Chapter 54
|| Vote 40 dan komentar 30
Di ranjang inilah, Aalisha terdiam menatap koran putih kala gemuruh petir di luar sana saling bersahutan. Gadis itu membiarkan rambutnya terurai dan berantakan, tetapi tidak membuat kesan gadis itu urakan, malah dia seperti boneka anak-anak yang baru selesai dipahat dengan alat-alat paling bagus serta dipoles hingga mengkilap, hanya tinggal memberinya benang agar gadis itu bisa bergerak dan berakting layaknya permainan boneka di pertunjukan jalanan.
Gemuruh petir menggelegar, membuat kamar Aalisha seketika bersinar karena kilatan petir itu. Perlahan tangan kurus dan kecil Aalisha menyentuh ujung halaman koran, dibaliknya, manik matanya menelusuri setiap kalimat hingga berhenti di salah satu kalimat. Koran ini adalah Lè Ephraim, baru-baru ini sang pengarang mengkritik tentang seorang bangsawan Viscount yang ketahuan memiliki hubungan rahasia dengan seorang wanita penyanyi di opera penghibur, lalu berita tentang perebutan tambang berlian yang dimenangkan oleh seorang Count, berita lain mengenai perbuatan tak terpuji seorang bangsawan yang memperjual-belikan budak berupa wanita hamil yang menjanda. Namun, semua masalah sepele itu tidak menarik bagi Aalisha. Hingga ketertarikannya terhenti pada salah satu berita paling utama dan terjadi baru empat hari yang lalu.
"Tertangkapnya Phantomius yang berusaha menjarah harta pusaka milik salah satu keluarga Marquess," ucap Aalisha tersenyum tipis karena meskipun penjarahan itu gagal dan sang Phantomius sudah di penjara, tinggal menunggu keputusan hakim, tapi tetap saja, jika keberadaan organisasi itu kembali bergerak setelah hampir setahun tak ada pergerakan lagi.
"Aku penasaran, harta pusaka apa yang hendak mereka curi." Aalisha mengamat-amati surat kabar tersebut, berpikir bertahun-tahun sekali pun takkan menjawab pertanyaannya karena di dunia ada jutaan harta pusaka. "Kenapa mereka kembali setelah setahun menghilang?"
Kilatan petir terlihat kembali, membuat kamar Aalisha bercahaya sesaat karena sejak tadi, gadis itu membiarkan jendela kamarnya terbuka, sedikit juga gorden kamarnya basah. Ia menatap keluar jendela, menerawang jauh, mencari setitik jawaban. "Aku tak perlu pergi jauh ke tempat kejadian untuk mencari jawabannya. Para Phantomius itu ibarat umat agama sesat, jadi di setiap wilayah pasti ada pendosa seperti mereka."
Aalisha turun dari ranjangnya, meraih sepatunya lalu ia kenakan, dijentikkan jarinya yang membuat jendela di kamar itu tertutup rapat. Perlahan ia membuka pintu kamar yang di luar, area koridor terasa sama dinginnya seperti di luar kastil, tetapi lebih hening, agak mencekam. Lampu-lampu di sepanjang koridor ini tidak begitu terang, bahkan beberapa berkedip-kedip entah karena tak diganti atau terdistraksi cuaca buruk di luar, mana yang betul, Aalisha tak peduli. Karena pada detik ini, ia melangkah pelan di sepanjang koridor, hanya suara langkah kakinya saja yang terdengar, betapa cocok sekali ia menjadi pemeran dalam adegan novel horor. Barangkali menjadi pemeran utama yang tertarik dengan hal-hal mistis atau malah menjadi hantunya?
Tujuannya adalah pintu yang mengarah pada salah satu balkon di kastil asrama Arevalous. Ternyata terkunci rapat, maka diarahkan telunjuk kanannya ke lubang kunci, dirapalkan mantra, kini terbukalah pintu tersebut bersamaan angin dingin menerpa. Aalisha melangkah lalu menutup pintu tersebut, suara berderit terdengar. Berada di luar, hawa dingin menjalari seluruh tubuh Aalisha terutama lengan dan lehernya. Ia berhenti, meletakan kedua tangannya di atas pembatas balkon, kemudian bersandar di sana.
Gelap dan mencekam adalah dua kata paling cocok untuk menggambarkan pemandangan yang Aalisha lihat, tetapi ia sudah terbiasa. Bahkan jika ia dijatuhkan ke jurang sekali pun, ia takkan takut. Kini mata hitamnya bergerak, mencari-cari di tengah kegelapan, bahkan ia memanggil-manggil nama yang harusnya tak ia panggil karena bagi orang lain apa yang dilakukan Aalisha adalah hal gila dan mengerikan.
"Datanglah, aku memanggilmu, hantu yang waktu itu kulihat bersama Easton dan Nathan." Aalisha mengangkat tangannya, muncul cahaya kecil yang dapat melayang, sebagai penerangan kecil untuk Aalisha.
"Ayolah, hantu, hantu, datanglah, aku mencarimu. Maaf ya aku tak tahu harus memanggilmu dengan nama apa, tapi serius aku ingin bertemu denganmu," ujar Aalisha sedikit menaikkan volume suaranya, tapi tetap kalah dari suara hujan dan gemuruh petir. Namun, hampir sepuluh menit Aalisha berada di sana, tidak ada tanda-tanda hantu yang ia maksudkan menampakkan dirinya.
Mengetahui ini, Aalisha tak kecewa, ia malah menyeringai. "Baiklah jika kau tak mau muncul, tak masalah, sayangnya ini kesempatan terakhirmu," ucap Aalisha langsung melenggang pergi dari sana. Malam itu, gemuruh petir terus bersahutan hingga subuh di hari baru. Paginya, matahari bersinar sangat cerah seolah semalam tidak pernah ada hujan badai yang mengusik mimpi setiap murid.
****
"Apa kau pernah tersenyum?" Suara itu berasal dari Elijah, si penjaga kuil yang sedang berbaring, tapi melayang-layang di udara. Dia lalu menatap pada Aalisha yang baru selesai mengikat benang merah di tiang. Gadis itu lalu mendongak, menatap Elijah kemudian tersenyum seperti yang diminta Orly itu.
"Lihat, aku tersenyum sekarang ini," sahut Aalisha, tetapi Elijah menggeleng cepat.
"Bukan! Bukan senyuman seperti itu, kau memaksakan senyumanmu, jika pun kau tersenyum, kau tersenyum hanya sebagai pencitraan saja, itu bukan senyuman yang ingin kulihat," oceh Elijah dengan wajah memerah karena kesal. Betapa ia mudah sekali berekspresi, tidak seperti lawan bicaranya itu.
"Kau banyak bacot ya, yang penting aku bisa tersenyum," balas Aalisha.
"Ahhhh, kau payah, kau tersenyum hanya sebagai pencitraan saja, aku tak suka itu."
"Payah kau bilang?!" Suara Aalisha meninggi. Hanya karena Aalisha sering berkunjung ke kuil ini, tak masalah pula Elijah mengoceh panjang lebar di dekatnya, bukan berarti Orly itu bisa berlaku seenaknya bahkan mengata-ngatai Aalisha. "Sebenarnya apa yang kau maksudkan sih? Yang penting aku bisa tersenyumkan!"
Elijah perlahan turun, melangkah ke depan Aalisha, menatap gadis bermanik mata hitam itu. "Kau memang tersenyum, tapi kau tidak tulus, senyumanmu hanya pencitraan saja, mudahnya, kau tersenyum karena sudah terbiasa memaksakan senyuman. Tersenyum sebagai formalitas."
Aalisha menggeleng pelan, ia merasa perkataan Elijah lucu sekali. Meskipun seperti anak kecil, nyatanya Elijah sudah berumur puluhan tahun, jauh lebih tua dari Aalisha, lalu mengapa sifatnya seperti anak berusia delapan tahun yang mempermasalahkan senyuman. "Jadi apa kau mau berkata jika aku seperti boneka yang sudah diatur kapan untuk tersenyum, karenanya senyumanku tidak tulus?"
Elijah malah tersenyum tipis. "Kalau itu yang kumaksudkan, bagaimana?"
"Maka jika kau memintaku untuk tersenyum seperti yang kauinginkan, aku takkan menurutinya."
"Karena apa?" ucap Elijah, berbalik menatap Aalisha yang sudah melangkah hendak keluar dari kuil ini. "Apa karena kau tak mau atau kau tidak tahu caranya? Nona Aalisha, sebanyak apa topeng yang kau gunakan dalam hidupmu?"
Sebenarnya sikap Elijah yang ini, hampir sama menyebalkannya dengan Finnicus si Orly gila dan biadab milik Eloise Clemence. Namun, entah mengapa, Aalisha tidak sama sekali merasa kesal mendengar perkataan Elijah, malah merasa lucu sekali.
"Elijah," panggil Aalisha, "harus kau ketahui, jika manusia punya banyak topeng yang ia kenakan di depan manusia yang berbeda dan situasi yang berbeda pula." Maka lekas gadis itu berbalik, menyibak jubahnya, lalu melenggang pergi meninggalkan Elijah yang menatap punggung Aalisha.
"Nona Aalisha!" teriak Elijah, meski Aalisha mendengarnya, tetapi ia tak berhenti jadi Elijah berujar kembali. "Semoga, kau menemukan seseorang yang membuatmu melepaskan topeng itu sehingga kau bisa tersenyum dengan tulus!"
Aalisha malah menggeleng, bergumam, "omong kosong. Hal itu takkan pernah ada."
Elijah kembali berteriak, "aku berdoa untukmu loh, paling tidak, kau harus menerima doaku, katakan dalam hati saja! Aamiin!"
Hingga pergi dari sana, hingga tak ia dengar lagi suara Elijah, Aalisha tak menerima dengan sepenuh hati doa dari Elijah. Sepatu hitamnya terdengar menelusuri koridor kastil Eidothea, melewati beberapa murid yang sedang berkumpul, melewati setiap kelas yang sedang berlangsung pelajaran, ia tak ikutan menyapa para profesor padahal murid lain berhenti sebentar untuk sekadar mengucapkan salam.
Satu hal yang membuat langkahnya berhenti, berada di depannya sebuah taman kecil di dalam kastil, taman yang waktu itu pernah ia datangi dan pertemuan dengan profesor Eugenius. Di tengah taman, terdapat pilar yang menjadi tempat minum burung. Suara kicauan burung Amadeo terdengar, hinggap di pilar tersebut untuk meminum air, tak disangka jika ada anak-anak burung yang ikutan minum di sana.
Cyubes Aalisha muncul. Terdengar suara Anila berbicara dari cyubes tersebut. "Aalisha kau di mana? Sudah selesai berdoanya? Kami habis dari kantin rumah pohon, hendak ke koridor yang sejalan dengan kuil yang kau kunjungi."
"Ya, aku sudah selesai. Aku akan menemui kalian."
"Baiklah hati-hati, kudapat informasi kalau kelas agak dimundurkan 15 menit, jadi tak perlu terburu-buru," ucap Anila, kelas hari ini adalah kelas biologi.
"Ya." Aalisha memutus sambungan cyubes-nya, menyibak jubahnya, lalu melangkah pergi dari sana untuk menyusul yang lain.
Selama melangkah di koridor yang tidak sepi-sepi banget itu, Aalisha kebanyakan melamun dengan isi pikirannya entah melayang-layang ke mana. Dia merasa jika degup jantungnya tak beraturan, agak sesak juga, perasaannya tidak nyaman, sedikit gelisah pula dia. Apakah ini sebuah firasat buruk? Tidak, Aalisha tidak mau mempercayai firasat, apalagi ia selalu berpikiran buruk, bisa jadi ini hanyalah pemikirannya saja. Lagi pula, hal buruk apa yang membuatnya jadi khawatir? Sudah sering kejadian buruk menimpanya, kesialan selalu bertamu, tapi dia sudah terbiasa dengan semua itu. Jadi tak masalah.
Ya, tidak masalah jika hal buruk menimpanya karena ia sudah biasa. Namun, kegelisahan ini, tidak seperti biasa. Dari mana asalnya?
Di kejauhan, dia melihat Anila celingak-celinguk serta beberapa manusia lainnya, maksudnya Mylo, Frisca, Gilbert, oh ada juga Kennedy, sekarang lelaki Sylvester itu suka mengikuti mereka. Baiklah mereka semua ada di hadapan Aalisha, tak kurang satu pun, tak terlihat pula pembunuh berantai menargetkan mereka. Biasanya dalam novel atau opera tragedi yang Aalisha tahu, firasat buruk akan hadir jika manusia atau teman di sekitar tokoh utama dalam bahaya, maka dimulailah kejadian konflik yang menguji tokoh utama itu. Namun, mereka terlihat baik-baik saja 'kan? Jadi tak ada hal buruk akan menimpa mereka.
Andai pun hal buruk menimpa, mengapa Aalisha harus peduli? Mereka bisa menjaga diri mereka sendiri. Aalisha tidak harus menggunakan perasaan atau susah payah menggunakan empati untuk manusia lain. Semua itu melelahkan. Berempati sangatlah melelahkan.
"Oh akhirnya, hampir kupikir kau hilang atau tersesat," ujar Anila lalu memperhatikan Aalisha dengan saksama.
"Apa, kenapa melihatku begitu?" tanya Aalisha tak suka tatapan Anila.
"Wahhh, tumben," sahut Mylo ikutan nimbrung sambil berkacak pinggang.
"Apa sih?!" Aalisha jadi kesal, seolah ada sesuatu di wajahnya karena Gilbert, Frisca, dan Kennedy juga ikutan menatapnya.
Anila tanpa izin dan permisi lekas mengusap pelan puncak kepala Aalisha, lekas ditepis tangan Anila dengan kasar bahkan gadis kecil itu memberikan tatapan sangat tajam. "Jangan seenaknya menyentuhku, lagian kenapa kalian menatapku segala?!"
"Kau ini, tidak biasanya pakai marajha," ujar Anila tersenyum simpul.
Mendengar perkataan Anila, Aalisha memunculkan cyubes, lalu melihat pantulan dirinya di cyubes tersebut. Seperti yang dikatakan Anila serta kesadaran lainnya jika di dahi Aalisha ada marajha yang meski tak merah, tetapi masih terlihat jelas kalau dari dekat. Sialan, siapa yang memberikan marajha di dahi Aalisha? Apakah Elijah? Kapan Orly kurang ajar itu memberikan marajha, sangat tidak sopan!
"Bukan aku yang mau!" sahut Aalisha kesal karena tawa Mylo dan Gilbert, bahkan Kennedy ikutan nyengir. "Sialan, diamlah kalian semua!"
"Oke-oke, sudah, nanti kita terlambat. Gak usah malu Aalisha, marajha juga bagian dari upacara doa, meski cuma sunnah." Frisca berujar dengan menahan senyum, karena marajha di dahi Aalisha agak berantakan. Entah bagaimana gadis kecil itu menorehkan marajha itu di dahinya.
"Kau mau menggunakan ini? Berdoa saja jarang!" balas Aalisha.
"Jelas sih, aku tak mau karena mencolok kalau digunakan," sahut Frisca.
"Sialan kau." Aalisha berusaha menghilangkan marajha di dahinya dengan ia usap menggunakan punggung tangan.
"Jangan Aalisha, sudah biarkan saja," balas Anila menghentikan tangan Aalisha.
"Ayo ke kelas," ucap Mylo, "sudah Aalisha, nanti saja dihilangkannya."
Umpatan berulang kali diperuntukan pada Elijah adalah hal yang Aalisha lakukan pada detik ini. Aalisha kesal setengah mati karena berani sekali Orly itu mengoleskan marajha di dahinya, tanpa izin pula! Padahal Elijah paling tahu jika marajha adalah hal sakral, jadi tidak sembarangan orang bisa memberikan marajha di dahi orang lain, tetapi apa-apaan Elijah itu?
Berada di kelas Aalisha bukannya tenang dan melupakan sesaat akan marajha ini, kekesalannya malah semakin memuncak karena marajha ini menarik perhatian murid lain untuk menatapnya dan mulai bergosip tentangnya lagi. Aalisha hendak bersabar, tetapi ia tidak bisa, jadi ia berdiri dari kursinya dan lekas keluar kelas sebelum profesor Solana memasuki ruangan.
"Mau ke mana?" teriak Anila.
"Membasuh marajha ini," sahut Aalisha, pergi meninggalkan ruangan itu.
"Jangan kelamaan, kelas mau dimulai," teriak Mylo, tapi tak digubris Aalisha.
Takdir bagi manusia sering bermain-main, maka manusia haruslah bersiap dalam segala keadaan yang takkan terduga. Kalimat itu adalah salah satu potongan kalimat dari kitab para Dewa yang bermakna jika ujian dan cobaan akan datang di waktu yang tak terduga, bahkan tanpa peringatan.
Hanya saja, beberapa manusia sepertinya diberikan ujian adalah sebagai hukuman, mungkin karena diam-diam para Dewa membenci manusia itu? Lebih tepatnya membenci Aalisha.
Langkah yang terburu-buru menyusuri koridor itu membuat Aalisha tidak fokus pada orang-orang yang melewatinya, hingga hampir menuju toilet yang menjadi tujuannya. Ia merasakan perasaan aneh menyeruak kembali, mengelilinginya, membuatnya jadi gelisah. Lalu melalui manik matanya yang hitam itu, ia jelas sekali melihat seseorang yang tinggi semampai, wajahnya tak terlihat karena tertutupi tudung, seseorang itu mengenakan jubah hitam pekat dan begitu saja melewati Aalisha dengan langkah yang pelan sekali, seolah sengaja agar Aalisha sadar akan kehadirannya.
Sontak Aalisha menghentikan langkahnya, kini koridor tempat Aalisha berada itu tiba-tiba kosong, tak seorang murid pun lewat, barangkali karena kelas sudah dimulai semua atau karena hadirnya sosok berjubah hitam itu? Namun, Aalisha tahu benar jika sosok berjubah itulah yang sejak tadi membuat dada Aalisha berdegup tak karuan dan ia gelisah. Maka, lekas Aalisha berbalik, ia tatap sosok berjubah hitam yang langkahnya semakin cepat.
"Hei!" teriak Aalisha langsung berlari mengejar sosok berjubah hitam itu yang ternyata sudah berlari duluan, berbelok pula ke koridor yang menuju area koridor yang semakin sepi karena tidak ada ruangan kelas di sana.
"Bajingan, berhenti kau!" Aalisha tak menyangka jika lari dari sosok berjubah hitam itu sangat cepat. Lalu sosok berjubah itu sengaja membawa Aalisha jauh dari keramaian, melewati koridor-koridor yang semakin sepi. Hingga sosok berjubah itu menghilang di belokan terakhir.
"Sialan!" umpat Aalisha, kembali berlari dan masih mencari-cari ke mana sosok berjubah itu menghilang. Pasti masih ada di sekitar sini, mustahil menghilang seperti hantu begitu saja.
Di salah satu koridor yang benar-benar sepi, ia melihat seorang pria berdiri di sana, sedang menghadap pada taman dalam kastil, pria itu menengadahkan tangannya lalu hinggap seekor burung hitam, sepertinya gagak. Dari pria itu, tercium aroma kayu-kayuan yang bercampur kacang almond, ia mengenakan pakaian bangsawan yang cukup mewah, jubahnya hampir menyentuh tanah. Sangat Aalisha kenali siapa pria itu terlebih ketika ia berbalik karena sadar jika Aalisha sedang menatapnya.
"Kau," ucap Aalisha yang tidak peduli pada sopan santun di hadapan pria yang menjadi salah satu profesor yang mengajar di angkatan tahun keempat itu. "Apa yang kau lakukan di sini, Profesor Dommi Erick Zahava?"
Zahava perlahan menggerakkan tangannya yang hinggap seekor burung gagak itu hingga di hadapan Aalisha. Lalu pria itu tersenyum simpul. "Bukankah harusnya aku yang bertanya? Mengapa kau di sini, Nona Aalisha, bukankah kelas sudah dimulai? Apa kau berniat untuk membolos? Itu tindakan yang tidak terpuji."
"Aku tidak perlu nasihatmu. Aku hanya ingin jawaban, mengapa kau ada di sini?" Aalisha menekan setiap kata yang diucapkannya. Ia juga sengaja tak berbicara sopan pada pria yang sejak tadi memancarkan aura buruk dan mengerikan.
"Haruskah aku menjawabnya? Nona, tidak baik untuk penasaran pada urusan orang lain." Zahava masih keras kepala. Ia sengaja untuk mengalihkan pembicaraan.
Hal itu membuat Aalisha mengepalkan kedua tangannya dengan kuat. "Kau harus menjawab pertanyaanku atau aku akan berteriak, memberitahu semua orang jika kau berusaha melecehkanku."
Di luar dugaan, pria itu malah tertawa, tawa yang membuat Aalisha bergidik ngeri. Sialan, bagaimana pun juga, pria ini sangat mengerikan dibanding profesor Aragon. "Kau berani melakukannya? Apa kau berpikir, aku tidak mampu membuatmu tutup mulut? Berhenti bermain-main Nona Aalisha."
Aalisha menatap nyalang profesor Zahava. "Tutup mulut. Kau berpikir aku selemah yang orang-orang katakan? Aku memang cacat, tapi kau takkan pernah bisa menyentuhku, barang seujung kulit pun."
Gadis itu semakin mendekat pada Zahava. "Jadi jawab aku, Profesor Zahava."
"Apa kau tak khawatir?" sahut Zahava.
"Sudah kukatakan, jika kau takkan bisa menyentuhku."
Pria itu kembali tersenyum, lalu agak membungkuk agar suaranya bisa terdengar sangat jelas di telinga Aalisha. "Nona Aalisha, hal yang ingin kukatakan adalah kau tidak perlu mengkhawatirkan dirimu, karena sepertinya, ada 'seseorang' yang jauh lebih perlu kau khawatirkan karena sepertinya dia akan segera menemui kematiannya. Cepatlah, selamatkan dia, jika kau mampu."
Mendengar perkataan profesor Zahava membuat manik mata Aalisha membulat, degup jantungnya berdebar kencang, napasnya memburu, kegelisahan menyeruak, sontak gadis itu langsung berlari dari sana dengan sekuat tenaga. Sedangkan Zahava menatap Aalisha penuh kemenangan, pria itu tertawa sangat kencang.
"Kasihan sekali, kasihan sekalian gadis cacat itu!" ucap Zahava, "mari lihat bagaimana dunia menghakiminya."
****
Jubah Aalisha sedikit berterbangan, ia mempercepat larinya, suara sepatu yang tak beraturan menginjak lantai koridor itu semakin terdengar. Aalisha tidak peduli jika ia beberapa kali menabrak tubuh murid lain, bahkan membuat mereka marah dan mengumpat pada Aalisha. Dia juga tak sadar melewati Nicaise yang sedang mengobrol dengan temannya, membuat lelaki itu jadi menatap pada Aalisha. Bahkan parahnya, dia hampir menabrak Eloise Clemence yang baru dari latihan pedang, hal ini membuat Eloise menatap pada Aalisha.
"Apa-apaan anak itu, gila sekali, seperti dikejar setan," sahut teman Eloise dengan rambut merah.
"Itu dia 'kan?" ucap Nathalia agak bingung.
"Ya," ujar Eloise tersenyum kecil, "baru kulihat wajah khawatir dan gelisah gadis itu. Ternyata dia bisa membuat ekspresi seperti itu juga." Lalu Eloise dan Nathalia serta temannya lagi, kembali berjalan hendak menuju kelas.
****
Aalisha tak tahu apa yang direncanakan Zahava, tetapi kegelisahan ini terasa begitu kentara. Membuatnya rela berlari dari ujung koridor ke ujung koridor lainnya bahkan ia tak peduli menabrak murid lain, atau hampir terjatuh karena tersandung, lalu lekas menyeimbangkan tubuhnya agar benar-benar tidak ambruk ke lantai.
Ia sudah mencoba menghubungi Anila, tetapi tidak tersambung cyubes mereka. Ada kemungkinan jika Anila sengaja mematikan cyubes-nya karena kelas sedang berlangsung. Meskipun Aalisha tak tahu rencana busuk Zahava, tetapi firasatnya sangat tahu membawa tubuh Aalisha hendak ke mana. Jadi gadis itu semakin mempercepat larinya ketika memasuki koridor yang sebelumnya ia lewati, koridor yang tadi pagi ia datangi, koridor yang mengarah ke kuil paling jauh di akademi ini sehingga jarang ada yang mengunjunginya. Ya, tujuan Aalisha adalah kuil yang sering ia kunjungi untuk menghaturkan doa-doa meski tidak dijawab para Dewa. Kuil di mana Elijah si Orly banyak oceh berada.
Banyak yang berkata jika berharap pada selain Para Dewa dianggap sia-sia dan terkadang menyakitkan, jadi Aalisha berharap pada Dewa saja meskipun hidupnya masih dikutuk para Dewa hingga detik ini. Meskipun begitu, mengapa takdir selalu menyakitkan untuknya? Mengapa segala yang Aalisha sayangi, selalu direnggut begitu saja? Bahkan hal sederhana yang menjadi favoritnya juga direnggut dengan mudahnya. Mengapa sekali saja, Aalisha tidak dibiarkan untuk menjaga dan mempertahankan apa yang ia sayangi?
Belum sampai di kuil tersebut, langkah Aalisha menjadi pelan karena ia melihat cahaya kemerah-merahan tengah berkobar, banyak sekali abu berterbangan. Hawa panas terasa hingga menyentuh kulitnya. Sesak memenuhi dadanya karena asap kebakaran yang begitu tebal.
Dia terdiam membisu, lidahnya kelu, ia hanya menatap asap yang semakin tebal yang memenuhi koridor ini. Tanpa berpikir panjang, lekas ia berlari ke dalam asap tebal itu, tak peduli betapa sesak napasnya karena menghirup asap dan ia kekurangan oksigen, matanya menjadi perih. Ia berusaha menerjang hingga benar-benar sampai di depan pintu masuk menuju kuil.
Langkahnya kembali terhenti karena terdengar suara kobaran api yang melalap dinding kuil, kobaran api itu benar-benar membakar kuil hingga melalap semua yang ada di dalam kuil tersebut; meja-meja di sana, lampu gantung, lilin, tiang benang merah diikat, kotak benang merah beserta isinya, wadah marajha disimpan, hingga patung Dewa yang ada di kuil ini pun dimakan api. Semuanya musnah ditelan sang jago merah, tak bersisa, asap-asap hitam saja yang membumbung ke langit kuil.
Di tengah kobaran api, Aalisha yang terdiam itu tersadar jika tidak hanya kuil itu saja yang terbakar, tetapi di dalam sana terdapat seorang Orly dengan pakaian sebagian hancur, wajahnya agak menghitam karena terkena abu kebakaran, penuh luka bakar, serta terbaring tak sadarkan diri.
Elijah, satu kata itu terucap di dalam hati Aalisha yang lekas dia berlari ke dalam kuil, menerobos kobaran api sehingga membuat jubahnya terkena kobaran api itu, bahkan wajahnya jadi ikutan terkena bercak hitam akibat abu kebakaran. Percuma ia menggunakan mantra karena api ini terlalu besar, kekuatannya takkan berhasil, jika pun berhasil maka bisa saja ia sudah dimakan api sebelum mantranya memadamkan seluruh api di kuil ini. Maka lekas ia buka jubahnya, di lempar ke sembarang arah, lalu ia menyeret tubuh Elijah karena Orly itu tak kunjung sadarkan diri.
Suara pekikan terdengar karena api dari langit-langit kuil jatuh ke pundak Aalisha, leher gadis itu jadi terkena luka bakar, ia semakin cepat menyeret tubuh Elijah, napasnya semakin tak beraturan, keringat membasahi tubuhnya. Hingga ia benar-benar berhasil membawa tubuh Elijah keluar dari kuil tersebut. Aalisha terkapar di lantai dengan suara napas memburu, dadanya sangat sesak.
Tak punya waktu mengkhawatirkan dirinya, Aalisha bangkit lalu mengecek keadaan Elijah. Meskipun Elijah adalah roh, tetapi ia masih punya sistem organ tubuh layaknya makhluk hidup lain. Diperhatikan oleh Aalisha, dada Elijah tidak naik-turun, begitu juga ketika Aalisha mengecek napas Elijah yang tidak terasa sedikit pun. Orly itu tidak bernapas lagi. Elijah sudah mati? Orly itu mati?
Dengan tangan kecil Aalisha, dia menyentuh leher Elijah yang malah terasa dingin, bahkan disentuh ke tangan hingga dahi Elijah pun sama, terasa begitu dingin. Seharusnya tidak begini. Bagaimana mungkin sedingin ini? Ada yang aneh, ini tidak normal. Elijah tidak mungkin mati dengan mudah hanya karena menghirup asap kebakaran. Tidak mungkin terjadi terkecuali ada seseorang yang sengaja membuat Elijah seperti ini.
"Dia disihir, seseorang menyerangnya dengan sihir, tapi siapa?" gumam Aalisha yang tidak sadar jika ada beberapa langkah kaki berlari ke arahnya, menerobos pula kabut asap yang menyesakkan pernapasan. Hingga terlihat beberapa penjaga kastil Eidothea yang disusul oleh tuan Derry.
"Oh Dewa! Jagad Dewa! APA YANG TERJADI DI SINI!" teriak tuan Derry, pria tua dengan rambut berantakan, serta membawa seekor anjing. Pria ini pernah Aalisha lihat ketika perjalanan pertama kali ke Eidothea. Pria yang mengurus barang-barang para murid ketika keberangkatan dengan kereta kuda.
Tuan Derry menatap Aalisha dengan nyalang. "Kau, apa yang kau perbuat?!" Ia lalu menatap para penjaga yang datang bersamanya. "Apa yang kalian tunggu, lekas padamkan api itu!!"
Maka para penjaga lekas memadamkan api yang membakar kuil tanpa butuh waktu yang lama, mereka juga menggunakan sihir yang menciptakan pentagram sihir kemudian menyerap asap-asap yang memenuhi koridor ini. Setelah kebakaran dikendalikan, dari setiap arah koridor, berdatangan pula para murid Eidothea yang secepatnya kemari karena mendengar keributan serta asap hitam yang memenuhi koridor.
"Apa yang terjadi di sini?" ujar profesor Solana berada di antara gerombolan murid-muridnya, ia terkejut bukan main. "Tuan Derry, apa yang terjadi? Nona Aalisha mengapa-HAH, oh Dewa apa yang terjadi pada Orly itu!"
Semua murid sama terkejutnya juga, mereka saling menoleh ke kanan-kiri, saling bertanya-tanya apa yang terjadi. Tidak hanya karena kebakaran kuil Dewa yang membuat mereka terkejut, tetapi seorang Orly penjaga kuil ini terbaring tak sadarkan diri atau parahnya telah mati, dan seorang gadis dari tahun pertama tepat berada di dekat Orly tersebut serta berada di waktu ketika api berkobar.
"Kau, kau pelakunya! Kau yang membakar kuil ini?!" ucap tuan Derry dengan suara yang cukup mengerikan, ia bahkan menunjuk Aalisha lalu beralih pada Elijah yang terbaring di lantai. "Kau pula yang membuatnya begini? Kau membunuh Orly!"
Mendengar perkataan tuan Derry, seorang murid ikutan berucap dengan suara sangat lantang. "Dia pembunuhnya!! Dia membakar kuil dan membunuh Orly itu!"
"Gila, dasar pendosa! Kau membakar kuil para Dewa, lalu membunuh Orly!" sahut murid lainnya yang semakin saja mereka mempercayai jika Aalisha lah pelaku dari pembakaran kuil serta membunuh Orly si penjaga kuil ini.
"Aku tidak melakukannya!" teriak Aalisha, ia sudah berdiri, menatap semua murid lalu beralih menatap nyalang tuan Derry. "Anda tidak bisa menuduhku sebagai pelakunya."
"Lalu siapa, bajingan?!" teriak salah seorang murid dari kaum bangsawan dengan jubah Drystan. "Dasar kau gadis rendahan, tidak kau bisa mengelak lagi! Kau satu-satunya yang berada di sini, artinya kaulah pelakunya!"
"Ya! Bagaimana bisa kau berkata bukan pelakunya. Kau satu-satunya yang berada di sini ketika kebakaran terjadi, dan kau berada di hadapan mayat Orly itu!" sahut seorang gadis dengan rambut blonde yang mengenakan jubah Sylvester.
Tuan Derry berang, ia mengangkat tangannya lalu menunjuk Aalisha. "Kau berada di sini sebelum aku datang, ketika api masih berkobar, kau ada di hadapan Orly ini. Kini kau mau berbohong?"
"Aku tak berbohong, aku bukan pelakunya." Tepat di ujung kalimat Aalisha, seseorang dengan kasarnya menarik kerah seragam Aalisha kemudian ditariknya semakin kencang hingga gadis kecil itu susah bernapas.
"Hei gila, kau mau berbohong bagaimana lagi sih?" Seseorang yang mencengkeram kerah seragam Aalisha dengan kuat adalah Tiona Delilah, sepupu dari Jasmine. "Jelas, jelas kau berada di sini sebelum kami semua tiba. Banyak juga yang mengatakan jika baru-baru ini kau pergi ke kuil, kau bahkan masih mengenakan marajha meskipun hampir terhapus. Lalu kau malah mengelak setelah berani membakar kuil Dewa dan membunuh, hah!"
Satu hantaman keras mengenai pipi kanan Aalisha hingga gadis itu tersungkur ke lantai. Semua yang di sana terdiam dan refleks menutupi wajah mereka dengan kedua tangan. Profesor Solana berteriak agar Tiona berhenti, tetapi amarah membuat gadis bertubuh besar itu tidak peduli, jadi lekas ia menarik kerah seragam Aalisha. Padahal gadis kecil itu masih menstabilkan napasnya karena pukulan Tiona membuat darah memuncrat dari mulutnya, lalu sesak napas akibat menghirup banyak asap tadi belum pulih sepenuhnya. Satu tinju lagi berhasil mengenai dagu Aalisha, ia termundur dengan darah keluar dari mulutnya, ia juga merasakan lidahnya tergigit karena hantaman keras dari Tiona.
"TIONA DELILAH, AKU MINTA KAU BERHENTI!" teriak profesor Solana membuat Tiona benar-benar berhenti meski tangannya mengepal sangat kuat.
"Profesor, apakah Anda mau memaafkannya padahal dia sudah melakukan dosa besar dengan membakar kuil Dewa?" ujar Tiona, tangannya kembali gatal karena ingin menghantam wajah Aalisha lagi.
Profesor Solana berujar, "kita belum tahu, apakah dia pelakunya atau-"
"Mengapa bukan dia? Apalagi yang harus dicari tahu, padahal jelas-jelas, dia berada di depan mayat Orly itu ketika kebakaran terjadi. Area koridor ini sepi, tapi dia sering sekali kemari." Tiona melangkah hendak ke hadapan Aalisha agar bisa ia layangkan tinju lagi ke wajah gadis itu.
"Aalisha!" teriak Anila yang susah payah menerobosnya gerombolan para murid. "Apa yang terjadi ...."
"Lihatlah siapa yang datang, waktu yang tepat. Nona Anila Andromeda, kau pasti mau tahu apa yang terjadi 'kan? Temanmu, gadis rendahan ini, baru saja membakar kuil Dewa dan membunuh seorang Orly," ujar Tiona begitu dongkol dan berang.
"Apa? Tidak mungkin." Anila terdiam, ia terkejut begitu juga dengan Mylo, Gilbert, Frisca, dan Kennedy yang baru juga tiba setelah berusaha melewati gerombolan murid-murid lainnya.
"Aalisha," ucap Mylo langsung terdiam, ia tak melanjutkan perkataannya.
Sementara itu, Aalisha menatap pada Anila dan lainnya. Sulit sekali memahami apa maksud dari tatapan mereka pada Aalisha, sungguh tidak bisa Aalisha baca ekspresi mereka. Apakah kecewa, takut, marah, atau apa pun itu, tidak Aalisha pahami sama sekali. Namun, sudah bisa ditebak bukan? Jika mereka pasti mempercayai perkataan Tiona karena dilihat dari mana pun juga, Aalisha akan disalahkan karena benar hanya ada dirinya yang berada di sini ketika kebakaran terjadi dan Elijah terbaring, mati. Aalisha tidak bisa membuktikan jika pelakunya orang lain karena ia sendiri tak tahu siapa pelaku yang sebenarnya. Berkata jujur pun, mereka takkan percaya karena yang mereka percayai adalah apa yang mereka lihat. Lalu citra Aalisha sudah buruk sejak awal, jadi mudah bagi mereka untuk menjadikan Aalisha sebagai pelaku utama karena pasti mereka hendak menyingkirkan gadis itu dari Eidothea.
Meskipun begitu, Aalisha bersumpah, ia takkan masalah jika Anila dan lainnya mempercayai perkataan Tiona dan menganggap bahwa Aalisha adalah pelaku dan pendosa yang orang-orang maksudkan.
Bukankah sejak awal sudah Aalisha janjikan pada dirinya sendiri jika ia takkan berharap pada manusia. Maka dikhianati dan dibuang adalah hal biasa dalam hidupnya.
"Aku---"
"Nona Tiona Delilah, apa kau punya bukti terhadap apa yang terjadi di sini?" ujar Anila yang sejak tadi menahan amarah karena banyak murid di sini. Andai hanya mereka saja, maka sudah sejak tadi dia serang Tiona Delilah dengan sihir karena berani sekali dia menghajar wajah Aalisha hingga gadis kecil itu berdarah.
"Ya!" sahut Mylo, "apa kalian semua punya bukti jika Aalisha adalah pelakunya? Kalian tidak bisa menuduhnya begitu saja! Karena jatuhnya adalah fitnah!"
Tunggu, apa yang barusan mereka lakukan? Mereka membela Aalisha, bukannya percaya pada perkataan orang-orang bahwa Aalisha adalah pelakunya?
"Bukti kau bilang?! Ketika kebakaran terjadi, anak itu ada di sini! Dia juga berada di hadapan mayat Orly itu, dan kau masih bertanya bukti!" Nada suara Tiona meninggi. "Hei, hanya karena kau berasal dari Bangsawan Andromeda yang dikenal karena kecerdasannya, bukan berarti kau seenaknya menganggapku bodoh. Jelas sekali jika anak itu sendirian berada di lokasi, lalu mengapa kau masih menyangkal!"
Sekonyong-konyong Anila terempas ke belakang karena teman Tiona menggunakan sihir pada Anila. Tak membuang waktunya, Tiona kembali mengepalkan tangan dengan kuat, memusatkan neith di tinjunya, kemudian secepat kilat, ia mengayunkan tinjunya hendak menghantam wajah Aalisha lagi. Sontak Aalisha melindungi wajahnya dengan tangan, berharap hal ini meminimalisir rasa sakit, tetapi ditunggu dua detik, ia tidak merasakan apa pun menghantam tangan maupun wajahnya. Apakah Mylo atau Gilbert berhasil menghentikan Tiona? Barangkali Kennedy yang melakukannya atau profesor Solana menggunakan sihir untuk melindungi Aalisha? Namun, semua tebakan itu salah besar.
Gadis itu membuka mata, menurunkan tangannya, ia diam sesaat karena melihat dengan mata kepalanya sendiri. Tinju Tiona terhenti karena sebuah cahaya kuning pudar, menyerupai tangan menghentikan tinju itu yang hampir menghantam wajah Aalisha. Sihir, itu pasti sihir, tetapi siapa yang melakukannya?
Baru saja Aalisha pertanyakan. Suara langkah kaki terdengar dari arah belakang Aalisha hingga berhenti tepat di sampingnya kemudian tangan yang diselimuti sarung tangan putih perlahan bergerak menggantikan tangan dari cahaya kuning pudar itu, lalu menggenggam erat tinju Tiona, perlahan didorongnya, sontak Tiona menepis tangan tersebut, lekas melangkah mundur, menatap sosok pria yang baru saja menyelamatkan Aalisha.
"Kau," ucap Tiona.
Aalisha mendongak, menatap pada pria yang telah menyelamatkannya. "Tuan Tamerlaine."
Orly itu menatap Aalisha balik, lalu menganggukkan kepalanya sekali dengan senyuman simpul terukir begitu kentara. "Halo, Nona Aalisha, salam."
"Berani kau!" teriak Tiona, "berani kau menyelamatkannya! Tamerlaine! Kau berani sekali melindungi seorang pembunuh dan pendosa."
Tamerlaine melirik Tiona, ia juga mengamati sekitarnya. "Perbuatan Anda sungguh memuncak Nona Delilah. Anda tidak bisa menghakimi begitu saja sebelum bukti ada, meski anak ini berada di lokasi kejadian. Ia belum tentu pelaku, bisa saja korban juga?"
"Bilang saja kau hendak membelanya meski ia salah!" sahut salah seorang murid.
Tamerlaine malah tersenyum. "Jika aku bersumpah atas hidup dan matiku bahwa nona Aalisha tidak bersalah, bagaimana?"
"Kau punya bukti jika dia tidak bersalah, Tamerlaine?" timpal tuan Derry.
"Bagaimana kalau kukembalikan pertanyaan itu. Apa kalian punya bukti jika Nona Aalisha yang membakar kuil dan membunuh Elijah?" ucap Tamerlaine, "atau kalian meyakini hal itu karena anak ini kebetulan berada di lokasi kejadian?"
Perkataan Tamerlaine membuat semua yang di sana terdiam membisu, bahkan tuan Derry dan juga Tiona Delilah. Dikarenakan diamnya mereka, maka Tamerlaine berujar kembali. "Karena kalian hendak bukti jika Nona Aalisha bersalah atau tidak, maka aku ada cara untuk membuktikan hal ini dengan sangat akurat."
Tamerlaine menjentikkan jarinya, muncul pentagram sihir yang dari pentagram sihir itulah, Tamerlaine mengambil cangkir plastik tanpa gagang dan juga teko berisi minuman. Lekas ia tuang minuman dari dalam teko ke cangkir tersebut, minuman itu berwarna hijau dan masih hangat karena uap tipis keluar ketika dituang minuman itu. Setelahnya, teko tersebut ditaruh kembali ke dalam pentagram kemudian Tamerlaine memperlihatkan cangkir tersebut ke hadapan semua orang.
"Ini adalah ramuan dari bahan khusus sekaligus diberi mantra kuno. Minuman ini mampu mengungkapkan kebohongan seseorang. Ramuan ini takkan bisa dikelabui berbeda dengan mantra lainnya, ramuan ini sudah pasti benar." Tamerlaine berujar cukup lantang. "Cara bekerjanya ramuan ini adalah ketika seseorang meminumnya, lalu ia menyembunyikan kebenaran atau berbohong maka orang itu akan langsung keracunan, muntah darah, kejang, lidahnya terasa terbakar hingga pingsan."
Rasa takut menguar dari para murid setelah mendengar penjelasan gila yang Tamerlaine katakan. Namun, bukankah mereka semua hendak kebenaran? Maka hal ini haruslah dilakukan meskipun taruhannya adalah nyawa.
"Dengan artian, jika Nona Aalisha mengalami semua itu setelah meminum ramuan ini, sudah dipastikan jika dia adalah pelaku yang membakar kuil dan membunuh Elijah," ujar Tamerlaine sambil menyodorkan cangkir itu pada Aalisha. "Apakah Anda menerima hal ini, Nona?"
Suatu kegilaan karena Aalisha benar-benar meraih cangkir tersebut tanpa rasa takut dan ragu sekali pun. Hal ini cukup membuat beberapa murid yakin jika gadis itu tidak bersalah, pasalnya jika Aalisha lakukan maka ia sama saja seperti tertimpa batu berkali-kali. Dimulai dari dia merasa sakit karena meminum ramuan itu, lalu dihukum karena perbuatannya yang telah membakar kuil dan membunuh Orly. Lebih baik jika ia jujur saja dibandingkan merasa tersiksa, bukan? Asumsi inilah membuat para murid jadi berpikir ulang jika Aalisha tidak bersalah karenanya gadis itu berani mengambil resiko.
"Nah, Nona Aalisha, apakah Anda pelaku yang membakar kuil ini dan membunuh Elijah" ujar Tamerlaine.
Aalisha menatap sesaat cangkir tersebut "Bukan aku pelakunya!" Maka tanpa berpikir ulang, ia langsung meneguk ramuan itu lalu ia habiskan dalam hitungan detik saja. Setelahnya diusap ujung bibirnya dengan lengan baju.
Lalu ia melangkah hingga ke hadapan Tiona Delilah yang terdiam membisu. "Berapa lama harus kutunggu sampai ramuan ini membunuhku dan kalian semua saksinya, terutama kau, Tiona Delilah."
Hingga satu menit berlalu, dua menit menyusul, tak kunjung juga ada efek kejang, muntah darah, lidah terbakar atau Aalisha merasa hendak pingsan. Maka sudah dibuktikan jika Aalisha tidak bersalah, bukti inilah membuat mereka semua bungkam, sedangkan Anila dan teman lainnya merasa senang karena mereka yakin jika Aalisha memang tidak bersalah.
"Mengapa kini kau diam saja?" ucap Aalisha, "bukankah tadi kau bilang jika aku seorang pembunuh dan pendosa? Hei, Nona Tiona Delilah, jawab aku."
Tiona diam, tuan Derry diam, begitu pula murid-murid lainnya.
"Kau tahu 'kan, jika fitnah lebih kejam dari pembunuhan, harusnya aku bisa menuntutmu karena kau sudah memfitnahku sebagai pembunuh. Namun, tidak ... tidak kulakukan karena aku ingin melihat bagaimana kebodohanmu terus berlanjut meski kau lahir dari darah bangsawan."
Masih tidak ada balasan dari Tiona, membuat Aalisha tersenyum tipis karena merasa jika bangsawan di hadapannya ini benar-benar payah dan sangat menyedihkan. Pasti harga dirinya terluka karena telah memfitnah seorang gadis tak berkasta yang terbukti tak bersalah.
"Apa kalian tahu? Alasanku di sini karena aku lah yang pertama kali menyadari kebakaran ini!" teriak Aalisha, "tiba aku di sini, api sudah membakar segalanya, lalu aku melihat Elijah terbaring ... di dalam kuil, jadi aku berlari dan menyeret tubuhnya keluar dari kuil ini. Saat kuperiksa, aku tahu jika dia begini bukan karena asap kebakaran atau terkena api, tapi sihir, seseorang membunuhnya. Aku bukanlah pelakunya, tapi aku menyelamatkannya dari kobaran api, lalu kalian menuduhku sebagai pembunuh? Menjijikkan."
Aalisha melempar cangkir tersebut, jatuh ke lantai, terguling hingga ke kaki Tiona. Aalisha menatap sesaat Elijah yang terbaring dengan mata tertutup rapat, rasa sesak menyeruak ke dadanya mengetahui kenyataan jika Elijah mati dibunuh seseorang yang tidak diketahui siapa pembunuh itu. Tanpa berujar apa pun lagi, Aalisha langsung melenggang pergi dari sana, melewati gerombolan murid yang sudah membukakan Aalisha jalan. Ia abaikan semua panggilan dari Anila maupun Mylo serta lainnya. Lebih cepat, lebih cepat lagi ia melangkah hingga Aalisha berlari dan terdengar begitu cepat suara sepatunya yang bersinggungan dengan lantai. Maka setelah kepergian Aalisha, profesor Solana mengomando agar para murid bubar dari sana.
"Biarkan dia, dia butuh waktu sendiri, banyak hal yang terjadi padanya," ujar Mylo sambil menahan bahu Anila.
"Kenapa harus dia? Bahkan lukanya hari itu belum pulih sepenuhnya," sahut Anila.
"Jadi bagaimana?" ucap Frisca.
"Aku tak tahu," balas Gilbert menggeleng pelan sambil menatap Tamerlaine yang sedang menggendong tubuh Elijah sedangkan para murid sudah mulai pergi dari sana.
"Apa ... apa dia benar-benar mati?" Kennedy berujar langsung pada Tamerlaine yang menjawab dengan senyuman tipis.
"Tuan Cymphonique, apa Anda tahu jika Orly tidak seperti manusia? Meski para Orly ada yang menyerupai manusia dimulai dari organ tubuh hingga kepribadian mereka, Orly tetaplah Orly, bukan manusia. Cara kami mati dan hidup itu berbeda dengan manusia," jelas Tamerlaine.
Anila mendekati Tamerlaine. "Apa cahaya kehidupan Elijah masih ada? Itukan yang menjadi sumber kehidupan dan kematian seorang Orly?"
"Ya, benar sekali."
"Artinya, dia bisa hidup kembali 'kan?" sahut Mylo.
"Tergantung," ucap Tamerlaine, "sihir yang menyerang Elijah adalah sihir tingkat tinggi yang membuat cahaya kehidupannya terenggut, sehingga menipis. Jadi kemungkinan paling besarnya, Elijah benar-benar akan mati."
"Tidakkah ada cara?" ucap Frisca.
"Ya, profesor Eugenius pasti bisa membantu 'kan?" timpal Gilbert.
Tamerlaine menggeleng pelan. "Kurasa tidak, profesor Eugenius bukanlah Dewa yang menentukan kehidupan dan kematian seseorang, bahkan Orly."
"Kalau begitu kami akan berdoa agar dia selamat," ucap Anila yang membuat Tamerlaine tersenyum simpul.
"Kalian aneh, bersimpati pada makhluk seperti Orly, tapi terima kasih atas doanya," ujar Tamerlaine sedikit mengangguk, "aku mohon undur diri." Lalu ia membawa Elijah menuju tempat yang entah ke mana. Kini mereka berlima menatap pada kuil yang sudah padam apinya, hanya terlihat banyak abu hitam di dinding dan lantai.
"Kita harus pergi, temui Aalisha dahulu," ujar Anila.
"Tunggu," sahut Mylo lekas masuk ke dalam kuil.
"Ada apa?" ucap Gilbert.
Mylo berjongkok, ia meraba-raba tumpukan kayu yang sudah menghitam dan hangus terbakar. Di antara puing-puing kebakaran itu, Mylo mengambil sesuatu, lalu diangkatnya, kemudian diperlihatkan pada teman-temannya. "Hei, lihatlah ini. Bukankah ini keajaiban, Patung Dewanya tidak terbakar api sedikit pun."
Sementara itu di waktu yang sama, berada di asrama Arevalous, lantai lima, kamar di mana Aalisha berada. Gadis itu sudah rapat-rapat mengunci pintu kamarnya. Kemudian ia berada di hadapan cermin, menatap pantulan dirinya yang begitu berantakan, wajah sedikit hitam karena terkena abu kebakaran, seragam hitam pula dan agak sobek serta entah mana pula jubahnya.
Di dekat tangan Aalisha, ada wadah bulat yang tutupnya terbuka, serta isi wadah tersebut adalah serbuk merah yang merupakan marajha. Sudah Aalisha ambil sedikit marajha tersebut. Kemudian ia menatap pantulan dirinya lagi, tangan kanannya bergerak hingga ke depan dahinya, perlahan membubuhi dahinya dengan marajha tersebut hingga warna merah terlihat kentara di dahinya.
"Jika mereka ingin badai, akan kudatangkan tsunami kemari. Jika mereka ingin api berkobar, maka akan kubawa neraka panas ke atas Athinelon ini. Agar mereka semua tahu, bagaimana rasanya berjalan di atas neraka."
****
Andai Aalisha adalah seorang bangsawan, maka ia sudah mencapai puncak sosialita serta menjadi topik paling utama dibicarakan di setiap perkumpulan para bangsawan, hingga di perkumpulan lainnya; pesta minum teh, salon, serta pesta dansa bahkan jika ia hadir di acara besar seperti debutante, maka dialah yang menjadi pusat dan tokoh utamanya sedangkan yang benar-benar tokoh utama akan tersingkir begitu saja.
Sejak awal, ketika ia pertama kali menjejakkan kaki di tanah Eidothea, ia sudah membawa citra buruk sebagai gadis proletar, tapi bersikap sesombong bangsawan bahkan berani berteriak di hadapan keturunan Agung. Perlahan-lahan dia mulai terlibat hal-hal aneh di akademi ini, mulai dari meledakkan orxium, terseret kuda, hampir dibunuh Jasmine Delilah, kini ia dituduh sebagai pelaku pembakaran kuil dan membunuh seorang Orly meski hal itu tidak terbukti benar. Walaupun Aalisha bukan pelakunya, tetapi setiap kejadian mencengangkan, selalu ada gadis itu yang sukses mengambil seluruh atensi di sekolah ini.
Hanya saja karena sejak awal sudah dicap buruk hampir semua murid, maka mereka lebih banyak menyudutkan ketika Aalisha ditimpa masalah dibandingkan menolong atau bersimpati pada gadis itu. Ya, karenanya kalimat yang paling sering ia dengar; gadis pembawa sial, jangan dekat dengannya jika tidak ingin tertimpa sial juga.
Aalisha dengan lapang dada menerima semua hinaan itu karena tidak sepenuhnya perkataan itu salah serta disangkalnya. Aalisha sendiri menyetujui jika ia memang pembawa sial terutama bagi hidupnya sendiri.
"Kau lihat, karena kau, aku jadi bahan pembicaraan satu sekolah lagi, padahal beberapa hari sebelumnya sangat tenang karena mereka iba padaku yang hampir dibunuh Jasmine Delilah. Kini aku kembali menjadi topik pembicaraan," ujar Aalisha yang sedang berdiri di samping meja panjang, di hadapannya adalah sebuah kotak kaca bening. Seseorang atau lebih tepatnya seorang Orly yang terbaring tak berdaya berada di dalam kota kaca bening itu, ya dia adalah Elijah.
"Bukankah sejak awal sudah kuperingatkan padamu untuk menjauh dariku? Kau masih keras kepala dengan semua ocehan tak bergunamu itu, kini kau lihat akibatnya. Apa kau mau aku benar-benar dikenal sebagai malaikat kematian?" Aalisha berujar kembali, ia benar menatap Elijah, tetapi tidak ada kesedihan tersirat di wajahnya yang lebih banyak datar. Ia tak juga kesal atau memendam amarah. Benar-benar tidak merasa sedih seolah kematian Elijah tidak mengusiknya sama sekali.
"Pada akhirnya semua makhluk ciptaan Dewa akan mati, tapi jika kau mengabaikanku, kau pasti masih punya banyak waktu. Dasar Orly sialan. Elijah bodoh."
Di ruangan ini adalah salah satu ruangan di selatan kastil Eidothea, ruangan yang tak bisa dimasuki sembarangan orang kecuali sudah mendapat persetujuan profesor Eugenius. Tamerlaine lah yang membawa Aalisha kemari karena ia berpikir jika Aalisha harus melihat Elijah langsung, padahal Aalisha enggan untuk menemui Elijah. Hanya saja atas paksaan Tamerlaine, maka mau tidak mau, Aalisha menurutinya. Kini dengan kedua matanya sendiri, dia melihat Elijah terbaring di kota kaca bening, barangkali ini adalah peti mati untuk menaruh jasad Orly. Bukankah secara tidak langsung Tamerlaine membawa Aalisha kemari untuk menghadiri pemakaman atau melihat terakhir kali Elijah sebelum dia benar-benar kembali ke pangkuan para Dewa?
"Apa Anda masih memerlukan waktu untuk berduka? Aku bisa meminta pada profesor Eugenius untuk membiarkan Anda sedikit lebih lama lagi," ucap Tamerlaine sedikit membungkukkan tubuhnya ketika berbicara pada Aalisha.
"Tidak perlu. Aku sudah selesai, lagi pula, aku sedang tidak berduka," sahut Aalisha melirik sesaat pada Tamerlaine lalu ia berbalik, melenggang pergi dari sana.
"Aku yakin jika Elijah merasa terhormat karena telah diselamatkan oleh Anda." Tamerlaine tersenyum simpul, Aalisha menghentikan langkahnya, lalu menggeleng pelan kemudian melangkah kembali.
Sepeninggalan Aalisha, Tamerlaine sendirian di ruangan tersebut, ia lalu berangsur-angsur hingga ke samping kotak kaca bening itu. Menatap Elijah sementara, lalu ia menutup matanya, sambil berujar, "semoga harimu baik-baik saja, nona Aalisha."
****
Hal yang harus Aalisha syukuri adalah ia tidak banyak dibahas lagi karena ada topik lebih penting yang memuncak sehingga namanya tenggelam. Kesibukan yang Aalisha lihat inilah yang menjadi salah satu alasan dari topik yang hangat dibicarakan ini. Terlebih lagi sudah memasuki bulan keempat dalam tahun ajaran baru.
"Menurutmu pertandingan seperti apa yang akan disuguhkan Eidothea?"
"Kuharap pertandingan kali ini sama menegangkan dan meriah seperti tahun lalu."
"Tidak, tidak kuyakin perkataanmu itu karena pertandingan tahun lalu paling meriah, tidak bisa disandingkan dengan tahun lainnya."
"Jelas sih, kan ada direct line Majestic Families, makanya meriah dan seru banget."
"Oh ayolah jangan bandingkan pertandingan setiap tahunnya karena setiap angkatan punya kelebihan masing-masing, paling penting itu, pertandingan kali ini seru dan juga penuh kejutan!"
"Kejutan apa? Seekor naga tiba-tiba muncul entah dari mana, terus nangkap beberapa murid baru dibawa kabur sampai kesatria kerajaan juga turun tangan?"
"Woylah itu angkatan kakak tingkat tahun keempat, Easton dan Nathan! Sumpah, kejadian pas itu gila banget."
"Apa yang kauharapkan pada pertandingan kali ini?"
"Seru, meriah, menegangkan, mencengangkan, terus aku mau lihat potensi para murid angkatan tahun pertama bagaimana."
"Dan kau, apa yang kau harapkan pada pertandingan kali ini?"
"Berjalan normal dan lancar, oh ayolah, hanya sesederhana itu. Kau tahu saja kan kalau nih Akademi nggak ada benar-benarnya ada saja masalah yang bakal menimpa!"
Pada bulan keempat, di setiap angkatan baru Eidothea, pasti akan dilaksanakan pertandingan untuk mengukur kemampuan para murid baru itu. Pertandingan ini juga akan menjadi nilai tambahan bagi individu maupun nilai asrama mereka. Setiap tahunnya, pertandingan ini akan disuguhkan rintangan yang berbeda-beda. Namun, konsep pertandingannya selalu sama, yaitu memperebutkan sesuatu bersama dengan kelompok masing-masing.
Pertandingan ini disebut Chrùin Games merupakan pertandingan memperebutkan sebuah benda yang menjadi penentu kemenangan, benda ini bisa banyak macamnya dimulai dari yang paling sering adalah mahkota, kemudian pedang, topeng, bendera, maupun cawan. Chrùin Games dilakukan secara berkelompok dengan satu kelompok beranggotakan enam orang dan bisa bergabung dengan murid dari asrama lain, berbeda dengan Oulixeus yang harus satu asrama. Lokasi pertandingan bisa berbeda atau sama, tetapi rintangan di dalam pertandingan yang akan berbeda-beda serta musuh yang dihadapi juga akan berbeda, dibuat variatif agar setiap tahunnya meriah. Kemudian peraturan dalam Chrùin Games akan berbeda tergantung dengan rintangan apa yang disuguhkan Eidothea.
Rintangan yang sejauh ini sudah ada antara lain, labirin, padang pasir, lautan, hutan rindang, melawan boneka kayu yang hidup, penuh binatang seperti serangan dari kawanan kerbau hingga banteng, serta masih banyak lagi.
Maka selain menghadapi musuh yang disuguhkan pihak Eidothea, setiap kelompok juga harus bertarung dengan kelompok lain dimulai bertarung menggunakan senjata hingga sihir untuk memperebutkan benda yang menjadi penentu kemenangan. Peraturan paling utama adalah dilarang memberikan luka serius apalagi sampai membunuh. Jika sudah terluka sangat parah, tidak mampu melanjutkan pertandingan, maka harus memberikan sinyal berupa kembang api yang diluncurkan ke langit, maka para pengajar yang bertugas mengurus pertandingan akan segera membawa murid itu keluar dari pertandingan dan diobati.
Hari ini pembelajaran ditiadakan, para murid angkatan baru dikumpulkan ke lapangan hijau. Berbaris sesuai dengan asrama mereka masing-masing. Berada di hadapan mereka adalah master Arthur, master Howard, master Aragon, dan juga profesor Reagan.
"Apa semua murid sudah berkumpul?!" teriak Aragon sambil mengedarkan pandangannya, ia menatap tajam pada barisan murid yang belum juga rapi.
"Siap, sudah Master!" teriak para murid serempak.
"Baiklah, selanjutnya akan diserahkan pada Master Arthur." Aragon menatap Arthur, "silakan Arthur."
"Terima kasih Master Aragon."
Murid perempuan langsung terpesona dengan ketampanan pria itu, wajahnya seperti baru selesai dipahat kemudian diberikan karunia yang berlimpah oleh para Dewa, sontak saja para murid perempuan berterima kasih pada para Dewa karena menciptakan manusia yang melebihi ketampanan bangsa Elf dan Siren itu. Arthur semakin membuat murid perempuan jatuh cinta karena pria itu paham dunia fashion sehingga setiap harinya tidak ada yang tidak bosan menatap Arthur.
"Sudah bisa kalian tebak, mengapa kalian dikumpulkan di sini." Arthur berujar. Ia terlihat begitu sempurna dengan pakaian bangsawan berwarna putih gradasi biru, jubah panjang, beberapa perhiasan menambah kesan mewah di pakaiannya, lalu apa-apaan dia mengenakan kacamata bulat? Sengaja ia agar semakin menjadi pusat perhatian padahal profesor lain mengenakan pakaian berwarna hitam atau gelap.
"Terkadang aku bingung dengan master kita itu," bisik Mylo pada Anila dan Aalisha, "dia berpakaian layaknya manusia paling baik dan lemah lembut, nyatanya dia monster."
"Begitulah gunanya topeng kehidupan," balas Aalisha menyeringai. Sedangkan Mylo maupun Anila hanya menatap gadis kecil itu.
"Tidak lama lagi, kalian akan mengikuti Chrùin Games yang menjadi ajang tahunan yang wajib diikuti oleh seluruh murid baru atau angkatan tahun pertama Eidothea. Jika kalian tidak ikut serta dalam pertandingan ini dengan alasan yang tidak kuat dan tidak disetujui pihak akademi, maka kalian nilai kalian akan kurang serta mengulang pertandingan ini di tahun depan.
"Jadi dari pada mengulang tahun depan, lebih baik berjuang mati-matian bersama teman kalian. Apalagi pertandingan ini guna melihat kemampuan kalian juga, terutama kemampuan dalam bekerjasama."
Master Arthur tidak perlu lagi menjelaskan apa yang dimaksud Chrùin Games karena para murid pasti sudah tahu entah mendengar cerita dari kakak tingkat mereka atau mencari tahu sendiri akan pertandingan ini. Lagi pula, Chrùin Games berbeda dengan Oulixeus yang ada di setiap akademi di kekaisaran Ekreadel, Chrùin Games hanya ada di Eidothea, jadi mendengar nama pertandingan ini harusnya lumrah bagi setiap masyarakat Eidothea.
"Selanjutnya aku akan menjelaskan syarat dan peraturan serta bagaimana pertandingan ini nantinya." Arthur menjentikkan jarinya, maka di hadapannya muncul sebuah cawan biru, melalui cawan itu cahaya biru pudar bersinar kemudian menciptakan sebuah papan tulis yang berisi syarat serta peraturan Chrùin Games.
"Baiklah, jadi Chrùin Games hanya ada di angkatan tahun pertama, wajib diikuti seluruh murid angkatan ini. Chrùin Games dilaksanakan secara berkelompok, satu kelompok terdiri dari enam orang kemudian bisa berbeda asrama, penentuan kelompok dapat ditentukan sendiri oleh para murid jadi pihak akademi takkan ikut campur.
"Kemudian karena kelompok dalam permainan ini cukup banyak, bisa mencapai 30 kelompok lebih maka, pertandingan ini akan dibagi menjadi beberapa hari serta kloter. Satu hari atau kloter pertama yang akan bertanding adalah sekitar enam kelompok. Kemudian hanya akan ada tiga pemenang dalam setiap kloter.
"Jika kalian bertanya, apakah pemenang dalam setiap kloter akan bertanding lagi? Jawabannya adalah tidak karena pertandingan hanya diadakan sekali saja. Habisnya satu pertandingan saja belum tentu kalian bertahan apalagi lebih dari sekali? Bisa penuh rumah sakit nantinya."
Master Arthur terkekeh kecil sedangkan para murid saling celingak-celinguk, mereka bingung hendak tertawa atau tidak karena hal ini mereka anggap serius meskipun Arthur tertawa renyah.
"Untuk pembagian kloter kelompok akan dibagikan segera setelah kalian menyerahkan nama anggota kelompok kalian, penyerahan nama anggota kelompok terakhir pada hari kamis nanti." Segera profesor Reagan berucap yang mendapat anggukan dari para muridnya. "Sila dilanjutkan Arthur."
"Terima kasih Profesor. Selanjutnya adalah lokasi pertandingan dan rintangan yang akan kalian hadapi. Lokasinya ada di area lapangan hijau di luar Eidothea sebelah utara. Area itu akan diubah menjadi area pertandingan, konsep yang digunakan tahun ini adalah taman dan juga pepohonan. Dengan artian, kami akan membuat area itu menyerupai taman, penuh dengan pohon, semak, jalan setapak, bahkan aku kepikiran menambahkan meja bundar dan kursi serta disuguhkan di atas meja berupa teh hangat dan kue kering."
"Kurasa dia punya pemikiran random," bisik Mylo, "kupikir konsepnya labirin atau padang pasir."
"Master Arthur hendak mengadakan pesta salon kemungkinan," sahut Anila.
Semua murid agak meremehkan konsep yang Arthur berikan karena mereka berpikir jika konsep pertandingan pada tahun ini lebih menantang adrenalin. "Sudah kuduga jika kalian akan berpikir seperti itu, sejujurnya konsep ini ditentang beberapa profesor." Arthur melirik sebentar ke para profesor dan master lainnya di belakang Arthur. "Meskipun begitu, kalian pasti sudah tahu, jika banyak tamu yang mati di sebuah pesta karena diracuni."
Kalimat terakhir diucapkan itu membuat setiap murid langsung mengatup mulut mereka rapat-rapat. Sedangkan Arthur tersenyum seperti biasa seolah tidak terjadi sesuatu yang mengerikan. "Di dalam pertandingan, enam kelompok akan memperebutkan tiga benda kemenangan, benda yang digunakan pada tahun ini adalah mahkota jadi kalian akan memperebutkan mahkota itu. Ketiga mahkota akan disembunyikan di tempat yang sulit ditemukan jadi kalian harus benar-benar punya strategi karena selain menghadapi kelompok lain, kalian juga akan mendapatkan tantangan yang kami suguhkan. Tenang saja, tantangan dari kami tidak sesulit mengalah para iblis, paling-paling setara menghadapi monster seperti naga di tingkat B atau A."
Tidak hanya para murid yang terdiam serta menelan saliva secara kasar, tetapi para pengajar lain di belakang Arthur seketika tercengang karena perkataan pria itu yang seolah menyiratkan bahwa para murid segera menemui malapetaka mereka, barangkali kematian juga.
"Sialan, dari mana Arthur belajar kalimat dan majas yang mengerikan itu," ujar master Howard.
"Aku tahu dia suka berlebihan, tapi karena wajahnya tidak menunjukkan humor, jadi terasa begitu asli dan sungguhan," jawab profesor Reagan.
Master Aragon menggeleng, lalu melangkah hingga ke samping Arthur. "Aku berharap jika kalian akan serius dalam pertandingan ini. Kalian boleh menggunakan seluruh kemampuan kalian, tetapi ingatlah untuk tahu diri, jangan sekali-kali kalian menggunakan kesempatan bertarung ini untuk melampiaskan dendam kalian."
"Ah benar juga, itulah yang hendak kukatakan, tetapi aku lupa," imbuh Arthur, "seperti yang master Aragon katakan, kuharap jika kalian tidak menggunakan dendam dalam pertandingan ini karena jika kalian berniat mencelakai murid lain dikarenakan masalah pribadi, kalian akan menanggung konsekuensinya, langsung olehku. Kalian paham?"
"Paham Master!" teriak setiap murid dengan serempak.
"Bagus, ada lagi yang hendak dikatakan, Master Aragon?" ucap Arthur.
"Ada!" ucap Aragon sambil mengedarkan pandangannya seolah ia sedang mencari-cari seseorang di antara ratusan murid yang sedang berbaris itu. Pandangannya lalu terhenti di asrama Arevalous. "Kalian boleh menggunakan senjata magis kalian! Namun, jangan pernah kalian aktifkan karna terlalu beresiko!"
Setiap murid senang karena akhirnya mereka bisa menggunakan senjata magis di pertarungan sesungguhnya meskipun tidak boleh diaktifkan. Setelah itu mereka menunggu Aragon berujar kembali karena master mereka itu terlihat seperti menunggu atau mencari sesuatu.
"Master Aragon, hanya itu yang hendak Anda katakan?" Arthur lekas berujar karena sadar jika Aragon sedang tidak fokus.
Aragon menatap Arthur sesaat, lalu lekas ia berujar, "ah iya, ada lagi. Aku berharap kalian semua baik-baik saja dan menjaga diri, meskipun hanya pertandingan di akademi, jangan pernah anggap remeh. Sekian dariku, terima kasih, kukembalikan pada Arthur."
"Aku juga berpesan yang sama. Jaga diri kalian, lalu karena ini pertandingan berkelompok, tolonglah kalian untuk bekerja sama karena itu penting. Kalau ada teman kalian yang terluka, maka bantulah dia dulu, jangan pernah berpikir meraih kemenangan jika menginjak-injak mayat teman kalian sendiri." Arthur tersenyum tipis. "Karena di dunia, apa yang lebih penting di antara tahta atau keluarga? Baiklah, pertemuan ini selesai, silakan cari anggota kelompok kalian, kumpulkan ke salah satu dari kami, paling lambat hari Kamis. Kalian boleh bubar."
Arthur menyibak jubahnya, lalu melangkah pergi dari sana yang segera disusul oleh Aragon karena ada yang hendak ia tanyakan pada Arthur.
"Master Arthur, bolehkah aku bertanya satu hal padamu?"
Arthur memperlambat langkahnya. "Dengan senang hati, Master Aragon."
Aragon memperhatikan sebentar para muridnya yang bubar dari barisan. "Mengenai gadis kecil itu, nona Aalisha, dari mana kau membawanya?"
"Dari mana Anda bilang? Tidak dari mana pun, dia hanya anak biasa yang mencoba hidup di akademi ini," jelas Arthur, tak lupa ia memberikan senyuman tipis khasnya.
Aragon memperhatikan Arthur, ia sedikit kesal dengan jawaban Arthur yang selalu dirangkai dengan kata-kata bermakna ganda. "Baiklah jika itu jawabanmu."
"Mengapa Anda mempertanyakan nona Aalisha?" Kini giliran Arthur yang bertanya.
"Haruskah kujawab?" balas Aragon, "kau tak perlu tahu alasanku."
Arthur mengangguk. "Kuterima jawaban itu."
"Arthur, kuharap apa yang kau katakan mengenai gadis itu adalah kebenaran," sahut Aragon.
"Tentu saja, mana mungkin aku berbohong," balas Arthur yang mengakhiri pembicaraan keduanya.
◇─◇
Arc 3
[Hide and Seek]
- Tamat -
Selanjutnya
Arc 4
[Chrùin Games]
- Dimulai -
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Beri kata atau pesan untuk chapter terakhir Arc 3 ini .....
Di masa lalu, jauh sebelum menjadi murid Eidothea, Aalisha pernah bilang gini, "apakah kau yakin ingin bermain denganku? Karena jika pertarungan yang kau inginkan. Niscaya akan kubawakan perang untukmu."
Sepertinya berbagai macam cara dilakukan untuk membunuh Aalisha dan menyingkirkannya dari Eidothea. Akankah berhasil nantinya?
Lalu mari mulai Arc 4 [Chrùin Games]. Bakal seburuk apa pertandingan itu?
Prins Llumière
Jum'at, 03 Februari 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top