Chapter 59 - Arc 5: Zephyr Stone's

|| Vote 55 dan komen 60

Hari itu menunjukkan pukul dua siang, arena pertandingan Chrùin Games menjadi arena pembantaian yang kacau-balau karena tak disangka-sangka ada penyerangan dari monster minotaur. Banyak nyawa yang akan terancam hari itu dimulai dari para penonton Chrùin Games terutama para peserta yang berada di arena pertandingan.

Kesialan hari itu semakin menjadi karena sebagian dari pengajar akademi sedang ada urusan mendadak di luar akademi, seperti halnya profesor Xerxes Nerezza, profesor Rosemary, hingga master Arthur. Beruntungnya masih ada profesor Eugenius yang menetap di Eidothea karena memang harus mengawasi akademi, tetapi dia sendiri mustahil menyelesaikan masalah penyerangan ini sendirian apalagi Eidothea besarnya berkali-kali lipat. Jadi mau tidak mau para murid terutama dari angkatan atas harus berjuang melawan para minotaur dan mencegah pasukan mereka semakin banyak masuk ke akademi. Sayangnya, karena Eidothea terlalu besar dan megah, sulit bagi mereka melumpuhkan pasukan minotaur dengan cepat.

Berada di sebelah utara arena pertandingan Chrùin Games. Di salah satu lokasi, tercium bau darah menyebar karena tertiup semilir sepoi angin, tidak hanya itu, lokasi arena sana sangat kacau-balau dengan banyaknya pohon tumbang, hancur, ranting kayu ada di mana-mana. Ada pula cekungan tanah terbentuk yang kemungkinan berasal dari serangan dahsyat. Pasti terjadi pertarungan besar di sini? Berapa banyak korban jiwa dari pihak manusia karena sudah dipastikan para minotaur yang berbuat kehancuran ini.

Mengherankan, sangat heran. Melangkahkan kaki di sana, seperti berada di lautan darah karena tanah dan rerumputan di sana berubah merah darah, akibat tertutupi genangan darah, terlihat pula bercak darah di pepohonan.

Selain itu, pemandangan mengerikan nan menjijikkan karena ada usus yang menggantung di pepohonan maupun tersebar di tanah, banyak pula tangan dan kaki besar kini terpisah dari tubuhnya, disusul daging-daging cincang yang berhamburan di mana-mana. Begitu pula senjata yang digunakan minotaur tergeletak di tanah seolah pemiliknya tak diketahui berada di mana.

"Sungguh mengerikan," ujar Tamerlaine melangkah tanpa rasa jijik menginjak genangan darah, lalu langkahnya terhenti.

Melalui manik matanya, berada tak jauh dari posisinya. Ia melihat kepala minotaur yang berkali-kali lebih besar dibandingkan minotaur lainnya, minotaur itu tak punya tubuh lagi, kulit kepala minotaur itu berwarna hitam, tetapi bercampur merah darah yang menetes terus ke tanah. Kemudian tanpa mata dengan mulut menganga dan lidah terjulur keluar. Sudah Tamerlaine yakini jika minotaur itu adalah pemimpinnya. Dipastikan pula, lautan darah dan hamburan tubuh terpotong-potong yang barusan ia lihat bukan manusia, melainkan pasukan minotaur yang terbantai mengenaskan.

Sungguh, pemandangan itu bukan yang membuat Tamerlaine terkejut, tetapi di dekat kepala minotaur. Di kursi putih yang kini sedikit memerah karena terkena semburan darah. Duduklah seorang murid akademi, seorang perempuan rambut hitam legam dengan santainya sambil menatap pemandangan lautan darah di hadapannya sambil meminum teh, ia sedang menggoyang-goyangkan gelasnya itu. Bisa Tamerlaine tebak, siapa murid itu atau bisa jadi tebakannya salah?

Maka Tamerlaine melangkah pelan, semakin menginjak genangan darah hingga langkahnya terhenti ketika suara murid itu terdengar dingin.

"Bukankah pemandangan yang indah, Tuan Tamerlaine," ujar murid perempuan itu, lalu dia sedikit melirik pada Tamerlaine.

"Ternyata tebakanku benar jika semua yang terjadi di sini karena perbuatan Anda, Nona Aalisha."

Aalisha berhenti menggoyangkan gelasnya, ia taruh di atas meja. Kemudian berdiri, darah dari seragamnya masih menetes, meski sebagian sudah kering. Ia meraih pedangnya, melangkah hingga ke depan Tamerlaine, lalu tanpa aba-aba, pedang Aeternitas Aalisha sudah berada di samping leher Tamerlaine.

"Apa kau kemari untuk menyerahkan kepalamu juga seperti makhluk di sana atau ada alasan lain? Jika ada, kuharap kau memberikan alasan yang bisa kuterima."

Kemudian Tamerlaine meletakkan satu tangannya di dada kiri, lalu ia membungkuk sebagai tanda penghormatan. Benar-benar pelayan dengan etika yang sangat baik. Jelas saja dia menjadi pelayan setia profesor Eugenius.

"Aku kemari untuk menyelamatkan para murid begitu juga Anda. Namun, kurasa Anda sudah mengurus semua yang ada di sini dengan mudah," jelas Tamerlaine tanpa kebohongan sedikit pun, setidaknya itulah yang Aalisha lihat.

"Begitu," sahut Aalisha menarik pedangnya kemudian dimasukkan ke sarung pedang. "Meskipun begitu, aku belum bisa melepaskanmu atas apa yang kau lihat di sini. Kau tetap harus mati."

Tamerlaine menyeringai. "Adakah yang harus kulakukan untuk menebus dosaku ini? Haruskah aku bunuh diri atau Anda membakarku di api penyucian."

Aalisha tertawa kecil. "Aku bukan Saintess atau orang suci yang akan melakukan semua itu. Namun, karena kau di sini hendak menyelamatkanku, aku hendak meminta satu hal."

"Katakan lah, Nona Aalisha." Tamerlaine siap menjalankan apa yang Aalisha minta bahkan jika Tamerlaine diminta untuk bunuh diri sekali pun.

"Bersumpahlah kau akan tutup mulut atas apa yang kau lihat di sini, lalu katakan pada semua orang jika kaulah yang mengalahkan minotaur-minotaur itu dan menyelamatkanku."

Tamerlaine tak perlu berpikir panjang. Dia langsung menyetujuinya. "Aku bersumpah atas nyawaku serta nama tuanku."

"Bagus." Pedang Aalisha bersinar biru, setelahnya ia memasukkan pedangnya itu ke dalam invinirium. "Kalau aku tahu jika kau melanggar sumpahmu itu maka akan kupenggal kepalamu."

"Aku takkan melanggarnya," sahut Tamerlaine.

"Ya. Bersihkan lokasi ini baru kita kembali ke akademi."

"Akan kulaksanakan, Nona Aalisha." Tamerlaine menatap Aalisha, seringai kecil tercipta. Lalu dalam diam, ia bergumam, "menakjubkan sekali dia."

****

Malam ini, bulan ditutupi oleh awan-awan putih, angin berembus kencang hingga dahan-dahan pohon ada sebagian yang patah, burung-burung lekas menuju sarang mereka begitu pula binatang lainnya. Meski seperti hendak menurunkan hujan, tetapi tak kunjung juga air menetes dari langit.

Di desa tua tak berpenghuni, rumah-rumah warga reot dan roboh, ada yang hancur dan hampir menyatu dengan tanah. Hanya terdengar lolongan serigala melewati desa kosong itu. Kemudian ketika tengah malam hampir tiba. Di jalan utama desa tak berpenghuni itu, terdengar langkah kaki sekitar tiga makhluk. Satu manusia dengan dua Orly-nya.

Manusia itu tak menutupi tubuhnya dengan jubah dan tudung, ia mengenakan pakaian bangsawan hampir setara Duke dengan ada hiasan di beberapa titik pakaiannya. Ia juga membawa pedang panjang yang berada di sampingnya. Kemudian kedua Orly-nya mengenakan pakaian yang cukup bagus juga dengan sepatu kulit. Kedua Orly itu, saling bantu membawa sebuah kotak yang terbuat dari kayu mahoni yang mengkilap ketika terkena sinar rembulan. Namun, bukan kotak itu yang penting, melainkan isi dari kotak itu yang seolah menyimpan ribuan kejahatan dimuka dunia Athinelon ini.

"Kita akan menaiki tangga ini, jangan sampai jatuh," ujar manusia itu yang suaranya terdengar berat.

"Akan kami laksanakan dengan baik, Master Zahava," sahut salah satu Orly.

"Mari."

Zahava menaiki satu anak tangga yang terbuat dari bebatuan berwarna putih hampir abu-abu. Bukit ini adalah tujuan mereka membawa kotak yang menyimpan ribuan kejahatan. Di sisi samping tangga menjulang patung-patung berbentuk kesatria lengkap dengan baju tempur serta pedang yang tertancap ke tanah, sebagian patung diselimuti lumut dan sarang laba-laba. Lalu parahnya di samping tangga yang mereka naiki, berada di tanah, cukup banyak tengkorak manusia bergeletakan, tersebar, sebagian terkubur atau menyatu dengan tanah. Meskipun begitu Zahava dan kedua Orly-nya menaiki satu per satu anak tangga dengan begitu tenang seolah biasa dengan melihat tengkorak tersebar di tanah atau malah salah satu dari sekian banyaknya tengkorak manusia itu adalah hasil dari perbuatan Zahava?

Hampir sampai di puncak bukit. Terdapat reruntuhan kuil yang sudah tak digunakan, lima pilar yang menopang kuil tua itu sudah rapuh dan hancur. Batu yang menjadi bahan utama kuil itu, kini sudah sangat terkikis hingga benar-benar tak layak digunakan dalam upacara doa.

Meskipun hancur dan terbengkalai, tetapi di tengah-tengah kuil itu, terdapat bundaran berisi bebatuan kecil yang kemudian menjadi panas lalu terciptalah api yang tepat berada di tengah-tengah bundaran. Adanya api itu menjadi satu-satunya penerangan di tengah gelapnya malam dan reruntuhan kuil tersebut.

Zahava berada di hadapan sang api menyala, dua Orly-nya tepat berada di belakangnya. Lalu Zahava mendekatkan kedua telapak tangannya, terasa panas api itu hampir mencapai kulitnya. Lalu perlahan ia merapalkan suatu mantra. "Porta in Templo Collabentis, Cultor sum Tenebrarum Portae ad Morem Aperiendae."

Sekonyong-konyong seluruh kuil tersebut bergetar hingga debu maupun batu terkikis dari kuil itu berjatuhan. Lalu aura hitam mulai mengelilingi kuil tersebut hingga perlahan sekitar Zahava dan dua Orly berubah. Kini tidak lagi ada pemandangan di atas bukit, tak lagi mereka melihat ratusan anak tangga yang mereka naiki bersamaan adanya patung serta tengkorak manusia terhambur di tanah. Kini pemandangan itu berubah menjadi sebuah mansion sangat megah dengan penerangan dari lentera.

Sudah dipastikan jika Zahava baru saja menggunakan distorsi ruangan yang membuat dirinya menuju lokasi tujuan—dipersingkat seolah memotong jarak. Distorsi ruang sering diartikan juga sebagai teleportasi. Meskipun sihir yang menakjubkan, tetapi tak semua makhluk hidup mampu menggunakan kekuatan ini karena jika salah dan belum sempurna, maka pengguna sihir ini, tubuhnya bisa terpotong-potong dan tiba di titik tujuan atau lokasi yang berbeda.

Berada di mansion ini, tercium aroma semerbak yang mewah dan elegan. Bukan aroma kumuh dan lembab seperti yang ia cium ketika berada di desa terbengkalai itu. Zahava menatap sekeliling, dinding kayu yang dipoles agar terus mengkilap, lalu lentera di pasang sepanjang lorong yang entah akan mengarah kemana. Lalu beberapa properti ada di sepanjang lorong ini. Meja kecil yang di atasnya ada patung berbentuk kepala manusia dengan warna patung itu adalah putih bersih. Cukup banyak patung di sini dengan wajah mereka yang sama sekali tak sama. Harus Zahava akui jika pemilik mansion ini sangat menyukai keindahan.

Sesaat Zahava melirik pada kedua Orly-nya yang masih membawa kotak berharga itu. Setelahnya, Zahava mengangguk kecil, memberi isyarat pada kedua Orly-nya kemudian mereka melangkah bersama menyusuri lorong panjang ini. Semakin jauh mereka melangkah, semakin mereka mencium semerbak aroma yang wanginya cukup menyengat. Mereka juga mendengar suara musik klasik yang mengalun dengan indah.

Lalu mereka mendapati pintu sedikit terbuka, cahaya di ruangan itu sedikit lebih terang. Zahava diam sesaat menatapi pintu tersebut, semakin terdengar suara musik yang mengalun. Maka perlahan ia ketuk pintu itu. Lalu terbukalah dengan sendirinya. Berada di dalam, Zahava menatap seorang pria yang berpakaian putih sutra.

Dia adalah pemilik mansion ini, manusia yang sedang naik daun di kalangan sosial, ada ratusan surat undangan perjodohan dari berbagai kalangan bangsawan, ada puluhan surat yang memintanya hadir di acara bangsawan dan pesta salon, sosok pria yang dikejar banyak wanita supaya pria itu terpikat hatinya pada salah satu dari mereka. Sayang sekali tak satu pun berhasil mendapatkannya. Malang sekali wanita-wanita itu.

Sungguh, dia terlihat seperti pangeran yang akan membawa kekasihnya ke dunia dongeng yang begitu indah. Namun, kenyataannya pria itu adalah seorang Phantomius yang bersujud pada Raja Iblis, ya, Viscount Lugaldaba yang kini tengah berdansa dengan wanita cantik, pemilik senyuman indah dengan bermata pink rouge serta mengenakan gaun putih sutra juga.

Ahh, satu-satunya wanita yang membuat Lugaldaba jatuh cinta, maka dengan cara apa pun akan dia dapatkan wanitanya itu meski ia harus membawa wanita yang dia cinta ke kematian bersama dengannya. Wanita yang berdansa dengan Lugaldaba adalah anak kedua, putri dari keturunan bangsawan Ambrosia—Agrafina Briella Ambrosia.

Seharusnya gaun yang Ambrosia kenakan panjangnya hingga menyentuh lantai, tetapi sebelum memulai dansa, Lugaldaba meraih belati. Kemudian ia sobek gaun Ambrosia itu hingga berada di atas lutut, ia juga memotong kain bagian luar dari gaun tersebut sehingga hanya ada satu lapis saja yang melekat di tubuh Ambrosia. Jika terkena cahaya, maka sedikit nampak pakaian dalam wanita itu serta lekuk tubuhnya. Meskipun diperlakukan hampir tidak begitu terhormat oleh Lugaldaba, tetapi Ambrosia mampu berdansa tanpa cela bersama Lugaldaba, seolah wanita itu benar-benar hanyut dalam dansa mereka.

"Akhirnya kau tiba, kawanku, Zahava!" ucap Lugaldaba lalu mengakhiri dansanya dengan Ambrosia. Kemudian menuntun wanita itu ke sofa yang tak jauh dari mereka. "Aku sudah menantikanmu, kau tahu betapa senangnya aku ketika kau mengirim surat kalau akan kemari."

"Aku juga senang karena bertemu denganmu lagi," ujar Zahava melirik sesaat pada Ambrosia. Lalu kembali menatap Lugaldaba.

"Nah, kawanku, beritahu aku. Apa yang kau rasakan ketika melewati desa tua itu, ah tidak, desa itu tidak cukup tua karena aku baru saja membantai desa itu sekitar seminggu lalu. Kubantai hingga tak bersisa masyarakatnya." Lugaldaba meraih gelas yang baru saja dituangkan wine oleh Ambrosia.

Zahava meraih gelasnya juga. "Aku suka, akhirnya desa yang penuh dengan orang-orang kumuh, binasa juga."

"Benar 'kan?! Manusia menyedihkan dan tak berguna seperti mereka memang lebih baik menjadi tumbal bagi bangsa iblis. Itulah kehormatan yang sesungguhnya," sahut Lugaldaba.

"Begitu pula pemikiranku dan aku menunggu kematian selanjutnya." Zahava menyeringai kecil.

"Kau benar kawanku Zahava." Lugaldaba berdiri, mendekati Zahava. "Jadi wahai kawanku, manakah benda yang akan membawa kejayaan bagi bangsa iblis itu?"

"Disini Tuanku, Lugaldaba," ucap Zahava sambil memanggil kedua Orly-nya yang kemudian membuka kotak tersebut. Maka berpendar cahaya merah menyilaukan yang berasal dari sebuah kristal.

"Zephyr," ujar Lugaldaba tersenyum sangat lebar. "Tuan Casimir, pasti akan senang. Kau berhasil Zahava, kau berhasil memenuhi salah satu tujuan kita. Kini hanya tinggal menyelesaikan yang lainnya, maka sudah dipastikan jika kegelapan akan dibawa ke tanah Athinelon ini!"

****

Berada di ibu kota Kerajaan Kheochiniel, Edellos. Kehidupan masyarakatnya berjalan dengan normal layaknya hari-hari biasa. Masyarakat menjalani aktivitas, di bagian timur kota ini, ada rumah-rumah warga yang mereka bermata pencaharian sebagai petani dengan sawah mereka sendiri, ada pula yang menjadi tukang kebun di rumah-rumah para bangsawan. Selain itu, ada pula yang melakukan aktivitas transaksi jual-beli benang wol dan kain katun dengan para bangsawan Baron yang memiliki butik.

Terlihat pula anak-anak sedang bermain, mereka membuat semacam layangan dari kertas, diberi warna, kemudian diterbangkan dengan sihir sehingga layangan itu mengikuti ke mana anak-anak itu berlari. Beberapa anak kecil terlihat pula berkumpul di taman, menggelar kain kotak-kotak merah lalu mengadakan piknik kecil dengan membawa makanan berupa kue bolu yang dibuat oleh orang tua mereka.

Menuju di tengah kota, ada pula anak-anak bangsawan yang mengenakan pakaian akademi, mereka sudah memulai aktivitas sekolah pada jam tujuh pagi tadi. Para bangsawan juga menjalani aktivitas mereka, ada yang sibuk mengurus butik karena pesanan membludak, kabarnya si pemilik butik—Baron Duncan sedang mendapat pesanan dari bangsawan kelas Marquess. Lalu terlihat pula seorang Viscount yang terburu-buru menuju tempatnya bekerja di kementerian yang mengurus perikanan. Dikabarkan ada bencana menimpa ikan-ikan di laut, telah ditemukan para oknum yang mengambil ikan dengan bahan peledak serta sihir terlarang sehingga membunuh banyak ikan serta hewan laut lainnya bersama dengan terumbu karang.

Di jalan ibu kota, beberapa masyarakat dapat melihat sekitar enam kesatria sedang mengawal seorang perempuan, ada juga satu kesatria yang memegangi payung agar perempuan yang dikawal mereka itu tidak terkena panasnya matahari. Melihat dari lambang di zirah pada kesatria itu sudah dipastikan sang perempuan adalah putri dari bangsawan Marquess Constance. Lihatlah betapa dia cantik sekali dengan rambut merahnya yang seolah berkilau di siang hari karena terkena sinar matahari.

Suara langkah kaki dari sepatu agak tua yang melekat di kaki seorang anak lelaki, kemungkinan berumur 12 tahun, ia mengenakan pakaian masyarakat biasa karena dibalut jaket kain cokelat yang sedikit robek dan mengenakan topi cokelat pula. Dia membawa tas yang berisi surat kabar dari Lè Ephraim. Anak itu mengangkat satu surat kabarnya kemudian berlari sambil meneriaki headline utama dari surat kabar tersebut.

Beberapa bangsawan yang berada di luar rumah, memanggil si anak kemudian mengambil satu surat kabar. Tentu sudah bayar! Karena para bangsawan biasanya membayar setiap sebulan ke kantor dari Lè Ephraim jadi mereka hanya tinggal menerima surat tersebut.

"Terima kasih Tuan," ujar si Anak yang bernama Corry.

Setelahnya Corry mengeluarkan satu surat kabar lagi sambil berlari dengan kembali meneriaki headline utama surat kabar tersebut.

"Berita terkini! Berita terkini dari Lè Ephraim. Dikabarkan adanya pembantaian di desa Speire yang membunuh seluruh warga desanya! Seluruh warga desa Speire mati!"

"Hei Nak, kemarilah!" ujar seorang pria, ia berasal dari bangsawan Baron.

"Terima kasih Tuan," ujar Corry. Kembali dia berlari lagi. "Kabar terkini, pembantaian di desa Speire!"

"Tak kusangka Lè Ephraim sudah mengangkat berita ini padahal pembantaian itu terjadi baru tiga hari yang lalu. Lalu penulis itu masih menggunakan jasa pengantar surat seperti anak tadi padahal bisa menggunakan Orly atau sihir."

"Oh ayolah, Lè Ephraim selalu baik, dia memberikan lapangan pekerjaan setidaknya untuk anak-anak tak memiliki orang tua atau mau membantu pekerjaan orang tuanya."

"Ah benar juga kau, masih ada kebaikan di hati penulis gila itu." Mereka memperhatikan surat kabar tersebut.

"Tak kusangka, mengenaskan sekali pembantaian ini bahkan anak bayi saja dipenggal kepalanya, padahal merangkak saja belum bisa."

"Sungguh hina, pendosa, para Phantomius memang musuh dunia. Mereka penyembah iblis yang harus dibakar hidup-hidup!"

Bolormaa, kota yang juga berada di bawah Kekaisaran Ekreadel. Kota paling dekat dengan lautan sehingga menjadi salah satu kota persinggahan kapal para pedagang serta penghasil hewan laut terbanyak terutama ikan dan juga cumi-cumi. Di pelabuhan kota tersebut, setiap warga yang datang dan pergi atau memilih ikan untuk dapur keluarga bangsawan, menghentikan aktivitas mereka sementara untuk membaca surat kabar Lè Ephraim yang berisi akan pembantaian di berbagai desa yang jauh dari kota-kota, desa yang jarang mendapat perhatian dari masyarakat bahkan hanya sedikit saja penghuni desa tersebut. Kini sebagian dari desa-desa itu sudah terbantai habis.

"Mengapa bisa?! Apa alasan Phantomius melakukan semua itu, aku tak habis pikir!"

"Mungkin ada sesuatu yang mereka cari di sana?"

"Bukankah lebih masuk akal membunuh bangsawan agar mendapatkan harta? Desa itu tua, tertinggal, penduduknya tidak banyak, apa yang bisa didapatkan para penyembah iblis itu dengan membantai mereka?"

"Apa kau berpikir lebih baik kita yang dibantai begitu?"

"Bukan, bukan, tapi aku iba. Mereka desa yang tak ada penyihir kuat di sana, kebanyakan sihir mereka hanya digunakan untuk aktivitas sehari-hari. Anak-anak mereka tak bersekolah karena masih banyak yang berpikiran kolot atau tak punya uang lebih untuk membiayai anak mereka. Bukankah mengenaskan, mereka dibantai karena tak mampu melawan?"

Di kota ini, Toinette salah satu bangsawan sedang merayakan pernikahan anak tertuanya, maka ada acara besar-besaran di mansion bangsawan tersebut. Meskipun hari ini penuh kebahagiaan, tetapi bangsawan yang hadir membicarakan mengenai keadaan mengenaskan dari pembantaian yang terjadi di beberapa desa.

"Apa karena desa itu terlantar dan jarang diperhatikan pihak kerajaan apalagi kekaisaran jadi mudah sekali dibantai mereka?"

"Lebih mengenaskan lagi, warga di desa itu, hampir semuanya menghilang! Kemungkinan para Phantomius menculik mereka."

"Apa mungkin mereka hendak dijadikan bala tentara atau jadi makanan Phantomius? Bukankah raja iblis dikabarkan kanibal karena memakan daging sesama makhluk-nya."

"Hal yang membuatku penasaran, mengapa belum ada pergerakan dari pihak kerajaan? Bukankah masalah ini sudah tersebar ke mana-mana."

"Mungkin masalah ini belum menjadi prioritas. Aku dengar kabar jika salah satu ekspedisi militer dari pihak kerajaan dibantai habis-habisan karenanya pihak kerajaan masih mengurusi hal itu. Belum ada pergerakan untuk menyelesaikan masalah pembantaian di desa-deaa."

"Mengerikan! Sungguh mengerikan! Bagaimana dengan pihak lain, apa mereka akan turun tangan."

"Pihak siapa kau maksudkan?" Dia bingung, karenanya temannya itu memberikan kode melalui gerakan mata.

"Masa kau tak paham?"

"Bodohnya dirimu! Bodoh, sangat bodoh. Mustahil Majestic Families mau turun ke masalah sepele ini, mereka bahkan tak peduli. Mereka akan turun tangan jika sebagian benua ras manusia diratakan bangsa iblis, itu pun hanya mengirim perwakilan cabang saja! Ah, Kecuali anak-anak mereka yang mau, tapi tetap saja para Archduke Majestic Families takkan keluar dari singgasana mereka."

"Apa pula yang kau harapkan dari mereka? Mereka itu ibarat Dewa, takkan mau turun tangan hanya untuk manusia biasa seperti kita."

"Aku hanya berharap sedikit saja ...."

"Berharap apa?"

"Jika generasi kali ini lebih baik dan sedikit memiliki kemurahan hati pada manusia seperti kita."

"Seribu tahun kau akan berharap. Mereka takkan sebaik itu. Jika pun ada yang punya kemurahan hati, hidupnya takkan berlangsung lama."

"Bisakah berhenti membicarakan kengerian itu! Ini hari pernikahan, nikmatilah sementara sebelum kabar buruk datang lagi!" Obrolan mereka pun berhenti di sana dan mulai menikmati pesta pernikahan itu dengan disuguhkan pertunjukkan musik yang sangat indah.

Maka itulah pembukaan di hari baru ini yang dibuka dengan kabar buruk tersebar melalui surat kabar Lè Ephraim, entah dari mana sang penulis sudah mengetahui kejadian mengenaskan tersebut dan diangkat menjadi berita tidak lebih dari dua hari, padahal isi berita begitu kompleks, tanpa mengandung berita palsu sama sekali dengan artian fakta sebenarnya.

Selain tersebar di kalangan masyarakat, surat kabar ini juga tersebar di sekolah-sekolah sehingga para murid yang ada acara keluarga harus mengurungkan niatnya karena keluarga mereka tak mengizinkan anak-anaknya keluar dari lingkup sekolah yang dikatakan paling aman itu.

Di Eidothea juga, surat kabar Lè Ephraim dibawa oleh para burung hantu karena tidak bisa disembunyikan dari anak-anak sekolah akan kengerian yang ada di luar sana. Mereka harus tahu, karena hal ini bisa menjadi antisipasi bagi mereka terlebih lagi mengingat penyerang minotaur sekitar seminggu yang lalu.

"Apa penyerang di Chrùin Games termasuk pembantaian di desa-desa ini," ujar seorang murid sambil memakan cereal yang diberi susu sapi segar.

"Bisa jadi? Tapi di sini dikatakan jika saksi mata yang berhasil selamat dari pembantaian mengatakan jika yang menyerang adalah sekelompok manusia dan Orly, tak disebutkan minotaur."

Satu temannya meraih gelas berisi il priel. Rasa buah yang asam begitu enak mengalir di tenggorokan. "Barangkali salah satu desa dibantai minotaur, tapi tidak ada yang selamat jadi tak ada yang tahu."

"Harusnya pihak kerajaan bisa mengidentifikasi siapa pelakunya 'kan? Manusia atau monster, mungkin saja iblis?"

"Susah mereka identifikasi karena kebanyakan mayat dari masyarakat itu hilang, jika ada yang tertinggal maka sudah tak utuh, hancur, melebihi daging cincang."

"Tolong ya," ujar murid perempuan, "kalian membicarakan hal menjijikan ini ketika aku makan!"

Sayangnya perkataan perempuan itu diabaikan. "Sialan, jadi bagaimana itu, apalagi salah satu desa berada dekat dengan wilayah Elysian, akademi ini."

"Aku penasaran, apa Majestic Families di sekolah ini akan turun tangan? Bukankah terkadang akademi kita diminta pertolongan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di masyarakat? Ibaratnya bakti sosial."

"Tergantung, jika yang dihadapi adalah iblis, mana mungkin pihak akademi akan mengirim muridnya."

"Ya, kau benar."

"Meskipun dunia sudah terbebas dari zaman kegelapan ... Namun, kita masih harus berperang dengan bangsa Iblis. Bahkan sekarang ada organisasi gila yang manusia pun menyembah bangsa iblis itu."

"Aku kadang bingung, mana ada dunia yang benar-benar damai."

Para murid di kantin rumah pohon itu hening kemudian. Lalu waktu pelajaran kembali dimulai, satu per satu dari setiap murid pergi dari sana dan menuju kelas mereka selanjutnya. Bagi yang kelas pelatihan fisik maupun sihir akan pergi keluar dan menuju lapangan hijau atau di kastil pelatihan karena ada pertarungan kecil sebagai penilaian.

Ada pula kelas yang tidak ada pengajarnya kini mulai berbuat ulah dengan bermain bola menggunakan sapu terbang. Hampir saja menghancurkan jendela kastil akademi jika bola itu tak dihentikan tepat waktu. Murid-murid lain yang tak ada kelas hari ini, memilih berdiam di asrama atau perpustakaan atau nongkrong di salah satu taman akademi karena banyak gosip yang hendak mereka bicarakan. Ada pula murid pergi ke kuil untuk berdoa meski hanya sesaat.

Bahkan ada murid berbuat keonaran dengan meledakkan salah satu kolam pemandian air panas sehingga membuat airnya keluar dari jendela dan turun ke lantai bawah, kasihan sekali murid yang sedang beristirahat setelah pelatihan pedang harus terguyur air tersebut dan seluruh tubuhnya basah kuyup.

Profesor Madeleine marah besar atas hal ini lalu menghukum para oknum yang ternyata di antara oknum itu ada kedua kakak Mylo, Easton dan Noah serta Damien Nerezza. Eh, bagaimana mungkin Damien ikutan berbuat keonaran?! Maka semakin saja profesor Madeleine marah besar. Di sisi lain, Mylo mendengar akan perbuatan kedua kakaknya itu hanya bisa geleng-geleng kepala dan menahan malu.

Kegiatan lain dilakukan oleh ekskul seperti ekskul orkestra dan opera serta latihan dari ekskul Oulixeus. Selain itu ada berbagai macam aktivitas lainnya yang dilakukan para murid entah di dalam pembelajaran atau di luar pembelajaran sekolah. Hari itu para murid Eidothea menjalankan aktivitas layaknya hari-hari normal dan biasa.

Benarkah? Atau di antara ratusan murid Eidothea itu, ada yang harus menghadapi takdir mengenaskan karena sesuai ramalan dari wanita tua, murid itu sedang diikuti malaikat kematian.

Maka malam seolah datang dengan cepat. Di ruangan yang gelap ini, hanya ada lentera bercahaya kuning pudar. Terlihat seorang gadis dengan gaun putih, terus berlari di sepanjang lorong yang tak kunjung ia temukan ujungnya. Berbelok ke kanan, ia sambil berteriak memanggil satu nama saja, kini ia berbelok ke kiri dan tak berhenti dia memanggil nama itu.

Sesekali yang terdengar dari suara gadis itu adalah kata; tolong, maaf, dan ampuni bahkan terdengar kalimat jika ia sangat ketakutan. Namun, hingga suaranya serak sekali pun, tak kunjung juga ada yang menyahut teriakannya, seolah hanya gadis itu yang berada di lorong itu.

Gadis itu terjatuh karena terkait gaunnya yang panjang, suara keras terdengar ketika tubuhnya menghantam lantai, ia meringkuk sakit untuk beberapa saat, tubuhnya seketika penuh luka, darah menetes membuat gaunnya jadi merah. Tangisnya mulai terlihat. Namun, tak sedikit pun dia menyerah. Maka dengan kaki yang lecet, penuh luka, dan menetes darah dari sana. Ia berusaha menyeret kedua kakinya, melangkah kembali meski jalan yang ia lalui kini terlihat penuh darah akibat luka-lukanya.

Suara gadis bergaun putih itu kembali terdengar dengan tak memanggil nama yang sebelumnya selalu ia gaungkan, kini hanya kata maaf yang berulang kali ia teriakan. "Maafkan aku, maaf, maaf, aku mohon maafkan aku."

Lalu manik matanya itu perlahan menangkap sosok pria berjubah panjang yang tak memperlihatkan wajahnya, hanya punggungnya saja, punggung yang semakin menjauh. Gadis itu mempercepat langkahnya, berharap jika sosok di hadapannya ini mau menghentikan langkahnya meski hanya satu menit saja karena yang dibutuhkan gadis itu adalah sosok itu mau berbalik, menatapnya selama satu menit, tidak masalah jika tak mendengar suaranya karena ia hanya perlu satu menit dalam hidupnya yang selalu menderita itu.

"Mengapa? Mengapa kau tak mau berhenti melangkah untukku! Mengapa?!"

Tidak ada sahutan.

"Sekali saja, sebentar saja, satu menit saja!"

Tak ada sahutan sama sekali bahkan sosok di hadapan gadis itu tak juga memelankan langkahnya agar si gadis bisa mengejarnya. Agar gadis itu bisa menyejajarkan langkahnya.

"Mengapa kau tak mau mendengarkanku! Mengapa?!" Tangisnya pecah.

Sekonyong-konyong sosok pria di hadapannya itu hilang seperti abu dibawa sepoi angin. Kini berganti dengan pemandangan seorang gadis lebih kecil dari gadis bergaun putih itu. Gadis kecil itu mengenakan pakaian layaknya seorang kesatria karena dia mengenakan zirah begitu lengkap dan membawa pedang. Lalu suara gadis berzirah itu terdengar.

"Kenapa kau menangis? Kau tak diajarkan untuk menangis bukan? Kau melanggar sumpahmu, kau tak boleh menunjukkan sedikit pun kesedihan."

"Mengapa? Aku juga manusia—"

"TIDAK! KAU BUKAN MANUSIA! KAU BUKAN MANUSIA, KAU MAKHLUK YANG TERCIPTA AGAR TAK PUNYA PERASAAN!"

Maka gadis dibalut zirah itu maju perlahan-lahan, hingga menipiskan jaraknya dengan gadis bergaun putih. "Jadi berhentilah menangis. Karena seberapa pun kau berusaha, dunia akan selalu—"

"Jangan katakan itu! Aku tak mau mendengarnya!"

"Kenapa, bukankah itu kenyataannya?"

"Jangan katakan!"

"Kubilang jangan katakan!" Kini sang gadis berjubah putih lekas mencekik gadis berzirah itu. Sekuat mungkin, tetapi gadis yang ia cekik itu tak merasakan apa-apa.

"Bukankah kau sendiri yang mengatakannya?"

"Diam kubilang! DIAM!" teriak si gadis bergaun putih.

"JIKA KAU TAK PANTAS HIDUP! KAU TAK PANTAS UNTUK HIDUP!"

Seketika semua kegelapan itu tergantikan dengan cahaya agak silau, dinding kamar, serta ranjang putih ketika Aalisha terbangun dari mimpi buruknya. Wajah gadis itu pucat pasi, napasnya tak karuan, peluh keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya, telinganya berdengung, kepalanya sakit sekali, degup jantung yang berpacu lebih cepat, ia sangat kacau. Kini ia meremas selimutnya, tangan gemetar sesaat, ia lalu menenggelamkan wajahnya di selimut tersebut, suaranya terdengar agak serak.

"Sial pasti karena tenagaku belum pulih jadi mimpi buruk ...." Ia terdiam, tak berniat melanjutkan perkataannya sendiri.

Perlahan ia menegakkan punggungnya kembali. Menatap jendela kamarnya yang terbuka sehingga sepoi angin sedikit menerbangkan gorden kamarnya. Matahari sinarnya tak terlalu terang lagi, pasti hari sudah semakin sore. Ia memunculkan cyubes-nya yang menunjukkan pukul lima sore lewat beberapa menit. "Harusnya aku tidak tidur."

Aalisha mengeluarkan kakinya dari selimut, turun dari sana, menginjak karpet, lalu melangkah ke jendela. Ditutupnya jendela tersebut, kemudian dia menuju cermin untuk melihat seberapa buruk wajahnya yang habis mengalami mimpi buruk. Cyubes yang masih mengambang di dekatnya, ia buka salah satu pesan Mylo yang mengatakan jika mereka berada di kantin rumah pohon. Mylo mengirim pesan itu, siapa tahu Aalisha jika hendak menyusul mereka.

"Haruskah kususul mereka?"

Kini ia kembali menatap cermin, menatap pantulan dirinya yang kacau itu. Rambut agak kusut, bibir agak pucat, sedikit ada peluh keringat, serta penuh amarah manik matanya jika teringat dengan mimpi buruknya. "Harusnya kubunuh gadis bergaun putih itu."

Maka lekas Aalisha mengambil handuk birunya kemudian masuk ke kamar mandi sebelum pergi menyusul Mylo dan lainnya.

****

Tidak Aalisha sangka, meski ada banyak bangku dan meja kosong, tetapi Mylo dan lainnya memilih untuk menggelar tikar di tanah dan duduk di sana, di tengah mereka ada berbagai makanan dan minuman, paling banyak adalah il priel dan caelum milk. Sialan apa yang mereka pikirkan? Sedang piknik di taman tengah kota dan menikmati matahari terbenam.

Kennedy menyadari Aalisha datang. Ia lalu memanggil gadis pendek itu yang mengenakan kaos putih ditutupi blazer hitam dengan celana hitam pula. Kali ini gadis itu mengenakan sandal jepit, tumben sekali karena Aalisha biasanya mengenakan sepatu.

"Halo Aalisha," sapa Kennedy.

"Lambat sekali kau pendek," ucap Gilbert.

"Akhirnya datang juga kau, pemenang Chrùin Games," ucap Mylo.

"Diamlah Mylo!" sahut Aalisha terpaksa melepaskan sandal yang dikenakannya lalu duduk di samping Mylo berhadapan dengan Gilbert yang alisnya sedikit terangkat ketika melihat wajah Aalisha.

"Hei, kau sakit?" ujar Gilbert sembari mengambil satu potong kue.

"Wajahmu agak pucat," imbuh Kennedy.

"Kau sakit?" timpal Mylo, menengok pada Aalisha. "Kumohon jangan sakit atau Anila akan menggila lagi jika kau kenapa-kenapa."

"Alay," sahut Gilbert.

"Kau tak paham. Anila akan marah besar bahkan jika Aalisha tersayat kertas sedikit saja." Mylo menjelaskan dengan sangat dramatis betapa Anila yang semakin protektif ada Aalisha. Seolah gadis itu seperti semut yang akan mati sekali disentil dengan jari.

Aalisha memutar bola matanya. Ia sebenarnya malas jika ditanya-tanya mengenai dirinya. "Persetan Mylo, kau banyak omong lagian aku tak sakit, hanya pucat sedikit karena mimpi buruk."

"Sama saja! Kau tak tahu, kalau seseorang bisa mati di dalam mimpi," balas Mylo.

Gilbert agak heran melihat Mylo, biasanya yang gila di sini adalah dirinya. Namun, seolah ditukar jiwa mereka, Mylo menjadi suka berkata melantur. "Pasti karena serangan hari itu. Aku juga kadang terbawa mimpi buruk."

Manik mata Aalisha memperhatikan Gilbert. "Ya, minotaur sialan." Sayangnya tak ada terlintas sedikit pun dalam diri Aalisha untuk mengatakan jika ia bukan bermimpi akan para minotaur melainkan mimpi yang lebih buruk lagi.

"Tapi kau serius 'kan, tidak sakit?" Mylo hendak menyakinkan sekali lagi.

Helaan napas panjang terdengar dari Aalisha. "Mylo."

Satu kata berupa namanya membuat Mylo yakin jika Aalisha tak sakit, ia jadi bersyukur dan lega sekali karena sahabatnya itu tak kenapa-kenapa. "Baguslah, maaf jika kau kesal, aku hanya memastikan demi Anila."

Sekali lagi, Aalisha berpikir jika manusia-manusia di sekitarnya ini selalu membuang waktu mereka untuk hal sepele seperti mengkhawatirkan sesama manusia. Hendak Aalisha menyahut agar Mylo tak usah mengkhawatirkan dirinya, tetapi ia urungkan karena tak punya tenaga untuk berdebat. Ia memperhatikan ketiga lelaki di dekatnya ini secara bergantian, baru Aalisha sadar jika Anila dan Frisca tak ada di sini.

Haruskah Aalisha tanya keberadaan kedua manusia itu? Bukankah biasanya dalam interaksi sosial, pasti akan ada percakapan yang menanyakan keberadaan dari manusia lain ketika di suatu kelompok itu ada yang tak ada? Ah begitulah maksudnya. Aalisha bingung hendak menjabarkannya dengan kalimat sedetail apa.

"Di mana mereka? Anila dan Frisca." Aalisha berujar juga akhirnya.

"Oh, mereka pergi ke perpustakaan. Ada yang Anila cari untuk mengerjakan tugas nanti," jelas Mylo kembali makan.

"Tugas Biologi tadi, tapi kau tak usah khawatir. Tugas ini berkelompok, kita berenam ada di kelompok yang sama." Kennedy berujar.

Aalisha mengangguk. Ia tidak kelas hari ini karena masih ada waktu izin yang diberikan profesor Eugenius karena pria tua itu berpikir jika Aalisha perlu waktu menenangkan fisik dan mentalnya apalagi Aalisha adalah murid yang terakhir kali keluar dari arena pertandingan.

"Karenanya mereka mencari buku di perpustakaan," sahut Gilbert, "harusnya kita serahkan tugas ini ke Anila, dia akan menyelesaikan semuanya dengan sangat mudah."

"Dasar," sahut Mylo.

Diam, Aalisha diam karena merasa tak nyaman, agak gelisah juga. Kegelisahan itu ternyata disadari Kennedy. Baru hendak menanyakan Aalisha, ternyata gadis kecil itu sudah berujar lebih dulu. "Mereka hanya berdua saja?"

"Iya 'kan? Jelas hanya berdua saja," sahut Gilbert.

"Kenapa kalian tidak menemani mereka dan malah di sini?" Suara Aalisha agak tinggi, gadis itu semakin gelisah, meski tak paham apa sebabnya.

"Aalisha ada apa?" Mylo berucap Kini ia menyadari kegelisahan Aalisha juga. "Kau baik-baik---"

"Kau baik-baik saja?" sahut Kennedy cepat. "Kenapa kau gelisah."

"Hei, apa kau sakit? Gimana kalau kita periksa ke rumah sakit saja," timpal Gilbert.

"Hubungi Anila," ujar Aalisha, "cepat hubungi dia—"

"Teman-teman!" teriak Frisca yang datang dengan napas memburu serta air mata menetes.

Sontak Aalisha dan lainnya segera bangkit, lalu mendekati Frisca yang tiba-tiba berlari ke arah Aalisha, meraih lengan gadis kecil itu, lalu digenggamnya dengan kuat, air mata masih terukir jelas di wajah Frisca. "Aalisha, tolong, tolonglah. Kami, kami ...."

Gilbert berujar, "Frisca ada apa? Kenapa kau menangis—"

"Di mana Anila?" sahut Aalisha memotong perkataan Gilbert. Entah Mylo, dan lainnya begitu pula Frisca terdiam karena mendengar suara Aalisha yang begitu dingin dan mengerikan.

Frisca menjelaskan dengan sesegukan dan satu tarikan napas. "Kami diserang ketika di perpustakaan. Anila, dia diculik oleh Orly berjubah hitam dengan rambut merah."

Maka Frisca menangis kembali, ketiga lelaki itu terkejut bukan main. Mylo lekas memegangi kedua bahu Frisca kemudian terus bertanya hendak memastikan apakah yang ia dengar adalah kebohongan atau tidak. Gilbert bertanya juga apa yang terjadi. Mengapa bisa Anila sampai diculik! Siapa sosok Orly yang dimaksud Frisca! Apa maksud penculikan itu! Dan segala pertanyaan lainnya karena kini takut memenuhi diri mereka.

Sementara itu, Aalisha terdiam membisu, tak mampu berkata-kata. Gadis itu tak berkedip sedikit pun, melalui matanya menyatakan jika ia tak ada di sana, detik hidupnya berhenti sesaat. Dunianya ibarat runtuh. Sesak menjalar ke dadanya, sakit yang tak bisa ia pahami beserta degup jantung yang berpacu membuatnya bingung tak karuan.

Apa yang Frisca katakan tadi? Anila diculik seorang Orly? Apakah itu Orly milik profesor Zahava, Hesperia, atau malah Ambrosia? Mengapa mereka melakukan semua ini! Apa karena Aalisha mengacaukan segala rencana mereka lalu karena tidak mampu membunuh Aalisha, maka mereka menargetkan Anila?

Mengapa takdir begitu kejam padanya, mengapa ia tak diberikan kesempatan untuk mengetahui apa itu bahagia? Ia memang selalu ditimpa kesialan sejak kecil, ia memang selalu menderita, ia terima jika hidupnya akan terus seperti ini. Namun, mengapa kesialan ini harus menyakiti temannya? Mengapa para Dewa begitu kejam dengan membuat Anila terlibat semua ini, bukankah cukup Aalisha saja yang hancur dan menderita!!

Kini sesak di dadanya makin menjadi hingga Aalisha dipanggil berkali-kali pun oleh Mylo, tak bisa ia dengar panggilan itu. Ya, gadis itu dipenuhi amarah. Amarah yang asing karena tak pernah ia rasakan amarah ini.

Meskipun ia terlihat akan membawa badai hitam ke tanah Eidothea atas apa yang dilakukan para penjahat itu pada Anila. Hingga perlahan, Aalisha meneteskan air mata untuk pertama kalinya, ia meneteskan air mata untuk manusia, ya untuk seorang manusia yang disebut ... teman.

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

Wah, wah ada konspirasi antara Aalisha dan tuan Tamerlaine, ho ho ho.

Jujur ya, agak risi gue nulis adegan Ambrosia sama Lugaldaba:") Kek kalau terlalu eksplisit bakal berubah genre.

Uhm, mimpi Aalisha tuh maksudnya apa ya?

Mari awali Arc baru dengan pembantaian di desa-desa dan Anila diculik serta ... Aalisha kamu nangis? Aalisha bisa NANGIS!!!!! Woy Aalisha nangis!

Prins Llumière

Minggu, 05 Februari 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top