Chapter 49

|| Friendship Dynamic

Malam ini hujan menutupi akademi, cuaca suka tidak menentu, sepertinya ada yang sedang bersedih atau para Dewa meneteskan air mata karena melihat kekejaman setiap makhluk ciptaan mereka.

Semilir angin semakin bertiup, bercampur hujan yang membuat malam ini lebih dingin dibandingkan malam-malam sebelumnya. Namun, cuaca dingin ini tidak menghentikan tiga murid Arevalous bersandar di pembatas sebuah balkon kastil asrama mereka sambil mengedarkan pandangan ke suasana akademi, begitu sunyi. Hanya suara hujan saja yang terdengar, meredam semua suara lainnya.

Mylo menarik lengan sweaternya hingga menutupi telapak tangan, pasti sweater ini rajutan dari ibunya karena tampak terlalu besar di tubuhnya. Dia juga senang mengenakan kupluk cukup besar juga di kepalanya, tetapi tidak senada dengan sweater, kemungkinan kupluk itu entah milik Easton atau Noah. Lucu sekali dia karena terlihat seperti kue warna-warni apalagi sweater berwarna merah, kupluknya hijau gelap. Celananya biru kotak-kotak dengan kaos kaki putih.

Di samping Mylo ada Anila yang berbalut pakaian tebal juga, tetapi lebih normal dengan warna yang senada. Gadis Andromeda itu mengenakan syal yang membalut sekitaran lehernya. Rambutnya diikat, meski masih tertinggal anak rambut di sekitar telinga. Awalnya dia membaca buku, tetapi sudah dimasukkan ke invinirium dan kini seperti yang lain, hanya menikmati air berjatuhan dari langit serta suasana sunyi, senyap, hampir terasa seram. Berharaplah tidak ada makhluk aneh melintas.

Terakhir berada samping Anila, seorang gadis paling pendek di antara anak seumurannya. Tingginya mencapai bahu Anila, kurang sedikit. Sehingga jika dilihat dari belakang, mereka bertiga seperti anak tangga. Aalisha seperti biasa, dia mengurai rambut yang panjangnya lebih sebahu, lalu sebagian rambut kanannya dia kepang waterfall, entah serajin apa gadis itu malam-malam mengepang rambut. Dia mengenakan sweater tebal dengan warna senada ungu milik Arevalous.

Sejenak ia berpikir, apa yang dilakukannya di sini?! Bukankah ini termasuk membuang waktu padahal ia bisa membaca buku di kamar dari pada menatap rintik-rintik hujan dengan kedua manusia di sampingnya. Namun, entah alasan apa, ia malah setuju saja dibawa ke sini dan enggan beranjak lagi, pasti karena dia sudah malas.

"Aku masih belum bisa memaafkanmu," ujar Anila melirik sesaat pada Aalisha yang malah memasang tampang acuh tak acuh.

"Aku tidak mati, Anila. Aku masih hidup, bukankah itu yang terpenting?" ujar Aalisha sengaja memberikan senyuman untuk meyakinkan Anila.

"Kenapa mudah sekali kau berkata begitu? Jika kau katakan cepat padaku, maka bisa kuhancurkan kedua kakak tingkat itu karena berani menyentuh Frisca dan membuatmu terluka!" Gadis itu berapi-api. Amarah tercetak lagi di wajahnya yang cantik.

"Aku begini karena memukuli mereka, bukan sebaliknya, lagian sudah lewat beberapa hari. Aku sudah tak apa," jelas Aalisha lagi yang kini dia kesal karena sejak tadi, Anila maupun Mylo masih memberikan pertanyaan yang sama.

"Anila, sudahlah. Dia memang begitu, kautakkan bisa melawan keras kepalanya," timpal Mylo sambil menopang dagu.

"Mylo, mau kujatuhkan kau ke bawah?" ucap Aalisha sedikit menengok pada lelaki Cressida itu.

"Boleh, sekalian saja hancurkan asrama ini agar kita semua tidur di rerumputan," balas Mylo menatap tajam. Sepertinya lelaki ini masih menyimpan amarah juga karena jika Frisca dan Gilbert tak mengatakannya, maka Aalisha tidak menceritakan segalanya pada mereka.

Tiga hari sudah berlalu sejak kejadian pertarungan Aalisha dengan dua kakak tingkat bajingan. Berdasarkan kisah, sehari setelah itu, Gezmez dan Devury resmi dikeluarkan dari akademi, kejadian perundungan terhadap Frisca dan Gilbert dirahasiakan pihak sekolah, sehingga tidak ada satu pun murid yang tahu terkecuali berada di lokasi kejadian. Jika pun ada, profesor Rosemary akan menghukum siapa pun yang menyebarkannya.

Meskipun begitu, kedua kakak tingkat yang terkenal nakal dan suka mengganggu murid lain itu jadi bahan pembicaraan dalam satu hari, banyak yang mempertanyakan alasan apa yang akhirnya membuat mereka dikeluarkan. Serta siapa korban dari kenakalan keduanya?

Murid angkatan atas pun menemui profesor Eugenius untuk meminta jawaban. Sosok cerdas Eugenius berpikir jika lebih baik ia katakan langsung, dibandingkan murid-muridnya mencari tahu sendiri yang malah mendapatkan kabar bohong atau salah persepsi.

"Aku sangat kecewa karena kedua murid itu melakukan tindakan tidak terpuji yang sudah tak bisa ditoleransi. Profesor Rosemary yang jadi sanksinya maka aku memutuskan untuk mengeluarkan keduanya dari Eidothea. Kuharap kalian tidak mencari tahu lebih lanjut lagi karena masalah ini sudah diselesaikan pihak Akademi. Hal ini juga demi melindungi identitas dan reputasi korban juga," ujar profesor Eugenius pada malam itu ketika makan di ruang bersama.

Profesor Rosemary berdiri dari kursinya, melangkah hingga di samping podium profesor Eugenius. "Jika di antara kalian berani mencari tahu masalah ini lagi sampai berusaha menguak identitas korban! Maka kalian akan berhadapan denganku atau dikeluarkan juga dari sekolah ini!" Satu aula langsung meremang. Beberapa pengajar malah mengambil teh mereka, diseruput dengan tenang karena sudah biasa dengan sikap profesor Rosemary.

Hanya saja, ini Eidothea, terlalu banyak manusia nekat di sini. "Profesor bagaimana dengan penolongnya? Sepertinya bukan Anda yang membuat Gezmez dan Devury babak belur. Lagi pula, di hari itu, sempat kulihat Anda sedang bersama pengajar lain. Itu artinya ada yang menolong korban 'kan?"

Profesor Rosemary menghela napas. "Baiklah aku akan jujur jika ada yang menolong korban sebelum aku datang. Namun, aku takkan mengatakan identitasnya juga."

Ternyata benar! Maka bisikan demi bisikan terdengar memenuhi aula, mulut ke mulut mulai membicarakan sosok penolong yang entah siapa itu.

"Profesor berarti dia sangat kuat kan sampai bisa membuat dua orang babak belur? Apalagi mereka hampir menjadi murid angkatan akhir," ujar seorang murid dari Bangsawan Count.

Banyak yang berpikir jika murid itu sangatlah kuat, berasal dari kalangan bangsawan, punya dukungan yang hebat sampai bisa mengalahkan Devury dan Gezmez yang sebenarnya tidak bisa dianggap remeh karena kedua kakak tingkat itu kuat dalam bidang sihir, apalagi mereka berdua sering menggunakan kelicikan ketika bertarung.

"Sekali lagi kutekankan, kalian akan mendapat hukuman jika berani menguak identitas korban maupun penolong dalam kejadian ini, terima kasih atas perhatiannya," ujar Rosemary melenggang pergi kursinya lagi.

Di sisi lain, master Arthur memasukkan sesendok gula ke dalam tehnya lalu diaduk pelan. Kursi berderit ketika Rosemary duduk kembali, ya, mereka duduk bersampingan. Maka Arthur berujar setelah meletakkan cangkir tehnya. "Kurasa pahlawan kecil semakin dibicarakan anak-anak. Dia takkan suka jadi bahan gosip."

"Diamlah Arthur," balas Rosemary, "bukankah kau yang mengajarinya?"

Arthur tersenyum tipis. "Ketahuilah Profesor Rosemary, kenekatan sudah jadi bagian dari dirinya. Jadi mari tunggu saja, bagaimana anak itu ke depannya."

Hari esoknya, murid-murid menjadikan sosok pahlawan misterius itu sebagai topik pembicaraan meski tak ada yang berani untuk mencari tahu identitasnya dikarenakan ancaman profesor Rosemary.

"Apa dia dari angkatan baru atau angkatan atas?"

"Kurasa sudah lama di Eidothea, mustahil murid baru mengalahkan kakak tingkat, apalagi mereka berdua cukup kuat."

"Bisa saja jika pahlawan misterius ini seorang bangsawan yang kuat ...."

"Atau! Keturunan cabang Majestic Families!"

"Tidak, Ixchel dan Victoria, tidak terlibat. Aku tanya pada anak asrama lain."

"Siapa identitasnya tak penting karena yang paling penting adalah manusia seperti Devury dan Gezmez enyah dari sini!"

"Oh ayolah, apa pahlawan misterius itu tidak mau menunjukkan dirinya. Kuyakin dia akan memiliki banyak penggemar!"

Sekitar jam sepuluh pada hari itu, kereta kedua milik keluarga Cressida dan Andromeda datang berbarengan. Keduanya bingung karena banyak pembicaraan tentang sosok pahlawan misterius serta dikeluarkannya dua murid pembuat onar dari akademi. Dengan naluri tajam dari keduanya maka mereka tidak menemui profesor Madeleine untuk konfirmasi jika mereka sudah di akademi, melainkan terburu-buru ke asrama.

Mereka mendapati Frisca dan Gilbert yang sedang mengobrol di ruang utama, Anila mampu membaca maksud tatapan Frisca yang sendu dan tubuh gadis itu diselimuti pakaian tebal. Tanpa pikir panjang, Anila lekas mendekap tubuh Frisca dengan sangat erat, maka Frisca pun menangis, ia terisak, air matanya jatuh ke pundak Anila. Setelah merasa tenang, barulah Frisca menceritakan segalanya yang lekas membuat Anila dan Mylo terkejut bukan main, kemudian menuju kamar Aalisha. Sayangnya diketuk berkali-kali pun tidak kunjung terbuka atau dirasa ada penghuninya di dalam.

"Aku yakin dia ada di dalam, sejak tadi kami di ruang utama jadi akan terlihat kalau Aalisha pergi ke luar asrama," ujar Gilbert.

"Dia awalnya bersama kami, lalu kami minta untuk menunggu kau dan Mylo, dia bilang mau nunggu di kamar karena takut dimarahi olehmu." Frisca ikutan berujar.

Maka Anila menghela napas, sudah ia tebak apa yang terjadi, maka dibukanya pintu kamar Aalisha dengan mantra yang ternyata benar jika gadis itu kabur melalui jendela kamarnya, lihatlah jendela kamar itu terbuka lebar.

"Dia kabur," ucap Mylo, "sudah kuduga. Nekat juga dia ya."

Gilbert tak habis pikir. "Sialan, apa dia melompat dari lantai lima? Dia sering melakukannya?! Kalian tahu dia sering begini?" Kini Gilbert frustrasi.

Anila berujar dengan santainya. Seolah tak ada kepanikan. "Harus kalian percaya, kalau satu akademi akan gempar jika mengetahui identitas pahlawan misterius yang mereka bicarakan."

"Kutebak, pasti halaman belakang asrama," ujar Mylo menutup jendela kamar Aalisha. "Jika tidak, kemungkinan kandang kelinci atau cari tempat yang ada kelincinya."

Anila mengangguk. "Ya, kau benar. Ayo cari dia."

Mereka berempat pun berlari, segera menuju halaman belakang asrama yaitu bangunan dengan 12 pilar penyangga. Menginjak rerumputan, terdengar suara gemerisik ketika melewati semak-semak belukar, menutupi pandangan karena sinar matahari menerpa mata mereka. Sesaat terkagum mereka karena kemegahan patung di bangunan ini, lalu melangkah ke belakang bangunan.

Tidak sulit untuk menemukan Aalisha karena area sini terbilang sangat sepi, barangkali hanya gadis itu yang berminat di sini selama berjam-jam. Ternyata benar. Dari kejauhan, terlihat gadis kecil yang sedang berbaring sangat santai di rerumputan, pakaiannya tidak dipedulikan jika kotor. Di dekat Aalisha, ada sekitar dua kelinci besar dan tiga kelinci kecil yang ikutan meringkuk dan tidur lelap.

Jari-jemari hingga pergelangan tangan Aalisha terbalut perban putih, ada juga plester di beberapa bagian wajahnya terutama dekat pelipis. Berdasarkan cerita Frisca, gadis itu perlu tambahan darah karena terlalu banyak kekurangan darah akibat muntah darah terus, keluar darah dari hidung, dan juga telinganya. Untung saja pihak sekolah dapat menyelesaikan masalah ini karena punya stok donor darah.

"Gawat, mereka tahu aku di sini," gumam gadis kecil itu, berangsur bangun. Para kelinci pun bangun juga kemudian melompat pergi. "He—hei jangan tinggalkan aku."

Di posisi duduk, dia mengedarkan pandangan pada keempat manusia tak jauh darinya dengan beragam tatapan. Entah apa maksud tatapan mereka itu, Aalisha tak paham, terutama Anila dan Mylo. Namun, bisa ditebak jika mereka berdua marah besar padanya.

"Baiklah aku siap dimarahi," gumam Aalisha sudah sangat siap memasang kedua telinganya atau terkena pukulan atau sihir dari Anila terlebih lagi gadis Andromeda itu berlari ke arahnya.

"Ternyata kalian sudah datang, kupikir sore ...." Entah perasaan Aalisha saja, tetapi ia melihat Anila menangis sambil berlari ke arahnya. Sesaat gadis kecil itu waspada karena menebak apa yang hendak Anila lakukan terutama gadis Andromeda itu merentangkan kedua tangannya seolah hendak memeluk gadis kecil itu.

"Aalisha!!"

Sekonyong-konyong Aalisha berdiri, lekas menghindar karena benar Anila hendak mendekap tubuhnya. "Tidak, kumohon, jangan peluk aku, aku tidak suka dipeluk!!"

Sontak perkataan Aalisha itu serta gelagatnya yang hendak menjauh dari Anila, membuat Anila terdiam seperti patung. Menatap tajam padanya, tetapi air mata masih saja turun. "Jahat, kau memang jahat!! Sini kau!"

"Woi Anila, jangan!"

Maka terjadilah kejar-kejaran antara keduanya, Anila berlari mengejar Aalisha, hendak menarik gadis kecil itu ke dalam dekapannya agar bisa ia peluk dengan sangat erat, sedangkan keras kepalanya Aalisha seolah dia punya alergi dipeluk pula, membuatnya terus kabur dari Anila. Kini amarah Anila terukir dan lekas ia gunakan sihir yang membuat Aalisha terpeleset kemudian jatuhlah gadis kecil itu. Ia terduduk di rerumputan, matanya membulat ketika Anila berjalan ke arahnya, masih berniat memberikan pelukan padanya,

"Oh ayolah, kumohon jangan, aku tak suka, aku tidak pernah dipeluk jadi aku tak menyukainya! Aku minta maaf karena tidak menceritakan semua ini pada kalian setelah kejadian itu!" ucap Aalisha sambil memasang pose berlindung dari pelukan Anila, tetapi nyatanya Anila tidak memeluk Aalisha, melainkan duduk di samping gadis itu kemudian menangis lagi.

"Kau memang jahat ya, dasar bodoh. Kau jahat karena tidak mau cerita pada kami, sakit tahu nggak harus dengar cerita dari orang lain dulu, itu pun kami diceritakan Frisca dan Gilbert baru kami tahu sedangkan kau ... kau malah diam saja, dan menutupi segalanya! Kenapa sih, Aalisha, kenapa sulit kau ceritakan pada kami. Kami ini sahabatmu, kami khawatir padamu!"

"Aku minta maaf." Aalisha tidak berani menatap manik mata Anila, ia takut. "Aku tak mau membuat kalian khawatir, lagian aku sudah tak apa."

Perlahan gadis kecil itu merebahkan dirinya di rerumputan kembali, ia tak sadar jika punggungnya jadi kotor dan ada dedaunan menempel di rambutnya. "Sekali lagi, aku minta maaf, maafkan aku."

"Bodoh, kau memang menyebalkan." Anila menekuk kedua lututnya, kemudian dia peluk sambil memandangi Aalisha yang berbaring di rerumputan dengan lengan kanannya menutupi kedua matanya.

Suara langkah kaki mendekati keduanya, kemudian ikutan duduk di samping Aalisha yang tengah berbaring itu. Ternyata adalah Mylo, Aalisha mengintip sedikit pada Mylo yang menyunggingkan senyuman tipis. "Apa, jangan senyum-senyum."

"Tenang kok, aku tidak berniat memelukmu, tapi permisi ya, ada daun di rambutmu." Mylo mengambil daun di rambut Aalisha lalu dibuangnya. Lelaki itu memandangi Aalisha sesaat, kemudian berujar kembali. "Kau hebat dan kuat, makasih banyak sudah menolong Frisca dan Gilbert. Aku beruntung bisa menjadi sahabatmu." Kini Mylo ikutan berbaring di samping Aalisha.

"Ajak-ajak dong kalau mau tiduran sini!" ucap Gilbert tanpa aba-aba langsung berbaring di samping Mylo.

"Ah sialan kau, jadi sempit, geseran!" balas Mylo.

"Kalian ini, kotor tuh seragam, besok masih dipakai." Frisca melangkah kemudian ikutan berbaring dengan posisi kepala dekat dengan Aalisha.

"Lah ikutan baring juga," teriak Gilbert.

"Terserah aku!" Frisca menatap pada Anila. "Ayo Anila, capek loh duduk."

"Iya, iya." Maka Anila pun berbaring tepat di samping Aalisha yang tak bersuara sejak tadi. Jadi gadis itu pun berbisik, "Aalisha, makasih. Aku bersyukur bisa menjadi sahabatmu."

Sesaat Aalisha menyingkirkan lengannya yang menutupi mata, menatap langit yang tak terlalu silau lagi. Manik matanya menerawang jauh. Aalisha hanya diam, tak berniat menyahuti mereka atau berkata sepatah kata pun, ia diam dengan menyimpan kebingungan serta perasaan asing yang memenuhinya. Terasa hangat, tenang, haru, tetapi bercampur sesak juga, sangat sesak. Dia tak menolak perasaan ini, tak juga menerima, hanya penuh pertanyaan kepada para Penciptanya, kepada para Dewa. Bisakah para Dewa membantu Aalisha untuk memahami perasaan asing ini?

Bisakah para Dewa mengajari Aalisha apa maksud dari perasaan asing ini?

Perasaan yang telah lama terkubur, kini perlahan terukir kembali.

****

Hari ini kelas Latih Tanding hanya digabung dua kelas karena pelatihan kali ini sudah mulai susah. Teori dan praktik sebelumnya hanyalah sekadar dasar, seperti cara bertarung fisik tanpa neith dan menggunakan neith, lalu bertarung menggunakan pedang dengan neith dan tanpa neith. Kemudian seminggu lalu latihan dengan senjata magis masing-masing. Sebatas dasar, menyerang menggunakan senjata magis masing-masing murid. Hal ini dilakukan agar setiap murid mampu menguasai senjata magis mereka.

Dikarenakan senjata magis ada banyak macamnya dimulai dari long sword, great sword, scimitar, rapier, flail, axe, charkram, dual blade, lembing atau tombak, serta masih banyak lagi bahkan ada senjata magis yang dimodifikasi sesuai permintaan penggunanya.

"Senjata magis, sebenarnya tidak hanya berupa pedang, tombak, kapak, dan sejenisnya. Namun, ada juga senjata magis berupa buku, rantai, perisai, alat musik seperti seruling dan piano, serta peti mati pun ada juga yang menjadi senjata magis. Sehingga dapat disimpulkan, benda apa pun selama dibentuk atau diciptakan dengan memberi neith maka akan menjadi senjata magis," jelas profesor Aragon. Di belakang mondar-mandir para Orly menaruh boneka kayu yang akan menjadi target latihan hari ini.

"Peti mati?" tanya murid kelas sebelah.

"Ya, seingatku ada seseorang yang menggunakan peti mati digabungkan dengan rantai sebagai senjata magisnya jadi setiap bagian di peti tersebut diberi semacam paku tajam, cara peti itu bekerja, kalau tidak salah. Rantai-rantai akan menjerat musuh, menariknya ke dalam peti lalu dibunuh dengan cara menutup peti tersebut sehingga musuhnya tertusuk paku," ujar Aragon sambil mengusap dagunya karena tidak terlalu ingat juga. Dia tak tahu jika para muridnya merinding.

"Lalu bagaimana dengan piano Master? Apakah penggunanya akan memainkan musik seperti di acara salon atau pesta dansa?" Suara tawa terdengar bersahutan setelah pertanyaan itu terucap dari mulut seorang murid bangsawan.

Aragon tersenyum tipis sambil menaruh kedua tangannya di belakang, satu tangan menggenggam pergelangan tangan lain lalu dia mendekat pada murid-muridnya. "Aku kuberi kalian nilai tambahan, bagi yang bisa menjawab, siapa sosok terkenal atau kesatria atau pahlawan yang menjadikan piano atau alat musik lain sebagai senjata magisnya?"

Banyak murid mengangkat tangannya karena tergiur dengan nilai tambahan master Aragon, habisnya mata pelajaran ini paling sulit mendapatkan nilai tinggi, paling mentok nilai B. Setiap murid yang ditunjuk master Aragon menyebutkan nama-nama manusia yang menggunakan alat musik sebagai senjata magis. Sayangnya Aragon tidak cukup puas mendengar jawaban muridnya yang ternyata kebanyakan sama. Bahkan jawaban dari keturunan Andromeda tidak juga membuat Aragon puas.

Manik matanya menelusuri para murid yang sejak tadi hanya diam, tidak berkonstribusi dalam perebutan nilai tambahan ini. "Nona Aalisha, tidakkah kau mau mendapatkan nilai tambahan untuk menambah nilaimu yang kurang itu?"

Sebenarnya Aragon tak mau berharap pada gadis yang kadang tidak punya semangat hidup. Sudah berapa banyak penolakan yang Aalisha layangkan, perlu dipaksa agar gadis itu mau. Jadi tidak heran lagi jika kali ini pun Aalisha akan menolak menjawab bahkan jika ini demi nilai tambahannya.

"Baiklah tak masalah Nona Aalisha. Yang lain, apakah ada yang mau menjawab lagi ...." Master Aragon agak terkejut karena gadis kecil itu mengangkat tangannya. "Ya?"

"Majestic Families," ucap Aalisha sambil menurunkan tangannya. "Majestic Families, Achelois. Ada yang menggunakan piano sebagai senjata magisnya, jenis Pipe Organ Piano. Jadi pemiliknya akan memanggil senjata magis ini, biasanya disimpan menggunakan sihir, lalu akan keluar dari pentagram sihir yang berada di tanah. Pianonya besar, serta ada sekitar lima puluh pipa organ, setiap pipa punya nada sendiri. Dari yang kuketahui, jika piano ini memiliki berbagai macam jenis sihir, cara menggunakan pianonya juga rumit karena harus memasukkan nada yang sesuai agar menjadi kunci dari sihirnya aktif. Meski sulit, tetapi dengan senjata ini mampu melipat gandakan serangan sihir. Lalu ada kisah yang memberitakan kehebatan senjata magis ini yang mampu membunuh 3.000 pasukan musuh hanya dengan satu lagu dimainkan. Kalau tidak salah namanya Lail atau Liel? Maafkan aku karena aku lupa Master." Aalisha tersenyum simpul.

Murid-murid celingak-celinguk sambil berbisik pada teman sebelah mereka karena kebanyakan tidak tahu akan senjata magis yang digunakan Majestic Families, Achelois. Bahkan tidak diketahui siapa pemilik senjata ini, barangkali Keturunan Utama karena senjata ini sangat kuat atau malah Keturunan Cabang?

"Penjelasan yang bagus Nona Aalisha, seperti yang kaujelaskan tadi, semuanya benar. Salah satu Majestic Families Achelois diberkahi senjata kuat ini yang mampu melipat gandakan kekuatan pemiliknya." Aragon kembali menatap Aalisha. "Kuberi 100 poin untukmu, Nona Aalisha. Namun, sayangnya tetap tidak menutupi nilaimu yang kurang. Berusahalah lebih giat."

Aalisha bisa mendengar kekehan dari Mylo, Gilbert, bahkan Anila dan Frisca yang duduk di belakangnya. Maka tanpa kasihan, dia memukul bahu Mylo cukup kuat karena cowok itu satu-satunya di samping Aalisha. "Diamlah Mylo!"

"Kenapa hanya aku?!" sahut Mylo mengusap bahunya, sakit.

"Karena kau ada di sampingku," sahut Aalisha.

"Sialan, dasar pahlawan misterius," bisik Mylo langsung mendapat tatapan nyalang dari Aalisha.

Master Aragon kembali ke depan para muridnya dengan membawa senjata magis miliknya berupa pedang jenis claymore, sangat cocok untuk tubuhnya yang besar dan agak kekar. "Sebelum melakukan praktik, kalian harus memahami teori mengenai teknik Pengaktifan Senjata Magis. Ini adalah teknik yang wajib dikuasai setiap individu pemilik senjata magis. Kita semua ketahui jika senjata magis selain dibuat dengan material alam di Athinelon, juga dicampur dengan neith sebagai penyempurnanya. Sehingga dengan adanya neith mengalir di Senjata Magis maka memberi kehidupan tersendiri bagi senjata ini serta mampu diaktifkan. Senjata magis yang diaktifkan akan meningkatkan kekuatan, kecepatan, daya hancur, serta masih banyak lagi. Atas inilah senjata magis yang aktif akan menjadi jauh lebih kuat. Biasanya para pengguna senjata magis akan mengucapkan mantra untuk mengaktifkan senjata mereka, mantra paling umum dan sering digunakan adalah Ignitio yang artinya pengaktifan atau pengapian. Namun, di beberapa bangsawan atau Keluarga Agung, mereka punya mantra tersendiri atau bahkan tanpa perlu mengucapkan mantra.

"Kemudian meskipun seseorang mengucapkan mantranya, tetapi masih belum mampu mengendalikan senjatanya, maka akan sulit diaktifkan. Selain itu, menggunakan Senjata Magis diperlukan neith yang besar sehingga jika individu pengguna, neith mereka sudah terkuras maka ada kemungkinan tidak bisa mengaktifkan senjatanya dengan artian Setiap Senjata Magis akan menyerap neith penggunanya. Maka tak jarang jika pengguna senjata magis akan ambruk setelah sekali pengaktifan."

Anila bertanya, "Master, apakah ada cara untuk menutupi kekurangan itu? Jika neith terkuras habis, maka pengguna bisa mati 'kan"

"Benar sekali, seseorang akan mati jika neith mereka habis. Untuk cara menutupi kekurangan ini, hanya ada satu, menyerap neith dari alam, tetapi sangatlah sulit karena pengguna harus mahir dalam mengontrol neith-nya jika tidak akan lepas kendali begitu juga senjata magis yang terlalu banyak menyerap neith dari alam. Hal ini bisa saja fatal yang dapat melukai penggunanya," jelas Aragon.

Pria itu lalu menjulurkan tangannya, cahaya kemerahan bersinar lalu tak jauh darinya muncul empat pentagram sihir di rerumputan, lalu keluarlah Orly dari masing-masing pentagram. Keempat Orly itu lekas bersujud pada masternya lalu berdiri, berdiri tegap menghadap para murid.

"Hari ini kalian akan mencoba mengaktifkan senjata magis kalian, jadi bagi menjadi empat kelompok lalu pergilah setiap kelompok pada satu Orly yang akan mengajari sekaligus mengawasi kalian. Laksanakan sekarang!" teriak Aragon dengan kalimat terakhir penuh penekanan.

"Ayo Aalisha," ucap Mylo karena Aalisha masih senantiasa duduk di rerumputan.

"Iya, iya," sahutnya sambil meraih pedang magisnya yang tergeletak di tanah serta masih diselimuti kain.

Semua murid membawa senjata magis masing-masing, ada bermacam jenis dan bentuk serta ukuran, tetapi paling mendominasi adalah jenis pedang karena termasuk ke senjata paling umum dan mudah digunakan dibandingkan senjata jenis lainnya. Kebanyakan senjata magis diberi nama oleh pemiliknya, jika senjata baru ditempa maka pemilik pertama yang akan memberi nama, tetapi jika diwariskan dari pemilik sebelumnya maka nama yang digunakan adalah nama yang sudah diwariskan tersebut.

"Lihatlah siapa anak kecil yang tersesat ini, kuharap kau tak berbuat kekacauan atau membunuh orang lain karena senjatamu yang mungkin tak dapat dikendalikan sama seperti pemiliknya," ujar Killian lalu disusul tawa teman-temannya.

Lelaki itu membawa jenis senjata pedang yang merupakan warisan turun-temurun dari Keluarga Cornelius. Pedang hitam yang sama gelap dan jahatnya seperti setiap tangan pemilik pedang itu, pedang yang hanya memilih manusia berdarah murni, berdarah bangsawan sehingga tak heran jika pewaris pedang itu hanya garis keturunan Cornelius saja. Pedang itu akan menolak keras manusia yang dirasa berasal dari darah hina, kotor, dan jelata.

"Aku tak butuh opini bodohmu itu jadi tutup mulutmu sebelum kucincang seperti daging babi," balas Aalisha sangat tenang bahkan dia tersenyum simpul dengan mata tertutup. Anila diam saja karena dia hanya ingin memperhatikan sejauh mana Killian hendak mengganggu Aalisha jika dirasa keterlaluan maka Anila takkan segan menarik pedangnya.

"Killian," ujar Mylo sedikitpun menghela napas. "Bisakah kau pergi saja ke kelompok—"

"Apa kau tahu." Killian memotong perkataan Mylo membuat lelaki Cressida itu memerah wajahnya. "Setiap senjata magis punya nama dan ketenaran sendiri. Ada milyaran senjata magis di Athinelon ini, tetapi hanya ribuan saja yang dibicarakan dari mulut ke mulut, hanya ratusan saja yang masuk dalam sejarah dunia, serta puluhan yang diagung-agungkan, dan hitungan jari saja senjata yang dianggap berasal dari Dewa langsung. Setiap senjata magis punya kriteria sendiri dalam memilih master mereka."

Tanpa izin, Killian menggenggam erat pedang milik Aalisha yang masih terbalut kain. "Senjata milikku termasuk ke salah satu dari ratusan senjata yang tertulis dalam sejarah, Sezzad Ne'Xafughos. Pedang berjenis long sword, tercipta dari kulit monster penghuni lautan serta kuku dan jantung hydra. Pedang ini mampu membunuh lawan dalam hitungan detik, sejarah menuliskan jika pedang ini mampu membinasakan satu desa dalam satu malam, serta selalu dipegang oleh pemimpin perang, pemimpin ekspedisi ke Zero Domain. Paling utama harus diketahui adalah pedang ini hanya memilih darah murni dan bangsawan saja. Kini akulah Master resminya."

Killian melepaskan genggamannya pada pedang Aalisha, lalu tersenyum puas setelah membanggakan habis-habisan pedang yang ia miliki. "Terkadang beberapa pedang merepresentasikan pemiliknya, semakin agung pedang tersebut, semakin agung juga pemiliknya. Sangat menyedihkan dirimu, pedang atau kau sama-sama berasal dari kasta bawah."

Di luar dugaan Killian yang berpikir jika Aalisha akan marah, tetapi gadis kecil itu malah memasang wajah tak peduli. Tidak terbesit keinginan melawan perkataan Killian, bukan karena Aalisha menerima perkataan lelaki itu, tetapi dia lebih menganggap jika semua yang Killian ucapkan tak begitu penting.

"Ya, terima kasih atas informasi yang tak bermanfaatnya," balas Aalisha.

"Sialan." Killian mendorong Aalisha, berniat menghadapi gadis itu lagi, tetapi tertahan karena Anila berangsur maju hingga di hadapan Killian.

"Sudah cukup, lebih dari ini, kau bakal mampus olehku," ujar Anila menatap nyalang.

"Kaulah yang akan hancur, Andromeda." Killian langsung berbalik dan melangkah congkak menuju barisannya.

Mylo menatap kepergian Cornelius lalu berujar, "aku kadang kasihan, sepertinya dia mengoceh pada kita karena teman-temannya tak mau mendengarkan ocehannya."

"Dia selalu haus atensi, kurasa dia akan mati jika tidak berbuat kenakalan sehari saja. Bukankah para pembully selalu begitu, mereka seolah menganggap dunia berpusat dalam diri mereka, bodoh," timpal Anila melirik pada Aalisha yang melenggang pergi, jadi Anila dan Mylo mengikuti gadis tersebut.

Berada di sisi lain, master Aragon memperhatikan para Orly-nya yang memasang barrier sebagai pencegahan kekuatan senjata magis yang aktif tak terkendali, dia tak mau ada masalah lain yang menyebabkan lapangan hancur atau mengenai murid lain di luar kelas yang sedang menggunakan lapangan juga.

Dikarenakan ada para Orly, Aragon hanya akan memantau dari jarak ini saja. Latihan dimulai dengan para murid membuat barisan memanjang ke samping, lalu mulai memegang senjata magis dan diaktifkan. Seperti biasanya bagi mereka yang pertama kali mengaktifkan senjata magis, selalu ada kendala dimulai dari senjatanya tak mau aktif, hanya aktif sebentar, tiba-tiba hilang kendali, neith pemilik terkuras habis hingga pingsan dan harus dilarikan ke rumah sakit, atau pun ada beberapa murid yang sudah belajar mengaktifkan senjatanya atau punya bakat tersendiri.

Semisal saja Kennedy Cymphonique, lelaki itu pasti diajarkan sejak kecil—apalagi keturunan Marquess—maka dia berhasil mengaktifkan senjata magisnya dalam percobaan pertama. Kemudian disusul si cerdas dari Andromeda. Serta murid-murid lainnya.

"Adakah hal menarik pada hari ini Master?" ujar Orly milik Aragon bernama Galenus sambil menuangkan kopi ke dalam gelas milik Aragon. Pria itu menggoyang-goyangkan gelasnya setelah diseruput hingga setengah gelas.

"Kau tahu rumor tuan putri kekaisaran Ekreadel yang sudah memulai sekolahnya?" ujar Aragon, manik matanya menilik tajam pada Aalisha yang sedang menggenggam kuat pedangnya dan masih berusaha mengaktifkannya.

"Tentu saja Master hingga kini identitas sang putri tidak diketahui, banyak media berusaha mengungkapkan kebenarannya," sahut Galenus.

"Majestic Families memiliki keistimewaan yang tak dimiliki manusia lain atau para bangsawan. Keistimewaan itu adalah mereka bisa naik tahta menjadi Kaisar Ekreadel dengan cara disetujui oleh setengah dari Majestic Families lain. Namun, ada dua syarat yang harus dipenuhi, pertama pihak Majestic Families yang hendak menjadi kaisar, wajib minimal memiliki dua keturunan utama, karena satu keturunan menjadi Kaisar, keturunan lainnya menjadi Kepala Keluarga. Syarat kedua adalah menikah dengan keturunan Kekaisaran La Vortigern. Bagi Majestic Families yang menjadi bagian kekaisaran haruslah membuang nama Majestic Families mereka."

Aragon menatap gelasnya yang sudah tak bersisa lalu diberikan pada Orly-nya. "Sebelum Kaisar sekarang, awalnya hendak dipilih salah satu Majestic Families menjadi Kaisar, tetapi tak ada satu pun yang mau. Hingga akhirnya putra dari Kekaisaran menikahi keturunan cabang Achelois."

"Apakah Anda mencurigainya?"

Aragon diam sesaat. "Sesaat aku menaruh kecurigaan setelah jawaban gadis kecil itu ...."

"Tentang senjata magis?"

Aragon mengangguk. "Di Athinelon, ada senjata magis yang dianggap sebagai salah satu senjata yang diciptakan Dewa, senjata yang bernama Gamalliel. Senjata itu berupa piano organ pipe. Sayangnya tak banyak yang tahu akan Gamalliel karena identitas senjata ini sangat dirahasiakan dari khalayak umum. Mereka yang mengetahui akan senjata ini hanyalah Delapan Kepala Keluarga Majestic Families, beberapa keturunannya, serta yang memiliki koneksi dengan Majestic Families.

"Selain itu, Gamalliel hanya menerima darah yang sama dengan artian hanya menerima keturunan dari pemilik pertamanya, yaitu Majestic Families Achelois."

"Beruntung sekali Anda mengetahui Gamalliel karena memiliki koneksi, tetapi apakah Anda tahu siapa pemilik senjata magis itu sekarang?" sahut Galenus.

"Pemilik Gamalliel sekarang ini adalah Kepala Keluarga Achelois. Seperti yang kukatakan tadi jika identitas senjata ini hanya diketahui beberapa pihak tertentu dan keturunan Achelois saja, tetapi Aalisha yang bukan berasal dari kalangan borjuis apalagi Majestic Families mengetahui Gamalliel. Dari mana gadis itu tahu? Apa hubungannya dengan Majestic Families Achelois?"

"Jadi apakah Anda berpikir jika anak itu punya hubungan darah dengan Majestic Families Achelois? Mungkin saja berasal dari keluarga cabang, atau mungkin keturunan utama yang dirahasiakan Kepala Keluarga? Cukup banyak kemungkinan, terutama hal aneh juga sering terjadi di keluarga Agung." Perlahan Galenus menyeringai, tatapannya cukup mengerikan terutama manik matanya yang semerah darah itu.

"Aku tak bisa memberikan jawaban, meski hanya sekadar asumsi gila," sahut Aragon.

"Apa Anda ingin aku mencari tahu identitasnya?" tawar Galenus.

"Itu melanggar privasi murid, lagi pula jika memang identitas gadis itu harus diungkapkan, maka profesor Xerxes akan melakukannya lebih dulu. Dia keturunan cabang Nerezza, lebih tahu tentang Majestic Families, dia lebih pandai juga menjadi mata-mata dibandingkan aku," jelas Aragon.

"Tuan Xerxes sepertinya menaruh perhatian pada anak itu, terlebih dia cukup baik di bidang ramuan," sahut Galenus.

"Ya, kurasa tak perlu lakukan apa pun." Aragon menatap pedang yang Aalisha gunakan. "Pedang Aeternitas, gadis itu mendapatkan pedang yang kuat, lumayan."

Master Aragon menatap Aalisha, memperhatikannya secara jeli. Dikarenakan sejak tadi, gadis itu tak kunjung berhasil mengaktifkan pedangnya. Lalu detik selanjutnya, master Aragon tertegun karena Aalisha sadar tengah diperhatikan oleh Aragon. Bahkan dia menatap Aragon balik sambil memberikan senyuman simpul.

"Arthur," ujar Aragon menyeringai. "Dari mana kau membawa gadis kecil itu? Andai asumsiku benar, maka seberapa banyak anak itu bersandiwara sehingga mampu membohongi seluruh akademi ini. Menarik sekali." Maka Aragon segera melenggang pergi meninggalkan lapangan kemudian disusul Galenus.

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

Update aja deh kasihan kalian nunggu kwkwk.

Mau kasih kabar, jadi draft ceritanya sudah rampung, tinggal beberapa revisi, kemudian bisa gue update entah seminggu bisa berapa kali^^ Jadi nantikan saja ya ....

Prins Llumière

Senin, 23 Januari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top