Chapter 53 (2)
|| Jangan lupa vote dan komen^^
Perawat berpakaian putih baru saja keluar dari kamar Aalisha setelah mengganti perban di tubuh gadis itu, kini ia ambil seragam Akademinya lalu dikenakan, satu per satu kancing ia pasang, kemudian meraih jubah yang kini mengelilingi tubuhnya dengan rapi. Aalisha merapikan rambutnya, lalu ia ikat, tidak diurai seperti biasa. Setelah mengenakan sepatu, Aalisha melangkah keluar kamar, sebagian murid berlalu-lalang juga di lorong kastil asrama dengan membawa kesibukan masing-masing. Namun, jika ada murid yang melirik ke arah Aalisha sesekali, sudah dipastikan jika murid itu berasal dari angkatan yang sama dengannya dan tahu kabar jika Aalisha adalah murid bersimbah darah di hari pertandingan Oulixeus. Hanya saja tidak tersebar siapa pelaku yang membuat gadis itu terluka hingga berada dua hari di rumah sakit, banyak yang mencari-cari siapa pelakunya, apakah terjadi pertarungan atau hanya sepihak saja hingga Aalisha babak belur.
Di kala ini, terbelah dua kubu. Kubu pertama adalah mereka yang mendukung Aalisha sebagai korban karena meskipun gadis itu menyebalkan dan sombong, serta punya banyak pembenci, tetapi siapa pun itu tidak dibenarkan untuk bertarung dengan niat mencelakai apalagi sampai membunuh, sudah ditebak jika gadis itu hendak dibunuh, buktinya adalah luka yang ia terima.
Kubu kedua adalah mereka yang sama sekali tak peduli pada kondisi Aalisha meski ia korban, mereka berujar jika sudah sepantasnya gadis kasta bawah yang sombong itu untuk dibungkam agar semakin tak menjadi-jadi, salah satunya dengan membuatnya paham bagaimana seseorang bisa bergerak untuk membunuhnya, terutama keluarga bangsawan. Jadi berharap saja setelah kejadian ini, gadis kasta bawah itu sadar bahwa dirinya harus berhenti, jikalau bisa, enyah dari Eidothea adalah pilihan terbaik.
"Kau dengar kabarnya, jika adik tingkat itu, mengalami tragedi mengenaskan, untung saja nyawanya masih disayang Dewa," ujar seorang gadis dengan rambut pirang terurai panjang.
Temannya yang sedang memakan puding dengan anggun, ikut menimpali, "setidaknya hal ini menjadi pembelajaran baginya jika dunia mudah sekali menghancurkan manusia seperti dia itu."
Suara kekehan terdengar dari gadis yang mengenakan topi baret. "Aku penasaran apa dia masih bersikap sombong setelah ini?"
Gadis berambut pirang menyahut kembali. "Entahlah, dia gila jika masih—"
"Bisakah tutup mulut kalian semua." Suara itu berasal dari seorang gadis dengan manik mata amber yang manik matanya tidak lepas dari buku bersampul hitam. Kini para gadis yang bergosip tadi seketika terdiam membisu dengan kepala agak menunduk.
"Maafkan kami ...." ucap si rambut pirang.
"Pergi. Aku ingin sendiri, kalian sangat mengganggu."
Kini para gadis itu bangkit dari kursi mereka. Lalu perlahan menaruh tangan mereka di dada kiri sambil membungkuk pelan sebagai tanda penghormatan. "Kami undur diri, Nona Eloise Clemence."
Maka mereka segera beranjak dari sana tanpa berani berbisik satu sama lain, meski diusir dan diperlakukan agak kasar, tapi mereka tak berani untuk membicarakan Eloise di belakang. Baru beberapa langkah, mereka berpapasan dengan Nathalia Clodovea yang hendak menemui Eloise, para gadis memberikan hormat sesaat lalu kembali melangkah sedangkan Nathalia menatap bingung.
"Kau usir mereka?" tanya Nathalia.
"Ya, mereka mengganggu." Eloise membalik halaman selanjutnya kemudian penanya bergerak sendiri lalu menggaris bawahi sebuah kalimat, kemudian menulis sesuatu sebagai catatan.
Nathalia menghela napas. "Lain kali jangan diusir, mereka tetap temanmu." Ia duduk di seberang Eloise.
"Mereka yang kuanggap beracun haruslah segera diusir dari hidup sebelum racun itu semakin menyebar." Eloise meraih minumannya lalu ia teguk kemudian fokus membaca lagi.
"Kau tahu kabar yang beredar?" ucap Nathalia.
"Tak kusangka jika gadis itu bisa selamat, para Dewa terlalu mengasihaninya." Kalimat Eloise menjadi jawaban yang jelas bagi Nathalia jika temannya ini tahu.
"Tidakkah menurutmu ini janggal? Kejadiannya di kebun kaca Akademi, harusnya jika pembunuhan berencana, pelaku bisa membawa gadis itu ke tempat yang sulit dijangkau." Nathalia sejak kemarin masih memikirkan hal ini. Lagi pula, pelakunya pasti akan mudah tertangkap karena masih berada di lingkungan akademi terutama jika murid Eidothea.
Eloise sesaat menurunkan bukunya lalu menatap sinis pada Nathalia. "Kau berpikir aku peduli? Tidak! Jadi diamlah, aku ingin fokus membaca."
"Kau punya asumsi?" Masih saja Nathalia mengganggu Eloise.
"Tidak, aku tidak peduli, bahkan siapa pelakunya, aku tak peduli juga. Jadi Nathalia, sahabatku, diam dan tutup mulutmu karena aku tak mau membahas tikus rendahan itu." Kalimat Eloise menjadi penutup antara keduanya.
****
Anila sedang menunggu di luar ruangan profesor Eugenius, manik matanya lalu teralihkan pada Aalisha yang akhirnya datang juga. Gadis kecil itu sudah sembuh meski wajahnya agak pucat dan perban tetap diganti hingga luka di perutnya benar-benar sembuh.
"Kau akan masuk?" ucap Aalisha.
"Tidak, hanya kau," jawab Anila, "kau bisa 'kan?"
"Aku takkan dibunuh mereka, lagi pula aku korban jadi tak usah khawatir."
Anila hanya bisa tersenyum tipis mendengar jawaban Aalisha. Meskipun ia yakin jika gadis itu akan baik-baik, tetapi mengingat pembicaraan hari itu dengan master Arthur membuat Anila bingung, bimbang, serta khawatir.
Masih sangat tergambar jelas, apa yang Arthur katakan pada dua hari lalu. Memori itu terputar tanpa putus, bahkan detik ini juga. Ya, hari itu ketika Arthur menghentikan langkah Anila yang hendak pergi dengan membahas Jasmine Delilah. Jadi mari telusuri pembahasan mengenai Jasmine oleh Arthur dan Anila pada hari itu.
"Alasan Jasmine Delilah berniat membunuh Aalisha bukan hanya karena dendam dan amarah," ujar Arthur.
"Lalu apa?"
"Dia hilang kendali atau tidak sepenuhnya sadar dengan apa yang dia lakukan." Arthur berujar.
"Maksud Anda? Anda tidak mengarang 'kan?"
Arthur tersenyum tipis. "Sebelum hari pertandingan Oulixeus, ada kelas ramuan di angkatan tahun kedua. Ramuan yang dibuat adalah Chrysthemunium, berasal dari bunga Crysthum. Ramuan ini memiliki manfaat untuk meningkatkan kekuatan siapa pun yang meminumnya, dimulai dari stamina, metabolisme, hingga neith. Namun, ramuan itu punya efek jika dicampurkan dengan bahan lain, maaf aku tak bisa memberitahu campuran bahan ini karena berbahaya. Intinya ketika dicampur dengan bahan ini, maka ramuan Chrysthemunium punya efek tambahan yang negatif yaitu meningkatkan dan menimbulkan hasrat.
"Siapa pun yang meminum ramuan ini, apalagi kondisinya tidak stabil, maka hasrat paling nampak itulah yang akan semakin meningkat berkat ramuan ini. Ada cukup banyak hasrat dalam diri manusia, seperti kebencian, balas dendam, yang akan menciptakan ...."
"Niat membunuh," sahut Anila.
"Benar sekali, Jasmine Delilah saat itu masih menyimpan amarah pada Aalisha, meski tak berani ia tuangkan karena dia masih punya etika seorang bangsawan. Namun, karena Chrysthemunium, hasrat dalam diri Jasmine Delilah memuncak, dia tak bisa berpikir jernih, dan terciptalah keberanian untuk membunuh Aalisha."
"Jadi semua ini karena ramuan itu?!" teriak Anila, "tapi bukankah setiap ramuan yang dibuat biasanya—"
"Iya, setiap ramuan entah yang gagal dan berhasil dari kelas ramuan akan disimpan ke ruangan khusus, terutama ramuan yang sempurna. Lalu ruangan itu hanya bisa diakses oleh pengajar atau murid tertentu yang diberi kepercayaan oleh pihak Akademi. Namun, ketika Jasmine Delilah diperiksa, telah ditemukan dalam darahnya, ramuan itu."
"Bagaimana bisa?! Apa dia membobol ruangan itu, lalu meminum ramuannya hanya untuk—"
"Tidak, dia tidak melakukannya. Setelah tahu jika di dalam darah Jasmine ada ramuan itu, maka kami melakukan investigasi ke kamarnya, tidak sama sekali ditemukan ramuan itu."
"Bisa saja dia menyembunyikan atau membuangnya."
"Awalnya kami berpikir begitu, tapi ditemukan beberapa kejanggalan. Pertama, ruangan khusus ramuan hanya bisa diakses pengajar dan murid tertentu, jika ia membobolnya, maka ada kemungkinan ketahuan. Kedua, ramuan itu dibuat sehari sebelum pertandingan Oulixeus, artinya dia harus mencuri ramuan itu pada malam atau pagi hari pertandingan karena efek ramuan itu hanya bekerja sehari saja atau 24 jam. Ketiga, Jasmine Delilah tidak meminum ramuannya, melainkan ramuan itu disuntik ke tangannya."
"Disuntik?"
"Akan ada perbedaan ketika seseorang meminum ramuan atau obat secara langsung dengan disuntik melalui pembuluh darah. Dan kami temukan jika ramuan itu disuntikkan ke pembuluh darahnya.
"Dari hal ini, maka ada beberapa pertanyaan, bagaimana bisa Jasmine melakukan semua itu dalam waktu sehari, lalu untuk apa dia capek-capek menyuntikkan ramuan pada dirinya hanya untuk balas dendam. Bagaimana pun juga dia seorang bangsawan, dia dijejali etiket sejak kecil, semua yang ia lakukan sangat tak terpuji dan mempertaruhkan nama bangsawannya."
Arthur memperhatikan Anila yang sudah mengepalkan kedua tangannya dengan sangat kuat. Ada yang memenuhi pikiran gadis itu. "Dari semua perkataan Anda, apa mungkin ... mungkinkah?"
"Ini hanya asumsi terburuk, jika ada seseorang yang hendak membunuh Aalisha melalui perantara Jasmine Delilah, tapi aku tak tahu siapa dalang utamanya," jelas Arthur yang sama persis dengan pemikiran Anila. Membuat gadis itu sangat takut, napasnya jadi tak beraturan. "Anila Andromeda."
"Bisakah Anda berjanji satu hal."
"Apa?"
"Jangan katakan hal ini pada Aalisha, jangan ceritakan jika ia diincar kehidupannya. Bisakah Anda berjanji?"
Perlahan Arthur tersenyum. Semakin menarik saja pertemanan antara mereka, meskipun tidak diketahui Anila dan lainnya jika Aalisha sama sekali tak menganggap mereka teman. "Aku berjanji."
"Terima kasih." Anila perlahan membungkuk sebagai tanda penghormatan. "Aku mohon undur diri."
Ya, hari itu masih tergambar jelas di benak Anila, setiap yang dikatakan Arthur bahwa Jasmine Delilah menjadi boneka seseorang yang berniat membunuh Aalisha. Pertanyaan adalah mengapa, mengapa Aalisha yang harus dibunuh? Apa karena gadis itu bersikap sombong padahal dia tak berasal dari kasta bangsawan. Apa hanya bangsawan saja yang boleh sombong, padahal semua yang Aalisha lakukan demi melindungi harga dirinya bahwa ia juga mampu berdiri meskipun tak berasal dari kasta atas.
Jika segalanya hanya berpihak pada kaum bangsawan, maka di mana letak keadilan para Dewa. Haruskah mereka yang berasal dari kasta bawah, pasrah dengan hidup mereka—tertindas, dilecehkan, dihina dan dimaki-maki.
Siapa? Siapa pelaku yang hendak membunuh Aalisha? Mungkinkan murid-murid yang membencinya setengah mati, atau para bangsawan, para keturunan Majestic Families; Eloise, Athreus, atau Nicaise, mustahil mereka karena jika mereka hendak melakukannya, maka sejak awal Aalisha sudah dibunuh Eloise. Jadi siapa pelakunya? Mungkinkah ada seseorang lagi yang tak Anila ketahui siapa?
"Anila! Kenapa kau melamun?" ucap Aalisha yang membuat lamunan Anila buyar. Kini Anila menatap Aalisha, memperhatikan manik mata gadis kecil itu yang begitu hitam legam.
"Bagaimana jika ramalan itu benar?" Anila menatap sendu, itulah yang Aalisha tafsirkan.
"Kau berbicara hal bodoh lagi. Itu takkan terjadi, aku takkan mati. Jika pun malaikat kematian sungguh datang, niscaya akan kurebut sabitnya." Aalisha tersenyum tipis, melepaskan tangan Anila yang menggenggamnya, lalu ia melenggang pergi menuju ruangan profesor Eugenius.
Anila terdiam, ia bersandar di tembok dengan kepala menunduk. "Jangan menangis, dia tak menangis, maka aku juga kuat."
****
Aalisha berada di ruangan profesor Eugenius, ruangan yang terdapat tingkat dua, buku-buku tersusun rapi di rak, sebuah lemari kaca yang elegan, meja penuh dengan dokumen, buku, serta secangkir teh yang baru saja diseduh oleh Tamerlaine. Selain Aalisha dan profesor Eugenius, di ruangan ini juga ada Profesor Madeleine, profesor Solana, serta master Arthur.
Mereka semua duduk di kursi yang telah disediakan sedangkan Aalisha hanya berdiri di jarak yang tak terlalu jauh dari mereka semua, gadis itu merasa seperti berada di persidangan meskipun tidak ada pelakunya di sini. Ya, sudah ditebak jika Aalisha dipanggil untuk membahas mengenai Jasmine dan dirinya.
"Bagaimana kabarmu, Nona Aalisha?" tanya profesor Solana yang dibalas anggukan lebih dulu oleh Aalisha.
"Kondisiku sudah lumayan baik Profesor," jawab Aalisha.
"Tamerlaine, berikan dia kursi untuk duduk," ujar profesor Eugenius.
"Tidak perlu Profesor, aku sebentar saja di sini, tak banyak yang hendak kukatakan, jadi tak perlu repot." Aalisha tersenyum tipis.
Profesor Eugenius mulai menjelaskan poin utama yang hendak mereka bahas. "Baiklah, kalau begitu mari ke intinya saja. Jasmine Delilah telah berniat membunuhmu, maka kami sudah memutuskan hukumannya, tetapi sebelum itu, kami hendak mendengar darimu langsung, kira-kira hukuman apa yang pantas diberikan—"
"Tidak ada." Aalisha cepat menginterupsi perkataan profesor Eugenius. "Takkan ada hukuman yang dijatuhkan untuk Jasmine Delilah, aku secara tulus memaafkannya, jadi jangan beri dia hukuman bahkan sekadar dikurangi poin-nya."
"Tunggu! Nona Aalisha, kau tak bisa begitu saja, Jasmine Delilah tetap bersalah karena berniat membunuhmu, setidaknya dia harus diberi hukuman skorsing dan dipanggil orang tuanya ke akademi," imbuh profesor Madeleine.
"Nona Aalisha, apakah kau diancam? Jangan takut, kami akan membantumu," tambah profesor Solana.
"Terima kasih atas kekhawatirannya." Perlahan Aalisha menaruh tangan kanan di dada kiri, sambil membungkuk, ia berujar, "aku mengatakan hal ini dengan kesadaran tanpa ancaman sedikit pun. Dengan hati nurani, aku memaafkan Jasmine Delilah, jadi tolong jangan beri dia hukuman, jangan memanggil orang tuanya juga."
"Baiklah jika itu keputusanmu," ujar profesor Eugenius.
"Profesor Eugenius!" sahut profesor Madeleine tidak percaya jika kepala sekolah ini dengan mudahnya menuruti perkataan Aalisha.
"Tak masalah profesor Madeleine, jika Aalisha yang meminta untuk tak menjatuhi hukuman pada Jasmine Delilah, maka kita harus menghargai keputusannya karena dia adalah korban di kejadian ini," sahut Arthur sangat setuju dengan profesor Eugenius. Hal itu membuat profesor Solana dan Madeleine hanya terdiam, tak mampu menyahut balik.
"Terima kasih atas pengertiannya. Lalu ada permohonan lagi dariku, tolong sembunyikan, tutupi identitas Jasmine serapat mungkin sebagai pelaku yang berusaha membunuhku. Aku tak mau namanya tersebar dan dibicarakan banyak murid."
Keempat profesor menatap pada Aalisha, sulit sekali dipahami isi pikiran gadis itu, tetapi itulah yang membuat Eugenius maupun Arthur tertarik dengan keunikannya. "Sesuai dengan permintaanmu Nona Aalisha, tentu saja aku berjanji," jawab profesor Eugenius.
"Terima kasih."
"Sekarang kau boleh pergi, beristirahatlah untuk hari ini, kembali belajar mulai besok saja," ujar Eugenius tersenyum simpul menatap Aalisha yang perlahan mengangguk kecil.
"Aku mohon undur diri, salam." Maka Aalisha membalikkan badannya, pergi dari sana, sebelum keluar dari ruangan itu. Di dekat pintu, ia melihat Tamerlaine yang memanggilnya dengan isyarat tangan, jadi Aalisha mendekati Tamerlaine.
"Ada apa, Tuan Tamerlaine?"
Tamerlaine tersenyum tipis, lalu menyodorkan wadah kaca yang berisi permen cokelat dibungkus plastik emas sehingga mirip koin. "Maukah Anda menerima ini, ambilah beberapa."
Aalisha sesaat menatap Orly, si pelayan profesor Eugenius. Di luar dugaan gadis itu mengambil satu keping cokelat tersebut. "Hanya satu, terima kasih."
Maka Aalisha segera keluar dari sana sedangkan Tamerlaine tersenyum simpul.
****
Berada di luar, Aalisha menatap pada Anila yang tengah duduk di lantai sambil menunggunya, sesekali gadis Andromeda itu menggunakan sihir yang membuat batu-batu kecil melayang dan berputar. Ketika sadar jika Aalisha sudah keluar dari ruangan itu, sontak Anila mendongak, sihirnya hilang, ia berdiri lalu melangkah ke arah Aalisha.
"Bagaimana?" ujar Anila.
Aalisha diam, mengamat-amati Anila, entah ekspresi yang akan diberikan oleh Anila ketika tahu jika Aalisha memaafkan Jasmine yang hampir membunuhnya. Mengingat kejadian Killian sewaktu di hutan saja, Anila marah besar. Pasti juga gadis itu marah dan sempat balas dendam pada Jasmine, meski tak diceritakan pada Aalisha, dia sudah bisa menebak.
Sialan, mengapa Aalisha memikirkan hal sepele seperti ini? Tidak biasa baginya memikirkan perasaan lawan bicara, lagi pula Anila marah atau tidak, bukanlah urusan Aalisha. Bahkan jika Anila membunuh Jasmine sekali pun, gadis itulah yang harus menanggung konsekuensinya, Aalisha tidak peduli.
"Aku memaafkannya, dia tak dihukum atas permintaanku," ujar Aalisha, "semua sudah selesai, aku tak mau membahas hal ini lagi."
Entah harus ke berapa kali Aalisha berkata jika ia sulit memahami perasaan manusia. Mengapa para Dewa menciptakan manusia sekompleks ini? Ia tidak bisa membaca tingkah laku dan emosi Anila.
Mengapa Anila menangis?
Mengapa gadis itu tidak menunjukkan amarah?
Mengapa yang tersirat berupa perasaan khawatir?
"Itu adalah pilihanmu, aku tak masalah. Karena yang terpenting kau baik-baik saja." Senyuman Anila terukir hingga memperlihatkan gigi putihnya.
Wajah Aalisha tertekuk, ia masih memendam kebingungan. "Ya, benar."
Mendengar jawaban Aalisha, semakin membuat Anila sedih. Dia melangkah maju, mengikis jaraknya, merentang kedua tangannya selebar bahu, berniat mendekap gadis kecil itu ke dalam pelukan.
"Tidak!" sahut Aalisha cepat, ia melangkah mundur karena tahu apa yang hendak Anila lakukan. "Jangan peluk. Aku tak suka."
"Baiklah, jangan peluk karena kau tak menyukai, akan kuingat," sahut Anila yang tidak merasa kesal atau kecewa, tetapi malah tersenyum bahagia. "Kalau begitu, ayo temuin yang lain, mereka menunggumu."
Anila meraih tangan kiri Aalisha, lalu digenggam erat. Hal ini membuat Aalisha menatap tangannya, lalu beralih pada Anila yang lekas berujar, "tak boleh peluk, bukan berarti tidak boleh genggam tangan 'kan? Lagian, teman kadang menggenggam tangan."
Aalisha memutar bola matanya, menghela napas, sambil menyahut, "ya, terserah saja."
"Bagus, jangan hilang ya." Anila menarik Aalisha pelan, lalu mereka melangkah beriringan. Sungguh hanya bisa pasrah Aalisha karena menentang pun, Anila akan lebih keras kepala.
Melewati koridor, beberapa pasang mata keduanya abaikan karena berfokus pada Aalisha. Berada di depan keduanya, tak jauh, mereka melihat seorang wanita dengan gaun merah muda, sepatu hak tinggi, mengenakan sarung tangan hingga siku, melangkah begitu anggun, membuat suara gesekan sepatunya terdengar.
Aalisha tahu benar siapa dia, begitu pula Anila. Sesaat Aalisha memberikan tatapan yang sangat tajam seperti pisau yang siap menguliti binatang telah mati. Ketika jarak mereka semakin terkikis, Anila sengaja menghentikan langkahnya, membuat Aalisha juga berhenti. Lalu Anila membungkuk sambil memberi salam.
"Halo Profesor Ambrosia, salam," sapa Anila, profesor Ambrosia yang sudah menghentikan langkahnya, perlahan membalas salam Anila.
"Salam, senang bertemu denganmu, Nona Andromeda," ujar profesor Ambrosia lalu melirik Aalisha yang perlahan semiriknya terukir.
"Senang bertemu dengan Anda juga," jawab Anila. Lalu sadar jika Ambrosia sedang menatap pada temannya, alias Aalisha.
"Salam Profesor," ujar Aalisha mengangguk kepala sekali.
"Apa kau sudah sehat?" ujar profesor Ambrosia.
Anila hendak menyahuti, tetapi Aalisha lekas membuka mulutnya. "Syukurnya aku baik-baik saja, profesor Solana dan para dokter serta perawat, berhasil mencarikanku obat, jadi aku tidak dalam kondisi yang parah."
"Ah, baguslah kalau begitu." Ambrosia sesaat menutup mulutnya dengan telapak tangan.
"Apa yang membawa Anda kemari?" ucap Anila sebagai basa-basi.
Aalisha melirik Anila sesaat, sebenarnya ia hendak menanyakan hal itu, tetapi sudah keburu Anila. Tentu saja pertanyaan ini harus dipastikan, pasalnya koridor ini hanya mengarah pada satu ruangan saja yaitu ruangan milik profesor Eugenius. Lalu dikarenakan ada rapat membahas Aalisha dan Jasmine yang mulanya bisa hampir satu jam, jadi profesor Eugenius tidak mengizinkan siapa pun kemari selain Aalisha, Anila, dan beberapa profesor seperti di ruangan tadi untuk mencegah tersebarnya berita yang tidak-tidak. Dikarenakan rapat sudah selesai lebih cepat, maka masih tersisa waktu cukup banyak, harusnya profesor Eugenius tidak menerima siapa pun, termasuk profesor Ambrosia.
"Aku hendak menemui profesor Eugenius, ada permasalahan mengenai kelas yang aku ajar di tahun keempat," jelas Ambrosia tanpa terukir sedikit pun sebuah kebohongan.
Anila mengangguk. "Begitu, semoga urusan Anda diperlancar—"
"Profesor," potong Aalisha, "aku juga perlu berterima kasih pada Anda, karena selain profesor Solana yang menyelamatkanku pada hari itu, Anda juga turut serta menyelamatkanku dari kematian."
Perlahan Aalisha membungkukkan badannya sebagai tanda penghormatan, setelah itu ia menatap manik mata Ambrosia. Di sisi lain, Anila hanya memperhatikan. Menurutnya sudah pasti Aalisha tahu jika profesor Ambrosia juga menolongnya entah cerita dari perawat atau mulut cerewet Mylo. Intinya, Ambrosia juga menjadi penyelamat Aalisha sebelum dibawa ke rumah sakit. Hanya saja, apa perlu Aalisha sampai memberikan hormat seperti itu?
"Ya, aku melakukan semua ini karena aku sangat menyayangi muridku, termasuk dirimu, sudah sepatutnya seorang pengajar melindungi murid-muridnya." Ah, lihatlah senyuman cantik Ambrosia, terutama didukung wajahnya bak putri kerajaan yang akan memikat banyak hati pria di pesta bangsawan.
Bukankah sangat berbeda dengan gadis bernama Aalisha, ketika ia tersenyum, ia lebih mirip seorang iblis dan penjahat paling keji di dunia, jika pun disandingkan dengan malaikat, maka ia lebih mirip malaikat yang dijatuhkan dari surga—fallen angel.
"Profesor, sebagai penyelamatku, aku rasa Anda juga berhak tahu keputusannya bahwa Jasmine Delilah tidak mendapatkan hukuman karena aku memaafkannya."
Ambrosia diam, ia mengamat-amati gadis kecil di depannya ini yang begitu jelas terukir semirik yang seperti mengajak permusuhan, barangkali senyum penuh keangkuhan. Sementara itu, Anila bingung melihat sahabatnya itu. Mengapa Aalisha mudah sekali mengatakan hal itu?
"Lalu aku hendak meminta pada Anda, bisakah Anda berjanji untuk tidak membocorkan identitas Jasmine? Aku sangat berterima kasih dan menghargai Anda, jika Anda menepati janji itu," sambung Aalisha lagi karena tak kunjung ada jawaban dari Ambrosia.
Tanpa memerlukan waktu yang lama untuk berpikir. Ambrosia langsung mengangguk, sambil berujar, "aku berjanji."
"Terima kasih," balas Aalisha sambil memberikan penghormatan. "Semoga Dewi Aarthemisia D'Arcy selalu mengasihi Anda, di mana pun dan bila mana pun."
Setelah kalimat terakhir terucap, Aalisha lekas menyibak jubahnya, melangkah dengan mantap, tanpa ada yang sadar, gadis itu menyeringai. Lalu Anila menyusul Aalisha dan memanggil nama Aalisha, tapi gadis kecil itu tak menggubris dan hanya melangkah semakin cepat.
Mereka meninggalkan profesor Ambrosia yang hanya bisa terdiam, wajahnya berang, manik mata pink rouge-nya seolah berubah menjadi merah menyala. Namun, semua itu hanya dalam hitungan detik karena kini wajahnya terlihat normal kembali seolah ia sempurna sekali mengontrol amarahnya dan mencari cara untuk segera menyelesaikan rencananya. "Anak itu, dia selamat karena para Dewa masih memberi kesempatan. Namun, tidak lama lagi, dia pasti akan mati karena takkan ada yang melindunginya lagi. Lalu ... aku tak butuh doa-doanya."
Ambrosia menggerakkan tangan kanannya ke dekat pipi, lalu ia hapus air mata yang menetes dari sana. Setelahnya ia berbalik, melangkah kembali dengan suara sepatu hak tinggi terdengar di sepanjang koridor kastil Eidothea yang ia lewati.
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Huahhh, ternyata Jasmine bunuh Aalisha itu adalah rencana 'seseorang'? Hmm, jangan-jangan penyerangan pas praktikum sihir dan mantra dasar, ternyata .....
Kenapa Aalisha memaafkan Jasmine ya? Aalisha nih sus juga loh.
Terus kok Aalisha bertingkah seperti itu di depan Ambrosia?
Siapa yang jahat di sini?
Prins Llumière
Kamis, 02 Februari 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top