Chapter 47
|| Buka tanya jawab, silakan tulis pertanyaan kalian di sini. Nanti jawabannya bakal ada di chapter khusus tanya-jawab nanti. Yuks tanyakan seputar cerita atau pertanyaan di luar cerita^^
Hari ini kehidupan akademi berjalan normal apa adanya, mungkin ditambah bumbu kesibukan bagi beberapa murid karena hendak menyambut kedatangan seorang Viscount. Berbahagia untuk kelas-kelas yang tak belajar karena profesor yang mengajar sedang ada keperluan jadi kebanyakan dari murid-murid itu memilih untuk berdiam diri di asrama atau melakukan aktivitas kecil dan belajar mantra.
Gadis kecil yang seharusnya bisa berbaring di ranjang karena profesor Solana sedang ada kesibukan lain, hanya memberi tugas saja. Namun, Aalisha sudah rapi dan bersih serta mengenakan seragam, tetapi tak dikenakan jubahnya. Cuaca di luar cukup terik, membalut tubuh dengan jubah akan membuat keringat semakin banyak.
Frisca dan Gilbert sedang sibuk karena akan ada pertunjukkan kecil dari anak opera sebagai sambutan kedatangan Viscount. Tidak perlu bertanya akan Mylo dan Anila karena mereka berdua tidak berada di sini, sejak kemarin kereta keluarga mereka menjemput ke akademi—berbarengan lagi—karena masing-masing punya agenda keluarga yang wajib dihadiri.
Aalisha terkekeh. Susah sekali hidup sebagai bangsawan yang banyak tuntutannya, dimulai dari tata krama, etiket, kewajiban hadir di acara resmi dan penting, menghadiri salon, mengirim undang, ikut pelelangan, bahkan sampai ke urusan politik serta memilih antara kubu bangsawan atau kekaisaran.
Memang yang terbaik adalah menjadi biasa saja dengan artian kehidupan normal atau kehidupan seorang Majestic Families. Pemikiran itu terlintas setelah dia melihat Eloise Clemence yang sedang mengobrol dengan profesor wanita—profesor Rosemary. Di samping Eloise, seorang Orly bernama Andante sedang memayunginya serta profesor Rosemary dari sinar matahari yang terik sekali, wanita keturunan bangsawan Rosemary itu sangat cantik dengan gaunnya hasil sulaman khas toko pakaian Eleanora Alfafreezel.
Dunia tahu jika hidup sebagai Majestic Families akan penuh rintangan dan marabahaya, tetapi masih banyak makhluk hidup terutama ras manusia yang ingin hidup seperti mereka karena kekayaan, martabat, derajat, kedigdayaan dimiliki oleh seluruh keturunan Majestic Families. Dipikir-pikir seribu kali pun, lebih banyak yang memilih hidup seperti Majestic Families dibandingkan hidup sebagai rakyat jelata yang tertindas.
Aalisha sangat paham pemikiran seperti itu. Mereka yang lahir sebagai Majestic Families memang dihadapkan dengan kutukan dan kematian, tetapi banyak yang mendukung bahkan bersembah sujud pada mereka, sesakit-sakitnya menjadi Majestic Families, tetapi masih bisa hidup enak tanpa ditindas kaum lain. Berbeda dengan rakyat kasta bawah yang tidak hanya sakit secara ekonomi, tetapi fisik dan mental, bahkan tak ada yang peduli. Meskipun umur hidup mereka lama, tetapi rasa sakit dan penderitaan akan terus-menerus ada seolah tumor yang selamanya menggerogoti tubuh.
"Aku paham jika mereka menderita, bukankah percuma punya umur panjang, tetapi sakit tidak sembuh-sembuh?"
Aalisha kini berada di halaman belakang kastil Arevalous, sebenarnya agak jauh dari halaman, karena ia berada di sekitar bangunan menyerupai kuil dengan dua belas pilar penyangga milik Arevalous. Di tempat, dia berbaring betapa terlihat jelas sekali sosok patung dengan sayapnya. Di dekatnya pula ada seekor kelinci berbulu putih yang meringkuk, tidur begitu nyenyak karena jemari Aalisha terus membelai tubuhnya.
"Kalau dalam kitab para Dewa, percuma memiliki umur ribuan tahun, tapi tidak pernah berdoa dan memohon ampun pada Dewa. Sebenarnya masalah kaum bangsawan, rakyat jelata, atau Majestic Families hanya tergantung perspektif mereka masing-masing. Setiap makhluk punya penderitaannya, jika mereka mau berubah, barangkali para Dewa berbaik hati mengubah penderitaan mereka ...."
Manik matanya menatap langit, tak terlalu silau karena terhalang pepohonan rindang. Sesaat ia merasa pandir karena perkataannya tadi seperti orang suci atau pendeta yang membawakan khutbah di kuil. Lagaknya seperti manusia beriman, padahal tak selalu Aalisha melakukan perintah dan sabda para Dewa Tertinggi, barangkali dosa lebih banyak ia lakukan. Buktinya saja sudah berapa banyak dosa dan perang yang ia sulut semenjak menjejakkan kaki di tanah Eidothea ini.
Bangkit dari posisinya, dibelai pelan bulu kelinci yang masih terlelap. Lalu melenggang menuju bangunan 12 pilar penyangga itu, berada di hadapan patung yang tingginya bisa mencapai dua meter atau lebih, Aalisha merasa kecil. Tak ia tahu, patung ini mengukir sosok atau entitas apa, berbeda dengan patung di halaman depan yang mengukir keagungan Dewi Aarthemisia D'Arcy. Patung di depan Aalisha tidak diketahui pastinya apa. Banyak perkataan dari murid ke murid kalau patung ini merupakan patung Dewa yang sengaja tidak diukir jelas sehingga memberikan makna konotasi.
Banyak pemahat di Athinelon yang tak begitu pasti tahu bentuk para Dewa karena sumber akan wajah-wajah para Dewa ada banyak, mencapai ribuan barangkali. Antara sumber satu dengan lainnya terkadang berbeda, ketika dijadikan syair maka gambaran para Dewa itu juga akan berubah. Berbeda dengan Kitab Suci yang berisi perintah, larangan, dan sabda Dewa adalah pasti. Hanya saja rupa, tak ada yang tahu pasti.
Ada pula sumber berkata jika para Dewa dan Dewi sering mengubah wujud mereka dan takkan memperlihatkan wujud asli, terkecuali pada Makhluk Tertentu. Dalam sumber dan buku suci sering disebutkan jika para Dewa mengubah wujud mereka menjadi ras-ras lain, termasuk manusia, serta binatang bahkan terkadang para monster maupun Orly. Hanya saja, tak pernah ada berita bahwa ada makhluk hidup yang sadar dan bertemu para Dewa yang mengubah wujud mereka dan turun ke Athinelon, barangkali ada yang sadar, tapi hanya diam.
Atas hal inilah, makhluk hidup lebih sering melantunkan keagungan para Dewa dan Dewi dengan kedigdayaan Mereka, bukan bentuk wajah atau rupa. Semisal saja Dewi yang paling banyak dipuja adalah Aarthemisia D'Arcy, yang digambarkan sebagai sosok Dewi Kebijaksanaan, Penghakiman, serta Peperangan.
"Kurasa patung ini adalah Dewa atau malah Awatara?" Aalisha menyentuh sisi lain dari pentagram yang mengelilingi di belakang punggung patung. "Pernah kubaca kisah di buku suci tentang Awatara. Salah satunya adalah Awatara Dewa yang jika hendak membunuhnya maka harus dihancurkan punggung kaki kanannya."
Salah satu kisah dari buku suci mengenai Keagungan Awatara Dewa adalah kisah Arshaka dalam perang Al-Mahyrah.
Arshaka merupakan anak tunggal dari seorang raja yang kerajaannya paling lemah di pesisir timur Athinelon. Suatu malam, nubuat seorang pendeta tua yang umurnya hanya tinggal menghitung bulan, ia mengatakan pada raja bahwa putra tunggalnya akan menjadi Awatara salah satu Dewa, membawa kemenangan dalam perang besar, dan mati setelah perang itu usai.
Setelah mengetahui nubuat itu, sang raja gundah, gelisah, tiap malam tak bisa tidur nyeyak karena memikirkan nasib dari putra satu-satunya dikarenakan sang istri meninggal setelah melahirkan putranya itu yang bernama Arshaka.
Sebagai sosok ayah yang sangat menyayangi Arshaka, raja selalu mencari cara untuk menghindarkan putranya dari takdirnya yang akan berperang. Ia juga hendak menentang jika Arshaka adalah Awatara Dewa. Namun, takdir tak bisa diubah. Arshaka semakin hari semakin menunjukkan kehebatan, kedigdayaan, kemasyhuran yang menjadikannya benar-benar seorang Awatara. Bahkan ketika Arshaka sudah berumur tujuh tahun, dia sendirilah yang meminta pada ayahnya untuk dilatih oleh seorang penyihir Agung, maka sang ayah tak bisa menolak takdir putranya.
Maka dimulailah latihan Arshaka pada seorang penyihir Agung, ia juga melakukan tapa brata. Salah satu karunia diberikan para Dewa yang membuat Arshaka menjadi tak terkalahkan ketika ia pergi ke kastil megah bernama Aristrimutri. Penyihir Agung berkata jangan pernah mengusik kastil tersebut karena menjadi salah satu kesayangan Dewa. Namun, Arshaka tak menurut, jadi pergilah ia ke sana bermaksud menunjukkan kedigdayaannya.
Berada di luar kastil, ia angkat kastil tersebut lalu diguncangkannya. Dewa kesal karena sikap angkuh nan congkak yang Arshaka miliki. Maka Dewa itu menyentuh kastil tersebut, lalu ditekannya kuat, membuat tangan Arshaka melepaskan kastil yang menyebabkan punggungnya kaki kanannya tertindih kastil tersebut, terjepit sangat keras, hingga ia tak bisa bergerak. Arshaka berteriak, menjerit tinggi, keras, dan melengking.
"Jika kau ingin bebas maka terimalah takdirmu di medan perang dan buang sifat congkak pada para Dewa." Itulah kalimat yang diucapkan salah satu Dewa.
Maka Arshaka mengangguk-angguk, bersumpah bahwa ia takkan angkuh di hadapan penciptanya, dan Dewa itu membebaskan jepitan kastil dari punggung kaki Arshaka.
"Atas sumpahmu, maka kuberi kaukarunia sehingga kautak terkalahkan bahkan kalau lembing menembus jantungmu, kau akan tetap hidup. Namun, kuberi kecacatan pada punggung kaki yang terjepit kastil ini sebagai pertanda kelemahanmu sebagai manusia."
Semenjak itu, Arshaka benar-benar tak terkalahkan, ia mampu membinasakan pasukan hanya dengan pedang serta anak panahnya yang termasyhur. Ia mampu berlari jauh sambil membawa tombak tajam dan menembus pertahanan musuh, ia mampu pula mengangkat gunung dan ia guncangkan. Hingga takdir membawa Arshaka ke perang Al-Mahyrah. Perang yang berjalan hingga tiga tahun lamanya benar-benar dimenangkan oleh Arshaka. Namun, sehari setelah kemenangan itu, ketika ia hendak pulang ke kediaman, ia bertemu dengan seorang anak.
Ya, seorang anak tak diketahui identitasnya, bukan dari korban perang, bukan anak dari ayahnya yang mati di peperangan, bukan dari pihak musuh Arshaka. Entah datang dari mana anak itu, begitu gagah beraninya menantang Arshaka, mula-mula dicegah kuda Arshaka dan dengan tangan kosong ia menantang.
Tanpa pikir panjang, Arshaka menyetujuinya. Sayang sekali, Dewa sudah tak memberi kedigdayaan pada Arshaka, tiga tahun peperangan dimenangkannya begitu mudah, tetapi bertarung dengan seorang anak yang tak diketahui asal-usulnya ini, hanya dalam tiga menit saja Arshaka dikalahkan dengan sebuah panah yang melesak ke punggung kaki kanannya. Maka sesuai nubuat, Arshaka mati setelah perang Al-Mahyrah. Meskipun begitu, kisahnya masih diceritakan dalam sejarah-sejarah dan buku suci bahkan puisi para penyair. Kisahnya menjadi salah satu kisah seorang Awatara.
"Tiga tahun dan tiga menit, perbedaan yang sangat besar," ujar Aalisha perlahan melepaskan kedua tangannya yang tadi ia tempelkan karena berdoa sesaat. "Hingga kini tidak diketahui identitas anak misterius yang menantang Arshaka, tetapi bukankah sudah bisa ditebak?"
Aalisha berbalik menatap patung tersebut setelah melangkah lumayan jauh dari bangunan 12 pilar. "Pastinya seorang Majestic Families, di dunia ini makhluk mana lagi yang lebih disayang serta diberkahi Dewa."
****
Mengusir rasa bosan, ia berkeliling kastil akademi, tadi juga menghindari Athreus karena lelaki itu terlihat di sekitar area kastil Arevalous bersama teman-temannya.
Meskipun sudah membaca peta berkali-kali pun, tetap saja Aalisha tak hapal bangunan kastil ini yang sangat rumit. Beberapa bagian kastil akademi diberi sihir sehingga bagian itu terkadang berubah-ubah. Tidak perlu diherankan kalau melihat murid yang tersesat dan salah masuk ruangan, bahkan kakak tingkat masih suka salah ruangan.
Entah mengapa Aalisha sedikit merasa aneh dengan semua yang ia jalani selama beberapa bulan ini. Dimulai dari setiap harinya selalu makan bersama, bisa dilihatnya berbagai macam ekspresi murid-murid ketika di meja makan lalu mulai dengan celotehan yang kebanyakan tak berguna. Selanjutnya di kelas yang tak kalah menyebalkan dan melelahkan, begitu juga di luar jam pelajaran yang senang sekali orang-orang berkumpul sambil bercengkerama, Aalisha mau tak mau mengikuti Anila dan Mylo dari pada mendapatkan ceramah panjang jika ia terus-menerus di kamar saja. Terlalu banyak perbedaan antara kehidupannya sebelum di sini dan setelah berada di akademi, ibarat musik, biasanya yang ia dengarkan adalah suara lira begitu lembut dan menghanyutkan sedangkan kini yang ia dengar tiap hari adalah suara genderang ditabuh tanpa henti.
"Sialan, aku tersesat, lagi," ujarnya pasrah, tapi tak berniat mengecek peta. Maka dia terus melangkah menyusuri koridor yang ternyata sepi sekali.
Jika dipikirkan, apa yang membuatnya mau melangkah ke akademi ini? Sebenarnya apa yang Aalisha kejar sampai-sampai dia rela melewati batasannya dan berjalan di atas bara api? Meski sekeras apa pun Aalisha berusaha, bahkan jika harus menyerahkan tubuhnya ke api persembahan. Namun, para Dewa tak berkehendak dan takdir tak merestui, bukankah segalanya sia-sia.
"Meski sia-sia, aku ingin tahu sampai mana batasan yang diberikan para Dewa padaku," ujar Aalisha berhenti melangkah ketika melewati taman di dalam kastil.
Di taman itu tak ada pohon, hanya bunga-bunga mekar dengan indah, tempat duduk terbuat dari bebatuan serta boneka yang duduk sendirian. Hanya terlihat dari punggung, boneka itu mengenakan gaun putih berenda serta topi bundar.
Seringai kecil terukir pada Aalisha yang melenggang menuju boneka itu. Sepatunya menginjak rerumputan yang tercium bau rumput serta bunga-bunga di sekitar; aroma manis. Hampir mendekati boneka itu, ternyata sudah sadar duluan ia akan kehadiran Aalisha.
"Kurasa takdir suka mempertemukan kita," ujar Lilura.
"Sulit memahami bagaimana takdir bekerja Nona Lilura. Ada kemungkinan ditulis para Dewa dengan tangan kiri sehingga amburadul sedikit jadinya," sahut Aalisha yang perlahan Lilura menoleh padanya.
"Terkadang kau aneh Nak," sahut Lilura, tetapi sudah terbiasa dengan sikap aneh para manusia.
"Terima kasih atas pujian Anda."
"Apa kau tak ada kesibukan? Atau selalu pergi meninggalkan kesibukan?"
"Jangan berprasangka buruk dulu, aku ini manusia rajin, aku tak pernah membolos dalam mengerjakan tugas dan selalu membantu sesama manusia."
"Baguslah, kuharap kau berkata jujur."
Aalisha tersenyum tipis. "Apa yang membawa Anda kemari? Di mana profesor Ambrosia?"
"Dia sedang ada urusan, jadi aku kemari untuk jalan-jalan."
Tak yakin Aalisha jika itu adalah jawaban yang sebenarnya. "Anda baik-baik saja? Anda terlihat resah, gundah, gelisah, ah barangkali pikiran Anda sedang sakit dan rusak sedikit."
"Apa kau sedang mengucapkan dialog drama?" sahut Lilura cepat karena merasa kalimat Aalisha begitu familiar.
"Hanya kalimat yang terlintas saja di pikiranku." Aalisha tersenyum begitu polos.
"Sudah kuduga kauaneh, sangat aneh," ujar Lilura kembali yang membuat Aalisha terkekeh.
"Baiklah Nona Lilura, aku kini serius bertanya. Anda sedang tak baik-baik saja 'kan?"
Perlahan kepala Lilura bergerak, menatap pada seekor burung biru yang bertengger di bangku lain, kicauan burung terdengar seolah memenuhi taman yang hanya diisi olehnya dan gadis niteleum yang aneh. "Nak, apa kaupercaya jika kami memiliki hati layaknya manusia?"
"Boneka Belphoebe memiliki hati? Tentu saja tidak." Aalisha menyahut cepat. "Anda boneka berbeda dengan kami yang manusia, kami diciptakan Dewa, Anda diciptakan tangan-tangan manusia meski diberikan neith di dalam tubuh, tapi tanpa kami, Anda tak ada di dunia ini. Jadi mustahil Anda punya hati layaknya kami."
"Jawaban yang cukup menyakitkan Nak, tapi kaubenar, kenyataannya kami tak memiliki—"
"Tapi bukan berarti aku berkata jika Anda tak memiliki perasaan." Aalisha berujar lagi membuat Lilura tertegun. "Hati yang kumaksudkan tadi seperti organ tubuh, jika berbicara hati pada perasaan kurasa Anda memilikinya."
Aalisha merasa lelah berdiri jadi dia menuju kursi batu di seberang Lilura dan duduk di sana, kakinya menyilang, badan agak condong, menatap Lilura dengan senyum tipis.
"Bukankah Anda boneka Belphoebe? Tidak perlu memiliki hati untuk semua manusia, minimal Anda memiliki hati untuk pemilik Anda, Profesor Ambrosia. Buktinya Anda tahu suka-dukanya bahkan Anda menganggapnya separuh hidup Anda dibandingkan apa pun. Jika Anda mati, Anda bisa diciptakan lagi dengan cara apa pun, tapi jika profesor Ambrosia mati, dia akan kembali kepada para Dewa."
Benar, benar sekali! Setiap frasa, kata, kalimat yang keluar dari mulut gadis itu adalah kebenaran. Lilura tak pernah menyangka jika berbicara dengan Aalisha, tidaklah buruk. "Kurasa mengobrol denganmu tidak begitu buruk, berbeda dengan rumor beredar akan dirimu yang sangat buruk bahkan angkatan atas juga berbicara tentangmu meski tak tahu rupamu bagaimana."
"Itulah mengapa kita harus tahu secara langsung dibandingkan percaya melalui rumor yang belum tentu kebenarannya, tapi Nona Lilura, harus Anda tahu jika aku bukan manusia yang baik."
"Aku tahu," ujar Lilura, "bagiku tak ada manusia yang benar-benar baik. Bahkan Ambrosia pun punya buruknya sendiri."
"Nah Nona Lilura. Kurasa kegelisahan Anda dikarenakan profesor Ambrosia, apa aku benar?"
Bibir Lilura terkatup, manik matanya yang lebar itu kosong sesaat. Padahal sudah ia tahu jika gadis kecil ini sejak awal pasti sudah menebak bahwa Lilura gelisah dan gundah karena profesor Ambrosia. Akhirnya keheningan menyeruak karena tak kunjung juga Lilura menjawab, bahkan jawaban benar atau tidak, tak kunjung ia sampaikan.
Aalisha memunculkan cyubes, menatap jam di sana yang ternyata sebentar lagi kelasnya dimulai. "Kurasa kelasku sebentar lagi, jadi aku harus pergi."
"Nona Aalisha, mungkin ini terdengar bodoh bagimu, tapi aku punya permintaan." Wajah Lilura yang gelisah itu digantikan dengan kesedihan begitu kentara.
"Apa?" Aalisha merasakan belaian angin yang berembus melewati rambut-rambutnya.
"Jika aku mati dalam waktu dekat, maukah kamu menggantikanku untuk minum teh bersama Ambrosia sekali-kali?"
Tak perlu banyak berpikir, Aalisha berkedip sesaat sambil menghela napas dan berujar, "tidak. Aku tidak suka pesta minum teh. Jadi aku menolak."
"Begitu, tak terduga lagi jawabanmu." Lilura menyahut.
Aalisha bangkit dari posisi. "Anda bisa cari orang lain untuk memenuhi permintaan Anda atau jangan meminta hal ini jadi Anda sajalah yang menemani profesor Ambrosia minum teh. Bukankah Anda sahabatnya?"
Tidak berniat mendengar jawaban Lilura karena boneka itu terdiam membisu. Kini gadis kecil itu melangkah menyusuri koridor yang beberapa murid terlihat melintas terburu-buru karena sudah terlambat masuk kelas.
Sudah ia katakan sejak awal jika Aalisha bukanlah manusia yang baik jadi dia enggan memenuhi permintaan sepele. Lagi pula Aalisha tak suka menyusahkan diri dengan menjadi manusia baik hati atau tokoh protagonis yang selalu menolong tokoh lainnya. Sejak awal peran itu tak pernah tercipta untuknya.
Meskipun obrolan antara Aalisha dan Lilura berakhir dengan penolakan Aalisha, tetapi melalui hal ini, ia bisa mengetahui satu hal. "Tak kusangka, boneka saja memiliki hati yang tulus. Berbeda dengan manusia yang saling menyakiti. Wah Dewa, dunia ini, benar-benar menakjubkan."
****
Satu hari sudah terlewati, Eidothea hari ini memiliki agenda penting jadi meskipun tidak ada pembelajaran, para murid tidak bisa berleha-leha atau menyendiri di pojok kamar karena mereka pasti akan melakukan penyambutan pada Viscount yang akan berkunjung, serta menonton beberapa persembahan dari perwakilan yang dipilih akademi serta penampilan dari beberapa ekstrakulikuler.
Aalisha menatap pantulan cermin, tubuhnya terbalut seragam Eidothea karena pihak sekolah tetap ingin muridnya mengenakan seragam. Gadis itu menyisir rambutnya yang panjang lalu mengikat sebagian kemudian diberi pita biru kecil di ujung, setelahnya dia mengoleskan tabir surya pada wajahnya.
"Kurasa di sana sibuk juga," ungkap Anila baru selesai membersihkan diri dan hendak turun ke bawah untuk mengambil sarapan.
"Sejak subuh, Damien sudah berteriak membangunkan semua orang," sahut Aalisha hendak sekali melempar lembing agar mulut Damien terkatup. "Harusnya Kepala Asrama ikut mengatur, tapi profesor Madeleine punya kesibukan sendiri."
"Bisa kubayangkan, bagaimana sibuknya Damien mengatur satu asrama yang bebal. Master Arthur tak turun tangan?" Kini Mylo yang berujar sambil menyantap sosis panggang dengan santai, bahkan masih berbalut pakaian tidur.
"Kapan master itu bertanggung jawab atas tugasnya sebagai Kepala Asrama kedua? Sejak awal dia tak peduli pada kita, aneh, kenapa bisa dia jadi kepala asrama." Aalisha menggeleng-gelengkan kepalanya sambil meraih sepatunya, segera ia kenakan.
"Dia akan turun tangan jika, anak asrama membakar kastil," ujar Anila menatap pada pelayannya yang sedang menuangkan teh hangat ke cangkir. "Beritahu nyoya Kristeva untuk mengecek gaun yang kukenakan nanti malam."
"Baik Nona Andromeda," ujar si pelayan.
Aalisha dan Mylo bisa mendengar percakapan nona Andromeda itu. Mereka sejak tadi bercakap-cakap menggunakan cyubes.
Mylo berujar, "kurasa nona Andromeda akan menghadiri pesta besar. Jangan lupa berdansa dengan pangeran atau putra Duke."
"Jangan lupakan sapu tanganmu Anila, jadi ketika kau jatuhkan kemudian dipungut lelaki keturunan Marquess, mungkin kauakan jatuh cinta," ujar Aalisha.
"Diamlah kalian berdua." Anila menyahut dengan nada rendah dan sangat dingin. "Mylo, kaujuga jangan mengecewakan lawan dansamu, kasihan dia, jika kaumenginjak kakinya berulang kali."
"Sialan kau," umpat Mylo menuju kamarnya hendak membersihkan diri. "Sepertinya aku sudahi saja karena aku hendak mandi sebelum ada tamu datang. Dah kalian berdua." Mylo mematikan panggilannya.
"Aku juga harus pergi, ayahku barusan memanggil," sambung Anila, "Aalisha."
"Ya?" Kini gadis kecil itu sedang menuruni tangga karena lift begitu penuh.
"Kumohon jaga dirimu." Suara di seberang sana terdengar sangat serius.
"Harusnya aku yang berkata begitu. Bukankah pesta bangsawan menjadi salah satu medan perang di kalangan sosialis? Kuharap kautak bertemu bangsawan yang rese." Barusan apa yang Aalisha katakan? Ia bahkan heran dengan kalimat yang meluncur dari mulutnya. Sesungguhnya ia tak khawatir, tetapi ia hanya mengatakan kalimat yang biasa dikatakan seorang teman, bukan bermaksud menganggap Anila teman, tetapi hanya sekadar basa-basi saja. Aalisha belakangan ini belajar memperkaya kosa-kata.
"Aku baik-baik saja, mereka takkan berani menyentuh putri Count Andromeda. Jadi kumohon padamu Aalisha, tolong jaga diri."
Aalisha menghela napas panjang, tak jauh darinya ada Gilbert dan Frisca yang sedang menunggu. "Ada Gilbert dan Frisca, aku akan baik-baik saja."
"Aku paham, tapi aku ingin kau tetap menjaga dirimu sendiri. Kumohon."
"Iya, iya."
"Baguslah, jangan lupakan hal ini. Kalau begitu sampai jumpa. Jaga dirimu."
Anila menatap cyubes-nya yang sudah terputus sambungan dengan Aalisha. Kini cyubes itu dijadikan mode menghilang. Anila kini memasuki ruangan yang sangat besar, terdapat banyak lemari penuh buku tebal berbau politik paling tercium, dua sofa berukuran besar di tengahnya ada meja, di sisi lain ruangan ada sebuah meja kerja beserta tumpukan dokumen yang harus segera diperiksa.
Perlahan Anila membungkukkan tubuhnya, memberi penghormatan pada seorang pria yang kemudian mempersilakannya duduk. Pria itu adalah ayah Anila—Helio Linnaeus Andromeda.
Pria berambut cokelat seperti Anila. Wajahnya agak lonjong dengan dagu tak begitu lancip, ada tahi lalat di dagunya serta di pelipis kanan. Alisnya agak tipis, hidung mancung tak bengkok. Meski sudah beranak satu, tetapi ia tak terlihat begitu tua. Anila pasti mendapatkan manik mata serta warna rambut dari gen ayahnya. Dikarenakan kedua bagian itu terlihat mirip, seperti dicetak.
"Temanmu?" ujar Count Helio sambil membenarkan kacamata bulatnya. "Meski aku mengajarkanmu untuk tidak membedakan manusia dari kasta, tetapi sejak kecil kauselalu selektif dalam memilih teman. Tak banyak teman kaupunya karena lebih fokus belajar, tapi di Eidothea? Ayah penasaran siapa temanmu itu."
Anila tersenyum tipis, senyuman yang sangat Helio sayangi setelah cintanya pada istrinya. Dia selalu bersyukur pada Dewa karena masih memberikan kesempatan pada putrinya untuk tersenyum begitu bahagia.
"Bukan sekadar teman ayah, dia adalah sahabatku."
"Sahabat. Di luar dugaan, padahal belum enam bulan di akademi, apa alasannya? Bagaimana orangnya?"
"Dia bukan tipikal tokoh utama dalam novel Ayah. Hanya gadis yang serapuh kaca, tapi itu yang membuatku hendak melindunginya."
Helio mengangguk. Ada pekerjaan yang harus ia lakukan jadi tidak bisa lama-lama membahas kehidupan putrinya di akademi. Mungkin ia akan meminta putrinya bercerita ketika liburan dimulai, barangkali dia bisa bertemu sahabat yang putrinya maksudkan sampai-sampai harus melindunginya.
"Teruskan, kuyakin sahabatmu begitu baik karena putriku takkan salah memilih," ujar Helio, "lalu semoga persahabatan kalian bertahan lama. Semoga Dewa, selalu memberkati persahabatan kalian."
"Aamiin. Terima kasih, Ayah. Aku menyayangimu."
****
Pada akhirnya Aalisha sendiri lagi karena Frisca dan Gilbert dipanggil dadakan oleh ketua opera karena ada yang harus mereka lakukan. Meski bertugas di belakang panggung, tetapi kesibukan tak lepas dari hidup mereka di hari ini. Mereka berkata akan benar-benar senggang setelah pertunjukan opera selesai, baru saat itu mereka bersama dengan Aalisha akan pergi menonton pertunjukan dari ekskul lain.
Sebenarnya Aalisha sedikit marah, hal yang membuatnya marah adalah permintaan maaf berulang kali dari Gilbert maupun Frisca karena meninggalkan Aalisha sendiri lagi—mereka seperti dua penjaga yang akan segera dipasung jadi memohon ampun untuk hidup mereka. Bingung menyeruak di benak Aalisha, mengapa manusia mudah sekali mengucapkan maaf?
"Aku ingin keluar dari sini," ungkap Aalisha harus beranjak pergi karena segerombolan murid angkatannya sedang terkekeh sambil melirik padanya.
Tidak tahu hendak pergi ke mana, ia melangkah seperti orang bodoh tanpa tahu arah tujuan, barangkali seperti anak kecil yang tersesat di tengah keramaian kota. Haruskah ia pergi ke halaman belakang asramanya dan berbaring di sana sepanjang hari? Atau menjadi orang beriman dengan pergi ke kuil? Dia rasa opsi kedua adalah hal baik, bukan hendak mendedikasikan diri sebagai makhluk taat, saleh, dan beriman, tetapi berdoa tidak lepas dari hidupnya meski satu bulan hanya sekali berdoa ke kuil.
Ibarat melawan arus sungai yang deras, Aalisha berjalan berlawanan dengan banyaknya murid yang menuju luar kastil untuk menonton pertunjukan opera—Aalisha tak bermaksud menonton—kini tujuan Aalisha adalah kuil kecil yang dijaga Elijah. Tenang saja, tidak usah khawatir jika ada Athreus atau Nicaise di sana karena setahu Aalisha kedua manusia itu terlihat sedang di luar dengan kesibukan sendiri, entah apa? Namun, tidak dia lihat Eloise Clemence. Akhir-akhir ini jarang terlihat gadis tukang bakar itu. Aalisha tak peduli juga, andai gadis Clemence itu mati pun akan lebih baik.
"Elijah," ujar Aalisha pas sampai di kuil. Celingak-celinguk, waspada jika Elijah akan muncul dan mengagetkannya, tetapi tak kunjung juga Orly itu muncul. "Elijah kauada di sini? Apa ada orang!"
Tidak ada siapa pun di sini termasuk penjaga kuil si Elijah, entah ke mana dia, barangkali ikutan menonton opera atau berkeliling akademi. "Sudahlah, aku berdoa saja."
Aalisha melakukan doa seperti pada waktu lalu kemari. Cukup khusyuk apalagi di kuil ini hanya ada dirinya satu-satunya. Wajah gadis itu sesaat nampak berkilau ketika lilin yang ia nyalakan menyinari sebagian wajahnya. Rambut hitamnya yang digerai, perlahan menutupi pandangannya, jadi perlu ia sisir ke belakang dan anak rambutnya ia sangkutkan di daun telinga. Jika doa sebelumnya, ia hanya mengambil satu gelang, maka kali ini, tiga gelang merah dia ambil. Satunya dikenakan, satunya diikat ke tiang kecil di sana, sedangkan satu gelang lagi ia bawa, disimpannya. Kali ini entah angin apa yang berembus, tak disangka, Aalisha mengenakan marajha di dahinya. Entah disengaja atau bukan, tetapi Aalisha terlalu banyak mengambil marajha, sehingga warna merah terlihat begitu jelas di dahinya. Tak bermaksud ia hapus marajha itu setelah menatap pantulan dirinya di cermin. Gadis ini benar-benar sulit dipahami tindak-tanduknya.
Setelahnya dia beranjak pergi dari kuil, langkahnya tak limbung ketika melewati koridor, begitu kokoh dan kuat serta kini ia memiliki tujuan jadi tidak lagi menjadi orang bodoh yang kehilangan arah. Tujuannya bukanlah suatu tempat, bukan pula menemui Frisca dan Gilbert karena mereka berdua memberi pesan jika tugas mereka akan segera selesai, bukan pula juga kembali ke asrama untuk berleha-leha. Dia punya tujuan karena tak jauh dari sini, tujuan itu akan segera terlaksana.
Berada di depan, ada tiga belokan koridor, tak usah bingung, Aalisha akan berbelok ke koridor kanan maka ia percepat langkahnya. Hingga angin yang membawa takdir berembus membelai setiap helai rambut hitam legamnya.
Aalisha perlu menghentikan langkahnya, agak dadakan karena jika tak ia lakukan maka ia akan menabrak tubuh seseorang di hadapannya. Setelah langkahnya berhenti, tanpa butuh waktu, perlahan kaki kanannya maju selangkah di belakang kaki kiri, kanan tangan bergerak ke dada kiri, lalu ia membungkuk pelan sebagai tanda penghormatan.
"Senang bertemu dengan Anda, Profesor Ambrosia dan Tamu Terhormat, Tuan Viscount Lugaldaba." Aalisha tersenyum simpul pada kedua manusia di hadapannya.
Ya, tamu kehormatan yang hadir ke akademi ini adalah Viscount Lugaldaba. Namun, mengapa pria ini malah berada di sini? Bukannya di luar untuk menyaksikan persembahan dari para murid Eidothea?
Sementara itu, profesor Ambrosia sesaat terdiam, memperhatikan gadis kecil di hadapannya. "Aalisha, aku tak menyangka, kita bertemu di sini," ujarnya tersenyum simpul.
"Dia muridmu?" ujar Viscount Lugaldaba sambil tersenyum tipis ketika manik matanya bersinggungan dengan Aalisha.
"Ya murid yang kuajar di angkatan pertama." Profesor Ambrosia beringsut hingga ke samping Aalisha. "Apa yang kaulakukan di sini? Mengapa tidak bersama yang lain, mana teman-temanmu?"
Wanita ini benar-benar cantik, gaunnya tidak begitu banyak perhiasan, tetapi masih terlihat elegan. Ambrosia mengurai rambutnya dan dikepang waterfall—sebagian rambut atasnya dikepang. Manik matanya yang indah seolah menjadi tanda bahwa para Dewa bahagia menciptakannya, pasti manik mata itu juga yang membuat para pria jatuh cinta padanya. Sungguh, Aalisha akan heran jika ada pria yang tak jauh cinta pada manik matanya. Semerbak bau zaitun bercampur vanila tercium dari profesor Ambrosia. Ia benar definisi putri bangsawan yang akan menghadiri pesta dansa dan banyak pria akan mengantre untuk berdansa dengannya meski hanya satu lagu yang disenandungkan.
"Mereka sibuk dengan klub ekskul, jadi aku kemari untuk berdoa di kuil lalu tidak sengaja bertemu Anda." Hanya kalimat terakhir yang merupakan kebohongan karena sejak awal ia sudah berencana untuk bertemu dengan profesor Ambrosia. Lebih tepatnya, ia tahu jika akan bertemu profesor Ambrosia di sini.
"Kau ini, jangan suka pergi sendiri. Takut terjadi apa-apa," ujar Ambrosia perlahan membelai puncak rambut Aalisha.
Aalisha membalas, "aku akan baik-baik saja Profesor, mana ada yang bisa menyakitiku di akademi yang aman ini." Lalu manik matanya beralih pada Viscount Lugaldaba. Pria itu cukup tampan meski kalah jauh dari Arthur dan—Aalisha enggan mengakuinya—Athreus maupun Nicaise. Namun, berkat gelar Viscount yang menempel padanya, pasti pria ini menjadi incaran banyak wanita dan diundang ke berbagai pesta salon untuk mencari jodoh.
"Anak yang baik, kaumasih sempat berdoa tatkala yang lain sibuk dengan urusannya masing-masing bahkan terkadang lupa makan," ujar Viscount Lugaldaba.
"Aku hanya menjalankan kewajibanku sebagai manusia. Pada siapa lagi kita menyembah dan berdoa, jika tidak pada para Dewa yang menciptakan Athinelon?" Aalisha seperti pendeta paling beriman yang tak lupa menyelipkan ajaran dari kitab suci di setiap tutur katanya.
Viscount Lugaldaba menyampirkan kedua tangan di belakang, satu tangannya menggenggam pergelangan tangan yang lain. Ia terlihat sangat berwibawa. "Kaubenar, teruslah berdoa."
"Tentu saja, semoga keberkahan menyertai Anda berdua," ujar Aalisha sedikit menunduk, "aku mohon undur diri karena tak mau menahan kesibukan Anda."
"Perlu kuantarkan atau mau bersama pergi keluar?" ujar Ambrosia.
"Terima kasih atas tawarannya, tetapi tidak perlu karena aku bisa menjaga diriku dengan baik Profesor." Aalisha tersenyum.
Ambrosia hendak berujar sesuatu, tetapi tertahan di ujung lidahnya jadi ia hanya mengatakan, "baiklah hati-hati."
"Oh, aku hampir lupa." Aalisha tidak jadi melangkah karena dia mengeluarkan gelang merah dari sakunya. "Permisi Profesor." Kemudian meraih lengan Ambrosia, lalu Aalisha ikat gelang merah tersebut di tangan kanan Ambrosia.
"Apa ini?" Ambrosia menatap bingung pada tangan kanannya lalu beralih ke Aalisha.
"Gelang merah yang sudah didoakan dari kuil. Awalnya hendak kuberikan pada temanku, tapi dia sedang tidak di sini jadi kuhadiahkan untuk Anda saja. Jimat pelindung." Aalisha membungkuk sesaat. "Jaga diri Anda baik-baik, sampai bertemu lagi Profesor Ambrosia."
Aalisha juga membungkuk pelan di hadapan Viscount Lugaldaba yang hanya bisa terdiam dengan tatapan tak dapat digambarkan. "Aku mohon undur diri, Tuan Viscount."
Bisa Lugaldaba lihat bagaimana gadis kecil dengan marajha di dahinya, kini melotot padanya dengan binar mata seolah menunjukkan pertempuran, maka Lugaldaba membalas dengan tatapan yang sama mengerikannya sambil berujar, "ya terima kasih. Berhati-hatilah."
"Anda juga."
Aalisha melenggang pergi sambil melepaskan jubah yang ia kenakan kemudian dikaitkan ke lengan kirinya. Langkahnya semakin cepat yang kini sudah terdengar suara murid-murid lain yang penuh canda tawa serta bergosip. Beberapa murid menatap pada Aalisha terutama karena gadis itu menggunakan marajha di dahinya.
"Sialan, harusnya aku tak menggunakan marajha. Aku benci jadi pusat perhatian." Langkahnya terhenti, ia menatap langit yang sangat cerah hari ini, sinar matahari menembus hingga ke kulit. Untung saja Aalisha mengenakan tabir surya jadi kulitnya terlindungi. "Kuharap hujan tidak tiba-tiba turun di cuaca cerah ini."
◇─◇──◇─────◇──◇─◇
Jangan lupa berikan pertanyaan, sebelum chapter epic dimulai!!
Makin penasaran aja sama nih cerita. Kenapa ya tiba-tiba Lilura berkata seperti itu dan minta Aalisha untuk menggantikannya minum teh bersama Ambrosia? Sebenarnya apa yang terjadi antara dia dan Ambrosia?
Wah, katakan Halo pada Viscount Lugaldaba:) Lalu kok Aalisha tiba-tiba kasih tuh gelang merah ke Ambrosia? Sebenarnya apa sih yang Aalisha mau?
Siapa yang jahat di cerita ini?
Prins Llumière
Kamis, 12 Januari 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top