Chapter 61
|| Lee Ji-eun atau IU once said, "HELLO stu P I D!"
|| Yoks, vote dan komen
Hujan semalam meninggal sisa seolah para Dewa ingin mengatakan jika hari-hari yang pernah dilalui setiap makhluk ciptaan mereka agar tidak mudah dilupakan begitu saja. Kini beberapa jalan setapak terdapat genangan air, tanah cukup becek juga.
Semalam pula, setiap cerita yang Anila katakan tidak berhenti membuat mereka bertiga kepikiran terus, bahkan Mylo tak karuan tidur karena setiap ia hendak menutup mata, rasanya cerita yang Anila bawakan akan masuk ke dalam mimpinya. Menjadi mimpi yang benar-benar buruk. Sementara itu, Aalisha jadi lebih banyak diam lagi, setelah mendengar cerita Anila. Gadis kecil itu tidak mengatakan apa pun atau mengungkapkan isi kepalanya. Diam, seperti segalanya berputar di kepala, tapi tak mampu ia utarakan.
Anila sendiri paham, pasti gadis itu kecewa besar. Aalisha pertama kalinya memiliki teman di sekolah ini. Meski sifatnya sangat menyeramkan, menyebalkan, seperti seorang pembunuh berantai yang tak punya perasaan. Pasti ada sedikit harapan atau kepercayaan dalam diri gadis itu. Namun, kini yang ia hadapi adalah pengkhianatan dari pengajar akademi. Mungkin ada pengajar lain juga yang berkhianat dan menjadi Phantomius. Pasti Aalisha merasakan patah hati dan dikhianati yang kini membuatnya diam dan tak mampu berkata-kata.
Malam itu ditutup dengan mereka kembali ke kamar masing-masing. Sesampainya di kamar, Mylo hanya menatap Gilbert dan satu lagi teman sekamarnya yang sudah terlelap tidur, meski Gilbert tertidur di sofa, pasti karena menunggu Mylo kembali. Tidak tega Mylo membangunkan Gilbert, jadi dia lekas meraih selimut kemudian ia merentangkan selimut itu di atas tubuh Gilbert. Setelahnya Mylo, tidur secepatnya agar subuh sebelum yang lain bangun, ia sudah pergi menemui Aalisha dan Anila seperti yang mereka janjikan tadi.
Di kamar Anila, dia menatap ruangan yang sepi dan terlihat rapi nan bersih ini. Setelah melepaskan sepatunya, ia tak membersihkan diri meski pakaian yang dikenakannya kotor penuh debu serta ada bekas luka yang belum diobati, Anila bergegas ke ranjangnya dan tidur karena subuh nanti harus segera bangun, ada hal yang harus mereka bicarakan.
Sementara itu, Aalisha menatap pintunya yang ia kunci setelah Anila dan Mylo pergi. Ia tak berkata apa pun apalagi berpendapat, seolah terlalu banyak yang memenuhi isi kepalanya. Segera ia mematikan lampu kamarnya, menyalakan lentera sehingga tidak terlalu terang kamarnya ini. Aalisha naik ke ranjang, duduk di sana, menyelimuti dirinya dengan selimut tebal. Menekuk kedua kakinya, ia peluk kedua kakinya dan menenggelamkan wajahnya di antara lipatan kaki itu. Malam itu ketiganya merasakan malam yang sangat-sangat panjang.
****
"Apa, kita harus mengatakan hal ini pada Frisca dan lainnya?" tanya Mylo, "kalian tahu, aku merasa tak enak. Jika tidak mengatakan apa pun pada Gilbert tadi."
Mereka kini di kamar Aalisha, lagi. Meski kesal gadis itu karena kamarnya dijadikan tempat berkumpul, tetapi ditolak pun tidak ada gunanya karena permasalahan ini sangatlah genting.
"Aku bingung. Yang kita hadapi di sinilah adalah pengajar Eidothea. Kita tidak bisa melapor karena tak punya bukti sedikit pun, masalahnya mereka mampu mengancam kita semisal aku melapor pada profesor Eugenius." Anila berujar.
"Kau benar, aku berpikiran seperti itu juga. Kita tak punya bukti untuk melaporkan jika mereka adalah Phantomius, jika laporan kita ini terdengar ke telinga mereka, maka nyawa kita akan terancam. Terutama kau Anila, mereka berdua melihat wajahmu." Mylo sakit kepala bercampur takut memikirkan semua ini. "Sangat beresiko untuk melaporkan keduanya, bisa-bisa kita akan mati tanpa jejak bahkan sebelum melapor. Ada kemungkinan mereka berdua mulai memantau kita."
"Tidak hanya kita, tapi Gilbert, Frisca, bahkan Kennedy juga akan terancam." Anila menatap pada Aalisha yang hanya diam saja. "Maaf, maaf karena ini semua salahku, andai aku tidak ketahuan oleh mereka. Maka kita takkan terancam seperti ini."
Mylo agak terkejut dengan permintaan maaf Anila. Dia tak bersalah! Mengapa harus meminta maaf. "Anila—"
"Kau tidak salah," ujar Aalisha akhirnya, "jangan menyalahkan dirimu. Aku tak menyukai hal itu. Semua yang terjadi di luar dugaan kita, kita tak bisa mengatur takdir karena kita bukan Dewa. Maka dari itu, satu-satunya jalan adalah melewati takdir itu. Jadi jangan menyalahkan dirimu karena yang terpenting, kau kembali dengan selamat."
Anila tersenyum lebar, hampir memperlihatkan gigi putihnya. Ia lekas berdiri, mendekati Aalisha, hendak sekali ia mendekap gadis kecil itu ke dalam pelukannya. "Kau memang kesayanganku, kemari biar bisa kupeluk."
Sayangnya, Aalisha lekas menghindar. "Demi Dewa, sudah berapa kali kubilang, aku tak mau dipeluk!"
Anila pura-pura membuat wajah sedih dan kecewa. "Jahat. Kau punya fobia dipeluk atau apa?"
"Ya, aku tak suka dipeluk," balas Aalisha meski kata fobia itu tidak benar. "Jadi jangan pernah berharap kau bisa memelukku!"
Anila malah sedih sungguhan. "Jahat, kau jahat. Jangan katakan jika kau bahkan tak peduli ketika aku diculik kemarin."
Aalisha tercekat, ia bingung hendak berkata apa. Melihat gelagat Aalisha itu, akhirnya Mylo tersenyum sangat lebar. "Nggak kok, kau harus tahu Anila. Ketika kau diculik, Aalisha sempat menangis, dia bahkan sangat marah dan berkata akan membunuh siapa pun itu yang berniat mencelakaimu. Sungguh kau harus lihat ekspresinya hari itu."
"MYLO! TUTUP MULUTMU!" Suara Aalisha menggelegar dengan wajahnya memerah sesaat, sementara itu Anila terharu bukan main.
"Tak kusangka kau punya hati juga, bahkan menangis untukku," ujar Anila mendramatisir suasana.
"Menjijikan, berhenti bertingkah seperti itu! Aku tidak menangis kemarin, mataku terkena debu karenanya air mataku jatuh. Lalu apa-apaan, aku tak marah, aku—ah sial, berhentilah untuk membahasku!" oceh Aalisha yang terlihat lucu dari sudut pandang Anila dan Mylo. Semakin saja kesal menyerupai karena tatapan kedua manusia di depan Aalisha ini. "Jangan menatapku begitu! Bisakah bahas kedua Phantomius itu dibandingkan aku!"
"Iya, iya, dasar gengsian," sahut Anila dengan senyuman simpul terbentuk.
"Baiklah, ternyata tuan putri kita hendak menutupi kekhawatirannya," balas Mylo terkekeh kecil.
"Mylo, kau mau kubunuh?" balas Aalisha.
Lekas Mylo berucap, "oke, mari kembali ke topik utama! Jadi apa yang harus kita lakukan? Kita sekarang menjadi sasaran empuk jika hendak dibunuh. Lalu bagaimana dengan yang lain, apa kita harus sembunyikan masalah ini?"
"Kau," ucap Aalisha, "kau berpikir kita harus sembunyikan atau ceritakan?"
Mylo berpikir sesaat. "Sembunyikan."
"Aku juga," sahut Anila.
"Begitu pun aku." Kini Aalisha berdiri. "Memang kita tidak bisa menyembunyikan jika Anila diculik karena Frisca adalah saksi mata, maka Anila harus membuat alibi atau kebohongan akan penculikan ini. Siapa pelakunya? Apa tujuannya? Kau harus membuat kebohongan. Kemudian yang paling penting adalah kita tak bisa menceritakan tentang Zephyr Stone's dan kedua pengajar adalah Phantomius. Jadi makin sedikit yang tahu cerita itu, makin sedikit pula yang bisa diancam profesor Zahava dan Hesperia. Kita harus sembunyikan untuk menjauhkan mereka dari marabahaya."
"Baiklah aku paham apa yang kau maksudkan dan setuju juga. Namun, alasan apa yang akan kita katakan pada mereka?" ujar Mylo, "mereka memang takkan melaporkan masalah penculikan ini karena takut terjadi apa-apa, tapi alasannya?"
"Aku bisa atur itu. Jadi kau tenanglah," sahut Anila.
Mylo diam sebentar, tak ia sangka jika Anila sudah menyiapkannya alibi untuk berbohong mengenai alasan dia diculik. Sungguh apa jangan-jangan Anila sudah memikirkan semua kemungkinan yang ada dan sejak awal sudah berniat menyembunyikan semua ini dari yang lain? "Baiklah kau memang cerdas. Aku takkan meragukanmu. Terus selanjutnya apa? Kita tidak mungkin membiarkan mereka 'kan, para Phantomius itu?"
"Ya kau benar, maka dari itu langkah selanjutnya sudah kutentukan." Anila menatap pada Aalisha yang paham sekali Aalisha akan kode tatapan yang Anila berikan tersebut. "Kita akan mencari informasi mengenai Zephyr Stone's terlebih dahulu, kita harus tahu apa batu kekuatan itu dan seberapa berbahayanya."
"Ya," sahut Aalisha, "aku setuju denganmu."
****
Permasalahan mengenai Frisca, Gilbert, dan Kennedy sudah ditangani oleh Anila. Di luar dugaan, gadis Andromeda yang terkenal sebagai murid disiplin itu, mampu berbohong dengan sangat rapi. Dia juga meyakinkan Frisca serta lainnya untuk tidak melaporkan masalah ini ke para pengajar karena yang paling penting adalah Anila sudah kembali dengan selamat. Semua itu berjalan lancar meski sempat ada debat dengan Kennedy karena lelaki itu cukup kritis, untung saja sifat Kennedy yang selalu merasa tidak enak lebih dominan sehingga Kennedy menurut saja ketika Anila meminta agar tidak memperbesar masalah ini.
Setelah berhasil membuat Frisca dan lainnya tidak terlibat lebih jauh. Aalisha, Anila, dan Mylo pergi ke perpustakaan akademi. Banyak murid yang ada di sini, maka segera mereka memanfaatkan waktu sebelum kelas selanjutnya sekitar pukul dua. Mereka berpencar untuk mencari informasi mengenai batu Zephyr.
"Setahuku, batu Zephyr adalah salah satu dari 10 batu kekuatan yang dibuat di Athinelon pada zaman kuno. Pembuatan batu kekuatan ini dengan berbagai macam kekuatan dari berbagai ras di dunia, mudahnya satu batu kekuatan mengandung tiga sampai empat kekuatan dari ras-ras di dunia ini." Anila menjelaskan sebelum mereka ke perpustakaan.
"Jadi, batu itu dibuat? Bukan dari awal sudah tercipta?" tanya Mylo.
Anila berujar kembali. "Tidak, batu itu dibuat dengan mencampur kekuatan dari ras-ras makhluk hidup di Athinelon termasuk manusia. Jadi setiap batu kekuatan punya perjanjian tersendiri dengan ras yang mencampur kekuatan mereka ke dalam batu tersebut."
"Kenapa batu itu diciptakan? Kalau zaman kuno sebelum atau sesudah ada Majestic Families? Karena batu kekuatan, berarti 10 batu punya kekuatan yang berbeda 'kan, apa tujuan Phantomius mengincar batu itu?"
"Aku tak tahu Mylo! Aku hanya pernah membaca sekilas. Kita akan tahu tujuan mereka setelah mengetahui fungsi dari batu itu karenanya kita ke perpustakaan!" Anila menjawab dengan penuh rasa kesal, lalu lekas mempercepat langkahnya sedangkan Mylo diam membisu.
Aalisha muncul di samping Mylo, menepuk pundak lelaki itu. "Kau bertanya tadi seperti menganggap Anila adalah buku yang berisi seluruh informasi dan ilmu pengetahuan di dunia ini."
"Oh ayolah, aku panik! Aku ingin segera tahu mengenai batu itu!" teriak Mylo.
"Lebih baik tutup mulutmu dan mulai cari bukunya." Aalisha berujar sambil berjalan menuju tangga melingkar di perpustakaan akademi.
"Baiklah," balas Mylo.
Mereka menelusuri setiap rak di perpustakaan itu, mengambil buku yang dirasa ada kaitannya dengan batu kekuatan atau Zephyr lalu ditaruh di meja yang akan mereka gunakan. Mylo agak kesal karena ada ribuan buku yang harus dicek. Ia bertanya mengapa tidak minta Orly di perpustakaan ini untuk membantu mereka. Namun, Aalisha dan Anila menjawab dengan sinis jika melakukan hal itu sama saja dengan cari mati karena bisa saja Zahava atau Hesperia memanfaatkan hal ini, mencari informasi dari para Orly di sini kemudian habislah mereka karena tertangkap mengorek informasi akan Zephyr Stone's.
Hampir setengah jam lebih mereka mencari ke sana-kemari. Beberapa buku sudah terkumpul, lekas dibaca dengan saksama dan juga cepat, jika tak ada informasi akan batu kekuatan maupun Zephyr maka segera mereka pisahkan dari tumpukan buku lainnya. Banyak waktu mereka terbuang karena tidak kunjung menemukan informasi akan batu kekuatan. Kebanyakan hanyalah batu yang digunakan sebagai bahan pembuatan senjata magis atau mendirikan bangunan, serta batu jenis lain yang tidak ada hubungannya dengan Zephyr.
Mylo menutup bukunya. Ia hendak berteriak karena lelah sekali memandangi ribuan kalimat di buku yang ia baca, tetapi tidak kunjung mendapatkan informasi yang mereka mau. "Sialan, kita hanya membuang waktu! Sebentar lagi kelas, apa tidak tunda saja. Besok kita coba lagi."
"Ya, besok saja," balas Anila jadi kesal juga. "Besok jika nyawamu masih ada!"
Sialan, Mylo sangat paham maksud perkataan Anila. "Baiklah kita cari, aku masih mau hidup."
"Jika ditunda, kita akan mati. Kau lupa jika kita berada di sekolah yang sama dengan dua pembunuh berantai?" ujar Aalisha.
"Iya, iya, aku paham jangan diperjelas lagi." Mylo menutup bukunya. Ia berdiri hendak mencari buku lagi jadi bergegas ke sisi lain perpustakaan.
"Aku akan mencari buku yang lain lagi," ucap Anila juga ikut pergi.
Kini hanya ada Aalisha di meja panjang itu, kanan-kirinya penuh sekali dengan tumpukan buku. Ia ikutan menutup bukunya, menumpuk buku tersebut ditumpukkan yang tidak ada informasi berkaitan dengan Zephyr Stone's. Lekas Aalisha meraih buku yang lain, dibacanya. Tanpa dia sadari seseorang menuju padanya. Lalu berhenti di samping Aalisha serta menatap pada buku yang Aalisha baca.
"Ternyata kau kutu buku juga atau terpaksa membaca banyak buku?" Suara itu berasal dari Evanora. Dia hanya sendiri dengan tangan kanannya membawa dua buku. Hendak dipinjam untuk tugas biologi.
Aalisha memperhatikan Evanora sesaat. Terlintas pemikiran cerdik. "Iya, ada tugas jadi harus menggunakan buku sebagai referensi."
Evanora membaca sampul samping buku-buku yang menumpuk di dekat gadis itu. "Berbagai jenis batu yang bagus untuk bahan pembuatan senjata magis, jenis batu di berbagai wilayah Athinelon, kenapa batu sangat penting untuk pembuahan senjata magis dan kastil." Ia lalu menatap Aalisha. "Kenapa kau belajar tentang batu?"
"Master Arthur," sahut Aalisha, "kelas kami ribut ketika pelajaran mantra dan sihir dasar. Lalu master Arthur memberikan hukuman berupa tugas me-resume topik yang dipilihkan olehnya. Aku kebetulan mendapat tugas resume dengan topik batu kekuatan. Master bilang harus unik gitu jadi aku coba cari materi tentang batu kekuatan di zaman kuno."
"Ah begitu. Kadang master Arthur suka aneh kalau kasih tugas apalagi hukuman" Evanora angguk-angguk kepala seolah dia percaya dengan perkataan Aalisha.
"Tapi aku tidak menemukan penjelasan detail tentang batu kekuatan itu. Apa kau tahu sesuatu?" ujar Aalisha tersenyum tipis sebagai formalitas adik tingkat yang ramah pada kakak tingkatnya.
"Batu kekuatan di zaman kuno, aku pernah dengar, tapi tidak tahu jelasnya gimana ... karena biasanya informasi lebih jelas dan detail tentang zaman kuno tidak dimuat di buku pengetahuan umum. Apalagi informasi tentang zaman kuno itu sangat berharga. Biasanya buku yang membahas hal seperti ini disimpan di perpustakaan di pusat kerajaan dan kekaisaran."
"Begitu ya sayang sekali." Sialan, tidak ada waktu untuk Aalisha dan lainnya jika harus pergi ke ibu kota kerajaan hanya untuk mencari informasi mengenai Zephyr.
"Namun, kadang akademi ini suka punya salinannya untuk pembelajaran juga. Coba kau cari di perpustakaan lain di akademi ini," ujar Evanora.
"Perpustakaan lain? Aku baru tahu kalau ada?"
"Ada, perpustakaan itu terletak di lantai lima, sebelah dengan menara astronomi. Alasan kenapa dibedakan. Kau tahu 'kan kalau di sini ada buku ditulis di zaman dulu, nah di perpustakaan itu lebih banyak buku dari zaman dulu dan sangat kuno. Karena bukunya rapuh, dimakan rayap juga jadi dijaga dan ditaruh di perpustakaan berbeda. Biar tidak semakin hancur apalagi murid di sini kadang tidal tahu diri dan sering merusak buku yang mereka pinjam. Jadi ditaruhlah beberapa buku di perpustakaan itu. Namun, setahuku, kalau mau akses ke perpustakaan itu harus izin dulu dengan pengajar Eidothea, habisnya perpustakaan itu dijaga, terus tidak boleh banyak yang masuk. Para Orly juga tak banyak berada di sana, jadi hanya ditempatkan satu Orly sebagai penjaga."
"Boleh aku tahu pada siapa harus izin untuk ke perpustakaan itu?" Akhirnya Aalisha mendapatkan jalan untuk mencari informasi mengenai Zephyr.
"Setahuku, beberapa pengajar, seperti profesor Astrophel yang mengajar di angkatan tahun kedua, tapi dia lagi di luar akademi sampai beberapa bulan ke depan. Lalu siapa lagi ya ... oh, profesor Dommi Erick Zahava, kau tahu dia?"
Sukses Aalisha terdiam membisu. Mengapa bisa pembunuh berantai itu? Jika meminta izin darinya sama saja seperti cari mati! "Aku tahu, terima kasih informasinya."
"Oke, aku pergi ya. Good luck untuk tugasnya," ujar Evanora pergi dari sana.
Aalisha menghela napas, lalu menatap pada Anila dan Mylo yang sedari tadi menguping pembicaraan antara Aalisha dengan Evanora. "Kalian dengar, kita bisa menemukan informasi akan Zephyr di perpustakaan itu, tapi ya begitulah ...."
"Sialan, tetap saja buntu kalau gini." Mylo mengacak-acak rambutnya saking pusingnya dia. "Apalagi si gila itu yang menjaga perpustakaannya."
"Aku harus memikirkan cara, tapi apa?" Anila jadi ikutan buntu. Sementara itu kelas tinggal 15 menit lagi sebelum dimulai.
"Aku ada cara," ujar Aalisha.
"Apa," sahut Anila dan Mylo berbarengan.
Perlahan Aalisha menyeringai. "Tapi kurasa kita harus melanggar satu, dua, atau sepuluh aturan di akademi ini. Resikonya jika ketahuan, kita tidak sekadar dihukum, bisa jadi dikeluarkan dari sini."
Mylo yang duduk di lantai perlahan menatap Anila yang ternyata menatap balik dirinya. Mereka seperti sedang berbagi pikiran melalui koneksi mata. Lalu Anila menatap Aalisha sambil berujar, "mari lakukan. Kita sudah sejauh ini, aku juga sudah ditandai sebagai ancaman oleh mereka."
Mylo berdiri. "Ya, mari terobos aturannya. Mari perlihatkan pada dua Phantomius itu kalau kita takkan kalah dari mereka."
"Kau serius tak takut? Ingat ketika serangan minotaur, bisa saja mereka punya pasukan minotaur lagi," sahut Anila.
"Oh ayolah Anila! Aku takut sebenarnya, tapi ingin terlihat hebat sesekali," balas Mylo.
"Baiklah kalau begitu, kita lakukan malam ini juga," ucap Aalisha.
"APAA?!" teriak Anila dan Mylo, kemudian ditegur penjaga perpustakaan karena suara mereka hampir memenuhi seluruh perpustakaan itu.
****
Suara cairan mendidih serta terdengar, sedikit cairan dari dalam kuali besar meluap keluar. Tidak hanya itu terdengar pula suara alu yang menghancurkan kepingan obat di dalam mortar putih, di sisi lain terdengar suara pisau memotong semacam tanaman obat penidur. Lalu derit kayu dipijak terdengar karena langkah kaki yang terlihat bolak-balik mengerjakan semua itu.
"Kurasa kau harus sedikit tenang, Anila," ujar Mylo pusing menatap gadis Andromeda itu bolak-balik mengerjakan semua itu sendiri. Hendak dibantu, tapi Anila menolak keras karena jika lebih dari satu orang yang mengerjakannya akan membuatnya semakin pusing. Ia wajib mengerjakan ramuan ini sendirian saja.
"Lebih baik jangan ganggu aku atau kau cek Aalisha apakah dia berhasil mendapatkan bahan terakhir atau tidak."
"Dia akan kembali, tenanglah, ini masih jam delapan juga belum melewati batasan jam malam," sahut Mylo dengan enteng.
"Kalau begitu duduklah di sana dengan tenang," sahut Anila kembali fokus.
Mylo memperhatikan ramuan yang mendidih hingga keluar dari kuali, serta ada tabung kecil yang berisi obat yang sudah dihaluskan Anila. "Menurutmu dari mana Aalisha tahu ramuan itu?"
Anila diam, ia kesal ditanya-tanya, tetapi ia juga penasaran. "Bukankah sudah dijawabnya, dia pernah membaca di novel, terus ada ramuan ini."
"Masa hanya dari novel? Okelah banyak novel yang menggunakan teori asli karena butuh fakta dalam menulis novel, tetapi masa hanya itu? Bukankah dia mencurigakan." Mylo ingin sekali berhenti berpikir yang tidak-tidak tentang Aalisha, tetapi semakin mengenal gadis itu, semakin pula ia bingung. Terlalu banyak labirin pada diri gadis itu yang sulit diungkapkan jalan keluarnya.
"Mylo, kau tahu setiap manusia punya rahasia? Dia juga begitu. Ini Athinelon, ada ribuan hal tak terduga. Sejujurnya, banyak juga yang tak bisa kuceritakan pada kalian," ujar Anila kemudian mencampur obat yang sudah dihaluskan dengan tanaman obat.
"Aku juga, aku setuju dengan perkataanmu. Namun ...." Mylo menekuk lututnya. "Apa kau merasa kalau terkadang Aalisha itu terasa berbeda dibandingkan dengan kita?"
Anila mengangguk pelan. "Ya, aku merasakannya. Jadi mari berdoa setelah kejadian ini selesai, dia mau terbuka dengan kita. Maka dari itu berhenti mengoceh!"
Tidak lama berselang dari Anila berteriak pada Mylo. Aalisha datang membawa tanaman obat yang dimaksudkan. Ia tahu tanaman obat ini karena pernah melihatnya ketika diberi hukuman mendata binatang magis jenis Chimuno. Ah mengingat hari itu, bagaimana ya kabar Piyo yang sudah dikembalikan ke tempatnya berasal?
"Kurasa tinggal bahan ini, maka sudah sempurna," ujar Aalisha.
"Baiklah, setelah selesai. Akan kumasukkan dalam wadah," ujar Anila mengambil wadah sedangkan Mylo menengok ramuannya.
"Kau yakin 'kan ini akan berfungsi pada Orly? Ini Orly loh yang kita hadapi, bisa masalah kalau gagal, kita benar-benar akan ditendang dari sini." Mylo berujar.
"Kau cobalah, jika kau tidak bangun sampai seminggu lamanya maka ramuan ini bekerja dengan baik," sahut Aalisha.
"Sialan kau."
Rencana mereka pada malam ini adalah menyelinap ke perpustakaan yang diberitahukan oleh Evanora untuk mencari informasi mengenai Batu Kekuatan dan Zephyr. Dikarenakan mustahil mereka meminta izin secara baik-baik pada Zahava yang menjadi musuh serta alasan mereka rela melanggar banyak aturan di sekolah ini. Maka sesuai informasi Evanora dan mereka bertanya pada murid lain, benar jika setiap malamnya hanya ada satu Orly yang berjaga di malam hari. Sehingga mereka hanya perlu menghadapi satu Orly tersebut.
Beruntungnya Orly yang berjaga pada malam ini adalah tipe pemalas jadi mereka berencana membuat ramuan yang sangat ampuh untuk membuat seorang Orly tertidur lelap hingga tiga jam paling lama. Kemudian ramuan ini tidak diminumkan, melainkan dijadikan semacam uap tanpa bau sehingga ketika tercium oleh Orly, maka akan pelan-pelan membuatnya mengantuk, kemudian pingsan, setelahnya Aalisha dan lainnya harus menyembunyikan Orly itu. Lalu mereka masuk ke dalam perpustakaan itu.
Kini tepat sebelum para Orly penjaga mulai berkeliling di kastil Akademi. Mereka lebih dulu sampai di menara samping menara astronomi. Koridor yang mereka lewati benar-benar asing karena baru pertama kalinya mereka melewati tempat ini. Sudah diduga jika kemegahan Akademi Eidothea memang tiada tandingannya.
Menaiki satu per satu anak tangga dengan perlahan. Mereka akhirnya sampai di lantai lima dengan napas agak memburu. Lalu mereka melihat seorang Orly yang benar berjaga di dekat pintu masuk perpustakaan. Orly itu tingginya melebihi Gilbert, kurus, berpakaian hitam, sedang duduk di kursi yang ada di sana sambil bersandar dan menutupi matanya dengan penutup mata bahkan di belakang kepalanya ada juga bantal. Apa-apaan dia. Berniat memang tidur atau berjaga sih?
"Kurasa tidak perlu ramuannya. Orly itu akan tidur secepatnya," bisik Mylo yang mendapat pelototan mata dari Anila.
"Tidak. Kita harus memastikan dia benar-benar tidur sampai pingsan kalau bisa," ujar Anila merangkak pelan ke sisi lain lantai ini. Kemudian diikuti Aalisha dan Mylo. "Aalisha, mana ramuannya?"
Aalisha kemudian memberikan ramuan yang ada di dalam wadah berupa kaca berbentuk tabung. "Baiklah, agak menjauh, lalu tutup penciuman kalian menggunakan kain. Jangan sampai kalian ikut pingsan."
Mylo lekas mengeluarkan kain putihnya dari dalam saku jaket, kemudian menjauh dan menutup mulut serta hidungnya. Aalisha juga melakukan hal yang sama. Sementara itu, Anila membuka wadah kaca tersebut, ia menjauh dari sana juga, berada di samping Mylo kemudian dia menjulurkan tangannya tepat ke arah wadah kaca tersebut sambil merapalkan mantra singkat. Berkat sihir Anila, ramuan berbentuk cairan dicampur serbuk itu perlahan-lahan berubah menjadi uap, lalu dikendalikan Anila uap itu untuk menuju tempat di mana sang Orly berjaga. Tidak ada bau sama sekali yang tercium sehingga Orly itu tidak sadar sedikit pun.
Mereka memperhatikan sang Orly yang menguap beberapa kali, hingga butuh waktu sekitar lima menit sampai Orly itu tertidur dan ambruk ke lantai. Lekas Anila menuju wadah ramuan, ia tutup rapat-rapat baru mereka bertiga bisa bernapas dengan lega.
"Berhasil! Ramuannya berhasil, hebat banget kita ...."
"Diam Mylo, kau mau kita tertangkap apa?" sahut Anila.
Aalisha memunculkan invinirium, kemudian mengambil wadah ramuan tersebut, dimasukkan ke dalam invinirium-nya. Sungguh Aalisha tidak mau jika mereka tertangkap karena meninggalkan barang mereka. Sangat bodoh manusia atau tokoh fiksi dalam novel yang melakukan keteledoran seperti itu, kisah yang klise juga bagi Aalisha.
"Sudah kau simpan?" Anila memastikan.
"Ya."
Anila mengangguk. "Baik, ayo bergegas menyembunyikan Orly itu."
Maka Anila disusul Mylo lekas menuju sang Orly yang benar-benar tertidur seperti koma saja. Anila dibantu Mylo, menyeret Orly tersebut ke pojok lantai ini. Sementara itu, Aalisha menatap pintu perpustakaan, dia berdiam cukup lama di sana. Lalu Anila dan Mylo sudah selesai, mereka bersama-sama masuk ke dalam.
Berada di dalam, perpustakaan ini tidak seperti perpustakaan satunya. Ini benar-benar perpustakaan tua, gelap sekali di sini karena tak ada lampu yang menyinari. Cahaya lentera juga tidak menyala. Jika perpustakaan yang mereka tahu, sangatlah bersih dengan buku maupun dokumen yang tertata rapi sedangkan perpustakaan ini sangat berantakan. Buku-buku di lantai padahal lantainya kotor, ada sarang laba-laba dan juga debu tebal di sampul buku, lalu tidak tertata rapi sehingga mereka bertiga harus melangkah pelan-pelan agar tidak membuat kerusuhan yang berakibat fatal. Bahkan menjatuhkan tumpukan buku akan membuat hidup mereka di ujung tanduk.
Anila merapalkan mantra untuk membuat pencahayaan kecil berupa api yang melayang-layang mengikuti dirinya.
Beruntungnya, meskipun perpustakaan ini tidak tertata rapi, tetapi ada daftar rak yang berisi buku-buku sesuai jenis bukunya. Jadi meski ada buku yang di lantai, tetapi buku itu sesuai dengan rak dan jenis bukunya jadi tetap mudah untuk mengecek melalui daftar yang mereka temukan di sebuah buku catatan tebal di atas meja. Maka lekas mereka mengecek setiap daftarnya. Pasti karena perpustakaan ini kecil jadi mudah untuk dibuat daftarnya tidak seperti perpustakaan satu lagi yang luasnya berkali-kali lipat.
"Dapat, aku dapat," ujar Mylo lekas memperlihatkan daftar buku tersebut yang bertuliskan, Batu Kekuatan dari Perjanjian Ras Athinelon, berada di rak nomor delapan.
"Benar ini, kita ambil bukunya," ujar Anila bersama Aalisha serta Mylo segera menuju rak nomor delapan. Tidak butuh waktu lama mereka menemukan buku tersebut dan benar sekali jika buku itulah yang mereka cari karena memuat sejarah, jenis batu kekuatan, hingga perjanjian serta lainnya. Mereka bertiga lekas bersyukur karena ada juga jalan untuk menemukan informasi ini meski harus melanggar banyak aturan.
"Baiklah, aku akan membacakannya. Dengarkan baik-baik. Kalian catat yang penting," ujar Anila.
Foederis Saxum dikenal dengan nama Batu Kekuatan Perjanjian Ras adalah batu berisi kekuatan yang diciptakan pada zaman kuno sebelum kedatangan Delapan Majestic Families serta sebelum penjajahan bangsa Iblis. Batu ini diciptakan sebagai aliansi persahabatan antara ras dan bangsa yang ada di Athinelon ini dengan memiliki perjanjiannya masing-masing.
Satu batu yang diciptakan melalui proses peleburan beberapa material alam, peleburan neith, serta pemberian kekuatan setiap ras melalui darah mereka. Satu batu akan diberi empat kekuatan dari ras yang ada di Athinelon, penciptaan batu ini harus diketahui oleh para pemimpin ras tersebut dan dipantau secara langsung serta ketika batu itu sudah tercipta maka para ras yang menciptakan batu tersebut harus membuat perjanjian.
Ada sepuluh Foederis Saxum dengan setiap satu batu memiliki empat pencipta. Batu ini digunakan untuk membuat kestabilan dan kesejahteraan setiap ras pada masa itu, terutama membantu dalam ekspedisi zero domain yang dijaga para Nott dan mengalahkan monster ciptaan para Dewa yang menjajah sebagian wilayah di Athinelon. Meskipun batu tersebut bukanlah fondasi utama dalam peradaban, tetapi banyak manfaat yang didapatkan terlebih setiap batu memiliki fungsi dan kekuatannya masing-masing.
"Ras-ras yang menjadi pembuatan dari batu tersebut seperti ras manusia, elf, peri, siren, titan, hingga ras iblis juga."
"Iblis. Ras iblis juga termasuk aliansi, lalu bekerjasama membuat Foederis Saxum?" Mylo berujar.
"Itulah yang tertulis di dalam buku ini Mylo," balas Anila, "lagi pula sesuai dengan sejarah Athinelon jika jauh sebelum Majestic Families lahir dan bangsa iblis menjajah dunia. Setiap Ras di Athinelon termasuk bangsa Iblis hidup damai, hingga bangsa iblis menyadari jika mereka lebih unggul dibandingkan bangsa lainnya."
"Lanjutkan," ujar Aalisha, "waktu kita terbatas."
"Baiklah, aku lanjutkan." Anila kembali membacakan buku tersebut. "Namun, seiring berjalannya waktu ketika setiap ras-ras semakin berkembang tanpa memerlukan Foederis Saxum, maka batu tersebut jarang digunakan kembali serta disimpan berdasarkan perjanjian dari setiap pembuat batu ...." Anila terdiam kemudian, seolah lidahnya kelu untuk melanjutkan.
"Ada apa? Kenapa berhenti?" ucap Mylo.
"Begini, di sini tertulis jika awalnya Foederis Saxum hanya ada sembilan saja, tapi setelah ras lainnya tidak menggunakan kekuatan batu itu lagi. Ada satu ras yang tiba-tiba ingin membuat batu yang kesepuluh, karena dia butuh batu kekuatan baru untuk menguasai Zero Domain yang sangat kuat dijaga oleh Nott. Akhirnya dia meminta tiga ras lain untuk membantunya dan membuat perjanjian, tetapi ketiga ras ini menolak membuat batu yang kesepuluh karena mereka takut jika kekuatan batu kesepuluh akan membawa kehancuran di masa depan. Namun, ras yang hendak batu tersebut malah berisi keras, dia berkata jika batu kesepuluh diperlukan untuk peradaban bangsanya. Atas dasar kebaikan, tiga ras lain pun setuju untuk membantunya membuat batu yang kesepuluh."
"Ras mana yang ingin batu kesepuluh tercipta?" ucap Aalisha.
Anila diam, lalu menyebutkannya dengan perasaan sesak. "Ras iblis, lalu tiga ras yang membantunya adalah siren, elf, dan ... manusia."
"Mustahil, ini gila. Apa kau yakin jika ras iblis butuh batu kesepuluh untuk menyelesaikan ujian Nott dan mendapatkan zero domain?" ujar Mylo.
Maka Anila menggeleng. "Tidak itu hanya kebohongan. Karena batu kesepuluh adalah salah satu dari sekian banyaknya kekuatan pendukung yang ras iblis gunakan untuk menjajah Athinelon."
Aalisha melangkah hingga di dekat Anila. "Dan batu itu bernama?"
"Zephyr Stone's." Anila menjawab.
"Langsung menuju penjelasan Zephyr, batu itu punya kekuatan apa dan bagaimana cara menggunakannya," ujar Aalisha yang lekas mendapat anggukan kepala dari Anila.
Gadis Andromeda itu membuka ke halaman penjelasan mengenai Zephyr Stone's. "Dijelaskan sebelumnya jika setiap Foederis Saxum memiliki syarat agar batu itu dapat digunakan, seperti dengan memberikan seserahan berupa hasil alam, harus tahu mantra untuk mengaktifkan batu tersebut, serta lainnya. Namun, Zephyr Stone's berbeda. Ras iblis yang serakah berhasil mengelabui ras lain, sehingga syarat untuk menggunakan Zephyr Stone's berada di luar norma setiap makhluk hidup.
"Zephyr Stone's memiliki kekuatan untuk mempengaruhi dan membinasakan kehidupan, jadi dengan batu ini, seseorang bisa mempengaruhi makhluk hidup lain. Mudahnya seperti hipnosis atau merusak otak makhluk hidup lain atau mengendalikan mereka dengan jangkauan yang sangat besar bahkan hingga satu desa atau wilayah. Hanya saja cara untuk mengaktifkan secara sempurna kekuatan Zephyr ini adalah dengan syarat yang benar-benar gila, yaitu dengan menumbalkan makhluk hidup atau ras yang membuat perjanjian akan Zephyr Stone's. Tumbal makhluk hidup ini harus benar-benar baru dan tidak boleh lebih dari seminggu, lalu tumbal ini ditumpuk dengan di atasnya disediakan tiang menaruh Zephyr Stone's, kemudian tumbal-tumbal itu harus dibakar hingga menjadi abu. Maka Zephyr Stone's akan semakin kuat hingga perlahan-lahan aktif.
"Dengan artian, tumbal ini adalah masyarakat dari empat ras yang sebelumnya menjadi pencipta dari Zephyr Stone's yaitu ras Iblis sendiri, ras siren, elf, dan manusia. Dikatakan pula jika keempat ras bisa jadi tumbal maka pengaktifan Zephyr Stone's akan lebih cepat, tetapi jika hanya satu ras saja maka dibutuhkan banyak tumbal dari ras tersebut. Oke, selanjutnya ada penjelasan dalam tulisan aksara kuno, aku tak mengerti, tapi kurasa penjelasan tadi sudah cukup."
Mylo berucap dengan wajahnya yang sudah pucat pasi. "Ini gila, itu berarti pembantaian di desa-desa yang baru kita dengar karena mereka jadi tumbal—"
"Diam Mylo, diam dulu." Aalisha menginterupsi. "Lalu kenapa Zephyr terbagi menjadi enam keping seperti yang kau dengar dari Zahava dan Hesperia?"
Anila lekas membuka halaman lain di buku tersebut. "Di sini tertulis, jika setelah bangsa iblis menguasai dunia. Setiap Foederis Saxum diambil oleh mereka dan tentunya Zephyr berada di tangan bangsa Iblis. Hingga ketika Majestic Families lahir, saat perang besar-besaran melawan bangsa iblis, mereka berhasil merebut semua Foederis Saxum, termasuk Zephyr. Karena batu itu tidak bisa dihancurkan, jadi hanya dibagi menjadi enam keping agar kekuatan batu itu tidak sempurna. Akhirnya sembilan Foederis Saxum diserahkan pada ras-ras lain sesuai perjanjian dulu, sedangkan Zephyr disebar di bangsa manusia. Majestic Families sendiri dilarang menyimpan Zephyr karena mereka dikabarkan tidak mau ikut campur masalah Zephyr lagi.
"Seiring berjalannya waktu, Zephyr sering berpindah tangan dan wilayah. Namun, masih di sekitar wilayah ras manusia, hal ini karena Zephyr terlalu kuat serta banyak yang mengincarnya bahkan bangsa manusia itu sendiri. Apalagi Zephyr ini bisa menghasut manusia agar menggunakan kekuatannya. Terlebih manusia yang punya hasrat tinggi hendak mendapatkan tahta dan harta. Oleh karenanya, Zephyr sering berpindah tempat persembunyian, tidak boleh berada di tangan bangsawan. Mungkin karena inilah, salah satu kepingan Zephyr ada di akademi. Bukan tanpa alasan ditaruh di sini. Eidothea adalah tempat yang aman, tak ada yang akan berpikir untuk menyimpan batu kekuatan di sekolah anak-anak dan tak ada orang bodoh dari luar yang mau menyerang Eidothea begitu saja karena di sini banyak murid berbakat yang siap bertarung. Lagi pula, anak-anak berbeda dengan orang dewasa yang punya hasrat besar jadi Zephyr minim menghasut anak-anak Eidothea."
"Kini sudah jelas, tujuan Phantomius, maksudku mereka berdua adalah mendapatkan Zephyr Stone's demi Raja Iblis untuk membawa kegelapan ke tanah Athinelon lagi," ujar Mylo.
"Lalu, Anila berkata tadi jika tak ada orang bodoh, di luar sana yang berani menyerang Eidothea untuk mendapatkan Zephyr. Namun, berbeda halnya jika orang dalam yang mengincar Zephyr itu. Semua tahu, musuh dari luar lebih mudah dikalahkan dibanding seorang teman yang berkhianat. Profesor Zahava, Hesperia, dan mungkin ada lagi, mereka berkhianat pada Eidothea ...."
Anila menutup buku itu, air mata jatuh ke atas sampul buku tersebut. "Berkhianat pada bangsa manusia, pada kekaisaran Ekreadel dan seluruh masyarakatnya."
Mylo sadari juga jika ia ikutan menangis. "Berkhianat pula pada para leluhur yang berjuang mati-matian demi terbebas dari penjajahan bangsa Iblis, serta pada tanah Athinelon."
Aalisha diam, hanya dia yang tak menangis ketika dua temannya ini menangis. Gadis itu menutup mata sesaat lalu menghela napasnya. "Kini semuanya tersambung bagai benang merah. Pembantaian yang terjadi akhir-akhir ini di desa yang jauh dari jangkauan kekaisaran dikarenakan masyarakatnya hendak dijadikan tumbal demi membangkitkan Zephyr. Ada empat ras yang menciptakan Zephyr, sedangkan target bangsa Iblis hanyalah ras manusia karena siren dan elf jauh dari kepingan Zephyr yang tersebarnya di wilayah bangsa manusia. Mustahil juga bangsa iblis mengorbankan ras mereka sendiri untuk mengaktifkan Zephyr jadi pilihan yang tepat, yaitu membantai manusia. Jalan menuju kehancuran yang dibawa mereka, sudah terlihat ketika Zahava berhasil mengambil Zephyr di Eidothea."
"Namun, bukankah jika Zephyr berhasil diaktifkan. Kekaisaran dan Majestic Families akan turun tangan?" ucap Mylo.
"Mereka mungkin akan turun tangan dan mengambil Zephyr kembali, tapi pasti akan ada korban jiwa lebih banyak lagi sebelum Zephyr direbut kembali. Lalu korban jiwa untuk pertama kalinya ketika Zephyr sudah benar-benar diaktifkan adalah kita, murid-murid di sini, Eidothea akan binasa," sahut Anila dengan tangan gemetar.
"Sialan, ini mengerikan." Mylo berusaha menahan tangisnya agar tidak semakin pecah.
Anila berucap kembali. "Kita tidak bisa melapor meski tahu semua kenyataan ini. Jika melapor, kita tak punya bukti. Kalau Zahava dan Hesperia tahu, kita akan dalam bahaya, lalu mereka mungkin akan mempercepat rencana mereka dan segera membinasakan Eidothea."
Aalisha sangat setuju dengan perkataan Anila. Tidak ia sangka jika tujuan dari Zahava dan Hesperia akan seberbahaya ini. Kini ia menatap kedua temannya. "Semua ini berat bagi kita, berat karena kita hanyalah murid di angkatan tahun pertama. Namun, kita satu-satunya yang harus menghentikan semua ini. Aku tahu ini beresiko, aku tidak akan memaksa kalian berdua. Hanya saja, aku membuat pilihan untuk mendapatkan Zephyr itu dan menghukum Zahava serta Hesperia."
"Apa alasanmu melakukannya?" tanya Anila menaruh buku di atas meja, lalu berdiri dan menatap Aalisha.
"Apa kau pernah dikhianati Anila?" Satu kalimat dari Aalisha membuat Anila dan Mylo terdiam. Sekali lagi, sekali lagi, perkataan yang mengandung ribuan rahasia dari gadis kecil itu.
"Kalau begitu, aku akan ikut kau. Mari temukan Zephyr dan beri pelajaran pada kedua pengkhianat itu! Lagi pula jika kita bisa mendapatkan Zephyr, maka bisa menjadi bukti jika ada orang jahat yang mengincar batu kekuatan itu," balas Anila.
"Aku pun. Aku sudah dikhianati oleh dua pengajar Eidothea meski mereka belum mengajar kita. Jadi mari, mari temukan Zephyr sialan itu." Mylo ikutan berujar.
"Jadi sudah diputuskan." Aalisha tersenyum tipis, tangannya mengepal kuat. Ada sesak yang tak ia mengerti, menyeruak lagi ke dadanya.
Entah apa arti sesak itu? Entah apa yang akan terjadi pada mereka bertiga? Apakah pilihan mereka untuk mendapatkan Zephyr adalah sebuah kesalahan?
Bisakah para Dewa memberikan keberuntungan pada mereka atau kematian yang lebih dulu menjemput?
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Wah ternyata kekuatan Zephyr adalah ... hmmm, makin banyak kebenaran yang akan terungkap nih!!
Kira-kira teori apa yang kalian pikirkan setelah membaca chapter ini? Adakah kejanggalan akan sesuatu?
Sudah dapat salam dari Aalisha nggak? Dia nyapa kalian pakai lirik lagu Bbibbi dari Lee Ji-eun^^
Prins Llumière
Selasa, 07 Februari 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top