Chapter 52
|| Vote dan komen sebelum kalian semua ditimpuk Aalisha
Di salah satu ruang kelas sedang berlangsung mata pelajaran ramalan yang diajar oleh seorang profesor bernama Magdalena Godiva, dia memiliki rambut jingga hampir cokelat, rambutnya agak ikal, serta sangat panjang. Wanita itu mengenakan gaun yang juga panjang hingga menyentuh lantai, setiap dia melangkah, gaunnya seolah menyapu debu-debu di lantai dengan senang hati. Suaranya sangatlah pelan sampai-sampai beberapa murid harus mempertajam pendengaran mereka jika tidak akan tertinggal satu kata yang diucapkannya.
"Harusnya aku bolos saja, aku lebih suka cara mengajarnya profesor kelas sebelah," ujar Eloise sedikit berbisik pada Nathalia yang senantiasa menulis di buku catatan, tidak, gadis cantik itu bukan sedang menulis melainkan menggambar. Ia sama seperti Eloise yang tidak mencatat apa pun yang disampaikan profesor Godiva.
"Ya, kuakui profesor sebelah lebih baik mengajar bidang ini," sahut Nathalia. Profesor sebelah yang mereka maksudkan adalah profesor lain yang mengajar di angkatan tahun kedua dalam bidang mata pelajaran ilmu ramalan, tetapi profesor ini adalah seorang pria yang asyik sekali ketika mengajar, tidak seperti profesor Godiva yang sangat membosankan. Selain itu, hal tak mengherankan jika ada dua atau lebih profesor mengajar dalam satu bidang mata pelajaran. Hal ini dilakukan untuk mempermudah proses mengajar, apalagi ada beberapa profesor yang mengajar lebih dari satu bidang mata pelajaran.
Eloise menghela napas berat lalu mengedarkan pandangannya untuk mencari Nicaise dan Athreus. Biasanya kedua lelaki itu duduk di barisan belakang, tetapi Eloise tengok, tak ada mereka di belakang yang artinya mereka mendapatkan tempat duduk di depan. Sambil mencari mereka, Eloise berujar kembali. "Akhir-akhir ini membosankan, tak ada yang seru, terakhir kali cuma gosip anak misterius yang membuat dua kakak tingkat keluar dari sekolah."
"Kau penasaran?" ucap Nathalia.
"Tidak, apa peduliku?" sahut Eloise dengan alis terangkat karena berhasil menemukan Nicaise yang duduk di barisan kanan. Seperti biasa, lelaki keturunan keluarga Von Havardur itu sangat rajin mencatat setiap perkataan yang muncul dari mulut profesor Godiva. Sangat berkebalikan dengan lelaki yang duduk di pojok kelas yang tengah menelungkupkan wajahnya di lipatan tangan karena kantuk tak bisa dia tahan.
"Aku dengar kabar jika ada naga mengamuk di Archduchy Clemence, kok bisa?" ujar Nathalia sambil menyipitkan matanya karena merasa gambarannya tak begitu bagus.
"Ya, sudah ditangani oleh pihak keluarga cabang, pas ditelusuri ternyata naga itu dikendalikan. Namun, pelaku sudah ditemukan hari itu juga ketika serangan terjadi, sekarang kalau nggak salah, pelaku ditahan di salah satu penjara bawah tanah kami," jelas Eloise merobek satu kertas lalu dilipat menjadi burung kertas.
"Tak diserahkan ke pihak kekaisaran?"
"Tidak, pihak cabang Clemence akan menghukumnya langsung."
"Ah, kurasa pelakunya mendapat kesialan seumur hidup," ujar Nathalia tersenyum tipis karena tahu benar jika Clemence Family adalah keluarga yang ahli menginterogasi dan juga sadis.
"Kau benar, sudah berapa kali dia memohon ampun agar dibunuh saja, tetapi pihak keluargaku sama sekali tak menggubrisnya." Kini burung kertas itu dilapisi sihir, lalu Eloise tiup hingga burung itu terbang menuju Nicaise. Sadar jika berasal dari Eloise, segara dibukanya burung kertas tersebut yang ternyata berisi pesan. Jadi Nicaise menoleh sebentar sambil menggelengkan kepalanya.
"Haruskah aku kirim surat juga agar membangunkan Athreus yang tertidur pulas di pojok sana?" ucap Nathalia. Dia sebenarnya tidak heran dengan sifat Athreus yang suka tidur di kelas, meskipun begitu, Athreus selalu mendapatkan nilai sempurna, serta bersaing sengit dengan Nicaise dalam segala hal terutama pelajaran dan kekuatan sihir atau pedang.
"Tak perlu, biarkan saja si bodoh itu terlelap hingga kelas ini usai." Eloise berucap dengan enteng.
"Sekarang aku butuh satu relawan yang hendak diramal," ujar profesor Godiva ternyata sudah selesai menjelaskan teori hari ini. Ah, Eloise sama sekali tidak tahu teori macam apa yang wanita itu ajarkan karena sejak tadi tak satu pun materi yang masuk ke gendang telinganya.
"Apa dia bilang tadi?" ujar Eloise pada Nathalia.
"Dia akan meramal dengan cairan hitam di sana lalu dituang ke air," jelas Nathalia.
"Tidak seperti keluarga Drazhan Veles, cara ramalan ini terdengar seperti permainan anak-anak," imbuh Eloise sedikit angkuh.
"Jangan samakan Keluarga Agung dengan manusia biasa, Eloise," sahut Nathalia.
"Adakah yang mau? Ayo jangan takut, kalian hanya akan diramal saja, takkan terjadi hal buruk," ujar profesor Godiva lalu mengedarkan pandangannya dan menemukan Athreus yang tengah mengangkat tangannya. "Ya, Tuan Kieran Zalana?"
"Profesor sepertinya Nona Eloise Clemence hendak diramal karena dia begitu antusias pada mata pelajaran ini," ungkap Athreus begitu mudahnya yang mengundang rasa kesal Eloise.
"Apa-apaan manusia itu," gerutu Eloise, "kapan juga dia bangun?"
"Ahhh begitu, baiklah. Mari Nona Eloise, aku akan meramal untukmu," ucap profesor Godiva.
Athreus menatap Eloise sambil memeletkan lidahnya, hanya dibalas tatapan tajam dari Eloise yang berdiri dari kursinya, kemudian menuruni tangga, menuju ke depan kelas. "Lihat saja Athreus itu, akan kubuat dia menyesal," gumam Eloise sebelum duduk di kursi yang telah tersedia.
Eloise memang tak suka mata pelajaran ini, terus ia memang meremehkan profesor Godiva. Hanya saja sebagai bangsawan Majestic Families, ia tetap diajarkan etika untuk menghormati yang lebih tua. Hormat ya, bukan tunduk! Karena itulah Eloise masih menuruti perkataan Godiva yang notabenenya adalah profesor atau pengajarnya di Eidothea. Sehingga jika berdasarkan tingkat antara murid dan pengajar, Eloise harus hormat. Namun, berdasarkan posisi dan derajat di lingkungan sosialis, Eloise punya posisi paling tinggi karena lahir sebagai Direct Line Clemence Family.
"Bagus sekali jikalau kau sangat tertarik dengan bidang ini, meski aku tak sebaik keluarga Agung Drazhan Veles," ungkap profesor Godiva merasa terhormat bisa meramal Eloise Clemence.
Eloise hanya tersenyum tipis sambil mengangguk sekali, lalu fokusnya teralihkan pada barang-barang di atas meja. Ada cangkir kecil berwarna emas-perak yang di dalamnya terdapat cairan hitam pekat serta ada serbuk-serbuk yang entah serbuk apa itu, lalu ada cawan besar agak gepeng yang berisi air sangat jernih.
"Apa yang harus kulakukan?" ujar Eloise.
"Sangat sederhana, kau hanya perlu menuangkan cairan di cangkir ini ke dalam air, lalu celupkan tanganmu sambil kau aduk rata sedikit agar cairannya menyebar ke seluruh air, tenang saja, cairan hitam ini takkan menempel di tanganmu. Setelah itu, hasil dari cairan hitam di dalam cawan ini adalah ramalanmu yang akan kutafsirkan."
Ya, sederhana sekali seperti yang dikatakannya di awal. Jadi Eloise sedikit menggulung lengan seragam sebelah kanannya hingga mencapai bawah siku. Sesaat dia mengamat-amati wajah profesor Godiva, lalu beralih pada murid lain di kelas ini yang terlihat tegang seolah-olah mereka sangat penasaran bagaimana hasil ramalan dari seorang keturunan Clemence.
Setelahnya jari-jemari Eloise meraih cangkir berisi cairan hitam, ia angkat cangkir tersebut, lalu perlahan-lahan ia tuangkan ke dalam cawan, sedikit dia kelilingi cawan tersebut agar lebih menyebar. Setelahnya dia letakkan cangkirnya, tangan kanannya masuk ke dalam cawan lalu diputarnya agar semakin tersebar merata. Benar saja cairan hitam itu tidak menempel di tangannya, syukurlah, jika tidak Eloise akan marah dan perlu membakar kelas ini agar menjadi sehitam arang, oh bercanda, bercanda saja. Eloise tidak sampai begitu.
"Bagus, bagus. Angkat tanganmu lalu keringkan dengan handuk ini," ujar profesor Godiva menyerahkan handuk putih dengan lambang Eidothea di ujung bawahnya. "Sekarang tunggulah sebentar sambil aku menafsirkan ramalanmu."
"Baiklah aku akan menunggu," ujar Eloise langsung menyilang kakinya, bersedekap dengan punggungnya disandarkan pada kursi.
Profesor Godiva menatap jeli seolah hanya ada antara dirinya dengan cawan yang akan memberikan ramalan untuk Eloise Clemence. Bibir wanita tua itu bergerak sedang membaca dengan suara yang sangat pelan sampai Eloise tak bisa mendengar apa yang dia katakan, bibirnya semakin cepat ibarat berkomat-kamit atau sedang membacakan syair doa di kuil.
"Nona Eloise Clemence, kau akan menemukan kemenangan tidak lama lagi, kemenangan yang akan membuat orang-orang bangga padamu," jelas profesor Godiva.
Beberapa murid langsung berbisik pada teman mereka. Bukanlah hal yang mengagetkan jika hal itu terjadi pada Eloise karena sejak gadis itu lahir pun, dunia akan bangga dan memuji setiap berkah yang diterimanya. Prestasi yang Eloise raih sejak dia kecil sudah membuatnya kenyang akan pujian dan kebanggaan dari orang-orang. Jadi ramalan seperti yang terucap dari mulut profesor Godiva tidak perlu dibesar-besarkan. Apalagi wanita itu bukanlah keturunan Majestic Families Drazhan Veles yang paling termasyhur jika meramal hidup.
"Aku tak sabar menunggu hari kedigdayaanku," sahut Eloise hendak beranjak dari kursinya.
"Belum, aku belum selesai Nona Eloise. Kau, kau akan mendapatkan kebanggaan itu, tapi orang-orang lah yang bangga sedangkan kau tidak sama sekali. Apa sekarang kau sedang bermasalah dengan seseorang? Berhenti sebelum terlambat! Karena jika kau teruskan, maka roda kehidupan akan berputar, seruling Dewa akan terdengar, dan malaikat akan menari-nari. Maka kau bisa berada di posisi terendah meski kau menyangkalnya. Itulah ramalan yang akan terjadi tidak lama lagi," jelas profesor Godiva sangat berharap jika Eloise menjalankan peringatan darinya, tetapi sama sekali tak diindahkan gadis angkuh itu.
"Jika Anda berbicara kehancuran atau kematian, maka dunia selalu begitu padaku bahkan sejak aku kecil," sahut Eloise sambil menurunkan lengannya yang digulung.
Gadis itu turun dari kursinya, lalu menatap profesor Godiva yang bersamaan selesainya kelas itu. "Aku berterima kasih atas tafsiran ramalan Anda, Profesor, meski ramalan itu takkan berguna bagiku karena kutukan memang selalu mengikuti. Sampai jumpa di kelas berikutnya. Salam."
Langsung saja Eloise melenggang pergi dengan jubah sedikit beterbangan. Suara sepatunya dengan cepat meninggalkan ruangan kelas.
"Kelas bubar anak-anak, sampai jumpa lagi," ujar profesor Godiva.
"Eloise!" teriak Nathalia lekas menyusul sahabatnya itu dan murid-murid lain berhamburan keluar kelas termasuk Athreus dan Nicaise.
Sementara itu, profesor Godiva merapikan buku-buku dan dibantu Orly-nya untuk merapikan cawan air serta lainnya. "Eloise Clemence, yang aku maksudkan tadi bukanlah kutukan Cenobia atau takdir sial pada Majestic Families atau kematian, tapi entitas, sebuah entitas."
"Entitas apa yang Anda maksudkan, Master?"
"Entahlah, tak begitu jelas, tapi entitas ini akan mengguncang dunia terutama Eidothea akademi ini. Yah, kuharap Eloise Clemence akan baik-baik saja."
****
Eloise mempercepat langkahnya padahal di belakangnya ada Nathalia yang terus memanggil namanya, tetapi sama sekali tak ia indahkan. Hingga Nathalia berhasil menyeimbangkan langkahnya dengan Eloise meski napasnya agak memburu.
"Tak sopan jika kau begitu tadi, bagaimana pun juga, profesor Godiva adalah pengajar kita dan seorang wanita lebih tua," ujarnya seperti seorang ibu sedang menceramahi anaknya karena berbuat kenakalan.
"Aku hanya mengatakan apa yang perlu kukatakan, lagi pula, aku tak percaya ramalan selain keluarga Drazhan Veles," sahut Eloise.
"Kau lupa jika beberapa ramalannya pernah benar-benar terjadi," imbuh Nathalia.
"Benar, tapi tidak berlaku padaku ...." Eloise memelankan langkahnya karena manik matanya menangkap seorang gadis pendek berjalan bersisian dengan keturunan bangsawan Andromeda. Terpancarlah senyuman Eloise, tanpa pikir panjang, beranjak dia menemui Aalisha lalu mencegat langkah gadis kecil itu.
"Kau," ucap Aalisha.
"Apa kabar tikus kecil?" ujar Eloise tersenyum. Dia menatap agak menunduk karena gadis kecil ini seperti semakin pendek saja. Aneh, padahal manusia pada umumnya akan bertambah tinggi, tapi khusus Aalisha dia malah bertambah pendek. Betapa lucunya Aalisha sampai Eloise ingin sekali melihat tangis gadis itu dan memohon ampun. Lalu akhir-akhir ini tak ada drama yang gadis kecil ini perbuat jadi Eloise merasa kehidupan Akademinya sangatlah membosankan.
"Aku tak punya urusan denganmu," imbuh Aalisha hendak melangkah, tetapi kembali Eloise cegat. Aalisha tatap Eloise, tetapi tanpa perintah, Anila sekonyong-konyong menarik lengan Aalisha lalu berhadapan dengan Eloise.
"Sebentar lagi kelas kami dimulai, kami tak mau terlambat jadi bisakah kau membukakan jalan," timpal Anila. Kini tak selalu bisa menyalahkan Aalisha jika terlibat dengan Majestic Families karena bukan Aalisha yang memulai, tetapi keturunan Majestic Families itulah yang mulai.
"Wah, mengapa selalu kau larang aku untuk bermain dengan temanmu ini, Nona Andromeda?" sahut Eloise tak terlalu mengindahkan perkataan Anila. "Ayolah, gantian, aku mau bermain dengannya."
"Eloise Clemence!" teriak Nathalia langsung menarik jubah Eloise. "Berhenti mengganggu adik tingkat."
"Aku tak mengganggu, aku hanya menyapa," balas Eloise.
"Aku tak suka disapa olehmu, kau membuatku risi," sahut Aalisha.
"Kau bilang apa? Berani padaku," Eloise yakin jika gadis ini tidak seperti perempuan-perempuan lain yang pernah Eloise temui bahkan sangat jauh berbeda dengan perempuan keturunan bangsawan.
Para perempuan bangsawan itu kebanyakan besar mulut, selalu membual dan bergosip tidak penting, senang membuang waktu bahkan yang paling Eloise benci adalah sifat mereka yang suka cari perhatian dan sangat manja. Melihat mereka semua terutama di pesta bangsawan, membuat Eloise mual dan hendak muntah. Para perempuan hama itu, jangankan menggunakan sihir, mengangkat pisau dapur saja belum tentu mampu. Namun, Aalisha sangat berbeda, tentu saja bukan karena gadis ini bersekolah di Eidothea yang memang diajarkan menjadi penyihir dan kesatria yang hebat. Kalau begini, Andromeda di samping Eloise juga masuk kategori.
Hanya saja, ada sesuatu yang membuat Aalisha sedikit menarik, sayangnya bukan tertarik untuk dijadikan teman, melainkan membuat penasaran bagaimana seorang kasta rendahan seperti Aalisha selalu bertingkah bak bangsawan kelas atas? Jika gadis kecil ini hancur, bagaimana ekspresi yang akan terukir di wajahnya?
"Menyingkirlah," ucap Aalisha penuh penekanan dan mengundang tawa kecil Eloise.
"Baiklah, silakan Nona Aalisha," ujar Eloise, maka Aalisha melangkah melewatinya dan disusul oleh Anila juga. "Kapan-kapan aku hendak melihatmu bertarung, penyelamat misterius."
Kalimat terakhir yang terucap dari mulut Eloise sukses membuat Aalisha dan Anila terdiam membisu, langkah mereka terpaku. Pasti di kepala mereka bertanya-tanya, bagaimana Eloise bisa tahu? Sementara itu, Eloise sudah melenggang pergi tanpa beban sedikit pun. Benar ibarat seorang putri, dia sangat cocok menyandang gelar putri penjahat yang sadis nan kejam, tetapi tuan putri Clemence ini bukan dibenci takdir, melainkan sangat dicintai para Dewa.
"Kau tak apa?" tanya Anila langsung sakit kepala kalau sudah berurusan dengan bangsawan terutama Majestic Families.
"Dia Clemence jadi tak heran jika dia tahu dengan sendirinya," sahut Aalisha. Kini dia harus lebih berhati-hati dalam melakukan segala hal apalagi berhubungan dengan hal-hal besar, kejadian hari itu saja diketahui oleh Athreus karena dia ada di lokasi. Entah bagaimana Eloise mengetahui jika Aalisha adalah pahlawan misterius yang mengeluarkan dua kakak tingkat bajingan dari akademi ini ataukah Athreus membocorkan rahasianya. Mana yang benar, Aalisha tak peduli selagi Eloise itu mampu menutup mulutnya.
"Oh ya, aku dapat kabar dari Damien, kalau anak Arevalous harus mendukung tim asrama yang main di Oulixeus," jelas Anila, tetapi tidak ingat kapan pertandingan itu dilaksanakan.
"Ya, aku tahu-"
Aalisha terkejut karena menabrak seseorang. Buku-buku berjatuhan ke lantai, begitu juga kacamata bulat, parahnya lagi tangan Aalisha terkena tumpahan cairan hitam yang kemungkinan adalah tinta. Gadis itu urungkan diri hendak mengumpat ketika menatap seseorang yang ia tabrak, ialah seorang wanita berambut jingga hampir cokelat serta ikal dan panjang.
"Oh ya Dewa, aku minta maaf karena tidak memperhatikan jalan," ucap profesor Godiva.
"Tidak masalah," sahut Aalisha merasa hidupnya sial karena kedua telapak tangannya jadi hitam serta sedikit mengenai seragamnya.
"Biar kubantu Profesor," ucap Anila segera memungut buku-buku, menyerahkan kacamata profesor Godiva.
"Terima kasih banyak Nak, terima kasih. Lalu sekali lagi maafkan aku," ujar profesor Godiva, manik matanya terfokus pada telapak tangan Aalisha.
"Iya, aku tak masalah ...." Aalisha terdiam membisu ketika profesor Godiva menyambar tangannya lalu ditatap profesor Godiva akan telapak tangan Aalisha yang penuh cairan hitam. "Maaf. Ini karena terkena tumpahan tinta Anda-"
"Nak," ucap profesor Godiva lagi sambil menatap Aalisha dengan ekspresi yang menunjukkan keterkejutan bercampur rasa tidak percaya. Tidak hanya itu, tangan profesor Godiva gemetar. "Apa kau percaya ramalan, bahkan dari seorang wanita tua sepertiku yang tak sehebat keluarga Drazhan Veles ini?"
Aalisha diam, mencermati setiap frasa maupun kata dari wanita tua ini, lalu ia tersenyum tipis. "Jika kuil para Dewa saja aku percaya, maka aku juga percaya suatu ramalan."
Profesor Godiva tersenyum simpul, air mata menetes dari mata kanannya. "Nak, apakah kau berkenan mendengar tafsiran yang kulihat ini? Ramalan yang kulihat dari kedua telapak tanganmu ini!"
"Ada apa Profesor?" ucap Anila, "apa Anda bisa meramal? Apa yang Anda lihat?"
"Nak, kau harus tahu, jika kau ... jika kau ...." Wanita tua itu menatap manik mata Aalisha, lalu perlahan tangan wanita itu menggenggam erat tangan Aalisha.
"Ada apa denganku, Profesor?" Aalisha masih menunggu, tapi tak kunjung kalimat terucap dari mulut profesor Godiva. Membuat Anila jadi sangat khawatir. Kira-kira apa yang hendak diucapkan profesor ini sampai bibirnya terasa kelu?
"Jika kau ... Nak, kau, kau ...."
"Ada apa Profesor? Katakanlah, aku tak masalah, seburuk apa pun itu, katakan saja," ujar Aalisha jadi agak panik. Jangan katakan jika hidupnya benar-benar dibenci Dewa jadi banyak sekali kesialan yang akan menimpanya.
"Nak, malaikat kematian sedang mengincarmu," ucap profesor Godiva lalu manik matanya menjadi sendu. Meskipun kalimat yang diucapkan wanita itu menggunakan metafora dan hiperbola, tetapi Aalisha sangat paham maksud yang tersembunyi dari perkataan profesor Godiva.
Perlahan Aalisha tersenyum tipis. "Terima kasih atas ramalan Anda, jangan merasa bersalah karena belum tentu terjadi. Jadi sampai jumpa lagi, jaga diri Anda juga."
"Sampai jumpa Profesor, salam," ucap Anila cepat, meraih lengan Aalisha, digenggamnya dengan kuat lalu menarik gadis itu pergi dari sana meninggalkan profesor Godiva yang masih diam membeku di sana.
"Anila tenanglah, kenapa kau tiba-tiba begini," ucap Aalisha merasa sakit karena Anila mencengkeram kuat lengannya. Oh ayolah, Aalisha hanya punya satu tulang yang kurus jika patah karena Anila, maka tak ada penggantinya.
"Aku tak pernah percaya ramalan!" Suara Anila meninggi.
Lawak sekali, itulah yang terlintas di pikiran Aalisha. "Bahkan semisal keturunan Drazhan Veles yang mengatakannya? Anila, kau dan keluarga Drazhan Veles dekat 'kan? Mustahil jika kau tak percaya ramalan."
"Aku tak percaya omongan wanita tua itu!!" Kini ekspresi Anila berubah menjadi sedih, sangat sedih, tangisnya bisa pecah kapan saja. "Aku tak percaya ramalan seorang wanita yang tak sengaja menabrakmu, boleh saja dia guru bidang ramalan, tapi berbicara ramalan, takdir, tidak semudah itu. Ramalannya salah."
"Kenapa kau sampai menangis hanya karena ramalan sih?" ucap Aalisha begitu enteng, sama sekali tidak memikirkan perasaan Anila bahkan dirinya sendiri.
Anila sudah lelah, amarahnya meledak detik itu juga. "Tidakkah kau paham apa maksud perkataan wanita itu?!! Malaikat kematian adalah lambang kematian. Dia meramalkan jika kau akan mati dalam waktu dekat, Aalisha!"
Bukannya terkejut atau takut, Aalisha malah terkekeh kecil. Seperti tawa bayi polos yang tak paham apa-apa.
"Kenapa malah tertawa bodoh?!" balas Anila.
"Anila, Anila, kau tahu kan kalau setiap yang bernyawa pasti akan menemui kematiannya? Kenapa kau harus sepusing ini, jika takdir dituliskan aku akan mati, maka itu pasti terjadi."
"Tapi tidak secepat ini! Tidakkah kau berpikir mau menjalani hidup lebih lama? Banyak hal yang harus dipelajari di sekolah ini, banyak kuliner di dunia yang harus dirasakan, lalu pakaian, perhiasan, buku-buku terbitan baru, masih banyak! Apakah kau tak mau lulus bersama-sama dari akademi ini terus pergi menjelajah dunia, seperti buku-buku petualangan dan fantasi yang sering kau baca?! Aalisha mengapa kau semudah ini menerima kematian!" Anila meneteskan air mata di akhir kalimatnya.
Sementara itu, Aalisha hanya diam.
Diam seolah ia tak masalah jika malaikat kematian mencabut nyawanya begitu cepat.
"Aku tahu kalau kau selalu berkata ingin mati entah kau serius atau tidak, tapi bisakah kau khawatir sedikit saja pada dirimu ... bisakah kau menyayangi dirimu sendiri, sedikit saja?" ujar Anila kembali.
Aalisha masih diam, mencerna semua perkataan Anila. Aalisha juga memutar memori selama ia hidup, mengingat kembali, kapan dia pernah melihat secara langsung seseorang menangis untuknya, menangis karena mengkhawatirkannya. Tidak, tidak pernah ada kenangan itu. Di dunia ini tak pernah seorang manusia pun menangis untuk Aalisha.
Ia kini semakin bingung dengan cara bekerjanya perasaan manusia. Mengapa makhluk Dewa bernama manusia ini terlalu kompleks diciptakan? Mengapa perasaan sepele saja mereka sedihkan? Mengapa mereka terlalu sering menggunakan empati dan hati mereka?
"Aku tahu, kalau begitu tinggal tak usah percaya saja 'kan? Mudah," ucap Aalisha sangatlah enteng sambil melangkah pelan. "Hanya perlu untuk tak mempercayai ramalan itu. Kau tahu 'kan kalau seorang Drazhan Veles saja pernah meleset ramalannya, apalagi wanita itu."
"Ya kau benar, tapi tetap saja ... maaf, maaf. Sialan aku tiba-tiba terbawa suasana, padahal bidang pelajaran seperti ini tidak selalu benar dan tepat sasaran," sahut Anila perlahan menyeka air matanya dengan lengan baju.
"Kau benar Anila, kau harus percaya jika semua akan baik-baik saja. Aku takkan mati, takkan terjadi." Aalisha berujar sepenuh hati agar meyakinkan Anila. Meskipun ia tak pernah percaya kalimat 'semua akan baik-baik saja'. Tidak akan pernah ia percayai.
"Kecuali aku gantung diri," sambung Aalisha.
"Aalisha!" teriak Anila, "bisakah berhenti untuk bercanda tentang kematian! Sekali lagi kau begitu, kujitak kepalamu atau kuceburkan ke danau!" Anila meraih lengan Aalisha. "Ayo, kita akan telat nanti."
Sesaat Aalisha menatap pada jemari Anila yang perlahan menggenggam jemarinya, lalu Anila menarik Aalisha dan membawanya ke kelas yang mereka ikuti hari ini. "Ya."
Sementara itu, jauh di dalam lubuk hati Aalisha, dia berujar, "ramalan sialan. Takdir suka sekali bermain-main ya."
****
Pertandingan Oulixeus dilaksanakan pada hari Minggu pagi sekitar pukul sembilan. Kali ini pertandingan berupa perebutan kekuasaan, terbagi dua tim dari dua asrama yang akan bersaing, satu tim terdiri dari delapan pemain. Kedua tim memiliki bendera asrama mereka yang dipasang di benteng masing-masing, lalu mereka harus saling mempertahankan bendera dan merebut milik lawan untuk mendapatkan kemenangan. Selain itu di pertandingan ini juga dilepas semacam makhluk berbentuk seperti bola, tetapi hidup dan bisa terbang ke sana kemari-bola ini bernama Cyprus. Bola yang berwarna kuning dengan dua mata, memiliki mulut serta gigi tajam, tanduk merah dua, serta ekor panjang yang terbuat dari aliran neith berwarna biru. Cyprus akan terus beterbangan di seluruh area pertandingan yang dilaksanakan di daerah timur kastil yang penuh pepohonan dan ada sungai kecil mengalir. Cyprus penting dalam pertandingan ini karena berfungsi sebagai senjata untuk mengeluarkan pemain dari pertandingan, jadi ketika dilempar lalu mengenai pemain, maka pemain itu akan kalah dan keluar dari pertandingan. Jika menyerang dengan sihir, tidak dihitung sebagai serangan.
Kesulitannya adalah Cyprus terbang cepat sana kemari sehingga harus ditangkap dahulu baru bisa digunakan sebagai senjata menyerang pihak lawan. Kemudian Cyprus dapat berubah menjadi mode setan atau monster jika sudah masuk dalam menit tertentu kemudian ketika berada di mode setan ini. Cyprus akan menyerang siapa pun yang terlintas di matanya, sehingga tidak terkendali, maka para pemain harus melindungi diri mereka.
Kemenangan dapat diraih dengan dua cara, pertama berhasil merebut bendera lawan, kedua mengalahkan setiap pemain dari pihak lawan. Peraturannya cukup sederhana, boleh menggunakan sihir atau pedang untuk melindungi diri atau bertarung memperebutkan Cyprus, tetapi dilarang teknik tingkat tinggi-termasuk Kemampuan Mistis bagi Majestic Families lalu dilarang menyakiti lawan secara berlebihan.
Hari ini adalah pertandingan antara asrama Arevalous melawan Sylvester, kemarin pertandingan antara asrama Drystan melawan Gwenaelle yang tentu saja dimenangkan Gwenaelle dengan sangat mudah. Kini antusias para murid karena pertandingan selanjutnya, kira-kira asrama manakah yang akan menang?
"Haruskah kau begitu?" ucap Aalisha sambil menatap pada Mylo dan Gilbert yang sedang berfokus melukis lambang asrama mereka di pipi. Mereka melakukan ini sebagai bentuk dukungan besar pada tim Arevalous yang akan bertanding.
"Tentu, kau tak tahu cara pendukung bekerja, hah? Kita harus memberikan dukungan dan dorongan paling keras nantinya," jawab Gilbert, mata melotot tanpa berkedip karena begitu fokus melukis lambang yang sangatlah susah, apalagi mengukir sabit dan jam.
"Ya, ini demi kemenangan. Semakin bersemangat kita, semakin bersemangat pula para pemain, lagi pula ini tak melelahkan karena kita hanya penonton bukan bertanding, tolong hargai mereka," jelas Mylo barusan selesai mengukir lambang asrama Arevalous meski agak miring dan aneh.
"Dukung mah dukung, tapi jangan alay juga!" sahut Frisca agak malu dengan tingkah kedua manusia ini.
Gilbert menoleh pada Frisca yang berdiri dengan tangan bersilang di depan. Terlintas rencana jail di benak lelaki itu, lalu dia menyenggol lengan Mylo sambil menaik-turunkan salah satu alisnya. Mylo awalnya tak paham, lalu setelah paham, dia lekas menggeleng, tetapi Gilbert membalas dengan menaik-turunkan alisnya lagi. Mylo akhirnya hanya bisa menghela napas, tak mau ikutan karena akan ada hal mengerikan terjadi.
"Kau saja," ucap Mylo lemas.
"Dasar pengecut," balas Gilbert.
Frisca sedang mengobrol dengan Anila, sesekali dia merengek karena Aalisha hanya menjawab singkat atas pertanyaan yang ia layangkan. Lalu detik selanjutnya, dia terkejut bukan main ketika Gilbert berhasil mencoret pipi kanannya dengan cat berwarna raisin purple, senada dengan warna asrama mereka. Belum selesai di pipi, Gilbert kembali menorehkan cat itu mengenai dagu Frisca.
"Lihat, kau jadi lucu, mau kuukir lebih bagus?" ucap Gilbert tersenyum lebar.
Frisca hanya menatap dengan sinis, lalu senyumannya pelan-pelan terukir. "Gilbert, kau ...."
Gilbert sadar jika dia telah salah, dia pikir Frisca akan tertawa, tetapi wajah gadis itu malah memerah. Manik matanya seolah memancarkan api, rambut-rambutnya seperti hendak terbang, saking amarah menyelimutinya. "Kemari kau, sialan!!!" teriak Frisca langsung mengejar Gilbert yang membawa cat dan kuasnya ke mana-mana. Mengelilingi ruang utama asrama ini hingga beberapa cat menetes ke karpet.
Bukannya takut, Gilbert masih bisa tertawa sesekali memekik karena Frisca menggunakan sihir untuk menyerang Gilbert. Kini keduanya saling bermain kejar-kejaran di seluruh ruang utama sampai menaiki tangga.
"Jangan kotori ruangan, kalian mau kita dimarahi Damien!" teriak Anila, tetapi tak digubris Frisca maupun Gilbert. "Tak ikutan?" Dia beralih pada Mylo yang sudah selesai melukis wajahnya.
Lelaki Cressida itu mengedikkan bahunya sambil berjalan menuju Aalisha, lalu duduk di sofa, di samping Aalisha yang berfokus pada novelnya. Pasti novel baru lagi yang dibaca gadis kecil itu. "Tak, perempuan ngeri kalau marah."
"Sudah tahu kau, masih macam-macam?" balas Anila geleng-geleng kepala karena melihat Gilbert sudah terpojok, tetapi dia menggunakan trik sehingga berhasil kabur lagi. Semakin lah ia membuat amarah Frisca memuncak.
"Gilbert kemari kau! Dasar lelaki sialan!" teriak Frisca kembali yang kini mereka berlari menuruni tangga.
Mylo melirik pada Aalisha yang baru saja menghela napas panjang. Terganggu sekali gadis itu, tidak hanya di luar asrq yang ribut sekali karena para pendukung asrama saling berseteru dan membanggakan asrama masing-masing. Di dalam asrama pun juga sama ributnya karena tingkah konyol manusia-manusia ini. Bisakah Aalisha punya sehari saja terbebas dari semua keributan dan kegaduhan ini?
"Gilbert berhenti berlari!" teriak Frisca.
"Gak mau, gak mau, coba tangkap aku!" balas Gilbert sambil memeletkan lidahnya.
Kesal sudah menyeruak. Maka Aalisha menutup bukunya, berbalik, mengarahkan satu tangannya ke Gilbert yang kabur dari kejaran Frisca. Lalu Aalisha rapalkan mantra. "Slinescoo."
Seketika pijakan kaki Gilbert jadi licin, tersandung, hingga terjungkal ke depan, tepat sekali wajahnya membentur karpet hingga hidungnya sedikit memerah. Saat itu juga, Frisca berhasil mendapatkan Gilbert, pertama-tama dijitak keras kepala lelaki itu hingga Gilbert memekik sakit.
"Ah sialan! Kau juga Aalisha, dasar jahat!" teriak Gilbert, "auh, auh, sudah Frisca! Aku minta maaf, jangan pukul lagi!"
"Aalisha makasih!" teriak Frisca pada Aalisha, "makanya jangan main-main denganku! Dasar kau!" Kembali lagi dia memukuli Gilbert di punggung.
"Senang menggunakan sihir terus," ucap Anila.
Aalisha hanya menatap gadis Andromeda itu sesaat. "Tergantung situasi." Aalisha kembali berfokus pada novelnya hingga waktu bergulir dan pertandingan antara asrama Arevalous melawan Sylvester pun dimulai.
****
Suara sorakan dari setiap pendukung asrama terdengar memenuhi lapangan atau lokasi pertandingan yang dibatasi dengan pelindung dari selubung neith sehingga serangan para pemain tidak mengenai penonton. Dikarenakan arena pertandingan luas, maka diberi cyubes berupa alat perekam atau kamera pengawas, sehingga para penonton dapat menonton pertandingan melalui rekaman video langsung.
Di kala pertandingan sedang berlangsung, setiap Cyprus mengenai para pemain, sorakan keras terdengar tidak hanya dari suara para pendukung, tetapi suara gendang ditabuh atau terompet juga menjadi semarak pertandingan ini.
Aalisha merasa harinya melelahkan karena harus terhimpit ketika berada di bangku penonton yang cukup rusuh, apalagi tubuh kakak tingkatnya yang besar dan selalu membuat Aalisha terhimpit sehingga dia merasa sesak napas dan pengap berada di sana. Gadis kecil itu pun memutuskan untuk keluar dari gerombolan penonton, tentu saja dia sudah bilang pada Anila dan lainnya yang masih antusias menonton.
Di luar bangku penonton, bisa dia lihat wajah masam dari anak-anak Sylvester karena Arevalous memimpin pertandingan. Sedangkan tersisa satu babak lagi sebelum pertandingan selesai. Sesaat Aalisha bangga karena asramanya menang, meski tidak yakin akan menang di pertandingan selanjutnya, apalagi tim yang menang akan berhadapan dengan asrama Faelyn nantinya.
Kini Aalisha duduk di kursi wilayah kantin pohon yang cukup sepi, dia memesan roti isi daging, selada, keju, dan beberapa sayur lainnya serta memesan Caelum Milk dan air minum biasa. Merasa lapar ia sedangkan tak enak jika mengganggu Anila dan lainnya yang sedang menonton jadi Aalisha memilih makan sendiri saja. Sambil menyantap makanannya, dia membaca novel yang tak kunjung selesai karena fokusnya beberapa kali teralihkan akibat semarak pertandingan hari ini.
Minumannya tertinggal seteguk, tetapi tak Aalisha habiskan karena bab novel yang dibaca sedang memasuki konflik yang memanas ataukah dia merasa ada seseorang yang sedang mengawasi jadi meskipun di depan wajahnya adalah novel, tetapi lirikan matanya diam-diam mengamati sekeliling yang semakin sepi karena para murid kembali menonton pertandingan.
"Menyebalkan, mengganggu waktuku saja," gumam Aalisha berusaha bersikap senormal mungkin, dia tidak mau jika musuhnya sadar jika Aalisha telah menyadari jika musuhnya itu sedang mengintainya.
Hal pertama dan paling dasar yang diajarkan padanya. Ketika ada seseorang sedang memata-matai, mengawasi kita, lalu kita menyadari hal itu. Maka janganlah memperlihatkan gelagat panik karena bisa saja musuh akan menyerang saat itu juga, atas itulah, bersikap senormal mungkin dan tetap tenang sambil memikirkan cara lain untuk terbebas dan selamat dari incaran musuh.
Maka Aalisha tutup bukunya, arah jam dua, segerombolan murid-murid datang, beruntung sekali Aalisha jadi ketika para murid itu mencari tempat duduk, lekas Aalisha berdiri dari bangkunya dan beranjak dari saja. Langkahnya pelan seolah takkan terjadi apa-apa, sesekali ia melirik belakang untuk memastikan apakah musuhnya masih memperhatikan, tetapi tak ada tanda-tanda penyerangan.
Pelajaran kedua ketika sedang diincar musuh, entah musuh berniat membunuh diam-diam. Maka berusahalah pergi ke tempat yang ramai, menghindari tempat sepi, serta mencoba mencari bantuan. Namun, sayangnya hari ini tidak mendukung. Koridor sekolah yang biasanya ramai kini sangat sepi karena banyak murid menonton pertandingan Oulixeus. Mustahil juga jika Aalisha meminta bantuan sedangkan musuhnya tidak diketahui siapa, jika Aalisha asal saja bicara, bisa-bisa dirinya dicurigai atau dianggap gila, terlebih nama baiknya sudah tak ada lagi di akademi. Murid mana mau menolong rakyat jelata seperti Aalisha?
Lekas Aalisha mencari jalan menuju lokasi pertandingan, tetapi jarak antara kantin dan lokasi itu cukup jauh. Di setiap belokan koridor, Aalisha selalu berhati-hati jika semisal seseorang yang mengintainya menyerang secara dadakan. Dia juga memperhatikan belakangnya, waspada jika ada serangan dari arah belakang. Namun, ketika melewati koridor, tak ada tanda-tanda dari musuh yang Aalisha anggap sedang membuntutinya. Apakah sudah hilang ia? Pergi karena merasa Aalisha menyadari kehadirannya?
Masa bodoh. Jadi Aalisha berjalan hingga melewati salah satu ruangan kelas yang biasa menjadi ruang kelas biologi. Di sana, dia melihat profesor Solana keluar sambil membawa tanaman menyerupai pohon, tetapi daunnya putih. Hendak segera putar balik, tetapi Solana malah sadar akan Aalisha jadilah dipanggil gadis tersebut yang terpaksalah dia menemui profesor Solana.
"Nona Aalisha, kebetulan kau di sini, bisakah bantu aku mengantarkan tanaman ini di kebun Akademi, lebih tepatnya di rumah kaca," ujar profesor Solana tanpa aba-aba langsung memberikan pot tanaman-berwarna hitam-yang di dalamnya ada pohon kecil. "Aku ada kesibukan lain jadi tak bisa mengantarnya sekarang."
"Ingger Morium," ucap Aalisha.
"Ya, kau tahu ternyata. Bagus sekali. Ini praktikum yang dilakukan kakak tingkatmu, maka perlu banyak Ingger Morium," urai profesor Solana.
"Terima kasih atas pujiannya," jawab Aalisha sambil membawa satu pot.
"Perdalamlah terus ilmu pengetahuanmu," imbuh profesor Solana, "selain itu terima kasih juga karena telah membantuku."
"Sama-sama Profesor, salam," sahut Aalisha sambil memperhatikan kepergian profesor Solana yang membawa kardus besar berisi tanah dan pupuk, entah ke mana hendak dibawanya. Lalu dia mengedarkan pandangannya, mengamat-amati koridor sepi ini, beruntung sekali tidak ada tanda-tanda dari musuhnya tadi yang entah benar firasat Aalisha jika dia sedang dikuntit atau sekadar keparnoannya saja.
Aalisha melangkah pelan menuju kebun akademi dengan membawa pot berisi Ingger Morium yang menjadi pohon kecil serta sedang tertidur pulas. Semakin menuju lokasi kebun, semakin pula sepi karena tak ada murid yang berpikiran hendak berada di tempat ini padahal di lokasi lain sedang ada pertandingan begitu seru dan meriah. Berada di kebun, tidak terdengar suara manusia, hanya embusan angin yang membelai setiap tanaman di sini, membuat rerumputan bergoyang, semak-semak bergemerisik, bunga-bunga menyebarkan aromanya, serta tanaman-tanaman magis yang beberapa tak Aalisha ketahui jenis tanaman tersebut.
Di depan pintu rumah kaca, Aalisha menatap sesaat, lalu membuka secara perlahan pintu tersebut yang terdengar suara berderit. Ditengoknya untuk memastikan apakah ada orang lain di dalam, ternyata tak ada, jadi tak usah berucap permisi, maka Aalisha langsung masuk ke dalam. Kembali mengedarkan pandangannya, mencari jajaran Ingger Morium yang lain, ternyata berada di ujung rumah kaca. Di sana ada meja kayu yang di atasnya terdapat banyak pot berisi Ingger Morium yang sama juga sedang tertidur, beberapa menjadi pohon, sisanya berbentuk seperti biasa-layaknya Ingger Morium yang berjalan ke sana-kemari dan memberikan penghormatan pada Aalisha.
"Jika tertidur begini, kalian sangat lucu," ucap Aalisha sedikit membungkuk untuk melihat jelas para tanaman, lalu manik matanya melirik ke belakang, tepat ke arah pintu masuk yang berderit dan terbuka, menandakan ada seseorang yang masuk ke rumah kaca ini juga.
"Sudah kuduga, jika sejak tadi ada penguntit, bukankah tidak sopan berlaku seperti ini padahal kau adalah seorang bangsawan?" ujar Aalisha menatap pada seseorang yang diselimuti jubah hitam sehingga tak menampakkan wajahnya, tetapi kini dengan gamblangnya, seseorang itu membuka tudungnya, membuat Aalisha bisa melihat jelas siapa musuhnya itu.
"Sebegitukah kau membenciku, Jasmine Delilah. Sampai-sampai kau memilih mengikuti dibandingkan menikmati hari ini yang penuh semarak pertandingan," ujar Aalisha lagi lalu tersenyum tipis karena Jasmine melangkah pelan dengan tangan kanannya yang menggenggam pisau tajam.
"Kau, ini semua karenamu, dasar rakyat jelata!" berang Jasmine. Wajahnya memerah padam, dagu dan rahangnya mengeras, manik matanya sedikit memerah seperti habis menangis begitu lama serta tangan kanannya terlihat urat-uratnya karena begitu kuat menggenggam pisau.
"Aku tak tahu apa yang kau maksudkan, tapi bukankah kentara sekali jika kau berniat membunuhku?" tutur Aalisha sedikit melangkah mundur, sialan sekali rumah kaca ini karena hanya punya satu pintu masuk. "Bagaimana jika kita selesaikan masalah ini dengan damai?"
"Damai kau bilang?!" Napas Jasmine memburu. "Karena kau! Ayahku marah besar, aku dihukum atas perbuatanmu! Andai saja kau tidak muncul menolong temanmu yang rendahan itu, aku takkan terlibat masalah ini, ayahku tak perlu dipanggil ke Eidothea!"
Perlu Aalisha cermati perkataan Jasmine, awalnya gadis kecil itu tak paham ke mana arah pembicaraannya, tetapi mendengar kata teman dan hukuman, membuat Aalisha sadar jika Jasmine tengah mengungkit hukuman yang diberikan profesor Rosemary padanya serta dipanggil orang tua Jasmine ke akademi. Sialan, Aalisha pikir gadis Delilah itu sudah melupakan masalah itu dan menerima dengan lapang dada, apalagi semua yang terjadi juga karena perbuatannya.
"Kau sialan, sialan sekali, dasar rakyat jelata, darah kotor! Kau membuat namaku tercoreng di hadapan ayahku, membuatku diejek keluargaku. Harusnya tak pernah terjadi, bagaimana bisa rakyat jelata sepertimu membuatku dihukum, kau, kau sudah menghancurkan harga diriku!" raungnya begitu marah, giginya gemeretak, matanya tak henti menatap penuh kebencian.
Aalisha masih diam. Tidak terukir amarah di wajah gadis kecil itu yang terlihat sangat tenang, setenang air yang harus menghadapi api berkobar-kobar. Meskipun begitu, jauh dalam lubuk hatinya, berkali-kali Aalisha mengutuk Jasmine dengan segala kata yang terucap dari bangsawan itu.
"Menjijikkan." Satu kalimat itu terucap dengan tenang dari Aalisha. "Meski kau bangsawan, kau sangat menjijikkan. Bagaimana bisa kau berkata agar aku tak menyelamatkan seseorang yang hampir dilecehkan? Jasmine, di depan matamu sendiri, kau melihat seorang perempuan hendak direnggut harga dirinya, dilecehkan. Bukankah kau seorang perempuan juga, bagaimana mungkin kau membiarkan hal itu terjadi?
"Sekarang, kau merengek padaku, berkata jika harga dirimu tercoreng karena orang tuamu dipanggil ke akademi. Bisakah kau bayangkan jika Frisca saat itu berhasil dilecehkan oleh kedua kakak tingkat bajingan itu, siapa harga dirinya yang paling hancur nantinya?"
Aalisha menghentikan langkahnya tepat di hadapan Jasmine yang kini tertunduk dengan air matanya berjatuhan. Tangannya yang kuat menggenggam pisau kini sudah kendur. Gadis Delilah itu menggigit bibirnya karena menahan gemetar hebat.
"Sebenci apa kau padaku sampai membiarkan seorang perempuan dilecehkan, Jasmine," ujar Aalisha kembali sambil mengamati Jasmine yang masih diam membisu bahkan tak berkutik sedikit pun.
Aalisha sebenarnya sangat marah dan kesal. Perkataan Jasmine tadi, jelas-jelas menyiratkan jika dia tak peduli pada harga diri orang lain, selain harga dirinya sendiri. Maka dari itu, Aalisha harus sedikit memperbaiki otak Jasmine yang terguncang itu. Dia tahu, jika amarah seorang Kepala Keluarga seperti Viscount Delilah bisa membuat mental seorang anak hancur. Apalagi bangsawan selalu dididik dengan sangat ketat, terkadang kejam. Jadi tidak heran jika seorang keturunan bangsawan, berusaha menjaga citra dan nama mereka baik-baik. Sekali saja rusak, maka sudah dianggap hancur. Pasti itulah yang mengusik dan membebani hidup Jasmine Delilah yang harus menempatkan diri sesempurna mungkin menjadi putri keturunan Viscount Delilah.
Gadis di depan Aalisha ini, tak bisa Aalisha salahkan sepenuhnya, karena seorang bangsawan selalu punya beban dalam membawa nama keluarga mereka. Namun, seorang bangsawan yang membiarkan seorang perempuan dilecehkan begitu saja, tindakan itu tak bisa dibenarkan.
Andai kata, Jasmine saat itu menolong Frisca, mungkin semua akan berbeda.
"Percuma amarahmu, takkan menyelesaikan apa pun. Karena aku tak mau berurusan masalah ini lagi, jadi kuanggap hal ini tak pernah terjadi," ujar Aalisha dengan lapang dada memaafkan Jasmine karena jika masalah ini terus diungkit, takkan pernah menemukan ujungnya. Lagi pula, Aalisha lelah jika harus bertengkar apalagi sampai terjadi pertarungan yang tidak berguna.
"Jasmine, kurasa kau paham apa yang kukatakan tadi, apalagi kau juga seorang perempuan," imbuh Aalisha hendak beranjak dari sana, tetapi Jasmine mendongak dengan air mata masih menetes. Mungkinkah gadis itu sadar akan kesalahannya? Itulah yang sangat Aalisha harapkan.
"Benar sekali." Suara Jasmine terdengar serak.
Aalisha menatap manik mata Jasmine, mengamat-amati dengan jeli, sesaat gadis kecil itu terdiam membisu. Seolah menemukan sesuatu di sana. Akibat diamnya Aalisha membuat Jasmine berujar kembali. "Benar seperti yang dikatakan banyak orang. Jika perkataan rakyat jelata, tetaplah sampah!"
Sekonyong-konyong Jasmine bergerak dengan cepat, tak bisa Aalisha lihat gerakannya yang kini muncul pentagram merah-keunguan tepat di hadapan Aalisha, lalu bibir Jasmine merapalkan mantra dengan fasih. Seketika angin sangat kencang bertiup keluar dari pentagram sihir, langsung melempar jauh tubuh Aalisha ke belakang, menghantam pot bunga, meja-meja kayu, hingga punggung gadis itu menghantam keras kaca hingga hancur berkeping-keping. Goresan luka tercipta di beberapa titik tubuhnya karena sayatan dari kaca yang pecah, lalu tubuh kecil gadis itu membentur tanah dengan keras. Menyebabkan cekungan kecil di sana dengan tubuhnya dipenuhi debu-debu tanah.
Aalisha berusaha bertumpu dengan kedua sikunya, lalu memuntahkan saliva bercampur darah. Pandangannya yang buram sesaat, menatap pada Jasmine yang melangkah pelan melalui bagian rumah kaca yang pecah berhamburan.
"Sialan, dia sama sekali tak paham, lalu apa-apaan tekanan kekuatan ini? Besar sekali."
Aalisha berdecak, perlahan berdiri dan berpijak kuat, tiba-tiba dalam hitungan detik pecahan kaca yang berserakan di tanah melayang cepat ke arahnya. Satu pecahan kaca berhasil menyayat pahanya hingga darah menetes, disusul dengan puluhan pecahan kaca lainnya yang menyerang bertubi-tubi ibarat hujan, tetapi tidak ada air yang menetes, melainkan kaca tajam yang siap menggores tubuh seorang gadis kecil.
Lekas Aalisha merapalkan mantra yang membuat neith di sekelilingnya berubah menjadi pelindung, sehingga setiap pecahan kaca yang melesat ke arahnya seketika tidak lagi mengenai tubuh Aalisha. Jasmine berang, dia langsung berteriak yang menyebabkan serangannya meningkat, tidak lagi puluhan kaca, melainkan ratusan kaca tajam melesat ke arah Aalisha yang terus melindungi dirinya di balik selubung neith.
Perlahan-lahan serangan itu semakin dikit hingga berhenti, tak ada lagi hujan pecahan kaca. Mungkinkah Jasmine sudah tak menyerang lagi? Mustahil!
"Bersembunyilah terus, dasar rakyat jelata, dasar sampah masyarakat!" teriak Jasmine menjentikkan jadinya yang dalam sekejap muncul pentagram sihir di dekat tumit Aalisha.
Mata Aalisha membulat sempurna ketika tahu dari pentagram sihir itu, muncul rantai besi yang langsung melilit kaki kanannya. Suara jeritan bergema ketika tubuh Aalisha ditarik, diseret, hingga dilayangkan ke udara. Suara berdebum dan tulang bersinggungan juga terdengar ketika rantai besi itu berhasil menghantamkan tubuh Aalisha ke pepohonan lalu kembali melayangkan tubuhnya ke udara. Sudah tak terhitung luka memar di tubuh gadis itu serta berapa kali dia memuntahkan darah.
Kini Aalisha yang masih dilayangkan ke udara, dia meraih besi yang mengikat kakinya. Lalu menutup mata sesaat, rapalan mantra diucapkan pelan, detik selanjutnya, besi tersebut memerah hingga memanas seolah sedang dibakar di atas api unggun. Ketika tubuh Aalisha sekali lagi dihantamkan ke pohon, gadis itu mengeluarkan besi panjang dari invinirium lalu dihancurkan rantai besi yang melilit kakinya hingga gadis itu jatuh ke tanah.
Amarah Jasmine memuncak, lalu dia berteriak merapalkan mantra yang dari pentagram sihir miliknya, air sangat dingin menerjang dengan cepat ke arah Aalisha. Sebelum gadis itu benar-benar terkena serangan, lekas dia tancapkan tongkat besinya yang dialirkan neith. Hal itu membuat air menerjang ke arahnya seketika terbelah sehingga Aalisha tidak terkena sedikit pun bahkan percikan airnya.
"Sialan, kenapa terus berlindung! Kau makhluk bajingan!" teriak Jasmine terus meningkatkan intensitas kekuatannya hingga seluruh tubuh Jasmine terselimuti neith.
Aalisha mengumpat karena sadar jika tongkat besinya tak bisa bertahan lebih lama, retak sedikit demi sedikit. Dia tak bisa bergerak ke mana pun karena kanan-kiri adalah air yang jika terkena sedikit saja maka Aalisha akan langsung terseret alirannya.
"Sejujurnya aku tak mau bertarung, karena jika aku ketahuan bahkan oleh Jasmine. Semua rencanaku selama ini akan sia-sia, semuanya akan gagal. Dewa, mengapa Engkau selalu memberikanku cobaan, salahkah jika aku ingin hidup tenang seperti manusia lainnya."
Aalisha berjongkok, memunculkan invinirium lalu mengambil novel yang ia baca sebelumnya. Suara retakan pada tongkat besinya terdengar sesaat, membuat Aalisha sadar jika tongkat itu takkan bertahan lebih dari lima menit, maka ia berdiri sambil memegang novelnya.
"Baiklah mari mulai permainannya," ujar Aalisha.
Perlahan tubuhnya diselubungi neith biru pudar, lalu setiap lembaran novelnya terbuka sendirinya dengan cepat bersamaan setiap kertas novel terlepas hingga berterbangan dan tersebar ke segala penjuru lokasi kebun itu.
"Latreia," ucapnya yang seketika kertas-kertas berterbangan itu, semakin banyak hingga mencapai ribuan kertas yang kini menutupi setiap aliran air di sekeliling Aalisha hingga menghentikan serangan air dari Jasmine.
"Sialan, apa yang kau lakukan!" teriak Jasmine tercengang dengan sihir yang Aalisha gunakan. Dari mana gadis itu belajar sihir itu? Mustahil pihak akademi yang mengajarkan karena tidak ada sihir tipe itu yang diajarkan ke angkatan tahun pertama. "Mengapa bisa kau gunakan sihir itu! Kau anak cacat, mustahil bisa melakukannya!"
Aalisha menjentikkan jarinya yang membuat ribuan kertas tersebut terurai seperti abu lalu lenyap tertiup semilir angin. Kini Jasmine bisa melihat jelas Aalisha sedang berdiri dengan tangan kanan memegang buku, lalu ekspresi gadis kecil itu yang begitu angkuh. Semirik terukir bersamaan suaranya.
"Mengapa bisa? Bagaimana jika kukatakan jika semua ini karena ...." Aalisha mengangkat tinggi bukunya. "Karunia Para Dewa."
Dalam sekejap bukunya bersinar cahaya biru, lalu ribuan kertas-kertas dari buku itu berterbangan ke arah Jasmine, bagaikan ombak tsunami kertas, maka Jasmine benar-benar tersapu ombak. Berusaha melindungi diri, tetapi percuma karena seragamnya sobek akibat sayatan kertas, begitu juga kulitnya yang terluka hingga mengeluarkan darah karena sayatan kertas ini terasa lebih sakit dibandingkan kaca atau pun pisau. Aalisha mengayunkan bukunya, memberi perintah yang membuat kertas-kertas itu hendak menyelimuti tubuh Jasmine.
"Permainan selesai, Nona Delilah," ujar Aalisha menatap pada ribuan kertas mengelilingi Jasmine.
Kini mata Aalisha memicing karena begitu fokus melihat cahaya kemerahan terpancar di antara kertas-kertasnya yang hampir menyelimuti Jasmine dengan sempurna.
Aalisha sangat yakin jika cahaya merah itu semakin terang, hingga ia terkejut bukan main karena cahaya merah itu perlahan melahap kertas-kertasnya dan menjadikannya abu-cahaya merah itu adalah api yang semakin membesar hingga menghanguskan banyak kertasnya.
"Bajingan, bukuku hancur, sialan!" teriak Aalisha.
Dalam sekejap, api berkobar sangat panas lalu api itu berputar cepat, menciptakan tornado yang melahap seluruh kertas milik Aalisha hingga tak satu pun bersisa. Kini tornado itu semakin cepat berputar, sekilas terlihat wajah naga terbentuk melalui putaran itu, hingga semakin nampak dan jelas wajah naga itu. Lalu di antara kobaran api, Jasmine berdiam diri dengan tatapan yang sangat kosong, lalu di ayunkan tangannya. Sesuai perintahnya, tornado api yang menyerupai naga itu, berhenti berputar dan menerjang ke arah Aalisha.
"Delilah itu benar ingin membunuhku!" teriak Aalisha menutup bukunya lalu berlari dari sana. "Kau gila, mau membakar taman ini!!"
"Ke mana kau mau lari makhluk kotor, biar kubakar hingga tulangmu menjadi abu!" berang Jasmine.
Aalisha memunculkan invinirium, lekas dia mengeluarkan tiga kotak kecil menyerupai cyubes, serta dapat melayang. Lekas dia melemparkan tiga kotak tersebut, lalu diperintahkan berada di titik tertentu hingga membentuk simbol segitiga, lalu setiap kotak dialirkan neith yang tersambung satu sama lainnya. Simbol segitiga yang dibuat itu bersinar biru pudar. Akhirnya simbol segitiga itu tepat berada di hadapan naga api yang hendak menerjangnya.
"Latreia," ucap Aalisha berhenti berlari, ia berada di belakang simbol segitiga dengan tangan kanannya terarah ke depan. Pentagram biru muda muncul di depan Aalisha sehingga berada di belakang simbol segitiga juga. "Frigus Aquemerium!"
Air dengan intensitas sangat tinggi seketika keluar dari pentagram sihir, tetapi kali ini, air itu menerjang berkali-kali lipat lebih cepat dengan airnya juga lebih banyak serta intensitasnya semakin kuat dibandingkan serangan biasanya.
Tiga kotak yang membentuk simbol segitiga adalah benda magis yang diciptakan sebagai pendukung dalam menggunakan sihir, mudahnya adalah instrumen sihir. Dengan menggunakan ketiga kotak ini, maka pengguna sihir dapat meningkat daya serang sihir mereka terutama membantu penyihir pemula.
Uap yang dihasilkan akibat benturan antara naga api milik Jasmine dengan gelombang air milik Aalisha menguar ke langit, seolah menjadi kabut menyebabkan jarak pandangan jadi mengabur. Di saat itulah, Aalisha segera menerjang di antara kabut uap yang ketika muncul tepat di depan Jasmine, ia terkejut dan merasakan sakit menyeruak ketika Aalisha berhasil melancarkan serangan di ulu hatinya, lekas juga Aalisha menyerang lagi dengan teknik yang diajarkan oleh master Arthur. Beberapa titik tubuh Jasmine berhasil terkena serangan hingga gadis itu mengerang sakit. Puncaknya ketika Aalisha menendang dada Jasmine, ia terpelanting, menubruk tanah, darah keluar dari mulutnya, kini terkapar di tanah, tak berdaya.
"Kurasa harus disudahi saja pertarungan bodoh ini, Nona Delilah," ujar Aalisha, melangkah hingga di depan Jasmine. "Bisakah kau gunakan akal pikiranmu atau tenangkan diri jangan sampai emosi bodohmu itu menguasai."
Jasmine mengepalkan tangannya, napasnya tak beraturan, kepalanya sangat pusing karena banyaknya energi yang terkuras. Apalagi Aalisha menyerang tepat di titik vital tubuhnya hingga terasa begitu sakit. Sementara itu, Aalisha menyeka darah yang keluar dari hidungnya, seragamnya semakin kotor akibat darah. Padahal ia tak kau menguras energi, tapi sejak awal, Jasmine duluan yang mencari perkara.
"Kukatakan sekali lagi, bukan aku yang salah. Aku hanya menyelamatkan Frisca, tidak lebih, kaulah yang bodoh sampai tega membiarkan perempuan dilecehkan hanya karena membenciku." Sungguh tak ada yang Aalisha harapkan selain Jasmine benar-benar sadar akan kegilaannya. "Maukah kau hentikan ini, aku tak mau ada perkara lagi."
Tangan Jasmine yang mengepal kuat perlahan menjadi tenang, tubuhnya yang gemetar kini sudah tak lagi. Perlahan gadis itu hendak bangun, suaranya terdengar sangat serak. "Aku marah karena apa yang terjadi saat itu membuat namaku tercoreng. Ayahku marah, aku takut akan amarahnya."
Jasmine mendongak, air matanya tidak berhenti jatuh, ia menangis sesenggukan. "Aku tak tahu kau paham atau tidak, tapi kehidupan bangsawan tidak selalu seperti yang orang-orang bayangkan. Keluargaku sangat keras, ayahku takkan segan menghukumku jika aku berbuat satu saja kesalahan kecil. Apalagi kesalahan yang mencoreng nama keluargaku. Ayahku lebih menyayangi kehormatan keluarga dibandingkan putrinya.
"Aku tak takut jika tak bisa bersekolah di Akademi ini atau dihukum berat sekali pun, tapi aku takut karena perbuatanku ini, ayahku jadi marah besar. Dia jadi tak menyayangiku lagi. Itulah kenapa, saat kembali dari kediamanku, aku marah besar padamu, aku tahu aku salah, tapi aku tak bisa mengontrol emosiku. Maaf, maafkan aku Aalisha. Kau mungkin bukan bangsawan, tapi kau pasti paham rasanya ketika seorang ayah marah padamu atau takut kehilangan kasih sayangnya. Maafkan aku, maaf."
Kini Jasmine tertunduk di hadapan Aalisha dengan kedua lutut sebagai tumpuannya. Matanya semakin memerah karena tangis tak berhenti juga. Dia benar-benar kacau, seolah kehilangan harapan, seolah jika sang ayah berhenti menyayanginya maka dunia gadis itu akan runtuh bahkan terasa seperti di neraka.
"Kumohon maafkan aku," ujar Jasmine lagi. "Kumohon, maaf, maaf."
"Sejak awal, aku tak mau berurusan denganmu lagi, pertarungan ini tak ada untungnya. Jadi, lupakan jika semua ini pernah terjadi." Aalisha berujar tanpa ekspresi yang begitu kentara, tetapi ia jujur jika ingin menyelesaikan masalah ini yang tak berguna jika diteruskan.
"Sungguh? Kau sungguh memaafkan aku?" Jasmine menatap Aalisha dengan air mata berlinang.
"Ya, lupakan apa yang terjadi," ujar Aalisha lagi.
Jasmine tersenyum simpul, ia menyeka air matanya dengan lengan seragam. Tanpa disadari, senyuman simpul itu berganti dengan semirik jahat. "Sudah kuduga, manusia bodoh tetaplah bodoh."
Manik mata Aalisha membulat ketika muncul pentagram sihir di bawah kakinya, lekas gadis itu melompat ke belakang. Namun, ia terlambat karena pentagram sihir ini membuat gerakan musuh yang terjebak menjadi lambat. Lekas Jasmine mengeluarkan pisau hitam sepanjang lengannya, lalu tanpa terbaca gerakannya, Jasmine berhasil menusukkan pisau tersebut ke perut Aalisha.
Jasmine merubah senyumannya menjadi penuh kebahagiaan dan kemenangan. "Bodoh sekali, gadis cacat!"
Keduanya terdiam di atas pentagram sihir dengan Jasmine yang berhasil menusuk Aalisha hingga gadis itu tak mampu berkutik. Darah keluar dari mulut dan hidung Aalisha. Ia menatap tajam Jasmine sedangkan Jasmine tersenyum puas, sangat puas karena si rakyat jelata yang bodoh ini mau saja termakan hasutan dan akting darinya.
"Sakit bukan, kasihan sekali, bodoh dan dungu sekali kau," ujar Jasmine, "mana mungkin aku mengalah begitu saja karena atas perbuatanmu, aku menderita jadi kurasa kau harus menderita juga." Jasmine semakin menekan pisaunya hingga terasa sekali jika daging Aalisha bersinggungan dengan besi tajam.
"Kenapa hanya diam, kau pasti-" Jasmine terdiam karena Aalisha menggenggam erat tangan Jasmine yang memegangi pisau. Terkejut gadis itu, bagaimana mungkin Aalisha masih bisa bergerak padahal gerakannya sudah dibatasi dengan sihir yang ada di bawah kaki mereka.
"Fortis Foras," ujar Aalisha yang langsung membuat Jasmine terlempar sedangkan pentagram sihirnya menghilang bersama Delilah itu terkapar lagi di tanah.
"Kau tahu Jasmine." Suara Aalisha masih terdengar jelas meski ia kesakitan karena pisau Jasmine masih tertancap di perutnya. "Dari perkataan bodohmu itu, ada hal yang sama sekali tidak cocok denganku ...." Gadis itu melangkah, tangannya memegangi gagang pisau, lalu dengan mudah dicabutnya pisau itu hingga darah menyembur.
"Aku." Aalisha menekan perkataannya. "Tidak pernah merasakan kasih sayang orang tua. Jadi aku takkan hancur hanya karena dimarahi oleh mereka yang disebut orang tua." Beralih Aalisha menggenggam kuat pisau milik Jasmine sambil melangkah pelan ke arah gadis itu. Dia siap untuk menusuk balik gadis Delilah itu.
"Kau pikir ini sudah selesai, hah!" teriak Jasmine memunculkan rantai besi yang langsung menjerat leher Aalisha, semakin erat melilit leher gadis itu hingga dia merasa sesak untuk bernapas, suaranya tak dapat terdengar. Jasmine tak sadar jika dirinya sudah mencapai ambang batas pula.
"Nona Jasmine Delilah!! Apa yang kau lakukan!" Suara teriakan itu berasal dari profesor Solana yang berlari ke arah Jasmine, tidak peduli pada pot bunga yang ia bawa kini sudah jatuh dan terhambur di tanah.
"Profesor ...." Jasmine menatap telapak tangannya sesaat yang penuh darah, ia menyentuh bawah hidungnya yang kini banyak darah keluar juga, tubuh dan tangannya ikutan gemetar, ya gadis itu sudah mencapai batasnya karena neith yang terkuras habis. Detik selanjutnya, Jasmine seketika terjatuh karena pusing menyeruak, membuat sihirnya sirna, Aalisha terlepas dari jerat rantai.
Lalu gadis kecil itu jatuh ke tanah, memuntahkan saliva, napasnya ngos-ngosan, tubuhnya gemetar dan jantung berdegup kencang, lekas ia dibantu oleh profesor Solana untuk bangun, sementara itu darah di perut Aalisha semakin banyak keluar. "Oh Dewa, kau terluka parah Nak, bertahanlah sedikit lagi. Aku akan mengobatimu."
Aalisha menepis tangan profesor Solana, dia memaksakan diri untuk berdiri setelah meraih pisau milik Jasmine. Kini ia melangkah hendak membalas perbuatan Jasmine dengan pisaunya sendiri, sayangnya ia merasa sangat pusing.
Tidak tahu kapan takdir berhenti mempermainkannya. Jelas sekali jika Jasmine sudah terpojok, tetapi Aalisha masih merasakan firasat sangat buruk. Benar saja! Pandangan Aalisha mulai buram, tubuhnya gemetar hebat, perutnya terasa bergejolak seolah dia hendak memuntahkan isi perutnya, napasnya sudah tak beraturan dan dadanya semakin berdebar kencang.
Darah keluar dari hidungnya, begitu juga telinga. Aalisha merasakan tangannya gemetar, kakinya sangat lemas. Dia pun menjatuhkan pisau yang digenggamnya, bersamaan pisau itu tertancap ke tanah, tubuh Aalisha ambruk ke tanah pula. Ia mengejang, mengerang pula sambil menahan rasa sakit. Teriakannya terdengar menggema, air matanya membasahi pipi.
Suara profesor Solana yang panik itu tak terdengar lagi di telinganya, penglihatannya semakin mengabur juga. Di sela-sela penglihatan yang buram itu, di kejauhan, seseorang berdiri menatap pada Aalisha lalu tersenyum simpul, begitu bahagia melihat kondisi mengenaskan gadis kecil itu. Aalisha sangat tahu siapa itu, seorang wanita cantik, mengenakan gaun biru muda dengan manik mata pink rouge. Dia adalah profesor-
"Profesor Ambrosia! Tolong bantu aku, tolong bantu Nona Aalisha!" teriak profesor Solana karena Ambrosia perlahan melangkah ke arah mereka, lalu berhenti untuk menatap Aalisha.
"Ambrosia! Kenapa kau diam saja, lekas bantu aku. Cepatlah, anak ini bisa mati karena racun! Ambrosia!! Kenapa kau diam saja! Cari bantuan atau bantu hentikan pendarahan dan racunnya!"
Ambrosia perlahan melangkah hingga benar-benar tertangkap penglihatan Aalisha yang hampir menghitam itu. Bukannya membantu, Ambrosia diam-diam tersenyum tipis menatap keadaan naas dari gadis kecil itu, lalu ia berujar tanpa suara, tetapi bisa dipahami Aalisha. "Kasihan sekali kau."
Hari itu, Aalisha bisa menyadari bahwa selain takdir yang selalu mempermainkannya. Tidak ada manusia yang bisa ia percaya karena pada akhirnya, semuanya akan mengkhianatinya atau kah Aalisha yang terlalu menaruh harapan pada manusia?
Mustahil!! Mustahil para Dewa! Mustahil Aalisha berharap pada manusia! Sejak awal, ia tak pernah percaya pada makhluk ciptaan para Dewa. Terutama manusia yang menjadi makhluk paling hina di Athinelon ini!
Sejak awal, ia tak pernah percaya.
Dan takkan pernah.
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Fyi, mata pelajaran ramalan terkadang menjadi sahabat sekaligus musuh para murid. Alasannya adalah jika ramalan masa depan mereka cerah maka mereka akan bangga, sebaliknya jika buruk, mereka akan menyangkal ramalan tersebut besar-besaran.
Berbicara tentang Jasmine Delilah, sepertinya dia punya dendam yang sangat dalam pada Aalisha dan kini terealisasikan ....
Turut berduka cita atas Aalisha 🙏
Lalu profesor Ambrosia, katakan sesuatu padanya~
Prins Llumière
Rabu, 01 Februari 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top