.

"Jadi kalian sudah mengetahui kabar tentang Ambrosia yang kabur sebelum sampai di Kheochiniel," ujar profesor Eugenius, "harusnya surat itu tak diambil salah satu murid dan biarkan aku yang mengumumkannya."

"Apa Anda berniat menyembunyikannya dari para murid?" balas Aalisha yang karena jawaban itu membuat Anila terkejut sehingga obat tetes mata tidak berhasil menetes ke matanya, lagi.

Profesor Eugenius menggeleng. "Tidak, aku akan mengatakannya, tetapi di waktu yang tepat seperti mengumpulkan seluruh murid di aula besar karena jika tersebar dengan cara ini, maka akan menggiring opini tidak baik. Bukankah kalian sudah tahu opini seperti apa?"

"Meskipun diumumkan secara resmi oleh Anda, pada murid akan tetap beropini tak baik," sahut Aalisha.

Mylo terdiam karena mendengar jawaban gadis kecil itu. Ia jadi gagal meneteskan obat mata di mata Anila karena kini Mylo tengah berpikir keras. Bisa-bisa mereka akan dikeluarkan dari akademi ini karena Aalisha terus menyahut dengan kalimat yang mengajak perang. Mylo pun memilih menyerah, sambil menyodorkan obat tetes mata tersebut, akhirnya Tamerlaine yang akan membantu Anila meneteskan obat matanya.

"Baiklah, kau benar, aku setuju denganmu Nona Aalisha. Jadi apa yang bisa kubantu?"

"Minta pada pihak kerajaan untuk tidak menghukum mati profesor Ambrosia."

"Kenapa harus kulakukan?" sahut profesor Eugenius. "Apa ada alasan khusus agar aku berbicara pada raja Kheochiniel dan memintanya untuk tidak menjadikan Ambrosia sebagai buronan serta tidak menghukumnya mati?"

"Ada!" ucap Anila, sudah selesai juga drama obat tetes mata. "Bagaimana jika profesor Ambrosia hanya dijebak? Pihak kerajaan harus melakukan penyelidikan lebih dahulu, tidak masalah jika profesor di penjara selama masa penyelidikan. Namun, jangan dihukum mati sebelum ada pengadilan dan hasil penyelidikan."

"Profesor, Anda tahukan betapa anehnya Athinelon ini. Apa saja bisa terjadi, bahkan seperti yang Anila katakan, profesor Ambrosia dijebak. Jadi pihak kerajaan harus menyelidiki semua ini, lalu melakukan pengadilan," sahut Mylo, "karenanya kami hendak meminta agar Anda mengatakan hal ini pada Raja Kheochiniel."

Profesor Eugenius memperhatikan ketiga muridnya ini. Kini sudah terjawab alasan mata mereka memerah, terutama Anila dan Mylo. Ternyata karena menangisi profesor Ambrosia. Perlahan Eugenius menyampirkan kedua tangannya ke belakang, lalu berujar dengan nada yang terdengar sendu. "Maaf, aku tidak bisa."

"Kenapa? Apakah Anda juga berpikir jika profesor Ambrosia melakukan semua ini? Berapa lama Anda mengenalnya sampai Anda tak bisa membelanya?" sahut Anila. Perkataan Anila membuat Aalisha melirik. Padahal sama saja, jika gadis Andromeda itu berani berbicara keras pada kepala akademi ini.

"Aku percaya jika Ambrosia tidak bersalah. Dia sangat menyayangi Eidothea. Namun, masalah ini rumit, terlalu rumit. Pertama, kita tak punya bukti apakah Ambrosia melakukan semua ini dengan kesadarannya atau dijebak seperti yang kalian katakan. Kedua, awalnya Ambrosia tidak langsung dihukum mati, tetapi akan dipenjara sesampainya di Kheochiniel dan pihak Vigilum Eques akan melakukan penyelidikan. Namun, atas berita ini, atas kaburnya Ambrosia membuat pihak kerajaan akan langsung menghukum mati Ambrosia.

"Ketiga, yang membantu Ambrosia kabur adalah komplotan Phantomius, organisasi Phantome Vendettasius. Musuh terbesar kekaisaran dan seluruh ras Athinelon. Tentu saja semua akan berpikir jika Ambrosia adalah bagian dari mereka karena mereka membantai pasukan demi menyelamatkan Ambrosia sebelum sampai di kerajaan. Kelima, jika aku menghadap raja Kheochiniel, apa yang harus kukatakan, aku tak punya bukti apa pun. Jika aku berkata hanya berdasarkan asumsi, pihak kerajaan takkan percaya apalagi asumsi dari anak-anak seperti kalian, mereka hanya berpikir jika kalian mengarang saja.

"Kalian harus tahu, di Eidothea saja mulut manusia sangat mengerikan. Apalagi manusia di luar akademi; para bangsawan, politikus, organisasi, dan lainnya. Mereka takkan percaya begitu saja."

Perlahan profesor Eugenius menyentuh pundak Aalisha. "Maaf Aalisha, aku tak bisa membantu sama sekali. Andai saja, Ambrosia tidak kabur bersama para Phantomius, memilih untuk melawan mereka, maka ada kemungkinan Ambrosia tidak dijatuhi hukuman mati. Namun, dia memilih kabur bersama dengannya. Jadi sekali lagi, aku meminta maaf kepada kalian bertiga karena aku tidak bisa membantu kalian."

****

Hari ini sangat buruk dibandingkan penyerangan pasukan minotaur. Aalisha, Anila, dan Mylo menuruni tangga lalu menuju koridor. Mereka melangkah pelan seperti tak ada semangat hidup. Kini terdengar para murid sedang membicarakan profesor Ambrosia dan mereka bangga karena tebakan mereka benar jika Ambrosia adalah bagian dari Phantomius. Lalu mereka begitu senang karena profesor itu akan dijatuhkan hukuman mati bila ditemukan. Benar, benar sekali, seorang pembunuh pantas untuk mati dengan mengenaskan! Jika bisa, siksa saja dia dulu hingga memohon ampun kemudian dipenggal kepalanya atau bakar hidup-hidup!

Meskipun begitu, ada beberapa murid yang memilih tak membicarakan profesor Ambrosia, kebanyakan dari mereka berasal dari angkatan tahun keempat hingga keenam karena mereka lebih lama mengenal Ambrosia dan rasanya sangat patah hati mengetahui semua kabar ini.

"Mau ke asrama langsung?" ujar Anila.

"Frisca bilang, dia di kantin kedua. Dia mau kita ke sana," sahut Mylo setelah mengecek cyubes-nya.

"Ya, baiklah. Aalisha, kau bagaimana?" tanya Anila.

"Aku mau sendiri dulu, aku mau pergi ke kuil yang terbakar itu," ucap Aalisha.

"Haruskah ditemani?" balas Anila, "kau tak boleh sendiri, apalagi rawan begini. Biarkan aku menemanimu."

"Tidak. Aku mau sendiri."

"Tapi, Aalisha, kami khawatir—"

"Jangan atur aku. Paham," balas Aalisha langsung melenggang pergi dari sana. Tanpa mempedulikan perkataan Anila maupun Mylo lagi.

"Biarkan dia, dia akan baik-baik saja," ujar Mylo.

Anila menganggap. "Ya, ayo kita temui Frisca dan lainnya."

****

Berada di kuil tersebut, Aalisha tetap melepaskan sepatunya ketika memasuki kuil yang tak ada karpet dan masih terasa kotor karena debu dan abu kebakaran lalu belum dibersihkan tuntas. Kini gadis itu duduk bersimpuh kemudian menatap pada patung yang ada di tengah sana, perlahan tangannya terangkat, ia lalu memanjatkan doa. Tidak butuh waktu yang lama Aalisha berada di sana.

Setelahnya, ia kembali memasang kedua sepatunya. Kemudian melangkah menyusuri koridor untuk langsung ke Asrama saja, tidak berniat berkumpul dengan Anila dan manusia-manusia lainnya. Ketika di salah satu belokan koridor, dia melihat Hesperia baru selesai mengobrol dengan salah satu pengajar tahun keempat. Aalisha sengaja menghentikan langkahnya karena ia sadari jika Hesperia berjalan ke arahnya.

"Tak kusangka kita bertemu lagi," ujar Hesperia, "bukankah takdir karenanya kita sering bertemu?"

"Iya," sahut Aalisha, "memang takdir yang tak terduga, sayangnya aku tak suka takdir ini. Terutama ketika Anda ada di dalamnya."

Profesor Hesperia seketika terkekeh, ia merasa bahwa gadis kecil itu sangat lucu dan menggemaskan. Aalisha semakin saja menggemaskan karena ia sudah kalah setelah tersebarnya surat dari Vigilum Eques bahwa Ambrosia kabur bersama para Phantomius.

"Aku kasihan padamu," ujar Hesperia, "kepercayaan yang kaubuat, ternyata runtuh dengan mudahnya, betapa menyedihkannya kau karena membela seorang pembunuh. Tidak, bukan hanya pembunuh, tetapi Phantomius. Kini Ambrosia mendapatkan pengadilan dan hukuman yang pantas untuk hidupnya. Kau tahu, aku memikirkan hukuman apa yang akan diberikan pada Ambrosia; apakah dicambuk kemudian dirajam, dipenggal kepalanya, atau dibakar hidup-hidup. Ya, Aalisha berbahagialah engkau karena profesormu itu akan segera mati."

Detik ini, hal yang paling ingin Hesperia lihat adalah gadis kecil yang sombong itu menundukkan pandangannya kemudian mengubur semua keangkuhannya itu karena jelas sekali jika ia telah kalah, Ambrosia yang ia bela, sebentar lagi akan menemui kematian.

"Begitukah?" sahut Aalisha. Ia malah mendongak, menatap Hesperia dengan mata membulat serta gadis itu menyeringai.

Sontak membuat Hesperia memundurkan langkahnya. Apa-apaan itu?! Mengapa gadis kecil itu masih bisa tersenyum lebar dan tak sedikit pun menundukkan pandangannya apalagi takut?! Mengapa, mengapa pula Hesperia harus memundurkan langkahnya, mengapa ia merasa takut pada gadis itu?

"Profesor Hesperia yang terhormat. Aku tak peduli pada pengadilan kerajaan Kheochiniel dan hukuman yang Anda maksudkan itu." Aalisha tahu jika Hesperia memundurkan langkahnya, maka dari itu, Aalisha melangkah maju.

"Karena pengadilan yang aku tunggu adalah pengadilan Sang Dewi Tertinggi. Dewi Aarthemisia D'Arcy yang akan menentukan pengadilan yang sesungguhnya serta mengungkapkan kebenarannya. Tak ada satu pun makhluk di Athinelon yang bisa melawan kuasa pengadilannya, termasuk Anda, jadi camkanlah itu dan tunggulah siapa yang akan tertawa bahagia."

Aalisha menyibak jubahnya, kemudian melenggang pergi dari sana, begitu angkuh, sangat angkuh, dia sengaja memperlihatkan keangkuhan yang dia miliki. Sungguh membuat Hesperia dongkol, seluruh tubuh wanita itu panas akibat amarah, ia menatap Aalisha penuh kebencian dan dendam. Ketika gadis kecil itu sudah pergi jauh, amarahnya meledak bagaikan letusan gunung berapi.

"BAJINGAN KAU ANAK CACAT! Lihat saja nanti, jika Zephyr berhasil di tangan bangsa iblis, maka kau anak pertama yang kucari dan akan kubuat kau sangat menderita hingga kau memohon ampun padaku. Kusiksa kau setiap harinya, kucambuk berulang kali, kuhunuskan besi panas hingga menembus tulang-belulangmu. Lalu kuhancurkan hidupmu, sehancur-hancurnya, aku bersumpah demi Raja Iblis Ezequiel untuk membuatmu menderita!!"

Sementara itu, Aalisha tersenyum puas seiring dengan langkahnya. Ia sangat yakin jika Hesperia marah besar dan menggila karenanya. Maka sebelum menuju koridor penuh para murid berlalu-lalang, Aalisha berujar pula.

"Dia hendak menghancurkanku, takkan pernah terjadi. Karena akan kubawa pedang penghakiman Dewi Aarthemisia turun ke Athinelon dan kubinasakan mereka semua, aku bersumpah!"

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

Setiap ada pembaca baru, gue selalu mikir gini: "Ya Allah, kasihan banget pembaca baru ini harus sabar menghadapi tingkah para tokoh dan teka-teki ceritanya."

Ketika satu kelas tunduk dan takut sama Aalisha╹⁠▽⁠╹⁠ 

Tinggal beberapa chapter menuju terbongkarnya identitas Aalisha^^

Jadi sebenarnya Aalisha ada di pihak siapa? Apakah dia membela Ambrosia atau pembelaan itu hanyalah sandiwara? Sebenarnya siapa yang bersandiwara di sini~

Prins Llumière

Jum'at, 10 Februari 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top