Chapter 60

|| Mari vote 40 dan komentar 40 demi kesejahteraan bersama

Malam sudah melewati pukul sepuluh. Di salah satu ruangan kastil utama Eidothea akademi, terdengar suara meringkih kesakitan. Ruangan itu sangat gelap tanpa ada penerangan sedikit pun bahkan tak ada lilin apalagi lentera. Meskipun begitu, samar-samar terlihat seseorang atau lebih tepatnya murid perempuan yang berada di ruangan itu, ia dalam posisi tertiarap, kedua tangan dan kakinya diikat kuat menggunakan tali. Kasihan pula gadis itu karena pelipisnya berdarah, beberapa bagian tubuhnya seperti lengan, lutut, siku, serta sedikit perutnya terluka dan mengeluarkan darah.

Beruntung dia punya pemahaman akan sihir penyembuh meski hanya teknik paling dasar yang digunakan menyembuhkan luka-luka kecil. Maka perlahan dirapalkan mantra tersebut, paling penting baginya adalah menyembuhkan luka sabetan pisau di perut sebelah kanannya. Sedikit perih terasa, tetapi mampu ia tahan dan berusaha tak bersuara sedikit pun. Ia benar-benar harus berterima kasih pada ayahnya karena mengajari teknik sihir ini. Lagi pula sebagai putri satu-satunya Count Andromeda, ia harus siap dalam segala hal termasuk kemungkinan terburuk seperti penculikan.

"Kurasa penculik ini bukan dari pihak bangsawan yang membenci ayahku. Mustahil mereka senekat itu untuk mengincarku." Anila menggerakkan tangannya yang diikat kuat itu, ia harus memastikan seberapa kuat ikatan ini terlebih dahulu sebelum melepaskannya.

Perlahan ia menutup matanya, berfokus menyelimuti seluruh tubuhnya dengan neith. "Sicut Llibertas Servo, Ita Compedibus."

Perlahan-lahan tali yang mengikat kedua tangan kaki Anila, kini melepaskan ikatannya dengan sendirinya. Tidak butuh waktu lama karena Anila sudah berhasil membebaskan belenggu itu. "Mereka teledor sekali karena mengikatku dengan tali, alih-alih menggunakan sihir."

Kini ia berada di posisi duduk, sementara ia menstabilkan sakit kepalanya karena ketika melawan Orly rambut merah tadi, kepalanya cukup terbentur keras ke rak buku. Sial, Anila berdecak karena tidak bisa memunculkan cyubes maupun invinirium, pasti penjahat yang menculiknya menyabotase cyubes dan invinirium-nya lalu mengambil keduanya. Sudah dipastikan jika musuh yang ia hadapi adalah sosok yang kuat. Anila agak bersyukur karena di invinirium-nya tidak ada barang penting.

Anila mengambil tali yang mengikat kedua tangannya, perlahan berdiri kemudian mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya, tetapi terlalu gelap. Ia rapalkan mantra yang membuat penerangan berupa bola api kecil yang melayang mengikutinya. Ruangan ini ternyata penuh debu, banyak sarang laba-laba di langit-langit, di setiap pinggir terdapat meja-meja kecil di atasnya ada vas bunga, tetapi ditutupi kain putih. Cukup banyak lukisan dinding, tetapi sama saja diselimuti kain putih. Anila melangkah pelan menuju lemari yang juga diselimuti kain putih, dibuka perlahan lemari tersebut, terdengar sedikit derit pintunya bersamaan debu yang sesaat membuatnya batuk. Anila tak menemukan apa pun di dalam lemari tersebut, hanya lemari kosong jadi dia masukkan tali yang mengikat kedua tangannya tadi. Antisipasi semisal penjahat yang mengecek dirinya kemari, penjahat itu akan berpikir jika Anila kabur dengan tangan masih terikat meski ini bodoh sih.

"Sekarang aku harus apa?" Menyeruak perasaan tak nyaman dan kekhawatiran. "Semoga Aalisha dan lainnya baik-baik saja."

Cahaya kecil terlihat dari ventilasi di luar ruangan, sontak Anila memadamkan penerangannya segera berjongkok sambil menatap cahaya kekuningan itu berjalan melewati ruangan tempat Anila berada, artinya mereka tak berniat mengecek Anila. Maka gadis itu menuju pintu yang ternyata terkunci, dirapalkan mantra sesaat, terbukalah pintu tersebut. Anila melongok sedikit, ia bisa melihat tiga orang berjubah hitam dengan satu lentera tengah menyusuri lorong misterius, asing, tak Anila kenali ini. Dikarenakan hanya ada satu lorong tanpa persimpangan, maka Anila pun memutuskan mengikuti ketiga orang dengan jubah hitam tersebut.

"Mereka sudah menculikku, maka aku harus tahu apa rencana mereka melakukan semua ini."

Ternyata tiga orang itu masuk ke ruangan yang berbeda. Anila diam sambil mengamati sekitarnya, lalu ia temukan pintu lagi tepat di samping ruangan yang dimasuki tiga orang tersebut. Maka Anila masuk ke pintu itu yang ternyata terhubung dengan ruangan sebelah, tak ada dinding atau sekat yang memisahkan kedua ruangan, hanya terpisah tumpukan kotak kayu yang diselimuti kain putih. Maka Anila menuju sedekat mungkin dengan ketiganya, bersembunyi di balik salah satu kotak kayu dan perlahan menekan neith-nya agar keberadaan Anila tak terdeteksi.

Nyala api lentera membesar ketika ketiganya sudah benar-benar berada di dalam ruangan, syukurnya, cahaya lentera itu tidak sampai menerangi tempat Anila berada. Lalu sepertinya para Dewa berpihak pada Anila karena gadis itu bisa mendengar jelas suara dari ketiga orang itu.

Maka ketika tudung jubah mereka dibuka, Anila yang sedikit mengintip itu akhirnya melihatnya, wajah dari ketiga penculik yang sukses membuat pupil matanya membesar, ia terkejut bukan main mendapati siapa yang menjadi dalang dari semua ini.

Seorang pria bertubuh tinggi, meski angkatan Anila tidak diajar olehnya, tetapi Anila tahu benar jika pria itu adalah profesor yang mengajar di tahun keempat, mantan Inquisitor Alastair, Profesor Dommi Erick Zahava. Di depan Zahava, wanita cukup cantik dengan rambut terurai panjang. Melihat wanita itu membuat degup jantung Anila sedikit berpacu, sesaat ia merasa jika sesak menyeruak karena wanita itu adalah sosok yang sering bersama dengan profesor Ambrosia—sahabat dari pengajar di angkatannya, ya Anila ingat siapa nama wanita itu, Minna Hesperia. Kemudian yang terakhir adalah sosok Orly di samping profesor Zahava yang memiliki rambut merah. Sudah dipastikan jika Orly itulah yang menyerangnya di perpustakaan dan menculik Anila kemudian dibawa ia kemari.

"Sial, kenapa? Kenapa harus para pengajar Eidothea pelakunya." Anila terdiam, sesak ini benar-benar membuatnya takut, sedikit gemetar ia karena tak ia sangka jika penjahatnya adalah pengajar di sekolah ini. Mungkinkah, mungkinkah mereka adalah dalang dari penyerangan minotaur ke Eidothea pula? Ini sangat menyakitkan karena Anila lebih berharap jika dalangnya adalah orang luar.

Anila menggigit bibirnya, ia takkan gentar, ia harus mencari tahu tujuan mereka. Apa yang mereka kehendaki di sekolah ini, sungguh mereka akan menjadi ancaman dan bencana bagi seluruh murid di Eidothea. Kini Anila meneguhkan hatinya, sudah terlanjur ia berada di sini, ia adalah korban penculikan yang entah apa alasan para penjahat itu melakukannya. Maka Anila harus menyelesaikan ini sampai akhir, ia harus tahu apa tujuan mereka, ia harus tahu demi keselamatan semua murid di sini.

"Para Phantomius lain sudah bergerak lagi menjalankan perintah Casimir. Berkat rencanamu menggunakan para minotaur itu, kita dapat mengambil Zephyr Stone di akademi ini," ujar Hesperia. Lalu terkekeh. "Bodoh sekali mereka menyimpan batu kekuatan itu di sekolah ini."

"Tentu saja rencanaku lebih berhasil dibandingkan kau yang membuat para binatang magis mengamuk," balas Zahava yang menyatakan jika kejadian mengamuknya binatang magis karena ulah Hesperia.

"Aku akui jika kau memang lebih berbakat dalam bidang ini. Kalau begitu, kita harus segera menyusun rencana untuk mendapatkan tiga keping Zephyr Stone yang tersisa. Dua keping sebelumnya serta yang disembunyikan di Eidothea ini sudah berada di tangan Casimir, hanya tersisa tiga lagi dan kita harus mendapatkannya lalu diserahkan pada Casimir!" Hesperia menatap Zahava.

"Hesperia, dua Zephyr itu akan diserahkan pada Phantomius yang lain, tugas kita hanya mendapatkan yang ada di sekolah ini dan di desa terbengkalai itu."

Hesperia lekas mengangkat tangannya. Suara Hesperia menggelegar ke seluruh ruangan. "Tidak! Tidak Zahava, Zephyr itu harus kita yang mendapatkannya!"

"Mengapa kau ingin sekali mendapatkan Zephyr itu?" ujar Zahava.

Anila yang mendengar percakapan mereka, perlahan mengacak kain putih di dekat tangannya. Phantomius, mereka berkata Phantomius bukan? Itu artinya Zahava dan Hesperia adalah penyembah Raja Iblis.

Kini terdengarlah jawaban Hesperia yang bagi Anila benar-benar terdengar sakit, sangat sakit. Dia bukanlah manusia, mereka bukanlah bagian dari bangsa manusia. "Aku ingin naik lebih Zahava, aku ingin menjadi Phantomius yang lebih tinggi dan dipercaya oleh organisasi agar aku bisa bertemu para Apos'teleous dan Sang Raja Iblis itu sendiri."

Zahava memperhatikan Hesperia yang begitu besar ambisi dimiliki wanita itu. Namun, Zahava tahu jika selain ingin lebih mendapat kepercayaan dari Phantome Vendettasius, Hesperia punya tujuan tersendiri. "Selain ingin dipercaya, kau juga melakukan semua ini agar ... Lugaldaba melirik padamu, 'kan? Karena kau mencintainya sedangkan dia tak mencintaimu."

Anila dengar, nama itu, ia tahu siapa. "Viscount Lugaldaba, dia Phantomius."

Hesperia seketika mengarahkan jari telunjuknya di hadapan Zahava seolah wanita itu hendak menyerang Zahava jika berani berujar lebih jauh lagi. "Tutup mulutmu. Lugaldaba hanya tidak berpikir jernih, andai dia tak bertemu dengan wanita itu. Dia takkan pernah jatuh cinta. Setelah aku mendapatkan Zephyr lagi, aku yakin Lugaldaba akan berbalik padaku."

Zahava tidak menyangka jika selain melihat penderitaan dari masyarakat yang dibantai habis-habisan. Dia juga menyaksikan drama cinta yang begitu lucu. Bukankah cinta memang mengerikan? "Baiklah, jika itu keinginanmu." Zahava melirik pada Orly-nya, kemudian Orly itu, memanggilnya namanya. "Merluna."

"Baik Master," ujar Merluna sambil memberikan kertas perkamen cokelat kepada Zahava.

"Kau tahu kalau para Phantomius lain melakukan pembantaian di desa-desa yang jauh dari penglihatan kerajaan maupun kekaisaran 'kan? Mereka juga menculik banyak warganya." Zahava mulai menjelaskan.

"Aku tahu," sahut Hesperia.

"Berdasarkan informasi. Salah satu keping Zephyr tersembunyi di desa yang menjadi target pembantaian selanjutnya, Desa Shakaleta. Desa itu sudah lama diberi kepercayaan oleh kekaisaran untuk menyimpan kepingan keenam, kepingan paling kuat dari Zephyr. Maka tujuan kita adalah mencari kepingan di desa itu jika kita berhasil mendapatkannya sekaligus membantai seluruh masyarakatnya, niscaya kau akan berhasil meraih tujuanmu."

Anila mengingat semua pembicaraan mereka terutama mengenai Zephyr dan pembantaian terhadap desa-desa yang jauh dari kekaisaran. "Jadi mereka dalang dari pembantaian yang dibicarakan di surat kabar."

Zahava melanjutkan perkataannya. "Kita akan segera bergerak, aku akan menghubungimu untuk rencana selanjutnya—"

"Master," ucap Merluna, suaranya sangat dingin dan rendah.

"Ada apa?" sahut Zahava menatap pada Merluna yang melangkah melewatinya serta Hesperia. Dia menatap pada sisi ruangan yang tak terkena cahaya lentera, penuh dengan kotak kayu dan kain putih.

Kini tangan kiri Merluna seketika ia ayunkan sambil berujar, "dasar penyusup!" Maka angin tercipta yang membuat seluruh kotak kayu terempas ke belakang.

Zahava dan Hesperia terhenyak, mereka menatap pada seorang murid Eidothea yang mengayunkan tangannya ke bawah juga, ia menggunakan sihir sehingga seluruh ruangan itu langsung dipenuhi asap tebal. Lekas Anila menerobos keluar dan berlari menjauh dari ruangan itu sedangkan Zahava dan Hesperia terbatuk-batuk.

"Sialan, sejak kapan anak itu di sana!" teriak Hesperia menjentikkan jarinya lalu semua asap di ruangan itu berangsur-angsur menghilang. "Aku mengenalnya! Dia harus dikejar!"

Zahava menahan Hesperia. "Jangan terlalu beresiko." Ia lalu menatap Merluna. "Kau, tangkap anak itu, tapi jika dia berhasil keluar dari lorong ini, biarkan saja karena beresiko kalau ada yang mendeteksimu. Lakukan segera!"

"Baik MASTER!" Maka Merluna, melesat mengejar Anila.

"Anak itu melihat wajah kita, kau yakin akan membiarkannya?!" ucap Hesperia, "bagaimana jika dia melapor?"

"Kau tahu dia 'kan? Dia putri dari Count Andromeda. Mengetahui kecerdasan yang dimiliki anak itu, dia takkan gegabah dan melakukan kebodohan. Anak itu pasti memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi. Jika sejak awal dia mendengar pembicaraan kita berarti dia akan berpikir jika kitalah dalang yang membawa para minotaur kemari. Hal ini cukup membuat anak itu untuk tidak bodoh melaporkan kita dengan gegabah, selain karena dia tak punya bukti, dia juga pasti berpikir jika kita bisa mengancamnya. Terutama gadis cacat itu adalah teman Andromeda. Sudah pasti Andromeda itu takkan melapor demi melindungi temannya. Lagi pula, mereka hanyalah murid angkatan pertama, takkan banyak yang bisa mereka lakukan."

****

Anila semakin mempercepat larinya ketika ia menengok ke belakang dan mendapati Orly berambut merah itu terus-menerus mengejarnya. Anila merapalkan setiap mantra yang bisa membantunya untuk menghambat pergerakan Merluna. Namun, Merluna mudah sekali menghindari setiap sihir yang Anila gunakan.

Bahkan Orly itu menyerang Anila balik dengan sihirnya, membuat Anila terjatuh, tubuhnya membentur lantai, tetapi gadis itu tidak pantang menyerah. Ia serang balik dengan sihir, serta menciptakan asap hitam sehingga membuat jarak antara keduanya tercipta, lalu Anila bangkit kembali dan berlari.

Peluh keringat membasahi tubuhnya, degup jantung tak berhenti berpacu kencang. Ia melewati setiap lorong. Malam ini, takdir berpihak pada Anila. Ia berhasil keluar dari lorong tersebut dan sampai di koridor kastil akademi yang Anila ketahui. Gadis itu tersenyum tipis, napasnya memburu, keringat menetes ke lantai. Ia berhasil kabur dari kejaran Merluna. Kini Orly itu takkan nekat mengejar Anila karena akan terdeteksi pihak akademi.

"Terima kasih Dewa, terima kasih karena sudah berada di pihakku."

Sementara itu, Merluna yang gagal mendapatkan Anila. Dia kembali pada Zahava, tangan kanan di dada kiri, tangan kiri disampirkan ke belakang, lalu ia membungkuk pada Zahava. "Maafkan aku, Master. Aku gagal mengejar gadis itu."

"Tak masalah, dia takkan melapor. Lagi pula, tidak lama lagi dia akan merasakan penderitaan karena kekuatan Zephyr ada ditangan Phantome Vendettasius." Zahava begitu bangga sambil menatap rembulan yang sudah tak dihalangi awan-awan.

****

Sungguh demi Dewa dan segala arsitektur Akademi ini sangatlah memusingkan. Tidak Anila sangka jika dalam kastil ini ribuan lebih besar dibandingkan tampak dari luarnya. Dikarenakan beberapa ruangan maupun koridor diberi sihir, jadi ruangan yang terlihat kecil dari luar nyatanya begitu besar. Maka begitu jugalah lorong aneh yang Anila barusan lewati. Apalagi pintu masuk menuju lorong itu menghilang tiba-tiba, kini menyisakan Anila di koridor sebelah timur akademi. Cukup jauh dari asramanya.

"Sial, Orly penjaga di mana-mana," ucap Anila lekas menjauh dari cahaya lentera yang dibawa para Orly berjaga malam. Ia tidak mau tertangkap karena jika terjadi, sudah dipastikan ia mendapatkan hukuman dan pengurangan poin karena jam malam batasannya pada pukul sembilan atau sepuluh ya? Sial Anila lupa saking ia paniknya tadi, intinya ia sudah melewati jam malam karena kini kemungkinan menunjukkan pukul sebelas malam.

"Aku harus ke kastil asrama." Anila melangkah, berusaha keras menghindari para Orly yang berjaga di malam hari ini. Anila juga menyembuhkan pelan-pelan luka di pelipisnya, lalu ia seka darah yang tersisa menggunakan lengan baju.

Baru hendak berbelok ke koridor yang jalannya paling cepat menuju kastil asrama Arevalous, Anila samar-samar melihat dua orang sedang terdiam di belokan koridor, sesekali mengobrol sambil memantau para Orly yang berjaga. Anila rasa jika kedua orang itu adalah musuh. Dikarenakan tidak ada murid yang nekat berkeliaran di luar batasan jam malam. Anila tidak mau tertangkap lagi, ia meraih ranting kayu yang ada di dekatnya. Ia lapisi dengan neith sehingga benar-benar kuat. Maka pelan-pelan ia melangkah, tak disadari kedua orang di kegelapan itu. Ketika hampir dekat, lekas Anila menangkap salah satunya, lalu bersiap untuk menggores leher orang itu jika berusaha meronta.

"Jangan berteriak atau melawan, jika kau tak mau kubunuh!" ucap Anila.

"Hei, hei, tunggu dulu! Kau mau membunuhku, Anila!"

Ya, Anila kenal sekali suara ini. Ia menatap pada lelaki yang lehernya sedikit lagi pasti tergores ranting kayu Anila, ternyata lelaki ini adalah Mylo! Lekas Anila menatap pada satu orang lain, yang tak lain dan tak bukan adalah Aalisha.

"Lepaskan aku woy!" teriak Mylo maka Anila mendorong lelaki itu hingga tersungkur ke lantai. Setelah membuang ranting kayunya, Anila cepat menuju Aalisha yang terdiam menatapnya.

"Aalisha," ucap Anila, tetapi dia urungkan niat mendekap tubuh gadis kecil itu karena Aalisha memberikan isyarat jika dia tak mau dipeluk.

Oh Dewa, mengapa gadis kecil itu tak mau dipeluk? Apakah dia punya fobia atau semacamnya?

Sementara itu, Aalisha hanya diam, membisu. Ia perhatikan Anila yang penampilannya cukup kacau balau; rambut sedikit berantakan, ada luka di pelipis, pakaiannya kotor serta juga sebagian sobek. Kini gadis kecil itu bingung karena ada sesak yang menyeruak ke dadanya lagi, ia bingung pula hendak mengatakan apa, maka inilah yang terucap dari mulutnya. "Kau bebas. Apa yang terjadi? Bagaimana bisa kau di sini?"

"Jahat kau. Padahal aku sudah nekat keluar kastil demi mencarimu," sahut Mylo, membersihkan debu dari piyamanya. "Jadi bagaimana, kau kabur dari Orly yang menyekapmu?"

"Iya, aku berhasil kabur. Mereka tak berani mengejar hingga kemari karena takut ketahuan pihak akademi," jelas Anila.

"Mereka?" Aalisha tercengang. "Apa maksudmu, jadi lebih dari satu yang menyekapmu. Kenapa mereka melakukan hal itu?" Sekali lagi ada sesak yang tak Aalisha mengerti perlahan-lahan menjalar ke dadanya. Apakah ini perasaan khawatir? Aalisha masih bingung memahaminya.

"Soal itu ...." Anila terdiam. Bagaimana caranya ia mengatakan semua yang ia dengar di ruangan itu. Tentang Zahava dan Hesperia, penyerangan minotaur, dan lainnya?

Mylo berujar cepat. "Anila katakan! Siapa yang menculikmu? Lalu kenapa kau sangat takut untuk mengatakannya—"

"APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SINI?!" Suara itu berasal dari Orly penjaga pada malam ini, ia bernama Spektor.

Mereka langsung menatap ke arah Spektor, penuh rasa keterkejutan dan keringat menetes karena tertangkap basah. Sial sekali mereka.

"Jawab aku! Tidak tahu apa jika sudah lewat jam malam para murid?" Spektor berdiri sambil berkacak pinggang.

"Kami, kami ...." Anila tak tahu harus menjawab atau beralasan apa. Mustahil jika ia menyerang Orly ini karena akan menambah buruk keadaan.

"Teman kami mengigau dan tidur sambil berjalan," sahut Mylo cepat lalu menarik lengan Aalisha. Seolah perkataan tadi ditujukan untuknya. "Dia sakit, sering mimpi buruk, dan tidur sambil berjalan. Pasti semua ini karena traumanya setelah penyerangan minotaur."

Aalisha melirik pada Mylo dengan mata melotot, ia tak terima jika dirinya dijadikan alasan. Lagi pula, apa-apaan itu? Tidur sambil berjalan karena trauma?! Mana mungkin Orly di depan mereka ini akan percaya dengan kebohongan tidak jelas itu!

"Benar yang dia bilang?" ujar Spektor pada Aalisha yang tiba-tiba disenggol sikunya oleh Mylo. Memberi kode agar Aalisha mengikuti alur kebohongan ini.

"Ya," ucap Aalisha, lalu membuat wajah seolah-olah ia sakit kepala. "Aku akhir-akhir ini sering mengigau, kadang aku tak sadar jika tidur sambil berjalan. Kau tahu jika aku salah satu dari peserta di arena ketika penyerangan minotaur terjadi, jadi masih ada trauma yang membekas. Teman-temanku harus mencariku jika aku tiba-tiba hilang dari kamar karena tidur berjalanku."

Ah, kebohongan yang tidak masuk akal sama sekali! Sudah Aalisha pastikan jika Orly itu akan sadar.

"Baiklah," sahut Spektor, "jika itu yang kalian katakan."

Ketiga anak Eidothea itu diam membisu. Orly itu percaya dengan kebohongan mereka!! Bagaimana bisa?

"Iya begitu," sahut Anila, "kami tak ada maksud lain, hanya mau membawa teman kami kembali ke asrama karena tidur berjalannya."

"Alasan kalian takkan membuat kalian dihukum karena kasihan juga jika teman kalian terus tidur berjalan," ujar Spektor.

"Iyaa." Anila mengangguk kecil. "Kasihan sekali dia, tidak sembuh-sembuh penyakitnya. Mana badannya kurus dan kecil juga."

Spektor setuju. "Ya, aku paham. Banyak murid yang penyakitan setelah masuk ke akademi ini. Sekarang kalian pergilah, sebelum teman kalian ini pingsan atau apa pun itu."

"Terima kasih atas perhatiannya," ujar Anila berpura-pura menuntun Aalisha seolah gadis itu benar-benar sakit.

"Terima kasih," sahut Mylo.

"Tidak secepat itu!" Sukses mereka bertiga termasuk Spektor terkejut bukan main ketika seorang wanita berumur kisaran 50 tahun, kacamata dikenakannya, serta pakaian panjang hingga sedikit menyapu lantai. "Bisa-bisanya kalian membohongi seorang Orly dengan alasan yang tak masuk akal."

"Profesor Madeleine." Anila berujar, ia langsung tertunduk ketika Madeleine menatap mereka bertiga sedikit sinis.

Madeleine beralih pada Spektor. "Dan kau, bagaimana bisa kau percaya kebohongan mereka. Tidur berjalan? Alasan yang bodoh sekali! Pergi kau, biar aku yang menangani mereka."

"Ma—maafkan aku Profesor, aku mohon undur diri," ujar Spektor segera pergi.

Profesor Madeleine menatap Aalisha dan lainnya lagi. "Kalian dari asrama Arevalous, Nona Aalisha tidur berjalan dari asrama itu kemari. Terlalu jauh, apalagi setiap koridor dijaga Orly. Bahkan sebelum kalian menemukan Nona Aalisha, dia sudah ditemukan Orly yang berjaga lebih dulu."

Wanita tua itu melangkah hingga di dekat Anila. Kemudian menyentuh pipi Anila dengan pelan, ia menatap pada luka di pelipis gadis itu. "Lalu Nona Anila, bisa kau jelaskan mengapa pelipismu luka? Bahkan pakaian yang kau kenakan juga kotor."

Profesor Madeleine menggeleng sambil memegangi kepalanya. Pusing sekali dia. "Bisakah kalian tidak berbuat keonaran? Penyerangan minotaur terjadi beberapa hari lalu. Keadaan masih belum aman dan kalian berkeliaran di malam hari padahal sudah diperingatkan untuk tidak berkeliaran."

Profesor Madeleine terlihat bingung dan marah. Wanita itu mencoba mengatur napasnya agar tidak memuncak amarahnya. "Baiklah, sekarang jawab dengan jujur, apa yang kalian lakukan di sini?"

"Ini karena salahku!" ucap Aalisha, "setelah kejadian minotaur, aku hendak berlatih agar menjadi kuat, maka kuajak Anila dan Mylo. Lalu kami ketahuan Orly, kami kabur, Anila terjatuh hingga pakaiannya kotor dan dia terluka. Semua ini salahku, Profesor. Aku sudah berlaku sangat egois."

Profesor Madeleine menatap Aalisha, lalu beralih pada dua murid lainnya. "Alasan apa pun itu, kalian telah melanggar peraturan. Murid-murid dilarang berjalan-jalan atau menggunakan fasilitas pada malam hari. Jadi aku kurangi 100 poin untuk kalian masing-masing dan 30 poin untuk asrama kalian. Sekarang kembali ke asrama!"

****

Memasuki asrama Arevalous, ruangan yang bisa digunakan untuk berkumpul ternyata tak ada seorang pun. Sepi sekali, pasti setiap murid sudah tidur. Berada di lift, mereka hanya saling diam karena memikirkan kejadian yang barusan terjadi. Sudah dipastikan jika anak asrama akan ada yang marah karena poin asrama dikurangi atas keonaran mereka.

"Kau tak katakan sejak tadi jika kau terluka," ujar Aalisha.

"Maaf," sahut Anila.

"Mungkin subuh-subuh sekali, kita bahas hal ini." Baru Mylo hendak turun dari lift ke lantai empat. Anila menahan Mylo. "Hei, kenapa?!"

"Tidak ada subuh atau besok," ucap Anila lekas menarik tangan Mylo dan Aalisha menuju kamar Aalisha. Ia memerintahkan Aalisha untuk membuka pintu kamarnya. Maka gadis itu lakukan dan kini mereka berada di dalam kamar tersebut.

"Oke, jadi siapa pelakunya?" Mylo paham akan kegelisahan Anila. Ia sebenarnya juga tak tahan jika harus menunggu sampai hari esok.

"Ini lebih buruk dari apa yang kalian pikirkan. Aku tak tahu alasan apa mereka sampai menculikku, tapi aku berasumsi jika mereka hendak mengancam seseorang dengan menggunakan diriku."

"Sebenarnya apa yang kau maksudkan?!" ujar Mylo kini penuh dengan keringat padahal malam ini dingin.

"Siapa pelakunya Anila?" ucap Aalisha menatap tajam Anila. Lagi, ada lagi sesak menyeruak itu. Apakah ini amarah karena Anila diculik dan hampir menghadapi kematian? Namun, sesak itu sedikit pudar karena Anila sudah berada di hadapannya.

Suara gemuruh terdengar di luar, perlahan-lahan hujan menutupi wilayah akademi itu. Angin kencang berembus bersamaan petir terdengar saling bersahutan menjadikan malam ini mencekam.

"Yang menculikku, mereka jugalah yang kemungkinan membawa minotaur kemari. Mereka adalah pengkhianat akademi, mereka juga Phantomius, penyembah Raja Iblis. Mereka adalah profesor Zahava dan profesor Minna Hesperia."

"Gila, kau tak bercanda 'kan? Anila semua ini gila!" sahut Mylo dengan ekspresi yang tak bisa digambarkan betapa ia terkejut bukan main.

"Lalu tujuan mereka adalah mendapatkan batu kekuatan, Zephyr Stone. Salah satu kepingannya disembunyikan di akademi ini."

Anila menatap pada Aalisha dan Mylo yang diam membisu, terutama Aalisha. Sudah dipastikan kedua temannya ini terkejut bukan main, karena mendengar kenyataan bahwa dua pengajar Eidothea adalah Phantomius.

"Dan mereka ...." Anila melanjutkan perkataannya. "Mereka berhasil mendapatkan salah satu kepingan Zephyr Stone's yang disembunyikan di Eidothea."

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

Wah, wah ternyata incaran para Phantomius adalah Zephyr Stone's? Lalu kekuatan apa yang dimiliki oleh batu Itu?

Kasihan sekali Aalisha, Anila, dan Mylo tertangkap basah oleh profesor Madeleine^^

Aalisha si anti-dipeluk dan si gengsian. Mau punya teman kayak dia?

Prins Llumière

Selasa, 07 Februari 2023


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top