Chapter 48

|| Chapter ini mengandung sedikit adegan  pelecehan seksual, darah, dan mengganggu serta tak nyaman bagi sebagian pembaca

Pertunjukan opera syukurnya berjalan dengan lancar meski ada kendala sesaat karena kehilangan salah satu alat musik yang digunakan anak-anak orkestra, beruntung mereka punya alat musik cadangan jadi semua terkendali setelahnya.

Frisca sudah menghabiskan dua botol air karena begitu lelah, ia harus mengikat rambutnya, menggulung lengan seragam hingga siku serta entah ke mana jubahnya karena tak ia kenakan sejak pagi. Begitu pula Gilbert yang sudah mengganti seragam dengan kaos berlengan pendek akibat peluh keringat memandikan tubuhnya. Entah mengapa, mereka memang perlu mengutuk matahari karena bersinar terik.

"Bagaimana si kecil itu, sudah kauhubungi?" ujar Gilbert berjalan bersisian dengan Frisca yang kembali mengecek cyubes-nya.

"Sudah, cuma dibaca saja, tidak ada balasan," ujar Frisca berharap manusia satu itu baik-baik saja, tidak berbuat keonaran yang mengancam nyawanya, jika sekali saja gadis itu kenapa-kenapa apalagi terluka maka Frisca dan Gilbert akan terancam nyawanya karena amarah Anila.

"Sialan, dia belum juga berubah, selama tiga bulan. Dia membalas pesanku hanya tiga kali saja! Itu pun cuma ya, tidak, dan sialan." Gilbert pasti akan mendapatkan penghargaan sebagai manusia paling sabar karena ada Aalisha. "Jadi kauminta kita bertemu di mana?"

"Arah koridor kantin rumah pohon, Aalisha habis dari kuil, jadi kusuruh bertemu di sana." Frisca merasa jika beberapa pasang mata tengah memperhatikannya dan Gilbert, kebanyakan kakak tingkat, sejak tadi yang berlalu-lalang memang kakak tingkat, tidak ia lihat anak seangkatannya.

"Ya di luar dugaan, anak itu rajin berdoa," ucap Gilbert yang diingat ulang, ia jarang sekali pergi ke kuil. "Kira-kira apa yang dia doakan?"

Frisca melirik sesaat. "Entahlah, yang jelas, tak ada namamu di doa Aalisha."

"Kau juga ya! Sepertinya dia tak menyebut nama kita bahkan Anila dan Mylo."

"Memang kau berdoa menyebut nama kami atau mendoakan kebaikan untuk kami?" balas Frisca cepat.

Gilbert malah menatap ke arah lain seolah mengindari pertanyaan itu. "Tidak, tapi aku waktu itu berdoa agar kita bisa lulus sama-sama."

"Alasan, masih lama lulus, pikirkan tuh ujian mantra sama ramuan! Jangan kauledakan terus!"

"Banyak omong," sahut Gilbert asal hingga ia menarik seragam Frisca agar gadis itu berhenti.

"Apa?! Jangan asal tarik." Frisca berucap lalu kebingungan dengan wajah pucat agak takut terukir pada Gilbert. "Kenapa?"

"Lihat sebelah kanan." Setengah berbisik, Gilbert memberikan isyarat melalui mata akan segerombolan kakak tingkat laki-laki tak jauh dari posisi mereka.

"Abaikan saja," sahut Frisca langsung paham kode yang diberikan Gilbert. Gadis itu kemungkinan cocok menjadi ahli Semiotika.

Mereka kembali melangkah dengan keyakinan untuk membiarkan gerombolan penggosip yang bisa-bisa mengalahkan Lè Ephraim dalam menyebarkan berita sedang memanas. Namun, salah satu penggosip menyadari Frisca dan Gilbert atau lebih tepatnya mengenal mereka berdua, maka ia mulai mengeraskan suaranya.

"Sudah kubilangkan selain pendek dan cacat, kasta rendahan bernama Aalisha itu cocok jadi penjilat. Oh bisa saja dia dididik kedua orang tuanya menjadi manusia setengah anjing."

Kakak tingkat, laki-laki bernama Gezmez langsung menyahut, "kira-kira kuberikan daging, apa dia akan menggonggong untukku?"

"Nah Jasmine, bisa beritahu aku bagaimana wajah gadis cacat itu agar segera kuberikan makanan gratis," sahut Devury.

Jasmine tersenyum simpul, betapa ia bahagia karena semakin banyak yang membenci gadis songong nan congkak itu padahal kasta saja tak punya. "Lihat saja di belakang kalian, ada kedua temannya yang sedang panas saat ini."

"Wah, wah, apa yang kalian lakukan, mau ikut menyebarkan fakta?" timpal Bethany.

"Tarik kata-kata kotor kalian, dasar bajingan kalian semua!" ucap Gilbert sudah mengepalkan kedua tangannya sampai urat-uratnya terlihat. Ia geram, berang, bibirnya terkatup.

Devury mendongak, menilik wajah Gilbert. Kemungkinan adik kelasnya ini bangsawan tingkat rendah atau malah rakyat jelata? Mana yang benar, ia tak peduli karena bagaimana pun juga, kastanya lebih tinggi dibandingkan Gilbert. "Jadi kalian teman si gadis cacat? Kasihan sekali, mengapa bisa kalian bersama dengannya, apa tak takut jika nama kalian jadi tercemar dan kotor?"

"Kautak punya hak untuk mengatakan itu, lagi pula opini busukmu, tidak diterima," balas Frisca. Langsung saja Devury berdiri dari posisi duduknya. Ia jangkung dengan rambut sampai menyentuh telinga.

"Kalian masih junior angkatan pertama, mengapa bisa sesombong ini pada kami?" Devury semakin mengintimidasi dengan cara memancarkan energi neith-nya.

"Apa kau lupa," sambung Gezmez, "mereka berdua kan teman anak cacat yang suka melawan orang lain bahkan rumornya berani pada Keturunan Agung."

"Ah kau benar Gez." Devury maju hingga ke hadapan Gilbert karena sejak tadi adik tingkatnya ini menahan amarah yang meluap-luap. "Aku bertanya-tanya, berapa harga yang gadis itu, agar mau memperbaiki etikanya?"

Tali kesabaran Gilbert putus maka dia langsung menggunakan mantra, tetapi mantra itu meleset dan hanya menggores sedikit di pipi Devury. Darah mengalir hingga ke dagunya, lalu diseka pelan dengan punggung tangan. "Berani kau sialan!"

Bisa Gilbert rasakan perutnya terkena hantaman yang begitu kuat seolah mampu menggeser tulang rusuknya, maka tubuhnya terbanting ke lantai, suara berdebum nyaring terdengar di sepanjang koridor.

Devury lalu mengangkat tangannya. "Adtritisium Harenae Pulvis." Suara jentikan jari terdengar, muncul di atas tubuh Gilbert, serbuk pasir pantai, perlahan-lahan semakin banyak hingga menggumpal dan membentuk kotak padat, maka gumpalan pasir padat itu dijatuhkan ke tubuh Gilbert. Suara pekikan terdengar dikarenakan rasanya seperti dihantam bongkahan batu, tetapi bongkahan batu itu kini terhambur ke lantai. Kemudian Devury mengikat kedua tangan dan kaki Gilbert dengan pasir-pasir tersebut yang menjadi sebuah tali.

"Gilbert! Gila kalian!" Frisca berteriak, menyerang. Namun, Gezmez berhasil menahan tangan kurus Frisca kemudian digenggam sangat kuat. Terasa sakit ketika Gezmez semakin menekan tangan kurus Frisca seolah hendak dipatahkannya.

"Jangan dong, perempuan harus anggun, cukup teman kalian saja yang seperti anjing gila." Gezmez merapalkan mantra singkat yang perlahan semacam benang hijau menjalar ke lengan Frisca yang membuat gadis itu akhirnya tertunduk, tubuhnya terasa berat, gravitasi memaksa menarik tubuhnya.

"Mengapa tak kaucoba mantra yang kautemukan di buku?" ujar Jasmine menginterupsi.

"Boleh saja." Gezmez tersenyum simpul. Beberapa hari lalu, dia menemukan buku berisi mantra di perpustakaan paling atas milik Eidothea. Awalnya dia pikir mantra itu adalah mantra kuno yang mengerikan, tetapi setelah ditelusuri, ternyata mantra jenaka, penuh kejenakaan yang membuatnya jadi tak sabar mencoba mantra-mantra itu.

Ada satu mantra yang paling ia ingat jadi diucapkannya begitu lantang kemudian muncul pentagram sihir di atas tubuh Frisca, setitik air dingin menetes ke atas kepala gadis malang itu hingga berangsur-angsur menjadi air bah yang sukses membasahi sekujur tubuh Frisca. Kini ia terdiam, menggeletar, hendak menangis, tetapi ia tahan. Pikirnya, ia tak masalah jika basah karena air saja dibandingkan terluka hingga berdarah. Hanya saja Frisca menarik pemikirannya sendiri setelah Gezmez berujar.

"Ops, kurasa ini bukan sekadar mantra jenaka." Tersenyumlah Gezmez. "Kira-kira apa warna pakaian dalammu, merah atau hitam?"

Frisca tahu bahwa berangsur-angsur seragam akademi yang ia kenakan ini meleleh hingga sobek, seolah-olah kain yang dilalap api, seolah daun yang dimakan ulat, begitulah umpama seragam Frisca yang terkena sihir Gezmez. Kini sebagian tubuhnya terlihat, terutama di bagian punggung, parahnya sampai menampakkan kulit dan juga pakaian dalamnya. Air dari sihir Gezmez itu juga perlahan melelehkan pakaian dalamnya.

Sadar sekali apa yang terjadi pada dirinya sendiri, Frisca langsung diam mematung, tubuhnya gemetar ketakutan, air matanya mulai menetes, ia tak kuasa menggerakkan tubuhnya apalagi balik melawan.

"Ah, mungkinkah itu warna merah?" timpal Devury kemudian terkekeh.

"Sepertinya iya," sahut Gezmez.

"Dasar bajingan kau!" teriak Gilbert karena kemesuman yang dilakukan kakak tingkatnya itu. "Bajingan, gila, bangsat, apa yang kaulakukan padanya! Kemari kau keparat!! Kemari kauuuu! BANGSAT KEMARI KALIAN!" Gilbert sampai meneteskan air mata karena tidak mampu menolong Frisca akibat mantra Devury yang terus menjeratnya. Dia terisak, dadanya sakit seperti ada ribuan pedang menusuk, betapa hancurnya ketika dia melihat temannya dilecehkan begitu.

Jasmine dan Bethany malah terdiam, mereka tak tahu jika mantra itu akan berakhir seperti ini, mereka juga tak mampu berbuat apa-apa karena tidak menyangka jika hal ini akan terjadi. Keterlaluan, semua ini keterlaluan bahkan bisa dianggap pelecehan, tetapi keduanya tak berani membantu atau menolong terlebih lagi kedua kakak tingkat ini berada di tahun kelima. Mereka tak mampu melawan, lagi pula, bukankah kedua manusia menyedihkan itu adalah teman si gadis cacat? Untuk apa Jasmine dan Bethany membantu mereka.

"Hei jangan menangis," ujar Gezmez melembut-lembutkan suaranya, "tidak sampai semua yang kau kenakan, hanya sedikit saja, bukankah sudah biasa seragam hancur karena pertarungan apalagi di medan perang. Lagi pula kau punya tubuh yang bagus kok."

"Hei sialan!" Gezmez berdecak karena Frisca tak menyahut malah terus-terusan menangis. "Sudah kubilang berhenti menangis. Apakah kau tuli!"

Gezmez hendak menyentuh dagu Frisca agar membuat gadis itu mendongak dan menatapnya. "Lihatlah aku, jangan menangis atau kau—AARRRKKKHHH."

Sekonyong-konyong Gezmez terpental jauh hingga tubuhnya menghantam dinding, suara berdebum nyaring terdengar, tiang lentera juga jatuh ke kepalanya. Darah mengucur bersamaan sakit di punggung seolah mati rasa. Serangan ini sangatlah kuat, membuat perut Gezmez berdenyut ngilu, tulangnya kemungkinan bergeser, lebam biru tercetak, serta ia memuntahkan saliva bercampur darah dengan kasar.

Perlahan kaki seseorang berpijak kembali di lantai setelah berhasil menendang perut Gezmez dengan sangat kuat. Kini jubah Arevalous miliknya direntangkan selebar mungkin kemudian diselimutkan ke tubuh Frisca. Frisca tersadar, kini pelan-pelan mendongak pada sosok gadis kecil—Aalisha yang berdiri di depannya dengan begitu kokoh dan tak ada rasa takut.

Suara Aalisha kini dipenuhi amarah, sedangkan tatapannya begitu dingin dengan wajah menggelap seolah badai hitam yang ia panggil segera menyelimuti dunia.

"Sialan, apa yang kau lakukan padanya?" ujar Aalisha, "dasar manusia keparat."

Sesaat hening memenuhi keadaaan karena kebanyakan dari mereka tak menyangka jika Aalisha mampu menendang Gezmez hingga terpental jauh. Bukankah itu tenaga yang sangat besar? Masa bodoh! Gezmez menyeka ujung bibirnya yang berdarah, tanpa banyak bicara, ia langsung menerjang ke hadapan Aalisha.

"Kemari kau gadis cacat!"

Gezmez hendak membalas dengan tendangan. Namun, Aalisha bisa membaca serangan itu jadi ditangkisnya dengan kakinya juga sebelum Gezmez mengeluarkan kekuatan penuh, Aalisha langsung mengincar pusat keseimbangan Gezmez, menendang kuat lutut termasuk sendinya. Lelaki itu menjerit sakit dan kehilangan keseimbangan, lalu Aalisha menghantam wajahnya dengan kepalan tangan.

Gadis itu lekas menyelubungi tubuhnya dengan neith yang tak terkendali. Melakukan serangan demi serangan yang dipelajarinya bersama Arthur. Maka berhasil ia menghantam beberapa titik tubuh Gezmez hingga wajah lelaki itu, darah tak berhenti mengucur dari hidung maupun harus dimuntahkan melalui mulutnya. Wajahnya mulai lebam pula akibat serangan Aalisha.

"Percusserom Impetum." Aalisha merapalkan mantra paling mudah, tetapi daya serangnya begitu kuat hingga Gezmez terpelanting lagi ke lantai.

Kemudian gadis kecil itu menjulurkan tangan dengan jemari terbuka lebar. "Frigus Aquemerium." Ia memunculkan pentagram biru pudar di atas tubuh Gezmez yang masih kesakitan, melalui pentagram sihir itu air bah turun layaknya air terjun, membuat sekujur tubuh Gezmez basah kuyup hingga lantai di sana mulai tergenang air.

Tidak memberi ampun, Aalisha berjongkok, dua jari kanannya masuk ke genangan air yang berada di dekat sepatunya, kembali ia merapalkan mantra, "Diffunditur Elektra." Melalui tangan Aalisha, sinar kebiruan berupa listrik keluar yang menjalar melalui genangan air, dikarenakan tubuh Gezmez basah maka listrik tersebut merambat ke tubuhnya. Sinar kebiruan ibarat petir bergemuruh di langit terlihat menyelimuti Gezmez yang terkapar, membuat lelaki itu terkena sengatan listrik yang sangat menyakitkan. Suara teriakan, jeritan melengking terdengar memenuhi koridor. Bau gosong mulai menguar ke udara. Bersamaan suara memohon ampun, tetapi Aalisha tidak bisa mengendalikan sihirnya itu, dan tidak peduli pula dengan sihirnya yang tak terkendali semakin menyakiti tubuh Gezmez. Jadi Aalisha hanya memasang wajah datarnya, menatap tubuh Gezmez yang masih dialiri listrik, kini mengejang lah tubuh itu.

Di sisi lain, mereka yang menyaksikan bagaimana Aalisha mengalahkan Gezmez hanya bisa terdiam, mulut mereka terkatup, mata agak melotot, sungguh tak percaya mereka. Devury melihat temannya terkapar di lantai, ia berang.

"Bajingan, kubunuh kau!" teriak Devury melesat cepat seolah menghilang kemudian muncul di samping Aalisha serta berhasil dia menghantam perut Aalisha hingga terpelanting, Aalisha memuntahkan saliva dan darah mengalir dari hidungnya begitu juga telinganya, perlahan darah itu menetes ke lantai, ada yang mengenai sepatunya sendiri.

Punggung tangannya menyeka darah di hidung, agak mulai keram kedua tangannya. Terlebih lagi kulit jari-jemarinya terluka, mengeluarkan darah, dan agak membiru karena melancarkan tinju pada Gezmez. Namun, Aalisha tak peduli jadi dia kembali menyelubungi seluruh tubuhnya dengan neith.

Memunculkan pentagram sihir di sekitar Devury, lalu menerjang, sambil merapalkan mantra lagi. "Igniesco!"

"Kau gila, ini mantra tingkat tinggi!" teriak Devury berusaha melindungi dirinya dengan memasang selubung neith.

Aalisha menyeringai kecil, rencananya berhasil karena ia tak berniat menggunakan sihir. Pertahanan tubuh Devury terlalu banyak celah, maka gadis itu menghilangkan pentagram sihirnya kemudian mulai menyerang dengan telapak tangan yang dialiri neith. "Fortis Foras!"

Serangan tak terduga itu membuat Devury tersentak hingga tak mampu melawan balik ketika tubuhnya terasa sakit terutama di bagian perut yang Aalisha serang, lalu dengan cepat bagaikan anak panah dilesatkan, gadis kecil itu menendang wajah kanan Devury dengan kaki kanannya hingga lelaki itu oleng. Masih tak memberi jeda, ibarat Arthur yang tak merasa kasihan pada Aalisha. Maka gadis itu menyerang setiap titik lemah Devury hingga puncaknya ketika dia menendang kuat area selangkangan, lebih tepatnya menendang kuat alat vitalnya hingga Devury merasa sangat sakit, hancur, air matanya mengucur, teriakan bergema, dan jatuh terkapar.

Aalisha terengah-engah, keringat membasahinya, ia menjulurkan tangan ke hadapan Devury sambil berujar, "Igniesco." Serangan api itu tercipta dan berhasil membuat Devury merasakan panas mengoyak tubuhnya. Meski daya hancurnya kecil karena neith gadis itu sudah terkuras, tetapi mampu membuat Devury benar-benar merasa tak berdaya. Ia hanya mampu terjaga sedikit dengan pandangan buram, tetapi menyeringai kecil karena di belakang Aalisha, terlihat Gezmez meski sempoyongan, perlahan kembali bangun lalu merapalkan mantra yang menciptakan pisau kecil tak kasat mata.

"Anjing gila!" Gezmez muncul di belakang Aalisha, berhasil menggores wajahnya. Darah segar mengalir, tetapi gadis itu tak merasa sakit.

Karena kekuatanku tidak stabil, dia bisa memperkecil efeknya. Aalisha sudah tahu jika hal ini terjadi, masalah baginya karena dirinya seorang niteleum yang tidak stabil energi atau neith-nya. Akhirnya Aalisha melawan dengan cara menghindari setiap serangan Gezmez yang terus-menerus gagal. Perlahan seringai gadis kecil itu terbentuk.

Keduanya terlihat seperti gerakan yang diperlambat atau gadis itu yang merasa jika segalanya menjadi lambat. Maka Aalisha memberikan hantaman di ulu hati Gezmez, lalu bergerak cepat ke belakang kemudian menyerang punggungnya. Aalisha meraih lengan kanan Gezmez yang membawa pisau tak kasat mata, dipelintir tangan tersebut lalu dialirkan neith kebiruan yang dalam sekejap saja, suara tulang patah terdengar keras membahana bersamaan jeritan melengking serta rasa sakit bergema karena Aalisha mematahkan tangan kanan Gezmez.

"Akibat karena kau berani menggunakan sihir menjijikkan pada Frisca," ujar Aalisha dengan suara begitu dingin. Namun, dibaliknya menyimpan amarah layaknya gunung api meletus.

Setelah berhasil mematahkan tangan kanan Gezmez. Lekas ia memunculkan invinirium, mengambil tongkat besi dari dalam sana. Digenggamnya sangat kuat hingga tongkat besi itu memanas kemudian diraihnya tangan kiri Gezmez lalu ia tancapkan tongkat panas tersebut hingga menembus tulang tangan kiri Gezmez yang kini dia kembali berteriak kesakitan.

"Sudah, hentikan!" teriak Gezmez.

Setelahnya, Aalisha lekas mencengkeram kuat rambut Gezmez, neith biru menyelubungi telapak tangan Aalisha. Kemudian dia hantamkan wajah Gezmez ke lantai, jeritan lelaki itu terdengar melengking lagi, maka dihantamkan Aalisha lagi wajah Gezmez ke lantai, jeritan kembali terdengar. Darah mengalir memenuhi wajah Gezmez, menetes ke lantai, serta terciprat sedikit ke wajah Aalisha. Sesaat gadis kecil itu menyeka darah di pipinya, lalu kembali menghantam kuat wajah Gezmez ke lantai, jeritan sudah tak terdengar, karena digantikan suara remuk. Apakah sudah usai? Tentu saja tidak.

Tanpa ampun, dihantamkan lagi dan lagi dan lagi dan lagi oleh Aalisha sekuat mungkin hingga dirasa tulang hidung lelaki itu patah, wajahnya bonyok, darah bercucuran dari hidungnya, gigi retak hampir hancur, bibir terkoyak dan sobek, serta mulutnya mengeluarkan banyak darah—baru Aalisha melepaskan cengkeramannya. Kini lelaki itu ambruk ke tanah.

"Balasan karena perbuatan tak terpujimu pada seorang wanita." Gadis itu berujar dengan ekspresi datar, tak peduli ketika wajah Gezmez sudah tak berbentuk. Tak peduli tangan kanan Gezmez patah, tak peduli pula ia karena tangan kiri Gezmez membengkak, tulangnya retak karena tongkat besinya yang menembus tulang.

Kini Aalisha merasa sekujur tubuhnya jadi ikutan sakit, dia memuntahkan darah. Dari hidungnya juga darah menetes hingga ke lantai, darah di telinganya semakin banyak keluar, pandangannya perlahan buram. Namun, sungguh tak sedikit pun gadis kecil itu menyesal atau memperlihatkan tanda-tanda akan ambruk ke tanah.

"Sialan, apa-apaan yang aku lihat ini," gumam Jasmine tidak mengedipkan mata, hanya diam seperti patung menyaksikan segala kebrutalan di sini. Gadis kasta bawah itu berhasil mengalahkan kedua kakak tingkatnya dengan begitu kejam dan sadis? Sungguh gila!

Bethany ikutan berujar meski pelan. "Ini gila, kita akan terkena imbasnya juga, kita harus per—"

"Mau pergi ke mana kalian?" ujar Aalisha tanpa peduli pada kondisinya, perlahan melangkah meski sempoyongan. "Selanjutnya adalah kalian. Bukankah kalian termasuk komplotan mereka? Aku bukanlah manusia yang baik, jadi tak peduli jika sesama perempuan juga kuhancurkan. Luceum Avis Volareis." Aalisha merapalkan mantra yang membuat benda-benda di sekitarnya melayang terutama pecahan kaca dari lentera yang hancur.

"Bagusnya kubutakan mata kalian sebagai balasan karena hanya diam saja padahal melihat seorang lelaki melecehkan perempuan."

"AALISHA SUDAH! HENTIKAN!" teriak Frisca, tubuhnya masih gemetar, air matanya kembali menetes karena tidak tega melihat gadis kecil itu terluka bahkan darah masih menetes dari hidung dan telinganya. "Kumohon hentikan, kaujuga terluka. Kumohon, cukup, cukup. Aku sudah tak apa. Aku sudah tak apa, jadi cukup, sudah cukup."

Aalisha menghentikan langkah serta sihirnya, membuat Jasmine dan Bethany menghela napas. Manik mata Aalisha melirik sesaat pada Frisca yang tidak berhenti air matanya menetes. Sialan, rasanya kepala Aalisha hendak pecah, pandangannya semakin buram. Sesaat ia berpikir, semua yang dia lakukan saat ini adalah dengan kesadarannya. Bukan karena hilang kendali, dia masih bisa berpikir jernih. Namun, pertanyaannya adalah mengapa dia mau membuat dirinya sendiri terluka? Apakah karena dia memiliki rasa kemanusiaan ataukah karena dia marah karena seorang teman dilecehkan, benarkah karena teman?

Devury menyadari gadis itu juga sudah mencapai batas, meski tangannya gemetaran, tetapi ia arahkan pada Aalisha, rapalan mantra keluar dari mulutnya.

"Aalisha awas!" teriak Gilbert. Namun, Aalisha terlambat menyadarinya.

Melalui mantra Devury, lima pisau sangat tajam melesak begitu cepat ke arah Aalisha. Saat gadis itu menoleh, bisa ia lihat lima pisau hendak menusuk wajah. Dalam hitungan detik segera membutakan mata maupun menusuk tubuhnya. Jadi Aalisha lekas melindungi area mata dengan tangan kanan. Harusnya serangan Devury berhasil menggores atau parahnya menembus tubuh gadis itu, tetapi kelima pisau malah tertahan selubung neith yang mengelilingi Aalisha membentuk pelindung kecil sehingga kelima pisau tidak berhasil melukai gadis itu. Setelah tertahan pelindung neith, kelima pisau itu berjatuhan ke lantai.

Devury melotot, sebenarnya seberapa kuat gadis itu sampai bisa membuat pelindung dalam hitungan detik? Tidak, diperhatikan jelas, bukan gadis itu yang membuat pelindung, tetapi ada seseorang yang melakukannya. Ada seseorang yang menyelamatkan gadis itu di detik-detik terakhir. Keparat, pasti ada seseorang di sekitar sini, itu artinya seseorang ini mengetahui segala yang terjadi. Sialan, mana dia?!

Kini tubuh Devury meremang dan aura mengerikan terasa mengelilinginya maupun yang lain. Suara langkah kaki terdengar karena sepatu hak tinggi bersinggungan dengan lantai. Bahkan melewati genangan air yang ternyata sudah menyebar ke mana-mana. "Bukankah sudah diberitahukan profesor Madeleine, untuk tidak berbuat kerusuhan? Mengapa kalian susah sekali menurut perkataan orang tua?"

Pandangan Aalisha yang buram itu perlahan menatap pada sosok wanita bergaun tanpa lengan, bagian depan gaunnya agak pendek mencapai lutut sehingga memperlihatkan kaki jenjangnya, dikarenakan gaunnya tak memiliki lengan maka digantikan dengan sarung tangan panjang mencapai siku. Wanita itu juga membawa buku kecil yang kini ditutupnya serta ia mulai menilik satu per satu murid di hadapannya.

Wanita itu juga mengenakan riasan wajah yang membuatnya semakin cantik bagaikan seorang model yang akan membuat siapa pun terpana hingga jatuh cinta. "Kebanyakan para murid hendak menjauh dari masalah, tapi kalian pembuat masalah ya? Kira-kira apa yang harus kulakukan pada kalian. Dihukum gantung, pasung, ditenggelamkan ke danau, atau dibakar dengan api naga."

Bethany menatap wanita tersebut kemudian berujar dengan tergagap. "Profesor Rosemary—" Perkataannya terhenti karena Rosemary mengangkat satu jari sebagai isyarat untuk diam.

"Aku tak meminta seorang pun untuk berbicara," ucapnya kemudian ia menjentikkan jari yang membuat mantra mengikat Gilbert hilang, ia terbebas, lekas lelaki itu menuju Frisca yang masih diselimuti jubah milik Aalisha.

"Kau tak apa?" tanya Gilbert.

"Aku tak apa." Frisca mengeratkan jubah Aalisha ke tubuhnya. Tercium aroma parfum yang gadis kecil itu kenakan. Entah mengapa terasa menenangkan.

Suara sepatu hak tinggi terdengar lagi melewati Gilbert dan Frisca, hendak menuju pada gadis kecil yang berdiri meski agak limbung, paling sebentar lagi akan ambruk juga, tetapi Aalisha memaksa agar tetap terjaga.

"Profesor Rosemary. Dia, gadis rendahan itu—" Devury tercekat karena tatapan Rosemary.

"Tidakkah kaudengar," ujar Rosemary, "aku tak mengizinkan seorang pun membuka mulut sebelum kuperintahkan! Atau kaumau kukoyak bibir dan lidahmu itu?" Devury langsung tertunduk dengan bibir ia tutup rapat-rapat. Perkataan Rosemary begitu menyeramkan. Seperti rumornya, profesor Rosemary sangat mengerikan ketika marah bahkan dikatakan lebih mengerikan dibandingkan master Arthur.

Kini profesor itu berada di hadapan Aalisha yang susah payah menatap manik matanya karena gadis itu masih terengah-engah dan darah tidak berhenti keluar dari hidungnya. "Aku sudah tahu semua yang terjadi, tak perlu kaujelaskan. Karenanya langsung jawab pertanyaanku saja, apa kau menyesali semua perbuatanmu itu?"

Rosemary menatap gadis kecil ini, begitu kurus, lengannya seperti tulang langsung dibalut kulit tanpa adanya daging atau pun otot. Dia pendek, mustahil bisa menjangkau benda yang tinggi di atasnya. Namun, gadis ini berhasil mengalahkan Devury dengan sihir tingkat tinggi tak terkendali dan menghancurkan wajah Gezmez. Harusnya gadis ini menyesali perbuatannya jika dia sosok gadis pemaaf dan tidak tega, tetapi semua kebaikan dan sifat pemaaf tidak terukir di manik matanya. Seolah-olah kekalahan tidak tercipta padanya pula, ia takkan mudah mengampuni orang lain.

"Tidak. Aku tak pernah menyesal, sedikit pun tidak pernah. Bahkan jika aku membunuh mereka berdua. Aku takkan menyesal. Jika pun aku dihukum mati atas semua perbuatanku, aku takkan memohon ampun dan takkan menyesal sama sekali."

Senyum tipis Rosemary terbentuk. "Bagus."

Maka perlahan pentagram sihir muncul, rapalan mantra singkat terdengar, dan semua yang kekacauan di sini seketika berangsur-angsur kembali normal. Air-air yang tergenang terserap ke lantai, darah yang di lantai seketika menghilang begitu saja, dan semuanya terlihat seolah tak pernah terjadi pertarungan sedikit pun.

Kemudian Rosemary menatap Gezmez yang masih terkapar di tanah, tetapi sudah mulai siuman lalu beralih menatap Devury yang masih tertunduk. "Gezmez Carryzim, Devury Karkarovic, aku tahu semua yang kalian lakukan. Lalu jangan pernah berpikir hanya karena kalian bangsawan maka tak ada hukuman."

Rosemary membuka telapak tangannya. Muncul sebuah gulungan dari kertas dluwang, kini dibuka gulungan kertas tersebut lalu Rosemary berujar dengan lantang. "Dengan segala perbuatan kalian, maka kalian berdua akan diberi hukuman, dipanggil kedua orang tua ke akademi dan kalian akan dikeluarkan dari akademi ini. Profesor Eugenius akan segera menyetujuinya, berkemaslah hari ini juga karena mulai esok kalian sudah dikirim ke rumah masing-masing."

Gezmez dan Devury hanya bisa diam membisu, hancur sudah hidup mereka, dikeluarkan dari Eidothea adalah bencana buruk bahkan mempengaruhi masa depan mereka, mencemarkan nama keluarga, membinasakan eksistensi sosial mereka di kalangan masyarakat, serta tak lama lagi akan dibicarakan dari mulut ke mulut bangsawan. Mereka hendak menentang, tetapi tak berani membuka mulut. Kini mereka bagaikan boneka rusak yang dibuang ke tempat sampah.

"Devury bantu Gezmez bangun."

Perlahan Devury mendekati Gezmez dan membantunya berdiri. Sayangnya tidak bisa, terutama kedua tangannya yang hancur dan mengenaskan tersebut. Rosemary menggeleng pelan, ia sama sekali tidak peduli pada kondisi muridnya tersebut.

Kini Rosemary menatap pada Jasmine dan Bethany. "Teruntuk kalian berdua, Nona Jasmine dan Nona Bethany, kalian juga akan dihukum karena membiarkan murid lain ditindas serta menjadi provokator. Lalu kedua orang tua kalian akan dipanggil ke akademi, surat ke kediaman kalian dikirimkan besok. Poin individu juga dikurangi termasuk poin asrama."

"Baik Profesor," ujar Jasmine.

"Akan kami lakukan Profesor," ujar Bethany.

Manik mata Rosemary beralih pada Aalisha lagi. "Lalu Nona Aalisha, meski kaumelakukan ini untuk membela kedua temanmu, tetapi menggunakan sihir tingkat tinggi yang tak bisa kaukendalikan untuk menyakiti orang lain, tetaplah pelanggaran. Kauakan tetap dihukum—"

"Aku tak masalah dihukum." Kini Aalisha sudah mulai baikan, ia berdiri tegap, sambil menatap sinis pada Rosemary. "Hukuman apa pun akan kujalani, tapi aku ingin bajingan berdua itu, Gezmez dan Devury segera bersujud dan meminta maaf sekarang juga di hadapan Frisca dan Gilbert."

"Sialan kau kasta bawah!!! Kami sudah dikeluarkan dari akademi dan kaumau kami bersujud di hadapan mereka?" teriak Devury, "harga diri kami takkan pernah melakukannya!"

Aalisha berbalik menatap Devury dan Gezmez. "Harga diri. Berani kalian berbicara harga diri padahal melecehkan seorang perempuan!! Kalian pikir hanya bangsawan saja yang memiliki harga diri! Bersujudlah di hadapan mereka berdua atau kubuat kalian cacat seumur hidup!"

Keduanya sontak merinding, bibir mereka terkatup rapat, rasa takut menjalar ke sekujur tubuh karena gadis itu terlihat sangat menyeramkan. Mengapa bisa? Mengapa mereka setakut ini pada seorang rakyat jelata?

Rosemary menyeringai kecil, ia terkekeh sesaat. Gadis kecil ini benar-benar menarik. "Aku setuju dengan perkataan Nona Aalisha, jadi sesuai dengan permintaannya ...."

Rosemary menjulurkan tangannya, menggerakkan dua jarinya ke bawah, maka sekejap saja, Gezmez dan Devury bergerak atas perintah Rosemary, kepala keduanya langsung menghantam lantai. Kini mereka dipaksa Rosemary untuk bersujud seperti yang Aalisha inginkan.

Jasmine menutup bibirnya dengan kedua tangan, Bethany hanya bisa terdiam. Gilbert maupun Frisca terbelalak kaget karena di dekat kaki mereka kini, kedua kakak tingkat yang berada dalam posisi bersujud, seolah seorang pendosa yang bersujud di kuil Dewa. Tubuh mereka gemetar karena tak mampu memberontak. Aalisha tak terkejut sama sekali seolah pemandangan ini sudah menjadi kesehariannya, perlahan gadis itu melangkah hingga di dekat kedua kakak tingkatnya yang tak berdaya itu.

"Meminta maaflah pada mereka atau kuhancurkan kalian lagi," ujar gadis itu dengan begitu pelan.

"Kami mohon, maafkan kami," ujar Gezmez dan air mata menetes. "Ampuni kami, atas segala yang kami lakukan tadi."

"Ampuni perbuatan kami, maafkan kami." Devury berujar juga. "Kami berjanji takkan melakukan hal seperti ini lagi."

"Profesor sudah cukup, mereka sudah meminta maaf," ujar Frisca sudah tak ketakutan lagi.

"Ya, kami sudah tak apa," sambung Gilbert.

"Baiklah jika itu mau kalian." Rosemary menyudahi sihirnya yang membuat Gezmez dan Devury terkapar kembali di tanah. "Khair al Din."

"Ya Master?" Muncullah seorang Orly bernama Khair al Din yang mengenakan pakaian khas bangsa Timur Tengah dengan sorban di kepalanya.

"Bawa kedua murid ini cacat ini, hati-hati pada satu murid yang tangannya hampir putus, oh lalu tolong bawa Tuan Gilbert dan Nona Frisca ke rumah sakit," perintah profesor Rosemary.

"Laksanakan Masterku." Khair al Din berbalik menatap murid-murid itu, dijentikkan jarinya maka perlahan sinar putih menyelubungi tubuh Gezmez dan Devury, kini mereka berdua menghilang dari sana, berpindah lokasi ke tempat yang entah di mana.

"Selanjutnya kalian," ujar Khair al Din pada Frisca dan Gilbert. "Aku akan membawa kalian ke rumah sakit." Kini neith putih milik Orly tersebut perlahan menyelubungi kedua murid di depannya.

"Tunggu!" teriak Frisca, sekonyong-konyong berlari ke arah Aalisha dan hendak memeluk erat gadis kecil itu. Namun, Aalisha malah menghindar, memberi isyarat jika ia tak mau dipeluk. Maka Frisca hanya tersenyum tipis. Kemudian berujar, "terima kasih, terima kasih banyak sudah menolongku. Maaf sudah membuatmu terluka begini, maaf, maaf." Air matanya kembali jatuh. Sayang sekali, gadis kecil itu tak bereaksi apa pun, ia hanya diam dalam kebingungannya. Setelahnya, perlahan selubung neith putih membawa Frisca dan Gilbert pergi dari sana. Bersama dengan Khair al Din yang juga menghilang.

"Pergilah kalian berdua ke kantorku," ucap Rosemary pada Jasmine dan Bethany, lekas pergi keduanya. Kini hanya tersisa Rosemary dengan gadis kecil yang masih terdiam bagaikan patung.

"Apa kau baik-baik saja karenanya menolak ke rumah sakit?" ujar Rosemary.

"Aku bisa melakukannya sendiri," sahut Aalisha terbebas dari lamunannya.

"Kau yakin, tidak sadar jika kau terluka dan berdarah, bahkan punggung telapak tanganmu memar," sambung Rosemary.

"Aku tak apa."

Rosemary memperhatikan Aalisha. Dia hanya mendengar rumor saja akan gadis dari kasta bawah yang pernah menentang keturunan Cornelius kemudian bersikap congkak padahal kastanya tidak sebanding dengan murid yang lain. Gadis ini juga dianggap cacat karena tak mampu mengendalikan neith. Namun, apa yang terjadi di sini, hampir seluruhnya karena perbuatan gadis ini.

Seorang gadis kecil yang tidak hanya membuat babak belur dan mematahkan tangan kakak tingkatnya, tetapi juga menghancurkan harga diri seorang bangsawan kelas atas sehingga harus bersembah sujud dan memohon ampun. Seolah tak perlu kasta dan posisi, gadis ini tetap mampu menundukkan manusia lain.

Bukankah mengerikan, seorang gadis tanpa kasta berhasil membuat manusia dari kasta bangsawan tertunduk dan bersujud?

Sialan Arthur, entah gadis macam apa yang ia bawa ke akademi ini.

"Aku penasaran bagaimana cara Arthur mendidikmu."

"Maaf?" sahut Aalisha.

Wanita itu tersenyum kemudian menyibak gaunnya dan perlahan melangkah pergi. "Jangan lupa obati lukamu itu. Lalu sampai bertemu lagi, Nona Aalisha."

Sepeninggalan profesor Rosemary, Aalisha masih terdiam, tak beranjak sedikit pun, dia merasa tubuhnya mulai sakit, tetapi bisa ditahannya. Perlahan ia menyentuh dadanya, merasakan degup jantung yang tak karuan, entah mengapa perasaan asing itu kembali memenuhi. Lalu segera dia enyahkan. Kini dia menoleh ke arah jam sepuluh karena sejak tadi ada tukang intip di sana. Ia berujar meski suaranya agak serak. "Keluarlah, aku tahu kau ada di sana sejak tadi."

Perlahan sosok lelaki dengan jubah Gwenaelle menyelimuti memperlihatkan dirinya. Ia menyurai rambutnya yang panjang, aroma buah zaitun bercampur wangi melati tercium, manik mata biru tanzanit itu menilik Aalisha, memperhatikan gadis itu yang terluka parah, tetapi masih mampu berdiri dengan kokoh. "Ketahuan, aku tak pandai bermain petak umpet."

"Kaumenyaksikan semua yang terjadi dari awal, benar bukan, Athreus?"

"Kalau iya, lalu kenapa? Aku hanya kebetulan lewat, lalu kedua kakak tingkat bajingan itu mulai mengusik kedua murid tadi, awalnya aku tak peduli, tapi setelah kuperhatikan ternyata adalah kedua temanmu. Jadi aku memantau—"

"Kau yang mengarahkan profesor Rosemary ke sini 'kan?"

Athreus terdiam, ada ekspresi yang sulit digambarkan terpancar darinya. "Maaf?"

"Kau juga yang membuat murid-murid lain tak bisa melewati koridor ini agar tidak ada yang menonton kemesuman kakak tingkat itu. Sehingga Frisca tidak bisa dipermalukan di depan banyak murid, padahal salah satu tujuan Gezmez dan Devury adalah mempermalukan Frisca." Aalisha menilik Athreus.

"Hmm, tentang itu ...."

"Kau juga lah yang menciptakan selubung pelindung ketika pisau-pisau Devury hendak melukaiku." Aalisha semakin menatap Athreus. "Kau yang melakukannya, bukan profesor Rosemary."

Perlahan Athreus menyeringai kecil. Hal ini menjadi jawaban jika semua yang Aalisha katakan adalah kebenaran. "Alasannya?" ucap Aalisha kembali.

"Utang budi, anggap saja, balasan karena telah menolongku dari serangan lembing hari itu. Lalu dibandingkan aku turun tangan, lebih baik profesor Rosemary yang melakukannya agar mereka langsung dikeluarkan dari akademi."

"Aku tak percaya seorang Majestic Families sepertimu bisa berutang budi, pasti kau punya maksud lain yang tidak baik."

"Terserah kaumau berpikir seperti apa," ujar Athreus begitu santai. "Namun, itulah kenyataannya. Aku hanya berutang budi padamu."

"Aku tidak perlu ditolong olehmu, aku tak juga menganggap jika kaupunya utang budi padaku. Namun ...." Perlahan Aalisha membungkuk, memberi penghormatan dengan sangat tulus. "Aku berterima kasih karena sebelum aku datang, kau melindungi Frisca agar seluruh seragamnya tidak terkoyak. Kau telah melindungi kehormatannya, karenanya aku berterima kasih. Lalu semoga Dewa selalu memberkahimu."

Setelahnya Aalisha melenggang pergi dari sana tanpa menunggu kalimat yang hendak diucapkan Athreus. Kini lelaki itu melihat punggung kecil Aalisha tanpa balutan jubah, begitu kuat seolah punggung dan tubuhnya itu sudah berkali-kali melewati rasa sakit, tetapi tak kunjung meruntuhkannya. Kini perlahan punggung itu menjauh hingga hilang dari pandangannya. Athreus tersenyum simpul, lalu membungkuk sesaat seolah memberikan penghormatan balik pada Aalisha.

"Semoga Dewa memberimu umur panjang, agar suatu hari, aku bisa melihat dirimu yang sebenarnya."

****

Aalisha merasa lengannya ngilu meski sudah diobati dan lukanya diperban. Ia mengambil kursi kecil tak jauh dari posisinya, berpijak di atas kursi itu sambil menyusun satu per satu buku ke dalam rak sesuai dengan nomor jenis dan nomor seri buku tersebut. Ini adalah hukuman yang diberikan pada Aalisha, merapikan buku-buku di perpustakaan.

Cukup mudah dibandingkan dengan hukuman yang pernah Arthur berikan, tetapi sangat menyebalkan karena ada banyak buku di sini. Hendak sekali dia mengumpat pada setiap murid pengunjung perpustakaan karena tidak menyusun buku mereka kembali pada rak semula. Aalisha sudah memulai hukumannya dari habis makan malam hingga jarum jam hampir menunjukkan pukul sepuluh malam. Gila, dia jadi babu di perpustakaan, mana malam hari pula.

"Perhatikan benar-benar, jangan sampai kausalah susun. Lihat jenis bukunya, penulis, sampai nomor seri, awas saja sampai mengacaukan semua ini!" oceh seorang Orly lelaki dengan rambut jingga dan mengenakan kacamata bulat, ia bernama Dullah. Dia salah satu penjaga perpustakaan ini dan yang mengawasi Aalisha, tetapi ketahuilah, dia banyak oceh serta sangat tak menyukai Aalisha. Tak suka di sini bukan berarti tak suka dalam artian membenci anak-anak yang ribut di perpustakaan, tapi lebih ke arah diskriminasi dan rasis karena Aalisha bukan berasal dari kaum kasta atas.

Aalisha sebenarnya tidak heran dengan sikap dari para Orly yang memang memandang kasta apalagi masternya seorang manusia berkuasa, misalnya saja Finnicus, si Orly bajingan yang membuat Aalisha terseret kuda berkilo-kilo jauhnya. "Suatu hari kubakar Finnicus itu."

"HEI NAK, CEPATLAH, KENAPA LAMBAT SEKALI. INI HAMPIR TENGAH MALAM."

"Mula-mula kubakar Orly itu dahulu," gumam Aalisha. "Mengapa tak gunakan sihir, bukankan lebih mudah?!" ucapnya pada Dullah yang sedang berkacak pinggang.

"Sihir?" Dullah tersenyum meremehkan, "mana bisa manusia cacat sepertimu menggunakan sihir untuk mempercepat semua ini. Adanya kauhancurkan perpustakaan ini."

Aalisha diam, ia malas menanggapi.

"Aku akan pergi sebentar karena ada urusan, nanti aku kemari lagi, semoga kau tidak mengacau." Dullah beranjak pergi, harusnya Orly itu membantu Aalisha juga karena hukuman Aalisha adalah membantu Dullah bukan menggantikan tugasnya. Lihatlah betapa Orly itu akan baik hati jika bangsawan yang berkunjung ke perpustakaan. Dullah sama sekali tak berniat membantu bahkan dia tak menyebut nama Aalisha dengan baik. Sialan, tugas ini masih lama sedangkan ia juga lelah padahal belum sembuh pula luka-lukanya.

"Sudah terlanjur jadi sekalian saja." Aalisha mengayunkan tangannya dengan pelan seperti seorang balerina yang melakukan gerakan tangan begitu lembut dan gemulai.

Kini keajaiban sihir terjadi kembali, satu per satu buku di lantai terbang dan kini masuk ke rak yang sesuai dengan jenis, genre, nomor seri, nama penulis, bahkan tahun terbit. Aalisha tidak perlu bergerak susah payah karena semuanya benar-benar bergerak sendirinya seperti punya kesadaran buku-buku itu. Bahkan sampah kertas berserakan di sekitar lorong Aalisha berpijak ikutan terbang dan lenyap dilalap api. Tidak sampai lima menit, semua pekerjaan Aalisha selesai bahkan lorong ini terlihat bersih.

"Pekerjaan mudah—"

"Apa?" Suara itu terdengar bersamaan dengan mata melotot Dullah dan mulut menganga. "Kau, apa yang kau lakukan, mengapa bisa secepat ini, sihir yang—"

Dullah tersentak ketika Aalisha muncul di hadapannya, tidak terlihat gerakan gadis itu yang sangat cepat seolah melebihi kecepatan cahaya. Tangan kecil Aalisha terbuka dan berhasil meraih rambut Dullah, ia tarik kepala Dullah agar mendekat pada Aalisha kemudian gadis itu berbisik tepat di telinga Orly itu. "Tidur," ujar Aalisha kemudian melepaskan cengkeramannya yang menyebabkan tubuh Dullah ambruk ke lantai dan dia tertidur lelap.

Muncul sapu tangan putih dan juga botol semprot berisi cairan pembersih. Aalisha menyemprot kedua telapak tangannya, lalu dikeringkan menggunakan sapu tangan. "Lain kali, takkan kusentuh makhluk menjijikkan sepertimu." Segera dia melenggang, meninggalkan Dullah yang tertidur, barangkali pingsan.

****

Pukul setengah sebelas malam adalah waktu ketika Aalisha menyusuri koridor yang hanya diterangi lentera kekuningan. Ia harus mencari jalan yang tak dijaga Orly karena tak mau dikira sedang berkeliaran, serta tak mau poinnya dikurangi.

Baru ingat untuk mengecek cyubes yang banyak sekali pesan dari Anila, Mylo, terutama Frisca dan Gilbert. Ah, iya, Aalisha lupa menemui mereka berdua karena setelah kejadian tadi siang, keduanya beristirahat di rumah sakit sedangkan Aalisha menghabiskan waktu di asrama, ketika makan malam pun, keduanya tak terlihat di ruang makan bersama jadi tak ada waktu bagi mereka untuk bertemu.

Aalisha hanya membaca seluruh pesan dari Frisca tanpa hendak membalasnya sedangkan pesan yang lain, dia abaikan. Apalagi pesan Anila yang berisi, apa kau baik-baik saja? Firasatku buruk, tetapi kuyakin kau tak apa dan menikmati hari ini dengan lancar.

"Andromeda itu cenayang atau gimana?" gumam Aalisha. Kemudian radar kewaspadaannya aktif yang lekas Aalisha bersembunyi dibalik tembok karena baru saja dia melihat seseorang membawa lentera redup melintas.

"Bukankah itu ... Viscount Lugaldaba." Jelas sekali jika yang barusan melintas adalah tamu pada hari ini. Baru Aalisha tahu jika pria itu menginap di sini. Lalu mengapa dia berkeliaran di tengah malam?

"Sialan aku harus pergi." Aalisha sama sekali tak bermaksud terlibat dengan rencana gila ini, biarlah rencana apa pun itu, bahkan menghancurkan akademi ini. Aalisha tak peduli. Namun, dari kejauhan dia melihat sesosok Orly bertubuh besar yang tengah menatapnya, maka Aalisha langsung putar balik karena sadar jika Orly itu adalah Orly yang dia temui di pertigaan koridor ketika ada profesor Ambrosia dan Hesperia.

"Gawat, aku harus ke mana," gumam Aalisha mengedarkan pandangan ke sekeliling. Jika tidak segera pergi, dia bisa tertangkap Orly mengerikan dan penjaga yang sedang berkeliling akademi. Mana yang lebih gawat? Tertangkap monster atau dikurangi poin asrama?

Maka Aalisha temukan jalan, sebuah celah berupa jendela bolong di dinding koridor. Lekas dia melompat ke celah tersebut, dikarenakan tubuhnya kecil, maka berhasil dia berada di antara celah yang bentuknya persegi panjang itu.

Dari sini, dia bisa melihat Viscount Lugaldaba berbicara dengan seseorang. Aalisha tidak bisa kabur karena jika dia melompat keluar maka Lugaldaba akan sadar, kalau kembali ke dalam, Aalisha akan tertangkap. Jadi pilihannya adalah berdiam sampai menunggu semuanya pergi.

Dewa selalu ikut campur dalam mempersulit hidupnya, ibarat sudah ditentukan seperti ini jalan hidupnya. Maka Aalisha samar-samar mendengar pembicaraan Lugaldaba dengan sosok yang tak diketahui siapa, barangkali seorang Orly atau pengajar di akademi ini atau malah profesor Ambrosia? Tidak, tinggi profesor Ambrosia tidak setara dengan Lugaldaba, jadi ada kemungkinan sosok pria yang menjadi lawan bicaranya. Ah, kemungkinan profesor Zahava!

"Mereka bilang apa barusan ...." Aalisha bergumam, "apa, menikah, Viscount Lugaldaba hendak menikahi profesor Ambrosia, kok bisa. Terus apalagi ... mustahil, jangan bilang profesor—akhhh!" Aalisha seketika terjatuh dari atas karena sebuah tali menjerat kakinya dan menariknya, suara berdebum terdengar, membuat pantat gadis itu sakit. "Sakit sialan."

"Dasar anak asrama nakal!" teriak Orly penjaga yang berkeliling malam ini. "Apa yang kau lakukan hah?! Berkeliaran malam-malam!"

"Aku tak berkeliaran," sahut Aalisha, "aku habis menjalani hukuman dari profesor Rosemary, merapikan buku di perpustakaan dan ini mau kembali."

"Lalu apa yang kau lakukan di atas sana?"

"Melihat bulan purnama. Salah?"

Orly itu hendak menyahut tak salah, tetapi dia baru teringat sesuatu. "Ini malam bulan sabit, dasar anak bodoh. Kauakan kuberitahu pada kepala asramamu agar poin asramamu dikurangi!"

"Iya, iya terserah, berhentilah mengoceh," jawab Aalisha yang takut jika Viscount Lugaldaba sadar akan keributan ini.

"Kalau gitu cepat ikut aku agar segera kuantar kau ke asrama!" Orly itu berjalan dengan tergesa-gesa sambil menarik Aalisha, keduanya pun menjauh dari sana.

Di sisi lain, Viscount Lugaldaba masih tak beranjak dari posisinya begitu juga sosok yang menjadi lawan bicaranya ini. Lugaldaba mengenakan jubah sangat panjang sampai menyentuh rerumputan, jika dibuka jubahnya itu, maka di kain jubah bisa menaruh berbagai macam senjata kecil seperti pisau maupun besi tajam serta kotak rokok, maka ia meraih sepuntung rokok, kemudian menyulutnya. "Penguntitnya sudah pergi. Kalau begitu, katakan padaku Zahava, siapa gadis dari kasta bawah itu?" Ternyata keduanya sadar tengah diperhatikan oleh Aalisha.

Profesor Zahava perlahan tersenyum. "Dia bernama Aalisha. Hanya anak cacat tanpa nama keluarga yang suka berbuat keonaran, tetapi harus kautahu jika dia kemungkinan mencurigaiku."

"Hanya anak cacat? Rakyat jelata memanglah hama."

"Benar sekali Tuan Lugaldaba," ujar Zahava sedikit mengangguk.

Lugaldaba kemudian merogoh sakunya lalu diperlihatkan benang merah. "Kau tahu ini apa? Anak itu yang memberikan gelang ini pada Ambrosia yang kucintai. Sangat menjijikkan. Terlebih lagi gelang ini dari persembahan Dewa." Perlahan gelang merah itu terbakar dan menjadi abu kemudian hilang tertiup semilir angin malam.

"Di dunia ini, tak ada siapa pun yang akan melindungi Ambrosia kecuali aku. Tak ada yang mampu menghukumku bahkan Awatara Dewa sekali pun."

"Anda benar sekali, jadi apa yang harus kulakukan?" ujar Zahava.

"Gadis cacat itu berani dekat dengan Ambrosia." Sesaat manik mata Lugaldaba bersinar terutama karena terpantul sinar bulan. "Maka bunuh gadis cacat dan rendahan itu dengan cara apa pun. Bahkan jika kau hendak membuat kematiannya begitu cepat atau menyiksanya dahulu, terserah padamu, karena yang terpenting gadis itu segera enyah dari dunia ini."

"Hamba akan laksanakan, Tuan Lugaldaba."

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

This is my favorite chapter.

Katakan sesuatu untuk Aalisha atau chapter ini?

Katakan hai, pada profesor Rosemary yang katanya bakal lebih ngeri dibanding Arthur kalau sudah marah, he he. Profesor Rosemary adalah karakter favorit gue setelah Eloise Clemence.

Lugaldaba dan Zahava mau bunuh Aalisha? Oh wow, mari tunggu~

Prins Llumière

Minggu, 15 Januari 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top