Chapter 56

|| Pendapat kalian mengenai Aalisha?

|| Beri vote 40 dan Komentar 50. Share juga cerita ini ke teman wattpad kalian

Semenjak jam lima subuh, murid-murid sudah sangat sibuk mempersiapkan hari ini yang menjadi pembukaan sekaligus pertandingan babak pertama Chrùin Games. Pembukaan akan diisi oleh sambutan singkat dari kepala Akademi Eidothea yaitu profesor Eugenius. Kemudian dilanjutkan menyanyikan hymne dan mars Eidothea yang dibawakan oleh ekskul paduan suara. Kemudian sekitar jam 10 tepat, pertandingan Chrùin Games akan dilaksanakan hingga batas selesai pertandingan babak pertama ini pada pukul tiga sore.

Para panitia yang mengatur pertandingan sudah sibuk sejak tadi malam hingga kini, karena banyak hal yang perlu disiapkan, paling penting adalah mengecek semuanya apakah sudah benar atau masih ada kekurangan dan kesalahan. Mereka tidak mau hal-hal buruk terjadi ketika Chrùin Games berlangsung apalagi sampai membahayakan para peserta. Sedangkan enam kelompok yang bertanding pada hari ini sudah merasakan kegugupan dan rasa ngeri, tetapi bercampur antusias pula karena pada pertandingan ini mereka pertama kali unjuk diri dengan kemampuan masing-masing serta kerjasama dengan kelompok mereka. Kemenangan di pertandingan ini tidak hanya menambah poin individu maupun asrama mereka. Namun, menjadikan derajat mereka naik karena satu Akademi akan tahu kemenangan mereka dalam sejarah Chrùin Games.

Makan pagi hari ini dikhususkan bagi yang akan bertanding diberi makanan lebih dulu kemudian makan di kamar masing-masing agar tidak membuang waktu mereka. Pihak akademi sangat paham jika para peserta hari ini pasti dilanda overthinking, gugup berlebihan hingga takut, atau ada yang merasa pesimis. Jadi mereka diberi waktu selain untuk mempersiapkan diri secara kekuatan maupun senjata, tetapi mempersiapkan mental dan fisik juga.

Di asrama Arevalous, sudah banyak murid yang berada di luar asrama. Mereka sudah tidak sabar menantikan pertandingan hari ini. Keonaran diperbuat beberapa kakak tingkat dengan menaiki sapu terbang kemudian membawa tongkat yang jika dibakar sumbunya akan mengeluarkan asap yang membentuk lambang Akademi Eidothea yang disusul tulisan Chrùin Games. Ternyata hal ini tidak hanya dilakukan asrama Arevalous, tetapi asrama yang lain dengan cara berbeda. Ada yang menggunakan kembang api yang ketika meledak di udara maka confetti berbentuk tulisan Chrùin Games akan berjatuhan.

Di dalam kastil asrama Arevalous juga penuh dengan murid-murid dari semua angkatan yang saling bercengkerama. Hampir rata-rata dari mereka berada di luar kamar sehingga hari ini lebih padat dan riuh dibandingkan hari biasanya. Menuju ke lantai lima, di salah satu ruangan. Seorang gadis berambut hitam panjang baru selesai makan dan mandi. Kini ia meraih seragam latihan Eidothea, segera ia kenakan karena para peserta pertandingan hari ini diwajibkan menggunakan seragam latihan masing-masing asrama.

Aalisha melangkah menuju cermin besar di kamarnya itu, cahaya biru menyinari rambutnya yang kini jadi mengepang sendiri sehingga gadis itu tidak susah payah melakukannya. Setelah mengepang sebagain rambutnya yaitu kedua ujungnya di bagian depan, maka kedua kepang rambut itu ia satukan ke belakang. Setelahnya Aalisha memakai sedikit riasan di wajahnya, tetapi sebelum itu, ia kenakan tabir surya karena ia tak mau wajahnya rusak akibat sinar matahari.

Ia menatap pada wadah bundar di atas mejanya, diraih kemudian dibuka tutupnya, bubuk merah ada di dalam wadah tersebut. Rasa bingung memenuhi dirinya, haruskah ia pakai? Namun, ada acara apa sampai ia harus mengenakan marajha? Jika digunakan, ia akan terlihat konyol dan menjadi perhatian orang-orang. Jadi dia urungkan untuk mengenakan marajha itu.

"Tidak perlu mengetuk sekeras itu!" teriak Aalisha beralih pada pintunya karena ada suara ketukan pintu, tapi terdengar seperti menggedor-gedor.

"Hei, jangan digedor begitu!" Aalisha kesal, makin lama ketukan itu benar-benar seperti menggedor pintu. Masa sih mereka sama sekali tidak sabar? Ya, Aalisha tahu jika mepet sudah waktunya karena sudah ada pemberitahuan jika para murid mulai membuat barisan untuk penyambutan dari profesor Eugenius. Namun, tidak perlu sampai menggedor, kalau terus begini, mending hancurkan saja pintu kamarnya itu.

"Anila! Mylo, atau siapa pun itu, tidak perlu menggedor—"

Suara ledakan terdengar sangat keras di luar; memekakkan telinga, membuat jantung siapa pun akan terkejut, alih-alih bisa saja melompat keluar lalu disusul suara kekecewaan beberapa murid karena kembang api milik mereka gagal dan malah meledak yang kini wajah mereka menghitam. Mereka kemudian memarahi Easton dan Noah karena menjadi biang keladi ledakan ini. Murid lain yang masih di dalam kamar, melongokkan kepala mereka melalui jendela kemudian berteriak kesal karena ledakan itu sangat mengejutkan mereka.

Ya, banyak yang terkejut akibat ledakan itu. Begitu pula Aalisha, kesalnya semakin menjadi-jadi karena pagi ini lebih kacau dari yang ia pikirkan. Terlebih akibat ledakan itu, mejanya menjadi kotor, kedua telapak tangannya terutama telapak kanan menjadi sangat merah.

"Marajha-ku tumpah," gumam Aalisha sambil menghela napas.

"SIALAN, KUBILANG BERHENTI MENGGEDOR!" Ia bergerak cepat menuju pintu kamarnya, dibuka dengan kasar, berniat untuk menyemprot siapa pun yang menggedor pintunya ini. Namun, ketika dibuka, Aalisha hanya mampu terdiam bagaikan patung, ia sampai tak berkedip karena tidak seorang pun ada di depan kamarnya, lekas melongok keluar, tengok kanan dan kiri pun, tak ada siapa-siapa di lorong ini. Benar-benar kosong melompong, jika pun yang menggedor pintunya hanyalah iseng, pasti ia merasakan ada jejak sisa neith yang tertinggal, tetapi tidak, ia tak merasakan neith seseorang di lorong ini.

Lalu siapa yang menggedor-gedor pintunya sejak tadi?

"Sialan, aku merinding," ujar Aalisha lekas masuk ke kamarnya. Lalu menuju mejanya lagi yang atasnya penuh dengan tumpahan serbuk marajha. Tanpa pikir panjang, ia gunakan sihir untuk memasukkan marajha yang tumpah itu ke dalam wadahnya lagi. Lalu sisa-sisa yang sedikit menempel di permukaan meja, segera ia bersihkan dengan kain.

"Masa bodoh!" teriak Aalisha menatap jamnya di cyubes yang tinggal 8 menit lagi sebelum acara pembukaan dimulai. Jadi tanpa mencuci tangannya yang terkena tertumpah marajha, ia lekas menggunakan sepatu, kemudian berlari secepatnya. Sambil berlari itu, ia menatap cyubes yang menampilkan pesan-pesan dari Anila dan Mylo jika acara pembukaan sudah dimulai, mereka lebih dulu pergi karena berpikir jika Aalisha pasti tak mau ditunggu. Pesan dari keduanya semakin membuatnya yakin jika bukan Anila, Mylo, serta lainnya yang menggedor pintu Aalisha.

Kalau begitu siapa?

"Mustahil para Dewa yang melakukannya, jika Mereka yang berbuat, bukankah iseng sekali."

****

Semua mata mengarah pada Aalisha ketika gadis itu sampai serta terlambat. Ia lekas mencari barisan asrama Arevalous, lalu terlihat Mylo yang berada di barisan belakang, ia memanggil Aalisha. Lekas Aalisha ke sana, menempati barisan di samping Mylo karena lelaki itu sengaja mengosongkan barisan itu untuk Aalisha.

"Kau lama sekali, untung tuan Derry dan beberapa pengajar lainnya belum berkeliling untuk mengecek," ucap Mylo sedikit berbisik.

"Ada urusan tadi," sahut Aalisha.

"Urusan apa? Memoles kuku atau mewarnai rambut."

Tidak Aalisha jawab perkataan Mylo itu, Mylo pun berujar kembali. "Anila, Frisca, dan Gilbert di barisan depan."

"Aku tidak tanya."

"Aku hanya memberitahu."

"Tidak perlu kalau begitu."

"Sialan." Mylo lalu tersadar pada telapak tangan Aalisha yang memerah. Hampir ia terkejut karena berpikiran jika itu darah, tetapi mari putar otak sebelum berkata aneh-aneh yang membuat Aalisha marah. Mustahil darah karena telapak tangannya tidak seperti terkena darah yang cair, apalagi sekitaran tangan Aalisha ada bercak titik merah yang bisa jadi serbuk.

"Kenapa tanganmu? Ini urusan yang kau maksudkan?"

Aalisha melirik sesaat pada Mylo, baru menjawab, "ya, terkena tumpahan marajha."

Lebih parah dari darah! Mylo membuat wajah terkejut sampai tak mampu berkata-kata bahkan manik matanya membulat, tak berkedip pula. "Kau tahu artinya, marajha yang tertumpah menjadi pertanda buruk. Ibuku berkata begitu."

"Ya, aku tahu kalau ini pertanda buruk meski ibuku tak mengatakan apa-apa."

"Aalisha ...." Mylo tahu benar jika ibu Aalisha sudah mati. Kini Mylo teringat dengan cerita Anila. Pernah Aalisha tidak sengaja menabrak profesor yang seorang peramal, lalu meramalkan jika Aalisha akan segera mati. Anila sangat sedih ketika mengatakan itu pada Mylo, ya hanya pada Mylo karena Anila tak berani menceritakan pada yang lain, takut jika Aalisha akan marah. Jadi hanya diceritakan pada Mylo.

"Tenanglah Aalisha, jangan terlalu percaya takhayul. Lagi pula, kau takkan kenapa-napa karena aku akan melindungimu." Mylo berujar begitu lembut, tapi terdengar sangat meyakinkan jika orang lain di posisi Aalisha, sayangnya gadis kecil tidak menunjukkan ekspresi apa pun.

"Tak mau tutupi tanganmu, nanti Anila malah berpikiran yang tidak-tidak," ujar Mylo.

"Ah benar juga kau," balas Aalisha memunculkan invinirium kemudian mengambil sarung tangan putihnya, lekas ia kenakan.

Setelah sambutan cukup singkat dari profesor Eugenius, beberapa Orly merapalkan mantra yang muncul di langit-langit kembang api membentuk tulisan Chrùin Games. Setelahnya langsung dilanjutkan menyanyikan hymne dan mars akademi Eidothea yang dilakukan oleh ekskul paduan suara.

Di sela-sela alunan musik serta suara indah para anggota paduan suara itu. Aalisha berjinjit sedikit, mengedarkan pandangannya ke depan sana, dikarenakan ada panggung yang disediakan untuk para pengajar jadi mereka sedikit lebih kelihatan. Manik mata Aalisha berhenti pada salah satu pengajar yang berada di samping profesor Reagan.

Wanita dengan mengenakan gaun panjang, berwarna hitam dihiasi renda putih, manik-manik di gaungnya itu semakin menambah kesan elegan dan mewah. Kecantikan juga terbentuk sempurna karena wanita itu mengenakan baret hitam serta riasan wajah. Oh benarkah dia manusia karena Dewa terlalu memberinya kecantikan. Pasti jika wanita itu berada di samping profesor Rosemary. Kecantikan keduanya takkan terkalahkan.

Kali ini, wanita bergaun hitam itu membawa bonekanya, maksudnya sahabatnya, tetapi mengapa Lilura malah mengenakan pakaian putih yang sangat kontras bertolak-belakang dengan pakaian wanita itu? Entahlah tidak begitu penting karena kenyataannya wanita itu, profesor Ambrosia mengenakan pakaian hitam padahal pengajar lain tidak mengenakan warna itu.

"Seperti hendak menghadiri upacara pemakaman," gumam Aalisha.

Gadis kecil itu sedikit terkejut karena Ambrosia sadar jika Aalisha tengah menatapnya. Manik mata mereka saling bertemu, bertukar pandang dalam waktu yang cukup lama, kemudian Ambrosia tersenyum simpul, ya, dia sangat cantik.

"Kurasa aku akan mati hari ini karenanya dia mengenakan pakaian hitam untuk memperingati kematianku."

Kini Aalisha beralih pada profesor Eugenius yang merentangkan kedua tangannya kemudian berujar lantang. "Maka dengan ini, pertandingan babak pertama Chrùin Games resmi dimulai!"

****

Lokasi pertandingan berada di luar kastil akademi artinya di luar barrier akademi. Arah timur, melewati danau wilayah itu, berdekatan dengan Praire Lynx Woods sehingga dari bangku penonton, bisa melihat pepohonan tinggi di hutan tersebut. Area pertandingan sangatlah besar serta sudah di desain dan diatur sedemikian rupa. Ada informasi, jika Chrùin Games kloter terakhir selesai maka akan lekas dibongkar arena pertandingan untuk menjaga kelestarian alam di wilayah ini.

Tema Chrùin Games kali ini adalah taman kerajaan, ide ini diberikan oleh master Arthur serta beberapa pengajar lainnya. Dijelaskan desain pertandingan ini dikarenakan taman kerajaan, maka penuh dengan tanaman hijau, lalu ada meja-meja putih beserta kursi dan di atasnya lengkap ada makanan dan minuman asli yang diperbolehkan dimakan para murid. Kemudian ada bunga-bunga yang cantik dan jenisnya sangat banyak berada di setiap titik tertentu arena pertandingan, bunga-bunga itu seperti tulip, mawar berwarna merah dan hitam, bunga melati, bunga matahari, bougenville, anggrek, hingga dandelion. Di beberapa titik arena pertandingan juga ada bangku panjang berwarna cokelat, di atasnya ada keranjang yang entah berisi makanan dan minuman untuk piknik. Kemudian keranjang berisi bunga-bunga yang dipotong karena ada kegiatan bagi kalangan kerajaan untuk memetik bunga. Sehingga di dekat keranjang juga ada mahkota yang dirangkai dari bunga, ranting, maupun dedaunan.

Selain semua properti itu, ada pula rumah kaca yang cukup besar, kemungkinan ada lebih dari sepuluh rumah kaca yang di dalamnya benar-benar diisi berbagai macam bunga yang baru mekar hingga tanaman obat. Di sisi lain arena pertandingan ini, terdapat air mancur yang airnya sangat jernih sehingga dapat dilihat dasarnya berupa bebatuan putih bersih. Kemudian juga ada patung-patung yang dipahat begitu indah yang diletakkan di beberapa titik arena pertandingan. Serta semua properti lainnya yang sering ada di taman bangsawan terutama keluarga kerajaan. Sungguh sangat detail bahkan terdengar alunan musik klasik. Entah berapa uang yang dihabiskan untuk semua ini, meski digunakan sihir juga, tapi ada beberapa hal yang tidak diselesaikan dengan sihir.

"Kurasa master kita itu memang gila," ujar salah seorang murid di bangku penonton.

"Sumpah, kupikir ketika temanya Taman Kerajaan, hanya sekadarnya saja, tapi nyatanya ... mungkinkah taman asli di kerajaan Kheochiniel diangkut kemari?"

"Kuyakin dia menggunakan anggaran akademi yang berasal dari uang kita untuk semua properti ini."

"Bukannya tambah kaya masuk akademi ini, malah semakin miskin kita."

"Oh ayolah kenapa kalian kaget, hah! Ingat di salah satu angkatan dulu, temanya adalah Padang Pasir dan benar-benar pasir dari wilayah timur yang dibawa ke sini."

Mendengar salah satu perkataan teman mereka itu, anak-anak lain langsung diam membisu. Mereka dengar juga kalau ada angkatan yang tema Chrùin Games-nya adalah gunung merapi penuh lava, kemudian lautan, ada juga yang labirin. Apakah semua itu nyata dibawa kemari? Bagaimana cara mengangkut gunung merapi atau lautan?

"Sungguh aku bangga dengan Eidothea, mungkin ini salah satu kegilaan yang membuat akademi ini menjadi yang terbaik di dunia."

"Ya, mari banggakan Eidothea ke seluruh Athinelon."

Semua bertepuk tangan ketika komentator atau pembawa acara mengambil tempatnya. Komentator itu adalah murid dari angkatan tahun ketiga yang akan mengisi waktu terlebih dahulu sebelum pertandingan dimulai karena setiap kelompok masih bersiap-siap.

"Ada yang tahu musuh macam apa yang disiapkan pihak akademi?" ujar murid perempuan dengan rambut blonde.

"Entahlah, sesuai tema seringnya 'kan? Kalau tema padang pasir dulu, musuhnya kayak perompak gurun, kalajengking, kadang ada badai pasir. Oh dengar-dengar juga ada mummy."

Terdiam, para murid yang mendengar penjelasan itu langsung diam membisu karena tidak hanya detail dari arena pertandingan, tetapi hingga musuh yang juga diatur sedemikian rupa. Seolah hendak melatih para murid ketika menghadapi kejadian asli di masing-masing tempat itu.

"Jadi apa?"

"Tinggal tebak sesuai keadaan aslinya saja," sahut seorang lelaki yang mengagetkan mereka semua.

"Salam!" ucap para murid itu karena lelaki yang berucap tadi adalah Damien Nerezza serta di sampingnya ada Evanora dan dua keturunan bangsawan Cressida.

"Yaps, benar sekali seperti yang Damien katakan. Tema dan musuhnya akan saling berkaitan, jika tema lautan, mungkin musuhnya berupa paus pembunuh atau hiu!" sahut Noah.

Easton langsung menyahut, "kalau temanya hutan, sudah pasti seekor harimau, singa, gajah, orang utan, monyet, burung kakak tua, burung pipit, ular, ulat, semut, lalu ...."

"Sudahlah Easton, kau mau menyebutkan semua penghuni hutan apa!" balas Evanora.

"Kalau begitu .... di taman kerajaan."

"Taman Kerajaan identik sebagai tempat diadakannya pesta minum teh atau salon. Itulah kenapa banyak sekali properti yang berupa makanan, alunan musik serta lainnya," ujar Damien.

"Lalu apa hubungannya?" tanya salah seorang murid.

"Apa kalian tahu jika kasus pembunuhan sering terjadi di pesta atau salon?" imbuh Evanora dengan senyuman. "Maka itulah tema yang diangkat master Arthur, bukan tentang keindahan taman, tapi kebusukannya."

"Artinya, musuh yang dihadapi adalah pengkhianat dimulai dari para pelayan yang berkhianat dan mencoba meracuni tamu atau tuan rumah, kemudian dayang dan pembantu, para kesatria dan prajurit yang jahat, mata-mata hingga bangsawan itu sendiri yang hendak membunuh musuh politiknya hingga menggunakan sihir hitam."

"Gila," ujar salah seorang murid.

"Ya, secara tidak langsung, Eidothea hendak mengajarkan para muridnya bagaimana menghadapi kemunafikan kehidupan bangsawan." Maka Damien tersenyum, lalu terdengar suara komentator yang berkata jika pertandingan akan dimulai, para peserta dengan kelompoknya masing-masing sudah siap di gerbang mereka yang ketika suar dilepaskan ke langit maka pertandingan akan dimulai.

Damien berdiri, ia pergi dari bangku penonton. Easton menatap Damien. "Kau hendak ke mana?"

"Ada urusan sebentar, aku aka kembali lagi," sahutnya segera turun dari tribune itu. Sedangkan Evanora hanya menatap kepergian Damien.

Melewati para murid yang bergegas ke bangku penonton karena tidak mau jika tidak mendapat tempat nyaman untuk menonton. Ada yang berlari sambil membawa persediaan makanan. Damien memunculkan cyubes-nya lalu memulai panggilan yang ternyata pada seseorang yang kemarin berbincang dengannya melalui cyubes juga.

"Yang Mulia, pertandingan akan segera dimulai," ujar Damien.

"Ah menyedihkan. Aku akan melewatkan awalnya, di sini masih sibuk. Bagaimana dengan taruhannya?"

"Kurasa banyak yang bertaruh jika tim anak itu akan kalah, tapi hasilnya belum tentu."

Sosok di seberang sana, tersenyum tipis. Kemudian berujar, "menurutmu bagaimana, siapa yang akan menang? Atau kau hanya ikut taruhanku?"

Damien tersenyum tipis. Di belakangnya, suar telah diluncurkan ke langit lalu meledak di sana, menandakan pertandingan pun dimulai, suara gemuruh sorakan para penonton terdengar menggelegar. "Karena aku yakin jika anak itu menang, entah alasannya apa? Aku pun tak tahu. Jadi mari nikmati hari ini, begitu pula Anda, Yang Mulia."

****

Suara langkah kaki terdengar cepat melewati rerumputan, lekas bersembunyi di antara semak-semak karena ada langkah kaki selain dirinya. Lelaki itu berasal dari asrama Drystan bernama Wilhord, ia tengah kabur dari kejaran musuh yang berpakaian layaknya seorang pelayan dalam acara besar para bangsawan. Beberapa menit sebelum bermain kejar-kejaran, ia begitu percaya diri untuk menghadapi musuhnya apalagi pelayan itu terlihat sangat lemah dan tak membawa senjata, neith-nya pun terasa tidak begitu besar sehingga sihir yang digunakan pasti lemah pula.

Tujuannya menyerang pelayan itu karena di nampan silver yang ia bawa ternyata ada mahkota yang menjadi incaran semua kelompok untuk meraih kemenangan. Wilhord sangat percaya diri jika ia mampu mengalahkan pelayan itu. Maka tanpa rencana, ia dekati dengan penuh kesombongan, lalu mengacungkan pedangnya lalu berkata, "serahkan pedang itu, sebelum aku menusukmu."

Harusnya pelayan itu takut, tetapi malah tersenyum sangat lebar, manik matanya berubah merah. Satu jentikan jarinya dengan rapalan mantra singkat, menciptakan sihir yang hampir saja menembus tubuh Wilhord. Lalu seketika mahkota yang di atas nampan menghilang karena itu hanyalah sebuah jebakan. Mulai detik ini, baru Wilhord sadari jika ia salah memilih lawan dan hingga kini ia bermain kejar-kejaran demi menyelamatkan nyawanya.

"Oh Dewa, kenapa aku menyerangnya. Harusnya tak kulakukan." Wilhord bergumam, detik selanjutnya, bau gosong tercium, lalu ia melihat jika rerumputan di sekitarnya mulai terbakar, maka ia berteriak kencang dan melompat dari semak-semak, baru mendaratkan kedua kaki. Ia dapati jika pelayan itu sudah ada di depannya.

"Sudah selesai bermainnya, Tuan yang sombong."

Dari kejauhan, ada seseorang yang mengawasi Wilhord dengan teknik sihir yang menciptakan cermin cukup besar, tetapi tidak berfungsi seperti cermin pada umumnya karena cermin itu menjadi teropong yang guna melihat sesuatu dari kejauhan.

"Kurasa satu peserta gugur," ujar Anila menyudahi sihirnya lalu berbalik pada kedua temannya.

"Dia bodoh," ucap Aalisha.

"Aku setuju dengan Aalisha," timpal Mylo.

"Kurasa kalian juga akan sepertinya jika tak kuperingatkan." Anila berujar dengan wajah mengejek.

"Ya, nasihat itu cocok untuk Mylo," sambung Aalisha.

"Sialan, kau juga ya!" balas Mylo, "jadi sesuai rencana?"

Anila mengangguk cepat. "Kita gunakan strategi perang atrisi yang Aalisha sarankan. Ada kemungkinan peserta lain terkecoh dengan mahkota palsu, jadi selama Gilbert, Frisca, dan Kennedy mencari mahkota yang asli. Kita akan menghambat pergerakan kelompok lain dan membuat mereka—"

"Mengadu domba lebih tepatnya." Aalisha membenarkan meskipun Anila tak suka dengan istilah itu.

"Ya, semacam itu," sahut Anila.

"Bagus! Jadi kita mulai saja ya, ada lima kelompok, mari coba buat empat kelompok saling bertarung dulu, satu kelompoknya akan dipikirkan lagi." Aalisha meraih pedangnya, kemudian dimasukkan ke dalam sarung pedang di pinggang sebelah kirinya.

"Hati-hati dengan musuh dari pihak akademi," balas Mylo.

"Kau yakin mau sendiri?" ujar Anila merasa khawatir sedangkan Aalisha membalas dengan senyuman tipis.

"Ini hanya pertandingan akademi, aku takkan mati karena itu. Percayalah." Maka Aalisha lekas turun dari pohon yang ada papan kayunya sebagai pijakan. Kemungkinan pohon ini hendak dibuat rumah pohon, tetapi belum selesai.

"Kau percaya padanya?" Anila menatap Mylo.

"Gilbert bilang, pas Aalisha marah atas kakak kelas yang merundung Frisca. Dia sangat mengerikan, melebihi dirimu." Mylo menjawab ala kadarnya.

"Sungguh tidak nyambung sama sekali," balas Anila jadi memegangi kepalanya meski tak pusing.

Mylo lekas turun dari pohon tersebut. Ketika di bawah, ia berujar pada Anila lagi. "Namun, kau paham maksudku 'kan? Dia tidak selemah itu, jika marah, ia akan mengerikan. Amarahnya lebih dari cukup untuk melindungi dirinya. Baiklah, aku pergi!"

Anila menatap kepergian Mylo yang setengah berlari sambil memperhatikan cyubes berisi peta arena pertandingan. "Dewa. Semoga semuanya berjalan lancar."

****

Enam kelompok yang bertanding pada hari ini bukanlah jajaran dari peserta yang paling unggul, memang ada peserta yang berasal dari kaum bangsawan, tetapi tidak setara kekuatan dengan Anila, Kennedy apalagi Ixchel, Victoria, dan Killian. Namun, tetap tidak bisa diremehkan karena dalam pertandingan ini kerja sama kelompok dan kecerdasan juga diperlukan.

Berdasarkan analisa dari Anila, ada dua kelompok yang perlu diwaspadai, kelompok pertama dengan ketua bernama Galley sedangkan kelompok kedua, ketuanya bernama Bianca. Kelompok itu diwaspadai karena anggota mereka cukup ahli dalam pertarungan sedangkan ketua mereka cukup cerdas dan pandai menggunakan mantra, terlebih keduanya berasal dari kaum bangsawan juga.

Kemudian seperti yang telah direncanakan, mereka akan menggunakan strategi perang atrisi dengan menjadi pihak ketiga yang tidak terlibat langsung dalam pertarungan antara kelompok agar mereka bisa menghemat tenaga, tetapi diyakini jika strategi ini takkan berjalan begitu mulus terlebih ada hal lain yang perlu diwaspadai yaitu musuh disiapkan oleh pihak akademi. Pasti akan terjadi hal di luar rencana, barangkali sangat melenceng dengan apa yang mereka rencanakan, maka dari itu, mereka berdiskusi lagi semalam sebelum pertandingan dan jatuh pada rencana dibagi menjadi dua tim.

"Kita tidak bisa bergerak jika bersama terus-menerus karena akan membuang waktu terlebih mahkota hanya tiga, sedangkan kuyakin arena pertandingan sangatlah besar. Jika kita tidak kewalahan melawan kelompok lain, maka kita akan terhambat karena berhadapan dengan musuh yang disiapkan pihak akademi," jelas Anila.

"Jadi kita harus bagaimana? Sepertinya strategi perang atrisi belum tentu akan berjalan karena ada dua pihak musuh yang harus dihadapi belum lagi mencari mahkotanya." Frisca berucap.

"Kita bagi menjadi dua tim," sahut Aalisha.

"Tunggu apa?" balas Gilbert.

"Strategi kita perang atrisi yang membuat kelompok lain kewalahan lebih dulu. Dalam pertandingan seperti ini, ada pihak yang berpikir untuk tetap bersama-sama sehingga jika menghadapi musuh akan mudah, tapi tidak efektif karena membuang waktu terlebih belum mencari mahkota. Lalu jika berpikir logis, maka untuk efektif sebuah kelompok akan dibagi lagi, meskipun pilihan ini akan lebih besar resikonya karena jika bertemu pihak musuh, pasti akan sulit melawan."

"Namun, bukankah jika terus bersama-sama akan beresiko juga karena jika keenam anggota kalah, maka tamat sudah riwayat kelompok itu," imbuh Mylo.

Aalisha mengangguk kemudian berujar lagi. "Benar, itu resikonya, jika terus bersama kemudian kita semua kalah, maka berakhir sudah. Karena itu pilihan paling baik adalah membagi menjadi dua tim lagi. Kekalahan anggota di pertandingan ini ketika tidak mampu meneruskan pertandingan, jadi jika terluka parah, tapi masih mampu, maka pihak akademi tidak bisa menyatakan kita kalah. Selagi ada satu anggota yang bertahan, maka kelompok itu masih bisa menang. Meskipun kita menggunakan strategi perang atrisi, tapi kemenangan ditentukan kelompok mana yang lebih cepat mendapat mahkota, jadi seminimal mungkin kita harus mencari mahkota itu dibandingkan berhadapan dengan kelompok lain."

"Oke, oke, jadi kita akan membagi kelompok ini menjadi dua tim, lalu kalau satu tim bertugas mencari mahkota, lalu tim satunya? Lalu siapa saja pembagian tim kedua itu?" ujar Frisca.

"Pertanyaan yang bagus," Anila tersenyum, "aku sudah memikirkan rencana ini masak-masak, jadi aku sudah tahu siapa saja yang berperan dalam hal ini. Tim pertama terdiri dari aku, Aalisha, dan Mylo, kami bertugas untuk mengecoh, mengadu domba kelompok lain serta membuat mereka tidak curiga jika ada anggota lain bertugas untuk mencari mahkota. Jadi tim kedua tentu saja kalian, Frisca, Gilbert, dan Kennedy yang bertugas mencari mahkota dan seminimal mungkin jangan terlibat pertarungan dengan kelompok lain.

"Kemudian, sesuai perkataan Aalisha jika perlu satu orang yang dalam situasi apa pun harus bertahan dan kami lindungi agar mencari mahkota, orang itu adalah kau, Frisca."

Frisca yang ditunjuk oleh Anila langsung membulatkan mata, ia terkejut bukan main. "Kenapa aku?! Bisa-bisanya kau memilihku, mengapa bukan yang lain atau Aalisha saja! Dia paling bisa masalah begini, lagian mengapa Aalisha di tim yang mengadu domba kelompok lain?"

"Karena aku menyebalkan dan banyak yang membenciku, jadi mereka akan mudah emosi jika melihatku, dari sanalah kuadu domba mereka," balas Aalisha.

"Aalisha jangan terlalu jujur kumohon, lagi pula aku memilihmu bukan karena itu alasannya," sahut Anila.

"Aku hanya menyampaikan pendapat." Aalisha menjawab dengan ringan. "Lalu Frisca, akulah yang bilang pada Anila untuk memilihmu. Alasannya karena kau, tak terlihat. Begini, setiap kelompok pasti akan menentukan anggota mana dari kelompok yang harus diwaspadai, mereka pasti akan berpikir untuk mewaspadai Anila, Kennedy, dan Mylo. Jadi mereka pasti akan mengincar mereka bertiga. Sedangkan kau, takkan diwaspadai, maka itulah keuntungan yang kita ambil."

Frisca menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Kini ia sangat paham maksud perkataan Aalisha dan Anila. Entah mengapa beban dari kelompok ini ditaruh di atas pundaknya. "Baiklah aku mengerti."

"Bagus!! Kita sudah punya rencana, kuyakin kelompok kita bisa menang!" teriak Gilbert.

"Aku ada pertanyaan, sekaligus mempertegas dari peran tim masing-masing," ujar Kennedy, "jadi kelompok kita ini dibagi menjadi dua tim. Tim pertama, yaitu Aalisha, Anila, dan Mylo bertugas mengadu domba, sedangkan aku, Frisca, dan Gilbert bertugas mencari mahkota sampai akhir pertandingan dan seminimal mungkin tidak terlibat pertarungan."

"Benar sekali," sahut Anila.

"Lalu pertanyaanku, apa kalian bertiga yakin bisa mengadu domba mereka? Maksudku, pasti secara logis, mereka akan berusaha mencari mahkota dibanding bertarung dengan kelompok lain."

"Mengenai itu—"

"Aku yakin." Aalisha menginterupsi perkataan Anila. Gadis kecil terlihat begitu bangga. "Karena ada aku. Kennedy apa kau tahu perkataan salah seorang sastrawan bahwa kata-kata bisa lebih menusuk dibandingkan pisau tajam. Jadi percayalah kalian semua jika di antara para peserta itu pasti menyimpan benci dan dendam padaku, jadi selagi pertandingan berlangsung, akan kupicu dendam mereka itu. Lagi pula, selama pertandingan, mereka bisa melampiaskan dendam mereka dengan dalih bertanding."

Kelima manusia di hadapan Aalisha itu menatap Aalisha begitu intens, entah hanya perasaan mereka saja, tetapi kali ini gadis kecil itu seperti antusias akan pertandingan kali ini.

Maka itulah kilas balik sebelum hari pertandingan. Aalisha sendiri lah yang mengajukan diri menjadi tim pertama meski awalnya Anila tidak menyetujui hal itu karena terlalu beresiko, tetapi perkataan seorang sastrawan itu benar adanya jika kata-kata terkadang jauh lebih menyakitkan dibandingkan tertusuk pisau dam Aalisha memang bermulut pedas.

Jadi di sinilah Aalisha berada, tidak jauh darinya ada kelompok yang diketuai oleh perempuan bernama Bianca. Benar-benar mereka bergerombol, tidak seperti kelompok Aalisha yang sudah terpisah sesuai tim semenjak pertandingan dimulai.

"Kalian terlihat kebingungan seperti gerombolan orang desa yang mencari lokasi salon tuan putri," ujar Aalisha memunculkan diri dengan angkuhnya.

"Apa kau bilang?! Lagian dari mana kau datang, hah?!" sahut Eugene, cowok kurus dengan rambut sebahu.

"Bukankah kau yang terlihat seperti anak yang hilang?" balas Disha dengan wajah mengejeknya. "Lagi pula, perlu berkaca siapa yang berasal dari rakyat jelata di sini."

"Jangan hiraukan dia," ucap Bianca, "fokus saja pada tugas kalian. Lagian gadis itu terlalu nekat pergi sendiri tanpa kelompoknya."

"Bianca, benar bukan?" ujar Aalisha menuju kursi putih yang tak jauh darinya, lalu ditariknya kemudian Aalisha duduk di sana. "Bisa ajarkan aku bagaimana etika di pesta minum teh?"

"Mari pergi abaikan saja gadis gila itu, habisnya nekat sekali berada di hadapan musuh sendirian," sahut Trevor, lelaki berambut cokelat dan mengenakan anting.

"Bianca," ucap Aalisha lagi setelah menyantap satu kue kering di atas meja. Ternyata rasanya enak juga, serius sekali pertandingan ini sampai makanannya saja terasa lezat. "Kau menyinggung kelompok bukan? Mau tahu alasanku hanya sendirian saja."

Eugene berbalik menatap Aalisha. "Apa?"

"Eugene, abaikan dia," ucap Trevor.

Aalisha berujar, "jawabannya hanya satu, aku tak butuh kelompok payah seperti kelompokku itu."

"Apa?" Bianca menghentikan langkahnya.

"Sungguh, aku tak perlu kelompok payah itu, tidak peduli jika ada keturunan Andromeda atau Cymphonique. Ah, tapi kalau dipikir-pikir lagi, kalian jauh lebih payah dari kelompokku. Payaaah sekali." Aalisha berujar sambil menyilang kedua kakinya, mendongak sangat angkuh.

"Gila kau ya, tarik kata-katamu kembali!" teriak Disha.

"Kau benar-benar gila, bagaimana bisa kau menghina kelompokmu sendiri." Bianca menatap nyalang pada Aalisha dengan tangannya sudah mengepal kuat.

"Payah dia bilang?" balas Vinny, "kau yang payah, sudah lahir sebagai hama karena berasal dari kaum rendah, rakyat jelata. Kau juga hina sekali karena menjelekkan kelompokmu sendiri. Dasar sampah masyarakat."

Perlahan Aalisha berdiri, sudah mulai terpicu amarah mereka. Maka hanya beberapa kalimat lagi, parameter kesabaran itu akan habis. "Kalian ingat, kemarin ketika kelompokku sedang berlatih. Para Majestic Families tak disangka-sangka ikut terlibat lalu kalian semua memberikan penghormatan. Kalian tahukan, jika aku ada di antara para Majestic Families itu jadi secara tidak langsung kalian bersujud dan menghormatiku. Jadi siapa yang posisinya rendah di sini?"

"Kau ...." Sebagian dari mereka sudah memerah wajahnya dengan tangan semakin terkepal kuat sedangkan aliran neith agak berantakan karena amarah memuncak.

"Kalian harus tahu, Majestic Families sering terlibat denganku dengan artian mereka menganggapku ada, tidak seperti kalian yang bahkan tak dianggap oleh mereka. Kasihan sekali ... jadi mana yang punya posisi lebih bagus di sini. Aku atau kalian? Tentu saja aku." Aalisha berujar dengan sangat bangga, benar-benar bangga yang wajahnya itu pula membuat orang lain jadi naik darah. Maka tinggal satu langkah lagi, rencananya akan berhasil. Jadi Aalisha berucap lebih angkuh lagi.

"Lalu berbicara Kelompok. Aku sebenarnya tidak perlu mereka karena aku mampu menghadapi kalian semua sendirian bahkan jika kelima kelompok bertarung denganku sekaligus, niscaya tetaplah aku yang menang karena aku bisa mengalahkan kalian semua dengan sangat mudah. Ya, karena kalian semua lemah."

Bianca menarik pedangnya. "Perubahan rencana. Mahkota masih bisa menunggu, tetapi mumpung di pertandingan ini, mulut gadis itu harus ditutup serapat mungkin. Jadi kita tangkap dia dan beri gadis jelata itu pelajaran! CEPATLAH!"

"Sesuai perintah, Bu boss!" teriak Disha.

"Kemari kau, sialan!" teriak Trevor kemudian berlari hendak menangkap Aalisha yang sudah lebih dulu berlari dari sana.

"Dasar pengecut, jangan lari kau!" teriak Eugene.

Aalisha mempercepat larinya, ia juga harus menghindari serangan sihir dari keenam orang yang mengejarnya. Segera Aalisha memunculkan cyubes kemudian membuka pesan dari Anila yang mengirimkan lokasinya berada. Sesuai dengan rencana, Anila akan memancing kelompok lain—tidak boleh memperlihatkan keberadaannya—ke titik yang telah ditentukan kemudian Aalisha harus membawa kelompok yang ia pancing amarahnya ini agar bertemu dengan kelompok itu, sehingga akan terjadi pertengkaran antara keduanya.

Trevor merapalkan mantra yang membuat serangan berupa angin melesat kencang hingga mengenai bahu Aalisha yang membuat gadis kecil itu terjatuh kemudian terguling di tanah. Sebelum Disha berhasil menendang perut Aalisha, gadis kecil itu mengeluarkan air dari dalam invinirium kemudian disiram Disha sehingga sebagian seragam perempuan itu basah lalu Aalisha merapalkan mantra. "Diffunditur Elektra."

Sukses Disha terkena sengatan listrik yang kini tubuhnya ambruk ke tanah. Aalisha bangkit kembali kemudian berlari sedangkan Bianca dan Vinny berhenti untuk membantu teman mereka itu sedangkan Trevor dan Eugene serta satu temannya lagi masih mengejar Aalisha.

"Ke mana kau pergi! Berhenti kau!" teriak Trevor menggelegar, sepertinya ia sangat kesal karena Aalisha menyakiti Disha.

Aalisha perlu berlari zig-zag sambil melewati jalan yang lumayan sulit untuk kabur dari kejaran mereka. Sayangnya cukup sulit karena Eugene menggunakan mantra yang menciptakan panah kecil kemudian melesat sangat cepat, hampir mengenai seragam Aalisha. Tidak hanya itu, Trevor pun menggunakan sihir juga yang menyebabkan benda terkena sihirnya akan meledak dan hangus terbakar. Aalisha yang g tak mau kalah, merapalkan mantra, membuat benda-benda di sekitarnya terutama patung hingga hiasan berupa vas bunga berjatuhan sehingga membuat langkah ketiga manusia di belakangnya menjadi lambat.

"Sialan, kita harus bagaimana, dia cepat sekali, lalu menggunakan trik murahan," ujar Trevor.

"Biar aku saja," ujar salah seorang temannya yang bernama Ulrich. Kemudian memejamkan kedua matanya, mengangkat kedua tangannya, neith hijau menyebar ke seluruh tubuhnya lalu tanah agak bergetar. "Anak itu tetaplah cacat 'kan?" Ketika ia membuka matanya, manik matanya bercahaya hijau. Lalu dalam hitungan detik tanaman di sekitarnya mulai menjalar menjadi satu hingga membentuk sebuah burung elang dengan sayap yang terbentang sangat lebar. Ketika Ulrich mengayunkan tangannya ke bawah, burung elang terbentuk dari tanaman itu langsung melesat sangat cepat. Sayapnya mampu membuat patung terbelah menjadi dua hingga hancur lebur. Hanya butuh menipiskan jarak saja, maka burung itu mampu membuat tubuh seseorang tersayat-sayat maupun terperangkap di antara tanaman.

Aalisha yang sadar sihir itu melesat cepat ke arahnya, ia menghentikan langkah, memunculkan invinirium menarik kedua besi tajam. Kemudian lekas ia lemparkan kedua besi tersebut, tetapi tidak mengenai sang burung elang. Tak masalah karena sejak awal bukan itu yang ia incar. Maka ketika burungnya semakin menipiskan jarak, Aalisha berdiri tanpa memasang kuda-kuda, kemudian menarik pedang Aeternitas dari sarungnya yang sudah ia aliri neith. Sebelum burung elang itu mengoyak seragamnya lagi, Aalisha mengayunkan Aeternitas yang sukses membelah tubuh burung elang itu. Lalu tanaman yang hendak menjerat kaki Aalisha sudah terbakar lebih dulu. Kemudian Aalisha menjulurkan kedua tangannya lalu menodong ke depan, ia merapalkan mantra, kini kedua besi yang ia lemparkan tadi, menjadi merah terang ketika hampir mendekati ketiga musuhnya, besi itu seketika meledak yang menyebabkan asap hitam mengepul.

"Bajingan, bagaimana dia bisa menggunakan teknik sihir seperti itu!" teriak Eugene, kini agak kabur pandangannya.

"Sialan kau gadis cacat!" Trevor agak terkejut karena Ulrich tidak terhenti dengan serangan itu, dia terus menerjang hingga jaraknya dengan Aalisha benar-benar menipis.

Aalisha terkejut karena lelaki itu berhasil mengejarnya, tangan Ulrich terarah pada Aalisha yang hampir berada di jangkauannya. Kemudian Ulrich memunculkan pentagram hijau terang, ia siap untuk menghancurkan wajah gadis kecil itu, bahkan hingga luka parah ia tak masalah. Aalisha yang tidak sempat menyerang balik hanya bisa terdiam dan berusaha kabur. Namun, terlambat karena pentagram hijau Ulrich semakin bersinar.

"Mati kau," ujar Ulrich, tetapi ia tak menyangka. Di ambang kematian, gadis kecil itu malah tersenyum.

"Kau lamban sekali, makhluk rendahan," ujar Aalisha. Kini Ulrich sadari jika sekitarnya mulai dipenuhi kabut putih yang sangat tebal. Lalu sebelum Ulrich menggunakan sihirnya. Dari arah jam tiga, tiba-tiba ada serangan sihir yang melesat cepat dan menghantam tubuh Ulrich hingga ia terempas dan ambruk ke tanah.

"Aalisha kemari," ucap Anila langsung meraih lengan Aalisha digenggamnya sangat kuat. "Lari dan menunduk!"

Aalisha mematuhi instruksi Anila, jadi lekas ia menunduk karena ada bertubi-tubi serangan sihir yang berasal dari kelompok yang Anila pancing yaitu kelompok Galley. Mereka semua memasuki kabut sehingga tidak bisa melihat dengan jelas, tetapi terus melancarkan serangan karena begitu marah dengan seseorang yang menyerang mereka diam-diam, mereka tak tahu jika itu adalah Anila. Di sisi lain, kelompok Ulrich yang terjebak di kabut jadi terkena serangan kelompok Galley akhirnya Ulrich dan lainnya mulai menyerang kelompok Galley.

Sementara itu, Anila menarik Aalisha kemudian mereka sama-sama terjatuh untuk menghindari serangan kedua kelompok tersebut yang kini Anila tidak sengaja menindih tubuh Aalisha. Gadis Andromeda itu bisa melihat wajah Aalisha dengan jelas,serta tawa gadis kecil itu karena rencana mereka berjalan dengan lancar, sayangnya Anila sudah terlanjur kesal.

"Ha ha, tidak kusangka rencana kita berhasil—"

"Sebenarnya cara apa yang kau gunakan untuk memancing mereka sih!" teriak Anila yang membuat Aalisha menatap gadis itu. Keringat Anila jatuh ke pipi Aalisha, begitu juga rambut panjangnya. "Harusnya kau pancing mereka tanpa ketahuan siapa kau, jadi masalah kalau begini! Bagaimana jika aku lambat menolongmu, kau akan terluka parah karena serangan lelaki tadi!"

"Diamlah, mereka akan mendengar suaramu." Aalisha lekas bangun, mendorong pelan tubuh Anila, hingga keduanya di posisi duduk. "Aku baik-baik saja, itu yang terpenting."

"Kau bilang begitu, tapi selalu diambang kematian atau berakhir masuk rumah sakit." Anila menyahut sambil berusaha menenangkan dirinya agar tidak marah besar.

"Bajingan kau ya!" teriak Galley pada Ulrich, "berani menyerang kami diam-diam."

"Apa?!" sahut Ulrich, "bukan aku!"

"Sudah jangan banyak berbohong!" balas Tara, anggota kelompok Galley yang kemudian melancarkan serangannya pada Ulrich hingga lelaki itu terlempar ke patung-patung batu.

"Sialan kau! Baik, jika kau mau bertarung!" teriak Trevor mulai menyerang balik. Kini mereka saling menyerang sesuai dengan rencana Aalisha dan Anila.

"Mari pergi, kita bantu Mylo." Aalisha berdiri lalu melangkah lebih dulu.

"Dasar menyebalkan," balas Anila kemudian mengikuti langkah Aalisha.

****

Kelompok yang diketuai oleh perempuan bernama Sonya, terlihat sedang mengendap-endap menuju rumah kaca, hendak mencari mahkota di dalam sana, tetapi dihalangi oleh musuh dari pihak akademi yang sedang menikmati pesta minum teh. Benar-benar sempurna sekali pertandingan ini menyesuaikan tema sampai musuh saja menjalani aktivitas seorang bangsawan layaknya di kehidupan nyata. Para musuh itu berupa orang-orang Bangsawan dengan pakaian gaun bagi perempuan sedangkan jas hitam untuk laki-laki. Selain itu ada pelayan pula yang sedang menghidangkan makanan di atas meja, lalu para bangsawan itu sedang menyantap makanan dengan sangat anggun. Di dekat pintu masuk rumah kaca ada seorang pria yang bermain piano sehingga musik mengalun indah.

"Kurasa kita harus melewati pintu belakang karena pintu depan dijaga," ucap Sonya pada kelima anggotanya.

"Kau yakin kita akan mengendap-endap?" sahut Rexach, "mengapa tidak serang saja mereka?"

"Kau gila," bisik Riri, "kau mau kita terbunuh, ada rencana bagus kau malah mau main sepak-terjang."

"Habisnya kalau ngendap-ngendap gini jantungku jadi semakin cepat, kalau ketahuan sama saja hasilnya," jelas Rexach.

"Makanya diam kau bodoh," sahut Pevensie.

"Ya, kalau ketahuan, kau kami tumbalkan," tambah Revensie. Mereka saudara kembar meski wajah mereka tidak mirip dengan artian kembar tak identik.

"Intinya kalian harus tenang dan ikuti instruksiku, kuyakin kita takkan ketahuan selama kalian tidak ribut." Sonya sempat sakit kepala, ia agak menyesal menjadi ketua kelompok karena dirinya pun merasa takut.

Maka mereka kembali mengendap-endap di antara semak-semak yang rimbun itu. Berhasil mereka melewati pelayan yang sedang mondar-mandir untuk menyuguhkan makanan. Tidak ada juga gerak-gerik aneh dari para bangsawan dengan artian para bangsawan itu tidak tahu kehadiran kelompok Sonya.

Apakah kelompok ini akan berhasil menuju rumah kaca? Sonya sangat yakin jika mahkota itu ada di sana karena arena ini sangat banyak musuhnya yang seolah sedang berjaga juga, tetapi dengan dalih pesta minum teh. Jadi pastinya ada mahkota di dalam rumah kaca itu.

Sementara itu, di bangku penonton. Mereka jadi ikutan tegang menyaksikan kelompok Sonya. Para penonton itu bisa menyaksikan pertandingan secara langsung karena di arena pertandingan telah disebar cyubes jenis kamera terbang sehingga kamera itu akan menyorot setiap peserta atau kelompok yang ada. Kemudian kamera disambungkan ke layar besar diberi sihir agar para penonton bisa menyaksikan kejadian di pertandingan itu. Teknologi ini dikembangkan oleh Majestic Families, Achelois. Namun, kekurangannya adalah, mereka tidak bisa terlalu mendengar suara para peserta karena mikrofon di kamera harus dekat dengan para peserta agar suara mereka jelas terdengar.

"Kurasa mereka akan ketahuan," ujar Easton sangat yakin.

"Ahh, mana nih kelompok teman adikmu itu? Tadi seru banget, bisa-bisanya mereka mengadu domba dua kelompok lain," ucap teman Easton dan Noah.

"Sialan, kupikir perkataan anak itu tentang perang atrisi hanya bualan saja, tapi benar-benar mereka gunakan," ucap Evanora, "bagaimana, kurasa mereka akan menang." Dia menatap Damien.

"Ya, aku juga berpikir begitu. Anak bernama Aalisha itu sangat nekat." Damien tersenyum tipis yang terasa begitu mencurigakan.

"Easton," teriak Noah, "coba lihat sana, itu adik kita. Gila, apa yang dia lakukan!"

"Mana?!" Easton menatap layar yang berbeda yang menampilkan Mylo berada di atas pohon.

"Bukankah tempatnya berada hampir dekat dengan kelompok Sonya." Evanora berujar.

"Iya, anak itu beberapa meter di belakang kelompok Sonya," imbuh Damien, "apa yang mau dilakukannya?"

"Woah!" teriak teman Easton dan Noah, "dia mau menggunakan panah? Dia mau apa?"

"Hei, apa adik kalian itu memang bisa menggunakan panah?" timpal Evanora.

"Sebenarnya, dulu pernah, tapi setelah kejadian dia tidak sengaja membunuh seekor kuda karena anak panahnya meleset. Dia jadi agak trauma. Mylo itu, meski kurang di mantra, tapi ayah kami bilang, dia cukup mahir menggunakan berbagai macam senjata," jelas Easton.

"Kami pernah memintanya untuk menggunakan panah lagi, tapi dia menolak, tapi kurasa sekarang keberaniannya sudah terkumpul kembali. Mungkin teman-temannya itu sadar akan kemampuan Mylo," imbuh Noah.

"Wah, wah menarik sekali ceritanya," ujar Evanora, "apakah ini salah satu kekuatan dari pertemanan. Hidup ini memang tidak bisa ditebak ya."

Setelah perkataan Evanora, mereka kembali menatap layar yang menyorot Mylo. Berada di arena pertandingan langsung. Mylo merasakan jika tangannya agak gemetar, tetapi sudah dilawannya mati-matian rasa takut itu.

"Aku tak tahu," gumam Mylo, "dari mana Aalisha sadar jika aku bisa menggunakan panah. Bahkan dia juga sadar jika aku mampu menggunakan tombak." Mylo menggigit bibirnya. "Aalisha itu, terlalu banyak menyimpan rahasia."

Neith mulai menyelubungi tubuh Mylo hingga ke busur dan anak panahnya. Ia mengatur napasnya, berusaha mengurangi rasa tegang dan degup jantung yang tak karuan agar tidak mempengaruhi fokusnya.

Ia bertugas untuk mengadu domba atau mengacaukan kelompok lain, maka ditemukan target yang pas sekali berada di antara musuh-musuh akademi. Sangat sempurna bagi Mylo agar tidak terlibat langsung dalam pertarungan.

Sesaat dia terpikirkan perkataan Aalisha. Gadis itu pernah bertanya pada Mylo apakah ia bisa menggunakan busur atau tidak. Lalu Aalisha meminta Mylo untuk membawa busurnya di hari pertandingan. Awalnya Mylo tak mau karena traumanya masih ada, tetapi Aalisha berujar, "tidak masalah jika meleset lagi, artinya kau masih di tahap belajar. Seseorang di dunia ini tidak akan begitu ahli dalam menggunakan senjata hanya dengan sekali menyentuh. Karenanya aku minta padamu untuk pertama kalinya, maukah kau membawa busurmu di pertandingan nanti?"

Mylo tahu ini gila, tapi Mylo tidak tega menolak permintaan Aalisha. Seorang gadis misterius dan aneh yang pertama kalinya meminta bantuan padahal jika menghadapi kematian sekali pun, Mylo yakini Aalisha takkan meminta bantuan, tetapi kali ini. Maka Mylo tak enak hati untuk menolaknya.

"Ternyata prediksinya benar, jika busur akan digunakan di pertandingan ini," gumam Mylo sedikit tersenyum. "Sebenarnya dia siapa? Aku takkan heran jika dia benar-benar tuan putri kekaisaran Ekreadel."

Mylo mulai membidik anak panahnya, ia sudah tahu ke mana anak panah ini akan ia lesatkan. Kini hanya perlu menunggu waktu yang tepat ketika kelompok Sonya hampir dekat dengan rumah kaca. Jadi Mylo akan melesatkan anak panah ini ke semak-semak atau ke kelompok Sonya, selain itu diujung panahnya, Mylo beri peledak bertekanan kecil sehingga ledakan tidak akan membuat lawan terluka parah hanya suara keras saja yang kemudian memicu para bangsawan itu. Lalu terjadi perkelahian antara mereka.

"Ya, mari mulai ledakannya," ucap Mylo kemudian melepaskan tangannya dari tali busur. Anak panah itu melesat sangat cepat, salah seorang anggota kelompok Sonya yaitu Pevensie sadar jika ada sesuatu yang melesat ke arah. Ia seketika membulatkan matanya, tak punya waktu untuk menghentikan anak panah itu jadi dia hanya menarik ujung seragam Sonya.

"Apaan sih?" Sonya kesal setengah mati.

"Ada panah kemari—"

Suara ledakan terdengar, lalu asap hitam membumbung ke langit. Mereka sontak melompat dari semak-semak, sambil terbatuk-batuk, wajah agak menghitam.

"Bajingan siapa pelakunya!" teriak Revensie.

"Asalnya dari arah sana, kuyakin ada kelompok lain di sana!" ucap Pevensie.

"Gila, akan kuhajar kelompok itu!" Sonya marah besar, meraung seperti seekor singa yang kelaparan. Sayang sekali detik selanjutnya, nyali dan amarah Sonya menciut karena tepat di belakang mereka. Para bangsawan dan pelayan sadar akan kehadiran mereka yang kini musuh-musuh itu siap untuk mengeroyok mereka.

"Kurasa sebelum itu, kita akan mati duluan karena dikeroyok," ujar Riri sudah sangat pasrah.

"Sialan."

Terjadilah pertarungan antara kelompok Sonya dengan musuh mengenakan pakaian bangsawan dan pelayan itu. Pertarungan mereka ibarat opera komedi terlebih lagi pria di dekat rumah kaca yang sedang bermain piano mengubah nada musiknya menjadi nada musik yang penuh kepanikan.

Mylo berlari menjauh dari kericuhan di sana, ia langsung berteriak senang karena tidak menyangka jika rencananya berhasil. Ia menatap busurnya kemudian ia cium busur tersebut penuh dengan kebanggaan, lalu ia berteriak kembali yang kemudian terdiam membisu ketika dua gadis tiba-tiba berada di depannya kemudian menatap Mylo dengan ekspresi terkejut bercampur rasa jijik.

"Apa kau kini mengencani busur itu?" ujar Aalisha.

"Kau sedang apa sih? Tidak tahu apa kalau ada kamera yang sedang menyoroti para peserta," imbuh Anila.

"Aalisha, kau yang menyuruhku membawa busur! Sialan, aku lupa kalau ada kamera di sini!" teriak Mylo panik sekali, sudah hilang citranya di hadapan semua murid Eidothea.

"Bodoh." Aalisha masih saja mengejek.

"Diamlah!" teriak Mylo.

"Hentikan kalian. Kita harus mencari kelompok terakhir atau membantu Frisca dan lainnya," ucap Anila mulai berlari sambil menghubungi cyubes milik Frisca.

"Bantu mereka saja," ujar Aalisha, "setidaknya kita harus setengah jalan mendapatkan mahkota, apalagi setelah dapat mahkotanya harus dibawa ke gerbang kita masuk sebelumnya jika pada akhirnya direbut kembali oleh kelompok lain maka akan gagal juga."

"Aku setuju," timpal Mylo, "kuyakin kelompok tadi akan sadar jika kita mengadu domba merek. Jadi sebelum mereka menargetkan kita, kita harus mendapatkan satu mahkota."

"Baiklah," balas Anila sambil menatap cyubes-nya yang akhirnya tersambung ke cyubes milik Frisca. "Hei, Frisca bagaimana keadaan kalian?!"

Suara di seberang sana terdengar sangat berisik dan riuh, bahkan Anila mendengar suara pedang menghancurkan bebatuan. "Buruk! Di sini buruk sekali! Kami terdesak!"

"Apa yang terjadi?!" teriak Anila.

Mylo memunculkan cyubes-nya yang mendapat panggilan dari Kennedy. "Mylo! Kami butuh bantuan di sini!"

"Bisakah diantara kalian membantu kami!" teriak Gilbert.

"Apa yang terjadi di sana?" ucap Aalisha.

Frisca harus menghindari serangan kapak besar yang hampir saja memotong rambutnya, kini ia berlari kemudian bersembunyi di antara reruntuhan dari patung-patung yang sudah tak berbentuk. "Kami temukan dua mahkota! Satu mahkota di dekat jangkauan kami, ketika hendak kami ambil, kami diserang musuh, para kesatria dan juga pelayan, lalu ada bangsawan yang membawa kabur mahkota yang kami incar ke arah timur."

"Hei dengarkan aku! Kami harus menahan musuh di sini, kalian kejarlah mahkotanya lewat jalan memutar!" teriak Gilbert.

"Kirim posisi kalian!" teriak Anila, "segera, kami ke sana!"

"Tunggu!" cegat Aalisha, "kalian bilang ada dua Mahkota, di mana satunya?!"

"Dibawa kabur juga!" teriak Kennedy di seberang sana setelah berhasil menghancurkan senjata musuhnya kemudian membuatnya pingsan. "Dibawa ke arah utara, tapi mahkota itu diincar kelompok lain, jadi karena itu kami tak mengejarnya. Gilbert awas kepalamu!"

"Sialan! Apa dia berusaha memenggal kepalaku!" teriak Gilbert.

"CEPATLAH KALIAN!" teriak Frisca dan sambungan cyubes mereka terputus.

"Kita segera ke sana, lalu mengejar mahkotanya," ujar Anila sudah mendapatkan lokasi keberadaan Frisca dan lainnya.

"Kita berpisah, kau dan Mylo pergi ke sana. Aku akan mengejar mahkota satunya ke arah utara," ucap Aalisha.

"Kau gila! Jelas-jelas ada mahkota yang bisa kita ambil, untuk apa mengejar mahkota yang kedua. Kau akan dalam bahaya karena kelompok lain mengincar itu." Anila menatap Aalisha.

"Justru itu! Jika kita bertiga menuju lokasi Frisca, maka kelompok lain akan sadar kalau Kita menemukan mahkotanya, lalu pikirkan kelompok lain yang sedang bergerak kemari. Ada kemungkinan juga kita tak bisa mendapatkan mahkota itu jadi kita harus merebutnya dari kelompok lain," ujar Aalisha sudah bersiap untuk pergi.

"Kau pikir aku akan membiarkanmu!" Anila berang, bercampur kekhawatiran.

"Anila percayalah! Mau sampai kapan kau terus menganggapku lemah," ucap Aalisha.

"Dengarkan dia," ujar Mylo sebagai penengah, "Aalisha akan baik-baik saja. Apa yang dikatakannya tadi benar, tetap harus ada rencana kedua."

"Tapi jika kelompok itu bergerombol dan mendapatkan mahkotanya, jangan nekat kau rebut, kau harus janji padaku." Anila mau tidak mau merelakan keegoisan Aalisha.

"Janji." Aalisha langsung berlari pergi.

"Jika kau butuh bantuan, cepat gunakan cyubes-mu, bodoh! Jangan kauanggurkan!" teriak Mylo yang hanya mendapatkan acungan jempol dari Aalisha. "Ayo kita pergi. Anila!"

"Jika Aalisha sampai terluka parah! Kubuat mereka semua berakhir di rumah sakit, aku bersumpah." Anila mengepalkan kedua tangannya. Dari manik mata Mylo, bisa ia pahami betapa gadis itu sangat menyayangi Aalisha. Namun, begitulah pertemanan karena Mylo pun akan melakukan hal yang sama.

****

Aalisha mempercepat larinya sambil mengecek cyubes yang menampilkan peta lokasi Frisca dan lainnya yang menemukan mahkota kedua, tetapi karena sudah dibawa kabur ke arah utara, maka Aalisha bergerak ke arah utara pula. Gadis itu yakin jika kelompok lain yang diketuai oleh lelaki asal Asrama Gwenaelle bernama Jeffrey pasti berhasil mengejar mahkota itu atau malah mereka sudah menuju gerbang untuk menenangkan pertandingan, tetapi tidak ada salahnya berusaha, bagaimana jika takdir berkata lain? Mungkin saja kali ini nasib baik ada pada Aalisha sehingga dia bisa menemukan mahkota itu sebelum kelompok Jeffrey.

Bukankah dalam hidup, setidaknya ada saat di mana manusia akan bahagia? Mungkin nasib baik dan bahagia itu akan diberikan Dewa pada hari ini. Setidaknya Aalisha harus percaya. Sayangnya, ia sendiri yang menolak untuk percaya semua itu.

Aalisha yang hendak berbelok, tetapi kesialan menimpanya karena dari arah jam dua, sihir berupa angin bertiup cukup kencang berhasil mengenainya sehingga gadis itu terempas ke belakang. Belum selesai, satu pedang tajam hampir saja menyayat wajahnya jika tidak lekas Aalisha hindari. Pedang itu kembali diayukan yang sukses mengenai bahu Aalisha, lalu ayunan ketiga digagalkan Aalisha dengan cara dia menarik pedang Aeternitas kemudian menahan pedang yang hampir menggoresnya lagi.

"Mampu juga kau gunakan pedangmu itu, gadis cacat!" Bianca menendang perut Aalisha, lalu Disha muncul dan menyerang Aalisha dengan sihir hingga tubuh gadis itu melayang kemudian menghantam patung-patung, maka hancur lebur lah patung-patung itu, Aalisha memuntahkan darah segar.

"Balasan karena kau membuatku tersengat listrik!" teriak Disha.

Aalisha bahkan belum sempat menyahut karena dari arah lain, pedang tajam lagi hampir menebasnya yang malah mengenai patung hingga terbelah dua. Aalisha lekas menggunakan pedangnya juga yang kini terdengar suara adu pedang yang begitu cepat. Trevor terus menyerang Aalisha tanpa ampun seolah ia hendak mencincang daging.

"Bernai kau ya! Berani kau mengadu domba kami, dasar kotor, trik murahan!" Trevor merapalkan mantra yang serangan pedangnya menghasilkan sayatan berupa angin yang berhasil mengenai beberapa titik tubuh Aalisha hingga gadis itu merasa sakit serta seragamnya mulai sobek.

Lalu Disha berlari sambil mengarahkan tangannya pada Aalisha yang sukses membuat tali lalu menjerat kaki Aalisha. Kini gadis itu ambruk ke tanah, kepalanya membentur sangat keras. Lalu Trevor mengangkat pedangnya, diayunkan ke bawah, berhasil ditahan Aalisha lalu gadis itu merapalkan mantra yang menciptakan sengatan listrik sehingga membuat Trevor maupun Disha menjauh.

Bianca yang kesal, berhasil menerobos sihir Aalisha. Ditarik kerah seragam Aalisha kemudian dipusatkan neith di tangan kanannya, lalu Bianca melempar Aalisha hingga gadis itu hampir menabrak air pancur jika Aalisha tidak menggunakan mantranya. Kini gadis kecil terpojok dengan ketiga musuhnya mengacungkan pedang ke arahnya.

"Rendahan sekali sampai kau berani mengadu domba kami. Perbuatanmu itu membuat tiga anggota kami tidak bisa lanjut lagi!" Bianca sudah berang sekali. Ia tidak terpikirkan jika sejak awal Aalisha berusaha membuat kelompok lain saling bertarung.

"Mengapa marah padaku? Bukankah kelompok Galley yang melukai anggotamu atau anggotamu yang terlalu lemah sehingga melawan mereka saja tidak mampu!"

"KAUUUU!"

"Ada apa ini?" ucap seorang lelaki berambut blond, dia Jeffrey yang di tangannya ternyata memegangi mahkota.

"Dia sudah dapat mahkotanya." Aalisha mengamat-amati lelaki itu yang ternyata bersama dengan anggotanya lengkap.

"Dia sudah dapat mahkota," bisik Trevor pada Bianca.

"Kupikir ada apa, ternyata seekor kelinci yang sedang terpojok oleh para singa." Jeffrey terkekeh pelan. "Menyedihkan." Lalu ia melempar mahkota pada salah satu anggotanya.

"Kami tak punya urusan denganmu," ucap Bianca.

"Aku tahu, aku juga tak mau terlibat denganmu, tetapi beda halnya dengan rakyat jelata ini," ujar Jeffrey lalu beralih pada anggotanya. "Pergilah kalian ke gerbang, serahkan mahkotanya. Aku akan di sini, hendak melihat wajah menyedihkan gadis kecil ini."

"Baiklah, kami pergi," sahut Sean yang memegang mahkota, lalu bersama anggota lainnya, mereka pergi dari sana.

"Jangan lepaskan gadis sialan itu!" teriak Galley yang datang sendirian dengan membawa dua pedang sekaligus. Ia terlihat ngos-ngosan dengan wajah agak memerah. "Kau, dasar sialan! Bagaimana bisa aku terjebak rencana busukmu itu."

"Wah lucu sekali jadi kalian sempat makan jebakannya." Jeffrey berujar.

"Diamlah Jeffrey. Jika kau hanya mengusik, pergi dari sini," sahut Bianca.

"Aku tidak mau, mumpung kita ada di pertandingan. Aku ingin melihat gadis itu membungkam mulutnya yang sombong itu!" ucap Jeffrey mulai melapisi tubuhnya dengan neith.

"Aku juga setuju!" teriak Galley merasa tangannya begitu gatal hendak memberi pelajaran pada Aalisha.

"Baiklah kalau begitu, ini waktu yang tepat untuk memberimu pelajaran!" imbuh Bianca.

"Lucu, kalian bekerjasama untuk mengeroyokku?" ujar Aalisha yang mereka semua semakin mendekatinya.

"Ya, agar setelah pertandingan ini, kau akan sadar, betapa rendahnya dirimu di Eidothea ini!"

Sementara itu di bangku penonton, semua berfokus pada layar yang menampilkan Aalisha sedang terpojok itu. Evanora berdiri dari bangku penontonnya. "Apa-apaan itu! Bagaimana bisa mereka memojokkannya?! Gila! Mereka sama saja sengaja hendak membunuh anak itu."

"Bukankah sama saja dengan trik kotor yang dilakukan olehnya? Rakyat jelata, tetaplah hama yang akan melakukan segala cara demi kemenangan," sahut lelaki yang mendukung kelompok Jeffrey. Ia duduk tidak jauh dari Evanora.

"Itu namanya strategi bodoh," balas Evanora.

"Dasar kau—"

Damien berdiri dari bangkunya. "Sudah cukup pertengkarannya. Evanora sudah, kau juga, Qora. Lagi pula hasil akhir dari pertandingan ini yang akan menentukannya."

Qora malah terkekeh, terkesan penuh ejekan. "Menurutmu bagaimana? Siapa yang akan menang. Wahai Damien Nerezza."

Maka Damien tersenyum tipis, lalu menjawab dengan mantap. "Anak yang kauhina, dia akan menang—"

"LAYARNYA MATI! BISA-BISANYA!" teriak salah seorang penonton.

"Apa? Apa ada kesalahan teknis? Atau kamera di pertandingan rusak?"

"Woylah kenapa malah mati pas kejadian serunya!"

"Tolonglah, lagi adegan seru malah mati kamera pengawas nya!!"

Suara riuh para penonton terdengar melalang buana dan saling sahut-sahutan. Meskipun begitu Damien tidak menghiraukan layar yang mati atau kamera di pertandingan tidak berfungsi, tetapi dia merasakan ada hal buruk yang akan terjadi. "Apa kalian ...."

"Ada yang aneh," sahut Easton.

Noah meraup popcorn-nya lalu berujar, "ada yang datang, tapi terlalu berisik. Aku tidak bisa mendengar---"

Evanora kembali berdiri dari bangkunya. Lalu dengan sihir, ia berteriak kemudian. "DIIAAAAMM!" Suara Evanora benar-benar terdengar ke seluruh bangku penonton yang kini mereka diam serentak sambil menatap pada Evanora. "Terima kasih. Jadi apa yang datang?" Ia menatap Damien.

"Timur, dari arah bangku timur," ujar Damien.

Sedetik selesainya ucapan itu, di bangku timur terdengar kericuhan dan bangku di sana hancur lebur bersamaan suara keras serta angin kencang bertiup. Para penonton berhamburan turun dari tribune karena kini bangku di sana seolah dihancurkan dengan palu besar, maka satu per satu hancur serta kayu-kayu yang dihancurkan itu berterbangan hingga jatuh hampir menimpa beberapa murid, untung saja mereka bisa membuat selubung pelindung.

"SERANGAN! ADA MONSTER MENYERANG!" teriak salah seorang murid.

"SEMUA KABUR DARI SINI, ADA PASUKAN MONSTER MENYERANG!" Seorang murid berteriak lagi.

"Kabur! Turun dari tribune!" teriak Noah.

"Semua pergi dari sini!" Easton mengomando.

Lima belas menit sebelum kericuhan terjadi di bangku penonton. Seorang wanita dibalut jubah melangkah melewati penjaga akademi yang berhasil dia lumpuhkan. Wanita itu memiliki rambut putih dengan ujung rambutnya berwarna biru muda hampir hijau, panjang rambutnya melebihi lutut. Ia mengenakan pakaian putih gradasi biru dengan tongkat panjang dibawanya. Dia adalah Orly yang bertugas melumpuhkan para penjaga yang menjaga keamanan barrier akademi Eidothea. Maka wanita itu menonaktifkan barrier pendeteksi di akademi ini.

"Sudah kulakukan, Masterku," ujar wanita bernama Carol.

"Bagus, kau menjalankan tugasmu dengan baik, aku bangga padamu," ujar Zahava yang berada di bagian lain Prairie Lynx Woods, kini di hadapannya ada banyak monster dengan tubuh besar, mata merah, napas cukup panas yang masih dikekang segel rantai jadi belum bisa bergerak bebas.

Zahava tersenyum tipis, ia mengangkat kedua tangannya yang muncul tanda berupa rune di kedua punggung tangannya itu. "Kalian akan kubebaskan, jadi bersenang-senanglah, tapi jangan lupakan misi kalian lalu bunuh anak cacat yang kuperintahkan!" Maka rune di punggung tangan Zahava bersinar terang, bersamaan rantai yang mengekang monster itu menghilang, dan kini para monster berlari menuju kastil Eidothea serta sebagian menuju arena pertandingan.

"Nikmati pertunjukannya semua," ujar Zahava.

Kembali ke masa kini berada di arena pertandingan. Aalisha terpojok oleh para musuhnya yang punya dendam tersendiri. Aalisha sudah menduga jika di antara mereka pasti ada yang mencari kesempatan di pertandingan ini untuk melampiaskan dendam mereka pada Aalisha, tetapi tak Aalisha sangka jika akan sebanyak ini.

Sebenarnya masalah apa yang Aalisha perbuat sampai banyak yang membencinya?

"Kuyakin kalian tak serius padaku? Bukankah ada aturan tak tertulis agar tidak membunuh peserta terutama karena masalah pribadi?" ujar Aalisha.

"Iya, tapi tak ada aturan untuk tidak boleh membuat peserta lain masuk rumah sakit," sahut Galley.

"Lagi pula mana kesombonganmu sebelumnya yang berkata jika kau bisa mengalahkan lima kelompok seorang diri?" ucap Bianca, "tunjukkan sekarang juga! Aku ingin lihat."

"Sombong sekali, tak kusangka dia meremehkan kita semua," ujar Jeffrey, "karena aku sudah kesal, jadi biar aku yang akan---"

"TOLONG!! TOLONG AKU. SIAPA PUN ITU TOLONG AKU! JEFFREY TOLONG AKU!" teriak salah seorang anggota Jeffrey yang kini mereka semua menatap ke arah rumah kaca yang runtuh dan hancur tak bersisa karena ditabrak oleh sesuatu. Teman Jeffrey itu terkapar di tanah dengan cukup bersimbah darah.

"Andree!!" teriak Jeffrey hendak mendekati temannya, tetapi langkahnya terhenti karena merasakan tanah yang mereka pijak kini bergetar hebat.

Bianca menatap pada bebatuan di dekat kakinya yang bergetar juga, begitu pula air pancur yang kini terlihat sekali airnya ikutan bergetar seolah sesuatu yang besar sedang menuju ke arah mereka.

"Aku punya firasat buruk," ucap Disha.

"GRRROOAHHHHHH." Raungan yang sangat keras itu membuat mereka semua termasuk Aalisha menutup telinga.

"Bajingan, monster, itu monster!" teriak Trevor.

Di hadapan mereka semua, datang makhluk yang tingginya hampir mencapai dua meter, tubuh besar, kekar, dan berotot, hampir menyerupai tubuh manusia. Kulit makhluk itu cokelat tanpa ada bulu yang tebal, memiliki kepala banteng, mata merah menyala serta tanduk yang menjulang tinggi. Makhluk itu mengenakan baju zirah di sekitaran pinggang hingga tumitnya. Lalu di punggungnya membawa kapak besi sedangkan tangan kanannya menggenggam pedang besar.

"Sialan, apa itu minotaur?" ujar Galley.

"Mungkin itu salah satu musuh yang disiapkan pihak akademi," ucap Disha.

"Bodoh," balas Bianca, "mana ada minotaur di pesta minum teh!"

"GRRROOOOAAAHHHHHH." Raungan minotaur itu terdengar semakin kencang beserta napasnya mengeluarkan api.

"Kurasa ada," ujar Aalisha mengeratkan genggaman pada pedangnya. Suaranya dapat terdengar oleh peserta lain di dekatnya. "Jika penyihir jahat, berniat membinasakan kita semua, maka itu bisa terjadi."

Lalu Aalisha tersenyum tipis. "Ini buruk sekali, takdir para Dewa yang sialan."

Maka dimulailah pertandingan yang sesungguhnya, pertandingan antara hidup dan mati.

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

Keahlian Aalisha: Ngajak berantem.

Wah tak disangka-sangka, penyerangan pasukan minotaur ke Eidothea, akankah banyak korban jiwa? Lekas kenakan pakaian hitam kalian untuk menghadiri pemakaman.

Hiatus kali ya gue, pas banget chapter seru-serunya, terus gue gantung kalian semua^^

Prins Llumière

Sabtu, 04 Februari 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top