Chapter 62
Hari ini kehidupan akademi berjalan seperti biasa begitu normal meski banyak keonaran yang diperbuat para muridnya hingga mereka harus dihukum pihak akademi dan mendapat pengurangan poin. Lalu kelas-kelas berjalan lancar, kelas pelatihan pedang sangat mendominasi lapangan terlebih ketika ada kakak tingkat yang sedang unjuk bakat. Kemudian ada juga kelas biologi yang mempelajari tanaman pemakan binatang, sungguh mengerikan, beruntung saja manusia tidak bisa dimakan jika tidak tanaman-tanaman itu akan menjadi bencana. Beberapa kelas terpaksa dipadatkan jadwalnya karena beberapa profesor yang mengajar ada keperluan di luar akademi sehingga tidak bisa mengajar untuk beberapa hari ke depan.
Akhir-akhir ini, Aalisha, Anila, dan Mylo sedikit menjaga jarak dengan Frisca serta lainnya. Mereka kadang tiba-tiba hilang tanpa berpamitan dengan Frisca. Mereka terpaksa melakukan ini agar ketiga manusia itu tidak terlibat dalam marabahaya. Terutama mereka sering sekali melihat profesor Zahava maupun Hesperia berkeliaran di koridor sekitaran murid angkatan tahun pertama berada. Entah sengaja atau tidak, mereka patut diwaspadai.
Sangat benci sekali Anila akan senyuman profesor Hesperia ketika mengobrol dengan murid-murid lain, profesor gila itu juga berusaha mengajak ngobrol Anila. Namun, gadis itu abaikan dengan secepatnya menjauh dari sana. Benar-benar mengerikan jika dipikir-pikir karena mereka bertiga hidup di atap yang sama dengan seorang pembunuh berantai, dua Phantomius.
Diam-diam di sela pergantian kelas atau ketika kelas telah usai. Anila, Aalisha, dan Mylo pergi ke perpustakaan untuk mencari informasi mengenai desa-desa yang menjadi target dari para Phantomius. Kadang mereka nekat melakukan misi mencari informasi ini ketika pembelajaran sedang berlangsung hal ini karena beberapa kali mereka ketahui jika Zahava diam-diam memantau mereka. Maka waktu yang paling tepat adalah ketika pembelajaran sedang berlangsung. Pada waktu ini, Zahava dan Hesperia juga mengajar jadi minim mereka bertemu. Lalu alasan yang digunakan agar mereka keluar dari kelas ada cukup banyak, entah pergi ke toilet, dihubungi pihak keluarga. Aalisha paling ahli dalam masalah ini karena dia sering menggunakan izin sakit sehingga para pengajar mempersilakan apalagi gadis kecil itu memang terkenal paling sering dilarikan ke rumah sakit. Jadi mereka bertiga bergantian untuk menjalankan misi ini ketika pembelajaran sedang berlangsung.
Siang ini, Aalisha berbohong jika ia sakit sehingga izin tidak kelas, beruntungnya ia izin pada pelajaran profesor Solana yang dikenal sebagai pengajar lemah lembut dan baik hati seperti kasih sayang ibu. Ah sial, Aalisha tak tahu maksud kasih sayang ibu itu.
Sejak kemarin mereka bertiga terus mencari informasi akan desa-desa yang diincar para Phantomius, mereka yakin jika desa-desa itu tidak sembarangan dibantai melainkan telah dipikirkan matang-matang. Jadi mereka harus mendata setiap desa, kapan kejadian pembantaian, berapa banyak korban jiwa, adakah korban yang selamat, hingga jeda waktu dan hari sebelum pembantaian ke desa selanjutnya
"Di mana ya peta itu," ujar Aalisha lalu menatap pada gulungan kertas berwarna cokelat di rak yang sangat tinggi. Sudah ia yakini jika kertas itulah sebuah peta yang ia cari. Namun, kenapa harus ditaruh di rak paling tinggi? Tidakkah pengelola perpustakaan ini memikirkan mereka yang tidak bisa menjangkau barang yang ditaruh di tempat tinggi? Kini Aalisha berpikir, haruskah ia menggunakan sihir hanya untuk mengambil barang saja.
"Biar kubantu." Suara itu terdengar persis di samping Aalisha bersamaan tangan panjang yang mengambil gulungan kertas berupa peta kemudian diserahkan pada Aalisha. "Ini saja atau ada lagi yang perlu kubantu?"
Semerbak aroma bunga lavender bercampur madu sehingga tercium manis kini menyebar. Aalisha benci aroma manis yang menyengat, tetapi berbeda dengan lelaki ini yang aroma dari parfumnya tidak menyengat sama sekali. Pasti membuat banyak orang ketagihan, pantas saja lelaki itu memiliki banyak penggemar.
Wajahnya itu, ibarat dipahat sehingga tercipta begitu tampan. Mungkinkah ia sengaja diberkati ketampanan atau para Dewa sengaja mengukir wajahnya dengan tangan kanan sehingga begitu sempurna? Pasti jika ada yang berkata kalau lelaki itu berasal dari negeri dongeng, banyak yang akan percaya. Terlebih lagi manik matanya yang dapat mengalahkan ribuan permata dan batu rubi saking indahnya manik mata itu.
Kini manik mata Aalisha bertautan dengan manik mata lelaki itu, saling bertukar pandang. Sesaat Aalisha terpikirkan, mengapa hanya dirinya yang memiliki manik mata hitam legam? Ketika murid-murid di Eidothea ini punya keunggulan dalam fisik mereka? Contohnya saja Eloise Clemence dengan mata amber serta kecantikan di wajahnya, kemudian Nathalia Clodovea yang tak kalah cantik juga bahkan ia punya senyuman yang meneduhkan. Kemudian lelaki di hadapannya ini. Manik mata ungu yang sedikit bersinar ketika cahaya matahari mengenai wajahnya. Dewa sangat menyayanginya karenanya keberuntungan selalu ada di pihaknya.
"Terima kasih meski aku tidak butuh bantuanmu, Nicaise," sahut Aalisha lekas mengambil gulungan kertas tersebut.
"Begitukah, kalau aku tidak bantu, kuyakin hingga esok pun kau takkan bisa mendapatkannya. Meski ada kursi di sini, naik ke kursi pun, kau tetap takkan sampai, saking kau pendeknya," sahut Nicaise yang bagaikan ratusan pisau menerjang dada Aalisha.
"Sialan, sekarang pergilah," sahut Aalisha beranjak dari sana, tetapi malah diikuti Nicaise.
"Apa yang kau cari itu? Peta untuk apa?" Nicaise tersenyum simpul meski Aalisha selalu memberikan punggung padanya.
Aalisha sendiri baru sadar jika masalah Zephyr dan Phantomius di akademi ini tidak boleh sampai ketahuan oleh Majestic Families. Bisa semakin besar masalahnya nanti. "Ini bukan urusanmu jadi pergilah!"
Nicaise menggeleng kemudian menyodorkan sebuah novel pada Aalisha. "Aku akan pergi setelah kaumenerima novel ini."
Diperhatikan sampul novel tersebut ternyata dari salah satu pengarang novel yang Aalisha punya semua cetakan novelnya. Ada kemungkinan jika novel di tangan Nicaise ini adalah novel baru terbit. Harusnya bisa dia terima saja pemberian Nicaise. Lagi pula itu hanyalah novel, takkan mengancam nyawa Aalisha. Namun, gadis itu sama sekali tak menyukainya.
"Tidak. Sudah kukatakan sebelumnya 'kan, kalau aku tak mau punya ketertarikan buku yang sama denganmu," sahut Aalisha, "lagi pula Nicaise, bisakah kau berhenti untuk mengusikku. Katakan juga hal ini pada Eloise dan Athreus karena aku tak mau diusik kalian."
"Jadi kauberpikir jika aku mengusikmu padahal kenyataannya aku sedang beramah-tamah padamu." Nicaise berujar. Sialan sekali mulutnya itu yang ingin Aalisha timpuk pakai batu.
"Beramah-tamah, aku tak perlu ramah-tamahmu itu. Tidakkah kau berpikir jika kehadiranmu semakin membuatku dibicarakan satu sekolah? Berhentilah untuk mendekatiku karena hanya akan menambah rumor yang tidak-tidak. Jadi mohon kau pergi, Nicaise." Aalisha hendak mencari buku lagi yang membahas geografi wilayah.
"Bukankah sudah kukatakan, aku akan pergi jika kau menerima novel ini." Nicaise tersenyum sambil menyodorkan buku yang hanya Aalisha tatap.
"Tidak. Bawa buku itu sejauh mungkin dariku."
Sialan, Nicaise menarik tangannya dan menatap sinis pada Aalisha. Tidak ia sangka jika gadis ini sangat gigih, antara Aalisha memang tak mau menerima buku ini ataukah gadis itu sadar jika setiap sampul dari buku ini sudah Nicaise lapisi racun? Alasan inilah Nicaise mengenakan sarung tangan ketika menyentuh buku tersebut Sungguh, Nicaise tak berniat membunuh Aalisha, paling-paling gadis itu akan muntah darah jika menyentuh sampulnya. Dia hanya ingin mengetes gadis kecil itu saja.
"Baiklah, tak masalah. Namun, sebagai gantinya, kau harus mengobrol denganku," jelas Nicaise, "hanya lima menit saja. Jadi Aalisha, aku mau bertanya—"
"Bisakah gantian yang yang bertanya padamu?" sahut Aalisha cepat.
"Apa?"
"Nicaise." Sebenarnya Aalisha hanya asal bertanya karena ia tak mau ditanya-tanya oleh lelaki ini yang bisa saja ia menggunakan teknik mendeteksi kebohongan, lalu bertanya hal-hal tak baik. Dikarenakan hanya lima menit, maka pastinya hanya satu obrolan yang mereka bahas. "Apa kau pernah dikhianati oleh seseorang?"
"Sering, sejak kecil aku sudah dikhianati oleh banyak orang."
Hening, benar-benar hening setelah Nicaise menjawab pertanyaan Aalisha. Sungguh tak Aalisha sangka jika Nicaise akan menjawab dengan begitu jujur, bahkan lelaki itu kembali berujar, "salah satu dari yang pernah mengkhianatiku adalah suami dari bibiku. Bibiku adalah garis keturunan cabang Von Havardur, dia menikahi seorang pria dari kalangan bangsawan yang terkenal. Aku memanggil suaminya dengan nama Paman. Kau harus tahu, jika kehidupan pernikahan mereka sangatlah indah, seperti kehidupan dongeng. Bibiku sangat mencintai suaminya melebihi apa pun, dia rela menyerahkan segalanya. Hingga suatu hari, pamanku berkhianat pada keluarga Von Havardur.
"Dia menculikku ketika aku berumur tujuh tahun, berniat membawaku ke Phantome Vendettasius karena paman adalah seorang Phantomius, budak Iblis. Namun, penculikan itu gagal. Paman ditangkap oleh pihak keluargaku. Atas pengkhianatan terhadap Majestic Family, Von Havardur. Ayahku selalu kepala keluarga memberi titah untuk menghukum mati pamanku dengan cara dipenggal kepalanya dan diperlihatkan ke seluruh masyarakat archduchy Von Havardur dengan cara kepala paman dipajang di alun-alun kota.
"Apa kau tahu siapa yang menjadi algojonya? Ayahku memerintahkan bibiku yang melakukan penghukuman itu, artinya bibiku akan menghukum suaminya sendiri, bibiku harus memenggal kepala suaminya, suami yang sangat ia cintai, tetapi berkhianat padanya. Pernikahan yang indah itu, berubah menjadi mimpi buruk. Namun, bibiku tidak gentar, dia akan melakukannya dan menghukum suaminya padahal saat itu, dia tengah mengandung anak pertamanya. Maka bibi memenggal kedua kaki dan tangan serta kepala suaminya kemudian kepala itu dipajang di alun-alun kota. Pada saat itu, seluruh keluarga Von Havardur hadir, termasuk ayahku, begitu juga aku. Aku menyaksikan semua hukuman itu.
"Esoknya, bibi diperintahkan untuk membantai seluruh keluarga dari suaminya karena keluarganya jugalah Phantomius. Maka dia lakukan, tak satu pun dia berikan hidup. Di tengah pembantaian itu, bibi keguguran dan kehilangan anaknya. Setelah itu, bibi hanya menjalani hidupnya seorang diri, membawa nama keluarga cabangnya, serta tak menerima cinta lagi. Apa kau tahu Aalisha? Aku ketika melihat semua itu, ketika mengetahui aku hampir dibawa ke para iblis, kemudian melihat bibi mengeksekusi suaminya sendiri, aku tak pernah merasa dikhianati. Namun, ketika aku mulai paham, ketika umurku bertambah. Aku akhirnya merasa sakit, tapi bukan karena paman mengkhianatiku, melainkan karena paman menghancurkan pernikahannya dan menghancurkan bibiku. Betapa bodohnya pamanku itu membuang hidupnya yang sempurna, hidup dengan wanita yang sangat mencintainya hanya demi Raja Iblis, sungguh bodoh. Itulah salah satu dari sekian pengkhianatan yang aku alami."
Nicaise terdiam, ia menatap cyubes-nya dan ternyata pembicaraan mereka lebih dari lima menit. Maka Nicaise harus menyelesaikan obrolan mereka. "Beruntung kau tidak menerima buku ini karena aku memberinya racun."
Aalisha menatap Nicaise yang kepalanya tertunduk sesaat. Kemudian buku di tangan Nicaise, perlahan-lahan dibakarnya. "Aku hanya ingin melihat apa kau sama seperti gadis-gadis murahan di sana yang selalu mencari kesempatan untuk menjilatku. Ternyata kau berbeda. Ya, kau berbeda."
"Nicaise."
"Pembicaraan kita selesai, aku pergi." Maka Nicaise menyibak jubahnya kemudian melenggang pergi dari sana. Meninggalkan Aalisha yang terdiam menatap punggung lelaki itu hingga hilang di balik pintu.
Aalisha menutup mata sesaat, menghela napas. Kemudian kembali mencari buku yang ia butuhkan, setelah menemukan buku itu. Ia segera pergi dari perpustakaan itu.
****
Kini Aalisha, Anila, dan Mylo berada di taman dalam kastil di dekat kuil yang terbakar. Kini ruangan kuil itu sudah bersih seperti sedia kala, meski masih ada bekas menghitam di dinding ruangan. Berkali-kali sudah berusaha dibersihkan para Orly, tetapi noda kehitaman itu tak kunjung hilang. Kemungkinan ini salah satu keajaiban para Dewa yang ingin memperlihatkan bahwa noda kehitaman itu adalah kebesaran Mereka. Meskipun kuil ini belum ditata dan dekorasi ulang, tetapi patung Dewa yang tidak terbakar itu sengaja ditaruh di atas meja yang ada di dalam kuil itu. Profesor Eugenius mengatakan jika kuil itu akan ditata ulang ketika liburan semester 1 nanti.
"Baiklah, jadi bagaimana?" ujar Mylo memperbaiki posisi duduknya kemudian bergeser agar bisa melihat peta yang direntangkan di atas rerumputan. Kini mereka bertiga sedang duduk di rerumputan itu.
"Kurasa aku menemukan pola penyerangannya," ujar Anila sambil meraih sebuah pena berwarna merah. "Akan kujelaskan jadi tolong pahami, kita tak punya banyak waktu."
"Oke," balas Aalisha.
"Akhir-akhir ini media surat kabar Lè Ephraim mengangkat berita akan pembantaian desa-desa kecil, lalu disusul media surat kabar lain. Kebanyakan dari desa itu jumlah penduduknya sedikit. Rata-rata hanya tinggal orang-orang tua bermata pencaharian petani atau pedagang dan anak-anak tak berpendidikan. Jadi mudah sekali bagi organisasi kriminal itu menargetkan mereka. Perhatikan peta ini dan desa ini."
Anila menunjuk pada Desa yang paling jauh dari jangkauan kekaisaran maupun kerajaan. Desa itu dikelilingi hutan dan sungai, akses ke sana cukup sulit karena tanah tak rata, banyak bukit, sehingga butuh berminggu-minggu bahkan sebulan lebih untuk sampai ke desa itu. Desa itu bernama Brewery.
"Ketika terkuak pembantaian sekitar dua desa, Lè Ephraim lalu menyebut nama desa ini. Dikatakan jika desa ini adalah desa yang pertama kali dibantai dan seluruh masyarakatnya dimusnahkan. Kemudian Phantomius melakukan segala cara agar akses ke desa ini terhambat. Dikirim tim penyelidik sekitar seminggu lalu ke sana, desa ini sudah mati, bau amis di mana-mana, masyarakat tak tersisa sedikit pun. Pihak penyelidik dari kerajaan mengatakan jika desa ini, telah dibantai tiga bulan lalu, tetapi baru diketahui semingguan ini."
Mylo terkejut bukan kepalang. "Apa?! tiga bulan lalu, jadi mereka sudah sejak berbulan-bulan lalu melakukan pembantaian. Bukankah Zephyr tidak boleh ada jeda yang banyak untuk tumbalnya?"
"Ya, benar jika Zephyr tidak boleh ada jeda yang banyak untuk para tumbalnya setelah kematian." Aalisha giliran berujar. "Namun, kurasa Phantome Vendettasius menargetkan desa Brewery antara dua alasan, pertama di desa itu ada salah satu kepingan Zephyr, kedua mereka hanya mencoba-coba mengaktifkan Zephyr jadi karena itu, desa yang mereka incar pertama kali sangat jauh dari desa-desa lainnya yang sedang menjadi target pembantaian sekarang ini."
"Aalisha benar, antara dua kemungkinan itu yang paling logis. Setelah itu, ketika mereka yakin, maka mereka mulai melakukan pembantaian di desa lain. Selain untuk mencari kepingan Zephyr mereka juga mencari tumbal," imbuh Anila.
"Bentar-bentar, aku mau bertanya? Kenapa Zephyr harus disembunyikan di desa-desa tua, kenapa tidak pihak kerajaan atau kekaisaran atau Majestic Families yang menyimpannya, bukankah lebih aman?" Mylo menatap kedua temannya, lalu Aalisha menjawab.
"Jawabannya mudah sekali, Majestic Families sudah sejak awal mengatakan jika tak mau menyimpan Zephyr, mereka tak mau ikut campur lagi masalah Zephyr. Lalu bagaimana dengan pihak kerajaan dan kekaisaran? Seperti yang kita baca lagi di buku kemarin jika Zephyr mengandung kegelapan dan kejahatan jadi seseorang bisa terpengaruh. Kekaisaran dan kerajaan tak mau terpengaruh kejahatan Zephyr. Apalagi kaum bangsawan yang banyak di antara mereka bersembunyi orang-orang jahat, bayangkan jika Zephyr berada di tangan mereka. Karenanya mungkin saja, Zephyr disebar ke desa-desa itu karena mereka tak begitu tertarik pada kekuatan dan ketamakan jadi mereka paling pas untuk menyimpan batu kekuatan. Yah, tapi ini hanya pradugaku saja, bisa saja salah."
"Itu jawaban yang kusetujui juga," sambung Anila, "baiklah fokus ke desa-desa lagi. Jadi saat ini sudah dipastikan jika organisasi itu terus bergerak untuk mencari tumbal serta kepingan Zephyr yang lain, aku tak tahu seberapa kuat kekuatan Zephyr jika baru beberapa keping. Namun, kurasa pasukan minotaur hari itu juga dikendalikan Zephyr.
"Oke, sepertinya aku berhasil menemukan prediksi penyerangan terhadap desa-desa itu dan berapa jeda hari antara penyerang satu desa ke desa lainnya dilihat dari surat kabar Lè Ephraim. Brewery adalah desa pertama yang dibantai tiga bulan lalu, kemudian desa kedua adalah Mirima yang tanggal pembantaian pada tanggal 11 pada bulan ini, lalu desa ketiga yaitu Geiger pada tanggal 14, desa keempat RosMuty pada tanggal 17, dan seterusnya hingga total sudah enam desa dibantai para Phantomius. Jika diperhatikan, jeda penyerangan ke desa selanjutnya adalah sekitar tiga hari. Kemudian berdasarkan jumlah penduduk, desa yang dibantai adalah penduduknya lebih dari 90 jiwa, jadi kuperhatikan ada desa yang tak dibantai padahal dekat dengan desa yang dibantai sebelumnya karena desa itu penduduknya kurang dari 90 jiwa. Setiap desa yang dibantai, korban jiwanya semakin bertambah. Misal di desa Geiger sekitar 92 jiwa, lalu di desa RosMuty 115 Jiwa. Kemudian desa-desa yang dibantai ...."
Anila menunjuk pada salah satu tempat di peta tersebut. Berupa bukit yang di tengahnya ada semacam tanda berupa bangunan runtuh. "Bangunan ini, bangunan ini ibarat pusat yang di sekelilingnya adalah desa-desa yang dibantai itu."
"Bangunan apa itu? Namanya Mareeha Temple." Mylo menatap pada Anila dan juga Aalisha. "Itu kuil?"
"Iya kuil. Bukankah kuil itu sudah tak digunakan, kuil itu yang di atas bukit dan dikelilingi pepohonan kan?" ucap Aalisha.
"Benar aku mencari di buku. Kuil Mareeha adalah kuil salah satu Dewa Tertinggi, tetapi sudah semenjak 50 tahun lalu kuil itu sudah tak digunakan, benar-benar rusak dan tak ada yang merawatnya. Akhirnya kuil itu ditinggalkan apalagi semenjak ada kuil di kota-kota jadi semakin tak ada yang ke sana. Jalan ke kuil itu melewati tangga yang kanan-kirinya terdapat patung." Anila menjelaskan meski dia lupa Dewa apa yang di kuil tersebut.
Aalisha berujar, "baiklah aku bisa simpulkan target Phantomius pada desa-desa itu. Pertama, desa-desa yang ditargetkan harus lebih dari 90 jiwa. Kedua, setiap desa yang dibantai akan berurutan sesuai dengan banyaknya jiwa yang menempati desa itu. Ketiga, jeda pembantaian hanyalah tiga hari dan hanya satu desa yang boleh dibantai setiap tiga hari sekali itu. Keempat, desa-desa yang ditargetkan tidak begitu jauh dari kuil Maheera."
"Artinya! Desa-desa selanjutnya yang jangkauannya dekat dengan kuil itu? Tapi mengapa?" Mylo kini sudah paham.
"Mylo kau tahu kan tentang Ianuae Portae? Sebutan untuk gerbang teleportasi." Anila menatap pada Mylo. "Di Athinelon ada beberapa penyihir yang bisa membuat gerbang teleportasi di mana pun ia kehendaki, tetapi ada pula gerbang-gerbang teleportasi yang harus berada di satu tempat saja. Jadi ada kemungkinan setiap mayat dibawa ke sana, ke kuil itu, lalu di teleportasi ke tempat pembakaran."
"Hanya saja," imbuh Aalisha, "untuk melakukan teleportasi butuh kunci entah benda atau mantra. Pastinya para Phantomius itu memiliki kode sendiri untuk membuka gerbang tersebut. Jika salah kode, biasanya akan di teleportasi ke tempat lain."
Mereka terhenyak karena sebentar lagi kelas selanjutnya. "Oke, aku paham sekali penjelasan kalian. Sekarang bagaimana, apa target selanjutnya dari mereka lalu ... bagaimana dengan desa Shakaleta, seperti yang Anila dengar. Zephyr ada di sama 'kan. Apa itu tujuan mereka selanjutnya?"
Anila memperhatikan peta itu kembali. "Jika dari sini, desa yang tersisa yang punya penduduk lebih dari 90, hanya tersisa dua. Desa Nowth dan Shakaleta yang paling banyak penduduknya 200 jiwa lebih."
"Sial, hanya tersisa dua, tidakkah pihak kerajaan sadar?!" ucap Mylo.
"Mylo, pihak kerajaan ke Eidothea saja jauh, memakan waktu hingga seminggu lebih. Sebelum datang, desa itu sudah hancur lebur karena jeda pembantaian yang hanya tiga hari. Bisa saja mereka percepat karena aku mengetahui rencana mereka!" Anila lekas merapikan semua petanya, buku-buku, lalu dia masukkan ke dalam invinirium. "Bisakah kita sambil berjalan ke kelas?"
"Oke, kita ke kelas," sahut Mylo.
"Artinya, kita harus pergi ke desa Shakaleta," ucap Aalisha.
"Kenapa?"
"Untuk hentikan mereka mengambil Zephyr bodoh," balas Aalisha, "warga desa itu punya batunya, jika kita lekas memperingatkan mereka maka mereka bisa saja mengirim batu itu menjauh dari desa dan menuju kerajaan."
"Atau dibawa kemari dan minta perlindungan profesor Eugenius karena sekarang ada bukti, pihak akademi akan membantu," tambah Anila.
"Baiklah, mudah kalian katakan, tapi yakin kita harus—sialan Aalisha kenapa berhenti mendadak ...." Mylo terdiam membeku ketika menatap ke depannya, sosok pria dengan jubah panjang berada di hadapan Aalisha, menghentikan langkah mereka bertiga kemudian pria itu tersenyum tipis.
"Lama tidak bertemu denganmu, Nona Aalisha," ujar profesor Zahava lalu manik matanya beralih pada Anila, kemudian pada Mylo. "Serta teman-temanmu. Apa yang dilakukan murid tahun pertama di koridor ini? Bukankah kelas akan segera dimulai?"
Rasa seram menyeruak cepat ke ketiga anak itu. Mylo menahan gemetar, tak ia sangka jika harus bertemu salah satu Phantomius itu. Apa jangan-jangan sejak awal Zahava sudah mengawasi mereka? Bagaimana jika Zahava mendengar setiap pembicaraan mereka tadi? Ini bencana dan malapetaka. Sungguh Mylo merasa takut karena mengetahui jika pria ini adalah penyembah raja iblis. Sementara itu, Anila diam, ia sama terkejutnya dengan Mylo. Sesaat diperhatikannya Aalisha, gadis itu hanya diam. Dia pasti merasa takut juga karena Anila merasa begitu juga.
Tidak mau membiarkan Aalisha yang menjawab. Maka Anila menarik gadis kecil itu. "Salam Profesor," ujar Anila, "kami hanya membahas beberapa tugas biologi dari profesor Solana. Jadi kami di sini karena mencari taman yang sepi untuk berdiskusi."
"Siapa kau?" ucap Zahava.
"Anila Keara Andromeda, putri tunggal Count Andromeda." Sungguh, Anila sengaja menekan bangsawan Andromeda karena dia hendak membuat Zahava untuk tidak macam-macam padanya karena bagaimana pun juga kedudukan ayah Anila lebih tinggi dibandingkan Zahava atau Viscount Lugaldaba.
"Suatu kehormatan karena bertemu denganmu, Putri Count Andromeda," ujar Zahava sedikit membungkukkan badannya. Lalu ia menatap Mylo.
"Bagaimana denganmu Nak? Siapa namamu, wajahmu tidak asing."
Mylo berusaha tegar dan berani. "Mylo Cressida, ayahku Viscount Cressida."
Zahava tersenyum tipis. "Cressida, pantas aku merasa familiar denganmu. Kau adik dari Easton dan Noah 'kan? Aku mengajar di kelas mereka."
"Iya, mereka kedua kakak kandungku," sahut Mylo.
"Begitu." Kini Zahava melirik pada Aalisha.
"Maaf Profesor," sahut Anila, "kami akan terlambat karena ada kelas selanjutnya. Jadi kami mohon undur diri."
"Ya, ya, silakan. Aku juga ada keperluan lain. Jadi silakan pergi," ujar Zahava menatap pada ketiga anak yang seperti tikus kecil sedang ketakutan.
"Salam Profesor," ujar Mylo yang meraih lengan Anila, kemudian mereka pergi berbarengan.
Zahava tersenyum tipis. Ia menyampirkan kedua tangannya di belakang. "Berani sekali mereka mencari informasi akan Zephyr. Andromeda itu pasti otak dari semua ini." Tawa Zahava menggelegar, tidak ia sangka jika anak-anak tahun pertama akan senekat ini. "Namun, tak masalah, jika mereka memang ingin menemui kematian, maka akan kuberikan dengan senang hati."
****
Suara napas memburu terdengar, Anila, Mylo, dan Aalisha kini berhenti sebentar ketika mereka sudah sangat jauh dari Zahava. Sungguh sangat menyeramkan karena bertemu dengan pria itu yang sama sekali tidak terbaca tindak-tanduknya. Kini Mylo terduduk di lantai, tak ia hiraukan jubahnya yang kotor, serta keringat masih menetes. Lekas ia membuka invinirium dan mengambil botol berisi air lalu dihabiskannya dalam sekejap saja. Anila masih menstabilkan detak jantungnya. Tidak bisa ia bayangkan jika Zahava akan melakukan sesuatu yang buruk pada mereka ketika bertemu tadi. Namun, ini masih lingkup sekolah, Zahava takkan sebodoh itu dengan menyerang mereka begitu saja. Sementara itu, Aalisha hanya memperhatikan kedua manusia di dekatnya ini. Pasti mereka begitu takut ketika bertemu Zahava. Jadi Aalisha agak menjauh dari sana karena ia memperhatikan sekitarnya yang cukup ramai, ia melihat beberapa murid tengah berlari menuju gerbang akademi.
"Hei, kenapa murid-murid itu berlari ke sana?" ujar Mylo memasukkan kembali botol airnya. "Mereka bergerombol mau ke mana?"
"Entahlah." Anila memperhatikan jika ada beberapa pengajar yang ke sana juga seperti tuan Derry, tuan Howard. "Tapi aku punya firasat buruk."
Aalisha memperhatikan setiap murid yang berlarian. Tanpa berpikir dua kali, Aalisha lekas menuju para murid yang bergerombol itu dan meninggalkan Anila serta Mylo.
"Hei, Aalisha, tunggu!" teriak Mylo lekas berdiri.
"Aalisha!" Anila segera menyusul Aalisha.
Gadis kecil itu berusaha melewati gerombolan pada murid. Terdengar samar-samar para murid itu membicarakan seorang pengajar. Maka Aalisha terus berusaha melewati para murid itu yang saling dorong-mendorong, berada di belakang Aalisha, terlihat Anila serta Mylo juga berusaha menerobos gerombolan murid, sesekali mereka memanggil nama Aalisha karena tak mau terpisah dari gadis kecil itu. Hingga akhirnya, Aalisha berhasil berada di paling depan.
Saat itu, manik matanya melihat pada kuda-kuda yang di atasnya membawa orang-orang dengan zirah kesatria serta mengenakan pelindung kepala. Mereka membawa pedang dan juga tombak. Ada juga kesatria yang turun dari kuda mereka seolah sedang berjaga agar tak seorang pun berani mendekat terutama menerobos. Namun, sungguh bukan kehadiran para kesatria yang menjadi pusat perhatian mereka.
Semua mata tertuju pada wanita bergaun berwarna merah muda. Ia mengenakan sepatu hak tinggi berwarna putih. Parahnya wanita itu, kedua tangannya dipasang borgol dari sihir begitu pula lehernya. Kemudian dua kesatria di belakang wanita itu, mengikuti langkah sang wanita sambil menodong tombak mereka untuk mencegah wanita itu kabur. Lalu satu kesatria dengan zirah hitam, menuntun wanita itu melangkah, terlihat jika kesatria itulah yang memasang borgol sihir dan juga pemimpin dari pasukan ini.
Bisa Aalisha lihat, jika gaun wanita itu sebagian ada bercak darahnya, begitu pula di sekitar lehernya hingga ada di pipinya. Sepatu hak tingginya juga terkena darah. Kini Aalisha mengepalkan tangannya kuat-kuat. Sangat ia kenali siapa wanita itu, bahkan satu akademi mengenalnya juga. Ya, wanita itu adalah salah satu pengajar di tahun pertama.
"Profesor Ambrosia," ujar Aalisha.
"Aalisha," ujar Anila akhirnya berhasil menembus gerombolan para murid begitu juga Mylo. "Oh Dewa, tidak ...." Anila langsung menutup mulutnya dengan tangan ketika melihat Ambrosia dibawa oleh para kesatria.
Mylo sama seperti Anila, dia diam membeku melihat pemandangan di depan matanya itu. Lekas ia berujar pada orang-orang di sampingnya. "Apa yang terjadi? Apa yang terjadi di sini, kenapa profesor dibawa para kesatria?"
Murid yang ditanya Mylo adalah seorang perempuan, murid itu menangis meski lebih banyak ditahan tangisnya itu. Perlahan dia menjelaskan apa yang terjadi. "Profesor Ambrosia, dia—dia hampir membunuh tiga murid angkatan tahun kelima. Mereka kini dibawa ke rumah sakit Eidothea dan tak sadarkan diri. Ada saksi mata yang melihatnya. Sekarang profesor akan dibawa para kesatria itu menuju ke Pengadilan Kerajaan Kheochiniel untuk diadili dan dihukum."
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Kasihan Nicaise:) Ada yang mau jadi Majestic Families? Kira-kira keluarga mana yang cocok dengan kalian?
Bagaimana cara Zahava tahu kalau Anila dan lainnya mencari informasi mengenai Zephyr?
Apa kalian benci pada profesor Ambrosia? Akhirnya dia tertangkap, bukankah kalian senang?
Prins Llumière
Rabu, 08 Februari 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top