Chapter 50

Pukul tiga malam terkadang disebut sebagai sepertiga malam. Di sebuah ruangan antah-berantah, terlihat cahaya lentera yang remang-remang menyinari lorong sepi tak berpenghuni. Suara langkah kaki terdengar beriringan aroma yang tak menyengat; campuran buah zaitun dengan aroma kayu-kayuan.

Dari belakang terlihat punggung yang agak lebar, tinggi mencapai sekitar 180 sentimeter. Sosok pria berbalut pakaian mewah dan jubah panjang berwarna gelap, seperti biru tua atau malah hitam, lalu bulu-bulu putih di sekitar leher. Rambut pria itu berwarna putih salju, wajahnya tidak dapat diketahui karena tertutupi topeng hitam.

Dia terus melangkah menyusuri lorong-lorong hingga langkahnya terhenti di depan pintu besar. Diketuknya pintu tersebut, tetapi tak ada sahutan, pria itu menunggu sesaat hampir sekitar satu menit masih tidak ada sahutan dari seseorang yang ada di balik pintu besar ini, tak ada pilihan jadi pria itu tetap masuk.

Di ruangan ini, disinari cahaya lilin yang ditempatkan di beberapa titik atau sudut ruangan. Lalu di tengah ruangan ada meja batu yang di atasnya terdapat patung Dewa yang mengenakan mahkota dengan sepuluh wajah, serta enam tangan.

Selain itu, ada seseorang di tengah ruangan juga yang sedang duduk bersimpuh, masih dalam posisi berdoa karena kedua tangannya sedang disatukan. Seseorang itu begitu khusyuk dalam berdoa membuat pria yang baru datang tak berani mengganggu, hanya akan menunggu saja sampai seseorang itu selesai berdoa.

"Akhirnya kaudatang juga," ujar seseorang itu baru menyelesaikan doanya. Perlahan dia berangsur menuju tiang kecil di samping patung Dewa kemudian mengikatkan benang merah di sana, benang yang terdapat lonceng kecilnya.

Perlahan sosok pria bertopeng hitam, menaruh tangannya di dada kiri lalu membungkuk untuk memberikan penghormatan. "Ya Masterku, Hamba membawa berita setelah menjalankan misi yang Master perintahkan padaku," ujar pria tersebut yang ternyata Orly karena melihat gelagatnya yang memberikan salam serta memanggil seseorang di depannya sebagai Master.

Master yang dimaksudkan tersenyum tipis, masih dalam posisi duduk, dia berbalik menatap Orly-nya dengan penuh kebanggaan. "Katakan, apa yang aku dapatkan?"

Sang Orly mulai menjelaskan, "seperti perintah Anda. Hamba berhasil mengetahui kenyataan jika semua keluarga itu ternyata palsu. Tidak ada satu pun masyakarat yang sadar karena aktivitas mereka tetap berjalan; koran datang setiap harinya, pakaian tetap dipesan seperti hendak mengunjungi pesta bangsawan, surat-surat dibalas sebagaimana mestinya, serta tetap terjalin kerjasama dengan relasi mereka. Semua normal di mata masyarakat, sampai tak satu pun mencurigai mereka."

"Lalu dalangnya? Apakah benar seperti yang kutebak?"

Orly itu mengangguk pelan, langsung saja suara tawa menggelegar di ruangan tersebut yang berasal dari sang master karena dia berhasil menebak dan semua asumsinya benar, tanpa cacat sedikit pun. "Sudah kuduga, sudah kuduga jika semuanya hanyalah boneka yang dimainkan dengan sangat rapi! Dia begitu cerdas, sayangnya tidak bisa membohongi mataku ini."

"Apakah Anda ingin, Hamba menyelesaikan masalah ini sesegera mungkin?" tawar sang Orly.

"Tidak!" sahut masternya cepat. "Jangan lakukan apa pun, aku hanya ingin melihat bagaimana ke depannya, melihat permainan apa yang hendak mereka bawakan. Kira-kira menghibur atau malah membosankan."

Sang Orly perlahan tersenyum tipis sambil menatap manik mata masternya yang begitu indah—manik mata berwarna emas bercahaya. Kini Orly itu kembali meletakkan tangan kanannya di dada kiri, lalu membungkuk sebagai penghormatan lagi.

"Kalau begitu, Hamba mohon undur diri. Semoga Anda menikmati hari-hari yang Anda jalani, Yang Mulia."

****

Setiap murid sedang berdiskusi mencatat berbagai macam penjelasan mengenai mantra yang dituliskan Arthur di papan tulis, meski bisa menggunakan sihir, tetapi pria itu lebih memilih menuliskan langsung di papan tulis. Perlahan-lahan kapur putih terkikis setiap digesek ke papan tulis.

Setelah mempelajari beberapa mantra penyembuhan dasar, mereka lanjut dengan teori mengenai para penyihir yang menggunakan sihir tanpa merapalkan mantra. Seperti materi di pertemuan sebelum-sebelumnya, telah dijelaskan jika seorang penyihir ada dua tingkatan, tingkatan pertama yaitu penyihir yang harus merapalkan mantra. Tingkatan kedua adalah penyihir yang tidak perlu merapalkan mantra. Untuk bisa masuk ke tingkatan kedua, maka perlu kerja keras, tetapi ada juga yang lahir sudah diberkati sehingga menjadi bakat atau bawaan lahir.

Biasanya perlu bertahun-tahun belajar sihir agar bisa mencapai tingkatan menggunakan sihir tanpa merapalkan mantra dan setiap sihirnya selalu berhasil. Tingkat ini dianggap sebagai penyihir atau kesatria Agung dan Suci.

Lalu bagaimana dengan para Majestic Families? Pertanyaan itu muncul dari salah satu murid Sylvester. Benar-benar asrama gudangnya murid cerdas nan genius.

Master Arthur menjawab jika Majestic Families tentu berbeda dengan manusia dan makhluk hidup biasa. Jika di usia muda mustahil untuk menggunakan sihir tanpa rapalan mantra, tetapi Majestic Families tertentu sudah ada yang bisa. Ingat, tertentu, master Arthur menekan kata tersebut karena tidak semua Majestic Families memiliki bakat sehebat itu sehingga di usia muda sudah mampu melakukannya. Hanya saja, di setiap generasi Majestic Families pasti ada satu atau dua atau malah lebih yang bisa melakukannya. Selain itu, jika pun bisa menggunakan sihir tanpa rapalan mantra, tetap ada batasan sihir yang digunakan. Artinya tidak semua sihir berhasil digunakan tanpa rapalan mantra.

"Apakah Anda bisa menggunakan sihir tanpa rapalan mantra?" ujar salah seorang dari mereka.

Master Arthur masih berfokus pada bukunya tanpa sedikit pun mendongakkan kepalanya, dia menjawab, "haruskah kujawab, ini akan menjadi ajang kesombongan jika kulakukan."

Satu kelas langsung diam membisu karena jawaban Arthur yang selalu menusuk ke hati, jadinya kembali lah mereka mencatat poin penting yang ada di papan tulis.

Meskipun kelas ini terlihat begitu fokus, ada beberapa murid yang sedang mengobrol, sepertinya masih membahas senjata magis karena tadi sempat ada beberapa kakak tingkat yang bersaing akan kehebatan senjata magis yang mereka miliki. Para murid juga membahas senjata magis yang masuk ke dalam buku-buku sejarah Athinelon. Ada juga yang berandai-andai menjadi pemilik dari senjata magis yang termasuk ke dalam senjata yang diberkati oleh para Dewa. Serta bercerita akan mengerikannya senjata magis digunakan para bangsa Iblis atau makhluk hidup di luar ras manusia.

Arthur sejak awal sudah sadar jika murid-muridnya sedang membahas hal lain di luar mata pelajaran, tetapi dia tak masalah selagi mereka tidak mengacau dan mencatat materi hingga selesai.

"Master Arthur, bolehkah aku bertanya, tetapi ini di luar mata pelajaran," ujar murid dengan rambut pirang asal asrama Faelyn.

Arthur mengedipkan matanya sesaat, lalu kembali menelusuri kalimat yang ada di bukunya, kemudian berujar tanpa mengalihkan pandangan. "Kenapa kalian selalu bertanya hal lain di jam pelajaranku? Apa mantra cukup membosankan bagi kalian?"

Beberapa murid malah cengengesan karena bingung hendak menjawab apa. Murid rambut pirang dari Faelyn juga cengengesan sambil menggaruk belakang lehernya lalu berujar, "Anda sangat bagus jika bercerita atau menjelaskan sesuatu. Kalau bertanya pada profesor lain, seram."

"Begitu? Kupikir aku sangat menyeramkan karenanya sering dibandingkan dengan profesor Rosemary, menurut kalian lebih seram aku atau beliau?" Arthur masih tak mengalihkan pandangannya dari buku.

"Kami tidak tahu ... karena belum diajar profesor Rosemary," ungkap salah seorang murid.

"Ahh begitu, kurasa besok-besok, aku akan minta profesor Rosemary menggantikanku mengajar selama satu pertemuan—"

"TIDAK!" teriak beberapa murid yang terdengar seperti jeritan hati satu kelas.

"Jahat sekali kalian, jika beliau mendengar jawaban itu, niscaya kalian akan segera dipenggal," balas Arthur langsung menutup bukunya lalu berdiri dari kursi. "Baiklah, tanyakan apa yang hendak ditanyakan tadi, aku persilakan."

Hening menyeruak karena para murid menatap pada murid tadi yang hendak bertanya. "Master, apa senjata magis yang masih memiliki pemilik dapat dipinjamkan pada orang lain dan diaktifkan?"

"Bisa," sahut Arthur. "Namun, tetap tidak mudah, dengan artian masih ada beberapa syarat yang harus dipenuhi."

Aalisha memperbaiki posisinya karena jubahnya terinjak, lalu ia menopang dagu dengan tangan kanan sambil menatap Arthur. Mylo mendengarkan begitu antusias sedangkan Anila membuka halaman baru di buku catatannya.

"Kalian sudah tahu jika setiap senjata magis takkan tunduk pada yang bukan pemiliknya, tetapi senjata magis dapat dipinjamkan serta digunakan orang lain dengan syarat pemilik asli mengizinkan senjata itu digunakan. Hanya saja ada hal yang perlu diketahui, pertama setelah dipinjamkan, seseorang bisa mengaktifkan senjata itu, tetapi neith seseorang itu akan lebih cepat terkuras. Kedua, dikarenakan neith cepat terkuras maka menggunakan senjata magis itu punya waktu, paling lama bisa sekitar tiga jam setelah berpindah tangan.

"Ketiga, paling penting ... meskipun pemilik asli memberi izin, tetapi senjata magis tidak setuju atau menolak, maka takkan bisa digunakan orang lain. Senjata yang menolak meski pemilik sudah memberi izin karena senjata ini sangat pemilih, artinya ada tujuan dan alasan dari senjata magis menerima atau menolak dirinya dipinjamkan."

"Apa alasannya Master?" ucap Killian.

"Mana tahu, tergantung dari senjata magisnya. Namun, kebanyakan dengan alasan, 'pada siapakah senjata itu hendak dipinjamkan' seorang tanpa kasta, seorang bangsawan, tuan putri atau pangeran mahkota, swordmaster, penyihir tingkat tinggi, orang suci seperti santo dan saintess, atau keturunan Majestic Families."

Arthur menyeringai. "Lalu ada yang perlu kalian tahu juga, senjata magis dapat dicuri. Senjata magis takkan berganti pemilik kecuali pemiliknya saat ini mati, tetapi ada kasus khusus ketika senjata magis berpindah kepemilikan padahal pemiliknya masih hidup. Hal ini dikarenakan menurut senjata ini, pemilik kedua jauh lebih baik dibandingkan yang pertama. Atas inilah, istilah yang digunakan biasanya dengan kata mencuri atau pencuri padahal senjata magis itu sendiri yang meneruskan pemiliknya. Bagaimana? Adakah pertanyaan lain, mungkin kalian ingin aku mendongeng tentang senjata magis. Yah kucuri dengar dari kakak tingkat kalian membicarakan senjata magis yang masuk dalam buku-buku sejarah."

Murid dari asrama Drystan langsung mengangkat tangan. "Ya Master, maukah Anda bercerita tentang senjata magis?"

"Sandhikaparvana dalam aksara kuno diartikan sebagai Busur Emas Malam. Senjata magis yang menjadi salah satu dari senjata diagungkan serta masuk dalam sejarah Athinelon. Senjata ini berupa Busur Emas yang terbuat dari tulang Monster Wyvern Kuno, dilapisi emas dan permata. Tidak perlu anak panah karena busur ini menciptakan anak panah magis yang akan bercahaya entah pada siang hari terutama malam.

"Tahu alasannya mengapa dinamakan Sandhikaparvana? Karena pernah ketika busur ini digunakan pada malam yang terjadi peperangan. Ketika diaktifkan, anak panahnya bercahaya biru, keunguan, hampir hitam. Maka anak panah itu dilesatkan ke langit, seolah membentuk kepala naga dengan mulut menganga lalu melahap bulan. Pada malam itu, dunia gelap gulita. Selama 30 detik, bulan dilahap, setelah bulan kembali. Seluruh pasukan musuh mati tak bersisa."

Satu kelas hening, Killian yang awalnya menaruh satu kaki di atas meja, kini dia turunkan dengan posisi tegang mendengarkan kisah yang dituturkan master Arthur. Beberapa murid sudah tahu pasal kisah ini yang bukan mitos atau dongeng anak-anak, tetapi kenyataan. Murid lainnya merasa tubuh mereka meremang karena membayangkan apa yang terjadi di hari itu ketika bulan dilahap dan selama 30 detik dunia gelap gulita.

Benar-benar senjata sakti dengan kedigdayaan yang mampu meratakan kehidupan begitu mudahnya. Pantas saja, senjata magis yang sangat kuat mati-matian dilindungi pihak kerajaan dan kekaisaran agar tidak jatuh ke tangan yang salah, jika pun berada di tangan kejahatan, maka sudah disiapkan seribu cara untuk menangkal terjadinya kehancuran akibat senjata magis.

"Busur emas itu kuketahui sudah ada pemiliknya yang kemungkinan berasal dari Majestic Families meski aku tak tahu keluarga mana tepatnya ...." Arthur menyampirkan kedua tangan di belakang punggung, satu tangan menggenggam pergelangan tangan yang lain. "Namun, patutlah kalian curiga jika bisa saja di sekitar kalian ada pemilik senjata itu."

Arthur mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kelas, memperhatikan setiap detail ekspresi dari murid-muridnya yang kebanyakan penuh rasa penasaran, bercampur takut, heran, hingga waspada. Pasti mereka sedang memikirkan berkali-kali lipat mengenai perkataan Arthur tadi, padahal nyatanya Arthur hanya bercanda saja. Mana tahu dia jika ada murid yang membawa senjata magis tingkat tinggi.

"Adakah pertanyaan kedua, sebentar lagi kelas akan selesai," ucap Arthur sambil menatap cyubes-nya. Sekitar kurang lebih setengah jam lagi, kelas harus bubar dan ada kakak tingkat yang akan menempati kelas ini.

"Master, aku mendengar ini dari kakak tingkat, salah satu senjata magis terkuat yang terbuat dari pohon Dewa serta mampu membelah surga. Aduh, tapi aku lupa namanya, tadi apa ya, Or-orleth?" Murid laki-laki dengan rambut mencapai telinga itu menggaruk hidungnya gatal karena tidak ingat sama sekali nama senjata magisnya.

Tiba-tiba Ixchel mengangkat tangannya. "Aku tahu, senjata magis itu berupa long sword, pedang Orfhlaith Leucothea."

"Ah, pedang itu selalu menjadi perbincangan bahkan sejak zaman leluhur kalian." Arthur berujar setelah menenggak minumannya.

"Orfhlaith Leucothea adalah pedang yang banyak tertuliskan dalam sejarah, pedang diagung-agungkan karena kesaktian dan kedigdayaan serta banyaknya nyawa direnggut pedang itu. Dan pedang yang katanya diberkahi oleh para Dewa langsung.

"Material utama dari pedang ini sangatlah langka bahkan dikatakan hanya ada satu-satunya di dunia. Material pertama adalah Baja Wootz, material kedua berasal dari Pohon Cyrah Amathaunta. Pohon yang hanya ada dua dan berada di dua alam, pohon pertama berada di alam Athinelon, pohon kedua berada di alam Para Dewa."

Cyrah Amathaunta Tree, dinamakan juga Pohon Dewa adalah sebuah pohon yang sangat besar, hampir lima kali lipat dari pohon beringin atau gigas cedar. Kulit pohonnya cokelat muda terkadang berubah menjadi emas. Daun yang selalu hijau tanpa ada lubang atau pun bercak putih, terbebas dari hama, jika pun ada serangga atau ulat atau segala macam binatang, tak satu pun berani mengusik pohon tersebut.

Di beberapa waktu tertentu, pohon itu akan memiliki daun dan bunga berwarna emas. Jika dijual, niscaya akan langsung kaya. Air hujan yang menetes dari dedaunan pohon itu jika diminum setetes saja, niscaya akan menyembuhkan segala macam penyakit dalam tubuh bahkan penyakit yang belum ada obatnya dan tak ada sihir yang bisa menyembuhkan. Bunga yang ditumbuk kemudian dioleskan ke luka fisik, tak perlu menunggu banyak waktu, hanya satu menit saja, semua luka akan disembuhkan.

Sungguh pohon sangat diberkahi para Dewa bahkan banyak makhluk hidup terutama yang beradab melakukan persembahan pada pohon itu. Hanya saja, semakin banyak yang tahu kesaktian pohon itu, sekali banyak pula makhluk hidup yang serakah. Dari berbagai wilayah, benua, bahkan ujung dunia sekali pun. Berbondong-bondong untuk memanfaatkan pohon itu bahkan bangsa iblis tak segan membunuh siapa pun hanya demi menjadikan pohon itu satu-satunya milik bangsa mereka. Akibatnya, terjadi pertempuran demi pohon yang awalnya dianggap berkah kini dianggap kutukan karena setiap makhluk hidup saling menyakiti.

Hingga pada suatu malam, seorang manusia yang habis berdoa di kuil Dewa mendapatkan perintah para Dewa karena dia seorang Awatara, perintah berisi untuk menebang pohon tersebut sebelum kutukan semakin merajalela. Maka sang Awatara menuju pohon tersebut, tak tahu bagaimana caranya, tetapi dia berhasil menebang pohon hanya dalam waktu semalam. Berhasil menjalankan perintah, Para Dewa menawarkan pilihan berupa pohon tersebut dapat diambil sang Awatara dan digunakan semaunya atau pohon itu diambil para Dewa kembali ke dunia mereka. Namun, ada peringatan jika pohon itu diambil Awatara, peringatan berisi jika pohon itu akan membawa kutukan serta kedamaian.

"Mana yang akan kau pilih wahai Awatara di dunia?"

"Hamba memilih untuk menggunakan pohon itu, wahai Dewaku."

"Yakinkah engkau? Bagaimana jika pohon itu akan lebih banyak membawa kutukan?"

"Maka Kalian akan kembali menciptakan Awatara lain dan menghentikan kutukan atau biarkan saja kutukan itu menghancurkan dunia ini."

"Kami tahu apa yang akan kau buat, tapi Kami ingin mendengarnya langsung dari mulutmu. Nah, inkarnasi Kami, apakah yang akan kau ciptakan dari pohon itu?"

Maka sang Awatara tersenyum. "Akan kuciptakan pedang yang mampu membelah surga maupun neraka."

Satu kelas hening kembali lalu Arthur melanjutkan penjelasannya. "Selanjutnya material ketiga dari pedang ini adalah sisik Ancient Wyvern Qavyrrien Irveirth. Lalu sarung pedangnya yang terbuat dari kulit pohon Daidronth. Semua material itu dileburkan bersama dengan neith yang dipadatkan kemudian terciptalah Orfhlaith Leucothea."

Berdasarkan sejarah, setelah kematian pemilik pertama dari pedang ini. Lama sekali pedang ini menemukan pemiliknya lagi, bahkan keturunan dari pemilik sebelumnya ditolak oleh Orfhlaith Leucothea. Dikarenakan tak kunjung menemukan pemilik, maka diadakan sayembara dari berbagai ras makhluk hidup terkecuali bangsa iblis untuk mencoba pedang ini demi menemukan pemiliknya. Sayangnya, sayembara yang dilaksanakan selama satu bulan dengan satu hari hampir mencapai 1.000 peserta, tidak kunjung pedang itu memilih pemilik barunya. Ketika pedang itu sudah menemukan pemiliknya, tetapi sang pemilik tak berumur panjang.

"Dicatat dalam sejarah, ketika pedang itu diaktifkan maka cahaya keemasan layaknya pohon Dewa akan bersinar menyelimuti. Kemudian ketika pedang itu diayunkan untuk menyerang akan terdengar bunyi yang indah seperti nyanyian dari seorang diva atau musik orkestra. Bahkan ketika pedang itu ditangan kejahatan akan tetap bernyanyi dengan indah. Banyak yang mengibaratkan nyanyian ini mampu membangunkan tidur para Dewa Dewi."

"Master Arthur, apakah pedang itu sudah memiliki pemilik?"

Arthur yang baru duduk di kursi perlahan menyilang kedua kaki, siku bertumpu ada meja, lalu dia menatap pada murid-muridnya. "Sudah, pedang itu memiliki pemilik. Aku tak tahu nama dan berasal dari keluarga apa, tetapi dia berdarah Majestic Families dan seorang pria."

"Master, menurut Anda, bukankah pedang itu sangat mengerikan? Kuketahui, sejak pedang itu tercipta hingga kini, sudah puluhan juta nyawa yang direnggut pedang itu." Frisca berujar.

"Mengerikan adalah tergantung dari perspektif kita memandang pedang itu serta siapa pemiliknya." Arthur kembali menyeringai. "Dibandingkan berpikir mengerikan, aku lebih penasaran bagaimana cara kerja pedang itu membelah surga dan neraka."

"Ah, iya, baik Master terima atas jawabannya ...." Frisca jadi bingung haruskah ia memuji Arthur karena ketampanan pria itu atau takut karena dia juga menyeramkan meski tampan.

"Lalu bagi yang belum tahu, pedang itu memiliki satu ciri yang tidak dimiliki pedang lain, ciri ini sekaligus untuk mengidentifikasi pedang tersebut. Ciri pedang itu adalah—"

"Master Arthur," ucap profesor Madeleine sudah diambang pintu.

"Ah, baiklah." Arthur melangkah menemui profesor Madeleine. "Akan kulanjut, tunggulah sebentar."

Sepeninggal master Arthur, para murid langsung riuh dan bercakap-cakap dengan teman sebangku mereka. Obrolan mereka tidak jauh seputar senjata magis hingga para pemilik yang legendaris. Mereka juga bercerita akan senjata magis tipe khusus, seperti buku atau peti mati yang menjadi senjata magis, tidak luput Majestic Families juga masuk dalam obrolan mereka karena keluarga Agung itu dikenal memiliki beragam senjata magis yang legendaris.

"Apa kau tahu, Athreus Kieran Zalana, punya delapan senjata magis yang selalu dibawanya ke mana-mana," ungkap seorang murid dengan mata berbinar.

"Eloise Clemence juga punya sekitar empat senjata magis," sahut murid lelaki dari asrama Faelyn.

"Tapi mereka tidak punya senjata magis yang masuk ke jenis senjata diagungkan atau ditempa oleh para Dewa," timpal murid asrama Gwenaelle.

"Cih, diamlah kau, tetap saja senjata magis milik mereka sangat kuat apalagi jika digunakan bersama kemampuan mistis," balas murid Faelyn lagi.

Anila menopang dagu dengan mengembuskan napas panjang, ekspresi yang terlihat seperti penuh rasa lelah. Mylo berujar kemudian. "Kenapa kau?"

"Mereka terlalu bangga jika mendapat senjata magis yang kuat, padahal semakin kuat senjata magis, maka semakin kuat dan berat pula beban yang harus kita bawa," ungkap gadis Andromeda itu. "Ayahku berkata, suatu senjata magis tidak memilih master secara cuma-cuma, tetapi melihat potensi master itu, selain itu sesuatu yang kuat pasti akan ada akibatnya pada kita."

Mylo memutar bola matanya. Penjelasan panjang itu mudah sekali ia pahami karena tentunya semua tahu akan hal dasar ini jika senjata magis selalu memberi beban juga pada masternya. Seolah-olah hukum timbal-balik, ibarat apa yang ditabur sang master, maka itulah yang ia tuai juga. Semakin besar kekuatannya, semakin besar pula risiko yang ditanggung.

"Aku tahu, aku tahu Andromeda, meskipun begitu, banyak manusia yang tak peduli risiko dan lebih ingin menjadi pemilik dari senjata legendaris, lagi pula siapa yang tak mau begitu? Kau pun akan bangga 'kan?" Mylo menatap Anila yang tak menunjukkan ekspresi tidak setuju.

"Tergantung," sahut Anila.

"Dasar," balas Mylo, "bagaimana denganmu?" Dia beralih pada Aalisha yang sejak tadi diam sambil menatap tak tentu arah, sesekali gadis kecil itu menguap karena kantuk.

"Aku mau jika senjata itu membantuku membunuh manusia-manusia menyebalkan," jelas Aalisha begitu gamblang, Mylo tak lagi heran dengan perkataan Aalisha yang terkadang nyeleneh. Meskipun begitu, Mylo sudah membuang waktu bertanya pada gadis itu.

"Ya semoga kautemukan senjata pembunuh massalmu itu," sahut Mylo mengakhiri obrolan karena Arthur memasuki kelas.

"Maaf membuat kalian menunggu karena ada beberapa kepentingan yang harus kubahas dengan profesor Madeleine," ujar Arthur sudah berada di tengah kelas. "Lalu aku punya pengumuman penting untuk kalian semua, tolong perhatikan!"

Semua murid merasa degup jantungnya berpacu agak cepat. Beberapa murid sepertinya sudah mengetahui apa yang hendak dibahas master Arthur karena mendapat bocoran dari kakak tingkat mereka. Sebagian tidak tahu sama sekali, tetapi merasakan firasat buruk terlebih lagi karena teringat rumor Arthur yang gila dan sangat jahat ketika memberikan tugas praktikum turun ke lapangan langsung.

"Ada tugas praktik langsung sihir dan mantra dasar," ujar Arthur. Sudah ditebak para murid, kini berbagai macam ekspresi bisa dilihat Arthur. Dimulai ekspresi bahagia, tidak sabaran, bersemangat, gundah, hingga takut.

"Praktik ini akan dilaksanakan di Prairie Lynx Woods, tentu saja di bagian hutan yang aman."

Prairie Lynx Woods adalah hutan di dekat Akademi Eidothea, hutan ini sangatlah besar, melebihi wilayah dibangunnya akademi, saking besarnya masih banyak penghuni hutan di luar manusia yang hidup di sana, kebanyakan adalah Orly, binatang magis, hingga monster pun ada di sana. Atas inilah, sebagian daerah atau tanah dari Prairie Lynx Woods dibersihkan dan dijauhkan dari makhluk hidup lain untuk menjadi daerah yang dapat digunakan sebagai tempat penelitian para murid akademi maupun tempat berlatih.

Daerah atau tanah ini dinamakan sebagai tanah aman. Kemudian tanah aman diberikan pelindung atau barrier sebagai pembatas dengan daerah tanah yang lain. Hal ini dilakukan sebagai bentuk perlindungan penghuni akademi dari serangan tak terduga entah serangan monster, binatang magis hutan, maupun para Orly yang jail.

"Berada di daerah tanah aman itulah kalian akan melaksanakan praktik sihir dan mantra dasar." Arthur kemudian mengeluarkan bola kaca yang mengkilap. "Berada di hutan itu pula, aku akan menyebarkan bola ini, tugas kalian adalah menghancurkan bola ini menggunakan kekuatan sihir yang telah kalian pelajari. Ingat, hanya menggunakan teknik sihir yang dihitung, tidak boleh menggunakan senjata, panah, atau pun tombak.

"Kemudian penilaian dari praktik ini, bukan seberapa banyak kalian menghancurkan bola kristal, tetapi sebaik apa teknik sihir yang kalian gunakan. Jadi bola ini akan berubah warna ketika diserang, serta dapat mengukur dan mendeteksi seberapa sempurna dan baiknya teknik sihir yang kalian gunakan. Ada empat tingkatan warna: hitam jika tingkatan sihir kalian sempurna, merah artinya tingkatan sihir kalian baik, kuning artinya cukup baik, lalu hijau artinya buruk atau bisa saja gagal dan tak terkendali.

"Setiap bola yang berhasil kalian hancurkan akan langsung terdata olehku, jadi sebisa mungkin jangan memikirkan hendak menghancurkan seberapa banyak bolanya, melainkan seberapa baik kalian dalam menguasai sihir. Andai kata pun, kalian hampir menghancurkan separuh dari bola yang tersebar, tapi di data kebanyakan warna hijau, maka kalian bisa saja tetap tidak lulus."

Arthur meletakkan bola kristal tersebut di lantai, lalu mundur agak jauh, satu jarinya mengarah pada bola itu sambil dia merapalkan mantra. Detik selanjutnya bola itu retak, berubah warna menjadi hitam, hingga hancur berkeping-keping. "Itu contohnya, jadi sihir yang mengenai bola itu akan membuat bola itu retak dahulu, lalu berubah warna, sebelum hancur berkeping-keping. Dari warna yang terlihat itulah menjadi indikator kalian untuk mengetahui seberapa baik teknik kalian dalam menggunakan teknik sihir. Sampai di sini kalian sudah paham?"

"Siap paham Master!!" ujar para murid serentak.

"Bagus, praktik ini akan dilakukan dua kelas dalam sehari. Di sini total ada sepuluh kelas, maka ada lima hari pelaksanaan praktik sihir ini. Hari pertama dimulai dari lusa, jadi persiapkanlah diri kalian. Untuk pembagian kelas mana yang lebih dulu akan kubagikan daftar kelompok di cyubes kalian," ujar master Arthur sudah membersihkan sisa dari kepingan bola kristal di lantai.

"Master bagaimana dengan hari Minggu? Apakah tetap praktik atau ditunda?"

"Tetap, tak ada alasan, entah ingin tidur lebih siang, capek, banyak tugas, dan lainnya karena jika kalian sudah mengeluh akan hal seperti itu, bagaimana hendak menjadi bagian dari ekspedisi militer?" ujar Arthur yang membuat satu kelas terdiam.

"Baik Master, terima kasih atas jawabannya."

"Baiklah kelas dibubarkan, mulailah persiapan dengan berlatih mandiri atau bersama teman. Lalu aku hendak memperingatkan pada semuanya." Sesaat perasaan mereka semua di kelas itu jadi tak enak. Wajah Arthur yang awalnya memperlihatkan sosok begitu baik hati serta bintang seolah terukir di manik matanya. Namun, sekejap saja, semua itu berganti. Wajahnya sesaat menggelap, badai hitam kini mengelilingi Arthur, manik matanya seolah menunjukkan kedalaman laut yang begitu sunyi dan gelap.

"Kuharap kalian tidak berbuat kekacauan, aku tak peduli konflik apa yang ada di antara kalian, tetapi jangan berbuat kebodohan di kelas ini. Karena jika kuketahui kekacauan terjadi ketika praktik, niscaya akan kuseret kalian ke dalam api yang berkobar-kobar. Sekian dariku, sampai jumpa lusa nanti bagi dua kelas terpilih." Maka Arthur menyibak jubahnya, melenggang pergi dari kelas yang membisu karena ketakutan pada Arthur.

****

Kelas bubar, murid-murid lekas menuju ke tujuan mereka masing-masing, ada yang harus kelas lagi, hendak menemui salah satu profesor karena ada urusan, pergi ke kantin atau rumah sakit, serta ke asrama untuk mengganti pakaian dengan seragam berlatih. Pasti anak ambis yang hendak mendapat nilai sempurna di mata pelajaran sihir nanti.

"Oh aku melupakan sesuatu," ungkap Anila refleks menghentikan langkahnya sambil menepuk jidat.

"Apa?" ujar Mylo.

"Aku mau meminjam buku di perpustakaan untuk kelas ramuan, temani aku," pintanya dengan manik mata berbinar-binar pada keempat temannya.

"Aku lupa, ada urusan!" ucap Frisca langsung pergi karena enggan berlama-lama di perpustakaan apalagi jika bersama Anila yang semakin lama lagi.

"Heh, teringat aku kalau anak opera butuh bantuanku," timpal Gilbert, beranjak juga dari sana. "Sampai jumpa di makan malam nanti!"

"Gilbert!" teriak Mylo masih syok karena lelaki itu meninggalkannya begitu saja.

"Mylo jangan pergi atau kau kusihir jadi bakul nasi," ujar Anila dengan suara dibuat-buat.

"Mengapa tak dengan Aalisha?" sahut Mylo.

"Aalisha juga ikut menemaniku, ya 'kan?" Anila menatap pada Aalisha yang hendak nyelonong pergi, lekas dia menarik jubah Aalisha. "Kau mau ke mana, hah?!"

"Kasih makan kelinciku," ujar Aalisha datar.

"Kelinci itu diberi makan pihak sekolah, bukan kau! Sekarang ikut aku, ini demi kebaikan kalian juga di ujian ramuan!" Anila menarik keduanya yang pasrah karena tak mau melawan.

"Sialan," gumam Mylo dan Aalisha berbarengan.

"Kenapa kau rajin sekali sih? Ujian masih agak lama, lebih baik pikirkan praktik master Arthur," ungkap Mylo frustasi karena dia paling benci kelas ramuan. Entah berapa kali dia meledakkan ramuan, lalu terkena cairan lengket menjijikkan.

"Setidaknya, selain ahli bertarung, kau juga harus mengasah isi otakmu itu. Suatu hari kau akan paham jika dalam peperangan, strategi tak kalah penting," jelas Anila, mereka mulai melewati tangga-tangga. Agak jauh perpustakaan dari kelas mereka tadi.

"Ya, ya, ya, aku tahu, tapi—"

"Aku setuju dengan Anila," sahut Aalisha.

"Setuju apa kau? Bukankah kau lebih sering melamun ketika di kelas?" balas Mylo menatap Aalisha.

Aalisha menyahut tanpa ekspresi. "Setidaknya aku paham, tidak sepertimu yang masuk telinga kanan—eh tidak, kau bahkan tidak masuk telinga sama sekali."

"Kemarilah, biar kupenyet kau seperti ayam!" Mylo mengejar Aalisha, tetapi gadis itu kabur ke samping Anila, kini keduanya memutari gadis Andromeda itu. Membuat Anila pusing, ia sampai berteriak, baru keduanya berhenti bermain-main.

Keduanya kini berjalan di sisi Anila tanpa banyak tingkah. Masih lumayan banyak murid-murid area koridor ini, beberapa kakak tingkat tak mereka kenal juga ada. Semakin menuju perpustakaan, semakin sepi, barangkali karena sudah mau sore dan kebanyakan beristirahat di kamar atau enggan ke perpustakaan padahal perpustakaan Eidothea bisa menjadi salah satu keajaiban dunia.

Detik demi detik bergerak, memutar roda kehidupan, membawa takdir yang baru ditulis para Dewa. Hingga ketiganya sadar jika tak jauh dari posisi mereka, dua profesor wanita sedang mengobrol bersama, begitu intens obrolan mereka.

Satu profesor mengenakan pakaian bangsawan karena terlihat mahal dan elegan, tetapi bukan gaun, melainkan baju mencapai pinggang, memperlihatkan lekuk tubuh dengan celana kain yang panjang agak ketat serta sepatu hampir mencapai lutut. Pedang magis berada di sabuk sebelah kanannya. Wanita itu menggelung rambutnya yang panjang, barangkali agar mudah bergerak ke sana-kemari. Wanita itu adalah profesor mengajar di angkatan atas serta sering dirumorkan sangat mengerikan nan kejam jika marah, ya dia adalah profesor Rosemary. Wanita yang dipercaya mampu bersaing dengan master Arthur.

Di samping Rosemary, seorang wanita dengan proporsi tubuh lebih pendek dibandingkan profesor Rosemary. Wanita itu tentunya sangat dikenali mereka bertiga. Terutama gaun yang selalu cantik, manik mata pink rouge, serta boneka Belphoebe yang digendongnya. Siapa lagi kalau bukan profesor Ambrosia bersama dengan Lilura yang mengenakan gaun senada dengan Ambrosia.

Kedua wanita itu sama-sama cantik, apalagi ketika berjalan bersama-sama. Seolah-olah model tercantik di dunia, barangkali bidadari yang turun dari surga hendak mandi di air terjun, tetapi selendang mereka dicuri jadi harus tinggal di dunia ini karena tak bisa pulang. Sungguh mereka pasti membuat kaum pria terkena serangan jantung dadakan. Para Dewi benar-benar tulus memberikan berkah kecantikan pada keduanya. Kira-kira pria mana yang akan mendapatkan cinta dari kedua wanita itu ya?

Sesaat hati Aalisha terenyuh ketika manik matanya tak sengaja bersinggungan dengan Ambrosia. Bukankah Aalisha mendengar dengan telinganya sendiri jika viscount Lugaldaba hendak menikahi Ambrosia? Padahal Aalisha merasa jika Lugaldaba sangat berbahaya, maka Ambrosia pun patut dicurigai.

Sudah di depan mata, sosok yang Aalisha taruh kecurigaan. Namun, takdir terus berjalan dan mempermainkan kehidupan setiap makhluknya.

Bagaimana bisa Ambrosia tersenyum begitu cantik dan tulus padahal bisa saja dia telah membunuh banyak kehidupan? Siapa pun yang tahu akan Ambrosia pasti bertanya-tanya, mengapa dari sekian banyaknya manusia haruslah Ambrosia yang terlihat memiliki hati bersih nan baik.

"Mungkin aku salah, belum tentu Ambrosia, tapi apa hubungannya dengan Viscount Lugaldaba." Setidaknya itulah yang terlintas dipikiran Aalisha sebelum kembali menatap Ambrosia yang tak jauh berada di jangkauannya.

"Halo kalian," ucap Ambrosia sebelum Anila atau lainnya membuka mulut. "Apa kabar kalian?"

"Salam Profesor Ambrosia dan Profesor Rosemary," sahut Anila sedikit mengangguk, "kami sehat."

"Baguslah, kudengar dari murid lain jika kalian ada agenda besar dari Arthur jadi pasti sibuk sekali," ujar Ambrosia kembali.

"Ya kami ada praktik langsung di mata pelajaran sihir dan mantra dasar," sahut Anila lagi.

"Arthur, Arthur," ujar Lilura, "dia senang sekali memberikan ujian tidak jelas dan mengancam nyawa." Manik mata Lilura bergerak menatap Rosemary. "Sama seperti kau."

Mylo merinding sesaat karena suasana ini terasa mencekam apalagi perpaduan Rosemary dan Lilura. Sedangkan Aalisha hanya bersedekap, berdiri di belakang Anila karena dia tak mau langsung berinteraksi dengan Ambrosia.

"Aku tahu batasan, tidak seperti Arthur, lagi pula praktik mudah di sini takkan setara ketika sudah turun ke ekspedisi zero domain," sahut Rosemary agak tak suka jika dia dipandang sama kejamnya seperti Arthur.

"Pembohong, kau sama gilanya," balas Lilura membuang wajah.

"Sudah, sudah, kalian ini jangan bertengkar, lihat kondisi dong," ujar Ambrosia menengahi mereka.

Anila, Mylo, dan Aalisha hanya bisa diam melihat interaksi ketiganya apa sudah sering ini terjadi?

"Kalian bertiga, jangan lupa jaga diri ya, jangan terlalu dipaksakan kalau sakit, terus banyak makan dan minum vitamin." Ambrosia bertutur kata dengan sangat lembut seperti seorang ibu yang menasehati anak-anaknya dengan sabar.

"Terutama untuk kau Nak, dasar suka cari mati," sahut Lilura tajam ada Aalisha.

"Lilura!" balas Ambrosia.

"Aku setuju," balas Rosemary melangkah hingga persis di dekat Aalisha. "Jaga dirimu karena akademi ini tidak selalu aman. Baiklah, aku pamit karena hendak mengganti baju."

"Y-yaa, terima kasih profesor Rosemary," sahut Anila terbata-bata lalu melirik Aalisha, dia memberikan kode agar gadis itu menyahut juga.

"Baiklah Profesor," ucap Aalisha lalu berbalik menatap Ambrosia, "Anda juga, terima kasih atas perhatiannya."

Ambrosia mengangguk. "Dengan senang hati, jaga diri kalian semua, Cressida, Andromeda, terus Aalisha."

Perlahan tangan Ambrosia bergerak ke puncak kepala Aalisha, dielusnya pelan. Saat itu Aalisha hanya bisa diam, dikarenakan Ambrosia sedang menggendong Lilura juga jadi jarak antara Aalisha dan Lilura begitu dekat membuat gadis itu menatap langsung wajah Lilura yang tersirat kesedihan tak Aalisha mengerti. Sesaat Aalisha teringat obrolannya dengan Lilura ketika di taman. Permintaan boneka itu agar Aalisha menemani Ambrosia minum teh ketika Lilura tiada. Mengapa dia meminta hal itu pada Aalisha? Apa yang dia sembunyikan, masalah apa antara Lilura dan Ambrosia? Apa gerangan membuat Lilura seperti dilanda kesedihan yang berkepanjangan?

"Sampai jumpa lagi." Ambrosia berujar setelah menarik tangannya, sayangnya tak ada sepatah kata pun terucap dari mulut Lilura.

"Terima kasih banyak Profesor, jaga diri Anda juga," ucap Anila.

"Terima kasih," sahut Mylo.

Aalisha kemudian berujar, membuat langkah Ambrosia terhenti. "Profesor, tawaran Anda untuk minum teh bersama, kupikirkan ulang."

Gadis kecil itu berbalik, menatap punggung Ambrosia. Membuat bingung Mylo dan Anila. Berangsur-angsur Ambrosia juga menatap Aalisha yang kembali berujar, "Anda bisa mengatur waktunya. Aku akan sangat senang jika Lilura juga bergabung, banyak yang hendak kubicarakan dengannya karena aku merasa punya kesamaan topik setelah obrolan terakhir kali di pertunjukan opera Tragedi Pareleystia."

Ambrosia tersenyum simpul. "Terima kasih atas jawabannya, akan kuatur waktu, tapi tidak dalam waktu dekat karena pekerjaan yang padat."

Aalisha hanya sesaat menatap Ambrosia karena ia berfokus pada Lilura yang dari manik mata boneka itu seolah terpancar berbagai reaksi terutama rasa bingung dan kegundahan. Setelahnya Aalisha menggerakkan tangan kanannya hingga ke dada kiri, satu kaki mundur ke belakang, dia membungkuk kecil sebagai tanda penghormatan, sambil berujar, "baiklah, akan kutunggu kapan pun itu."

"Ya, sampai jumpa," sahut Ambrosia sedikit membungkuk, membalas penghormatan Aalisha lalu melenggang pergi. Lilura tak juga mengatakan sepatah kata pun sampai keduanya hilang dari pandangan Aalisha.

Tidak mau berdiam diri saja, Aalisha langsung melangkah menuju perpustakaan. Sontak Anila dan Mylo kaget, menyusul Aalisha dengan langkah lebar mereka. Keduanya tak bisa menyimpan rasa penasaran, terutama Aalisha tak ada bercerita apa pun tentang Ambrosia mengundangnya di pesta minum teh atau apalah itu.

Mylo lekas berujar, "kau, kapan kau diajak minum teh bersama? Ah, sekarang kau jadi kesayangan profesor Ambrosia, lalu bagaimana bisa kau merasa cocok dengan bonekanya? Apa yang kulewatkan."

"Aku tak menjadi kesayangan," jelas Aalisha, "aku waktu itu bertemu profesor Ambrosia dengan temannya, lalu diajak minum teh bersama."

"Kapan?" ucap Mylo.

"Setelah aku hampir mati terseret Tinnezs, kemungkinan mereka iba melihatku sering celaka jadi diundanglah aku oleh profesor Ambrosia, aku tak langsung menjawab bisa karena waktu yang tak memungkinkan," jelas Aalisha.

"Hanya itukah yang ingin kauceritakan?" Anila giliran berucap, "tidak ada kah yang kau sembunyikan lagi dari kami?"

Aalisha diam sesaat, mereka sudah memasuki area perpustakaan akademi. Beberapa murid terlihat meninggalkan perpustakaan karena sudah sore hari, jadi perpustakaan ini terbilang sepi. Aalisha tak kunjung menjawab, membuat Anila kembali bertanya hingga mereka berada di lantai dua perpustakaan.

"Aalisha katakan," ucap Anila agak merasa khawatir.

"Iya katakan, kenapa kau tunda. Kenapa malah menarik kami ke lorong sepi?" imbuh Mylo.

"Aku hanya tak sengaja mendengarnya dari teman profesor Ambrosia," ujar Aalisha. Anila dan Mylo jadi semakin penasaran, terlebih jarang bagi Aalisha memulai topik seperti ini, seolah pembicaraan mereka begitu rahasia sehingga gadis kecil itu menarik Anila dan Mylo ke lorong perpustakaannya paling ujung serta suara Aalisha cukup pelan.

"Aku mendengar jika profesor Ambrosia hendak menikah," ucap Aalisha.

"Apa? Kau serius?" sahut Mylo tak sangka. Padahal Ambrosia termasuk pengajar termuda dibandingkan Reagan dan Aragon yang belum sampai di jenjang pernikahan. Begitu juga Arthur.

"Dari siapa kau mendengarnya? Jika teman, apa profesor Rosemary?" tanya Anila.

Aalisha menggeleng. "Bukan, bukan profesor Rosemary, tapi sahabatnya lagi."

"Lalu siapa?" ujar Mylo.

"Pengajar tahun keempat, profesor Minna Hesperia."

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

Hmm, siapa ya sosok bermata emas di paragraf awal?

Berbicara mengenai Ambrosia, dia dan Profesor Rosemary adalah sahabat^^

Aalisha makin sus ya, kenapa tiba-tiba setuju mau nerima undangan pesta teh? Terus kok dia sebut nama Hesperia ya?

Prins Llumière

Kamis, 26 Januari 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top