Chapter 53 (1)

|| Jangan lupa vote dan komen^^

|| Kalian main media sosial apa saja?

Jubah panjang itu sedikit beterbangan karena tertiup semilir angin, terutama ketika pemilik jubah melangkah begitu cepat menyusuri koridor kastil Eidothea. Tidak ia gubris tatapan menusuk dan penasaran para murid yang sedang meliriknya, bisikan-bisikan terdengar meski para murid itu tidak tahu bagaimana kisah aslinya, mereka sejenak melupakan semarak pertandingan yang dimenangkan oleh asrama Arevalous, mereka yang hendak kembali ke aktivitas masing-masing juga harus tertunda, beberapa kakak tingkat yang awalnya acuh kini menaruh penasaran pula. Semua ini tertuju pada kegaduhan yang terjadi di daerah kebun akademi serta seorang murid perempuan bersimbah darah dan tak sadarkan dilarikan ke rumah sakit.

Tidak satu pun murid melihat jelas siapa perempuan itu, tetapi mereka sudah punya tebakan, terutama satu jam lalu Sang pemilik jubah yang merupakan putri bangsawan Count Andromeda terlihat panik sangat panik setelah mendengar seorang perempuan terluka parah, ia meninggalkan tribune penonton dengan tangis membasahi pipinya, berlari menuju rumah sakit akademi.

Dibukanya pintu lebar ruangan pasien, Anila terdiam di ambang pintu dengan degup jantung tak karuan, di dalam ruangan ini sudah ada profesor Solana, profesor Madeleine, dan beberapa perawat. Tak peduli seberapa kacau dirinya, Anila berlari menuju ranjang pesakitan, jantungnya semakin berdegup kencang, hingga air matanya kembali menetes ketika menatap pada seorang gadis tak berdaya terbaring di ranjang pesakitan dengan alat bantu pernapasan terpasang di hidungnya. Anila terdiam mematung, lidahnya kelu, tubuhnya gemetar takut.

"Nona Andromeda, " ujar profesor Madeleine, "dia sudah baik-baik saja, dokter berhasil menanganinya meski masih ada sedikit racun—"

"Racun, Anda bilang?" potong Anila dengan suara begitu rendah.

"Nona Andromeda." Profesor Madeleine hendak menyentuh pundak Anila, tetapi lekas ditepisnya tangan wanita tua itu dengan kasar.

"Jangan sentuh aku!" teriak Anila, berbalik menatap kedua profesornya secara bergantian. "Kenapa bisa terjadi? Kenapa Aalisha sampai terluka parah?!!"

"Nona Andromeda, tolong tenangkan dirimu," ujar profesor Madeleine lagi.

Anila menggeleng, manik matanya memerah, tangannya menolak disentuh oleh siapa pun. "Aku tahu, aku tahu siapa melakukannya."

"Nona Andromeda, nona Aalisha sudah ditangani, dia akan baik-baik saja, dia hanya tak sadarkan selama beberapa jam saja ke depan, kau harus tenang," jelas profesor Madeleine selembut mungkin. Sedangkan Anila tak menjawab.

Kini tangan Anila yang gemetar itu perlahan menyentuh tangan Aalisha yang kecil dan terasa dingin, sukses air matanya jatuh hingga ke jemari Aalisha. Perlahan bahunya luruh, lututnya yang gemetar dan tak mampu menopangnya itu, membuatnya ambruk di sana sambil terus memegangi tangan Aalisha, kemudian menangis tanpa ada yang bisa menghentikannya.

Dari arah pintu, Mylo sampai, ia menatap pada semua yang di dalam terutama Anila yang terduduk di samping ranjang pesakitan, terus menangis dan tak mau melepaskan tangan Aalisha. Mylo lekas mendatangi Anila, melewati para profesor dan perawat, kemudian menatap penuh kesedihan karena Anila yang begitu kacau; terduduk di lantai, kaki menekuk, wajah di antara lipatan kaki, tangan kanan masih menggenggam erat jemari Aalisha, serta isakan tangis tak kunjung berhenti.

"Anila," panggil Mylo.

"Jangan ganggu aku!" teriak Anila, "pergi, jangan ganggu aku."

Mylo tersenyum tipis. Perlahan dia berjongkok agar posisinya sama dengan Anila, lalu duduk di depan gadis Andromeda itu. Dia amat-amatinya Anila sesaat, lalu tangannya menggenggam tangan Anila yang tak juga melepaskan jemari Aalisha. "Dia akan baik-baik saja, percayalah padaku. Selama ini dia selalu baik-baik saja 'kan? Kau harus kuat demi dia. Aku juga harus kuat demi dia."

Mylo berbohong, dia bohong jika dia kuat dan tak mau menangis karena kini dadanya sangat terasa sesak. Air matanya bisa pecah kapan saja, ia akan berteriak saking kesal dan marahnya karena hal buruk menimpa Aalisha. Namun, ia tahu kalau melakukan semua itu takkan berguna. Jika ia ikutan hancur dan sedih, lalu siapa yang akan menenangkan kesedihan mereka?

Pasti Aalisha, andai gadis itu bukan yang terluka, pasti dia yang akan menenangkan semua orang. Jangankan air matanya menetes, dia bahkan tak sedih sedikit pun. Maka dari itu, Mylo harus percaya jika Aalisha akan baik-baik saja.

Sejujurnya Mylo tak pernah berada di kondisi terpuruk dan dirasuki kesedihan seperti ini karena melihat seseorang hampir di ambang kematian, mungkin ia pernah melihat kakak tertuanya terbaring di rumah sakit hampir mati setelah pulang dari ekspedisi zero domain, tetapi melihat kakaknya, tidak sesakit melihat Aalisha terbaring di ranjang pesakitan. Mungkin karena mereka seumuran, mungkin karena di umur segini, mereka tidak harus menghadapi kematian, tapi Dewa memang sebercanda itu.

"JIka kau terus menangis, Aalisha akan marah karena kau membuang air matamu, jadi berhentilah kumohon," pinta Mylo, "nanti Aalisha mengoceh panjang lebar loh."

Anila tak menyahut, dia masih menenggelamkan wajahnya di antara kedua lututnya. Mylo berujar kembali. "Dia kuat Anila, meski tidak terlahir sebagai Bangsawan seperti kita, tapi dia sangat kuat. Buktinya saja dia bisa mengalahkan kakak tingkat bajingan, maka hal seperti ini tidak ada apa-apanya. Dia juga dilatih master Arthur, padahal kita tidak sanggup jika berlatih dengan master Arthur ...."

Di belakang, para perawat mulai pergi meninggalkan ruangan pasien ini. Sedangkan kedua profesor masih senantiasa mengamati kedua muridnya yang dilanda kesedihan, tetapi masih berusaha saling menguatkan.

"Dia juga rajin berdoa ke kuil, lebih rajin dibandingkan aku dan Gilbert, kuyakin para Dewa menyayanginya, dia akan baik-baik saja Anila." Perlahan senyuman Mylo terukir ketika Anila mengangguk kecil, tangis gadis itu sudah tak terdengar.

"Kuyakin dia akan bilang begini, "kalian gila? Mengapa menangis untuk hal tak perlu, kalian membuang waktu lagi, berhentilah menangis atau kupukul kalian!" Bagaimana, aku cocok berakting jadi dia 'kan?" ucap Mylo yang terdengar kekehan Anila sesaat.

"Bodoh, payah, buruk sekali kau berakting," sahut Anila mendongak, memperhatikan manik mata Mylo.

"Ya, aku terima pujian itu," balas Mylo, "bagaimana sudah nangisnya?"

"Masih sesak," sahut Anila.

"Aku juga," jawab Mylo.

"Begini untuk sementara." Anila perlahan menyembunyikan wajahnya di antara lutut yang ditekuk lagi.

"Ya, aku akan di sini, menunggumu, menunggu Aalisha juga."

Profesor Madeleine mendekati Mylo, ia sedikit membungkukkan badannya alu berujar, "apa tak masalah jika kami tinggal kalian berdua?"

"Iya, terima kasih Profesor," ujar Mylo tersenyum tipis.

"Baiklah." Profesor Madeleine mendekati Solana, lalu ia tepuk bahunya pelan, kemudian mereka berdua pergi meninggalkan ruangan dengan tersisa satu perawat yang menunggu di ujung ruangan.

Sepeninggalan mereka, Mylo menatap Anila yang terdiam tak bersuara, ia lalu beralih pada Aalisha yang terbaring dengan napas teratur, tangan gadis itu begitu dingin, sangat tenang seolah ia seorang putri tidur yang sedang menunggu keajaiban menghampirinya. Maka Mylo, menekuk kedua kakinya juga, mengeratkan genggaman tangan pada tangan Anila yang menggenggam jemari Aalisha, kemudian menenggelamkan wajahnya di antara kedua lutut.

Mereka berdua, menunggu Aalisha, menunggu, seolah tak mau melepaskannya. Karena jika sedikit saja dilepaskan, keduanya takut, sangat takut. Jika gadis itu akan pergi dan menghilang.

****

Satu jam berlalu, Anila terbangun dari tidurnya yang tak terasa sama sekali. Dia mengamati Mylo yang tertidur di depannya dengan menggenggam tangan Aalisha serta tangannya. Perlahan Anila berdiri, lalu melepaskan genggaman pada tangan Aalisha, begitu juga melepaskan tangan Mylo. Kini ia beralih pada Aalisha yang tertidur bagaikan tuan putri di dalam dongeng, bedanya gadis kecil itu sedang menghadapi rasa sakit barangkali kematian, tetapi Anila takkan membiarkan kematian membawanya pergi.

Muncul cyubes-nya, menampilkan pesan dari seorang anonim yang berisikan pesan teks sangat panjang. Manik mata Anila yang penuh kesedihan itu berubah menjadi amarah dalam hitungan detik saja, maka tanpa berkata apa pun pada Mylo. Dia melenggang pergi dari ruangan pasien, meninggalkan rumah sakit, melangkah di koridor dengan terburu-buru. Dia sambil memperhatikan cyubes yang memberikan petunjuk lokasi apa yang harus ia datangi, dipercepatnya lagi langkahnya sampai jubahnya beterbangan.

Tidak Anila pedulikan tatapan para murid yang penuh rasa penasaran dan bingung, ia tak gubris perkataan yang membicarakannya serta mempertanyakan sebenarnya apa yang terjadi? Siapa gadis bersimbah darah yang dilarikan ke rumah sakit?

Anila terus melangkah, ibarat salah satu kesatria yang berada di barisan terdepan, maka dia melangkah melewati ratusan prajuritnya dan hendak mengambil posisi siap bertempur. Tujuan Anila memang bukanlah peperangan, tetapi pertempuran takkan terelakkan, apalagi jika ada seseorang yang hancur dengan tangannya. Ya, dia berhasil mencari tahu siapa pelaku yang membuat Aalisha dilarikan ke rumah sakit dengan bersimbah darah dan racun menjalar di tubuhnya.

Pelakunya itu berada di salah satu ruangan kelas akademi ini, Anila takkan melewatkan hal ini. Ia hendak melihat secara langsung bagaimana wajah menyedihkan yang akan segera dia hancurkan itu.

Hampir sampai di kelas itu, Anila berbelok ke simpangan koridor, beberapa murid dia lewati hingga dari kejauhan dia melihat seorang wanita dengan gaun biru serta rambut terurai panjang sedang melangkah dengan pelan, suara hak sepatunya terdengar sesaat ketika bersinggungan dengan lantai. Wanita itu adalah profesor Ambrosia. Anila tidak berkata apa pun pada Ambrosia, ia hanya menatap manik mata profesornya sesaat lalu Anila mengangguk pelan yang dibalas dengan senyuman tipis Ambrosia, setelahnya Anila mempercepat langkahnya, berbelok ke koridor lain.

Di sisi lain, Ambrosia sesaat melirik ke belakang dengan senyumannya tercetak mengerikan, penuh rasa puas dan kebanggaan juga. "Kasihan sekali, kasihan pula gadis kecil itu. Malaikat kematian pasti sudah menyiapkan sabitnya."

****

Dua orang prajurit Akademi yang diperintahkan untuk menjaga pintu masuk ruangan kelas sedang mengobrol, membicarakan tentang murid di dalam ruangan kelas yang hampir saja membunuh murid lain, sungguh mengerikan, terutama pelaku ini seorang keturunan bangsawan Viscount. Bisa menjadi masalah besar jika sampai ke telinga Viscount itu, bisa-bisa ia diseret ke rumah dan dihukum, parahnya mendapatkan sanksi dikeluarkan dari Eidothea.

Memang benar Eidothea sekolah yang sangat ketat, tetapi hal seperti ini, tidak sekali-dua kali terjadi, malah sering sekali semenjak angkatan paling pertama dari Akademi ini. Terutama pertengkaran antara kasta borjuis dan proletar yang sangat terlihat kesenjangannya.

"Kau tahu siapa anak di dalam itu?" ucap satu prajurit bernama Virno.

"Diam, jangan aneh-aneh, kau mau kita terkena masalah," sahut prajurit satunya bernama Barga.

"Oh, ayolah, aku hanya bertanya." Virno celingak-celinguk memastikan tak ada yang mendengar perkataannya.

"Tetap saja, meski dia bersalah, dia adalah bangsawan Viscount." Barga tak mau jika hidupnya akan berakhir mengenaskan karena berurusan dengan bangsawan, sudah cukup dirinya bertahan dengan segala keanehan dan kegilaan Akademi ini, tak mau ia terlibat dengan bangsawan.

"Terserah kau lah," balas Virno mengibaskan tangannya lalu ia mengamat-amati koridor yang terlihat seseorang sedang berjalan mendekati mereka. "Hei, kupikir koridor sini sudah diberitahu untuk tidak dilewati?"

Barga menghela napas. "Ada saja pelanggar. Kurasa dia teman anak di dalam ini, atau murid tersesat, biasalah akademi ini kayak labirin."

"Biar aku yang beritahu," ucap Virno lalu menghalangi jalan Anila yang kini memangsa wajah masam dengan tatapan menusuk nan mengerikan.

"Maaf, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Virno.

"Aku ingin masuk ke ruangan itu." Anila hendak melangkah kembali, tapi tertahan tongkat yang Virno genggam.

"Nona, kau tak ada yang boleh masuk ke sana, ada urusan mendesak jadi ruangan itu hendak digunakan, ini adalah perintah dari profesor Madeleine," jelas Virno.

"Ya, jadi tolong tinggalkan tempat ini karena untuk sementara di hari ini, ruangannya mau digunakan," timpal Barga.

"Aku ingin menemui seseorang yang ada di dalam sana," sahut Anila.

Virno menatap Barga, begitu juga sebaliknya. Sepertinya isi pikiran mereka saling terkoneksi. "Apa kau teman dari murid yang di dalam, kalau iya, maaf karena—"

"Murid yang ada di dalam sana adalah manusia yang hampir membunuh temanku," jelas Anila dengan sekali tarikan napas, membuat Virno dan Barga terdiam membisu. Jadi bukan teman, melainkan musuh? Kalau begini akan jadi masalah 'kan? Untuk apa seseorang mengunjungi musuhnya karena mustahil hendak damai apalagi temannya hampir diambang kematian karena perbuatan musuhnya, jadi pasti alasan nona ini kemari, tentu untuk balas dendam.

"Tetap saja Nona, kau tak boleh masuk, jika tidak kau akan mendapatkan amarah profesor Madeleine," jelas Barga langsung ke intinya.

"Jadi pergilah, aku tahu alasan kau kemari, jika balas dendam maka lupakan karena balas dendam bukanlah hal baik." Virno berdiri di hadapan Anila, hendak segera mengusir gadis itu.

"Kami peringatkan sekali lagi, pergi lah Nona, masalah ini akan ditangani pihak Akademi," timpal Barga.

Anila sudah tahu jika hal ini terjadi, sebenarnya ia tak mau berbuat kerusuhan apalagi sampai membangkang dan menentang orang lain, tetapi amarah sudah merasuki kalbu. Jadi ia mendongak, menatap sinis dan menantang kedua pria di depannya. "Biarkan aku masuk, karena aku punya urusan dengan seseorang di dalam sana."

"Oh Dewa, sudah dilarang, tak ada murid yang boleh masuk, kau mau dihukum oleh pihak Akademi?" Barga tahu benar jika kebanyakan dari murid akademi ini egois dan suka mencari perkara, tapi harusnya mereka takut jika mendapatkan hukuman dari akademik.

"Tak masalah, biarkan aku masuk!"

"Nona, kami masih berlaku baik di sini, jangan sampai kami menyeretmu secara paksa. Tak ada murid yang boleh masuk ke sana!" Lekas Virno berujar yang semakin menghalangi jalan Anila dengan tongkatnya.

"Kami di sini hanya menjalani perintah, jadi tolong turuti, atau seperti yang dikatakan olehnya. Kami bisa menyeretmu secara paksa pergi dari sini," timpal Barga.

"Harusnya kalian bertanya dahulu siapa aku," ucap Anila sudah tak punya pilihan. Ia harus masuk ke dalam sana. Meski harus dihukum berat sekali pun.

"Apa maksudmu?" Bingung sekali Virno, begitu juga Barga.

"Kalian bilang jika murid Eidothea dilarang masuk 'kan?" Anila menatap kedua pria di depannya ini.

"Ya, tak ada yang boleh," sahut Barga.

Anila tersenyum tipis. "Kalau begitu, aku akan masuk ke sana tidak dengan statusku sebagai murid Eidothea."

"Sudahlah, jangan ngawur kau." Virno hendak mendorong mundur Anila, tetapi dengan cepat gadis itu merebut tongkat Virno kemudian dilemparnya.

"Andromeda," ucap Anila.

"Apa?" Kedua pria itu sangat heran, rasa takut menyeruak.

"Aku putri Count Helio Andromeda, jadi atas nama keluargaku, biarkan aku masuk!! Sebelum aku meminta ayahku turun tangan untuk memenggal kepala kalian berdua!"

Sekonyong-konyong Anila merapalkan mantra dengan cepat, sihir itu sukses membuat kedua pria dewasa itu terpental hingga membentur tembok dengan keras. Lekas Anila melangkah, pintunya terbuka sendiri, suara gebrakan terdengar sangat keras ketika pintu itu tertutup kemudian diberi sihir oleh Anila sehingga tak seorang penjaga bisa masuk dengan mudah.

Berada di dalam, Jasmine Delilah duduk di kursi dengan wajah tertekuk, pandangan penuh kesedihan, debaran jantung tak karuan karena masih takut akan apa yang terjadi beberapa jam lalu. Lamunannya buyar, terkejut pula ia ketika suara bantingan pintu sangat keras terdengar, bersamaan seorang gadis berambut panjang serta jubah Arevalous-nya sedikit beterbangan karena langkah yang begitu cepat seolah dikejar setan saja.

Jasmine sadar siapa gadis itu dengan mata dipenuhi amarah itu. "Kau keturunan—"

Anila memutus kalimat Jasmine dengan melempar gadis itu menggunakan mantra yang dirapalkannya begitu cepat, sukses Jasmine terbanting ke lantai, belum gadis itu mencerca karena serangan dadakan Anila. Meja besar melayang ke arah Jasmine, sayangnya tak kena karena Jasmine berhasil menghindar, maka meja itu hancur karena menghantam dinding. Tidak berhenti begitu juga, Anila merapalkan mantranya kembali membuat meja-meja, kursi, bahkan vas bunga besar melayang ke arah Jasmine, beberapa kursi kayu berhasil menghantam gadis itu hingga teriakan penuh rasa sakit terdengar. Jasmine membuka matanya, menurunkan tangannya yang sedari tadi melindungi wajahnya.

"Sialan! Apa kau kemari untuk balas dendam hah, untuk temanmu yang berasal dari kasta bawah itu!" teriak Jasmine terbesit senyuman. "Menjijikkan sekali, bangsawan yang lebih tinggi dariku malah menjadikan kasta bawah sebagai teman! Pertemananmu itu hanya akan mencoreng nama bangsawan, terutama keluarga Count Andromeda."

Jasmine berdiri, agak terhuyung ia, tetapi senyuman masih terukir seolah yang ia katakan adalah sebuah kebanggaan. "Kau paham kan apa yang kumaksudkan? Kira-kira apa yang dipikirkan kalangan sosial jika tahu putri keturunan utama Bangsawan Andromeda malah berteman dengan manusia yang tak jelas asal-usulnya, tidak punya kasta dan tahta, meski dia anak Eidothea, dia tetaplah rakyat jelata!"

Anila menyahut, "kudengar kau terkena hukuman hingga dipanggil ayahmu ke akademi, itu artinya Viscount Delilah—"

"Ayah memarahiku habis-habisan karena rakyat jelata itu! Dan kau selanjutnya, kau pun akan dimarahi oleh Count Andromeda karena berteman dengan rakyat jelata yang menjijikkan. Kau menghancurkan martabat ayahmu. Karena itu ...." Jasmine perlahan mengulurkan tangannya seperti mengajak berjabat tangan. "Bagaimana jika biarkan anak itu mati dan bertemanlah dengan bangsawan yang setara denganmu."

Anila memperhatikan Jasmine, posisi keduanya cukup jauh, jadi Anila melangkah pelan, menipiskan jarak antara keduanya. "Kau benar, sudah sejak zaman dulu pemikiran tertanam pada kita para bangsawan jika berdampingan dengan rakyat jelata adalah sebuah dosa. Begitu juga pemikir kolot itu diajarkan oleh keluargamu. Invinirium."

Anila memunculkan invinirium, mengambil pedangnya dari dalam tempat penyimpanan itu. Lalu ia genggam sangat erat seolah benar-benar siap untuk memenggal kepala manusia. "Aku tak bisa menyangkal pemikiranmu, tapi apa kau tahu jika setiap generasi selalu punya perubahan meski sekecil biji jagung. Karena itu, pemikiran kolot nan bodohmu, tidak sejalan denganku."

Jasmine mengepalkan tangannya, bibirnya ia gigit, pandangannya jadi penuh amarah terutama kekesalan. "Tentu saja, karena kau sepertinya memang ditakdirkan sebagai teman dari para rakyat jelata! Anak pembangkang sepertimu, pada akhirnya akan dihancurkan oleh ayahmu sendiri, bukankah---"

"Ahh, apa kau berpikir jika ayahku akan marah besar jika aku berteman dengan selain bangsawan?" Senyuman Anila kini giliran terukir, begitu meremehkan Jasmine.

"Apa kau bilang?"

"Ini kau memang tertinggal berita akan keluargaku atau bagaimana? Kau tak pernah membaca Lè Ephraim. Jasmine Delilah, apa kau tahu, jika pemikiran seorang anak, paling berperan dibentuk dari lingkungannya, terutama lingkungan keluarga. Begitu juga denganku, salah satu alasan aku tidak memandang teman berdasarkan kasta adalah karena ajaran dari ayahku, Count Helio Andromeda."

Jasmine terdiam membisu, ia tak tahu harus menyahut apa karena mendengar semua kalimat keluar dari putri keturunan utama Bangsawan Andromeda itu membuat tubuhnya seolah terpaku, ia merinding, penuh ketakutan.

"Kenapa diam? Aku tebak, kau pasti dimarahi habis-habisan oleh ayahmu 'kan? Kau dimaki-maki sampai dianggap tidak berguna. Karena itu kau balas dendam pada Aalisha, padahal semua yang terjadi saat itu karena perbuatanmu sendiri. Tindakanmu sudah termasuk pelecehan terhadap perempuan dan pelecehan adalah kekerasan paling dibenci kalangan sosialis.

"Harusnya kau bersyukur, saat itu pihak akademi hanya menghukummu dengan memanggil ayahmu, bukan mengeluarkanmu dari akademi. Kau pun juga harus bersyukur, karena jika akulah yang ada di posisi Aalisha saat itu. Maka aku takkan segan menggunakan otoritas keluargaku untuk menghancurkan keluargamu itu! Kini, kau malah melampaui batas karena berniat membunuh Aalisha. Kau pikir aku akan memaafkanmu?"

Suara Jasmine seketika mengeras. "Kenapa?! Kenapa bisa begitu, kenapa kau tidak mendapat amarah ayahmu bahkan jika perbuatanmu itu mencoreng nama keluargamu itu!!"

"Kenapa kau bilang?" Anila terkekeh kecil. Lalu kembali menatap Jasmine yang sudah berang, wajahnya memerah karena amarah. "Karena aku sangat dicintai oleh ayahku. Apa pun yang kuinginkan akan diberi olehnya. Apa pun yang kulakukan takkan dimarahi dan selalu didukung olehnya. Ayahku membolehkanku berteman dengan siapa pun tanpa harus memandang kasta. Aku begitu dicintai, tidak sepertimu. Ha ha ha, kasihan sekali, menyedihkan sekali kau, Nona Jasmine Delilah."

"BAJINGAN KAU ANILA ANDROMEDA!"

Seketika bibir Jasmine terkatup kuat, ketika Anila mengangkat tubuh Jasmine dengan sihir, kemudian dihantamkan ke dinding hingga dinding itu retak. Tubuh Jasmine jatuh, sebelum benar-benar ambruk, lekas Anila menggunakan mantra lagi yang menjerat tubuh Jasmine sehingga gadis itu tertahan dinding, tubuhnya kaku, sama sekali tak bisa bergerak.

Dengan gerakan sangat cepat, tak terbaca oleh mata, Anila tepat di hadapan Jasmine, menggenggam erat pedangnya, kemudian diayunkan begitu luwes. Namun, hampir menggores leher Jasmine, sebuah tangan yang diselimuti sarung tangan hitam dengan mudah menahan pedang Anila, menghentikannya di waktu yang tepat sebelum benar-benar memenggal leher Jasmine.

Semerbak aroma harum perpaduan buah zaitun dengan kayu manis, serta lemon tercium. Jubah biru gradasi putih terlintas di manik mata Anila, lalu gadis itu mendongak pada seorang pria dengan rambut hitam bermata hazel serta wajah begitu tampan yang selalu dipuji murid-murid perempuan.

"Dia menghentikan pedangku dengan tangan kosong, bahkan tanpa sihir." Anila bergumam lalu perlahan-lahan pedangnya di dorong hingga menjauh dari leher Jasmine.

"Aku tahu kau marah besar, tapi membunuh tetap ada konsekuensinya, hal ini akan membuat dua keluarga bangsawan saling berperang. Pihak kerajaan takkan suka hal itu terjadi." Master Arthur berujar hingga ia menurunkan pedang Anila. "Candaanmu kurang lucu, Nona Andromeda."

"Aku tak bercanda Master Arthur," sahut Anila dengan tatapan sinis.

"Benar kah? Kau serius hendak membunuhnya? Kau berani?" ucap Arthur sambil memperhatikan gelagat Anila. Jika gadis itu benar berani, maka ia sudah menggunakan celah ini untuk menusuk Jasmine. Apalagi jarak sedekat ini setidaknya berhasil membuat tubuh Jasmine bolong karena tertembus pedang. Sayangnya kesempatan ini tak digunakan Anila, artinya masih tak ada keberanian bagi gadis itu untuk membunuh makhluk hidup lain.

"Maaf Master, tapi dia harus mendapat ganjarannya! Anda tahu bukan kalau dia hendak membunuh Aalisha, dia menggunakan racun pada Aalisha, kini Aalisha belum juga sadarkan diri!" teriak Anila, "kalau benar Anda punya nurani, maka Anda tahu mana yang harus dilakukan!"

"Jika semisal pihak akademi tidak memberikan hukuman bagaimana?" sahut Arthur.

"Maka akan kukirim surat ke kediaman Andromeda agar menyuruh perwakilan Andromeda datang, dan menjatuhkan hukuman itu," balas Anila begitu yakin, tak bercanda, ia serius menggunakan otoritas keluarganya. "Kuminta ayahku melakukannya karena dia telah menyakiti sahabatku!"

Arthur tersenyum tipis. "Apa keturunan Andromeda selalu peduli seperti ini pada orang lain? Seingatku dalam sejarah, keluargamu sama seperti bangsawan lain, seperti Cornelius juga."

"Ayahku dan aku tidak, kami berbeda, aku tak mau juga disamakan dengan Cornelius gila itu."

Arthur mengangguk, lalu memanggil Immanuel yang kemudian melepaskan Jasmine dari jerat mantra Anila, lalu membawa gadis Delilah itu pergi. Melihat Jasmine yang telah dibawa Immanuel itu, membuat Anila geram lagi. "Kau mau selamatkan dia?"

"Mumpung hanya kita berdua, bagaimana kalau mengobrol sebentar?" ucap Arthur yang kemudian di tengah ruangan muncul meja bundar dan dua kursi. Arthur duduk di salah satu kursi sedangkan Anila tak berniat duduk.

"Aku tak mau."

"Bagaimana jika kumulai obrolan sederhana ini dengan pernyataan mudah, seberapa berharganya Aalisha bagimu? Padahal pertemanan kalian belum mencapai satu tahun, kau tak tahu apa pun tentang gadis itu, apa yang membuatmu tertarik padanya?" ujar Arthur yang membuat Anila menarik kursinya kemudian duduk di sana. Pertanyaan Arthur itu membuat Anila harus menjawabnya.

"Dia berharga bagiku---"

Arthur menginterupsi perkataan Anila. "Kuharap kata berharga itu adalah ketulusan, bukan karena kau merasa iba padanya. Apa kau iba pada Aalisha yang lahir sebagai rakyat jelata tanpa kasih sayang orang tua? Apa kau iba karena anak itu cacat, seorang niteleum yang tidak bisa mengontrol neith-nya? Apa kau iba karena gadis itu kecil seperti ia bisa dihancurkan kapan saja?"

Diam, Anila terdiam membisu, meskipun begitu dia berani menatap manik mata Arthur. "Aku tidak tahu, aku tidak tahu alasannya, tapi ketika pertama kali aku bertemu dengannya di kereta, ketika aku melihat matanya, aku merasa nyaman dan tenang berteman dengannya. Meskipun dia jarang tersenyum dan terlihat seperti tokoh penjahat barangkali pembunuh berantai dalam novel thriller. Namun, aku merasa nyaman berada di dekatnya.

"Kadang, dia seperti manusia berbeda dari manusia yang pernah kutemui sebelumnya. Membuatku ingin berteman dan mengenalnya, dia seperti kaca yang mudah rapuh, tapi akan sangat sakit jika disayat ke tangan.

"Ketika dia berani melawan Bangsawan tanpa takut, banyak pemikiranku terbuka karenanya. Aku tak tahu alasan pasti, kenapa aku mau berteman dengannya, entah tulus, entah karena aku iba, atau karena aku merasa dia berbeda dengan manusia yang lain, aku tidak tahu. Namun, satu hal yang pasti, jika menganggapnya sebagai teman dan aku ingin terus berteman dengannya."

Mendengar perkataan Anila membuat Arthur menyeringai. Seolah kemenangan ada di tangannya. "Karena itu kau marah ketika Aalisha terluka?"

"Pertanyaan bodoh, Masterku," sahut Anila, "dunia ini memang bukan novel fiksi, tapi siapa yang takkan marah ketika teman mereka terluka. Bahkan Aalisha berani menyerang dua kakak tingkat hanya untuk Frisca."

Kursi Anila berderit ketika empunya mendorong kursinya. "Pembicaraan kita selesai."

"Satu pertanyaan terakhir," ucap Arthur.

"Baiklah."

Arthur mengamat-amati Anila, ia lalu menyilang kakinya. "Apa semua yang kau lakukan untuk Aalisha adalah sebuah permintaan dari seseorang? Apa ada seseorang yang memintamu berteman dengan Aalisha dan membela gadis itu?"

Tepat sekali, Arthur bisa melihat perubahan wajah gadis itu. Tangannya diam-diam juga mengepal kuat. Sebenarnya ini hanyalah pertanyaan asal saja karena Arthur sangat penasaran. Namun, jawaban Anila serta bagaimana ekspresi gadis itu berubah penuh keyakinan akan jawabannya membuat Arthur tertegun.

"Pertanyaan bodoh lagi, tak ada yang meminta padaku," ujar Anila perlahan berdiri dari kursinya. "Aku melakukannya atas kemauanku, meskipun Aalisha sendiri yang meminta padaku, jawabanku tetap sama. Aku melakukannya atas kemauanku sendiri karena seorang teman akan selalu membantu tanpa perlu diminta."

Anila berniat melangkah, melenggang pergi dari sana dan tak ia ketahui jika masternya itu tersenyum mengerikan, Anila kemudian berujar, "aku mohon undur diri, jika pihak akademi tidak memberikan hukuman yang setimpal, maka aku akan mengirim surat pada ayahku."

"Ada yang hendak kubahas mengenai nona Delilah," sahut Arthur.

"Jika Anda berusaha untuk menyelamatkan---" Perkataan Anila terhenti.

"Aku tak berusaha menyelamatkannya, hanya ingin mengungkapkan kebenaran." Ada jeda sesaat yang dibuat Arthur seolah dia hendak memastikan Anila siap mendengar perkataannya. "Tidak sepenuhnya nona Jasmine Delilah menyerang Aalisha karena dendam dan amarah, ada sesuatu di luar itu yang memicunya. Itu adalah ...."

Terjadi obrolan yang sangat panjang antar keduanya, setelah obrolan itu. Anila terdiam, kemudian menatap masternya sesaat dengan manik mata bercampur antara amarah dan ketidakpercayaan. Setelah itu, Anila melenggang pergi dari sana, membuka pintu dan menyisakan Arthur sendirian.

"Apa kau sudah mengantarkan Jasmine Delilah?" ujar Arthur pada Immanuel.

"Tentu saja Master, dia pingsan karena tekanan kekuatan dari nona Andromeda."

Arthur membuka bukunya, bersampul hitam-keemasan. "Baiklah, kau melakukan tugasmu dengan baik."

"Terima kasih Master," ujar Immanuel, "apa tidak masalah mengatakan kebenarannya pada nona Andromeda? Bukankah hal ini akan menggemparkan atau malah memicu kegaduhan?"

"Dia cerdas, dia takkan melakukan hal bodoh, lagi pula percuma ditutupi. Lebih baik kukatakan kebenarannya sebelum Count Andromeda yang turun tangan demi putrinya," sahut Arthur.

Immanuel mengangguk. "Menurut Anda, berapa lama gadis yang terkena racun itu akan sadarkan diri? Karena meskipun racunnya sudah dinetralisir, tapi tetap meninggalkan efek."

"Paling lama mencapai seminggu atau minimal tiga hari, tapi apa pun itu, tak perlu dipermasalahkan. Dia sudah selamat dari ambang kematian, sungguh kemurahan hati Para Dewa." Setelah membaca akhir paragraf di halaman novelnya, Arthur membalik ke halaman selanjutnya, lalu berujar kembali.

"Selain itu, aku tak menyangka jika nona Andromeda benar-benar tulus pada Aalisha, bukankah jawaban Andromeda tadi terdengar sangat puitis. Kurasa sudah diketahui siapa pemenang dari taruhan itu. Aku sangat tak sabar menantikan kemenanganku." Arthur tersenyum begitu jahat, seolah sosoknya bersembunyi dibalik bayang-bayang yang selalu memiliki kesempatan untuk mendapatkan setiap kemenangannya.

"Ya, sesuai dengan rencana, Anda memang akan meraih kemenangannya," imbuh Immanuel.

****

Sementara itu, ketika malam tiba. Jam menunjukkan pukul sebelas hampir tengah malam. Di salah satu ruangan rumah sakit yang begitu sepi, hanya ada satu pasien di sana. Tidak ada perawat yang berjaga. Ini adalah hal biasa karena sudah diberi tugas seorang Orly untuk berjaga, biasanya Orly yang mendapatkan tugas ini akan menghilangkan wujud mereka dan mengawasi secara diam-diam atau secara terang-terangan ia akan berada di kursi yang berada di dekat pintu masuk, tetapi kini Orly itu ada keperluan sehingga pergi sementara.

Kepergian Orly yang berjaga itu, membuatnya tak mengetahui jika satu-satunya pasien di sana yang harus berbaring di ranjang pesakitan, malah perlahan bangun, duduk, melepaskan alat bantu pernapasan yang terpasang di hidungnya. Ia menghela napas panjang, kemudian mengedarkan pandangannya.

"Sialan," ujar Aalisha, "padahal ditusuk tadi, seperti digigit kucing, tapi tak kusangka dia menggunakan racun. Tubuhku jadi kaku sedikit, tapi tak buruk juga karena dengan ini, aku punya waktu tidur yang banyak."

Aalisha mengangkat tangannya, lalu digerakkan jari-jemarinya yang terasa seperti kesemutan. Setelah itu ia berujar lagi pada angin lalu. "Anila dan Mylo harusnya tak perlu menungguku selama berjam-jam, bahkan mereka memilih makan di sini."

Ia menggerakkan kepalanya ke kanan dan kiri, terasa sangat pegal. Lalu perlahan menurunkan kakinya. Harusnya gadis itu sedikit lumpuh dan sulit berjalan seperti yang dikatakan dokter pada profesor Madeleine, hal ini karena efek samping racun. Namun, lihatlah bagaimana Aalisha berdiri dengan kedua kakinya tanpa alas, lalu melangkah tak goyah dan tak gontai sekali pun seolah racun tidak berefek pada tubuhnya.

Invinirium dimunculkan, Aalisha mengambil bukunya yang biasa ia tulisi, bisa disebut sebagai buku diary meski Aalisha enggan menyebutnya begitu. Pena berbulu juga ikutan muncul, maka ia mulai menulis di halaman kosong bukunya sambil melangkah ke jendela ruangan ini. Ia taruh pena berbulunya, dibuka jendela tersebut, mengizinkan angin malam masuk ke ruangan hingga gorden putih di sana tersibak.

"Haruskah kuberitahu Owen jika apa yang terjadi di akademi ini, taklah membosankan," ujarnya entah pada siapa padahal tak terlihat siapa pun di sekitar Aalisha. "Sejujurnya aku semakin benci pada Jasmine Delilah, tapi profesor Ambrosia ...."

Aalisha menghentikan perkataannya sendiri, kemudian tertawa kecil. Tiga detik cukup baginya untuk tertawa, lalu ia berujar, "yah, entah apa yang para Dewa inginkan. Aku tak sabar bagaimana kelanjutannya."

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

Siapa mau sahabat kayak Anila dan Mylo, acungkan tangan!!

Anila termasuk bangsawan yang jarang mau gunakan otoritas keluarganya, lihatlah betapa ayahnya mendidiknya dengan sangat baik^^

Lalu Aalisha, sepertinya dia malah menikmati saja tiduran di rumah sakit bahkan ditusuk pisau rasanya seperti digigit kucing, ha ha ha.

Prins Llumière

Kamis, 02 Februari 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top