Chapter 51

|| Vote 40 dan Komentar 30, nanti update cepat^^

Satu jam menuju praktikum sihir dan mantra dasar. Ini adalah hari ketiga, giliran kelas Aalisha bertepatan pada hari Jumat sehingga kelas yang ada di hari ini harus diliburkan dan dicari kelas pengganti di hari berbeda. Praktikum akan dimulai pukul sembilan hingga pukul tiga sore, bisa lebih cepat jika semua bola kristal berhasil dihancurkan.

Aalisha mengamat-amati dirinya melalui pantulan cermin, cahaya matahari yang menembus jendela kamarnya menyinari rambut hitam legamnya, kedua tangannya perlahan memilin rambut yang hendak dikepangnya, setelah selesai, diikat ujungnya dengan pita berwarna putih gading. Merasa sudah cukup rapi. Dia mengambil dua sarung tangan hitam lalu dikenakan.

Di sisi lain kamar ini, di atas meja belajar, terjuntai surat kabar dari media Lè Ephraim dengan halaman utama yang membahas tentang penyerang Phantomius di sejumlah desa serta beberapa titik wilayah, meski agak jauh dari wilayah Akademi Eidothea, tetap saja, berita ini meresahkan. Kemudian para orang tua murid berpikir, dibandingkan anak-anak mereka berada di kediaman masing-masing yang bisa saja ada bahaya menanti, mereka memilih agar anak-anaknya tetap di lingkungan akademi saja.

Bukankan Eidothea menjadi tempat teraman di dunia ini? Begitu kata banyak orang.

Kabar Phantomius semakin meresahkan bahkan terdengar gila karena telah ditemukan para pemuja Raja Iblis itu berada di sekitaran tempat suci, menyamar menjadi orang-orang alim, serta parahnya menyamar sebagai pendeta di kuil. Hal ini mempersulit organisasi Alastair untuk membasmi mereka yang berada di lingkungan kuil karena tidak diketahui apakah mereka benar pendeta dan orang-orangnya ataukah para Phantomius.

Kini organisasi Alastair serta pihak kerajaan harus bergerak cepat untuk menyelesaikan masalah ini dengan menurunkan para Inquisitor terbaik. Mereka juga memprediksi jika organisasi penyembah Raja Iblis itu mencari pengikut baru yang target mereka tidak hanya orang dewasa, melainkan anak-anak terutama yang belum paham mengenai baik dan buruk atau masih dalam masa mencari jati diri pasti mudah sekali dipengaruhi, hal ini berlaku juga bagi anak-anak dari kalangan proletar yang jarang mendapatkan pendidikan atau pengetahuan. Atas hal inilah pihak kekaisaran Ekreadel telah mengerahkan segala upaya untuk mencegah bertambahnya Phantomius dari kalangan masyarakat kekaisaran.

Aalisha menatap surat kabarnya, lalu berujar, "pembasmian Phantomius adalah hal yang mustahil dilakukan hingga benar-benar lenyap, pengikut sekte raja iblis itu seperti ajaran Dewa, karenanya tidak mungkin dilenyapkan. Parahnya, banyak ras manusia menjadi pengikut mereka padahal dulunya bangsa iblis itu menyiksa leluhur mereka."

"Pantas saja ras Elf berkata jika manusia adalah makhluk yang aneh dibanding ras lainnya," sambung Aalisha sambil mengayunkan satu jemarinya. Kini surat kabar menjuntai itu perlahan bersinar biru lalu bergerak sendirinya dan terlipat rapi. Begitu juga barang-barang berhamburan di atas meja itu yang tersusun rapi sendiri.

Setelah dipastikan semua barang di kamarnya rapi dan tak ada sampah berserakan. Gadis itu menuju pintu kamar, meraih dua pasang sepatunya, bila dikenakan hampir mencapai lutut, sepatu yang seolah menelan kedua kaki pendek dan kurusnya itu.

Keluar dari kamar, melewati lorong, beberapa murid terlihat keluar dari kamar mereka, ada pula yang masuk untuk mengambil barang tertinggal. Dia teringat kembali diskusinya dengan Anila dan lainnya sehari yang lalu. Jadi mereka sepakati untuk membentuk tim dengan jumlah tiga orang; tim pertama, Aalisha, Anila, dan Mylo kemudian tim kedua, Gilbert, Frisca, dan Kennedy—mereka sudah akrab dengan anak Sylvester ini—hal ini dilakukan untuk saling membantu dalam praktik nanti, tentunya demi kelulusan bersama. Selain itu juga karena tak ada aturan yang mengharuskan mereka bersaing atau tak boleh bekerjasama.

Berdasarkan instruksi Arthur jika yang dinilai bukanlah seberapa banyak bola kristal dihancurkan melainkan seberapa mahir menggunakan sihir. Jika hanya menghancurkan bola kristal, teknik sihir tak beraturan pun atau menggunakan pedang pasti akan selesai dengan mudah. Maka dari itu mereka membuat tim agar saling membantu menemukan bola kristal. Lalu karena setiap serangan sihir pada bola kristal ada tingkatan dan poinnya; indikator warna hitam senilai 100 poin, indikator merah 60 poin, indikator kuning 45 poin, dan indikator hijau 20 poin. Kemudian poin yang dicapai agar lulus adalah sekitar 200 poin, maka mereka setidaknya harus menghancurkan enam bola kristal dengan hitungan, dua indikator merah, dua indikator kuning, dua indikator hijau. Akan lebih baik jika bola kristalnya semua indikator merah atau satu indikator hitam, tetapi akan sulit mendapatkan indikator hitam.

Rencana dari tim ini adalah mereka akan saling bantu mencari bola kristal hingga setiap anak setidaknya menemukan delapan bola kristal, jika dua serangan gagal tidak masalah karena masih ada sisa. Jadi sesuai perhitungan tadi, maka mereka semua akan berhasil mencapai 200 poin dengan artian lulus praktikum ini.

"Kurasa kalian sangat bersemangat hari ini," ujar master Arthur. Tak satu pun muridnya menjawab, mereka terlalu fokus memperhatikan sekitar karena mereka sudah melewati barrier akademi Eidothea, melewati pinggiran danau, serta menuju hutan yang menjadi lokasi praktik mereka.

Prairie Lynx Woods termasuk ke kategori hutan magis yang sangat luas, sehingga memakan setengah wilayah Elysian. Hutan ini tidak dilakukan penyucian hingga tuntas, jadi semakin masuk ke dalam hutan, masih ditemukan binatang liar dari jenis biasa hingga magis, begitu juga monster, tetapi untuk jenis iblis dijamin sudah tak ada.

Atas tidak dilakukan penyucian secara tuntas, maka dibuatlah teritori aman dan tidak aman di hutan ini. Teritori aman dikelilingi dan dilindungi dengan barrier yang terhubung ke Eidothea sehingga ada pengawasnya. Berada di teritori ini, seseorang bisa menggunakannya sebagai tempat berlatih maupun melakukan praktik dan pembelajaran, tetapi harus mendapatkan izin lebih dulu. Sedangkan teritori tidak aman sangat dilarang digunakan, bahkan menjejakkan kaki di sana saja dilarang dan akan mendapat hukuman jika melanggar—ada pendeteksi jika melewati barrier pelindung yang menjadi perbatasan antara teritori aman dan tak aman.

"Master apakah binatang magis atau monster bisa menembus penghalang?" tanya Kennedy.

"Jujur saja, tentu mereka bisa terutama kalau kekuatan atau jenis binatang magis dan monster itu kuat, mungkin ditingkatan B sudah mampu menembus barrier. Hanya saja jika hal itu terjadi, pihak sekolah akan bertindak agar tidak terjadi hal-hal mengerikan."

"Omong kosong. Paling-paling kalau itu terjadi, pihak sekolah tidak bertindak cepat." Aalisha tersenyum tipis karena sangat yakin dengan apa yang ia batinkan. "Sebenarnya ini klise, tapi dalam novel, hal buruk seperti itu pasti akan terjadi, cepat atau lambat. Kuyakin kejadian buruk akan terjadi hari ini juga."

Master Arthur menghentikan langkahnya, disusul para muridnya yang kemudian berbaris rapi. Di sekitar mereka kini sudah bukan bangunan kastil Eidothea lagi, melainkan pepohonan rimbun, semak-semak belukar, tanaman-tanaman yang entah apa namanya, ranting kayu di mana-mana, batu kerikil. Sedangkan di depan mereka ada jalan setapak yang mengarah masuk hutan ke teritori aman.

"Aku tahu jika kalian lebih ingin berleha-leha di kamar atau berbuat keonaran dibandingkan di sini, tetapi ini adalah penilaian penting untuk melihat sampai mana penguasaan kalian terhadap sihir dasar teknik penyerangan, sihir penting bagi kalian terutama dalam membela diri. Kalian juga perlu praktik langsung dibanding teori karena kalian tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi ke depannya. Paham?"

"Paham Master!"

"Baiklah, sekarang perhatikan." Arthur membuka cyubes-nya yang diperbesar menjadi peta wilayah Prairie Lynx Woods. "Hutan ini sangatlah luas dan sebenarnya tidak semua teritorinya aman. Bagian yang aman hanyalah teritori hijau ini, sedangkan sisanya tidak, sehingga daerah ini diberi pelindung dari neith yang terdeteksi oleh pengawas di Eidothea. Sehingga jangan sekali-kali berpikir melewati pelindung karena kalian akan dihukum. Kemudian praktik dilakukan di seluruh teritori aman, bola kristal juga tersebar di teritori tersebut.

"Selanjutnya perlu kutekankan lagi kalau bola kristal hanya di teritori aman, sehingga jika ada yang lihat bola kristal di di luar teritori aman maka niscaya itu bukan bola kristal yang kusebar. Sehingga cerdas-cerdas lah kalian karena mana tahu jika ada yang berusaha membunuh kalian dengan berbagai macam cara? Jadi aku tak mau ada alasan, kalian melewati barrier karena ada bola kristal di luar barrier. Apa kalian semua paham?!"

"Siap, paham Master!" teriak para murid.

"Kemudian peringatan lagi!" Arthur kembali berujar. "Tidak peduli jika ada binatang magis atau jenis biasa di luar teritori aman, jangan pernah dekati! Bahkan jika kalian melihat ada manusia, warga, bahkan murid Eidothea yang terluka parah, berdarah-darah, tertusuk pedang atau tombak, bahkan di ujung kematian sekali pun, dan dia berada di luar teritori aman, maka jangan pernah dekati atau kalian tolong!! Aku serius dengan hal ini karena kalian tidak tahu seseorang yang kalian tolong itu siapa! Bisa saja itu jebakan yang hendak membunuh kalian. Bisa jadi itu penjahat atau pembunuh berantai atau bahkan Orly yang menyamar menjadi teman kalian agar segera membunuh kalian! Di sini, aku bukan melarang kalian berbuat kebaikan, tetapi kadang, terlalu baik juga bisa mengundang kematian. Sampai sini kalian paham?!"

Para murid hening karena masih mencerna matang-matang perkataan Arthur yang ada benarnya juga, sangat benar malah! Sudah cukup kisah klise di dalam cerita tentang seorang tokoh utama terjebak marabahaya karena menolong orang misterius yang terluka di daerah antah-berantah.

"Kami paham Master!!" teriak para murid serempak.

"Dengarkan perkataan master Arthur itu," ucap Aalisha pada Anila, Mylo, Frisca, Gilbert, dan Kennedy. Gadis itu tersenyum tipis kemudian. "Berhenti berniat menolong semua orang, bisa saja yang kalian tolong itu malah malaikat kematian."

Kelima manusia di depan Aalisha hanya bergeming jadi dia berucap kembali. "Kalian dengar tidak?"

"Ya, kami dengar, kami paham," sahut Mylo agar tersinggung.

"Kami paham Aalisha," ujar Anila.

"Baguslah." Aalisha memperbaiki posisinya. Lalu menatap tak tentu arah yang tak disangka ia berhasil menangkap Killian yang tengah memperhatikannya lalu lekas mengalihkan pandangan. Sesaat Aalisha menyipitkan matanya. "Apaan Cornelius itu, mencurigakan."

"Immanuel," ucap Arthur. Perlahan muncul Orly bertumbuh setinggi Arthur dengan pakaian bangsawan agak kuno dan berkacamata. "Kau akan membawa mereka."

"Hamba laksanakan Master." Immanuel lalu menatap pada murid-murid di depannya.

"Baiklah, Immanuel yang akan mengantarkan kalian ke titik kalian memulai praktik ini jadi bisa dikatakan jika kalian akan disebar sehingga tidak menumpuk di satu tempat," jelas Arthur.

"Sesuai dengan prediksi Anila," ucap Frisca. Mereka sudah tahu jika akan terpisah begini jadi mereka berniat berkumpul di titik yang sudah Anila tentukan sehingga di mana pun garis start mereka, mereka akan berkumpul di satu titik kemudian bersama-sama mencari bola kristal.

"Ya kau cerdas memang," sahut Gilbert. Yang tak sengaja menangkap Killian tengah memperhatikan ke arah Aalisha. "Hei, Aalisha, kurasa Llama putih melirik padamu."

"Apa?" sahut Mylo, "kenapa dia?"

"Ya aku sadar, sejak tadi dia begitu," balas Aalisha.

"Dia memang gila, sebisa mungkin hindari dia, lalu jangan terpisah sesuai tim kita," jelas Anila, "kalian paham?"

"Ya!" sahut Mylo dan lainnya.

"Iya," sahut Frisca.

"Baiklah semua!" Arthur berujar kembali. "Praktik dimulai, semoga kalian semua lulus dan tolong berhati-hati." Maka perlahan-lahan para murid menghilang dari sana dan di disebar oleh Immanuel ke seluruh hutan teritori aman.

****

Teleportasi yang dilakukan Immanuel sedikit membuat pusing dan mual bagi yang tak terbiasa. Sesaat pandangan Aalisha buram, tetapi sudah kembali seperti sedia kala, kini di hadapannya tidak ada lagi master Arthur atau murid lainnya melainkan benar-benar pepohonan rindang, semak belukar, tanah tak rata penuh bebatuan. Terdengar suara gesekan antara dahan-dahan pohon karena tertiup embusan angin, lalu kicauan burung yang saling bersahutan.

Aalisha tidak langsung berpikiran untuk menuju titik berkumpul seperti yang Anila rencanakan. Gadis itu melangkah pelan menuju pohon besar yang di sekitarnya tumbuh jamur aneh dengan berbagai macam warna bahkan ada yang bercahaya seperti lampu saja. Dia berjongkok mengamat-amati jamur tersebut yang kemungkinan termasuk jamur beracun. Lalu beralih ke semak-semak di dekatnya, ternyata melindungi tanaman herbal yang dapat dimakan sebagai obat penyembuh jika terluka, agak ke kiri sedikit terdapat tanaman dengan daun biru muda yang merupakan tanaman obat penidur—bisa digunakan pada binatang atau monster untuk membuat mereka tertidur dan pingsan. Berjalan sedikit lebih jauh, Aalisha menemukan tanaman yang digunakan untuk menetralisir racun, sayangnya rasa tanaman ini sangatlah pahit. Jika tidak tahan dengan rasa pahit, jangankan dikunyah, baru menyentuh lidah saja sudah pasti dimuntahkan.

Seperti yang Aalisha duga jika daerah hutan ini tetap terjaga keasriannya bahkan tanaman beracun saja masih tersebar di mana-mana, bisa kacau kalau ada murid yang tak tahu kegunaan tanaman itu, tapi asal makan saja.

"Kuharap tak ada murid bodoh yang berpikir memanen jamur lalu dimasak tumis jamur," ujar Aalisha sambil berdiri dari posisi jongkoknya, "cyubes." Kini cyubes-nya muncul, diperlebar cyubes yang menampilkan peta hutan teritori aman, serta ada tanda merah yang menjadi titik berkumpul Aalisha.

Diperhatikan kalau dari posisinya kini dengan titik merah taklah begitu jauh, Aalisha yakin juga, sepanjang jalan menuju titik temu mereka, pasti dia akan menemukan bola kristal dan bertemu murid lain, entah lawan atau pun kawan, dikarenakan dia malas bertengkar jadi sebisa mungkin Aalisha tak mau rebutan bola kristal. Namun, kalau ada bola kristal di dekatnya dan tak ada yang mengincar bola tersebut, maka bisa menjadi milik Aalisha. Dia ingin menyelesaikan praktik ini sesegera mungkin.

Embusan napasnya terdengar, Aalisha sambil berjalan pelan menuju lokasi yang ditandai sebagai tempat berkumpul. Beberapa burung kolibri bertengger di dahan pohon rindang, selain itu ada juga jenis burung mimidae yang berjajar di dahan pohon sambil berkicau setiap Aalisha melangkah melewati pohon mereka. Pastinya burung-burung ini akan berkicau jikalau melihat murid-murid akademi Eidothea, barangkali di antara burung ini adalah master Arthur yang sedang mengawasi para muridnya.

"Ah, disitu rupanya, terima kasih," ujar Aalisha, semirik kecilnya nampak ketika menemukan satu bola kristal.

Hutan ini sangatlah rindang dengan dedaunan pohon yang lebat sehingga tak semua sinar matahari menembus, tetapi karena ada bola kristal, maka sinar matahari terpantul dari bola kristal tersebut dan mengenai jarak pandang Aalisha, agak silau dia yang membuatnya semakin yakin jika ada bola kristal di pohon sebelah kirinya ini.

Pohon cukup tinggi, bola kristal itu tersangkut di antara dahan pohon, yang satu dahan pohon ke bawah, bertengger beberapa burung sedang berkicau seolah-olah hendak menonton bagaimana upaya Aalisha menghancurkan bola kristal tersebut. Seekor tupai melewati dahan di pohon seberang, lalu disusul tupai lebih kecil, mereka berdua berdiam di sana dengan gigi-gigi kecilnya menggigit-gigiti kacang.

Gadis itu mengamat-amati sebentar kedua tupai, begitu pula pada beberapa ekor burung mimidae berterbangan di sekitar pohon tersebut kemudian bertengger di sana. Entah mengapa para binatang seperti penasaran dengan apa yang hendak Aalisha lakukan, terlebih lagi, gadis kecil itu perlahan membungkuk, mengambil ranting kayu cukup panjang, sepanjang lengannya. Lalu dipatahkan ranting tersebut hingga sepanjang telapak tangannya, lebih sedikit barangkali. Setelahnya dimunculkan invinirium, ia mengambil botol berisi air bersih, bukan untuk dia minum, melainkan ia tuangkan sedikit hingga membasahi seluruh permukaan ranting kayu. Dimasukkannya kembali botol tersebut dalam invinirium.

Aalisha mendongak, menatap pada bola kristal. Aliran neith terpancar di sekitar telapak tangannya hingga ke ranting yang ia pegang. Lalu aliran neith itu lenyap dan hanya mengalir di sekitar ranting kayu. Dia celingak-celinguk memastikan jika tak ada seorang pun di sini—dalam artian manusia, bukan binatang. Lalu ia menerka jarak antara dirinya dengan bola kristal.

Dengan penuh keyakinan seolah ia seorang pemanah paling berbakat yang takkan pernah salah sasaran sedikit pun, maka dilemparnya ranting kayu tersebut yang melesat sangat cepat, menancap keras di permukaan mulus bola kristal, menghasilkan retakan kecil di sana. Lekas Aalisha mengarahkan tangannya ke depan, melebarkan jari-jarinya, lalu merapalkan mantra dengan pelan yang hanya bisa didengar olehnya.

"Diffunditur Elektra." Melalui ranting kayu yang basah dan dialiri neith tersebut, maka percikan listrik muncul yang semakin membuat retakan bola kristal membesar, dua detik selanjutnya, percikan listrik yang kecil dan lemah itu semakin kuat dan menyebar hingga berhasil membuat bola kristal itu bersinar kekuningan lalu hancur lebur, bau gosong tercium, asap hitam mengudara, serta burung-burung di dekat bola kristal itu terbang menjauh karena tak mau terkena percikan listrik dari sihir Aalisha.

"Kuning," gumam gadis itu, "harusnya lebih ditekan lagi, bahaya jika ada yang sadar. Terutama Anila, dia cerdas." Aalisha mengepalkan tangannya, lalu dibuka, dikepalkan lagi, begitu terus berulang kali hingga dirasa tangannya yang kesemutan sudah berkurang.

Cyubes-nya muncul karena panggilan suara dari Anila. Semirik Aalisha terukir, baru saja dibicarakan, gadis Andromeda itu sudah muncul saja. Jadi Aalisha melangkah sambil menerima panggilan dari Anila. "Aku hampir sampai."

"Kau ini, selalu membuatku khawatir! Kau tak apa 'kan? Tidak bertemu pengacau?" Suara Anila di seberang sana terdengar.

"Kaulah pengacaunya Anila." Aalisha dari kejauhan bisa melihat Mylo yang celingak-celinguk sedang mencari sesuatu atau lebih tepatnya mencari Aalisha. "Tutup panggilannya, sudah kulihat Mylo seperti seorang ayah yang kebingungan mencari anaknya."

"Hei, cepatlah!!" teriak Mylo sambil melambaikan tangannya.

"Gadis kecil itu selalu membuat darah tinggi," ucap Anila geleng-geleng kepala. Lalu melangkah hingga di depan Mylo agar bisa melihat jelas apakah Aalisha baik-baik saja atau tidak? Mana tahu gadis itu datang dengan keadaan penuh luka dan darah di seragamnya.

"Berhentilah memberikan tatapan seolah aku akan mati," ucap Aalisha langsung bersedekap. "Aku baik-baik saja."

"Sulit merealisasikannya jika itu kau," sahut Mylo, "untung lah kau tak lecet, jika tidak, Anila akan mengamuk selama 1001 malam."

"Diamlah Mylo," sinis Anila, "jadi langsung saja, aku berhasil mendapatkan dua bola kristal, kita harus lekas dari pada bertemu murid lain sehingga dapat menghindari pertengkaran juga."

"Frisca dan lainnya?" tanya Aalisha.

"Mereka lebih dulu pergi karena Kennedy mengalami kendala, entahlah ada tanaman menjerat yang menangkap kakinya jadi dia tak bisa bergerak. Frisca dan Gilbert akan menolong," jelas Anila.

"Bukankah sudah dikatakan master Arthur—"

"Ini Kennedy, Aalisha! Dia juga di dalam teritori aman!" balas Anila cepat.

"Baiklah, baiklah, aku hanya bercanda," sahut Aalisha yang detik selanjutnya dia mengumpat keras karena Mylo mendadak berhenti sehingga dia menabrak punggung Mylo. "Sialan, jangan berhenti mendadak!"

"Ada!" Tunjuk Mylo pada pohon, di atas dahannya ada sarang burung, di sarang itulah ada bola kristal. "Baiklah, siapa duluan? Aku sudah dapat dua sebelum berkumpul tadi. Warna merah satu, kuning satu."

"Dua bola kristal, dua-duanya merah," jelas Anila begitu enteng. "Kau?" Dia menatap Aalisha.

"Baru satu, warna kuning."

"Woooh! Tak kusangka kuning, benar-benar pahlawan misterius kita." Hendak sekali Mylo merangkul Aalisha, tetapi sudah ciut nyalinya karena gadis kecil itu menatap tajam.

"Kalau gitu kau saja," ujar Anila.

"Aku tak apa, kau saja Anila," balas Aalisha.

Kalimat yang Aalisha ucapkan ibarat pemantik api pada sumbu amarah Anila. Maka suara Andromeda itu mengeras. "Mau aku pukul di sini? Sudah dikasih ya terima saja!! Apa lagi yang kau mau tunda, hah?!"

"Iya, iya!" balas Aalisha, menghela napas panjang. Lalu mendongak sambil mengira-ngira hendak melakukan apa untuk menghancurkan bola kristal di sana.

"Tahu apa yang harus kau lakukan?" ucap Anila, "aku melihat ada lima teknik sihir yang bisa kugunakan untuk menghancurkan bola itu."

"Aku melihat ada delapan cara," timpal Mylo sambil berbangga hati sedangkan Anila dan Aalisha hanya menatap sinis. "Apa, kalian pikir aku membual? Aku serius!"

"Baiklah Aalisha, lanjutkan," sambung Anila tak menggubris perkataan Mylo.

"Andromeda sialan," gumam Mylo.

Aalisha kembali memperhatikan bola kristal itu, dia melangkah mundur, menghitung jarak sambil memperkirakan teknik apalagi yang akan ia gunakan. Lalu dirasa sudah cukup, tangannya terulur tepat pada bola kristal. Dipejamkan matanya, berkonsentrasi mengalirkan neith, serta mengingat mantra yang hendak diucapkan. Dalam hitungan ketiga, gadis itu merapalkan mantra. "Percusserom Impetum."

Berhasil serangan sihir Aalisha mematahkan dahan pohon yang menopang sarang burung dan bola kristal, lalu bola itu cukup cepat membentur dahan pohon di bawahnya, dedaunan, hingga hampir jatuh ke bawah, tetapi dengan cepat telapak tangan Aalisha yang melebar itu digantikan dengan dua jari terarah pada bola kristal dan diucapkannya mantra berbeda dengan segera sebelum bola kristal itu menyentuh tanah. "Celer Sagittamirus."

Sukses bola kristal itu hancur berkeping-keping ketika lima anak panah besi melesak sangat cepat dari mantra yang Aalisha rapalkan, mengenai permukaan bola, kemudian meretakkannya hingga hancur menjadi butiran kasar ketika mencapai tanah. Ketika retak, bola kristal itu berpendar cahaya kuning. Menunjukkan jika tingkat sihir yang Aalisha kuasai cukup baik, meskipun tidak sebaik merah atau hitam.

"Lumayan," ucap Mylo sambil mengelus dagunya. Ia tak terpikirkan jika Aalisha akan melakukan hal itu. "Tapi kau membuat sarang burungnya jatuh lalu ada teknik yang lebih efektif 'kan?"

Aalisha melirik Mylo. "Sulit bagiku."

"Setidaknya itu sudah cukup bagi Aalisha," ujar Anila melangkah hingga melewati Aalisha lalu mengedarkan pandangannya karena barusan dia melihat bola kristal yang lain. "Giliranku."

Anila mengangkat tangannya ke atas, lalu dijentikkan jarinya. "Luceum Avis Volareis." Teknik sihir yang akan membuat benda-benda yang diinginkan penggunanya melayang, maka sekitar dua bola kristal yang berada di dahan pohon kini melayang ke arah Anila. "Succensa Exarserunt."

Kedua bola kristal perlahan retak, memancarkan warna kemerahan, ternyata warna merah itu bukan hanya indikator yang mengukur tingkat sihir Anila, tetapi bola itu benar-benar memerah karena dipanaskan seperti dibakar di atas lava membara yang membuatnya retak hingga meledak dan hancur menjadi butiran kasar, suara kencang cukup terdengar ketika bola kristal itu meledak.

"Mari lihat giliranmu," ujarnya pada Mylo yang memasang wajah muram karena Anila meremehkannya.

"Apa ini ajang pamer teknik sihir?" ucap Aalisha.

Mylo berdecak. "Aku juga bisa unjuk diri ya!" Maka ia berjalan, melewati Anila yang bersedekap dengan wajah angkuhnya. Setelah itu Mylo berjongkok, meletakkan satu tangannya di tanah, lalu dia tahu di mana bola kristal lainnya. Maka dengan aliran neith dikumpulkan di telapak tangan, lelaki itu dengan penuh tenaga menapak tangannya ke tanah sambil merapalkan mantra dengan keras.

"Arduus Teramis." Tanah bergetar meski tak terasa begitu kuat, lalu pentagram sihir muncul di permukaan, tak lama dari itu, gundukan tanah dengan ujung yang lancip ibarat tombak tajam keluar, menerjang, serta berhasil menghancurkan bola kristal yang tersembunyi di semak-semak belukar, sempat bersinar merah bola tersebut.

"Lihat, aku juga bisa." Mylo berujar sangat songong.

"Ya, ya, kalian memang hebat," ucap Aalisha tersenyum sangat tipis. Lalu disusul tawa Anila yang entah mengapa merasa lucu.

"Ternyata seru juga praktikum ini, kita bisa melihat teknik sihir yang masing-masing kuasai," ujar Anila.

"Seru apaan," balas Mylo, "capek sialan!" Ternyata teknik yang dia gunakan tadi cukup menguras energi yang kini membuatnya lelah sekali.

"Ah, kalau kau memang pemalas. Aalisha saja senang dengan praktikum hari ini, benar bukan?" Anila melirik Aalisha.

"Bodoh," hardik Aalisha melenggang pergi kemudian, hal ini membuat Anila hanya bisa menganga lebar sementara itu Mylo tertawa puas.

****

Sudah lewat tengah hari sedangkan tak banyak lagi bola kristal yang ditemukan. Jumlah murid yang ada di hutan ini sekitar 60, lalu tak diketahui jumlah bola kristal yang disebar apakah cukup untuk membuat 60 murid ini lulus semua atau malah tidak, apalagi yang dinilai adalah indikator pengendalian sihirnya, kalau semua teknik sihir mencapai indikator warna hitam, dipastikan kalau tiga bola kristal saja sudah melewati batas kelulusan sedangkan jika mendapat indikator hijau terus-terusan, maka enam bola kristal lebih diperlukan untuk satu muridnya. Maka tidak heran jika bola kristal sudah sangat menipis karena kebanyakan murid tidak begitu menguasai teknik sihir, mereka hanya sekadar tahu dan diucapkan, padahal masih tak stabil jika digunakan untuk menyerang.

Aalisha sendiri, tinggal satu bola kristal untuk memenuhi nilai kelulusannya sedangkan sudah satu jam dia dan Anila serta Mylo berkeliling daerah hutan, tetapi tak kunjung ditemukan bola kristal lagi. Mylo dan Anila tak perlu ditanyakan karena keduanya sudah mencapai nilai kelulusan karena mereka mendapatkan indikator merah dan kuning sedangkan Aalisha kebanyakan mendapatkan indikator hijau. Kini mereka bertiga memutuskan untuk menyebar mencari satu bola kristal, mereka juga menghubungi tim Frisca, siapa tahu mereka menemukan satu bola kristal lebih untuk dihancurkan Aalisha, sayangnya mereka sudah berkeliling pun tak kunjung mereka temukan. Kini waktu menuju selesainya praktikum ini tersisa 45 menit, jika gagal mencapai target kelulusan, maka ada remedial menanti, tetapi entah apa remedialnya.

"Sialan, sepertinya tak ada yang tersisa," ucap Aalisha lalu berjongkok karena sudah lelah berjalan ke sana-kemari. Manik matanya menatap pada seekor landak yang melintas dengan di durinya terdapat daun hijau, lalu terdengar suara gemerisik karena tiga ekor tupai melintasi dahan-dahan pohon sambil membawa kacang.

Aalisha bangkit kembali, lalu mempercepat langkahnya mengikuti para tupai. Melewati semak belukar, meloncati bebatuan, hampir tergelincir karena lumut di tanah, hingga dibalik pohon besar, tak jauh dari jaraknya. Dia melihat bola kristal di atas batu besar, benar-benar di tengah batu besar tersebut bola kristal bercahaya karena terkena pantulan sinar matahari.

Seolah menenangkan judi, maka itu adalah keberuntungan karena tak seorang pun di sekitar Aalisha yang mengincar bola kristal itu juga. Hanya saja, firasat buruk menyeruak ke dadanya. Mengapa bisa Arthur menaruh bola itu tepat di tengah bebatuan yang tempatnya terbuka dan dapat dilihat dengan mata telanjang padahal bola kristal lainnya di tempat-tempat yang sulit dijangkau.

"Sudah pasti ini jebakan. Sialan, siapa yang mau mempermainkanku," ucap Aalisha tak bodoh karena ia tahu sekali bagaimana jebakan bodoh ini dibuat. Maka diurungkan niatnya mengambil bola kristal tersebut, beralih dengan menandai daerah hutan ini, lalu dikirimkan lokasinya pada Anila dan Mylo agar segera kemari. Hendak melakukan antisipasi. Pasti ada sesuatu sampai-sampai jebakan ini dipasang. "Mereka akan kemari, sebaiknya aku pergi."

Aalisha menginjak ranting pohon hingga suara krek terdengar. Namun, bukan itu permasalahannya, dikarenakan dia menatap bawah, baru disadarinya jika bebatuan, ranting, dedaunan di tanah bergetar, semakin cepat pula getaran itu. Hingga dia merasa jika tubuhnya seolah-olah ditarik medan magnet, terutama rambutnya yang pertama kali tertarik kemudian disusul tubuh Aalisha langsung tertarik juga dengan sangat cepat.

"Invinirium." Aalisha memunculkan tempat penyimpanannya lalu mengeluarkan dua besi panjang yang lekas ditancapkannya ke tanah sehingga menahan tubuhnya agar tidak semakin tertarik ke arah kekuatan berupa magnet yang entah berasal dari mana. Namun, upayanya tetap gagal karena dari bawah, tiba-tiba jebakan lain muncul, jaring-jaring besar berhasil memerangkap tubuh Aalisha ibarat seekor kancil masuk jebakan seorang pemburu hutan, kini Aalisha terjerat di jaring besar dan tergantung di langit-langit.

"Sial!!" umpatnya cukup keras.

Amarah gadis kecil itu membara, lekas Aalisha melapisi satu besi yang berhasil dibawanya dengan neith lalu memotong jaring-jaring tersebut, dia jatuh, tetapi berhasil mendarat tanpa luka. Maka tanpa jeda sedetik pun, dia cepat melempar besi di tangannya ke arah asal serangan, suara berdebum terdengar, ketika besi itu menghantam tanah, debu mengepul ke langit, lalu Aalisha berujar lantang.

"Diffunditur Elektra!" Sambaran listrik yang kuat menjalar dan bersinar kebiruan membuat semak-semak hangus serta bagian pohon yang terkena serangannya, tetapi yang Aalisha inginkan adalah serangannya itu mengenai seseorang yang merencanakan semua jebakan ini.

"Dia tak di sana," ucap Aalisha langsung melompat mundur dengan cepat karena dua pedang tajam melesat ke arahnya, berhasil menggores pipinya dan pedang itu menghasilkan suara keras ketika tertancap ke pohon di belakang Aalisha.

Tidak diberikan waktu bernapas lega, kaki-kaki Aalisha merasakan sesuatu menjalar di sana, lalu melilit kedua kakinya, ternyata akar-akar tanaman yang tak tahu asalnya dari mana yang begitu cepat menarik Aalisha hingga gadis itu terjungkal, kepalanya membentur tanah lalu menyeret Aalisha sangat cepat. Tubuhnya terseret di tanah kembali, terasa sakit karena punggungnya bergesekan dengan tanah dan bebatuan kecil.

"Aku benci seragamku hancur lagi!" Aalisha berusaha meraih satu akar tanaman yang menjerat kakinya lalu merapalkan mantra. "Parvum Ignem." Maka akar-akar tersebut perlahan-lahan terbakar dan hangus tak tersisa. Lekas Aalisha bangkit karena dari arah depan, melesak cepat, anak panah dengan ujung yang sangat tajam seolah baru saja di asah.

Aalisha berdecak, "siapa pun itu, dia berniat membunuhku!" Lekas Aalisha berlari ke belakang karena hampir puluhan anak panah melesak ke arahnya. Dia menarik pedang yang tertancap di pohon—pedang yang sebelumnya hampir membunuhnya—lalu Aalisha ayunkan pedang tersebut maka ia berhasil menebas satu anak panah, dua anak panah, tiga anak panah dan terus-menerus berhasil ditebas anak panah tersebut sebelum melukainya. Sepertinya latihan bersama master Arthur ada gunanya juga, lalu diantara serangan anak panah itu, Aalisha menjulurkan tangannya, empat pentagram sihir biru pudar muncul di sekitar serangan musuh berasal.

"Igniesco!" teriak gadis itu. Ledakan dahsyat tercipta dengan angin kencang tercipta karena serangan yang Aalisha gunakan itu. Perlahan Aalisha menjentikkan jarinya, merapalkan mantra yang Anila rapalkan, maka bola kristal di tengah bebatuan melayang pada Aalisha, dibawanya bola tersebut karena berpikir sudah terlanjur diincar mati, maka Aalisha harus berhasil mengambilnya.

Sayang sekali detik selanjutnya, tangan Aalisha gemetar, pedang ia genggam terlepas, suara dentingan terdengar, lalu dia ambruk ke tanah, memuntahkan darah begitu banyak hingga tergenang di tanah. Pandangannya jadi buram, napasnya memburu, semua ini pasti karena teknik sihir yang ia gunakan terus-menerus yang membuat energinya terkuras.

Sungguh ia ingin pingsan saja, tapi tidak karena dari arah serangan yang hendak membunuhnya, panas membara terasa menyentuh kulitnya hingga bulu romanya berdiri. Pentagram sihir merah muncul tak jauh dari semua arah serangan yang hendak membunuhnya, pentagram sihir itu semakin menyala terang, hingga panas seperti panci yang dibakar di atas api. Maka berasal dari pentagram sihir itu, terciptalah bola api begitu besar dan panas—seolah matahari di bawa turun, membuat hangus dedaunan sekitar, semak-semak, batang pohon, lalu bau gosong tercium hingga menyesakkan pernapasan.

Tidak sempat dia menggunakan mantra lagi, gadis itu lekas memeluk bola kristalnya, lalu menelungkup karena dalam hitungan detik lagi, pentagram merah itu akan melepaskan serangan bola api. Kematian menantinya dalam hitungan detik lagi.

Hanya saja para Dewa masih memberikan kesempatan pada Aalisha.

Sebelum bola api itu membakar dan melelehkan kulitnya, tercipta barrier dari selubung neith yang cukup besar sehingga mampu melindungi enam orang sekaligus. Frisca dan Gilbert berhasil membuat pelindung tepat waktu—membuat panasnya bola api tidak menyentuh mereka. Lalu suara langkah kaki mendarat di depan Aalisha, tangan terulur kemudian muncul pentagram bersamaan suara Anila yang sangat lantang. "Frigus Aquemerium!"

Air bah dingin yang muncul dari pentagram sihir itu berhasil membasahi bola api, membuat airnya menjadi uap yang begitu tebal, serta memadamkan apinya. Namun, puluhan anak panah nan tajam kembali menyerang ke arah mereka.

Bukan masalah besar! Kennedy muncul, menarik pedangnya kemudian menangkis setiap anak panah yang terlintas di depan matanya—menebas, menghancurkan, membelah setiap anak panah hingga tak tersisa sedikit pun. Benar berkah ahli pedang pada keturunan Marquess itu.

"Mylo sekarang!" teriak Anila. Lalu Mylo yang sudah memasang kuda-kuda dengan genggaman sangat kuat pada lembing yang dilapisi neith, ia melempar lembing tersebut yang melesat kencang, membelah jarak hingga berhasil membuat tanah menjadi cekung ketika lembing itu jatuh ke tanah. Mylo ambruk ke tanah dengan peluh memenuhi tubuhnya, suaranya terdengar ngos-ngosan.

"Aalisha, kau baik-baik saja," ucap Frisca lekas mendekati Aalisha yang kini berada di dekat Anila.

"Kau tak apa? Terluka parah?" tanya Anila.

"Serangan siaoa itu? Apa itu jebakan, manusia mana yang berbuat begini," timpal Gilbert mengepalkan kedua tangannya sangat kuat.

Kennedy berucap, "tak ada, serangan Mylo tak mengenai siapa pun. Pelakunya kabur atau berada di jarak jauh."

Mylo menggeram kesal. Dagunya mengeras, matanya memancarkan amarah. "Ini keterlaluan! Pasti pelakunya ada di sekitar sini! Kita harus cari!!"

Anila masih diam, hendak mendekap tubuh Aalisha, tetapi ia urungkan karena merasakan ada aura neith yang mendekati mereka meski terasa samar, lalu suara yang mereka begitu kenal terdengar, membuat amarah mereka semua tersulut. "Wah, ada apa ini? Kalian saling bertempur satu sama lain?" Killian tersenyum tipis, diikuti dua temannya yang membawa pedang dan panah, serta bola kristal. Lelaki Cornelius itu menatap dengan sangat angkuh.

"Mengapa kalian hancurkan hutan ini? Mau terkena hukuman master Arthur?" sambung Killian sambil menggeleng. "Sehari saja tanpa berbuat keonaran, kalian tidak bisa ya?" Sekonyong-konyong Killian bergerak mundur waspada karena Anila tiba-tiba berdiri, berlari ke arahnya sambil memunculkan invinirium, lalu dikeluarkan pedang magisnya.

Tanpa aba-aba dan rasa gentar, Anila menarik pedangnya dari sarung lalu dihunuskan pedang tersebut ke dada Killian. "Kau akan mati di tanganku, Cornelius sialan!!!"

Killian menatap balik Anila yang dipenuhi amarah itu. "Kau gila Andromeda!"

"Berani menyerang Aalisha dengan trik murahan dan menjebaknya. Kau berniat membunuhnya, hah?!! Siapa yang gila di sini!"

Killian sesaat melirik Aalisha, lalu tertawa lebar. Kini dia merasa senang melihat bagaimana gadis kasta bawah itu menderita, harusnya sejak awal Aalisha berada di posisi bawah itu dengan artian di posisi terendahnya. Bukankah rakyat jelata memang harus di bawah para bangsawan? "Bukankah bagus untuknya. Lagian kalian tahu kalau kesialan sangat menyayangi gadis itu, mengapa masih kalian ikuti ke mana-mana? Jadi tak heran jika dia harus babak belur setiap harinya."

"Diam kau Killian!" Anila semakin mendekatkan pedangnya hingga benar-benar ujungnya menusuk sedikit kulit dada Killian. Hal ini membuat kedua teman Killian menarik pedang mereka lalu dihunuskan pada Anila. Sementara itu, Mylo maju lekas dengan tangan terarah pada satu teman Killian sedangkan Kennedy dengan pedangnya dihunuskan ke leher teman Killian yang satunya lagi. Kini posisi mereka semua saling tersudut, hanya masalah kecepatan yang akan menentukan, siapa yang akan terus hidup atau mati.

"Kau berpikir hanya karena kau bangsawan, maka kau bisa bermain-main dengan nyawa? Aku juga bisa!" Suara Anila semakin dingin dan rendah, dia sudah benar diselimuti amarah.

Killian berujar kembali. "Andromeda, bukankah sudah berkali-kali kukatakan. Jika gadis rendahan itu, tak berguna, entah hidup maupun matinya! Mengapa kau masih mau berteman dengannya!"

"Kauuuu—"

"Anila lepaskan dia," ucap Aalisha yang menghentikan Anila menusuk Killian.

"Aalisha apa-apaan ...." Mylo tak jadi berucap ketika Aalisha bangkit dari posisinya kemudian melangkah agak limbung dengan satu tangan membawa bola kristal. "Turunkan senjata kalian."

"Tapi---" Kennedy terdiam karena tatapan menusuk dari Aalisha. "Baiklah." Ia turunkan pedangnya.

"Kukatakan sekali lagi, turunkan senjata kalian," ucap Aalisha yang kini berada di belakang Anila yang masih menghunuskan pedangnya ke arah Killian, dia sama sekali tak mau menurunkan pedangnya dan melepaskan Killian sebelum membuat Killian jera karena sudah bermain-main dengan nyawa Aalisha. Sementara Itu, Mylo berhenti menodongkan jarinya serta teman-teman Killian menurunkan senjata mereka.

"Tidak akan," ucap Anila masih berisi keras.

"Anila Andromeda, aku memohon padamu untuk menurunkan pedangmu." Atas perkataan Aalisha inilah, membuat Anila jadi membulatkan mata, ia terkejut, tidak habis pikir mengapa Aalisha melepaskan Killian yang hampir membunuhnya. Sebenarnya apa yang ada di otak gadis kecil itu?

"Kenapa?" tanya Anila, "kenapa kau memaafkannya?!!" Perlahan Anila menurunkan pedangnya. "Jawab aku Aalisha."

Sayangnya tak digubris Aalisha karena gadis kecil itu beralih pada Killian yang sedang menatapnya begitu songong, masih bisa Cornelius itu mendongak dan menyombongkan dirinya. "Kau melakukan ini karena takut jika aku melapor pada ayahku, 'kan? Bagus, bagus sekali! Akhirnya kau sadar di mana posisimu yang sebenarnya, dasar rakyat jelata, menjijikkan, kotoran, dan sampah kekaisaran."

Suara tawa terdengar dari kedua teman Killian yang berangsur-angsur ke samping Killian. Merasa jika Aalisha tak menyahut, Killian berujar lagi. "Sekarang kau mau apa? Memohon belas kasihku, betapa menyedihkannya hidupmu ini."

"KILLIAN!" teriak Anila terdiam kembali karena satu tangan Aalisha terangkat.

"Aku tak takut padamu," ujar Aalisha sambil mengangkat bola kristal milikinya yang kini sudah retak. "Aku semakin tahu kebenarannya jika kau hanyalah lelaki pengecut. Anak manja, selalu menindas yang lebih lemah, selalu bersembunyi dibalik nama keluarga Marquess-mu itu."

Aalisha merapalkan mantra singkat. "Succensa Exarserunt." Maka bola kristal itu berpendar kemerahan, hancur berkeping-keping hingga menjadi serbuk yang kemudian tertiup angin. Aalisha menepuk-nepuk telapak tangannya untuk membersihkan sisa serbuk yang dirasa masih menempel di tangannya.

"Kau sangat pengecut Killian, mau tahu alasan lainnya lagi? Akan kuperlihatkan!" Dengan gerakan sangat cepat, Aalisha berhasil menyerang ulu hati Killian, hingga lelaki itu memekik sakit, terbatuk, disaat itu Aalisha menarik kerah seragam Killian. Dipelintir kuat, lalu mengalirkan neith ke kedua tangannya sendiri kemudian dalam sekejap Aalisha berhasil membanting Killian ke tanah, suara berdebum terdengar keras. Mata Killian membulat, ia terbatuk, rasa sakit menjalar karena tubuhnya menghantam tanah dengan keras.

"Sialan kau," ujar teman Killian hendak membantu, tetapi di tahan oleh Kennedy begitu juga satu temannya lagi yang tak bisa menolong karena ditahan Mylo.

Killian yang terkapar di tanah, menatap Aalisha yang perlahan berjongkok kemudian menunduk hingga gadis itu berbicara tepat di samping telinga Killian yang detik itu perkataan Aalisha sukses membuat tubuh Killian Cornelius meremang ketakutan. "Killian, aku tahu kalau sebenarnya ...."

Maka terdiamlah lelaki keturunan Cornelius itu dengan mata membulat lebar. Bibir terkatup, gigi gemeretak, lidah kelu, dan tak mampu membalas sedikit pun hingga perlahan Aalisha bangun dari posisinya, menatap Killian dengan kasihan. "Posisi inilah yang cocok ketika kau menatapku, Tuan Cornelius." Kemudian tersenyum tipis.

"Ayo pergi," sambung Aalisha melangkah melewati Killian yang masih terbaring di tanah. "Yang terpenting, aku lulus praktik ini, jadi tak perlu melapor pada master Arthur atas apa yang Killian lakukan."

"Apa? Mana bisa begitu!" teriak Gilbert.

"Ya, mengapa kau memaafkannya?! Dia harus dihukum!" timpal Frisca.

"Aalisha," ucap Mylo, "kenapa kau memaafkannya? Anila katakan sesuatu! Bukankah kau marah tadinya!"

Anila diam saja sejak tadi. Dia hanya melangkah mengikuti Aalisha karena praktik sudah selesai dan mereka harus segera kembali.

"Setidaknya kita harus melaporkan pada master Arthur, biar dia jera." Kennedy ikutan berujar.

"Hei Aalisha! Kau ini kenapa sih?! Kenapa kau memaafkannya!" teriak Gilbert.

"Aalisha dengarkan kami! Kami begini karena khawatir padamu!" ujar Frisca merasa dadanya ngilu karena ikutan sakit melihat temannya itu. "Aalisha kumohon."

"Perlu kuulangi lagi perkataanku? Aku tidak mau masalah ini sampai ke telinga master Arthur!" Aalisha menekan setiap frasa dalam kalimatnya. Sukses hal itu membuat amarah Mylo meledak.

"Kau mau bertingkah seperti tuan putri, hah?!" teriak Mylo, "atau kau memang seorang tuan putri? Tingkahmu menyebalkan sekali! Tidakkah kau ingat, kau marah besar, hampir membunuh orang lain ketika Frisca dirundung kakak tingkat, tapi ketika nyawamu terancam, kau diam seolah-olah tak terjadi apa-apa! Aku yakin jika kau takkan mengatakan apa pun pada kami jika kami tak datang menolongmu tadi!"

Mylo mengepalkan kedua tangannya. Sudah cukup semua ini, dia lelah dengan sikap sok kuat dari Aalisha. "Semua sikapmu itu, songong seperti tuan putri! Apa selama ini kau menutupi identitasmu? Mengapa kau selalu menolak dibantu oleh kami, karena kau merasa jika kami tak pantas berada di dekatmu! Apa-apaan sikapmu itu, mengapa kau memaafkan Killian?!"

Aalisha masih terus melangkah, tak mempedulikan perkataan Mylo hingga cowok itu berteriak, "coba jawab perkataanku! Dasar tuan putri songong!"

Langkah mereka semua terhenti ketika Aalisha berhenti, berbalik menatap pada mereka dengan senyuman mengerikan terpancar dari wajah gadis itu. "Pertama, aku tak mau masalah ini semakin besar, apa kalian pikir master Arthur akan langsung percaya jika Killian berusaha membunuhku karena kita tak punya bukti apa pun jadi lupakanlah hal ini!

"Kedua, selagi aku tak masalah, mengapa kalian memperbesar masalah ini? Aku baik-baik saja, aku tak masalah melepaskan Killian jadi berhentilah mengkhawatirkanku secara berlebihan karena sungguh demi para Dewa, aku tak suka dikasihani oleh manusia!

"Ketiga, aku tak peduli identitas macam apa yang kalian buat di otak kalian mengenai diriku, baiklah jika kalian pikir aku adalah tuan putri, aku terima imajinasi itu. Namun, ketahuilah secacat apa pun diriku, kumohon jangan pernah mengasihaniku! Paham?!"

"Baiklah kalau kau tak mau masalah ini terdengar hingga master Arthur, aku terima, kami terima! Namun, kau punya alasan 'kan, mengapa memaafkan Killian? Setidaknya biarkan aku menggores wajahnya karena aku sendirilah yang akan menerima konsekuensinya," ucap Anila.

"Alasan?" Aalisha terkekeh. "Anila, kau putri dari bangsawan Count bukan? Harusnya kau tahu jawabannya bahwa seorang bangsawan lebih memilih tak turun tangan pada masalah remeh-temeh. Aku memandang Killian begitu. Untuk apa aku berurusan lebih dengan makhluk menjijikkan seperti Killian." Aalisha tersenyum lebar. "Makhluk seperti Killian lebih baik dibiarkan membusuk dengan sendirinya."

"Tapi kau bukan bangsawan," sahut Gilbert meski jantungnya berdegup tak karuan.

Aalisha menatap Gilbert. "Kurasa, imajinasi Mylo tadi, bisa kalian pikir-pikir ulang."

Maka gadis itu berbalik, melenggang pergi dengan langkah yang sangat mantap tanpa goyah sedikit pun. Seolah gadis itu tidak pernah melewati bencana yang hampir mengantarkan dirinya pada kematian. Kini, tanpa ada yang tahu, Aalisha menghela napas lalu bergumam, "tak masalah, masih kuampuni."

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

Mari berdiskusi bagaimana cara Aalisha mati nantinya ....

Bagaimana dengan chapter ini? Apa yang Aalisha bisikan ke Killian sehingga lelaki itu terdiam membisu?

Mulai dari chapter ini kalian akan melihat Aalisha membuka topengnya secara perlahan~

Prins Llumière

Rabu, 01 Februari 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top