Chapter 57
|| 40 Vote dan 50 Komentar
Kennedy merapalkan mantra yang berhasil melumpuhkan musuhnya yaitu seorang pelayan yang menyerangnya menggunakan botol pecah sejak tadi. Ia kemudian membantu Gilbert melawan salah seorang bangsawan yang membawa pedang tipe rapier, mereka berdua sangat kompak dalam memahami pola gerakan sehingga mereka tidak akan saling terkena serangan satu sama lain. Lalu ketika rapier itu terlepas dari tangan musuhnya, maka lekas Gilbert merapalkan mantra yang menyebabkan musuhnya itu terempas ke belakang dan menghantam air pancur.
"Frisca!" teriak Gilbert karena Frisca menghadapi seorang wanita berpakaian bangsawan yang membawa tongkat panjang. Meski beberapa kali Frisca terkena pukulan sehingga wajahnya jadi agak lebam membiru, tetapi gadis itu tak mau kalah.
Dia tetap berusaha, menyerang dengan mengayunkan pedangnya yang berbenturan dengan tongkat besi. Suara pertarungan itu terdengar hingga Frisca berhasil menyerang beberapa titik tubuhnya hingga gaun wanita itu jadi sobek. Kesempatan bagi Frisca lagi dengan menyerang rambut wanita itu—ternyata rambut palsu, lagian kenapa juga rambutnya menjulang tinggi seperti menara—yang terbelah menjadi dua dengan pedangnya kemudian ditendangnya perut, lalu ambruk wanita itu.
"Balasan karena kau membuat wajahku lebam!" teriak Frisca kemudian menancapkan pedangnya tepat di gaun wanita tadi yang sudah kalah telak.
Gilbert dan Kennedy yang menyaksikan kebrutalan Frisca hanya diam membisu. "Perempuan kalau main pedang ngeri ya, kayak dendam banget." Gilbert berujar agak berbisik supaya Frisca tak mendengarnya.
"Beruntung hanya dia, tidak terbayangkan kalau ada Anila dan Aalisha juga," sambung Kennedy.
"Kuharap tim mereka menemukan mahkotanya," ucap Gilbert.
"Jadi bagaimana? Kita harus mengejar mereka?" teriak Frisca.
"Sepertinya---"
"GRROOOOAHHHH." Suara raungan sangat keras membuat mereka bertiga lekas menutup telinga karena membuat telinga mereka sakit.
Kennedy yang sadar duluan, langsung menarik pedangnya kembali. "Gilbert, siaga!"
Angin berembus kencang bersamaan suara senjata saling berbenturan karena Kennedy berhasil menangkis serangan kapak besi dari seekor minotaur bermata merah menyala. Namun, ia tak mampu bertahan, tanpa disadarinya minotaur itu berhasil menghantam Kennedy yang melayang ke belakang lalu menabrak pohon, pohon itu patah dan roboh sehingga burung-burung di pepohonan kabur semua.
"KENNEDY!" teriak Gilbert, merapalkan mantra yang berhasil mengenai tubuh minotaur itu, tapi tidak berefek apa-apa. "Sial, kenapa ada minotaur di sini!" Kini sang minotaur mengayunkan kapaknya sangat cepat, berhasil mengenai beberapa helai rambut Gilbert yang langsung menerjang menggunakan pedangnya, tetapi ditahan sangat mudah. Sang minotaur berteriak lalu diangkat tubuh Gilbert, lekas diempaskan ke tanah sehingga tanah menjadi cekung dan hancur.
"Gilbert!" Frisca gemetar hebat, rasa takut memenuhinya karena ini pertama kalinya dia menghadapi situasi seperti ini. Tak sekali pun, ia pernah berhadapan dengan monster apalagi setara minotaur.
"GROAHHHK." Minotaur itu kembali mengangkat kapaknya, tapi belum sempat diayunkan ke arah Frisca karena Kennedy melesat kencang dan berhasil menggores wajah Minotaur itu, Gilbert meski tubuhnya sakit dan cukup ketakutan, tetapi ia bangkit kembali dan menusuk monster tersebut. Mereka berdua menahan monster tersebut sekuat tenaga.
"FRISCA PERGILAH CARI BANTUAN! KAMI AKAN MENAHANNYA!" Gilbert merasa tubuhnya hendak hancur karena sudah mencapai batasannya juga bagi dia dalam menggunakan neith. Ia tidak fokus melakukan nereum karena situasi ini menakutkan baginya.
Kennedy terpaksa meningkatkan neith-nya karena Gilbert seperti hendak pingsan. "SETIDAKNYA SALAH SATU DARI KITA HARUS PERGI MENCARI BANTUAN! JADI LAKUKAN LAH!"
"Baiklah!" teriak Frisca, meraih pedangnya hendak kabur, tapi tanah bergetar lagi hingga tepat di hadapan Frisca. Minotaur lain muncul, kali ia membawa gada dengan penuh besi-besi tajam di sekeliling gada tersebut. Diangkat gada itu tinggi-tinggi, siap untuk menghancurkan tubuh manusia berkeping-keping.
"GROAAAARKKKHHH."
Gilbert dan Kennedy terkejut bukan main, mereka tak bisa menolong, ketakutan semakin memenuhi mereka karena tepat di depan mata mereka, kematian sudah tertuliskan para Dewa. Frisca yang tak bisa kabur, tak kuasa juga mengangkat pedangnya saking tubuhnya gemetar hebat. Dia menutup matanya sambil berharap dalam hati. "Kumohon siapa pun, tolong aku. Kumohon."
Minotaur itu meraung lalu mengayunkan gadanya ke bawah dengan sangat cepat. "Kumohon! Aalisha tolong aku!"
Suara ledakan terdengar ketika berhasil menghantam kepala Sang minotaur yang seketika ambruk ke tanah. Lalu disusul dua orang datang dan membantu Gilbert serta Kennedy, diserang minotaur yang akhirnya terpukul mundur karena senjata yang digunakan jugalah kapak besar. Kemudian minotaur di dekat Frisca bangkit, hendak menyerang lagi, tapi berhasil ditangkis dengan tameng besar oleh seorang pria berpakaian pelayan lalu selang dua detik wanita dengan gaun sobek dan wig terbelah ikutan menyerang menggunakan rapiernya. Mereka semua adalah Orly beberapa adalah prajurit Eidothea yang disiapkan menjadi musuh dalam pertandingan ini oleh pihak Akademi dan kini membantu Frisca dan lainnya.
"Kalian," ujar Kennedy menatap pada Orly dengan pakaian bangsawan yang dilawannya tadi.
"Pergilah! Kami akan menahan mereka, segera hubungi teman kalian untuk pergi dari arena pertandingan!"
Wanita yang tadi dikalahkan Frisca ikutan berujar, "monster ini mengacau di seluruh arena dan akademi. Kalian temui para pengajar atau pergi pada kakak tingkat kalian!"
"Jangan pikirkan kami. Segeralah pergi!!!" teriak prajurit Eidothea yang berpakaian pelayan. "Cepat!"
"Ba, baiklah!" sahut Gilbert, "ayo kalian!"
"Kita juga harus menghubungi Anila dan lainnya," ucap Kennedy mulai memunculkan cyubes-nya. Mereka segera berlari sekuat tenaga, harus lapang dada mengabaikan para Orly dan prajurit tadi, meskipun terdengar suara teriakan, pertarungan dahsyat, dan raungan para minotaur yang memekakkan telinga.
****
Anila dan Mylo berhasil mengejar bangsawan yang membawa kabur mahkota. Tadi mereka sempat terhambat dan pergerakkan mereka jadi lambat karena musuh-musuh lain menyerang mereka, tetapi berkat ada Anila, semua jadi tidak begitu sulit. Gadis Andromeda itu bahkan tak segan menggunakan sihir yang sebenarnya belum dipelajari di tahun pertama, tetapi sudah ia ketahui karena diajarkan oleh pihak keluarganya.
Kini mereka membuat rencana, Anila akan mengejar bangsawan yang ternyata cukup hebat dan licik. Sedangkan Mylo yang berada di pepohonan, menggunakan busur panahnya untuk melumpuhkan total musuhnya sehingga tidak bisa kabur lagi karena anak panah yang Mylo gunakan dilapisi racun pelumpuh.
Anila ingin sekali menyelesaikan pertandingan ini karena dia punya firasat buruk, seolah kesialan akan segera menimpa Aalisha dan berakibat dilarikannya ke rumah sakit. Bagi Anila sudah cukup Aalisha bersimbah darah dan tidak sadarkan diri karena kejadian Jasmine. Kali ini, tidak akan terulang kembali.
"Mylo," bisik Anila yang berbicara melalui cyubes. "Tunggu aba-abaku baru kau menyerangnya."
"Gigih juga kau bisa mengejarku hingga sini," ujar sang bangsawan yang memegangi mahkota incaran Anila.
"Bukan murid Eidothea jika tidak segigih ini," sahut Anila menarik pedangnya dari sarung.
"Baiklah kalau begitu, mari bertarung sebentar." Bangsawan itu akan bertarung dengan tangan kosong karena tidak membawa senjata.
Di sisi lain, Mylo sudah siap dengan anak panahnya. Ia sudah menarik tali busurnya, napasnya ia atur agar tidak mengganggu konsentrasi. Lalu muncul cyubes-nya karena sedari tadi ada panggilan dari Kennedy.
"Sebentar lagi kami akan mendapatkan mahkotanya, tolong cari Aalisha dan bawa dia ke gerbang---"
"Batalkan!" teriak Kennedy di seberang sana begitu panik. "Pertandingannya usai! Akademi diserang monster! Pergi dari arena pertandingan!"
"Apa?" Sialan Mylo tidak terlalu mendengar jelas suara Kennedy, tetapi ia merasa jika lelaki itu sangat panik. Cyubes-nya terputus tiba-tiba. Hingga Mylo menyadari jika dari arah jam satu. Burung-burung di pepohonan berterbangan, mereka ketakutan hingga semakin banyak yang pergi. Lalu beberapa pohon tumbang begitu saja, Mylo menatap ke tanah, bebatuan dan ranting bergetar. Lalu ia sadar detik itu juga.
"ANILA PERGI DARI SANA!" teriak Mylo, tetapi tidak terdengar oleh Anila. Lelaki itu berusaha menghubungi cyubes Anila, tetapi tidak tersambung sama sekali.
Kepanikan menyelubungi Mylo, tetapi ia berusaha menenangkan dirinya. Maka lekas, ia mengganti anak panahnya dengan anak panah yang akan meledak jika mengenai target. Ia tarik tali busur lalu ia membidik ke arah monster yang hendak menerjang Anila. Di sela-sela itu, Mylo merasakan detak jantungnya berdebar sangat cepat. Namun, ia harus percaya jika anak panahnya akan menyelamatkan Anila.
Berada di sisi Anila, dia terus bertarung dengan bangsawan di hadapannya, ia menyambungkan cyubes-nya dengan Mylo, tapi aneh sekali karena tidak tersambung. Lalu ia merasakan tanah mulai bergetar, begitu pula musuhnya si bangsawan yang menghentikan serangannya karena ada sesuatu bergerak cepat kemari. Lalu detik selanjutnya, tepat di hadapan keduanya, seekor monster berkepala banteng muncul dengan kapak tajam terangkat di atas serta siap memenggal tubuh makhluk hidup lain menjadi dua. Namun, sebelum itu berhasil, satu anak panah melesat sangat cepat lalu menancap di bahu minotaur itu dan ledakan tercipta bersamaan asap hitam membumbung ke langit.
"Berhasil! Aku berhasil!" teriak Mylo segera turun dari pohon dan langsung menyusul Anila, tetapi baru hendak ke sana. Minotaur lain muncul dan hampir menebas kepala Mylo, beruntung ia berhasil menghindar. Mylo menarik busurnya lagi, diserang minotaur itu, tapi racun pelumpuh sama sekali tidak mempan.
"Sialan, kenapa ada monster di sini!" teriak Anila yang meskipun serangan Mylo mengenai minotaur itu, tapi tidak berdampak besar. Kini Anila harus menghindari setiap serangan sang minotaur sambil mengayunkan pedangnya juga, tetapi ia kalah karena daya serang sang minotaur jauh lebih kuat.
"Dasar banteng!" Anila mengarahkan tangannya ke hadapan monster itu. "Percusserom Impetum!"
"Grrooaaahhhhh!" Sang minotaur berteriak kencang karena terkena sihir Anila, lalu tubuhnya tersayat-sayat oleh serangan Orly berpakaian bangsawan. Akibat serangan bertubi-tubi itu, sang minotaur semakin marah. Kini tubuh minotaur itu dilapisi cahaya merah menyala. Lalu tanah bergetar hebat.
Mylo muncul, melompat ke dekat Anila karena menghindari serangan minotaur yang mengejarnya. Punggung Mylo menyentuh punggung Anila sedangkan Orly berpakaian bangsawan berada di dekat Anila, ia memasang kuda-kuda pertahanan.
"Ada dua Minotaur sekaligus," ucap Mylo karena minotaur yang menyerangnya kini muncul dan tubuhnya dilapisi neith yang terasa kuat.
"Kurasa mereka berada di tingkatan C, mereka mampu menggunakan sihir," ujar Anila mulai menyelubungi tubuhnya dengan neith, begitu pula Mylo.
"Akademi diserang musuh," sahut Mylo.
"Ya, sudah pasti."
Maka kedua minotaur melapisi senjata mereka dengan api sehingga membuat kedua senjata itu menjadi panas membara lalu menerjang sangat cepat sampai tak bisa dibaca gerakan mereka oleh Anila maupun Mylo. Orly di dekat mereka lekas memasang barrier yang berhasil menangkis serangan kedua minotaur, lalu melalui barrier itu, serangan listrik menjalar ke tubuh para minotaur.
"Berhasil!" teriak Mylo.
"Tidak," sahut Anila, "mereka tidak terkena dampak apa pun!"
Suara retakan terdengar, kini seluruh barrier yang mengelilingi mereka bertiga semakin retak hingga hancur dan ledakan terjadi yang membuat mereka terlempar. Sang Orly ambruk, darah mengucur, membuat genangan di sana. Mahkota yang ia pegang entah terbang ke mana. Sudah tidak begitu penting.
Ruangan kedua minotaur terdengar keras. Mereka berdua melangkah, tanah bergetar lagi. Anila dan Mylo merasakan seluruh tubuh mereka sakit, tulang-tulang yang kemungkinan retak serta sedikit bergeser dari posisinya. Keduanya tidak sempat meraih senjata mereka karena kedua minotaur sudah mengangkat kedua senjata mereka kemudian diayunkan.
"Acri Filum Freno." Muncul pentagram sihir, lalu kawat hitam yang langsung menjerat seluruh tubuh kedua minotaur beserta senjata mereka sehingga tidak sempat memenggal kedua tubuh anak manusia.
Di samping Mylo, muncul pria dengan pakaian hitam serta tangan terarah ke depan. Membuat kedua minotaur semakin terjerat kuat oleh teknik sihir itu. Lalu datang lagi sekitar empat prajurit akademi lengkap dengan baju zirah serta membawa tombak besi, mereka kemudian mengepung kedua minotaur.
"Siapa kau?" ujar Anila setelah dibantu berdiri oleh Mylo.
Orly yang ditanya itu hanya menoleh sedikit. "Bellerin, pelayan master Xerxes."
"Grrooaaahhhhh!" Raungan itu berasal dari minotaur yang muncul lagi. Tubuhnya kali ini jauh lebih besar dan membawa dua pedang.
"Mereka tidak ada habisnya," ujar Bellerin, "pergilah, sebelum kehilangan kepala kalian."
"Kami tidak bisa pergi. Ada teman kami masih di arena pertandingan ini, kami harus---"
"Jika kalian nekat mencarinya. Kalian hanya akan membahayakan diri termasuk teman kalian itu," ujar Bellerin. Terdengar suara teriakan ketika salah satu prajurit berhasil diempaskan oleh sang minotaur. "Lebih baik pergi dan amankan diri. Nyawa kalian akan sia-sia karena menghadapi satu minotaur saja tidak mampu. Biarkan semua ini ditangani oleh kami."
"Tapi—"
"Anila, dia benar. Kita harus pergi dari sini." Meski Mylo berujar begitu, ia sangat takut jika Aalisha dalam bahaya. "Mereka akan mencari Aalisha. Percayalah, dia akan baik-baik saja."
Anila menyudahi menggigit bibirnya kemudian melangkah hingga persis di hadapan Bellerin. "Kalau begitu kau harus berjanji padaku. Kau harus membawa Aalisha ke hadapanku, tanpa terluka parah. Berjanjilah, kumohon."
Bisa Bellerin lihat bagaimana air mata menetes dari gadis keturunan Andromeda itu. Membuat Bellerin tersenyum tipis. "Akan kulakukan." Ia lalu menatap salah satu prajurit yang baru tiba. "Bawa mereka keluar dari arena ini."
"Baik, ayo kalian jangan jauh dariku." Maka Anila dan Mylo segera mengikuti langkah prajurit tersebut.
Bellerin lalu menatap pada kedua minotaur, beserta minotaur ketiga yang berhasil ditahan oleh para prajurit. "Benar seperti yang dikatakan master Xerxes bahwa manusia adalah makhluk yang sangat rumit. Makhluk yang terlalu kompleks diciptakan para Dewa sehingga memiliki empati dan simpati yang terkadang tidak mampu dipahami makhluk hidup lain. Sungguh karunia. Athinelon maupun Eidothea ini memang menyimpan banyak rahasia."
****
Aalisha, Bianca, Galley, Trevor, Disha, dan Jeffrey sangat yakin jika monster di hadapan mereka kemungkinan musuh tidak diundang di pertandingan ini dan mulai mengacau. Kekacauan ini pasti sudah terjadi di seluruh arena pertandingan karena terlihat ada beberapa ledakan di arah lain arena, asap hitam membumbung ke langit, burung-burung berterbangan dari pepohonan, barangkali kekacauan sudah menyebar hingga bangku penonton. Mereka bisa saja menunggu bala bantuan, tetapi menunggu hal itu sama halnya menunggu malaikat kematian menjemput pula.
Satu hantaman keras dari gada yang dibawa minotaur itu berhasil meretakkan tanah. Mereka semua melompat mundur terkecuali Jeffrey yang malah bergerak maju karena hendak menolong temannya yang terkapar di tanah serta penuh darah. Baru hendak ia raih lengan temannya itu, serangan gada hampir menghancurkan kepalanya jika tidak ia tangkis dengan pedang.
Trevor melompat kemudian merapalkan mantra berupa serangan bola api, alih-alih kesakitan, minotaur itu malah tak merasakan apa pun. Maka sang minotaur meraung keras sambil mengayunkan gadanya yang akan mengenai tubuh Trevor, tetapi Trevor menahan dengan pedang hingga ia terempas mundur. Ia lalu berteriak dan Galley paham kode tersebut, maka Galley melapisi pedangnya dan membantu menyerang. Kini terjadilah pertarungan antara Galley dan Trevor melawan minotaur tersebut, sayangnya, tak satu pun serangan dari mereka berhasil mengenai sang minotaur yang semakin mengganas karena satu ayunan gada menciptakan angin cukup kuat hingga mendorong siapa pun yang terkena angin tersebut.
"Disha!" teriak Bianca, "bantu aku melumpuhkan monster itu! Kita harus melakukannya jika ingin kabur!" Sayang sekali, tidak ada sahutan. "Disha!"
Bianca menoleh pada temannya itu yang tubuhnya sudah gemetar hebat, lututnya begitu juga, Disha saking takutnya tidak bisa bergerak sama sekali. Ia perlahan terduduk dengan kedua lututnya di tanah, pedangnya jatuh ke tanah, air mata menetes dan wajahnya semakin pucat. "Tidak, aku, aku tidak bisa, aku takut. Tanganku gemetar."
Trevor sadar jika temannya sudah tak mampu bertarung karena rasa takut. "Bianca! Disha tak bisa diandalkan, kau saja. Serang minotaur ini agar ia lumpuh sebelum kami---"
Raungan terdengar lagi, kali ini sang minotaur mengeluarkan aura yang pekat dan mengerikan. Galley menyerang minotaur itu, tapi serangannya terhenti karena ada selubung neith mengelilingi minotaur itu lalu dengan satu rapalan mantra, selubung neith itu berubah menjadi duri-duri tajam yang berhasil menusuk paha Galley, kedua tangannya, hingga perutnya, tapi bukan titik vital. Lalu gada diayunkan dan hampir menghancurkan tubuh Galley jika Trevor tidak menyelamatkannya. Kini keduanya terempas ke tanah, terguling, dan menghantam pepohonan. Trevor bangun, darah keluar semakin banyak, membuat genangan di tanah. Sementara itu Galley sudah tak mampu untuk bertarung lagi.
"Monster sialan!" Bianca membuat benda-benda di sekitarnya melayang, lalu diayunkan tangannya yang kini benda-benda itu—patung hancur, meja, kursi, batu-batu besar—melesat cepat ke arah minotaur, tapi satu ayunan gada berhasil membuat semua benda itu hancur tak bersisa.
Lalu Bianca menarik pedangnya kemudian dia sabet tangan sang minotaur. Namun, sekali lagi tak ada pengaruhnya. Kini sang minotaur menggunakan sihir lagi, membuat tubuh Bianca terhenti lalu satu serangan berhasil menghantam Bianca hingga ia membentur tanah di samping Disha.
"Bianca," ujar Disha dengan tangan gemetar hendak menolong temannya, tapi Bianca sudah berdiri lagi meski darah menetes dari pelipisnya.
"Aku belum kalah monster sialan!" teriak Bianca melangkah agak sempoyongan.
Di sisi lain, Aalisha melirik pada Bianca yang berisi keras untuk melawan monster itu, ia beralih menatap pada Disha yang wajahnya pucat dan tubuh tak berhenti gemetar, beralih pula menatap Jeffrey yang berusaha mengobati temannya karena tak kunjung sadarkan diri sedangkan Trevor menarik tubuh Galley menjauh dari minotaur, ia juga menahan pendarahan Galley, tapi tidak bisa disembuhkan karena ia tak ahli dalam menggunakan mantra pengobatan. Kini Aalisha menatap sang minotaur yang menunjukkan gelagat hendak menggunakan sihir lagi, maka itulah yang terjadi.
Raungan minotaur terdengar kembali. Dalam gerakan yang cepat, ia berhasil menghantam Bianca kembali, tapi tertahan pedang, gadis itu hanya termundur, serta berhasil melindungi diri agar tak terluka. Namun, sayang sekali Sang minotaur malah muncul tepat di hadapan Disha yang tertunduk lemas itu, gada sang minotaur menjulang tinggi, pentagram sihir muncul kemudian mengubah gada itu menjadi sangat panas dan berapi. Semua yang di sana terkejut bukan main, mereka menatap pada Disha yang tak bisa menggerakkan kedua kakinya sama sekali, satu ayunan dari sang minotaur maka habislah Disha sudah. Bianca meneteskan air mata, ia takkan berhasil menyelamatkan temannya dan jika benar Disha mati di hadapan Bianca, maka ia akan mengutuk hidupnya selamanya.
"Frigus Aquemerium." Rapalan mantra itu terdengar kemudian muncul pentagram sihir biru di hadapan wajah Disha lalu air bah sangat dingin menyembur keluar hingga mendorong minotaur itu dan membuat seluruh tubuhnya basah.
Mereka menatap dari mana asal mantra itu dilakukan yang ternyata adalah Aalisha, kini lekas dia menyentuh genangan airnya kemudian ia merapalkan mantra lagi dengan lantang. "Diffunditur Elektra!" Aliran listrik berhasil mengenai tubuh sang minotaur hingga dia meraung kembali. Ia akhirnya kesakitan, meski tak berlangsung lama karena minotaur itu sudah berdiri kembali dengan tangan menggenggam gadanya.
Aalisha berdecak, ia melompat tepat ke samping Disha. Menyentuh bahu gadis itu, lalu Aalisha berujar, "apa kau bisa membantu teman Jeffrey, kau harus membawanya pergi. Dia terluka."
Disha mengangguk pelan. "Akan kulakukan."
"Bagus." Aalisha lalu Beralih pada Bianca. "Bianca, yang terluka harus dibawa pergi. Sisanya akan menahan minotaur! Disha akan membawa teman Jeffrey! Trevor kaburlah juga bersama Galley!"
Bianca mencebik bibirnya karena tak suka diperintah oleh Aalisha, tapi karena situasi ini buruk. Maka tak ada pilihan, ia harus menurunkan egonya sedikit. "Baiklah! JEFFREY!"
"Aku dengar!" teriak Jeffrey.
"Disha akan kubawa kau melewati minotaur-nya, bersiaplah," ucap Aalisha kemudian mengeratkan genggamannya pada pedang. "Ayo!"
Maka Aalisha berlari bersama dengan Disha. Sang minotaur sadar jika kedua targetnya sedang berlari, maka minotaur itu menggunakan sihir yang membuat tanah bergetar lalu muncul duri-duri tajam dari tanah. Aalisha menarik Disha menjauh dari duri tersebut kemudian gadis itu menebas duri-duri itu. Tiba-tiba sang minotaur sudah ada di hadapan Aalisha yang lekas menggunakan pedangnya untuk menahan serangan sang minotaur. Disha memekik sesaat, ia menatap pada Aalisha yang berusaha menahan serangan sang minotaur sekuat mungkin.
"Cepat pergilah!" ucap Aalisha.
"Terima kasih." Disha lekas berlari menuju teman Jeffrey. Kemudian dia membopong lelaki itu, lalu berlari, serta disusul Trevor yang juga membopong Galley. Mereka segera pergi dari sana.
Aalisha yang sudah tak mampu menahan gada tersebut, alhasil tubuhnya terdorong keras ke bawah, kakinya tak mampu berdiri lagi, jadi kini ia menahan pedang Sang minotaur dengan kaki tertekuk dan lutut menyentuh tanah. "BIANCA SEKARANG!"
Bianca melompat, ia merapalkan mantra yang berhasil menghantam leher minotaur, lalu Aalisha berhasil kabur dari sana. Tak lama, Jeffrey muncul dengan senjata berbeda, sebuah palu cukup besar, dilapisi neith kemudian berhasil dia menghantam sang minotaur dengan palunya hingga minotaur itu terempas ke belakang dan cukup jauh.
"Sialan," ujar Jeffrey, "aku akan dihukum karena menggunakan senjata milik keluarga." Jeffrey berdiri di samping Aalisha, ia memasang kuda-kuda sambil menggenggam erat palunya yang hampir sebesar gada sang minotaur.
"Bukankah setara dengan apa yang kita hadapi," balas Bianca, berdiri di samping Aalisha juga. "Omong-omong, kau tak buruk juga." Ia berujar pada Aalisha yang hanya acuh tak acuh. Pujian takkan berguna padanya.
"Dia masih belum kalah." Aalisha berucap karena Sang minotaur bangkit kembali kali ini neith-nya semakin besar pula.
"Kenapa tenaga monster itu tak habis juga, apa dia melakukan nereum lebih baik dari kita," ucap Jeffrey.
"Selain nereum kurasa karena ada manipulatornya," jelas Aalisha.
"Apa?" sahut Jeffrey.
"Mudahnya minotaur itu juga mendapat kekuatan dari orang lain, artinya dalang yang membawa para monster itu mengacau kemari," ujar Aalisha yang merasakan tanah kembali bergetar karena sang minotaur berada di jarak yang tak jauh dari mereka. Melangkah secara perlahan.
"Logis sekali," balas Bianca, tak ia sangka, gadis kasta bawah ini cukup cerdas. "Mari serang bersama-sama."
"Ya, aku setuju," sahut Jeffrey.
Setelah minotaur meraung keras. Mereka bertiga mulai menyerang minotaur itu dari tiga titik dan arah yang berbeda. Mereka bergerak cepat karena kecepatan mereka lebih unggul dari sang minotaur. Sayangnya, meski sudah tiga lawan satu, tetap saja hantaman gada Sang minotaur tidak dapat terhindarkan, monster itu juga menggunakan pedangnya. Sungguh sulit mengalahkan monster tersebut apalagi tenaga ketiga anak Eidothea itu sudah mulai terkuras berbeda dengan Sang minotaur yang tidak ada habis-habisnya. Di pihak, Aalisha, selain serangan menggunakan pedang dan palu, mereka juga menyerang dengan sihir, tapi kebanyakan tidak berpengaruh apa pun pada Sang minotaur yang kini semakin marah. Jeffrey memperkuat senjatanya, lalu ia hantamkan ke dada minotaur itu hingga terdorong mundur. Aalisha yang hendak menyerang dengan sihir, ia hentikan sendirinya karena dari arah lain, sesuatu bergerak cepat dan menerjang ke arah mereka.
"Ada minotaur lagi!" teriak Bianca langsung menangkis serangan minotaur yang menggunakan senjata pedang.
"Hei jelata! Awas kepalamu!" teriak Jeffrey karena gada minotaur dengan cepat diayunkan ke arah Aalisha, tetapi gadis itu menghindar dengan cepat pula. Lalu Aalisha merasakan kekuatan sangat dahsyat dari kedua minotaur.
"GROAAAHHHKKK." Teriakan itu terdengar bersamaan mulut kedua minotaur memancarkan cahaya kemerahan, lalu dalam hitungan detik ledakan sangat dahsyat terjadi. Membuat pepohonan bertumbangan, semak-semak hancur lebur, patung-patung juga, rerumputan tersapu rata hingga terlihat tanah cokelat.
Setelah debu-debu dan asap di sekitar area serangan minotaur menghilang, maka memperlihatkan Bianca yang terkapar, bersimbah darah hingga terbentuk genangan darah di sana. Parahnya, kaki gadis itu tertusuk kayu dari pepohonan yang hancur hingga tembus. Bianca tak mampu lagi meneruskan pertarungan sedangkan Jeffrey juga bersimbah darah, ia berusaha bangkit meski seluruh tubuhnya terasa sangat sakit. Detak jantungnya berdegup tak karuan ketika mendapati tangan kirinya patah hingga tak bisa digerakkan sama sekali.
Suara raungan minotaur terdengar kembali, Jeffrey berdiri, terjatuh karena kedua kakinya terluka parah juga. Kini ia merangkak, menyeret kedua kakinya, menyeret tubuhnya itu hendak menuju Bianca yang meski sadarkan diri, tetapi gadis itu tidak mampu bergerak sama sekali. Sungguh Jeffrey tidak peduli jika tubuhnya sakit, seragamnya sobek, kulitnya jadi terluka akibat gesekan dengan tanah dan batu-batu kecil karena dia harus menyeret tubuhnya demi mencapai Bianca, ia harus melindunginya karena jika tidak, gadis itu pasti akan mati.
"Kumohon, siapa pun tolong kami. Kumohon." Jeffrey menangis sambil terus menyeret tubuhnya sendiri, darah bercucuran sepanjang jalan ia menyeret tubuhnya. Kuku-kukunya jadi hitam begitu juga dagunya, serta pipinya basah karena tangis.
Bianca yang tahu jika ia sudah tak mampu bergerak, ia menatap pada Jeffrey yang berusaha mencapainya. Maka tangan Bianca yang penuh luka itu bergerak, terulur hendak mencapai Jeffrey juga. Sementara itu, tak jauh dari mereka kedua minotaur melangkah pelan, menyeret senjata mereka masing-masing. Hal ini membuat Jeffrey semakin menyeret tubuhnya hingga perlahan-lahan ia semakin dekat dengan Bianca serta berhasil meraih tangan Bianca lalu digenggamnya sangat erat.
Detik selanjutnya kedua minotaur mengangkat senjata mereka yang dilapisi neith, lalu mantra dirapalkan yang membuat kedua senjata itu dilapisi api berkobar. Sekali ayunan, maka sudah dipastikan kedua manusia di hadapan para minotaur akan mati dan binasa. Ya, hanya butuh waktu saja karena malaikat kematian sudah tiba dari alam baka, siap menjemput kedua murid Eidothea itu.
"Kumohon Dewa," gumam Jeffrey semakin menggenggam erat jemari Bianca. Tangisnya menderu, begitu pula Bianca yang tak bisa menahan tangisnya. "Tolong kami bahkan jika malaikat kematian sendiri yang menolong kami. KUMOHON."
"GRROOAKHHH—"
Serangan yang entah dari mana berhasil mengenai kedua minotaur. Asap hitam membumbung ke udara. Jeffrey dan Bianca yang tadinya menutup mata karena siap menemui kematian, tetapi mereka tak merasakan apa pun. Mereka selamat! Keduanya perlahan membuka mata yang kini di hadapan mereka, ada sebuah pedang bersinar biru yang menciptakan pelindung dari neith, sehingga melindungi mereka. Lalu langkah kaki terdengar dari kanan mereka berdua, kini Jeffrey dan Bianca menatap pada seorang gadis kecil yang berjalan menuju pedangnya, ya dia adalah Aalisha. Kini tangan kirinya menggenggam pedang, sedangkan tangan kanannya dengan telapak terbuka terarah tepat pada kedua minotaur.
"Aku akan membawa pergi kedua minotaur itu, kalian berdua masih mampu berjalan maka pergilah dari sini." Aalisha berucap.
Bianca berteriak. "Kau tidak perlu menyelamatkan kami, kami tak minta hal itu!"
"Ya, kau saja yang pergi, kau masih bisa berlari. Tinggalkan kami," ucap Jeffrey, dia tak mau siapa pun berkorban demi hidupnya. Terlebih lagi seorang rakyat jelata berkorban untuknya.
"Seorang pria menyebalkan pernah berkata padaku." Aalisha teringat perkataan Arthur sesaat. "Intinya, semua yang kulakukan bukanlah karena permintaan, tapi karena kehendakku sendiri. Jadi pergilah selagi aku mau menggunakan empati atau aku saja yang membunuh kalian."
Kedua manusia di belakang Aalisha terdiam membisu tidak hanya karena mendengar perkataan Aalisha, tetapi karena pentagram sihir biru muda bermunculan mengelilingi kedua minotaur. Warna yang indah itu membuat Jeffrey dan Bianca terpengarah sekaligus terharu. Lalu Aalisha merapalkan mantra. "Special Technique, Igniesco."
Maka sihir berupa ledakan api yang sangat dahsyat tercipta melalui pentagram sihir Aalisha, menyerang kedua minotaur hingga cahaya merah terlihat, terang-benderang. Baju zirah yang mengelilingi tubuh kedua minotaur berjatuhan ke tanah, begitu juga senjata mereka. Pepohonan juga sebagian hancur akibat serangan Aalisha itu. Asap hitam membumbung ke langit. Sungguh serangan yang mengerikan.
Sayangnya efek sihir ini juga berpengaruh pada Aalisha yang kini memuntahkan darah. Namun, tak ia pedulikan karena kini ia menarik pedangnya yang tertancap di tanah, lalu hilang barrier yang melindungi Bianca dan Jeffrey. "Pergi, ini perintah dariku."
Maka Aalisha melangkah agar menjauh dari kedua manusia itu dan menuju pada para minotaur, ternyata kedua monster itu masih bangkit meski sudah tak ada baju zirah mereka. Kedua monster semakin marah dan meraung-raung.
"Hei monster gila!" teriak Aalisha, "kupikir kalian kuat, ternyata tidak. Kalian lemah seperti seekor kancil, ah bahkan kancil saja lebih cerdas dari kalian."
"GROAHHHK!" Salah satu minotaur meraung kencang.
"Kau ... ternyata kau ...." Satu minotaur berujar yang kini ia sadar jika gadis kecil di hadapannya adalah gadis yang ditargetkan Zahava. "Makan, makanan!"
"Kemari," ucap Aalisha langsung berbalik dan berlari dari sana. "Kemari kalian, kejar aku, dasar makhluk hina!"
"GROAKHH!" Maka kedua minotaur mengejar Aalisha.
Detik itu Aalisha berhasil menyelamatkan dua nyawa dari malaikat kematian, tetapi sang malaikat masih berjaga dengan sabitnya karena ada nyawa yang kemungkinan akan ia bawa ke alam baka pada hari ini atau bisa saja Aalisha sendiri lah yang menjadi tujuan malaikat kematian turun ke Athinelon.
****
Pepohonan roboh, air pancur dihancurkan, begitu pula meja, kursi, patung, semak-semak, bahkan tak ada lagi rumah kaca yang berdiri di sini karena semuanya dihancurkan oleh dua minotaur yang mengejar Aalisha.
Gadis kecil terus berusaha kabur dari kedua minotaur yang tak lelah juga mengejar Aalisha. Beberapa kali Aalisha terjatuh, terguling lalu ia bangkit kembali. Ia juga sengaja mengayunkan pedangnya agar dahan dan kayu pepohonan menimpa kedua minotaur, tetapi selalu berhasil dihancurkan kedua monster itu jadi tak ada efek apa pun pada mereka yang meski tak menggunakan senjata lagi, tapi masih mampu menjadi mesin pembunuh untuk hidup Aalisha. Sepanjang pelariannya, Aalisha masih memuntahkan darah. Namun, tak sedikit pun hal itu mengusiknya.
Arah jam tiga dia melihat seorang prajurit yang sedang menahan serangan minotaur sedangkan di dekatnya ada murid perempuan Eidothea yang tergeletak penuh darah dan tak sadarkan diri. Sesaat perempuan itu mengingatkan Aalisha akan Anila meski ia tahu jika mustahil itu Anila. Entah perasaan apa yang terbesit di dada Aalisha. Dia malah berbelok menuju prajurit tersebut kemudian melancarkan serangan pada sang minotaur hingga minotaur itu ambruk ke tanah.
"Hei kau!" teriak Aalisha pada prajurit itu. "Cepat bawa gadis di sana pergi dari sini! Biar aku yang tangani minotaur ini!"
"Apa?! Bagaimana bisa, kau yang akan mati nanti!" teriak sang prajurit.
"Tidak akan!" Aalisha mengayunkan pedangnya karena sang minotaur sudah bangkit kembali lalu menyerang Aalisha dengan pedang juga, tapi lebih besar. "CEPATLAH!"
Dari arah lain, dua minotaur yang mengejar Aalisha tadi muncul dan berlari ke arahnya. "Kubilang bawa dia pergi, ini perintah atau kau mau kupenggal!"
"Ba—baiklah!" teriak sang prajurit kemudian menggendong perempuan yang pingsan itu.
Aalisha terempas ke belakang, ia melompat agar menghindari serangan minotaur. Lalu ia mengarahkan tangannya pada dua minotaur sebelumnya yang hendak menyerang prajurit itu. "Igniesco!" Maka serangan sihir terjadi lagi yang memukul mundur para minotaur, Aalisha menggunakan kesempatan ini untuk lari kembali. Beruntung sekali, ketiga minotaur kini mengejarnya dan tak ada yang berniat mengejar prajurit tadi yang kabur ke arah berbeda dari Aalisha.
Terus berlari, tanpa tahu mau ke mana. Dari arah belakangnya, Aalisha merasakan pentagram sihir muncul karena mantra dari para minotaur itu. Lalu satu serangan sihir berhasil mengarah pada Aalisha, tetapi tak begitu membuatnya terluka karena Aalisha sempat menggunakan neith-nya untuk menciptakan selubung pelindung. Hanya saja ia ambruk ke tanah karena tersandung akar pohon. Kini para minotaur berhasil mengepung Aalisha.
"Sialan," ujar Aalisha lekas bangkit dengan menggenggam erat pedang Aeternitas-nya.
Ketika satu minotaur hendak menyerangnya, seorang Orly yang menjadi bagian dari pertandingan Chrùin Games muncul untuk membantu Aalisha, lalu disusul Orly lainnya. Mereka melawan ketiga minotaur, sayangnya mereka tetap kalah. Kalah dengan telak pula!
"Sial, mereka lemah sekali," gumam Aalisha.
Kini terpaksa dia berlari kembali dari kejaran tiga minotaur yang semakin meraung-raung karena Aalisha terus kabur dari jangkauan mereka. Kapan kira-kira kesialan akan berhenti menimpa Aalisha? Kapan malaikat kematian berhenti mengikutinya? Sungguh kini terdengar raungan lainnya lagi karena dua minotaur baru datang yang langsung mengejar Aalisha juga. Maka hari itu, detik itu, malaikat kematian semakin dekat dengan tujuannya.
****
Sebagian bangku penonton sudah hancur lebur, kayu-kayuan patah. Ada sekitar tiga murid di sana yang berasal dari angkatan atas dan berhasil melumpuhkan sekitar enam minotaur, meski kebanyakan mereka dijerat dengan tali karena sulit sekali para monster itu dibunuh. Salah satu dari mereka menghubungkan cyubes-nya dengan teman mereka yang berada di sekitar kastil akademi Eidothea.
"Bagaimana keadaan di sana?"
"Cukup banyak minotaur yang datang, kami berusaha menghalangi mereka agar tidak melewati gerbang Eidothea, meskipun begitu ada beberapa minotaur berhasil menerobos."
"Baiklah, aku akan hubungi yang lain." Maka lekas ia menghubungi temannya yang berada di dalam kastil akademi.
"Bagaimana keadaan—"
"Sialan!" Terdengar kepanikan dari salam sana. "Ada minotaur menghancurkan kandang, jadi para binatang magis kabur. Kami harus menangkap binatang magis juga, melindungi mereka, dan melumpuhkan para minotaur! Buruk sekali di sini!"
"Kami akan membantu ke sana! Bertahanlah!" ucapnya lalu memberi kode pada teman-temannya. Namun, suara raungan terdengar kembali dari minotaur-minotaur yang berhasil mereka jerat. Lalu neith merah mengelilingi para minotaur itu yang kini mereka perlahan berdiri, berhasil melepaskan diri dari sihir para murid Eidothea.
"Sialan, kenapa bisa mendapatkan kekuatan seperti itu?" Dia mulai mengangkat tombaknya, bersiap untuk bertarung lagi melawan para minotaur.
"Kurasa ada yang memberi mereka kekuatan."
"Setahuku, monster tipe seperti ini akan terus bertarung sampai pemimpin mereka mati duluan baru mereka menyerah."
"Baiklah, patut dicoba." Kemudian murid itu memunculkan cyubes-nya lagi, ia menyambungkan cyubes-nya ke anak-anak kelasnya. Kemudian berujar, "target utama adalah mengalahkan pemimpin para minotaur ini agar minotaur lain menyerah jadi cari pemimpin itu!"
Di dalam akademi, kastil sebelah selatan dan timur belum tersentuh serangan para minotaur. Di sana cukup sepi karena hanya ada murid yang tidak bisa bertarung, berada di sekitaran sana untuk bersembunyi sedangkan yang mampu harus bergerak cepat agar minotaur tidak semakin menghancurkan akademi ini.
Di salah satu koridor menuju menara pengawas di akademi Eidothea. Seorang prajurit berlari dengan tergesa-gesa, ia harus segera menemui seseorang yang berada di menara pengawas itu karena barrier pendeteksi sudah dipasang, para Orly juga menyebar serbuk pendeteksi yang jika jatuh ke kulit para minotaur maka keberadaan mereka akan terdeteksi melalui cyubes yang terpasang di menara pengawas di akademi. Selain itu, melalui menara ini pulalah, kamera tersambung sehingga seseorang di menara ini mampu melihat dan mendeteksi para minotaur.
Tujuan dari prajurit menuju menara pengawas, ia harus mencari tahu keberadaan minotaur tingkat tinggi karena ia mendengar salah satu dari murid yang dilarikan ke rumah sakit jika ada minotaur mencapai tingkat iblis sehingga tataran kekuatannya berada di tingkatan A, maka minotaur itu harus segera dibunuh karena ada kemungkinan minotaur itulah yang menjadi pemimpinnya.
Pintu menara pengawas terbuka dengan kasar yang di dalam ternyata ada seseorang sedang mengamati keseluruhan cyubes tersambung dengan kamera pengawas dan pendeteksi serta memberi komando pada para murid jika ada minotaur di dekat mereka.
"Oh syukurlah ada yang di sini? Bagaimana, apa para minotaur masih berdatangan?"
"Ya," sahut seseorang yang berada di dalam sana, ia pria ternyata. "Selagi pemimpinnya masih hidup maka para minotaur akan terus bangkit."
"Sialan! Apa kau temukan minotaur tingkat tinggi, salah satu murid berkata jika dia melihat---"
"Tiga."
"Apa?"
Pria di menara pengawas itu menatap pada cyubes-nya yang menampilkan tiga titik merah berpendar. "Ada tiga minotaur tingkat tinggi, sulit pastinya dihadapi karena akan sangat beresiko kematian juga."
"Mengapa kau tak menghubungi para prajurit sejak awal! Cepat kirim lokasinya, kami akan ke sana!"
"Tidak perlu mengirim bala bantuan ke sana," ujar pria itu yang membuat prajurit tercengang bukan main.
"Apa maksud Anda, jika kita tidak mengirim prajurit maka anak-anak itu akan mati!"
"Aku mengatakan ini karena para minotaur itu akan menemui kematian mereka. Ya, mereka menemui para keturunan utama Majestic Families. Lebih baik, kalian mengirim prajurit ke minotaur tingkat bawah karena tiga Majestic Families itu akan membunuh para minotaur semudah membalikkan telapak tangan." Pria itu lalu tersenyum yang sedikit memperlihatkan giginya.
Maka sesuai perkataan pria di menara pengawas itu. Suara langkah kaki sang minotaur yang membawa satu gada dan satu pedang terdengar hingga tanah bergetar. Minotaur itu menuju daerah kantin rumah pohon. Ya, salah satu dari tiga minotaur tingkat tinggi. Lalu berada di kantin itu, di meja makan. Seorang gadis cantik di keliling beberapa temannya yang kini terkejut bukan main dengan kedatangan sang minotaur. Namun, gadis cantik itu sama sekali tidak merasa takut melainkan sangat kesal karena acara membaca dan bersantainya jadi terganggu atas keributan ini.
"Eloise, ada minotaur kemari," ujar teman Eloise dengan rambut blonde.
"Pergilah kalian." Eloise Clemence menutup bukunya, lalu menatap pada minotaur yang tak jauh dari posisinya duduk. "Akan kubunuh monster menjijikkan yang berani mengganggu acara minum tehku."
"Baiklah, berhati-hati." Perempuan berambut blonde itu segera pergi dan disusul temannya yang lain.
Raungan minotaur terdengar semakin kencang sedangkan Eloise tersenyum tipis. "Jadi apa yang harus kulakukan padamu." Ia berdiri dari bangkunya, memutar melewati meja lalu melangkah pelan menuju sang minotaur. "Haruskah kubakar kau hingga menjadi abu atau kucincang dan dijadikan sup daging? Pilihlah, karena hari ini aku akan bersenang-senang."
Sementara itu di daerah kastil lainnya, tepatnya di perpustakaan akademi. Nicaise Von Havardur berada di sana dan sedang berfokus pada bukunya. Namun, suara langkah kaki terdengar mendekatinya bersamaan raungan kencang memenuhi seluruh perpustakaan itu.
Nicaise melepaskan kacamatanya, lalu ditaruhnya di atas meja. Ah, lihatlah betapa ia semakin tampan karena mengenakan kacamata. Sepertinya bukan waktu yang tepat untuk memberikan pujian. Kini ia menggeser kursinya sehingga terdengar deritan. "Kupikir sudah cukup di luar sana yang ribut, ternyata di sini datang pengacau juga. Kuharap kau tidak merusak satu pun buku di sini ...."
Perlahan pentagram ungu bersinar hampir memenuhi seluruh perpustakaan ini. "Karena jika kau hancurkan buku-buku di sini, niscaya akan kubuat kau lebih menderita berkali-kali lipat, dibandingkan hukuman para Dewa. Jadi, mari bersenang-senang!"
Sedangkan berada di sebelah kastil barat, seorang murid melewati koridor. Murid itu tidak mengenakan seragam akademi melainkan pakaian bangsawan karena dia habis memenuhi panggilan dari pihak keluarganya, ada pesta bangsawan yang ia hadiri sehingga baru tiba di akademi pada hari ini. Dia adalah Athreus Kieran Zalana.
Athreus terus melangkah dengan cyubes yang menampilkan nama salah seorang murid di sini. "Kupikir kau berbohong tentang akademi diserang sekelompok minotaur."
"Aku tak mungkin berbohong pada Anda."
Athreus terkekeh kecil. "Sudah kubilang jika di lingkup akademi jangan terlalu formal padaku."
"Baiklah Yang Mulia, maafkan aku."
"Di sini benar-benar kacau, pasti para peserta terkejut karena kedatangan para minotaur. Jadi apa Chrùin Games dibatalkan? Sialan padahal aku ingin melihat Aalisha bertarung apalagi kau bilang jika kelompok mereka menggunakan strategi perang atrisi."
Damien tersenyum tipis, ternyata dia adalah murid yang berbicara dengan Athreus. "Ya, atas kejadian ini sudah dipastikan jika pertandingan dibatalkan. Sayang sekali kita tidak akan tahu hasil dari taruhan ini."
Athreus menghentikan langkahnya karena kini di hadapannya ada seekor minotaur tingkat tinggi, membawa kapak besar, lalu meraung kencang. Maka Athreus memunculkan pedangnya, meski bukan pedang magis. "Tidak Damien, kita akan tetap mengetahui hasil dari taruhan ini, percayalah padaku."
Damien mengangguk setuju. "Aku selalu percaya. Lalu semoga kau bersenang-senang, aku mohon undur diri."
Maka sambungan antara kedua cyubes itu terputus, kini Athreus semakin bahagia. Ia mengeratkan genggamannya pada pedang yang sudah diselubungi neith biru tua. "Mari mulai permainannya!"
Kembali ke menara pengawas, sang prajurit setelah mendengar perkataan pria di hadapannya menjadi sangat lega karena para Majestic Families pasti mudah sekali mengalahkan para minotaur itu. "Sekali lagi, aku hendak memastikan, apa Anda yakin hanya tiga minotaur saja? Apa mungkin salah satu dari minotaur yang dilawan Majestic Families adalah pemimpinnya?"
"Ya, aku sangat yakin hanya ada tiga minotaur. Ada kemungkinan juga di antara ketiganya adalah pemimpin, jadi lebih baik kau membantu murid-murid lain. Tiga minotaur tingkat tinggi biarkan mereka yang menanganinya. Jika kalian ikut campur, takutnya malah kalian yang terkena amukan tiga Majestic Families itu."
"Baiklah kalau begitu. Aku mohon undur diri." Sang prajurit kemudian memberikan penghormatan dengan cara membungkukkan badannya. "Terima kasih banyak, Profesor Zahava."
Profesor Zahava pun tersenyum lebar. "Tentu saja."
Mak prajurit itu segera pergi, meninggalkan Zahava sendirian di menara pengawas itu. Zahava kembali menatap pada cyubes-nya yang ternyata tidak menampilkan tiga titik merah! Sungguh bukan tiga titik merah, melainkan empat titik merah. Satu titiknya berada jauh di luar kastil akademi. Lebih tepatnya berada di arena pertandingan.
"Wah, wah, tak kusangka jika Master-ku ini adalah seorang pembohong," ujar Orly profesor Zahava. "Kau berkata hanya ada tiga padahal ada empat titik merah dan minotaur keempat adalah pemimpinnya."
"Minotaur keempat mencapai tingkatan iblis, melebihi tiga minotaur yang dilawan ketiga Majestic Families. Ia lebih mampu berbicara dan punya kecerdasan. Aku sudah menyuguhkannya untuk salah satu murid akademi ini." Zahava tersenyum, menatap pada cyubes-nya yang menampilkan wajah Aalisha. "Anak itu, kasihan sekali dia. Sungguh menyedihkan hidupnya."
Maka Zahava mematikan cyubes-nya, mematikan semua kamera pengawas, ia juga menghapus jejak pengawas akan keempat minotaur agar tak seorang pun mencurigainya. Kemudian Zahava melenggang pergi dari sana yang diikuti oleh Orly-nya. "Mari, kita jalankan rencana selanjutnya, segera hubungi Ambrosia. Karena tuan Casimir sudah tidak sabar mendapatkan batu kekuatan itu."
****
Sebelah utara di arena pertandingan, pohon-pohon roboh, lalu banyak sekali bercak darah serta goresan pedang di beberapa pohon serta tanah. Rerumputan juga tersapu rata. Sepertinya habis terjadi pertarungan di sini.
Di arah jam sepuluh, Aalisha menatap pada kamera pengawas yang telah mati. Pasti sengaja dimatikan. Gadis itu jadi kecewa sekali karena berharap ada yang mengirim bala bantuan untuknya, tetapi hingga kini tak kunjung juga bala bantuan itu datang padahal sudah nyata sekali jika ada kamera pengawas di dekatnya yang artinya ada seseorang dibalik kamera pengawas itu dan tahu jika Aalisha masih berada di arena pertandingan dan dalam bahaya. Namun, lihatlah, kamera itu malah dinonaktifkan seolah seseorang dibalik kamera itu dengan sengaja membiarkan Aalisha dijemput malaikat kematian.
"Yah aku tak bisa berharap juga." Aalisha menatap ke arah depan. "Namun, aku bersumpah, siapa pun dibalik kamera pengawas itu, takkan pernah kuampuni meski ia bersujud padaku."
Di balik pepohonan yang tak jauh posisinya dari Aalisha, makhluk yang sangat besar sedang menuju ke arahnya, tanah semakin bergetar. Pepohonan ditumbangkan dengan mudahnya hanya dengan tangan. Napas panas terdengar bersamaan suara dari makhluk yang datang itu. Aalisha memperhatikan, makhluk itu yang ternyata minotaur yang besarnya dua kali lipat dari minotaur sebelumnya yang ia hadapi.
Kulit sang minotaur berwarna hitam pekat, manik mata hitam, tanduk menjulang dan tajam, lalu memiliki gigi taring. Minotaur itu membawa pedang sangat besar, kedua tangan Sang minotaur dikelilingi besi, baju zirah yang ia kenakan sangatlah tebal, mengkilap karena gradasi emas dan perak. Kedua bahunya dilapisi pelindung dengan warna yang sama dengan baju zirahnya. Di punggungnya, ia membawa dua senjata lagi, satu gada berduri tajam dan juga kapak perak mengkilap. Kini Aalisha menyaksikan sendiri, sosok minotaur yang mencapai tingkatan iblis.
"Kutemukan kau, makhluk kecil. Kha, kha, kha, akhirnya kutemukan kau makhluk yang segera menjadi santapan makan siangku." Suara sang minotaur terdengar, lalu gigi-giginya terlihat putih bersih.
"Kurasa kau adalah pemimpinnya. Aku benar bukan?" Aalisha tersenyum tipis. Meraih pedang Aeternitas-nya.
"Ya! Aku adalah pemimpin dari penyerangan ini, namaku CANBAL!" teriak sang minotaur.
"Canbal, baguslah jika kau langsung datang menemuiku jadi aku tidak perlu susah payah mencarimu. Lalu perlu kuberitahu sesuatu, jika kau memilih lawan yang salah."
Sungguh tak disangka-sangka bahwa tangan kiri Aalisha ternyata memegang sebuah mahkota. Mahkota berwarna emas dengan permata merah menyala. Ya, mahkota itu adalah mahkota ketiga yang diperebutkan dalam pertandingan Chrùin Games ini, Aalisha berhasil mendapatkan mahkota itu ketika kabur dari kejaran para minotaur kemudian membunuh semua minotaur yang mengejarnya dalam sekejap saja. Atas inilah daerah tempat Aalisha berada terlihat kacau balau.
Kini tangan kirinya itu bergerak, perlahan Aalisha kenakan mahkota emas dengan permata merah di atas kepalanya. Kemudian ia mengangkat pedangnya, lalu menatap Sang minotaur dengan senyuman mengerikan yang terukir. "Karena sekarang tak ada orang lain yang melihatku, bagaimana jika aku bermain sedikit lebih serius. Apalagi, akhirnya aku bertemu lawan yang sepadan denganku."
"Bajingan kau makhluk kecil! Groaakhh!" Pemimpin Minotaur pada penyerangan hari ini bernama Canbal itu berteriak kencang sampai semua burung-burung terbang dari pepohonan. Namun, tak sedikit pun mengusik Aalisha. Tak pula membuatnya takut, malah dia menyunggingkan senyuman yang lebar karena kini telah Aalisha temukan boneka yang bagus untuk bermain dengannya.
"Nah, Canbal. Bersiaplah kau untuk kuseret ke neraka, dasar Makhluk Rendahan."
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
JIAKKHHH MAKIN KENA GANTUNG KALIAN SEMUA, HAHAHA, mampus kalian^^
Zahava sialan, ha ha.
Mari tunggu chapter selanjutnya ketika Aalisha membuka topengnya dan ilustrasi Aalisha dengan mahkotanya~
Prins Llumière
Sabtu, 04 Februari 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top